bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.upi.edu/49430/4/d_mtk_1402202_chapter1.pdf ·...

16
Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ide abstrak yang harus dipelajari secara hirarki. Matematika dikenalkan dari konsep yang sederhana sampai yang kompleks, dari bilangan bulat ke pecaha n, dari aritmatika ke aljabar, bilangan real ke bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi. De Lange (2004, hlm. 8) menyatakan lebih terinci : Mathematics could be seen as the language that describes patterns-both patterns in nature and paterns invented by the human mind. Those patterns can either be real or imagined, visual or mental, static or dynamic, qualitative or quantitative, purely utilitarian or of little more than recreational interest. They can arise from the world around us, from depth of space and time, or from inner workings of human mind. Pembelajaran matematika sebagai sebuah proses belajar matematika seharusnya tidak mengutamakan aspek kognitif saja. Berbagai potensi anak didik lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek emosi (afektif) maupun ketrampilan fisik (psikomotorik) juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang. Bloom menyatakan bahwa hasil belajar mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik (Seah & Wong, 2012, hlm. 1). Seperti diketahui bahwa matematika tidak murni logika pemikiran, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai bentuk afektif (Hannula, 2014, hlm. 23). Afektif memainkan peran yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Afektif dan kognitif secara integral terkait dalam jaringan asosiatif representasi mental (Forgas, 2001, hlm. 17). Dengan demikian hasil pembelajaran yang dicapai pada ranah kognitif dipengaruhi oleh ranah afektif. Menurut Hannula (2014, hlm. 23), adanya peran afektif dalam pendidikan matematika sudah diawali oleh Polya sejak tahun 1957 dalam riset problem solving yang menyebutkan adanya harapan, tekad dan emosi. Secara mengejutkan ditemukan bahwa siswa yang pernah mempunyai pengalaman dalam melakukan problem solving non rutin memiliki emosi yang lebih positif dibandingkan dengan 1

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Matematika merupakan ide abstrak yang harus dipelajari secara hirarki.

    Matematika dikenalkan dari konsep yang sederhana sampai yang kompleks, dari

    bilangan bulat ke pecaha n, dari aritmatika ke aljabar, bilangan real ke bilangan

    kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju

    matematika yang lebih tinggi. De Lange (2004, hlm. 8) menyatakan lebih terinci :

    “Mathematics could be seen as the language that describes patterns-both

    patterns in nature and paterns invented by the human mind. Those patterns

    can either be real or imagined, visual or mental, static or dynamic,

    qualitative or quantitative, purely utilitarian or of little more than

    recreational interest. They can arise from the world around us, from depth

    of space and time, or from inner workings of human mind”.

    Pembelajaran matematika sebagai sebuah proses belajar matematika

    seharusnya tidak mengutamakan aspek kognitif saja. Berbagai potensi anak didik

    lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang

    secara optimal. Karena itulah aspek emosi (afektif) maupun ketrampilan fisik

    (psikomotorik) juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.

    Bloom menyatakan bahwa hasil belajar mencakup ranah kognitif, afektif dan

    psikomotorik (Seah & Wong, 2012, hlm. 1). Seperti diketahui bahwa matematika

    tidak murni logika pemikiran, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai bentuk afektif

    (Hannula, 2014, hlm. 23). Afektif memainkan peran yang sangat penting dalam

    pembelajaran matematika. Afektif dan kognitif secara integral terkait dalam

    jaringan asosiatif representasi mental (Forgas, 2001, hlm. 17). Dengan demikian

    hasil pembelajaran yang dicapai pada ranah kognitif dipengaruhi oleh ranah afektif.

    Menurut Hannula (2014, hlm. 23), adanya peran afektif dalam pendidikan

    matematika sudah diawali oleh Polya sejak tahun 1957 dalam riset problem solving

    yang menyebutkan adanya harapan, tekad dan emosi. Secara mengejutkan

    ditemukan bahwa siswa yang pernah mempunyai pengalaman dalam melakukan

    problem solving non rutin memiliki emosi yang lebih positif dibandingkan dengan

    1

  • 2

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    siswa yang baru pertama kali melakukan problem solving. Jadi, afektif

    mempengaruhi kinerja siswa dalam menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

