bab i pendahuluan a. latar belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric substance (EPS) (Donlan, 2002). Bentuk biofilm sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis, kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga mampu membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri terhadap antibiotik (Stephens, 2002). Pembentukan plak gigi dan pembusukan gigi merupakan contoh mudah dari pengaruh biofilm terhadap kesehatan manusia (Bradshaw dkk., 1996; Li dkk., 2001). Biofilm berperan pula dalam penyakit- penyakit yang lebih parah seperti infeksi device-related (infeksi kateter, katup jantung buatan, sendi prostetik dsb.) oleh biofilm Staphylococci, infeksi endokarditis oleh biofilm Streptococci, maupun pneumonia cystic fibrosis oleh biofilm P. aeruginosa (Hall-Stoodley dkk., 2004). Biofilm juga berperan signifikan dalam gangguan di sistem otolaring manusia seperti otitis media, sinusitis kronis, tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring (Viveros, 2014). Infeksi patogen oportunistik dapat pula berasal dari lapisan biofilm patogen yang terbentuk di sistem air unit dental, sistem air rumah sakit, hingga saluran-

Upload: nguyennhi

Post on 15-Apr-2018

233 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel

pada suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular

polymeric substance (EPS) (Donlan, 2002). Bentuk biofilm sesungguhnya

merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis,

kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga mampu

membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit

dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri

terhadap antibiotik (Stephens, 2002). Pembentukan plak gigi dan pembusukan

gigi merupakan contoh mudah dari pengaruh biofilm terhadap kesehatan manusia

(Bradshaw dkk., 1996; Li dkk., 2001). Biofilm berperan pula dalam penyakit-

penyakit yang lebih parah seperti infeksi device-related (infeksi kateter, katup

jantung buatan, sendi prostetik dsb.) oleh biofilm Staphylococci, infeksi

endokarditis oleh biofilm Streptococci, maupun pneumonia cystic fibrosis oleh

biofilm P. aeruginosa (Hall-Stoodley dkk., 2004). Biofilm juga berperan

signifikan dalam gangguan di sistem otolaring manusia seperti otitis media,

sinusitis kronis, tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring (Viveros,

2014). Infeksi patogen oportunistik dapat pula berasal dari lapisan biofilm patogen

yang terbentuk di sistem air unit dental, sistem air rumah sakit, hingga saluran-

2

saluran peralatan endoskopi (Lindsay dan von Holy, 2006). Donlan (2002),

menduga ada 4 sifat biofilm yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat

yakni:

a. pelepasan agregat biofilm pada saluran kemih atau pembuluh darah

menyebabkan penyakit infeksi hingga emboli

b. sel beresiko mengadakan pertukaran plasmid dengan biofilm, yang mana

dikhawatirkan plasmid yang dipertukarkan bersifat resisten antibiotik

c. sel biofilm mampu menurunkan kemampuan kerja senyawa antimikroba

d. biofilm resisten terhadap sistem imun inangnya

Staphylococcus aureus adalah salah satu flora normal manusia dan diketahui

juga memiliki kemampuan membentuk biofilm. S. aureus merupakan bakteri yang

paling banyak menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan manusia, meskipun

sifatnya hanya sporadik bukan endemik (Anonim, 1993). Dalam bentuk

biofilmnya, S. aureus mampu menyebabkan penyakit yang lebih kompleks pada

manusia. Biofilm S. aureus telah terbukti berperan dalam kasus chronic

rhinosinusitis (CRS). Studi yang dilakukan oleh Kamath dkk. (2013)

menunjukkan bahwa S. aureus hadir pada 43% dari apusan/ biopsi sinus paranasal

pasien CRS. Jaringan sinus penderita CRS mengandung intraepithelial

Staphylococcus aureus (IESA), yang mana 100% jaringan dengan IESA terdapat

pula biofilm. Adanya biofilm S. aureus dikaitkan dengan penyakit yang lebih

parah serta proses pemulihan yang lebih lambat pasca operasi. (Hamilos, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Rebiahi dkk. (2014) menunjukkan bahwa biofilm

3

S. aureus berperan dalam timbulnya infeksi nosokomial neonatus dan terbukti

biofilm 100 kali lebih resisten terhadap konsentrasi regimen antibiotik.

Resistensi S. aureus menjadi masalah besar di masa kini. S. aureus memang

secara lumrah diketahui peka terhadap semua jenis antibiotik yang pernah

dikembangkan, namun juga diketahui bahwa S. aureus memiliki kemampuan

untuk menjadi resisten terhadap semua jenis antibiotik (Chambers dan DeLeo,

2009). Resistensi S.aureus diawali dengan resistensinya terhadap penisilin,

dimana 20 tahun setelah penggunaan penisilin, 80% S. aureus sudah resisten

terhadap penisilin. Kejadian ini diikuti dengan berbagai macam bentuk resistensi

S.aureus seperti Methicillin Resistance S. aureus (MRSA) hingga Vancomycin

Resistance S. aureus (VRSA), tak lama setelah dikenalkannya antibiotik metisilin

dan vankomisin (Lowy, 2003). Pembentukan biofilm juga memicu terbentuknya

sifat resisten S. aureus terhadap antibiotik. Biofilm mendorong pembentukan sel

S. aureus yang toleran terhadap antibiotik serta menciptakan sel persister. Sel

persister adalah sel yang beradaptasi terhadap antibiotik dengan cara mengurangi

ketergantunganya terhadap bagian sel yang menjadi target antibiotik maupun

menghentikan produksi target antibiotik di dalam sel (Lewis, 2010).

Pembentukan biofilm juga makin menyulitkan terapi pada kasus infeksi

bakteri yang resisten. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA

pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone,

siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan tobramisin. Amorena dkk.

