bab i pendahuluan a. latar belakang...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan dan tidak sedikit orang yang berani memperjuangkannya. Kebebasan merupakan hal asasi dan menjadi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak manusia rela mempertaruhkan nyawa demi “merebut” kebebasannya. Manusia mempertaruhkan nyawa untuk berjuang melawan penindasan, sebab mereka berpikir lebih baik meninggal dalam pertempuran daripada hidup tanpa kebebasan. Di samping itu, kematian dengan cara seperti ini menunjukkan pernyataan penuh atas individualitas dan merupakan bukti bahwa manusia mempunyai hak penuh atas hidupnya di dalam berpikir, membuat keputusan, memilih, sesuai dengan apa yang manusia lihat baik untuk kehidupan dirinya sendiri. Dalam hal ini kebebasan individu hanya dapat diperoleh ketika terjadi “penghancuran terhadap dominasi eksternal” (Fromm, 1997:1-2). Namun, sering kali timbul konflik yang menyangkut kebebasan. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak persoalan yang berkaitan dengan kebebasan. Persoalan tersebut sering berkaitan dengan kebebasan seseorang untuk beragama, berpendapat, memilih, dan masih banyak permasalahan kebebasan yang lain. Pemerintah pun menyadari pentingnya penjaminan kebebasan warga negaranya dan membuat undang-undang untuk menjamin kebebasan, agar tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain. KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN: RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA GLORIA RAHMA GINTING Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vucong

Post on 21-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Setiap manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan dan tidak sedikit

orang yang berani memperjuangkannya. Kebebasan merupakan hal asasi dan

menjadi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan

apabila banyak manusia rela mempertaruhkan nyawa demi “merebut”

kebebasannya. Manusia mempertaruhkan nyawa untuk berjuang melawan

penindasan, sebab mereka berpikir lebih baik meninggal dalam pertempuran

daripada hidup tanpa kebebasan. Di samping itu, kematian dengan cara seperti ini

menunjukkan pernyataan penuh atas individualitas dan merupakan bukti bahwa

manusia mempunyai hak penuh atas hidupnya di dalam berpikir, membuat

keputusan, memilih, sesuai dengan apa yang manusia lihat baik untuk kehidupan

dirinya sendiri. Dalam hal ini kebebasan individu hanya dapat diperoleh ketika

terjadi “penghancuran terhadap dominasi eksternal” (Fromm, 1997:1-2). Namun,

sering kali timbul konflik yang menyangkut kebebasan. Di dalam kehidupan

sehari-hari banyak persoalan yang berkaitan dengan kebebasan. Persoalan tersebut

sering berkaitan dengan kebebasan seseorang untuk beragama, berpendapat,

memilih, dan masih banyak permasalahan kebebasan yang lain. Pemerintah pun

menyadari pentingnya penjaminan kebebasan warga negaranya dan membuat

undang-undang untuk menjamin kebebasan, agar tidak bertentangan dengan

kebebasan orang lain.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Kebebasan akan mendatangkan perasaan bahagia dan membuat manusia

menjadi manusia seutuhnya. Namun, pada kenyataannya, banyak manusia merasa

tidak bebas dan sering timbul permasalahan eksternal yang berkaitan dengan

kebebasan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika banyak orang menuntut

kebebasannya dari orang lain. Namun, makna tentang kebebasan pun masih

diperdebatkan hingga sekarang, sehingga muncul banyak definisi mengenai

kebebasan dan ambiguitas makna kebebasan.

Kebebasan sangat erat kaitannya dengan manusia, sebab manusia

merupakan pusat dan pelaku kehidupan. Manusialah yang menghasilkan berbagai

macam kemajuan dan hanya manusia yang mampu mengadakan evaluasi terhadap

dirinya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan

yang lain. Manusia yang mempelajari dan mengubah sejarah di bidang apapun.

Namun sering kali kemajuan yang dihasilkan membawa dua dampak yang

bertolak belakang. Kemajuan teknologi yang disambut baik oleh mayoritas

manusia ternyata membawa dampak negatif bagi kemajuan mental manusia.

Bahkan, terkadang kemajuan teknologi mendukung “penghancuran” manusia itu

sendiri, seperti yang dilihat di dalam perang. Manusia melihat kemajuan teknologi

di bidang persenjataan yang justru menjadi alat yang ampuh untuk

menghancurkan peradaban manusia. Kemajuan teknologi menghasilkan sisi

negatif bagi manusia, yang membuat manusia merasa kebebasan individunya

terbelenggu oleh lingkungan sekitarnya dan merasakan diri mereka semakin

menjadi budak.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

Permasalahan mengenai kebebasan sesungguhnya sudah disadari sejak

zaman pra-Sokrates, di mana terjadi perbedaan pandangan tentang makna

kebebasan. Herakleitos (+540-475 SM), seorang filsuf pada zaman tersebut

menyadari bahwa alam semesta penuh dengan perubahan. Pemikiran filsafatnya

adalah tentang “menjadi”. Herakleitos mengatakan bahwa segala sesuatu itu

berubah dan perubahan terjadi tanpa henti. Bahkan, “yang mati” dapat berubah

menjadi “yang hidup”. Api merupakan lambang perubahan, dan menurutnya

segala sesuatu berasal dari api dan akan kembali ke api. Dengan kata lain, api

merupakan lambang perubahan dan diyakini sebagai sesuatu yang sejenis dengan

roh, karena kehidupan ini berasaskan api. Oleh karena itu, api disebut juga logos

(akal, firman, arti), merupakan “hukum yang mengatur segala sesuatu, dan juga

menguasai manusia” (Hadiwijono, 2005:21-22). Perubahan merupakan lambang

dari kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, kebebasan ada di dalam diri manusia

sejak ia dilahirkan dan kebutuhan akan rasa bebas tersebut merupakan hal yang

penting.