    Studi tentang dimensi afektif pembelajaran matematika dalam kurun waktu

    yang lama hanya terbatas menyelidiki sikap siswa terhadap matematika (Ignacio,

    et. all, 2006, hlm. 16). Berbagai macam riset yang membahas hubungan sikap siswa

    terhadap matematika ini mulai berkembang sejak tahun 1970. Riset Callahan (1971)

    menandai awal dari pertumbuhan keprihatinan tentang sikap siswa terhadap

    matematika (Ignacio, et. all, 2006, hlm. 19). Contoh riset berikutnya tentang sikap

    siswa terhadap matematika (Ignacio, et. all, 2006, hlm. 19) adalah Fennema and

    Sherman (1976, 1978), Whitley (1979), Wolleat, Ponte, Becker and Fennema

    (1976, 1978), Schofield (1982), Haladyna, Shaughnessy and Shaughnessy (1983),

    Minato (1983), Smith (1985), Gairin (1990), Moh Yusof (1994), Camacho,

    Hernandez and Socas (1995), Carbonero Martin, Anton Martin and Arranz Espeso

    (1998), Hernandez and Socas (1999), Hernandez, Palarea and Socas (2001), Cubillo

    and Ortega (2002). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa perhatian

    terhadap ranah afektif berkembang dari waktu ke waktu.

    Menurut Hannula (2014, hlm. 23) “ranah afektif mencakup sikap, keyakinan,

    motivasi, emosi dan semua aspek non kognitif pemikiran manusia”. Salah satu

    aspek ranah afektif yang mulai mendapat perhatian para peneliti adalah masalah

    kecemasan siswa (anxiety). Hannula (2014, hlm. 23) menyatakan bahwa anxiety

    merupakan keadaan emosi yang tidak menyenangkan atau adanya rasa ketakutan.

    Dalam pembelajaran matematika kecemasan ini dikenal dengan istilah mathematics

    anxiety.

    Kecemasan matematika didefinisikan sebagai emosi negatif yang

    mengganggu ketika seseorang diminta menyelesaikan masalah matematika (Blazer,

    2011). Preis & Biggs (2001) menggambarkan kecemasan matematika sebagai suatu

    lingkaran penolakan seseorang terhadap matematika. Pendapat ini hampir senada

    dengan para pengembang MARS (Math Anxiety Rating Scale) yang menyatakan

    bahwa kecemasan matematika adalah perasaan tegang dan cemas yang

    mengganggu ketika memanipulasi angka dan memecahkan masalah matematika

  • 3

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    dalam berbagai situasi biasa dan situasi akademik (Richardson dan Suinn, 1972,

    hlm. 551). Tobias (2013) menyatakan bahwa kecemasan matematika adalah respon

    yang berlebihan terhadap pembelajaran matematika. Menurut Hopko (2003, hlm.

    648) para peneliti memberikan definisi kecemasan matematika sebagai berikut;

    “feeling of tension and anxiety that interferes with the manipulation of

    number and the solving of mathematical problems in ordinary life and

    academic situations”

    Para peneliti sepakat menyatakan bahwa kecemasan matematika merupakan

    perasaan tertekan dan takut ketika seseorang berhadapan dengan masalah

    matematika yang terjadi sepanjang hidup dan pada situasi akademik.

    Kecemasan Secara umum para peneliti menganggap bahwa kecemasan secara

    serius merusak performan belajar siswa (Lazarus, 1974). Selain itu Ma (1999)

    menyatakan bahwa para peneliti dalam bidang kecemasan matematika

    berkesimpulan bahwa kecemasan matematika merupakan sesuatu yang merusak

    ingatan pengetahuan awal matematika siswa. Hal yang sama terungkap dari hasil

    penelitian Hembree (1990) yaitu kecemasan siswa secara serius merusak performan

    siswa ketika menyelesaikan tugas-tugas matematika, sebaliknya mengurangi

    tingkat kecemasan secara konsisten berhubungan dengan peningkatan prestasi.

    Martinez (1987) menyatakan bahwa “anxiety may be a greater block to math

    learning than supposed deficiencies in our school curricula or teacher preperation

    program”. Jadi, kecemasan mempengaruhi keberhasilan kurikulum sekolah dan

    program yang dirancang guru.

    Hubungan antara kecemasan dengan prestasi siswa dalam matematika juga

    telah banyak diteliti. Tobias (1980) misalnya, dari hasil penelitiannya ia

    menemukan bahwa ada hubungan timbal balik antara kinerja matematika yang jelek

    dengan kecemasan matematika. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa prestasi

    matematika siswa yang rendah berhubungan erat dengan kebiasaan belajar yang

    jelek dan tingkat kecemasannya. Selanjutnya Quilter dan Harper (1988)

    menyatakan bahwa kecemasan matematika orang dewasa secara umum berkorelasi

    negatif dengan performan matematikanya. Selain itu, Betz (1978) secara khusus

    menyelidiki kecemasan matematika mahasiswa dan ia juga menyimpulkan bahwa

  • 4

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    ada korelasi negatif yang signifikan antara kecemasan dan prestasi matematikanya.

    Sedangkan hubungan yang negatif antara kecemasan dan prestasi matematika siswa

    sekolah dasar dan menengah juga telah terungkap dari hasil penelitian yang

    dilakukan oleh Hembree (1990).