(1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan

difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme

4

yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme

bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik,

Terapi antibiotik merupakan terapi yang umum dijumpai pada kasus infeksi

oleh bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang secara luas dipakai dalam terapi

adalah eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol. Sayangnya penggunaan

antibiotik tersebut juga tidak terlepas dari masalah resistensi. Penelitian

menunjukkan rendahnya sensitivitas antibiotik-antibiotik di atas terhadap MRSA

(Onwubiko dan Sadiq, 2011). Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka

panjang, seperti pada kasus penyakit kronis, sering menimbulkan masalah akibat

munculnya efek samping dari antibiotik yang bersangkutan. Eritromisin dalam

dosis besar mampu menimbulkan gangguan jantung yang menimbulkan aritmia

hingga toksisitas kardiak terutama pada pasien dengan gangguan jantung

sebelumnya (Berthet dkk., 2010). Kejadian ototoksisitas terjadi pada pasien yang

mendapat terapi streptomisin selama beberapa minggu (McDermott, 1947).

Kloramfenikol juga memiliki efek samping yang besar yakni supresi sumsum

tulang belakang dan aplastic anemia (Abdollahi dan Mostafalou, 2014).

Pada masa sekarang ini, berbagai tanaman telah diketahui mengandung

berbagai kandungan yang aktif secara biologis, serta bermanfaat dalam

pengobatan terutama dalam terapi antimikroba (Yoo dkk., 2007). Tanaman sirih

(Piper betle L.) telah dikenal memiliki aktivitas antibakteri yang baik, dimana

ekstrak etanolik daun sirih menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap

Eschericia coli, S. aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Khan dan Kumar,

2011). Salah satu bentuk pemanfaatan yang baik dari tanaman obat adalah sebagai

5

bahan kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari antibiotik dan mencegah

timbulnya kasus resistensi bakteri akibat obat sintetik (Hemaiswarya, 2008).

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak etil asetat-

heksan daun sirih dan ampisilin mampu menunjukkan penghambatan

pertumbuhan bakteri S. aureus (Rao dkk., 2011). Kemampuan sirih dalam

menghambat pertumbuhan biofilm juga telah diteliti. Penelitian Adityaningrum

(2010) menunjukkan bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa

antibofilm S. mutans. Kawsud dkk. (2014) juga menemukan bahwa ekstrak daun

sirih potensial sebagai antibiofilm C. albicans. Aktivitas sirih ini diduga akibat

kandungan dari hidroksikavikol, kavibetol, dan eugenol (Dwivedi dan Tripathi,

2014). Kandungan hidroksikavikol diketahui dapat menekan pertumbuhan biofilm

sedangkan senyawa eugenol diketahui mampu menghambat sistem quorum

sensing yang penting bagi pembentukan biofilm.

Aksi hidroksikavikol diketahui berasal dari kemampuannya untuk

mengubah struktur membran sel, sehingga terjadi gangguan terhadap barrier

permeabilitas dari struktur membran mikroba (Sharma dkk., 2009). Eugenol

sendiri diketahui mampu mengubah permeabilitas membran sel yang

menyebabkan kebocoran protein maupun lipid dari mikroba (Oyedemi dkk.,

2009). Kedua senyawa tersebut diharapkan mampu meningkatkan suseptibilitas

sel S. aureus terhadap mekanisme antibiotik. Mekanisme kerja antibiotik yang

dimaksud seperti penghentian sintesis protein dengan pengikatan ribosom oleh

kloramfenikol; penghambatan sintesis protein, kesalahan pembacaan kode

genetik, hingga perubahan transpor dan permeabilitas sel oleh streptomisin;

6

maupun penghambatan sintesis protein ribosomal pada mitokondria oleh

eritromisin (Scholar dan Pratt, 2000).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa tanaman sirih merupakan

sumber bahan antibiofilm yang potensial. Dengan pelaksanaan penelitian ini,

akan diteliti efek kombinasi bahan alam, dalam hal ini minyak atsiri sirih, dengan

beberapa jenis antibiotik antara lain kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin

untuk mengetahui apakah kombinasi minyak atsiri sirih bersama dengan antibiotik

memberikan efek sinergis dalam menghambat pertumbuhan biofilm dari S.

aureus. Minyak atsiri sirih diharapkan mampu menghambat pembentukan biofilm

S. aureus melalui kandungan hidroksikavikol dan eugenol, sehingga membantu

penetrasi antibiotik melewati biofilm S. aureus dan meningkatkan efikasi

antibiotik. Ketiga antibiotik yang dipilih diketahui telah menunjukkan penurunan

efikasi hingga resistensi terhadap infeksi S. aureus, sehingga diharapkan dengan

dikombinasikan dengan minyak atsiri sirih terjadi peningkatan efektivitas

antibiotik serta mencegah timbulnya resistensi S. aureus terhadap antibiotik-

antibiotik tersebut.

Bila ditemukan sinergisme yang diharapkan, maka hasil penelitian ini dapat

dikembangkan ke tahap formulasi untuk pemanfaatannya. Formula yang dapat

dikembangkan antara lain salep antibiotik-minyak atsiri untuk mengobati infeksi

biofilm S. aureus di kulit, terutama untuk pasien luka bakar. Formula pasta gigi

juga dapat dikembangkan untuk tujuan pengobatan infeksi-infeksi pada rongga

mulut.

7

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah efektivitas minyak atsiri sirih terhadap fase planktonik dan

biofilm S. aureus ?

2. Apakah kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol,

streptomisin, dan eritromisin akan menunjukkan aktivitas antibiofilm yang

lebih tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Menemukan sumber senyawa antibiofilm dari bahan alam

Tujuan Khusus

Meneliti kemungkinan aktivitas sinergisme antara kombinasi minyak atsiri

sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan, eritromisin dalam

menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus.

D. Tinjauan Pustaka

1. Biofilm

Biofilm merupakan kumpulan dari sel mikroba yang secara irreversible

terikat pada permukaan, serta ditutupi oleh matriks polisakarida. Biofilm dapat

menempel pada hampir semua permukaan termasuk alat-alat kesehatan, pipa-pipa

industri, maupun jaringan hidup. Matriks biofilm cukup kompleks dan dapat

mengandung berbagai material non-biofilm seperti kristal mineral, komponen

darah, atau komponen tanah. Komposisi utama biofilm selain sel mikroba adalah

8

extracellular polysaccharides substance (EPS) yang mencapai hingga 50-90%

dari biofilm (Donlan, 2002). Sel-sel mikroba dalam biofilm berkomunikasi

menggunakan sistem yang disebut Quorum Sensing. Quorum sensing merupakan

kemampuan mikroba untuk mengukur densitas sel (jumlah mikroba) dengan

mengukur jumlah akumulasi sekresi sinyal molekul yang dihasilkan sel.