Berbeda dengan Herakleitos, Permenides, menganggap bahwa kebebasan

terdapat di dalam sesuatu yang tetap dan stabil. Permenides (+ 540 - + 475), yang

berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya tetap, tidak berubah.

Permenides berkeyakinan, “ yang ada itu ada”, tidak dapat dibagi-bagi, dan satu

kesatuan, sehingga menurutnya kenyataan adalah suatu kesatuan, tanpa mengenal

perbedaan antara jasmani dan rohani (Hadiwijono, 2005:23-24).

Perbedaan pendapat di antara Herakleitos dan Permenides ini

memperlihatkan bahwa kebebasan merupakan hal yang penting di dalam

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

kehidupan. Herakleitos memandang bahwa kebebasan merupakan sesuatu yang

ada di dalam alam semesta, termasuk manusia dan kebebasan merupakan sesuatu

yang harus diperjuangkan. Sedangkan kaum Permenides berpendapat bahwa

kebebasan merupakan suatu hal yang ditentukan oleh “kekuatan lain” di luar diri

manusia. Dengan kata lain, manusia tidak bisa memperoleh kebebasannya, sebab

segala sesuatu sudah ditentukan oleh hukum-hukum yang sifatnya tidak berubah.

Perbedaan pendapat mengenai makna kebebasan masih berlangsung hingga

sekarang. Persoalan mengenai kebebasan tidaklah mudah untuk diselesaikan,

sebab kebebasan mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain.

Nico Syukur Dister (1993:40) di dalam bukunya Filsafat Kebebasan menjelaskan

bahwa kebebasan membutuhkan penjelasan lebih mendalam, seperti kebebasan

tentang apa.

Kajian mengenai kebebasan bukanlah suatu kajian yang baru. Manusia

mengenal kebebasan individu (human right), kebebasan berpolitik, kebebasan

beragama, kebebasan di bidang ekonomi, yang semuanya itu dijamin penuh oleh

negara dan tertuang di dalam undang-undang. Kebebasan manusia yang satu

sering kali dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Namun, kebebasan bukan

hanya berkaitan dengan diri orang lain, tetapi ada kebebasan yang tidak kalah

pentingnya, yaitu kebebasan di dalam diri pribadi. Oleh karena itu, menurut

penulis, penelitian mengenai kebebasan manusia merupakan tema yang penting

untuk diteliti. Penulis meneliti tokoh yang bernama Albert Camus, karena beliau

fokus berbicara tentang kebebasan. Ia berpikir secara mendalam tentang

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

kebebasan manusia, hingga menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan hal

transendental.

Albert Camus dan para eksistensialis pada umumnya merasa bahwa diri

mereka “terlempar” di dunia, dan menyadari bahwa akhir dari segalanya adalah

kematian. Kesadaran akan adanya kematian bisa berdampak positif atau negatif

terhadap pola pikir seseorang, yang akan memengaruhi tindakan sehari-hari.

Albert Camus, salah satu tokoh yang digolongkan sebagai tokoh eksistensialis,

tidak hanya memikirkan kebebasan manusia dari faktor luar saja, namun ia

memikirkan makna kebebasan manusia hingga menyangkut faktor intern atau

dalam diri manusia. Oleh karena itu, penulis memilih tokoh Albert Camus, karena

sangat relevan untuk membahas tentang “kebebasan manusia“.

Pembahasan mengenai kebebasan juga menjadi topik utama di dalam

Filsafat Pendidikan, terutama Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, yang sangat

menekankan kebebasan anak didik. Oleh karena itu, sangat menarik apabila

pemikiran Albert Camus tentang kebebasan dilihat dari sudut pandang Filsafat

Pendidikan Eksistensialisme yang juga membahas mengenai persoalan kebebasan,

sehingga akan diperoleh suatu pemahaman mengenai kebebasan di dalam

Pendidikan, yang kemudian akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia.

1. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk

menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut:

1. Apa arti Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?

2. Bagaimana pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan etika?

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

3. Apa makna pendidikan untuk kebebasan menurut filsafat eksistensialisme

Albert Camus?

4. Bagaimana relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi

pengembangan pendidikan di Indonesia

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran peneliti, terkait dengan keaslian penelitian, sudah

banyak penelitian yang membahas tentang Albert Camus, namun dengan

permasalahan yang berbeda. Penelitian lain yang terkait dengan penelitian tentang

Albert Camus, antara lain:

1) Dwi Siswanto, 1992, di dalam laporan penelitian yang berjudul

“Eksistensi Manusia menurut Albert Camus”, dikatakan bahwa pemikiran

absurditas merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai konsekuensi

kehidupan. Absurditas tersebut lahir dari pertemuan antara pikiran dan

alam dunianya, konfrontasi antara budi dan kosmos yang mempunyai nilai

relasi antara manusia dan dunia. Camus mengatakan bahwa

pemberontakan adalah cara terbaik untuk menghadapi absurditas. Namun,

pemberontakan yang dimaksud adalah pemberontakan yang bertujuan

untuk “memperoleh keadilan dan kepuasan pribadi yang berorientasi masa

kini (kekinian), menolak setiap utopi (orientasi masa depan)”. Oleh karena

itu, pemikiran Camus mengenai pemberontakan mengandung suatu

kemerdekaan absolut.