    Selanjutnya hasil penelitian Mandler dan Sarason membuktikan bahwa siswa

    yang memiliki tingkat kecemasan yang tinggi memperoleh hasil belajar yang lebih

    rendah (Siroj, 2003). Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa siswa dengan

    kecemasan tinggi lebih banyak melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas

    pada situasi waktu yang dibatasi, tetapi sebaliknya siswa dengan tingkat kecemasan

    rendah lebih banyak melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas pada situasi

    waktu yang tidak dibatasi. Interaksi ini menunjukkan kelemahan siswa dengan

    kecemasan tinggi dalam situasi yang sangat menekan.

    Temuan penelitian Mandler dan Sarason tersebut diperkuat oleh hasil

    penelitian Ma (1999). Ma melakukan meta analisis terhadap 26 hasil penelitian

    yang menyelidiki hubungan antara kecemasan matematika dan prestasi matematika

    siswa sekolah dasar sampai sekolah menengah (kelas 4 sampai kelas 12). Hasil meta

    analisis tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara kecemasan matematika

    dan prestasi matematika yang konsisten pada kelompok gender (laki-laki,

    perempuan, dan campuran antara laki-laki dan perempuan), kelompok kelas (kelas

    4 sampai 6, kelas 7 sampai 9, dan kelas 10 sampai 12), kelompok etnik (campuran

    dan tidak campur), instrumen yang digunakan untuk mengukur kecemasan (MARS

    yang lain), dan tahun publikasi 1978 sampai 1992.

    Lazarus (1974) menyatakan bahwa kecemasan matematika mulai berakar dan

    tumbuh ketika siswa berada pada tingkat sekolah dasar dan menengah.selanjutnya,

    Cockrof (1982) menyebutkan bahwa siswa tumbuh tanpa menyukai matematika

    sama sekali dikarenakan matematika itu sulit dan abstrak bagi siswa. Senada

    dengan pendapat di atas, Jackson dan Leffingwell (1999) menghubungkan

    kecemasan matematika terhadap pengalaman sebelumnya dengan pembelajaran

    formal di sekolah dasar dan menengah. Mereka menemukan bahwa 16% siswa yang

    disurvei menyatakan bahwa pengalaman negatif pertama mereka dalam

  • 5

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    pembelajaran matematika dimulai kelas 3 dan 4. Hembree (1990) juga

    mengungkapkan bahwa peningkatan kecemasan matematika dimulai sejak awal

    sekolah menengah pertama dan mencapai puncaknya pada kelas 9 dan 10. Jadi,

    pengalaman pertama siswa pada saat mempelajari matematika akan mepengaruhi

    sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika. Kesan yang menarik dan

    menyenangkan akan menumbuhkan rasa suka siswa terhadap matematika.

    Sebaliknya, kesan takut, sulit dan membosankan akan menyebabkan siswa

    menghindari matematika.

    Selanjutnya hasil observasi terhadap 94 siswa di salah satu SMP Negeri yang

    ada di Palembang pada semester genap Tahun Ajaran 2015/2016, dengan rincian siswa

    kelas VII sebanyak 36 orang, siswa kelas VIII sebanyak 29 orang dan siswa kelas IX

    sebanyak 29 orang, menunjukkan bahwa lebih dari 50% siswa menyatakan bahwa

    matematika adalah pelajaran yang sulit. Kesulitan yang terbesar dialami oleh siswa

    kelas VIII, yaitu sebanyak 22 orang siswa atau 76% siswa mengalami kesulitan dalam

    pelajaran matematika. Sekitar 48% siswa merasa takut dan cemas dalam pembelajaran

    matematika. Kecemasan siswa yang terbesar terjadi ketika siswa disuruh ke papan tulis

    (69% siswa) dan pada saat menghadapi ujian matematika (72% siswa), siswa merasa

    tidak percaya diri ketika menyelesaikan soal-soal matematika (55% siswa).

    Hasil observasi juga menunjukkan bahwa siswa hanya menghapal rumus-rumus

    matematika dan tidak memahami maknanya (52% siswa), siswa lupa hal yang

    dipelajari sebelumnya ketika mengerjakan ujian matematika (62% siswa). Materi yang

    ada dalam buku pelajaran matematika tidak dapat dipahami siswa dengan baik (62%

    siswa). Siswa hanya mengerti pelajaran matematika pada saat dalam kelas, tapi ketika

    pulang ke rumah tidak ada satupun yang mereka pahami (55%). Kesulitan dan

    ketakutan siswa terhadap matematika meningkat ketika naik ke kelas yang lebih tinggi

    (62 % siswa), dan pada akhirnya siswa tidak ingin memiliki karier di masa depan yang

    berhubungan dengan matematika (55% siswa). Hal yang diinginkan siswa adalah

    terlibat dalam diskusi kelompok dan kelas (90% siswa). Bantuan orang tua dan saudara

    sangat diharapkan siswa dalam pelajaran matematika (97% siswa).

