bab i pendahuluan a. latar belakang...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinar ultra violet (uv) yang terdapat dalam sinar matahari merupakan sumber radikal bebas berenergi tinggi (Youngson, 2005). Senyawa radikal bebas dapat menimbulkan gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel dan penuaan dini. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu dengan penggunaan antoksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007). Antioksidan atau antiaging diformulasikan menjadi bentuk sediaan berupa sediaan peroral maupun topikal. Contoh sediaan yang ada di pasaran, yaitu soft capsul Natur-E untuk peroral dan face cream Natur-E dengan kandungan d-alfa tokoferol sebesar 100 I.U (Anonim, 2014). Biji labu berasal dari biji Cucurbita moschata Duch ex. Poir memiliki kandungan vitamin E yang tinggi pada pelarut petroleum eter, yaitu 1.234 mg/100g (Bark, 2014). Studi menunjukkan bahwa vitamin E mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat aktif terhadap radikal bebas serta dapat melindungi kulit terhadap sumber radikal bebas seperti sinar UV (Duval & Poelman, 1995). Kandungan vitamin E dari ekstrak biji labu akan lebih mudah dimanfaatkan apabila dibuat menjadi suatu bentuk sediaan. Pada penelitian ini ekstrak biji labu diformulasikan menjadi sediaan semi padat, yaitu krim.

Upload: dangxuyen

Post on 10-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sinar ultra violet (uv) yang terdapat dalam sinar matahari merupakan

sumber radikal bebas berenergi tinggi (Youngson, 2005). Senyawa radikal bebas

dapat menimbulkan gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel dan penuaan dini.

Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu dengan penggunaan

antoksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi

dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi,

2007). Antioksidan atau antiaging diformulasikan menjadi bentuk sediaan berupa

sediaan peroral maupun topikal. Contoh sediaan yang ada di pasaran, yaitu soft

capsul Natur-E untuk peroral dan face cream Natur-E dengan kandungan d-alfa

tokoferol sebesar 100 I.U (Anonim, 2014).

Biji labu berasal dari biji Cucurbita moschata Duch ex. Poir memiliki

kandungan vitamin E yang tinggi pada pelarut petroleum eter, yaitu 1.234 mg/100g

(Bark, 2014). Studi menunjukkan bahwa vitamin E mempunyai aktivitas

antioksidan yang sangat aktif terhadap radikal bebas serta dapat melindungi kulit

terhadap sumber radikal bebas seperti sinar UV (Duval & Poelman, 1995).

Kandungan vitamin E dari ekstrak biji labu akan lebih mudah dimanfaatkan apabila

dibuat menjadi suatu bentuk sediaan. Pada penelitian ini ekstrak biji labu

diformulasikan menjadi sediaan semi padat, yaitu krim.

2

Pembuaatan sediaan krim dibutuhkan agen pengemulsi untuk

mendispersikan komponen yang dikehendaki (Jenkins dkk., 1957). Terdapat

berbagai macam tipe emulgator, dengan demikian pemilihan sistem emulgator yang

tepat sangat menentukan sifat fisik serta stabilitas fisik (Aulton, 2002). Pada

penelitian ini tipe emulsi yang dipilih adalah tipe minyak dalam air (m/a).

Kelebihan krim tipe m/a mudah dibersihkan, dioleskan, dan mudah menyebar

merata di kulit. (Siegel & Ecanow, 1984).

Krim bertipe m/a diformulasi dengan mengkombinasikan asam stearat dan

triethanolamin (TEA). Dipilih TEA sebagai emulgator karena TEA akan

membentuk suatu emulsi m/a yang sangat stabil apabila dikombinasikan dengan

asam lemak bebas. Asam lemak yang paling sesuai untuk dikombinasikan dengan

TEA adalah asam stearat karena asam stearat tidak mengalami perubahan warna

seperti halnya asam oleat (Jenkins dkk., 1957). Asam stearat bereaksi dengan TEA

secara insitu menghasilkan suatu garam, yaitu trietanolamin stearat yang berfungsi

sebagai emulgator untuk emulsi tipe m/a (Aulton, 2002). Garam yang terbentuk

merupakan hasil reaksi stoikiometri. Masing-masing komponen bereaksi dengan

perbandingan yang sesuai. Pada umumnya digunakan 2-4% dari TEA dan 5-15%

asam stearat tergantung dengan jumlah minyak yang akan diemulsi (Jenkins dkk.,

1957).

