bab i pendahuluan a. latar belakang...

23
14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan dunia telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan peningkatan intensitas kerja sama perdagangan regional, bilateral maupun multilateral. Salah satu bentuk kerja sama perdagangan adalah perdagangan furniture kayu. Industri furniture kayu telah lama diakui sebagai industri padat karya dan banyak menyerap tenaga kerja. Pengembangan industri ini diarahkan pada industri yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, berdaya saing global dan berwawasan lingkungan. Sampai saat ini, industri furniture kayu masih merupakan industri yang banyak menarik minat para pengusaha baik lokal, maupun internasional untuk terus memproduksinya karena nilai produknya yang cukup menjanjikan dan melihat adanya peluang produksi yang semakin hari semakin bertambah. Perekembangan industry furniture kayu yang cukup pesat juga terjadi di Indonesia. Industry furniture kayu di Indonesia tersebar di banyak wilayah seperti di Jepara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Banyaknya wilayah industry furniture kayu di Indonesia menyebabkan konsumsi produk hutan juga meningkat. Akan tetapi konsumsi produk hutan di Indonesia sebagian besar dilakukan secara illegal. Ada tiga faktor pendorong utama penyebab terjadinya illegal loging, degradasi hutan, dan berkurangnya bahan baku pada

Upload: trandung

Post on 29-Nov-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan dunia telah mengalami perkembangan yang pesat dalam

beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan peningkatan intensitas kerja sama

perdagangan regional, bilateral maupun multilateral. Salah satu bentuk kerja sama

perdagangan adalah perdagangan furniture kayu.

Industri furniture kayu telah lama diakui sebagai industri padat karya dan

banyak menyerap tenaga kerja. Pengembangan industri ini diarahkan pada industri

yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, berdaya saing global dan

berwawasan lingkungan. Sampai saat ini, industri furniture kayu masih

merupakan industri yang banyak menarik minat para pengusaha baik lokal,

maupun internasional untuk terus memproduksinya karena nilai produknya yang

cukup menjanjikan dan melihat adanya peluang produksi yang semakin hari

semakin bertambah.

Perekembangan industry furniture kayu yang cukup pesat juga terjadi di

Indonesia. Industry furniture kayu di Indonesia tersebar di banyak wilayah seperti

di Jepara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Banyaknya

wilayah industry furniture kayu di Indonesia menyebabkan konsumsi produk

hutan juga meningkat. Akan tetapi konsumsi produk hutan di Indonesia sebagian

besar dilakukan secara illegal. Ada tiga faktor pendorong utama penyebab

terjadinya illegal loging, degradasi hutan, dan berkurangnya bahan baku pada

15

industri furniture kayu. Pertama, perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan

tenurial yang lemah. Kedua, manajemen hutan yang tidak efektif. Ketiga, tata-

kelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah. Penggunaan bahan baku

yang illegal dilakukan untuk mendapatkan biaya yang rendah demi mendapatkan

keuntungan yang tinggi. Kondisi ini senada dengan pernyataan Loebis (2005), dua

cara perusahaan lokal untuk bersaing dalam ekonomi global yaitu low road dan

high road. Para pengusaha furniture Indonesia cenderung menggunakan cara low

road yang artinya mereka bersaing dengan membayar upah serendah mungkin

dengan mengabaikan standar lingkungan dan menghindari pajak.

Perusahaan yang menggunakan low road didominasi oleh para pengusaha

furniture kayu yang masih berskala kecil. Penggunaan low road oleh para

pengusaha dikarenakan bahan baku industri furniture kayu yang diperoleh secara

illegal didapat dengan proses yang mudah dan dengan biaya yang murah.

Pemerolehan bahan baku secara illegal menyebabkan kerusakan hutan dalam

bentuk deforestasi, konservasi keanekaragaman hayati serta berkurangnya bahan

baku produk kayu akibat penebangan liar. Kondisi ini menarik perhatian para

pemerhati lingkungan dunia sehingga tercetuslah ide sertifikasi untuk produk

furniture kayu Indonesia.

Sertifikasi produk furniture kayu berfungsi sebagai bukti pengesahan atau

seal of approval bahwa produk yang diberi label sertifikasi tersebut diproduksi

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan tentunya ramah lingkungan.

Sertifikasi produk furniture kayu diawali dengan adanya Standardization Regime

yang dibuat karena Trend konsumen dunia saat ini yang menginginkan produk

16

furniture kayu bersertifikat ramah lingkungan. Salah satu bentuk sertifikasi untuk

produk furniture kayu yang digunakan di Indonesia dan telah memenuhi standar

pasar internasional adalah Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK).