  • 6

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    Kecemasan matematika dapat disebabkan oleh faktor dari dalam (intrinsik)

    dan dari luar diri siswa (ekstrinsik). Menurut Siroj (2003), anak yang kurang

    memiliki rasa percaya diri yang rendah akan mempengaruhi kemampuan

    matematikanya secara umum. Akibatnya ia akan selalu merasa bahwa ia tidak akan

    pernah memperoleh hasil yang baik dalam pelajaran dan bahkan ia akan cenderung

    mendapat kegagalan. Kalau hal ini benar-benar dialami oleh seorang murid maka

    ia akan selalu merasa cemas dalam mengikuti kegiatan belajar termasuk belajar

    matematika. Kecemasan matematika seperti inilah yang bersifat intrinsik atau trait

    anxiety.

    Selanjutnya, kecemasan matematika yang bersifat ekstrinsik atau state

    anxiety dapat disebabkan oleh faktor luar seperti orangtua atau guru. Perry (2004)

    menyatakan bahwa kecemasan matematika terdapat dalam diri orang dewasa,

    termasuk guru (Haylock, 2003). Finlayson (2014, hlm. 101) menyatakan bahwa

    para peneliti mengindikasikan banyak guru merasa tidak nyaman mengajar

    matematika, karena mereka sendiri tidak menyukai matematika atau karena mereka

    tidak percaya diri terhadap kemampuan matematika mereka sendiri.

    Kecemasan matematika yang disebabkan oleh guru, menurut Siroj (2003)

    bisa disebabkan oleh guru itu sendiri memiliki kecemasan terhadap matematika

    sebagai akibat dari praktik-praktik pembelajaran yang tidak sesuai, seperti kurang

    tepatnya guru dalam mengelola pembelajaran, tidak terstrukturnya bahan ajar yang

    mendukung tercapainya suatu kompetensi serta struktur pembelajaran yang tidak

    tertata dengan baik. Hilton (1980) menyatakan beberapa daftar penyebab kegagalan

    antara lain adalah; pengajaran yang kurang baik (bad teaching), buku texts/bahan

    ajar yang kurang baik (bad taxts), dan instrumen pendidikan yang kurang baik (bad

    educational instruments). McGuire (Suan, 2014: hlm. 13) menyatakan,

    ”many variables in low achievement of students, but this study focuses on the

    context of three indentified factors : First is teacher factor, which is compose

    of mastery of the subject matter, instructional techniques and strategies,

    classroom management, communication skills, and personality. Second is

    student factor which include study habits, time management, and attitude and

    interests towards mathematics. Third is environmental factor such as

    parents’ values attitudes, classroom settings, and peer group”

  • 7

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    Jadi, guru merupakan salah satu variabel penting yang mempengaruhi prestasi

    siswa dalam matematika. Penguasaan materi pelajaran, teknik dan strategi

    pembelajaran, kemampuan dalam manajemen kelas, kemampuan komunikasi guru

    serta kepribadian guru memiliki pengaruh terhadap proses belajar siswa.

    Kecemasan yang dialami guru pada saat guru mengajar matematika adalah

    perasaan cemas dan tertekan yang dialami oleh guru ketika mengajarkan konsep,

    teori, rumus, atau pemecahan masalah matematis (Peker, 2011). Kecemasan aspek

    ini berbeda dengan aspek kecemasan matematika secara umum. Apabila kecemasan

    matematika secara umum terkait dengan kecemasan seseorang berkaitan dengan

    kurangnya pengetahuan matematis dan kepercayaan dirinya akan matematika.

    Sebaliknya, kecemasan mengajar matematika adalah kecemasan individu berkaitan

    dengan kemampuan mengajar matematikanya (Dzulfikar, 2016). Rasa percaya diri

    yang tinggi dan kemampuan serta pengetahuan matematika yang baik merupakan

    syarat dasar bagi guru dalam mengajarkan matematika (Wilson, 2009). Guru yang

    memiliki kompetensi yang kurang memadai dapat menimbulkan rasa percaya diri

    yang rendah. Jadi, seorang guru selain memiliki pengetahuan yang baik dalam

    matematika juga harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengajarkan

    matematika.