Tujuan dari penelitian ini menentukan perbandingan yang sesuai dari

komponen emulgator agar diperoleh formula optimum sehingga dapat dihasilkan

krim ekstrak biji labu dengan syarat kualitas fisik terbaik. Kombinasi dari asam

stearat dan TEA dioptimasi menggunakan metode Simpelx Lattice Design (SLD)

3

dalam software Design Expert® versi 9.1.5. Trial. Menurut Bolton (1997) Formula

optimum suatu campuran bahan dapat diperoleh dengan metode SLD. Untuk

mengetahui stabilitas krim dilakukan uji stabilitas dipercepat pada formula

optimum dengan metode thaw cycling test.

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah perbandingan asam stearat dan TEA yang memenuhi kualitas fisik

krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan?

2. Apakah terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji labu

setelah uji stabilitas thaw cycling test?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan asam stearat dan TEA yang memenuhi kualitas fisik

krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan.

2. Mengetahui adanya perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji

labu setelah uji stabilitas thaw cycling test.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai

penggunaan emulgator asam starat dan TEA untuk menghasilkan krim yang

memenuhi persyaratan kualitas fisik dan stabil pada penyimpanan.

4

E. Tinjauan Pustaka

1. Labu (Cucurbita moschata Duch ex. Poir)

Gambar 1. Cucurbita moschata Duch ex. Poir. (Anonim, 2012)

a. Klasifikasi Tanaman

Marga : Cucurbita

Jenis : Cucurbita moschata Duch ex. Poir

b. Biji Labu

Gambar 2. Biji Cucurbita moschata Duch ex. Poir.

Biji dari labu jenis Cucurbita moschata Duch ex. Poir mengandung

beberapa komponen, yaitu asam amino, asam lemak, tokoferol, karotenoid, dan β-

Sitosterol. Kandungan asam lemak yang paling dominan, yaitu asam oleat sebesar

31,34±0,12% dan asam linoleat 35,72±0,25% sedangkan komponen terbesar dari

5

tokoferol adalah γ-tokoferol sebesar 66,85±4,90 mg/kg (Kim dkk., 2012). Menurut

Imaeda dkk (1999) biji labu dapat digunakan sebagai antioksidan karena kandungan

vitamin E (γ-tokoferol) yang cukup tinggi. Ekstrak biji labu secara signifikan dapat

meningkatkan aktivitas superoksida dismutase dan glutation peroksidase pada

serosa dan hati mencit serta dapat menurunkan konsentrasi dari malonaldehid

(Dang, 2004).

Vitamin E adalah antioksidan larut dalam lemak yang melindungi kulit dari

stres oksidatif salah satunya photoaging. Photoaging adalah penuaan dini akibat

produksi radikal oksigen di kulit yang berasal dari sinar uv secara terus-menerus.

Banyak penelitian yang mendokumentasikan bahwa vitamin E menempati posisi

utama sebagai antioksidan dan fotoproteksi yang sangat efisien sehingga dapat

mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dari kejadian patologis di kulit

(Nachbar & Korting, 1995).

2. Kulit

Gambar 3. Penampang anatomi kulit dan apendiks (Djuanda, 1999)

6

Keterangan:

A. Epidermis :

a. Dermis

Faktor yang mempengaruhi penetrasi dan kecepatan penyerapan perkutan

vitamin E pada manusia sebagian besar belum diketahui. Secara umum diasumsikan

bahwa dengan konsentrasi vitamin E sebesar 0,1% dapat meningkatkan kadar

vitamin E pada kulit (Thiele dkk., 2007). Adanya penggunaan vitamin E secara

topikal dapat meningkatkan konsentrasi vitamin E dalam dermis. Hal tersebut

terjadi karena akumulasi vitamin E pada kelenjar sebasea (Traber dkk., 1998).