2) Mudji Sutrisno. SJ, 1999, di dalam jurnal filsafat Driyarkara tahun XXIV

No.2, hal. 7-15, edisi November dengan judul “Albert Camus dan

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Dramanya : Melihat Contoh Hubungan Drama (Sastra) dan Refleksi

Filsafat”, yang berisi tentang drama Caligula yang ditulis oleh Albert

Camus. Di dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa ada sebuah konsekuensi

yang harus dihadapi manusia dengan cara pemberontakan yang

berlangsung tanpa henti, bahkan tanpa harapan untuk menghadapi

absurditas. Pemberontakan yang dilakukan secara terus-menerus tersebut

mengandung suatu keputusan moral yang dilakukan untuk menghadapi

absurditas. Oleh karena itu, manusia yang menghindari absurditas telah

melakukan suatu “tindakan bunuh diri filosofis”.

3) Saepul Akhkam,2002,UGM, tesis yang berjudul “Absurditas Manusia

dalam Perspektif Albert Camus: Evaluasi Kritis atas Pandangan

Antropologi Filosofis”, menyimpulkan bahwa Albert Camus, sebagai

salah satu filsuf eksistensialisme menyadari bahwa kehidupan adalah

absurd dan irasional, serta telah kehilangan maknanya. Camus bukan

penemu absurditas, ia berusaha melanjutkan pemikiran absurditas yang

telah ada, dengan cara berusaha mengatasi kebuntuan yang terdapat di

dalam pemikiran absurditas sebelumnya. Di samping itu, pemikirannya

tentang eksistensi manusia menghasilkan suatu pemahaman bahwa

manusia selalu berada di dalam proses “menjadi”. 4) Wiwit Sofiantari, 2008,UGM dengan tesis yang berjudul “Albert Camus’

Ethical Thought in the outsider.” Di dalam tesis ini disimpulkan bahwa

terdapat peristiwa absurd di balik klaim etis. Tokoh utama dari cerita

tersebut yang bernama Meursault. Atas nama kebebasan, ia mengabdikan

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

dirinya untuk setiap nilai yang sebagaimana ia harapkan. Albert Camus

menolak berharap kepada Tuhan dan masa depan dengan berusaha untuk

melepaskan diri dari nilai tradisional. Dia menolak bentuk masyarakat

yang religius dan munafik dengan pemberontakan karena hanya itu satu-

satunya cara yang masuk akal dan dibenarkan untuk menghadapi

kehidupan yang absurd. Ia memberontak terhadap Tuhan demi integritas

dan penderitaan hidup.

5) Sunahrowi, 2008, S2 Sastra UGM, judul “Individualitas dan Absurditas

dalam roman L’etranger karya Albert Camus: kajian semiotika Roland

Barthes”, disimpulkan bahwa melalui tokoh utama yang bernama

Mersault, dapat dilihat tema-tema eksistensialisme yang mendominasi

karya ini. Tema-tema tersebut yaitu, “tubuh milik sendiri, kebebasan, dan

pandangan orang lain.” Hal yang paling menonjol di dalam cerita ini

adalah absurditas dan individualitas tokoh utama tersebut. Absurditas dan

individualitas merupakan suatu ideologi individual, yang selalu

bertentangan dengan ideologi kolektif , tanpa berkesudahan.

6) Joko Siswanto,2008, S3 Filsafat UGM, dengan disertasi yang berjudul

“Ontologi Kejahatan Menurut Filsafat Barat Kontemporer dan

Relevansinya Bagi Pemahaman Kejahatan Korupsi di Indonesia.”

Penelitian tersebut merupakan penelitian yang menggali hakikat kejahatan,

dengan menggunakan beberapa filsuf barat kontemporer dan salah satunya

adalah Albert Camus. Dari penelitian tersebut dikatakan bahwa sumber

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

dari segala kejahatan adalah situasi Absurd, yang diambil dari sudut

pandang Albert Camus.

7) Ari Rokmawati, Filsafat UGM, 2010, dengan tesis yang berjudul “Makna

kebebasan dalam Perspektif Filsafat Politik Hannah Arendt”,

menyimpulkan: “Kebebasan merupakan suatu bentuk tindakan politis yang

mengikutsertakan inisiatif dan ingatan sosial, sehingga hanya wilayah

publik dalam suatu badan politik yang mampu mewujudkannya”. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan suatu hal yang

dibentuk ketika individu menjadi warga negara dan bukan suatu hal yang

natural. Negara menjamin kebebasan warganya di dalam bertindak dengan

membentuk badan hukum, sehingga dapat dicapai kehidupan “masyarakat

yang demokratif, egaliter dan partisipatif untuk mencapai “keadilan sosial

bagi seluruh rakyat”.

8) Nana Sutikna, 2013, dengan disertasi yang berjudul “Dimensi Ontologis

Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevansinya bagi Pengembangan Pers

di Indonesia”, disimpulkan bahwa Erich Fromm memandang kebebasan

sebagai “orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk

memilih”. Manusia, pada masa sekarang baru berhasil mencapai tahap

“freedom from”, yang ditandai dengan keberhasilan mengalahkan

“penentuan naluri” dan belenggu alam, sedangkan “freedom to” belum

berhasil dicapai karena manusia belum mampu mewujudkan produktivitas

dan kemandirian diri. Kebebasan, di dalam pemikiran Erich Fromm

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

mempunyai dimensi ontologis, yaitu: “dimensi otonomi kebebasan,

dimensi dinamika kebebasan, dan materialitas kebebasan”.