    Kecemasan mengajar matematika ini berfokus pada bagaimana pandangan

    seseorang tentang kemampuannya untuk berinteraksi dengan siswanya dalam suatu

    kegiatan belajar mengajar matematika di kelas. Hubungan Guru-Siswa-Materi

    digambarkan oleh Kansanen sebagai sebuah Segitiga Didaktik yang

    menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi, serta hubungan

    pedagogis (HP) antara guru dan siswa (Suryadi, 2013). Gambaran segitiga didaktik

    dari Kansanen tersebut belum memuat hubungan guru-materi dalam konteks

    pembelajaran. Selanjutnya Suryadi (2013) menyatakan bahwa hubungan didaktis

    dan pedagogis tidak bisa dipandang secara parsial melainkan perlu dipahami secara

    utuh karena pada kenyataannya kedua hubungan tersebut dapat terjadi secara

    bersamaan. Hubungan didaktis tersebut digambarkan sebagai berikut;

  • 8

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    Gambar 1.1. Segitiga Didaktis Kansanen yang dimodifikasi (Suryadi, 2013)

    Suryadi (2013) menyatakan bahwa peran guru yang paling utama dalam

    konteks segitiga didaktis ini adalah menciptakan suatu situasi didaktis (didactical

    situation) sehingga terjadi proses belajar dalam diri siswa (learning stituation). Ini

    berarti bahwa seorang guru selain perlu menguasai materi ajar, juga perlu memiliki

    pengetahuan lain yang terkait dengan siswa serta mampu menciptakan situasi

    didaktis yang dapat mendorong proses belajar secara optimal. Dengan kata lain,

    seorang guru perlu memiliki kemampuan untuk menciptakan relasi didaktis

    (didactical relation) atau hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi ajar

    sehingga tercipta suatu situasi didaktis yang menyenangkan bagi siswa.

    Seorang guru pada saat merancang sebuah situasi didaktis, sekaligus juga

    perlu memikirkan prediksi respons siswa (aspek kognitif dan afektif siswa) atas

    situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta situasi didaktis baru. Antisipasi

    tersebut tidak hanya menyangkut hubungan siswa-materi, akan tetapi juga

    hubungan guru-siswa baik secara individu maupun kelompok atau kelas. Selain

    memperhatikan aspek kognitif, guru juga wajib memahami kondisi psikologis

    siswa. Dalam desain situasi didaktis, antisipasi guru terhadap kecemasan

    matematika dalam hubungan siswa-materi, guru-siswa dan guru-materi perlu

    dirancang guru sedemikan rupa. Menumbuhkan ketertarikan siswa terhadap

    matematika adalah langkah awal guru untuk menghilangkan rasa takut siswa

    terhadap matematika. Guru harus berupaya mempertahankan kondisi lingkungan

    belajar yang stabil dan nyaman, sehingga siswa tetap memiliki sikap positif

    terhadap matematika.

    GURU

    MATERI SISWA

    ADP HP

    HD

  • 9

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    Adanya unsur afektif berupa kecemasan matematika perlu diantisipasi dalam

    proses pembelajaran baik kecemasan guru maupun kecemasan siswa yang

    menyangkut hubungan guru dengan siswa, hubungan guru dengan materi, dan

    hubungan siswa dengan materi. Berdasarkan asumsi tersebut, maka ilustrasi

    segitiga didaktis Suryadi dapat dikembangkan sebagai berikut ini :

    Gambar 1.2. Modifikasi Segitiga Didaktis Suryadi oleh Peneliti

    Berdasarkan gambar 1.2. di atas, dalam proses pembelajaran matematika,

    kecemasan matematika dimiliki oleh guru dan siswa. Kecemasan guru meliputi

    kecemasan terhadap siswa, materi, dan pengajaran matematika. Selanjutnya Siswa

    memiliki kecemasan terhadap guru dan materi atau topik matematika yang harus

    dikuasai oleh siswa sesuai dengan tingkat pendidikannya.

    Salah satu topik matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang

    harus dikuasai siswa adalah konsep aljabar. Aljabar merupakan bahasa simbol dan

    relasi. Aljabar yang diperkenalkan oleh Al Khawarizmi pada abad ke -9 di pandang

    sebagai ilmu persamaan yang dapat digunakan sebagai alat untuk memecahkan

    masalah sehari-hari (Kieran, 2004, hlm. 140). Di Sekolah Dasar, bilangan

    disimbolkan dengan angka (number sense), dan di Sekolah Menengah Pertama,

    bilangan disimbolkan dengan angka, huruf, atau simbol lainnya (symbol sense).

    Peralihan dari number sense ke symbol sense ini merupakan transisi dari aritmetika

    ke aljabar.

    Perbedaan antara aritmetika dan aljabar terdapat pada penggunaan huruf

    dalam penyelesaian suatu masalah. Aritmetika dasar tidak menggunakan simbol-

  • 10

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    simbol selain angka dan operasi hitung dasar. Dalam pembelajaran aljabar,

    pemahaman aritmetika yang baik sangat diperlukan. Karena ketika siswa

    dihadapkan langsung dengan hal-hal yang abstrak, siswa akan merasa kesulitan

    untuk memahaminya. Oleh karena itu, terlebih dahulu siswa diberikan pemahaman

    lebih pada sesuatu yang konkrit. Begitu pula dengan pembelajaran aljabar, jika

    siswa tidak diberikan pemahaman aritmetika terlebih dahulu, maka siswa akan

    kesulitan untuk memahami aljabar. Untuk itu pada jenjang SD dan SMP, siswa

    harus memahami betul tentang apa itu aritmatika, sehingga ketika pada jenjang

    SMA, siswa akan lebih mudah menerima pembelajaran aljabar yang tingkatannya

    lebih tinggi dari materi aljabar yang telah mereka dapatkan pada jenjang SMP.