Kemampuan quorum sensing ini mampu memberikan kemampuan bioluminensi

(contoh: Vibrio fischeri), pembentukan biofilm (contoh: S. aureus), atau produksi

eksoenzim pada bakteri (contoh: C. albicans) (Solano dkk., 2014; Diggle dkk.,

2007).

Pembentukan biofilm diawali dengan pergerakan mikroba menuju ke

permukaan objek. Mikroba mendekati permukaan objek lalu berinteraksi langsung

dengan permukaan atau mikroba lain yang sudah menempel sebelumnya (Watnick

dan Kolter, 2000). Mikroba yang mendekati permukaan, akan menempel baik

secara reversible maupun irreversible. Penempelan reversible dapat terjadi akibat

gerak Brown, aliran konveksi, atau interaksi mikroba dengan permukaan.

Penempelan irreversible terjadi saat sel mikroba menghasilkan EPS yang

membentuk ikatan dari sel ke sel, dan melekatkan kumpulan sel ke permukaan

objek. Pelekatan irreversible ini memicu kolonisasi dari mikroba, dimana sel-sel

mikroba tumbuh dan membelah membentuk mikrokoloni yang menyusun biofilm

(Lindsay dan von Holy, 2006). Bila kondisi lingkungan berubah dan kurang

menguntungkan bagi mikroba, sel mikroba dapat melepaskan pelekatannya dan

pergi ke lingkungan yang lebih menguntungkan (Watnick dan Kotler, 2000).

9

Gambar 1. Fase-fase pembentukan biofilm.

Sel planktonik mikroba berwarna kuning menempel pada batu, membentuk mikrokoloni

dan membentuk biofilm. Bila kondisi lingkungan tidak mendukung, sel terlepas untuk mencari

lingkungan yang lebih baik (Watnick dan Kolter, 2000).

Keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit telah banyak diteliti. Berbagai

infeksi terkait biofilm antara lain adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan, infeksi

endokarditis, dan pneumonia pada penderita cystic fibrosis (Hall-Stoodley dkk.,

2004). Biofilm juga menjadi faktor timbulnya berbagai gangguan pada sistem

otolaring manusia. Pada kasus otitis media yang sering menyerang anak, telah

dapat didemonstrasikan pembentukan agregat mikroba di membran mukosa pada

otitis media buatan. Biofilm juga dihubungkan dengan timbulnya sinusitis kronis,

tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring, dimana biofilm menyebabkan

resistensi pengobatan dan kekambuhan berulang. Membran mukosa yang

terinfeksi biofilm juga diketahui kehilangan seluruh sel silia-nya (Viveros, 2014).

Sel Planktonik

Penempelan Sel

Mikrokoloni

Biofilm

Pelepasan Sel

10

Lindsay dan von Holy (2006) menyebutkan bahwa biofilm memiliki

kemampuan untuk melindungi bakteri dari senyawa-senyawa asing. Biofilm

diasosiasikan pula dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Kemampuan proteksi ini masih belum dimengerti sepenuhnya, namun beberapa

teori yang diajukan antara lain:

a. Extracellular Polymeric Substance (EPS) biofilm bereaksi secara

kimiawi dengan antibiotik/senyawa asing ataupun membentuk

penghalang difusi

b. Biofilm mengubah sistem transpor membran ataupun melepaskan

molekul yang dapat menginaktivasi antibiotik

c. Biofilm memiliki sistem stress-response rpoS yang akan menurunkan

tingkat pertumbuhan mikroba, dan menganggu aksi kerja antibiotik

d. Biofilm menghasilkan enzim yang mengubah molekul antibiotik menjadi

inaktif

e. Biofilm yang memiliki plasmid resisten-antibiotik, dapat mengkode

resistensi terhadap antimikroba lain

f. Biofilm memproduksi sel persister, yakni fenotip resisten mikroba yang

sangat toleran terhadap antibiotik

g. Beberapa jenis permukaan memiliki kemampuan untuk menahan biofilm

lebih baik sehingga menyulitkan eliminasi biofilm

11

2. Staphylococcus aureus dan biofilmnya

S. aureus adalah bakteri berdiameter 0,8-1,0 mikron, tidak bergerak,

tidak berspora, dan merupakan bakteri Gram positif (Anonim, 1993). Bila

sudah tua, sel S. aureus cenderung menjadi bersifat Gram negatif. S. aureus

tumbuh paling cepat pada 37°C, membentuk pigmen paling baik di 20°C

dimana S. aureus berwarna kuning keemasan (Jawetz dan Ade, 1986). Sifat

utama dari koloni Staphylococcus adalah membentuk agregat berbentuk

anggur serta infeksinya menimbulkan nanah pada kulit manusia. S. aureus

dapat menghasilkan toksin yang mampu menyebabkan keracunan makanan

bila tertelan (Hugo dan Russel, 1987).

Biofilm dari S. aureus bersama dengan biofilm S. epidermidis

merupakan penyebab utama dari infeksi nosokomial dan implan alat medis

pada manusia (Otto, 2008). Biofilm S. aureus juga mampu menyebabkan

penyakit kronis seperti chronic rhinosinusitis dengan menginfeksi sinus

penderita hingga terjadi hilangnya sel silia dan sel goblet (Kamath dkk., 2013;

Hamilos, 2014; Ramadan dkk., 2005). Infeksi lain terkait biofilm S. aureus

termasuk osteomyelitis dan endokarditis. Terapi antibiotik untuk infeksi-

infeksi diatas umumnya terhalangi oleh kehadiran biofilm (Costerton dkk.,

1999).

Biofilm S. aureus memang telah diketahui terlibat dalam resistensi

terhadap antibiotik. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm

MRSA pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin,

ceftriaxone, siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan

12

tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat

beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang

kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi

antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas

antibiotik,

Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara mendalam.

Archer dkk. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai jalur

pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm

melalui jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA.