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa

penelitian tentang Konsep Kebebasan Albert Camus dalam Tinjauan Filsafat

Pendidikan: Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia, belum pernah diteliti

sebelumnya oleh peneliti lain, sehingga penulis menjamin keaslian dari penelitian

ini.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab empat pertanyaan yang telah

disebutkan di dalam rumusan masalah, yaitu.

1. Mendapatkan pemahaman tentang Filsafat Pendidikan Eksistensialisme .

2. Memahami pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan

moral.

3. Mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pendidikan untuk

kebebasan menurut filsafat eksistensialisme Albert Camus.

4. Menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi

pengembangan pendidikan di Indonesia.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini berkewajiban memberikan suatu pemahaman baru. Oleh

karena itu, maka penelitian ini bermaksud untuk memberikan manfaat antara lain:

1. Bagi individu, masyarakat, dan negara, penulis berharap mampu

memberikan wawasan dan penyadaran, minimal kepada diri sendiri,

kemudian masyarakat mengenai pentingnya penyadaran “kebebasan”

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

manusia, dan dalam lingkup yang lebih besar, mampu memberikan solusi

alternatif terhadap persoalan kenegaraan yang muncul. Di samping itu,

bagi negara mampu memberikan alternatif atau instrumen agar lebih

bijaksana dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah pendidikan

2. Bagi Filsafat, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan

pemikiran kritis terhadap pemikiran Albert Camus mengenai bagaimana

manusia memandang kebebasan di dalam kehidupannya. Kemudian,

secara lebih luas memberikan sumbangan pemikiran terhadap filsafat

pendidikan.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan: Mampu memberikan sumbangsih terhadap

kontinuitas ilmu pengetahuan dan berpartisipasi dalam kelanjutan

penelitian ilmu pengetahuan secara luas dan studi tentang pendidikan.

D. Tinjauan Pustaka

Kebebasan merupakan permasalahan yang penting bagi kehidupan manusia,

sehingga banyak pemikir yang telah mendefinisikan kebebasan. Salah satunya

adalah pendapat yang dikemukakan oleh F.A. Hayek dalam Aron (1993:81-82),

yang berkata kebebasan adalah semata-mata tidak adanya paksaan (coercion).

Pemaksaan terjadi ketika seseorang kehilangan otoritas dirinya dan harus

menuruti perintah orang lain yang lebih berkuasa. Dengan kata lain, paksaan

menghasilkan tingkah laku tertentu yang tidak berasal dari dirinya sendiri

melainkan berasal dari ancaman penindasan. Paksaan tersebut membuat manusia

tidak mampu menentukan alat dan tujuan, sebab kecerdasan manusia dihambat.

Oleh karena itu, kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan dari

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

(from), yang dirumuskan secara negatif. Dalam hal ini manusia bebas dari hal-hal

yang menghambat aktivitasnya. Kebebasan identik dengan peneguhan manusia

untuk menjadi tuan bagi dirinya tanpa diganggu oleh pihak lain.

Kebebasan berkaitan dengan proses individuasi. Proses Individuasi

mempunyai dua aspek, yaitu : Pertama, proses individuasi dimulai sejak masa

kanak-kanak. Seorang anak seiring dengan bertambahnya usia akan semakin kuat

secara fisik, mental dan emosional. Anak tersebut juga mengalami perkembangan

intelektual, yang semakin terintegrasi seiring dengan bertambahnya aktivitas.

Kehendak dan perkembangan rasional individu bertugas untuk membimbing suatu

struktur agar terorganisir. Dengan kata lain, proses individuasi merupakan suatu

bentuk perkembangan kekuatan diri, sebab diri manusia “terorganisir” dan

“terintegrasi”. Namun, terdapat batas-batas di dalam diri manusia dan di dalam

proses individuasi, yang merupakan sesuatu hal yang pasti ada, yaitu keadaan-

keadaan pribadi manusia, dan kondisi sosial (Fromm, 1997: 28).

Kedua, aspek lain yang memengaruhi proses individuasi adalah kesepian

yang terus bertambah. Dalam hal ini terjadi suatu perubahan di dalam diri

manusia, ketika manusia menyadari dirinya sebagai individu, yang harus

bertanggung jawab dan menghadapi kenyataan hidup yang sering membuat

cemas, takut dan tidak berdaya. Manusia merasakan dunia, sebagai sesuatu yang

hendak menyerangnya dan ia harus menghadapinya seorang diri (Fromm,

1997:28-29).

Erich Fromm, di dalam bukunya yang berjudul Lari dari Kebebasan

menuliskan bahwa salah satu wujud tindakan kebebasan adalah dengan cara

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

ketidakpatuhan, dan ini merupakan awal dari akal budi. Manusia benar-benar

menjadi manusia sesungguhnya, ketika mereka menyadari kebebasannya, yaitu

ketika mereka memberontak terhadap manusia dan Tuhan. Ia memberikan contoh

manusia pertama yang memberontak terhadap Tuhan, yaitu Adam dan Hawa.