    Peralihan dari aritmetika ke aljabar ini tentu saja sulit untuk dilalui oleh siswa

    sekolah menengah pertama. Penyebab kesulitan siswa antara lain adalah masalah

    interpretasi huruf. Siswa seringkali mengalami kesalahan persepsi yaitu huruf

    dipandang sebagai objek tertentu, bukan mewakili bilangan, dan huruf juga sering

    dianggap melambangkan satu bilangan tertentu. Kesulitan interpretasi disebabkan

    kurang pahamnya siswa atas kesepakatan-kesepakatan (konvensi), guru

    menganggap bahwa siswa sudah mengerti dengan sendirinya.

    Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001) menyatakan bahwa dalam transisi dari

    aritmatika ke aljabar, siswa perlu membuat banyak penyesuaian, bahkan bagi siswa

    yang cukup mahir dalam aritmatika. Saat ini, pada umumnya aritmetika sekolah

    dasar cenderung beorientasi pada jawaban dan tidak fokus pada representasi dari

    aljabar itu sendiri. Kilpatrick, Swafford, & Findell menjelaskan sebagai berikut;

    “In the transition from arithmetic to algebra, students need to make many

    adjustments, even those students who are quite proficient in arithmetic. At

    present, for example, elementary school arithmetic tends to be heavily

    answer-oriented and does not focus on the representation of relations.

    (2001, hlm. 261-262)

    Peralihan ini dapat menimbulkan kecemasan dan hambatan perkembangan

    kognitif atau hambatan belajar (learning obstacle) bagi siswa dalam mempelajari

    konsep aljabar. Menurut Brousseau (Suryadi, 2016) ada tiga jenis hambatan belajar

    siswa, yaitu hambatan ontogeni (kesiapan mental belajar/kondisi psikologis siswa),

  • 11

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    hambatan didaktis (hambatan akibat pengajaran guru) dan hambatan epistemologi

    (hambatan yang terjadi karena pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi

    yang terbatas). Hambatan belajar ini meliputi aspek kognitif dan afektif siswa.

    Salah satu aspek ranah afektif seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah

    hambatan berupa aspek kecemasan siswa terhadap matematika.

    Mengingat dampak kecemasan yang cukup signifikan bagi perkembangan

    proses pembelajaran matematika siswa, maka perlu ada antisipasi agar kecemasan

    tidak selalu berdampak negatif terhadap siswa. Hutagaol (Supriatna, 2017)

    menyatakan bahwa salah satu solusi untuk mengantisipasi hambatan-hambatan

    belajar, mengurangi atau menghilangkan kesulitan-kesulitan yang muncul selama

    proses pembelajaran, maka guru harus merancang pembelajaran yang dapat

    mengakomodasi cara-cara berpikir siswa sehingga kompetensi yang diharapkan

    dapat tercapai sesuai dengan tujuan kompetensi.

    Rangkaian pembelajaran yang dirancang guru seharusnya memperhatikan

    bahwa setiap siswa memiliki pola atau alur berpikir yang berbeda dalam merespon

    sajian materi yang diberikan. Suryadi (2013) menyatakan bahwa dalam

    perencanaan pembelajaran, kebanyakan guru kurang mempertimbangkan

    keragaman respon siswa atas situasi didaktis (pola hubungan antara siswa dengan

    materi melalui bantuan sajian guru) yang dikembangkan, sehingga rangkaian situasi

    didaktis berikutnya kemungkinan besar tidak lagi sesuai dengan keragaman lintasan

    belajar (learning trajectory) masing-masing siswa.

    Clements & Sarama (2004) menjelaskan bahwa learning trajectory adalah

    gambaran pemikiran siswa saat proses pembelajaran berupa dugaan atau hipotesis

    dari serangkaian desain pembelajaran untuk mendorong perkembangan berpikir

    siswa agar tujuan pembelajaran matematika sesuai dengan yang diharapkan. Jika

    guru sudah mengetahui kesulitan-kesulitan dan hambatan yang mungkin dialami

    oleh peserta didik, maka guru perlu berpikir lebih awal untuk mempersiapkan

    bahan, metode dan strategi penyajian yang sesuai,sehingga peserta didik senantiasa

    berada pada lintasan alternatif atau hypotetical learning trajectory yang sesuai

  • 12

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    dengan harapan, sehingga bisa mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan

    (Supriatna, 2017).