Kulit merupakan bagian luar tubuh yang menutupi organ-organ tubuh

manusia. Rentang pH yang dimiliki kulit, yaitu 4,5-6,5. Oleh sebab itu, salah satu

persyaratan utama sediaan topikal harus memiliki pH yang sesuai dengan pH

normal kulit untuk menghindari terjadinya iritasi dan kulit bersisik (Djajadisastra,

1998). Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam

gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah

1. Stratum korneum 2. Stratum lusidum 3. Stratum granulosum 4. Stratum spinosum 5. Stratum basale 6. Pars papilare 7. Pars retikulare 8. Melanosit 9. Badan Meissner 10. Sel Langerhans 11. Glandula sebasea 12. Rambut 13. Muskulus arektor pili 14. Badan Pacini

B. Dermis :

C. Subkutis D. Unit kelenjar apokrin E. Unit kelenjar ekrin F. Vaskularisasi dermal : - Pleksus superfisialis - Pleksus profunda

7

mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus

(keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi, pengaturan

suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk

melindungi kulit dari bahaya sinar uv (Djuanda, 1999).

Secara anatomis kulit tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:

a. Lapisan epidermis

Lapisan epidermis terdiri dari beberapa lapisan, yaitu stratum korneum

(lapisan tanduk), stratum lusidum, stratum granulosum (lapisan keratohialin),

stratum spinosum (stratum malphigi), dan stratum basale.

b. Lapisan dermis

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari

pada epidermis. Secara garis besar lapisan dermis dibagi menjadi dua, yaitu pars

papilare dan pars retikulare.

c. Lapisan subkutis

Jaringan subkutis merupakan lapisan yang langsung di bawah dermis.

Lapisan subkutis terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.

3. Radikal Bebas

Radikal bebas memiliki sifat reaktif dan tidak stabil sehingga untuk

mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan

molekul sel tubuh dengan cara mengikat suatu elektron (Youngson, 2005). Radikal

bebas ini akan menyerang pertumbuhan sel termasuk Deoxy Nucleic Acid (DNA)

dan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Reaksi antara radikal bebas dengan

PUFA akan menimbulkan reaksi berantai yang mendorong terbentuknya reaksi

8

radikal bebas dalam jumlah yang banyak. Reaksi berantai ini akan terus menerus

berlangsung dalam tubuh, apabila tidak segera dicegah dapat merusak sel-sel

penting dalam tubuh (Astuti, 1995). Salah satu sumber radikal bebas adalah sinar

uv yang berasal dari sinar matahari. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan

radikal bebas yang dihasilkan akibat paparan sinar uv. Akumulasi dari ROS

menyebabkan berbagai macam tanda-tanda terjadinya penuaan (Pillai dkk., 2005).

Penuaan dini yang terjadi pada kulit merupakan hasil iradiasi sinar uv secara

terus-menerus. Peradangan dan hasil penumpukan ROS menyebabkan perubahan

biosintesis pada komponen matrik jaringan ikat dan menurunkan produksi kolagen

pada kulit yang mengalami photoaging (Tanaka dkk., 1993). Paparan sinar uv

menginisiasi dan mengaktifkan kaskade komplek dari reaksi biokimia pada kulit

manusia. Sinar uv adalah penyebab terjadinya penipisan antioksidan dan enzim

antioksidan, yaitu Superoxide Dismutase (SOD), menginisiasi kerusakan DNA, dan

menyebabkan peningkatan sintesis serta pelepasan mediator inflamasi dari berbagai

sel kulit. Terlepasnya mediator inflamasi dapat meningkatkan permeabilitas

sehingga neutrofil dapat bermigrasi ke dalam kulit. Hal tersebut merupakan faktor

pemicu terjadinya inflamasi dan terbentuknya radikal bebas. Peradangan dan ROS

menyebabkan kerusakan pada protein, lemak dan karbohidrat yang akan

terakumulasi pada dermis dan epidermis. Secara histologis, kulit menua ditandai

dengan perubahan pada jaringan elastin, epidermis menipis, perubahan pigmen

kulit, dan perubahan jaringan ikat kulit (Pillai dkk., 2005).

Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada

dasarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen. Namun, jika senyawa radikal

9

bebas berlebih di dalam tubuh atau melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan

seluler maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen

untuk menetralkan radikal yang terbentuk (Andayani dkk., 2008). Strategi yang

digunakan untuk menghindari kerusakan kulit akibat paparan sinar uv dengan

menggunakan tabir surya untuk mencegah penetrasi sinar uv dan menggunakan

antioksidan untuk mengkap ROS serta menghambat aktivasi neutrofil pada kulit

(Pillai dkk., 2005). Penggunaan antioksidan alfa tokoferol dapat mencegah

terjadinya perubahan kolagen yang diinduksi oleh ROS (Tanaka dkk., 1993).

4. Vitamin E (Tokoferol)

O

R'

HO

R''

CH3CH3

CH3

CH3 CH3 CH3

O

R'

HO

R''

CH3CH3

CH3

CH3 CH3 CH3

Tocopherols

Tocotrienols

Gambar 4. Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol

Vitamin E yang terdapat di alam berwujud sebagai tokoferol dan

tokotrienol. Tokoferol dan tokotrienol merupakan molekul amfipati dan larut dalam

lemak yang sangat mudah teroksidasi apabila terkena panas, cahaya, dan pada

kondisi basa (Kamal-Eldin dan Appelqvist, 1996) (Eitenmiller dan Lee, 2004).

Kedua zat tersebut masing-masing memiliki 4 vitamer, yaitu alfa tokoferol, beta

α: R’ = CH3, R’’ = CH3

β: R’ = CH3, R’’ = H

ɤ: R’ = H, R’’ = CH3

δ: R’ = H, R’’ = H

10

tokoferol, gama tokoferol, delta tokoferol, alfa tokotrienol, beta tokotrienol, gama

tokotrionol, delta tokotrienol. Alfa tokoferol merupakan senyawa dengan

biopotensi terbesar sebagai vitamin E sedangkan pada beta, gama, delta tokoferol

dan alfa, beta tokotrienol sebesar 50%, 10%, 3%, 30% and 5% dari alfa tokoferol

(Bramley dkk., 2000) (Eitenmiller dan Lee, 2004).

Tokoferol berwujud cairan minyak kental yang jernih berwarna coklat

kekuningan atau tidak berwarna, tidak berbau dan dapat diabsrobsi oleh plastik.

Adanya oksigen, garam besi dan perak dapat mengoksidasi tokoferol menjadi

tokoferil, tokoferil kuinon, tokoferil hidrokuinone, dimer, dan trimer. Oleh sebab

itu, penggunaan tokoferol dalam bentuk ester akan lebih stabil terhadap oksidasi

daripada tokoferol bebas. Namun, aktivitas antioksidan pada tokoferol ester kurang

efektif. Tokoferol harus disimpan dalam gas inert, wadah kedap udara, terlindungi

dari cahaya, dan ditempat yang sejuk serta kering. Titik didih dan titik leleh dari

tokoferol sebesar 235ºC dan 2,5-3,5ºC dengan kelarutan praktis tidak larut dalam

air dan larut dalam aseton, etanol 95%, eter, minyak tumbuhan (Rowe dkk., 2009).

Tokoferol atau vitamin E merupakan antioksidan yang memiliki peran

penting dalam fotoproteksi dan melindungi kerusakan kulit akibat radikal bebas.

Mekanisme kerja vitamin E, yaitu bereaksi dengan spesies oksigen reaktif dan

menyerap sinar uv untuk mencegah terjadinya oksidasi lemak di membran sel

khususnya PUFA (Nachbar & Korting, 1995).

Pada manusia, kadar vitamin E dalam epidermis lebih tinggi dibandingkan

dermis dengan konsentrasi yang dominan, yaitu alfa tokoferol (Rhie dkk., 2001)

(Thiele dkk., 1998). Sebum yang kaya akan lemak digunakan sebagai perantara

11

vitamin E dalam fotoproteksi pada kulit. Sifat lipofilik dari sebum dimanfaatkan

vitamin E untuk berpenetrasi hingga seluruh lapisan yang mendasari kulit. Adanya

paparan dari sinar uv dan faktor usia dapat menurunkan kandungan vitamin E pada

kulit (Rhie dkk., 2001). Oleh sebab itu, tambahan sumber vitamin E melalui aplikasi

topikal dapat meningkatkan akumulasi vitamin E hingga matriks lipid ekstraseluler

dari stratum korneum (Weber dkk., 1997).

5. Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Depkes RI, 1995).