SVLK telah lama dicanangkan di Indonesia. Penggunaannya baru

diberlakukan pada awal Januari 2013 untuk kayu hasil hutan yang akan diekspor

ke luar negeri. Sementara itu, pemberlakuan SVLK pada produk furniture kayu

baru akan diberlakukan pada tahun 2015. SVLK sendiri merupakan suatu

kebijakan yang dihasilkan dari kerja sama antara Indonesia dan UE yang

digunakan untuk produk yang berbahan dasar kayu yang berarti juga digunakan

pada produk furniture kayu. Kebijakan sertifikasi ini merupakan penjaminan

ketaatan pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan serta pemilik hutan hak

dalam pemenuhan kewajiban pada kegiatan penebangan/pemanenan,

pengangkutan, pengolahan dan pemasaran hasil industri produk kayu sebagai

landasan bagi keberhasilan pengelolaan dan pemasaran hasil industri produk kayu,

sebagai landasan bagi keberhasilan pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan

penjaminan ketaatan industri primer, industri lanjutan, industri rumah

tangga/pengrajin dan eksportir.

Kebijakan sertifikasi SVLK untuk produk furniture kayu Indonesia

berfungsi untuk menunjukkan legalitas produk dan juga untuk mengembalikan

citra Indonesia dari negara yang dulu dikenal sebagai Illegal Logger, menjadi

negara pertama di Asia yang berkomitmen mempromosikan kayu legal dalam

perdagangan kayunya, khususnya ke pasar mancanegara. Penggunaan SVLK juga

17

diharapkan mampu untuk meningkatkan Added Value (daya saing) dan

memperluas pangsa pasar internasional.

Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk

furniture kayu melalui SVLK dalam perdagangan internasional dipengaruhi oleh

para actor yang terlibat di dalamnya. Para actor tersebut memberikan pengaruh

yang besar terhadap penciptaan dan pengimplementasian SVLK pada produk

furniture kayu. Kondisi yang saling mempengaruhi antar actor pembuat kebijakan

SVLK yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia, NGO, pihak UE, dan para

pengusaha furniture kayu seperti tergambar dalam konsep commercial diplomacy.

Prinsip utama diplomasi komersial dalam perdagangan global produk

furniture kayu Indonesia adalah adanya kerja sama yang terjalin antara pemerintah

Indonesia dengan UE untuk menciptakan dan memberlakukan SVLK pada produk

furniture kayu. Dalam hal ini, kebijakan SVLK sebagai sebuah kebijakan yang

bertaraf internasional yang diambil oleh pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh

para actor diantaranya UE, NGO, dan para pengusaha furniture kayu. Selain

adanya factor yang saling mempengaruhi antar actor tersebut, dalam diplomasi

komersial juga mencakup area perdagangan global sehingga SVLK yang

digunakan pada produk furniture kayu akan dapat diterima oleh pasar global

karena telah memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan oleh dunia

internasional.

Usaha pemerintah Indonesia untuk menghasilkan SVLK dan

menerapkannya pada furniture kayu Indonesia dalam lingkup diplomasi

perdagangan di pasar internasional menjadi menarik untuk dikaji. Hal ini

18

dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya pembuatan dan penerapan kebijakan

SVLK yang digunakan pada produk furniture kayu melibatkaan dua actor utama

yaitu pemerintah Indonesia dan UE dengan tujuan agar produk furniture kayu

Indonesia dapat memenuhi standar internasional dan dapat diterima di pasar

internasional; dan penerapan SVLK pada produk furniture kayu Indonesia dirasa

belum sepenuhnya maksimal karena belum semua perusahaan furniture memiliki

SVLK dikarenakan oleh beberapa alasan diantaranya adalah biaya SVLK yang

terlalu mahal, prosedur SVLK yang terlalu berbelit, dan lain sebagainya.