Dalam hal ini, menentang Tuhan adalah memerdekakan diri dari paksaan, yang

muncul untuk menaikkan tingkat, dari kehidupan “pra-manusiawi yang tidak

sadar ke tingkat manusia” (Fromm, 1997: 33).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mortimer J. Adler, dalam

Robert E. Dewey dan James A. Gould, terhadap lebih dari dua puluh responden

yang berasal dari Institute Penelitian Filsafat, pada tahun 1950 selama periode

lima tahun, menghasilkan kesimpulan bahwa kebebasan berkaitan dengan tiga

konsep dasar, yaitu mampu melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri,

mempunyai kebijaksanaan, dan moral yang baik, serta kemampuan manusia di

dalam memperbaiki diri. Hal ini tertuang dalam tulisannya, yaitu:

“First, there is a circumstantial freedom of self-realization, described as“ a freedom which is possessed by any individual who, under favorable circumstances, is able to act as he wishes for his own good as he sees it.”.... Second, there is an acquired freedom of self-perfection, conceived as “a freedom which is possessed only by those men who, through acquired virtue or wisdom, are able to will or live as they ought in conformity to the moral law or an ideal befitting human nature.... Finally, there is a natural freedom of self-determination defined as “a freedom which is possessed by all men, in virtue of a power inheren in human nature, whereby a man is able to change his own character creatively by deciding for himself what he shall do or shall become” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:58).

Mortimer J. Adler di dalam Robert E. Dewey dan James A. Gould (1970)

memberikan definisi umum untuk semua konsep kebebasan manusia, yaitu: “A

man is free who has in himself the ability or power to make what he does his own

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

action and what he achieves his own property” (Dewey, Robert E dan James A.

Gould, 1970:58-59).

Terkait dengan definisi kebebasan, Herbert J. Muller di dalam Robert E.

Dewey dan James A. Gould (1970:77) mengungkapkan definisi yang relatif netral

dan obyektif, yang memberikan kesatuan konsepsi ke mana kebebasan dibahas

dan dicari oleh manusia. Muller menuliskan bahwa di dalam istilah formal,

kebebasan berarti “the condition of being able to choose and to carry out

puposes”. Ia mencatat bahwa menurut definisi ini, kebebasan mempunyai

implikasi:

“(1) the primary dictionary meaning-the absence of external constraints; (2) practicable purposes, or an actual ability with available means; and (3) a power of conscious choice, between significant, known alternatives. It accordingly involves the common ideas of freedom from, freedom to, and freedom of, but it leaves open the question of freedom for what” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:77).

Permasalahan kebebasan juga menjadi topik yang hangat di antara filsuf

eksistensialis, Albert Camus merupakan salah satu sastrawan yang digolongkan

sebagai filsuf eksistensialis. Eksistensialisme merupakan “aliran filsafat yang

berpangkal pada manusia sebagai eksistensi”. Nama lain dari Eksistensialisme

adalah fenomenologi eksistensial, yang merupakan penyatuan antara

eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenomenologi Edmund Husserl

(1859-1938) (Snijders,2008:23).

Eksistensialisme menekankan bagaimana cara berada manusia di dunia,

yang unik dan khas, termasuk tentang manusia. Eksistensialisme merupakan suatu

bentuk ketidakpuasan terhadap Materialisme, dan Spiritualisme. Aliran ini

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

memberi tempat istimewa terhadap pengalaman pribadi manusia. Pangkal dan

jiwa Eksistensialisme ialah “pandangan atas manusia sebagai eksistensi”

(Snijders, 2008: 23).

Sartre berpendapat bahwa sikap yang harus dihindari oleh kaum

eksistensialis adalah lari dari tanggung jawab. Tanggung jawab di sini mencakup

tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain (Bertens,2001:106).

Kemudian, terkait dengan kebebasan, Sartre mengungkapkan bahwa kesadaran

merupakan bentuk kebebasan itu sendiri, sehingga kebebasan tidak dapat

dipisahkan dari kesadaran. Ia menyebut kesadaran dengan istilah être-pour-soi

(being-for-itself)”yang berarti “Ada-bagi-dirinya. Menurut Sartre, “kesadaran

akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya

sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran” (Bertens,2001:93-95).

Berbeda dengan tokoh eksistensialis sebelumnya yang berusaha untuk

menemukan Ada, Albert Camus lebih bertitik tolak pada kehidupan yang absurd,

yang menganggap bahwa dunia atau realita merupakan suatu yang sukar untuk

dipahami dan kebenaran tidak pernah ditemukan secara utuh. Perasaan absurditas

timbul dikarenakan “pertemuan antara alam dan pikiran manusia”

(Martin,2003:53). Camus mengatakan bahwa kegiatan sehari-hari yang dilakukan

manusia, mulai dari bangun tidur, bekerja, bersosialisai dengan manusia lain,

hingga tidur kembali dan terus terjadi secara berulang-ulang akan menimbulkan

rasa jemu, bosan, dan lelah, tetapi hal ini justru membuat manusia menyadari

absurditas” (Martin, 2003:52).

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

Kaufmann, sebagaimana dikutip oleh Sindhunata dan A. Sudiardja

menggolongkna Albert Camus sebagai filsuf eksistensialis ireligius berdasarkan

karya Camus yang berjudul Le Myte de Sisyphe (Mitos Sisiphus). Sisiphus adalah

tokoh yang berani untuk mempertahankan prinsip dan bertanggung jawab atas

pilihannya, meskipun ia menentang para dewa di dalam tragedi Homerus

(Sastrapratedja (ed), 1982:18). Kemudian, Joko Siswanto (2012:58-59) bertitik

tolak dari Kundert, menuliskan terdapat tiga prinsip di dalam pemikiran Albert

Camus, yaitu: Tuhan sudah mati (God is death), hidup itu absurd (life is absurd),

dan hidup itu nir-makna (life is meaningless), yang akan dijelaskan lebih lanjut di

dalam bab III.