PIA (polysaccharide intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara

in vitro dari UDP-N-acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular

adhesion (ica). Pada jalur PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam

pembentukan biofilm serta berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA

diproduksi maka biofilm juga akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat

terbentuk melalui jalur PIA-independent, yang mana tidak mementingkan

lokus gen ica. Penghapusan lokus ica terbukti tidak menurunkan virulensi

biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan delesi ica, ditemukan bahwa

protein A (SpA) yang berperan penting dalam pembentukan biofilm. Jalur

lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm adalah eDNA

(extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan DNA

pada matriks awal biofilm, yang mana mendukung struktur pembentukan

biofilm.

13

Gambar 2. Citra TEM Biofilm S. aureus

Biofilm diambil dari implan alat medis yang ditanam pada peritoneum tikus selama 5 hari.

Bakteri S. aureus terlihat di permukaan biofilm, tercampur dengan material inang, sedangkan

bakteri yang telah lisis tersebar di dalam matriks biofilm. (Sumber: Archer, 2011)

Biofilm S. aureus diatur oleh 2 regulator utama yakni staphylococcal

accessory regulator (sarA) dan accessory gene regulator (agr) (Fournier

dkk., 2001). SarA berperan dalam pertumbuhan biofilm S. aureus dan dapat

mencegah degradasi eDNA dan protein yang menjadi struktur utama biofilm.

Regulator agr sendiri berperan pada quorum sensing dari S. aureus dengan

menurunkan tingkat perlekatan S. aureus dengan permukaan, sehingga terjadi

penurunan tingkat pembentukan biofilm. Penekanan agr penting untuk

pembentukan biofilm, sedangkan induksi agr pengting untuk penyebaran

biofilm yang telah matang (Boles dan Horswill, 2008).

3. Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah minyak yang diproduksi oleh tanaman,sejenis dan

merupakan campuran dari senyawa organik volatil yang memberikan rasa dan

keharuman dari tanaman (Tisserand dan Young, 2014).

14

Proses destilasi uap merupakan cara utama dalam produksi minyak atsiri.

Terdapat 3 macam cara destilasi yang dapat digunakan yakni destilasi air

(hydrodistillation), destilasi uap dan air (wet steam), dan destilasi uap (dry steam).

Pada destilasi air, bahan tanaman direbus dalam air, dan uap yang dihasilkan

dialirkan ke kondensor untuk diembunkan menjadi minyak atsiri. Metode ini

sangat mudah dilakukan, namun sangat sulit mengatur panas yang diberikan

sehingga laju destilasi tidak terkontrol. Panas berlebih pada metode destilasi air

juga dapat memberi bau hangus pada minyak atsiri, sehingga menurunkan kualitas

minyak yang dihasilkan. Metode ini juga lebih membutuhkan banyak panas dan

air sehingga memakan banyak biaya. Pada destilasi air dan uap, bahan tanaman

diletakkan diatas permukaan air yang direbus meggunakan suatu sekat, sehingga

bahan tanaman lebih terlindungi dari resiko overheated. (Fairman, 1992) Pada

destilasi uap, uap dihasilkan dari boiler lalu ditiupkan melalui pipa-pipa menuju

tanaman yang ditempatkan pada tray atau keranjang berlubang. Penggunaan uap

bertekanan tinggi lazim digunakan di Amerika dan Eropa, sebab dengan suhu

yang tinggi terjadi peningkatkan kecepatan destilasi (Kubeczka, 2010). Selain

cepat, metode destilasi uap juga lebih hemat energi, namun senyawa-senyawa

seperti ester sangat mudah rusak dalam proses ini. (Fairman, 1992)

Destilat awal minyak atsiri biasanya diletakkan dalam botol Florentine,

yang memiliki outlet di bagian atas dan dibawah. Destilat kemudian dibiarkan

memisah, dan lapisan minyak dikumpulkan sebagai minyak atsiri. Lapisan air

yang dijenuhi minyak dapat didestilasi kembali ataupun langsung menjadi produk

komersial seperti air mawar ( Evans dan Evans, 2002)

15

Terpenoid merupakan kandungan utama dari minyak atsiri. Terpenoid

adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari isoprena (2-metilbutadiena).

Isoprena menjadi building block dari terpenoid pembentuk minyak atsiri, sehingga

meskipun isoprena sangat jarang ditemukan di minyak atsiri, rangka isoprena

sangat mudah ditemukan pada terpenoid-terpenoid penyusun minyak atsiri.

Terpenoid dibentuk dari asam mevalonat yang dibuat dari tiga asetil CoA.

Fosforilasi dari asam mevalonat diikuti eliminasi dari alkohol tersier dan

dekarboksilasi gugus asam membentuk isopentenil pirofosfat, yang berisomerisasi

menjadi prenil pirofosfat. Kopling 2 buah prenil pirofosfat membentuk geranyl

pirofosfat dengan 10 unit atom karbon. Penambahan lebih lanjut akan isopentenil

pirofosfat membentuk molekul dengan atom karbon berjumlah 15-, 20-, 25-, dan

seterusnya. Terpenoid yang pertama kali dipelajari adalah monoterpenoid dengan

10 atom karbon, dan menjadi dasar penamaan terpenoid. Hemiterpenoid

mengandung 5 atom karbon, sesquiterpenoid mengandung 15 atom karbon, dan

diterpenoid mengandung 20 atom karbon. Hanya hemiterpenoid, monoterpenoid,

dan sesquiterpenoid yang cukup volatil untuk menjadi penyusun minyak atsiri

(Sell, 2010). Selain dibentuk dari terpenoid, beberapa minyak atsiri merupakan

senyawa fenilpropanoid yang dibentuk melalui jalur asam sikimat. Meskipun

jumlah senyawa minyak atsiri fenilpropanoid lebih sedikit dibanding terpenoid,

namun senyawa fenilpropanoid cukup signifikan sebagai penyusun minyak atsiri

(Rhind, 2012).