Berdasarkan dua alasan utama pada paragraph sebelumnya maka

penelitian ini fokus pada bagaimana upaya diplomasi perdagangan internasional

yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menciptakan SVLK yang

memiliki standar internasional sehingga dapat ditetima oleh pasar internasional;

dan fokus pada penerapan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesia

sebagai usaha untuk menaikkan daya saing produk di kancah internasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan

pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana sertifikasi SVLK berperan sebagai instrument diplomasi

perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menguraikan SVLK sebagai instrument

diplomasi perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional;

19

menggambarkan penggunaan SVLK pada produk furniture kayu; mendeskripsikan

penerapan SVLK pada produk furniture kayu dan upaya diplomasi yang dilakukan

Indonesia agar diterima di pasar internsional untuk menaikkan daya saing; dan

menyajikan hasil analisis model penerapan SVLK pada produk furniture kayu

dengan mengambil studi kasus pada industry furniture kayu di Yogyakarta.

D. Tinjauan Literatur

Penelitian dalam bidang sertifikasi yang mencakup sertifikasi produk

hutan maupun produk furniture kayu telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa

orang diantaranya adalah Indrawan (2012) dengan judul „Strategi Implementasi

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Industri Furniture di Indonesia‟.

Penelitian ini mengkaji tentang isu illegal logging dan illegal trading yang terjadi

di Indonesia beserta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi

SVLK pada industry furniture di Indonesia dan bagaimana strategi implementasi

SVLK pada industri furniture di Indonesia.

Penelitian kedua adalah dari Salam, Purwanto, dan Suherman (2013)

dengan judul ‟SVLK; Salah Satu Jenis Eco Label untuk Mengontrol Pergerakan

Kayu pada Industri Furnitur di Jepara‟. Penelitian ini bermula dari adanya

sorotan yang dilakukan oleh masyarakat internasional akan penggunaan bahan

baku dari hutan tropis yang dilakukan secara illegal sehingga menyebabkan

industri pengolahan kayu di Jepara terkena imbasnya. Oleh karenanya, penelitian

ini menekankan pada penerapan penerapan SVLK yang dilakukan oleh beberapa

industri furnitur kayu di Jepara; dan menjelaskan seberapa besar manfaat yang

20

diperoleh dari penerapan ekolabel tersebut dan kendala apa saja yang didapat dari

penerapan tersebut.

Penelitian ketiga adalah dari Sukradi (2009) yang menyingkap dua hal

penting yang banyak menjadi bahan perbincangan para pemerhati hutan dan

kehutanan. Pertama adalah tentang pengertian sertifikasi yang berbeda dengan

sustainable forest management. Kedua adalah mengenai pentingnya kriteria dan

indicator dalam Pengelolaan Hutan Lesari (PHL). Terdapat tiga aspek penting

yang digunakan sebagai kriteria dan indikator yaitu adanya keseimbangan antara

unsur-unsur ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sukradi menjelaskan

pentingnya menyeimbangkan ketiga aspek tersebut sehingga pemanfaatan

terhadap hutan dapat memeberikan keuntungan yang sebesar-besarnya baik bagi

negara maupun masyarakat sekitarnya tanpa mengorbankan aspek kelestarian

hutan dan fungsi ekologisnya.

Penelitian keempat adalah dari Haryadi (2009) yang mengkaji tentang

perkembangan industri furniture dengan sertifikasi di Indonesia dalam

menghadapi persaingan di pasar global. Penelitian ini menjelaskan bahwa

sosialisasi dan promosi perlu dilakukan untuk meningkatkan permintaan produk

furniture bersertifikat sehingga bila permintaan meningkat maka produsen akan

mau memproduksi walaupun dengan modal yang lebih tinggi karena harga

jualnya pun meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat

pengetahuan pelanggan akan mempengaruhi pilihan dari pelanggan tersebut.

Penelitian kelima adalah dari Hamilton dan Zilberman (2006) tentang daya

saing furniture dengan sertifikat. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa

21

keunggulan produk furniture bersertifikat dari sisi lingkungan merupakan bonus

tambahan, tetapi sering kali menjadi faktor yang menentukan antara nilai produk

dan kualitas. Mereka juga menjelaskan peran pemerintah dalam pengembangan

furniture bersertifikat dengan cara melakukan dan menggalakkan green public

procurement (GPP) terhadap furniture untuk memastikan bahwa pemerintah

berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.

Penelitian keenam adalah dari Alt (2001). Penelitian ini membandingkan

pendapat antara perusahaan bersertifikat dengan perussahaan yang tidak

bersertifikat. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perusahaan yang

memiliki sertifikat menyatakan bahwa faktor paling penting dalam suatu usaha

adalah marketing advantage, akses ke pasar baru, publikasi/dampak image; dan

faktor yang kurang penting adalah cost, demand, profits. Sedangkan untuk

perusahaan tidak bersertifikat, factor paling penting dalam suatu usaha adalah

profits.