Albert Camus membedakan manusia menjadi dua, yaitu “manusia yang

absurd” dan “manusia yang menyadari absurditasnya”. Manusia yang absurd tidak

menyadari bahwa hidupnya absurd, tenggelam di dalam kehidupan sehari-hari,

dan hidup menuruti “prinsip-prinsip absurditas kehidupan”, sedangkan manusia

yang menyadari absurditasnya bertingkah laku sebagai seorang “pemberontak”

atau seorang yang “putus asa”, tetapi Camus lebih memilih untuk menjadi seorang

“pemberontak”. Ini adalah cara yang ditempuh oleh Camus untuk berperang

melawan absurditas. Albert Camus, di dalam persoalan moral mengambil sikap

berpendirian kuat dan terlibat di dalamnya, meskipun ia tidak bisa dikatakan

sebagai pengajar moral (Sastrapratedja (ed), 1982:24).

Di dalam drama Albert Camus yang berjudul Caligula, terdapat pemikiran

Camus yang mendalam tentang absurditas. Pertama, absurditas merupakan suatu

konsekuensi dari kehidupan manusia, sebab manusia yang berhadapan dengan

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

dunia, yang tidak berhasil memenuhi kerinduan terdalam manusia. Kedua,

absurditas harus dihadapi dengan cara pemberontakan yang berlangsung tanpa

henti, tidak menyerah, hingga berani menantang maut, meskipun pemberontakan

ini tidak mempunyai harapan di dalamnya. Ketiga, di dalam Caligula, Camus

menyampaikan wujud “keputusan moral” yang ada di dalam diri manusia, yaitu

pemberontakan secara terus-menerus yang dilakukan manusia untuk menghadapi

realitas dunia yang penuh dengan keabsurdannya. Prinsip yang dipertahankan oleh

Camus ini merupakan suatu tindakan di dalam menyikapi nihilisme

(Sutrisno,1999:12-13), yang berkembang semenjak Perang Dunia II. Nihilisme

merupakan suatu paham yang berpikir tentang makna hidup manusia, yang

menjadi salah satu pertanyaannya adalah “apakah kehidupan ini akan berakhir

dalam ketiadaan, ketanpaartiaan?” Pemikiran Camus tentang nihilisme terlihat

dalam dramanya yang berjudul Caligula (Sutrisno,1999:8).

Manusia tidak mampu untuk menghindar dari absurditas selama menjalani

kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Camus berkeyakinan bahwa absurditas harus

dihadapi, dan menghindari absurditas merupakan tindakan bunuh diri filosofis.

Ketiga pemikiran di atas merupakan “konsekuensi logis” dari pemikiran Camus

tentang manusia dan dunia, yaitu: manusia mempunyai kerinduan yang terdalam,

tetapi kerinduan atau keinginan manusia ini tidak dapat dipenuhi oleh dunia, dan

absurditas selalu ada ditengah-tangah interaksi antara manusia dengan dunia

(Sutrisno,1999:12-13).

Terkait dengan pemikiran Albert Camus mengenai absurditas, Joko

Siswanto (2012:163-166) di dalam buku yang berjudul Filsafat Kejahatan

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

mengatakan bahwa situasi absurd merupakan akar dari kejahatan, yang pada

akhirnya menghasilkan penderitaan dan kematian. Manusia selalu berhadapan

dengan pertentangan antara dua hal yaitu: “konfrontasi antara keinginan manusia

atas kejelasan makna kehidupannya dengan dunia yang tidak terpahami”. Oleh

karena itu konfrontasi merupakan suatu hal yang sudah seharusnya terjadi atau

wajar, dan diakui sebagai hal yang “given”. Hal terpenting yang harus dilakukan

adalah mempersiapkan diri menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

absurditas. Kemudian, kejahatan bersifat objektif dan dimensi kejahatan bersifat

imanen, jika menggunakan sudut pandang Albert Camus. Kejahatan bersifat

objektif disimbolkan di dalam karya sastra Camus yang berjudul La Peste

(Plague), sedangkan kejahatan bersifat imanen terlihat di dalam judul Mitos

Sisifus . Kejahatan bersifat objektif karena kejahatan dapat menimpa siapa saja

dan dalam waktu yang tidak dapat diperkirakan, sedangkan kejahatan bersifat

imenen dapat terjadi ketika kejahatan diyakini berasal dari luar diri manusia, yaitu

Tuhan yang terdapat di dalam setiap agama atau dewa seperti yang terlihat di

dalam cerita Mitos Sisifus. Oleh karena itu, kejahatan bersifat imanen di dalam

dimensinya mengkibatkan pemberontakan manusia terhadap Tuhan, karena Tuhan

dinilai sebagai penyebab ketidakadilan dan kematian yang menimpa manusia.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil unsur-unsur dan nilai-nilai

filosofis utama dalam pemikiran Albert Camus terkait dengan kesadaran,

kebebasan, pemberontakan, yang nantinya akan memunculkan makna kebebasan

manusia yang lebih mendalam. Kemudian, pemikirannya mengenai kebebasan

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

tersebut akan ditinjau dari Filsafat Pendidikan Eksistensialisme yang pada

akhirnya akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia.

E. Landasan Teori

Bagian ini akan membahas tentang pemikiran-pemikiran apa saja yang

dapat di gunakan sebagai dasar pembahasan untuk menjawab pertanyaan secara

teoritis. Hal ini terkait dengan obyek formal. Obyek formal penelitian ini adalah

Filsafat Pendidikan. Sedangkan, obyek material penelitian ini adalah pemikiran

Albert Camus, yang nantinya akan direlevansikan dengan pendidikan di

Indonesia.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, obyek formal penelitian ini adalah

Filsafat Pendidikan. Di dalam Filsafat Pendidikan terdapat banyak aliran

pendidikan, namun penelitian ini hanya akan membahas tentang Filsafat

Pendidikan Eksistensialisme.