Minyak atsiri dapat digunakan secara medis untuk pengobatan. Minyak

atsiri cukup umum digunakan sebagai agen antiinfeksi maupun pencegahan sepsis

16

pada luka bakar. Minyak atsiri dapat memberikan rasa hangat, sebagai anastetik

lokal ringan, serta antipruritik (Daniel, 2006). Penelitian modern menunjukkan

fungsi yang lebih kompleks dari minyak atsiri seperti minyak atsiri Citrus

aurantium sebagai antikonvulsan (Azanchi dkk., 2014), minyak atsiri Salvia

lavandulifolia mampu menyeimbangkan reaksi redoks sel (Porres-Martinez dkk.,

2014), hingga minyak atsiri Toona ciliata yang memberikan efek antidepresan

(Duan dkk., 2014). Walaupun memiliki banyak manfaat, penggunaan minyak

atsiri harus tetap memperhatikan keamanannya. Minyak atsiri dapat menimbulkan

efek toksik pada sel eukariotik dengan mempengaruhi permeabilitas membran

mitokondria menyebabkan nekrosis ataupun apoptosis. Resiko utama penggunaan

minyak atsiri dalam pengobatan antara lain sensitisasi, iritasi, fototoksik, hingga

karsinogenik. Evaluasi keamanan minyak atsiri cukup sulit dilakukan, mengingat

kandungan minyak atsiri bervariasi menurut tempat tumbuhnya (Raut dan

Karuppayil, 2014).

4. Tanaman Sirih (Piper betle L.) dan Minyak Atsiri Sirih

a. Klasifikasi Piper betle L.

Divisi : Magnoliophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Piperales

Suku : Piperaceae

Marga : Piper

17

Jenis : Piper betle L.

P. betle L. dikenal pula dengan berbagai nama dalam bahasa lain,

antara lain: nagacallari, nagini, varnalata (Sanskrit); sirih cina, sirih

kerakap, sirih hudang (Malaysia); betel, betel pepper, betel vine (Inggris);

sirih, suruh, bodeh (Jawa); pelu (Thailand).

Tanaman sirih merupakan tanaman perenial berkayu, dan tumbuh

merambat. Daunnya memiliki variasi warna dari hijau cerah hingga

kekuningan (Teo dan Banka, 2000). Daun tanaman sirih berbentuk seperti

hati dengan panjang 7-15 cm dan lebar 5-14 cm dengan rasa yang khas.

Tanaman sirih berasal dari Malaysia bagian tengah atau timur dan banyak

digunakan di India, Indonesia, dan daerah Indo-China (Pradhan dkk.,

2013)

Gambar 3. Daun dan pohon sirih di Pulau Pinang, Malaysia

(Sumber: Nouri, dkk., 2014)

Tanaman sirih umumnya mengandung 0,08% hingga 2 % minyak

atsiri (Guha, 2006). Minyak yang dihasilkan dari destilasi uap,

menghasilkan minyak berwarna kuning muda dengan bau khas fenolik dan

rasanya yang pahit, hangat, dan tajam. Indeks bias minyak atsiri sirih

adalah berkisar antara 1,500 hingga 1,5240. Sekitar 75% konstituen

18

minyak adalah kandungan fenolik dalam bentuk kavibetol (Anonim,

2007).

b. Penelitian terdahulu

Daun sirih digunakan masyarakat untuk menghilangkan bau mulut,

bronkitis, batuk, konstipasi, dan asma. Daun sirih dilaporkan memiliki

aktivitas sebagai antimikroba, insektisida, antioksidan, antidiabetes, dsb.

(Arambewela dkk., 2006). Ekstrak daun sirih telah teruji memiliki

kemampuan antimikroba, dimana ekstrak metanoliknya lebih efektif

dibandingkan ekstrak etanoliknya (Khan dan Kumar, 2011). Penelitian

menunjukkan bahwa daun sirih mampu menghambat pertumbuhan

berbagai jenis bakteri baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram

negatif, antara lain Brevibacillus brevis, Micrococcus luteus, S. cohnii,

Escherechia coli, P. aeruginosa, dan Salmonella enterica. (Tan dan Chan,

2014). Kombinasi antara ekstrak daun sirih dengan ampisilin juga telah

didemonstrasikan dan menunjukkan hasil penghambatan pertumbuhan

bakteri yang bervariasi pada spesies E. coli, S. aureus, dan P. aeruginosa

(Rao dkk., 2011).

Minyak atsiri sirih didapatkan dari destilasi uap daun sirih,

menghasilkan minyak atsiri berwarna kuning cerah. Komponen

karakteristik dari minyak ini adalah kavibetol yang merupakan isomer dari

eugenol (Daniel, 2006). Kandungan-kandungan utama dari minyak atsiri

sirih bagian atas adalah α-pinena, β-pinena, DL-kamfor, limonena,

kamfena, safrol, isoeugenol, α-kariofilena, α-kubebena, α-bisabolol,dan

19

masih banyak lagi (Agusta, 2000). Minyak atsiri sirih menunjukkan

aktivitas antioksidan dan kekuatannya tak berubah selama penyimpanan

(Arambewela, dkk., 2006). Minyak atsiri sirih juga banyak diteliti daya

antibakterinya. Dalam sediaan pasta gigi, sifat antiseptika didapatkan

dengan menggunakan minyak atsiri konsentrasi 0,5 % ke atas (Sundari

dkk., 1992). Minyak atsiri sirih terbukti memiliki spektrum luas dalam

penghambatan bakteri patogen dan pembusuk makanan (Suppakul dkk.,

2006). Diketahui pula bahwa Kadar Hambat Minimum (KHM) minyak

atsiri sirih kurang dari 0,3 mg/mL terhadap S. aureus pada urin, luka, dan

sputum; kurang dari 0,6-1,2 mg/mL terhadap Klebsiella spp. di urin dan

luka; kurang dari 0,3-0,6 mg/mL terhadap Enterobacter spp. di urin dan

sputum (Ontengco dkk., 1999). Kandungan minyak atsiri dalam daun sirih

terbukti pula dapat menjadi kebersihan mulut, dengan menekan 56%

pertumbuhan bakteri di mulut. Aktivitas ini diduga terkait kandungan

kavibetol dan kavikol dalam minyak sirih (Bissa dkk., 2007). Minyak atsiri

sirih juga aktif sebagai antifungi Arthroderma benhamiae, Microsporum

gypseum, Trichophyton mentagrophytes serta Ctenomyces serratus dan

sebagai antihelmintik Taenia solium serta Bunostomum trigonocephalum

(Garg dan Jain, 1992). Penelitian Adityaningrum (2010) menunjukkan

bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa antibofilm S.

mutans. Geethashri dkk. (2014) menemukan bahwa ekstrak air daun sirih

mampu menyebabkan disintegrasi biofilm S. aureus. Kawsud dkk. (2014)

juga menemukan bahwa ekstrak daun sirih potensial sebagai antibiofilm C.