Tinjauan literatur yang ketujuh diambil dari artikel dengan judul “Aspek

Perdagangan Terkait dengan Sertifikasi PHL” (1996). Artikel ini menjelaskan

tentang sertifikasi PHL dan pelabelan produk hasil hutan sebagaimana program

sertifikasi yang lain dan dimaksudkan untuk memberi informasi dan

meningkatkan kesadaran konsumen mengenai karakteristik produk hasil hutan

yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan.

Berdasarkan uraian tinjauan literature di atas, penelitian dalam tulisan ini

akan dikhususkan pada kajian bagaimana kebijakan SVLK pada produk furniture

kayu Indonesia berperan sebagai alat diplo,asi pada perdagangan Internasional

22

untuk meningkatkan daya saing produk furniture kayu di pasar internasional.

Penelitian ini juga merupakan studi kasus model penerapan SVLK pada industri

furniture kayu di Yogyakarta. Dengan melakukan studi kasus ini diharapkan hasil

yang didapat lebih spesifik dan lebih akurat.

E. Landasan Teori

Penelitian ini mengkaji bagaimana kebijakan sertifikasi SVLK pada

produk furnitur kayu berperan sebagai instrumen diplomasi baru perdagangan

global untuk menaikkan daya saing produk di pasar Internasional, maka

digunakanlah tiga landasan teori utama yaitu diplomasi komersial, konsep

sertifikasi dan daya saing yang akan diuraikan lebih rinci dalam pembahasan di

bawah ini.

Diplomasi Komersial adalah diplomasi dengan sentuhan komersial;

diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan

keputusan peraturan yang mempengaruhi perdagangan global dan investasi.

Diplomasi komersial meliputi seluruh analisis, advokasi, dan rantai negosiasi yang

mengacu pada perjanjian internasional tentang perdagangan yang berkaitan

dengan isu-isu terkait. Permasalahan dalam perdagangan yang terkait dengan

kebijakan tunduk pada negosiasi perdagangan. Hal ini cenderung sangat kompleks

dan menyentuh berbagai masalah kebijakan domestik, ketentuan hukum, masalah

kelembagaan, dan kepentingan politik.

Curzon, Saner & Yiu (dalam Kostecki dan Naray, 2007) menyebutkan

bahwa diplomasi komersial mencakup dua jenis kegiatan yang berbeda yaitu:

23

1. Kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan, contohnya

negosiasi perdagangan multilateral, konsultasi perdagangan, penyelesaian

sengketa; dan

2. Kegiatan-kegiatan pendukung bisnis.

Pembagian dua jenis kegiatan di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan

pertama mengacu pada diplomasi perdagangan dan dirancang untuk

mempengaruhi kebijakan pemerintah luar negeri dan peraturan keputusan yang

mempengaruhi perdagangan global dan investasi. Sedangkan kegiatan kedua

mencakup tindakan-tindakan pendukung bisnis yang dilakukan oleh para actor

yang terlibat dalam perdagangan global.

Beranjak dari dua jenis kegiatan dalam diplomasi komersial yang

dikemukakan oleh Curzon, Saner & Yiu, maka diplomasi komersial tidak hanya

digunakan untuk menganalisa isu perdagangan saja tetapi juga dapat digunakan

pada permasalahan lainnya seperti investasi, pariwisata, properti intelektual, dan

lain sebagainya. Penjelasan lebih rinci mengenai diplomasi komersial dapat dilihat

pada tabel 1 berikut:

24

Tabel 1 di atas menjelaskan bahwa fitur-fitur utama diplomasi komersial

dapat dikategorikan sebagai sebuah layanan yang meliputi layanan pemerintah,

diplomatik, publik, komersial, dan networking; dan juga menjelaskan implikasi

managerialnya. Pada tabel 1 di atas juga dijelaskan bahwa para aktor dalam

diplomasi komersial dibagi dalam dua kategori yaitu para aktor yang menduduki

Tabel 1: The Nature of Commercial Diplomacy Services and Their Managerial Implication (Sumber:

Kostecki, Michel dan Naray, Oliver. 2007. Discussion Papers in Diplomacy-Commercial Diplomacy

and International Bussiness. Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟

25

tingkat atas atau para aktor pembuat kebijakan utama (kepala negara, perdana

menteri, menteri atau anggota parlemen); dan ambasador dan para aktor yang

berada di level kedua seperti perwakilan perdagangan, commercial attache, atau

diplomat komersial.