    Suatu lintasan belajar mempunyai karakteristik adanya titik awal dan titik

    akhir. Selanjutnya lintasan belajar merupakan panduan guru dalam membuat

    Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang merupakan rencana pembelajaran

    guru berdasarkan antisipasi belajar siswa yang mungkin dicapai dalam proses

    pembelajaran, yang didasari oleh tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan

    pada siswa, pengetahuan dan perkiraaan tingkat pemahaman siswanya, serta pilihan

    aktivitas matematika secara berturut.

    Suratno (2016, hlm.8) menyatakan bahwa mutu pembelajaran bergantung

    kepada kecanggihan perancangan. Dalam praktiknya, merancang pembelajaran itu

    melibatkan serangkaian proses yang rumit, pelik dan unik. Tiga aspek yang

    mencakup kognitif, afektif dan psikomotorik sudah seharusnya terintegrasi dengan

    baik sesuai dengan porsinya. Guru tidak hanya fokus pada ranah kognitif saja, tapi

    juga harus memperhatikan ranah afektif yang berkaitan dengan kondisi psikologis

    siswa. Suryadi (2013) menyatakan bahwa “dua aspek mendasar dalam proses

    pembelajaran matematika yaitu hubungan siswa-materi dan hubungan guru-siswa,

    ternyata dapat menciptakan suatu situasi didaktis maupun pedagogis yang tidak

    sederhana bahkan seringkali terjadi sangat kompleks” Interaksi yang terjadi dalam

    proses pembelajaran sangat dinamis dan kompleks. Suan (2014, hlm. 14)

    menyatakan,

    “Learning process is a complex cognitive activity that happened in school

    and outside the school. The ability of the learner to engage with intellectually

    varies overtime on some other stimulus. It can be a motivation and support

    from a friend or the effect of peer group in the spirit of competitiveness. Some

    can be the parents’ values and attitudes and their academic influence or the

    school environment and classroom settings through visual aids. A complex

    process and variation can affect students in the learning process”

    Jadi, proses belajar yang terjadi di dalam sekolah dan di luar sekolah merupakan

    aktivitas kognitif yang kompleks. Lingkungan belajar dan setingan situasi kelas

    dapat mempengaruhi siswa dalam belajar.

  • 13

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil

    kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil

    interaksi diantara keduanya. Teori Piaget menerangkan perkembangan intelektual

    sebagai proses asimilasi dan akomodasi informasi dalam struktur mental. Asimilasi

    adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu

    dengan strukrur mental yang dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses

    menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman

    baru tadi (Hudoyo, 1988).

    Asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek dari proses yang sama. Kedua

    proses itu adalah dua aspek aktivitas mental yang pada dasarnya merupakan suatu

    proses yang melibatkan interaksi antara pikiran dan kenyataan, menstruktur hal-hal

    yang ada dalam pikiran, namun tergantung kepada bagaimana hal-hal itu ada dalam

    realita siswa. Dengan demikian, belajar tidak hanya menambah informasi dan

    pengalaman baru yang ditempelkan ke informasi dan pengalaman sebelumnya,

    tetapi setiap informasi dan pengalaman baru menyebabkan informasi dan

    pengalaman sebelumnya dimodifikasi untuk mengasimilasi-akomodasi informasi

    dan pengalaman baru tadi (Hudoyo, 1988)

    Informasi dan pengalaman yang disebut pengetahuan menurut Piaget

    bukanlah suatu klise realitas, melainkan rekonstruksi dari realitas. Jadi pengetahuan

    itu diperoleh manusia melalui proses asimilasi dan akomodasi. Siswa mendapatkan

    pengetahuan dan mengembangkan aktivitas mentalnya dengan cara menyesuaikan

    diri dengan lingkungan belajar. Penyesuaian terhadap lingkungan ini disebut Piaget

    dengan istilah adaptasi. Jadi adaptasi itu terdiri dari dua proses, yaitu asimilasi dan

    akomodasi (Hudoyo, 1988).

    Kecemasan siswa pada pembelajaran aljabar dapat diantisipasi jika konsep-

    konsep aljabar diberikan melalui pengalaman belajar yang dirancang dalam sebuah

    situasi didaktik yang memuat proses asimilasi dan akomodasi. Didaktik menelaah

    berbagai hal yang dilakukan guru berkaitan dengan apa isi materi, bagaimana

    mempelajari dan mengajarkannya, serta bagaimana mengembangkan sudut

    pandang terhadap isi materi pelajaran yang diajarkan. Agar dapat menimbang

  • 14

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    dengan jernih, guru memerlukan pengetahuan yang sistematis, terutama tentang

    bagaimana menjalani interaksi dengan siswanya dan menanggapi isu sosio-kultural

    dan moral berkaitan dengan pendidikan sekolah (Suratno, 2016).