Krim memiliki sifat alir pseudolastik (Siegel dan Ecanow, 1984). Krim terdiri atas

dua fase cairan, yaitu fase bersifat air dan fase minyak. Terjadinya krim sistem

emulsi m/a dengan cara mendispersikan butiran fase minyak ke dalam fase air,

sebaliknya krim dengan tipe emulsi a/m dibuat dengan cara mendispersikan fase air

ke dalam fase minyak (Martin dkk., 1993).

Krim terbuat dari suatu emulsi sehingga sangat rentan untuk terjadi

ketidakstabilan. Berikut macam-macam fenomena yang berhubungan dengan

ketidakstabilan emulsi:

a. Flokulasi

Flokulasi merupakan kumpulan dari partikel-partikel dalam emulsi untuk

membentuk agregat yang lebih besar. Namun, masih dapat didispersikan kembali.

Reversibilitas flokulasi tergantung pada kekuatan interaksi antara droplet dan rasio

volume pemisahan (Im-Emsap & Siepmann, 2002).

12

b. Creaming

Creaming terjadi ketika droplet-droplet terdispersi atau flokul-flokul

terpisah dari medium pendispersi akibat pengaruh gaya gravitasi (Im-Emsap &

Siepmann, 2002). Terjadinya creaming dapat dihindari dengan cara memperkecil

ukuran droplet, menyamakan berat jenis dari kedua fase dan menambah viskositas

dari fase kontinyu (Martin dkk., 1993).

c. Koalesen

Koalasen terjadi ketika penghalang mekanik atau listrik tidak mampu untuk

mencegah pembentukan droplet menjadi lebih besar yang dapat memicu pemisahan

sempurna (breaking). Koalesen dapat dicegah dengan pembentukan lapisan

antarmuka yang tersusun dari makromolekul atau partikel padat (Im-Emsap dan

Siepmann, 2002).

a. Sifat Fisik Krim

1). Uji Organoleptis Krim

Organoleptis yang meliputi parameter warna, bau, tekstur, dan homogenitas

dapat digunakan sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik suatu sediaan

yang bersifat subyektif (Sulaiman dan Kushwahyuning, 2008). Homogenitas

berpengaruh terhadap efektivitas terapi karena berhubungan dengan kadar obat

yang seragam pada setiap pemakaian. Jika sediaan homogen maka kadar zat aktif

pada saat pemakaian atau pengambilan akan selalu sama. Krim adalah suatu sediaan

yang cara pemakaiannya dioleskan pada tempat terapi sehingga setiap bagian zat

aktif harus memiliki kesempatan yang sama untuk menempati tempat terapi.

Kondisi ini dapat tercapai bila sediaan krim homogen (Alissya dkk., 2013).

13

2). Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viscotester. Viskositas

merupakan besaran yang menyatakan tahanan dari cairan untuk mengalir.

Viskositas juga sebagai perbandingan antara shear stress dan shear rate yang

dinyatakan dalam persamaan (Radebaugh, 1996):

Ƞ = σ / γ ....................................................................................................(1)

Keterangan: Ƞ = viskositas σ = shear stress γ = shear rate

Viskositas dipengaruhi oleh temperatur sehingga viskositas suatu cairan

akan menurun bila temperatur dinaikkan (Martin dkk., 1993). Penelitian shelf life

emulsi terhadap viskositas berhubungan dengan perubahan viskositas selama

penyimpanan. Viskositas yang menurun selama penyimpanan disebabkan karena

kenaikan ukuran tetesan emulsi. Hal tersebut merupakan salah satu tanda terjadinya

fenomena ketidakstabilan emulsi (Martin dkk., 1993).

3). Uji pH

Uji pH berguna untuk mengetahui pH krim yang telah dihasilkan. Keasaman

atau pH krim tidak boleh terlalu asam karena dapat mengiritasi kulit dan tidak

boleh terlalu basa karena dapat membuat kulit menjadi bersisik. Oleh sebab itu,

krim yang dihasilkan harus memiliki pH sesuai dengan pH normal kulit, yaitu 4,5-

6,5 (Djajadisastra 1988). Penurunan pH yang terjadi pada produk kemungkinan

karena pengaruh suhu dan adanya kandungan zat lain dalam sediaan yang dapat

ikut bereaksi (Dureja, 2010, Vasiljevic, 2005).