Secara sederhana, diplomasi komersial dapat didefinisikan sebagai sebuah

diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan

keputusan-keputusan peraturan yang mempengaruhi perdagangan global.

Sehingga dalam diplomasi komersial, pemerintah Negara dalam hal ini bukanlah

satu-satunya aktor yang berperan, melainkan juga terdapat pihak swasta yang

berperan seperti asosiasi, NGO dan perusahaan swasta.

Pada penelitian kali ini, teori diplomasi komersial digunakan sebagai salah

satu teori untuk menganalisa upaya diplomasi perdagangan yang telah dilakukan

oleh pemerintah Indonesia terkait dengan kebijkan sertifikasi SVLK pada produk

furniture kayu di Indonesia agar diterima di Pasar Internasional. Seperti halnya

dengan kebijakan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu, kebijakan tersebut

dibuat oleh pemerintah yang dalam hal ini pemerintah bukanlah merupakan satu-

satunya actor yang berperan. Peran swasta pun ikut di dalam nya seperti asosiasi,

NGO, dan lain sebgaianya. Peran pemerinah Negara dan swasta bekerjasama

menghasilkan kebijakan dan kapasitas administrasi yang kuat pada sertifikasi

SVLK produk furniture kayu agar dapat bersaing dan dapat diterima di dalam

tatanan ekonomi dunia yang telah mengalami perubahan-perubahan. Susan

Strange dan John M. Stopford melihat bahwa negara dan swasta semakin saling

26

tergantung satu sama lain dalam menciptakan tatanan kebijakan yang dalam hal

ini sertifikasi SVLK produk furniture kayu.

Digunakannya SVLK sebagai sertifikasi produk furniture kayu yang akan

diperdagangkan sebagai akibat dari adanya tuntutan pasar yang menginginkan

kelegalan suatu produk. Hal ini senada dengan adanya konsep rezim sertifikasi

internasional. Elliot (1999) menjelaskan bahwa konsep sertifikasi adalah sebagai

instrument kebijakan. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa sertifikasi adalah

suatu alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kerja sama

untuk menetapkan standar suatu produk berdasarkan kesepakatan yang telah

mereka setujui atau berdasarkan standar yang telah ditetapkan secara

Internasional. Negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for

Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan Certification

sebagai :

The provision of information about product characteristic, such as those

that relate to the environment, to enable more informed consumer

purchasing decisions and to differentiate product and create markets for

the differentiate products (LEI,2005).

Definisi tersebut menggambarkan bahwa sertifikasi merupakan ketetapan

informasi tentang karakteristik suatu produk seperti yang berkaitan dengan

lingkungan; sertifikasi juga memberikan informasi kepada konsumen tentang

produk tersebut sehingga konsumen dapat dengan mudah untuk memutuskan

produk mana yang akan dibeli; dan sertifikasi juga merupakan pembeda antar

produk dan untuk menciptakan pangsa pasar yang berbeda untuk setiap produk.

Sertifikasi dalam penelitian ini dikhususkan pada sertifikasi produk

furniture kayu. Sertifikasi pada produk furniture kayu muncul sebagai akibat dari

27

meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap masalah kerusakan hutan

yang semakin tinggi yang terjadi di hampir seluruh Negara yang memiliki hutan.

Ghazali dan Simula (1994) mendefinisikan Certification sebagai :

A process wich result in a written statement which is certificate attesting

the origin of wood raw material and its status and/or qualifications

following validation by an independent third party (LEI, 2005a).

Mereka menjelaskan bahwa sertifikasi merupakan suatu proses yang

menghasilkan suatu dokumen yang menunjukkan kelegalan bahan kayu mentah

dan statusnya dan menujukkan bahwa produk kayu telah memenuhi kualifikasi

yang ditetapkan oleh pihak ketiga.

Senada dengan pengertian di atas, Forest Stewardship Council (FSC)

(2005) mendefinisikan Certification sebagai proses pengevaluasian terhadap hutan

atau daerah hutan untuk menentukan apakah mereka telah diatur berdasarkan

standar yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, semua produk hutan yang

dikelola oleh pemerintah maupun swasta harus memenuhi standarisasi yang telah

ditetapkan sehingga pemanfaatan produk hutan dapat diimbangi dengan

pelestariannya.