20

albicans. Ekstrak daun sirih diketahui mengandung kavibetol, eugenol,

dan hidroksikavikol dimana kandungan hidroksikavikol pada ekstrak daun

sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan biofilm (Dwivedi dan Tripathi,

2014). Kandungan eugenol juga diketahui menghambat quorum sensing

dalam pembentukan biofilm.

5. Kloramfenikol

Kloramfenikol (tata nama IUPAC: (2,2-Dikloro-N- [(1R,2R)-1,3-dihidroksi-

1-(4-nitrofenil)propan-2-yl]asetamida) merupakan salah satu golongan antibiotik

dengan nama dagang antara lain Amphicol®

, Kemicetine®, Chloromycetin

® dll.

Kristal kloramfenikol berwarna abu-abu putih hingga putih kekuningan. Larutan

kloramfenikol bersifat dextrorotary saat dilarutkan dalam alkohol dan bersifat

laevorotary saat dilarutkan dalam etil asetat (Moffat dkk., 2011). Kloramfenikol

biasa tersedia dalam bentuk esternya yakni kloramfenikol palmitat atau

kloramfenikol Na-suksinat. Satu gram kloramfenikol larut dalam 400 ml air dan

sangat mudah melarut di dalam etanol, aseton, dan etil asetat (Connors dkk.,

1986).

Gambar 4. Struktur Kimia Kloramfenikol (Moffat dkk., 2011)

Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik dengan spektrum luas,

yang aktif dalam melawan infeksi riketsia dan chlamydia. Kloramfenikol juga

21

efektif untuk sebagian besar bakteri Gram positif serta bakteri aerob non-enterik.

Kloramfenikol juga banyak digunakan untuk mengobati infeksi Salmonella sp.

dalam kasus tifoid manusia (Bishop, 2005). Kloramfenikol tidak aktif terhadap

infeksi yang disebabkan oleh jamur (Aschenbrenner dan Venable, 2009).

Efek samping yang paling dikenal dalam pemakaian kloramfenikol adalah

Gray Baby Syndrome. Sindrom ini terjadi pada neonatus yang menerima dosis

berlebih dari kloramfenikol. Pada neonatus, kloramfenikol dalam tubuh belum

dapat dikonjugasikan sehingga tidak dapat tereliminasi dari tubuh dan

menyebabkan letargi, muntah, gagal nafas hingga kematian (Arcangelo dan

Peterson, 2011). Kontraindikasi juga diberikan pada ibu menyusui, dimana

kloramfenikol dapat masuk ke tubuh neonatus yang menyusu dari ibu yang

mengkonsumsi kloramfenikol (Aschenbrenner dan Venable, 2009).

Kloramfenikol juga menjadi penyebab utama terjadinya pancytopenia dan anemia

aplastik akibat reaksi penekanan sumsum tulang belakang (Seth dan Seth, 2009).

Mekanisme resistensi kloramfenikol terjadi melalu dua jalur. Jalur pertama

adalah perubahan struktur kimia kloramfenikol akibat enzim asetiltransferase,

yang mana menurunkan potensi dari kloramfenikol. Jalur kedua adalah dengan

hilangnya protein transpor dari membran luar mikroba, yang mana menyebabkan

penetrasi kloramfenikol ke dalam sel terhalang (Arcangelo dan Peterson, 2011).

Meskipun sempat ditinggalkan karena tingginya tingkat resistensi, kloramfenikol

akhir-akhir ini kembali menunjukkan efektivitasnya terhadap mikroba (Seth dan

Seth, 2009).

22

6. Streptomisin

Streptomisin (tata nama IUPAC: 2-[(1R,2R,3S,4R,5R,6S)-3-

(Diaminomethylideneamino)-4-[(2R,3R,-4R,5S)-3-[(2S,3S,4S,5R,6S)-4,5-

dihydroxy-6-(hydroxymethyl)-3-(methylamino)oxan-2-yl]oxy-4-formyl-4-

hydroxy-5-methyloxolan-2-yl]oxy-2,5,6-tri-hydroxycyclohexyl] guanidine)

adalah kelas pertama dari golongan antibiotik aminoglikosida. Streptomisin

diisolasi dari Streptomyces griseus. Bentuk garamnya, streptomisin sulfat, berupa

serbuk putih higrosopis yang sangat mudah melarut dalam air, namun tidak pada

etanol. Streptomisin sangat sedikit diserap tubuh di saluran pencernaan dan

menghasilkan absorpsi yang lebih baik pada pemberian rute intramuskular

(Moffat dkk.,2011)

Gambar 5. Struktur Kimia Streptomisin (Moffat, 2011)

Streptomisin merupakan antibiotik yang diberikan secara parenteral dan

dahulu banyak digunakan untuk terapi kombinasi dalam pengobatan tuberkulosis.

Selain itu streptomisin banyak digunakan untuk terapi infeksi Mycobacterium dan

tullaremia (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Streptomisin berkerja dengan

mengikat 16S rRNA pada subunit 30S dari ribosom bakteri yang menyebabkan

stabilisasi bagian A saat translasi protein terjadi. Proses tersebut menghasilkan

23

pembacaan kodon yang salah dan berujung pada penghambatan sintesis protein

bagi bakteri. Inhibisi sintesis protein ini berperan dalam peningkatan

permeabilitas dinding sel dan akhirnya memicu efek bakterisidal pada bakteri

(Grosset dan Singer, 2013).

Penggunaan dosis besar streptomisin mampu memberikan efek samping

yang cukup berbahaya yakni ototoksisitas (kerusakan telinga bagian dalam) dan

nefrotoksisitas (kerusakan ginjal). Ototoksisitas dari streptomisin telah banyak

dipelajari dan telah ditemukan bahwa streptomisin menyebabkan lesi dan

kerusakan pada sel rambuk koklea telinga (He dkk., 2015; Frank dkk., 1999).