Imam Barnadib di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan :

Sistem dan metode, menuliskan bahwa Filsafat pendidikan adalah Ilmu

pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha

pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan” (Barnadib, 1997:7).

Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah ruang untuk menyediakan pemecahan

masalah yang terjadi di lapangan pendidikan, dengan menggunakan analisa

filosofis (Barnadib, 1997:14). Pendidikan merupakan institusi yang pada masa

sekarang merupakan kebutuhan yang umum. Oleh karena itu, kajian tentang

filsafat pendidikan merupakan kajian yang dibutuhkan dan fundamental.

Penekanan yang menjadikan kajian mengenai hal tersebut adalah penting yaitu

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

adanya temuan-temuan “formula pendidikan secara holistik” tentang “apa” dan

“bagaimana” suatu pendidikan seharusnya dilaksanakan, sehingga relevansi

kegiatan pendidikan bagi kehidupan dapat dialami di dalam kehidupan sehari-hari

(Gandhi HW, 2011:84).

Filsafat pendidikan harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar

di dalam dunia pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan

pengertian pendidikan, alasan pentingnya pelaksanaan pendidikan, sasaran atau

tujuan yang akan diraih dalam pelaksanaan pendidikan, dan cara agar sasaran atau

tujuan tersebut dapat dicapai atau direalisasikan. Filsafat pendidikan secara praktis

mempunyai empat peranan utama, yaitu “menginspirasikan, menganalisis,

mempreskriptifkan, dan menginvestigasi”(Gandhi HW, 2011: 86).

Filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup yang dibagi menjadi tiga

ruang, yaitu, ruang ontologi, ruang epistemologi, dan aksiologi. Ruang lingkup

ontologi akan mengupas mengenai hakikat pendidikan. Sedangkan pertanyaan

mengenai “mengapa” dan “bagaimana” pendidikan harus dijalankan akan dibahas

di dalam ruang lingkup epistemologi. Di dalam ruang lingkup epistemologi inilah

permasalahan mengenai pentingnya pendidikan di dalam kehidupan manusia akan

dibahas, sedangkan aksiologi membahas tentang arti keberadaan pendidikan dan

mempertanyakan tentang “validitasi urgenisasi umum”, yang mendukung

pentingnya peran pendidikan di dalam kehidupan (Gandhi HW, 2011: 89-90).

Di dalam filsafat pendidikan terdapat aliran-aliran. Salah satu aliran tersebut

adalah eksistensialisme yang menekankan pentingnya kebebasan personal.

Kebebasan inilah yang nantinya akan membawa seorang manusia menjadi

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

“otentik” dan hal ini merupakan “nilai pusat” bagi kaum eksistensialis (O’Neill,

2002:440). Eksistensialisme, yang berbicara tentang keberadaan manusia

merupakan aliran yang sangat dekat dengan dunia pendidikan, yang menjadikan

manusia sebagai pelaku utama dan satu-satunya, sebab hanya manusia yang

mampu mengadakan kegiatan belajar-mengajar. Penekanan kaum eksistensialis

terhadap pendidikan adalah pemenuhan diri dengan cara mendorong individu

untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena itu salah satu faktor penting

di dalam pendidikan adalah adanya pemberian “pengalaman yang luas dan

komprehensif dalam semua bentuk kehidupan”. Di samping itu, kebebasan siswa

menjadi faktor penting di dalam kurikulum, sehingga bersifat liberal (Gandhi HW,

2011:189).

Oleh karena itu, jika berbicara tentang kebebasan, Filsafat pendidikan,

khususnya eksistensialisme memandang kebebasan sebagai salah satu persoalan

penting untuk dibahas. Hingga saat ini, definisi tentang kebebasan sangat beragam

jenisnya, sehingga setiap individu mempunyai sudut pandang masing-masing.

Sudut pandang seseorang tentang kebebasan menentukan cara manusia tersebut

menemukan diri seutuhnya dan mempengaruhi pemikiran serta tindakannya. Oleh

karena itu, pembahasan tentang kebebasan dari sudut pandang Albert Camus

merupakan hal yang penting, sebagai upaya untuk menghayati diri menuju

manusia seutuhnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang

bercorak kualitatif deskriptif analisis kritis. Seluruh data yang disajikan dalam

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

kajian ini bersumber dari data kepustakaan berupa buku, artikel, jurnal,

ensiklopedi dan data lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

1. Materi Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan yang sumber datanya

diperoleh dari riset kepustakaan. Materi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua

sebagai berikut:

a. Materi Primer

Materi penelitian ini diperoleh dari karya-karya Albert Camus yang

berkaitan dengan kebebasan, yaitu:

1) Albert Camus, 1942, Le Mythe de Sisyphe, Librairie Gallimard,

France dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “The Myth of

Sisyphus and Other Essays”, penerjemah: Justin O’Brien, 1955,

Vintage Books, New York.

2) Albert Camus, 1999, “Mite Sisifus : Pergulatan dengan Absurditas”,

penerjemah: Apsanti D, PT. Gramedia, Jakarta.

3) Albert Camus, 1988, Resistance, Rebellion, and Death, Vintage

Internasional, Vintage Books, New York, dan diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul “Perlawanan, Pemberontakan,

Kematian”, alih bahasa : Ahmad Asnawi, 2001, Pustaka Promethea,

Surabaya.