Konsep sertifikasi produk hutan dan produk furnitur kayu muncul dari

adanya Standardization Regime pada lingkup Internasional sebagai respon dari

adanya illegal logging dan illegal trade. Standardization Regime bertujuan

menjaga hutan dan bahan baku suatu produk yang dihasilkan dari hutan serta

mengembalikan kelestarian hutan sebagai sumber daya bahan baku pada produk

kayu secara berkelanjutan.

28

Standardization Regime merupakan perwujudan dari keinginan para

konsumen produk furnitur kayu dunia yang menuntut adanya produk yang ramah

lingkungan dan bersertifikat legal. Legalitas produk furnitur kayu menunjukkan

bahwa produk tersebut diproduksi dengan menggunakan cara yang benar dan

telah sesuai dengan standar yang ditetapkan mulai dari pengambilan bahan baku,

proses produksi, hingga distribusi akhirnya. Standardization Regime juga

berkaitan erat dengan organisasi independen yang mengembangkan standar

pengelolaan hutan untuk produk kayu dengan baik, dan sebagai auditor

independen yang mengeluarkan sertifikat untuk operasi pengelolaan produk hutan

yang sesuai dengan standar tersebut.

Standar yang digunakan pada masa Standardization Regime adalah berupa

sertifikasi yang mempunyai peran sebagai verivikator. Dengan adanya sertifikasi

pada produk hutan maupun produk furnitur kayu berfungsi memberikan

keterangan bahwa hutan dan produk hutan dikelola dengan baik berdasarkan

standar yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa produk kayu datang dari

hutan yang terkelola secara dengan baik sehingga dapat mewujudkan suatu tata

kelola yang baik (good governance).

Sertifikasi yang ditetapkan oleh setiap perusahaan, organisasi, maupun

negara baik itu yang bertaraf nasional maupun internasional yang digunakan pada

produk hutan maupun produk furnitur kayu memiliki standar yang berbeda.

Akibatnya, tidak ada manajemen pengelolaan hutan dan produk hutan yang ber-

standar tunggal dan setiap sistem mengambil pendekatan yang berbeda dalam

mendefinisikan standar untuk pengelolaan hutan dan produk hutan secara lestari.

29

Dari semua standar untuk produk hutan dan produk furnitur kayu yang telah ada

terdapat beberapa standar yang dapat digunakan secara umum. Standar ini

biasanya berupa standar yang ditetapkan dan diakui oleh dunia Internasional

seperti EUTR, Lacey Act, Green Konyuho, SVLK, dan lain sebagainya.

Standard produk hutan atau produk furnitur kayu yang telah ditetapkan dan

diakui oleh dunia Internasional dapat digunakan dalam perdagangan Internasional.

Standar ini sebagai prasyarat agar suatu produk dapat berkompetisi di pasar global

dengan lebih leluasa. Brenner (2001, dikutip dari tacconi et al, 2004:7-8)

menjelaskan bahwa sertifikasi diyakini membawa berbagai manfaat yang tidak

hanya di sektor lingkungan dan kehutanan saja tetapi juga sektor perdagangan,

yang diantaranya:

1. Peningkatan daya saing dan pendapatan: sertifikasi dapat

mengidentifikasi jenis produk bagi pembeli dengan alasan berikut : i)

harga premium yang signifikan, dan ii) preferensi merk dagang yang

kuat.

2. Pengurangan resiko: bagi produsen sertifikasi dapat berfungsi untuk

mengurangi resiko yaitu: i) resiko pasar, misal pasar luar negeri atau

pembeli utama meminta sertifikasi; ii) resiko peraturan: sertifikasi bisa

menghindari intervensi peraturan; iii) resiko citra; iv) resiko sumber

daya

3. Penggunaan biaya: skema sertifikasi menyatakan adanya peningkatan

efisiensi untuk industri yang bersertifikat: i) membaiknya skala

ekonomi, misal, lebih besarnya skala ekonomi dalam produksi,

pemasaran atau distribusi; ii) akses yang berbiaya efektif pada

teknologi dan proses baru; iii) menurunnya komplektisitas operasional,

misal efisiensi kegiatan-kegiatan umum dapat ditingkatkan setelah

penelitian dan analisis yang ketat dilakukan sebagai upaya sertifikasi.

4. Perbaikan tata kelola kehutanan : adanya sertifikasi diharapkan mampu

menjadikan tata kelola (governance) pada sektor kehutanan agar

menjadi lebih baik.