Obat golongan aminoglikosida, termasuk streptomisin, mampu bertahan di telinga

dalam hingga 30 hari, meskipun waktu paruh aminoglikosida sendiri hanya

berkisar antara 3-5 jam. Adapun kejadian ototoksistas lebih banyak terjadi pada

pengobatan kronis menggunakan streptomisin (Arya, 2007). Nefrotoksisitas

diinduksi streptomisin umumnya terjadi pada pasien yang menerima dosis

streptomisin lebih besar dan waktu terapi yang lebih lama (de Jager dan van

Altena, 2002).

Terdapat 3 mekanisme terjadinya resistensi streptomisin yakni melalui

resistensi ribosomal, resistensi akibat penurunan uptake obat, dan resistensi akibat

enzim pemodifikasi aminoglikosida (aminoglycoside modifying enzyme).

Resistensi ribosomal terjadi akibat mutasi gena pengkode ribosom bakteri. Uptake

streptomisin juga dapat dihambat oleh bakteri dengan menambah jumlah ion Ca2+

dan Mg2+

yang mana menurunkan jumlah akumulasi streptomisin dalam sel.

24

Enzim pemodifikasi aminoglikosida merubah struktur streptomisin menjadi

inaktif. (Scholar dan Pratt, 2000).

7. Eritromisin

Eritromisin (tata nama IUPAC: (3R,4S,5S,6R,7R,9R,11R,12R,13S,14R)-6-

[(2S,3R,4S,6R)-4-(Dimethylamino)-3-hydroxy-6-methyloxan-2-yl]oxy-14-ethyl-

7,12,13-trihydroxy-4-[(2R,4R,5S,6S)-5-hydroxy-4-methoxy-4,6-dimethyloxan-2-

yl]oxy-3,5,7,9,11,13-hexamethyl-oxacyclotetradecane-2,10-dione) merupakan

antibiotik dari golongan makrolida. Eritromisin biasa diproduksi dari

Streptomyces erythreus menghasilkan ertiromisin A dalam jumlah besar dan

sedikit eritromisin B dan C. Kristal dan serbuk eritromisin berwarna putih hingga

kekuningan. Kelarutan eritromisin adalah 1:1000 dalam air dan 1:5 dalam etanol

(Moffat, 2011).

Antibiotik eritromisin memiliki spektrum luas, serta sering dipakai dalam

terapi pasien yang alergi terhadap penisilin (Scholar, 2007). Penelitian terdahulu

menunjukkan bahwa derivat eritromisin seperti eritromisin B, C, dan D memiliki

efikasi yang jauh lebih rendah dibandingkan efikasi eritromisin A (Kibwage dkk.,

1985).

Gambar 6. Struktur Kimia Eritromisin (Moffat, 2011)

25

Makrolida bekerja dengan mengikat subunit 50S rRNA yang menghambat

proses transpeptidasi dan translokasi sehingga protein yang dibentuk oleh bakteri

menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kematian sel (Retsema dan Fu, 2001).

Eritromisin dapat merangsang motilitas dari gastrointestinal yang mana

menimbulkan efek samping bagi pasien seperti muntah dan mual. Eritromisin

dimetabolisme di hati, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan hati dalam dosis

besar. Efek hepatotoksisitas ini menghilang seiring penghentian terapidengan

eritromisin (Williams, 2001). Penelitian lebih lanjut tampaknya mengungkap

bahwa pemberian eritromisin secara oral mampu meningkatkan resiko terjadinya

kematian akibat gangguan kardiak, terutama bila diberikan bersama inhibitor kuat

CYP3A (Ray dkk., 2004). Resiko kardiovaskular eritromisin berhubungan dengan

sifatnya sebagai agen prokinetik yang memperpanjang QT interval dan torsade de

pointes (de Ponti dkk, 2000; Shaffer dkk., 2002). Toksisitas kardiak terjadi setelah

4 hari pemakaian eritromisin, dan gangguan jantung semakin diperparah dengan

kombinasi obat bersifat aritmogenik (Berthet dkk., 2010).

Terdapat beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap eritromisin antara

lain dengan eflux oleh pompa aktif bakteri, produksi enzim metilase oleh bakteri

yang mengurangi ikatan eritromisin dengan target, serta hidrolisis makrolida oleh

esterase (Abu-Gharbieh dkk., 2004).

8. Kromatografi Gas

Kromatografi Gas (KG) merupakan teknik analisis yang dinamis untuk

memisahkan senyawa-senyawa yang mudah menguap. Teknik KG telah umum

26

digunakan untuk pemisahan dinamis dan identifikasi senyawa organik volatil

dan analisis kualitatif-kuantitatif senyawa dalam campuran. Pada sistem KG,

solut-solut yang mudah menguapakan bermigrasi melalui kolom fase diam

dengan kecepatan yang sesuai dengan rasio distribusinya. Pemisahan dalam

KG terjadi didasarkan pada titik didih senyawa tertentu dikurangi semua

interaksi yang mungkin terjadi antar solut dengan fase diam (Gandjar dan

Rohman, 2012).

Sistem kerja KG sederhana terdiri dari beberapa bagian antara lain: kolom,

inlet (injektor dan ruang suntik), oven/pemanas kolom dan detektor. Kolom

merupakan pusat terjadinya pemisahan, dimana desainnya telah banyak

berkembang sejak pertama kali ditemukan. Umumnya kolom KG memiliki

panjang 10-60 m dengan diameter dalam 0,20-0,53 mm. Terdapat dua jenis

kolom yakni packed columns dan capillary columns. Packed column sudah

mulai jarang digunakan dan saat ini lebih sering digunakan untuk kegiatan

preparatif, pemisahan sederhana, atau pemisahan dimana resolusi tinggi tidak

dibutuhkan. Capillary column lebih banyak dipakai sebab memberikan

pemisahan dengan resolusi yang tinggi. Fase diam yang sering dipakai pada

capillary column antara lain metil silikon dan polietilen glikol (Grob, 1995).