4) Albert Camus, L’Envers et l’Endroit, dan diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul “Mati dalam Jiwa”, 2004, penerjemah

: Decky Juli Zafilus, Tinta, Yogyakarta.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23

b. Materi Sekunder

Materi sekunder diperoleh dari berbagai tulisan yang berkaitan dan

relevan dengan tema dan judul penelitian ini, yaitu:

1) Joko Siswanto, 2012, Filsafat Kejahatan, Lintang Pustaka Utama,

Yogyakarta.

2) Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 1996, “A Short History

of Philosophy”, Oxford University Press, New York dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saut Pasaribu, 2002,

dengan judul “Sejarah Filsafat”, Yayasan Bentang Budaya,

Jogjakarta.

3) M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: sebuah renungan

filsafat, PT. Gramedia bekerjasama dengan Pusat Pengembangan

Etika Atmajaya, Jakarta.

Di samping itu, penulis juga menggunakan buku-buku, jurnal, dan artikel-

artikel lain yang berhubungan dengan obyek material dan obyek formal.

2. Jalan Penelitian

Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian, antara lain:

a. Tahap pertama meliputi:

1) Pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder sesuai dengan

lingkup penelitian.

2) Pembuatan kategori dengan mengumpulkan dan menyatukan data ke

dalam satu kesatuan yang tersistematisasi.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24

b. Tahap kedua meliputi:

1) Klasifikasi data dan selanjutnya akan dilakukan pendeskripsian dan

penginterpretasian.

2) Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang segala hal yang

berhubungan dengan objek penelitian.

c. Tahap ketiga meliputi

1) Penyusunan draf hasil penelitian.

2) Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti

format atau aturan baku dalam penelitian.

3. Analisis hasil penelitian

Untuk mendukung analisis filosofis, penelitian ini akan menggunakan

metodologi dan unsur-unsur metodis analisis data yang bertitik tolak dari buku

yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, karya Kaelan

(2005:54-95). Adapun dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode

analisis data sebagai berikut:

a. Metode deskriptif

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang

bersifat kualitatif deskriptif, dengan menggunakan sumber data berupa buku-

buku yang berkaitan dengan Albert Camus. Metode deskriptif ini dilakukan

ketika penulis memaparkan pemikiran-pemikiran Albert Camus, teori-teori

yang berkaitan dengan Filsafat Pendidikan, khususnya tentang filsafat

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25

pendidikan eksistensialisme dan teori-teori yang menyangkut pendidikan di

Indonesia.

b. Metode analisis data

Dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode analisis data

sebagai berikut:

1) Verstehen, yaitu metode yang digunakan dalam tahap inventarisasi data.

Sejak awal pembacaan dan penulisan pemikiran Albert Camus, peneliti

sudah mencoba untuk memahami makna yang terdapat di dalam tulisan-

tulisan Camus (Kaelan, 2005:252).

2) Interpretasi data, yaitu metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan

data. Peneliti bermaksud untuk mengungkapkan arti dan esensi pemikiran

Albert Camus secara obyektif bertitik tolak pada data yang telah diperoleh.

Metode ini juga mencakup penerjemahan bahasa asing ke bahasa

Indonesia (Kaelan, 2005:252).

3) Hermeneutika, yaitu metode yang digunakan untuk menangkap maksud

dari pengarang. Definisi tentang hermeneutika ini diambil dari metode

Schleiermacher (Mustansyir,2009:36-38). Hermeneutika melibatkan

interpretasi terhadap data setelah data terkumpul sehingga dapat diperoleh

esensi pemikiran pengarang dan dipahami sesuai dengan konteks waktu

sekarang (Kaelan, 2005:252-253). Dalam hal ini peneliti mencoba untuk

memahami makna yang terkandung di dalam tulisan-tulisan Albert Camus,

melalui latar belakang kehidupannya dan tulisan-tulisan lain tentang

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26

Camus, sehingga peneliti dapat menangkap esensi pemikiran Camus

secara objektif dan sesuai dengan konteks sekarang.

4) Heuristika, yaitu suatu metode untuk menemukan dan mengembangkan

metode baru dalam suatu ilmu pengetahuan bahkan pada filsafat itu sendiri

(Kaelan, 2005: 96). Peneliti mencoba menganalisa pemikiran Albert

Camus dari sudut pandang filsafat pendidikan eksistensialisme untuk

menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi

pendidikan di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini diuraikan secara praktis dan teknis dalam

pelaksanaan penelitiannya. Sistematika penulisannya terdiri dari beberapa bab,

yaitu.

Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah,

meliputi rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode yang digunakan dalam

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang Filsafat Pendidikan yang menekankan aliran

pendidikan eksistensialis.

Bab III, berisi tentang riwayat hidup, latar belakang, karya-karya, tokoh

yang mempengaruhi Albert Camus, dan pikiran-pikiran pokok Albert Camus.

Bab IV, berisi tentang analisis tentang konsep kebebasan menurut Albert

Camus yang ditinjau dari filsafat pendidikan eksistensialisme.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27

Bab V, berisi tentang pemahaman tentang pendidikan, yang menjelaskan

tentang posisi manusia di dalam pendidikan, definisi dan batas-batas pendidikan,

serta tujuan pendidikan. Di samping itu, bab ini juga berbicara tentang

permasalahan pendidikan, serta relevansi pemikiran kebebasan Albert Camus di

dalam pendidikan di Indonesia.

Bab VI, merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/