30

Seperti yang telah dikemukakan oleh Brenner (2001) di atas bahwa

sertifikasi mampu untuk meningkatkan daya saing suatu produk. Sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi yang diberlakukan pada produk furnitur kayu

dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan daya saing di pasar

regional maupun internasional.

Daya saing yang dimiliki oleh suatu produk akan menjadikan produk

tersebut mampu bertahan di pasar. Tyson menjabarkan daya saing sebagai

kemampuan kita untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji

persaingan internasional” (dikutip dari Cho dan Moon, 2003). Dengan kata lain,

daya saing adalah usaha yang dilakukan para produsen dalam memproduksi

barang dan jasa yang disesuaikan dengan standar internasional.

Menurut Alternbug (1998),

“daya saing merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi pasar

dengan mensuplai produk secara tepat waktu dan pada harga yang

kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon perubahan permintaan

secara cepat dan melalui manajemen diferensiasi produk yang sukses

dengan membangun kapasitas inovatif dan sistem pemasaran yang

efektif.” Penjelasan Alternbug dapat pula dilihat pada gambar 1 berikut:

Gambar 1: Konsep Daya Saing Menurut Altenburg (Sumber: LIPI, 2008)

31

Pada gambar 1, dijelaskan bahwa daya saing merupakan kemampuan suatu

barang dan jasa untuk bertahan di pasar yang didukung beberapa factor

diantaranya kemampuan untuk menyuplai barang dan jasa sesuai dengan waktu

yang dijadwalkan; pemberian harga yang kompetitif sehingga dapat dijangkau

oleh konsumen; melakukan respon yang cepat terhadap setiap perubahan atau

selera pasar; dan kemampuan untuk memberikan barang dan jasa yang berbeda

yang membedakannya dari produk lainnya sehingga dapat menarik minat

konsumen. Lebih lanjut, manajemen diferensiasi produk dipengaruhi oleh dua hal

yaitu kapasitas yang inovatif dan sistem pemasaran yang efektif.

Porter (1985) daya saing adalah sebagai suatu peluang untuk menerima

bisnis yang baru dan kesempatan untuk berinovasi dan berkembang. Daya saing

dalam lingkup perdagangan merupakan suatu kondisi dimana suatu produk yang

akan dipasarkan memiliki nilai lebih untuk bersaing dengan produk yang sama .

Daya saing suatu produk dipengaruhi oleh kompetitornya dan juga tempat produk

tersebut dijual sehingga suatu produsen suatu produk akan terus melakukan

inovasi agar produknya dapat bertahan di pasar. Kondisi ini senada dengan yang

dikemukakan Porter bahwa daya saing sebagai hal yang sifatnya eksternal.

Penjabaran daya saing dari Porter dapat dilihat secara lebih rinci pada gambar 2

berikut ini:

Gambar 2: Konsep Daya Saing Menurut Porter (Sumber: LIPI, 2008)

32

Berdasarkan gambar 2, konsep daya saing yang diberikan oleh Porter

menunjukkan bahwa daya saing memiliki dua fungsi utama. Fungsi yang pertama

adalah untuk meningkatkan produktivitas. Kondisi ini dapat diartinkan bahwa

dengan adanya daya saing maka para produsen barang dan jasa akan berlomba-

lomba untuk meningkatkan produksi barang dan jasanya. Porter menjelaskan

bahwa peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh peningkatan modal, tenaga

kerja, kualitas bahan baku, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Kemudian untuk

fungsi yang kedua adalah untuk melakukan perluasan pasar. Daya saing yang

dimiliki oleh suatu barang dan jasa akan menjadikannya mampu untuk

memperluas penyebaran barang dan jasa ke berbagai pasar. Porter mengatakan

bahwa terdapat empat faktor utama yang menentukan keunggulan bersaing

industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan

(demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and

supporting industry), dan struktur persaingan dan strategi industry (firm strategy,

structure and rivairy). Disamping itu, terdapat dua faktor yang mempengaruhi

interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu, faktor kesempatan (chance event)

dan faktor pemerintah (government).

Berpedoman dari beberapa konsep daya saing yang telah diuraikan di atas

maka konsep daya saing diyakini sesuai untuk menganalisa implementasi

sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesai untuk meningkatkan daya

saing di pasar Internasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa SVLK sedang

diperbincangkan sebagai salah satu sertifikasi yang dapat meningkatkan daya

saing produk furniture kayu Indonesia. Dari pengertian yang dijeaskan oleh

33

Porter, bahwa daya saing produk di pasar internasional dipengaruhi oleh kualitas

bahan baku yang dalam hal ini SVLK berperan dalam menciptakan bahan baku

yang berkualitas yang berasal dari bahan baku yang legal dengan proses produksi

yang benar.