Teknik injeksi dalam KG juga memiliki beberapa variasi yang disesuaikan

dengan kebutuhan analisis seperti teknik split injection, splitless injection,

programmed temperature vaporization (PTV) injection, dan on-column

injection. Volume sampel yang diinjeksikan juga bervariasi dimana berkisar

antara 5-10 µL untuk sampel yang sangat mudah menguap hingga 0.5-1 µL

27

untuk menigkatkan elusidasi. Splitless injection membutuhkan sampel

maksimal 2 µL. Umumnya temperatur injektor diusahakan untuk selalu tinggi

untuk memaksimalkan transfer sampel dan mempermudah evaporasi sampel

(Adamovics dan Eschbach, 1997)

Deteksi pada sistem KG dilakukan menggunakan detektor tertentu.

Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detector = FID) mengukur jumlah

solut dengan membakar solut dalam nyala api, dan bilaada atom C yang

dibakar, muatan yang terbentuk akan direkan dan dihitung. Detektor Nitrogen-

Fosfor (Nitrogen-Phosporous Detector = NPD) sangat sensitif dan spesifik

terutama untuk senyawa yang mengandung nitroge dan/atau fosfor.

Pembakaran zat nitrogen dan/atau fosfor pleh NPD akan meningkatkan jumlah

emisi elektron yangakan direkan oleh detektor. Detektor pengangkap elektron

(Electron Capture Detector = ECD) merupakan salah satu detektor KG paling

sensitif yang pernah ada. Detektor ECD mengukur arus pada anoda yang dapat

berubah akibat peningkatan jumlah elektorn yang dihasilkan dari interaksi

molekul organik dengan atom metastabil. Selain detektor-detektor tersebut

masih banyak lagi jenis detektor yang dipakai seperti detektor katherometer,

detektor helium, dan detektor pulsed helium discharge (Scott, 1998).

E. Landasan Teori

Biofilm adalah agregat sel mikroba yang terkonsentrasi di permukaan dan

dikelilingi oleh matriks extracellular polysaccharide substance (EPS).

Pembentukan biofilm merupakan bagian dari siklus hidup mikroba dan juga faktor

28

penting kemampuan bertahan mikroba di berbagai jenis kondisi lingkungan (Hall-

Stoodley dkk., 2004). Biofilm telah diketahui berperan penting dalam timbulnya

masalah pada kesehatan manusia seperti timbulnya plak gigi dan pembentukan

gigi, infeksi endokarditis dan infeksi pada alat implan serta gangguan otolaring

pada manusia. Biofilm juga terbukti menyebabkan timbulnya kasus-kasus

resistensi mikroba terhadap senyawa antimikroba.

Bakteri S. aureus adalah salah satu bakteri dengan kasus resistensi antibiotik

yang tinggi. S. aureus memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm dan

penelitian menunjukkan bahwa biofilm S. aureus menunjukkaan resistensinya

terhadap pemberian antibiotik. Resistensi ini disebabkan oleh penurunan difusi

antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang

terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme

bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik.

Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan

yaitu melalui efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya

resistensi selain dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika

keduanya memiliki mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung (Li

and Tang, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Saginur dkk. (2006)

menunjukkan bahwa kombinasi antimikroba dapat meningkatkan kepekaan

mikroba dalam biofilm. Penggunaan beberapa minyak atsiri dalam campuran

dapat meningkatkan efektivitas antimikroba, sebagaimana dilaporkan oleh Pan

dkk. (2003) dan Ouhayoun (2003).

29

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai kekayaan alam dengan

potensi besar memiliki senyawa bersifat farmakologis. Sirih merupakan salah satu

tanaman Indonesia yang telah digunakan sejak lama dalam dunia pengobatan.

Rebusan daun sirih dipercaya mempu mengobati batuk, bronkitis, gastritis, hingga

keputihan (Wijayakusuma dkk., 1996). Kandungan minyak atsiri sirih sendiri

telah diketahui memiliki potensi antibakteri dan antijamur yang baik. Minyak

atsiri sirih digunakan dalam sediaan pasta gigi sebagai antiseptika serta terbukti

memiliki spektrum luas dalam melawan pertumbuhan berbagai jenis bakteri,

jamur, hingga cacing. Penelitian juga mendukung kemampuan minyak atsiri sirih

dalam menghambat pertumbuhan biofilm S. mutans maupun kemampuan

ekstraknya untuk menghambat biofilm C. albicans. Ekstrak daun sirih diketahui

mengandung kavibetol, eugenol, dan hidroksikavikol dimana kandungan

hidroksikavikol pada ekstrak daun sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan

biofilm (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Kandungan eugenol juga diketahui

menghambat quorum sensing dalam pembentukan biofilm.

Eugenol, salah satu konstituen dari minyak atsiri sirih, telah diketahui

memiliki aksi sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri saat dikombinasi

dengan antibiotik. Eugenol yang dikombinasikan dengan beberapa jenis antibiotik

mampu menyebabkan penurunan KHM hingga 5-1000 kali (Hemaiswarya, 2009).

Kombinasi eugenol dengan penisilin bersifat sinergis dengan FICI sebesar 0,16

(Gallucci dkk., 2006). Sinergisme juga terlihat saat eugenol dikombinasikan

dengan antibiotik seperti streptomisin, eritromisin, maupun rifampin dimana

30

diduga kombinasi menyebabkan hambatan terhadap satu atau lebih jalur

metabolisme bakteri (Hemaiswarya dkk., 2008).

Berdasarkan penelitian di atas, maka diduga minyak atsiri sirih memiliki

kemampuan dalam menghambat biofilm bakteri S. aureus, dan kombinasi minyak

atsiri sirih dengan antibiotik mampu memberikan peningkatan aktivitas

penghambatan pembentukan biofilm S. aureus dibanding aktivitas masing-masing

dalam bentuk tunggal. Kombinasi diperkirakan bersifat sinergis dengan

memperhatikan kandungan hidroksikavikol yang mampu menekan pertumbuhan

biofilm, serta sinergisme aksi eugenol-antibiotik yang ditunjukkan pada penelitian

terdahulu.

F. Hipotesis

Minyak atsiri sirih memiliki aktivitas antibakteri dan penghambatan

pembentukan biofilm S. aureus serta terdapat aktivitas sinergisme antara minyak

atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin dalam

menghambat pembentukan biofilm S. aureus.