    Pemahaman guru terhadap aspek kognitif dan psikologis siswa dapat

    mengantisipasi hambatan yang dapat menghambat perkembangan pengetahuan dan

    mental siswa. Suratno (2016, hlm.1) menyatakan bahwa penelitian didaktik

    berorientasi untuk membangun perhatian dan kepedulian guru terhadap

    perkembangan mental siswa serta kehidupannya di masyarakat sebagai basis

    penentuan keputusan profesionalnya. Suratno (2016, hlm.1) juga menyatakan

    bahwa tradisi penelitian didaktik memfokuskan kajiannya mengenai: 1) apa

    (memilih dan mengolah isi kurikulum); 2) bagaimana (memilih dan mengelola

    metode dan setting pengajaran); serta 3) mengapa dan untuk apa (alasan dan tujuan

    dari berbagai jawaban apa dan bagaiman tersebut). Jadi, seorang guru memiliki

    acuan berupa pertanyaan-pertanyaan yang menggiring dalam suatu koridor yang

    sistematis.

    Pertanyaaan ‘mengapa’ mengarahkan guru untuk menelusuri makna dan

    manfaat isi materi yang diberikan bagi kehidupan sehari-hari siswa. Selanjutnya,

    pertanyaan ‘untuk apa’ lebih memfokuskan kepada karakter siswa seperti apa yang

    akan dibentuk. Pertanyaan ini berhubungan dengan ekspresi dan ekspektasi terkait

    dengan eksistensi kehidupan siswa di masyarakat: pemahaman, perasaan dan

    interaksi sosial (Suratno, 2016, hlm.2). Rangkaian pertanyaan tersebut menuntun

    guru dalam melaksanakan praktik profesional guru yang berkaitan dengan

    perancangan, pelaksanaan dan refleksi terhadap fenomena interaksi kelas.

    Keterlibatan guru dalam menyelidiki beragam potensi belajar siswa serta

    kaitannya dengan peranan tata nilai yang membentuk situasi pembelajaran

    merupakan hal yang mutlak diperlukan. Perancanaan pembelajaran yang terstruktur

    diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yanga nyaman bagi siswa,

    sehingga potensi aspek kognitif dan afektif dan berkembang dengan optimal.

    Berdasarkan kajian teoritis tersebut, penulis meneliti bagaimana cara untuk

    mengantisipasi kecemasan matematika (mathematics anxiety) pada pembelajaran

  • 15

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    konsep aljabar di Sekolah Menengah Pertama dari perspektif Theory Didactical

    Situation (Teori Situasi Didaktis).

    B. Rumusan Masalah

    Adapun permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah :

    1. Bagaimanakah kecemasan matematika (mathematics anxiety) siswa dalam

    pembelajaran konsep Aljabar di Sekolah Menegah Pertama ?

    2. Bagaimanakah hambatan belajar (learning obstacle) siswa pada proses

    pembelajaran konsep Aljabar di Sekolah Menegah Pertama?

    3. Bagaimanakah hypotetical learning trajectory (HLT) yang dapat

    mengantisipasi kecemasan matematika siswa pada pembelajaran konsep

    Aljabar di Sekolah Menengah Pertama dari perspektif Theory of Didactical

    Situation (TDS) berdasarkan i?

    4. Bagaimanakah antisipasi kecemasan matematika (mathematics anxiety) dalam

    bentuk desain situasi didaktis berdasarkan HLT pada pembelajaran konsep

    Aljabar di Sekolah Menengah Pertama dari prespektif Theory of Didactical

    Situation (TDS)?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang bentuk

    antisipasi kecemasan matematika siswa sekolah menengah pertama pada

    pembelajaran konsep aljabar dari perspektif theory of didactical situation.

    D. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik dari segi teori, kebijakan,

    praktis, maupun isu serta aksi sosial, yaitu:

    1. Dari segi teori

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara teori, terutama

    bagi perkembangan penelitian pendidikan matematika.

  • 16

    Refi Elfira Yuliani, 2019 ANTISIPASI KECEMASAN MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP ALJABAR DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DARI PERSPEKTIF THEORY OF DIDACTICAL SITUATION Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

    2. Dari segi kebijakan

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada para pemangku

    kebijakan untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang sesuai dengan

    karakteristik peserta didik.

    3. Dari segi praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan

    keterampilan guru terutama guru matematika dalam mengantisipasi kecemasan

    matematika (mathematics anxiety) pada pembelajaran konsep aljabar.

    4. Dari segi isu serta aksi sosial

    Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi sekolah-sekolah

    menengah dan para guru untuk dapat berperan dalam meningkatkan kualitas

    pembelajaran.