F. Argumen Utama

Argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa penerapan

sertifikasi SVLK sebagai instrument diplomasi perdagangan baru pada produk

furniture kayu dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha industri

furniture kayu Indonesia yaitu mendapatkan akseptabilitas dari Negara-negara di

dunia khususnya UE. Karena dengan digunakannya SVLK pada produk furniture

kayu berarti bahwa produk furniture kayu tersebut telah memiliki standar yang

diminta oleh dunia internasional berupa jaminan legalitas produk yang artinya

bahwa produk tersebut juga memiliki daya saing sehingga dapat bertahan di pasar

internasional. Akan tetapi, penerapan SVLK pada produk furniture kayu belum

dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan

furniture dengan skala kecil menengah belum memiliki sertifikat SVLK. Mereka

terkendala biaya SVLK yang terlalu besar yang mencapai range Rp 20.000.000,00

sampai Rp 50.000.000,00 (sumber: ASMINDO Yogya, 2013) dan juga kurangnya

pemahaman terhadap SVLK akibat kurangnya sosialisasi. Masih adanya beberapa

pengusaha furniture kayu yang belum memiliki SVLK menjadi sebuah tantangan

tersendiri bagi pemerintah untuk dapat menyelesaikan hambatan yang dihadapi

34

oleh para pengusaha tersebut sehingga penerapan SVLK pada produk furniture

kayu dapat dioptimalkan sepenuhnya.

G. Jangkauan Penelitian

Pembatasan dalam penelitian ini perlu dilakukan guna menghindari

perluasan pembahasan. Batasan yang digunakan dalam penelitian meliputi tahun

pengambilan data yaitu pada dari tahun 2009 sampai tahun 2013; pembatasan

wilayah pengambilan data hanya pada wilayah industry furniture kayu yang ada di

Yogyakarta; dan konsep sertifikasi yang digunakan adalah SVLK.

H. Metodologi Penelitian

Metodologi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu metode

penelitian dan teknik pengumpulan data.

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Neuman (1991, 328) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif

berkaitan erat dengan pengumpulan dan penganalisaan data kualitatif. Metode ini

digunakan sebagai prosedur penelitian untuk mendapatkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis dari sumber literatur atau lisan dari nara sumber.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini didapat dari dua sumber yakni data

primer dan data sekunder. Penulusuran Informasi data primer yang diperoleh dari

narasumber yang relevan dan terpercaya baik melalui penelitian lapangan maupun

35

telaah literatur, serta mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari

beragam literatur seperti buku, jurnal, dokumen ataupun rilis media sebagai data

penunjang. Subjek penelitian dan pengambilan sampel dilakukan secara

purposive, yang berarti dipilih menurut tujuan penelitian.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian.

Bagian pertama yaitu Bab I yang akan menjelaskan tentang latar belakang

penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan literatur, landasan teori,

argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan. Bagian kedua adalah Bab II yang akan menjelaskan beberapa bagian

diantaranya: perkembangan diplomasi perdagangan pada produk furnitur kayu,

sertifikasi SVLK sebagai bentuk baru diplomasi perdagangan pada produk

furnitur kayu, upaya diplomasi perdagangan pemerintah Indonesia terkair

sertifikasi SVLK pada produk furnitur kayu, dan SVLK pada produk furnitur kayu

di Indonesia. Bagian ketiga adalah Bab III yang akan menguraikan tentang

kebijakan dan peran pemerintah dalam implementasi sertifikasi SVLK di pasar

internasional, para aktor yang berperan dalam SVLK pada produk furniture kayu,

hambatan SVLK pada produk furniture kayu, SVLK sebagai upaya meningkatkan

daya saing produk furniture kayu di pasar internasional, dan ekspor produk

furniture kayu Indonesia. Bagian keempat yaitu Bab IV yang akan memaparkan

tentang studi kasus yang dalam penelitian kali ini akan berfokus pada model

penerapan Sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu di Yogyakarta. Bagian

36

kelima adalah Bab V yang akan memaparkan tentang kesimpulan yang berisi

rangkuman dari bab I sampai bab IV serta akan menjelaskan hasil akhir dari studi

kasus yang telah dilakukan.