14

4). Uji Daya Sebar

Salah satu syarat sediaan krim adalah mudah dioleskan dan mudah merata.

Kemudahan dalam pengolesan tersebut dapat diketahui melalui uji daya sebar krim.

Daya sebar berkaitan dengan sifat penyebaran krim ketika digunakan pada sediaan

topikal. Dengan meningkatnya daya sebar maka luas permukaan kulit yang kontak

dengan krim akan semakin luas dan zat aktif akan terdistribusi dengan baik. Krim

yang baik memiliki daya sebar yang besar sehingga dapat diaplikasikan pada

permukaan kulit yang luas tanpa penekanan yang berlebihan (Alissya dkk., 2013).

Kemampuan daya sebar krim dilihat dari luas sebaran krim yang dihasilkan (Voigt,

1994).

5). Uji Daya Lekat

Krim harus dapat melekat pada kulit dalam waktu yang cukup untuk

memungkinkan terjadinya kontak dengan kulit. Waktu kontak yang cukup akan

memungkinkan krim bekerja efektif terhadap kulit sehingga kegunaan krim dapat

dirasakan sesuai yang diinginkan (Betageri dan Prabhu, 2002).

6). Uji Identifikasi Krim

Inversi dapat menyebabkan koalesen sehingga dianggap sebagai sumber

ketidakstabilan emulsi (Anief, 1999). Suatu emulsi dikatakan mengalami inversi

jika emulsi m/a berubah menjadi a/m atau sebalikanya (Swarbrick dkk., 2002). Tipe

emulsi digunakan sebagai parameter untuk mengetahui stabilitas krim selama

jangka waktu tertentu.

15

6. Emulgator

Emulgator merupakan bahan yang dapat menggabungkan fase dispers

dengan medium dispers. Secara termodinamik, penyebab emulsi bersifat tidak

stabil karena peningkatan energi permukaan akibat kombinasi antara luas

permukaan fase dispers dengan tegangan permukaan yang besar dan perbedaan

densitas dari dua fase. Agar emulsi dapat stabil selama periode waktu tertentu

diperlukan suatu bahan tambahan, yaitu emulgator (Naim, 2000). Emulgator pada

umumnya dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Surfaktan

Surfaktan merupakan suatu zat dengan gugus hidrofil dan lipofil berjumlah

sama dalam molekulnya. Surfaktan menstabilkan sistem emulsi dengan cara

teradsorbsi pada antarmuka dua cairan. Gugus hidrofil akan berada di bagian cair

sedangkan gugus lipofil akan berada di bagian minyak. Berdasarkan muatan yang

dihasilkan ketika terhidrolisis dalam air, surfaktan dibagi menjadi empat golongan,

yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan amfoterik, dan surfaktan

nonionik. Contoh dari emulgator golongan surfaktan adalah Sodium lauril sulfat,

trietanolamin stearat dan potasium laurat (Swarbrick dkk., 2002).

b. Hidrokoloid

Hidrokoloid merupakan koloid yang memiliki afinitas terhadap air. Afinitas

adalah sifat yang dapat bereaksi dengan air, larut atau dapat mengembang.

Hidrokoloid lebih banyak digunakan sebagai emulgator pembantu atau zat

pengental. Prinsip mekanisme penstabilan emulsi dengan emulgator hidrokoloid,

yaitu:

16

1) Pembentukan lapisan film multimolekular pada permukaan minyak-air

Hidrokoloid tidak mampu mengurangi tegangan antar permukaan sehingga

efektifitasnya tergantung pada kemampuan untuk membentuk lapisan film

multimolekular yang kuat. Lapisan film multimolekular tersebut akan mengelilingi

tetesan fase dalam sehingga mencegah terjadinya koalesen.

2) Meningkatkan viskositas medium dispers

Contoh dari emulgator hidrokoloid yang dapat meningkatkan medium

dispers adalah gom arab, xanthan gum, alginat, gelatin, dan derivat selulosa

(Swarbrick dkk., 2002).

c. Zat padat halus yang terdispersi

Emulgator jenis padatan terdispersi merupakan padatan dengan ukuran

partikel lebih kecil daripada ukuran partikel fase dispers serta mempunyai sifat

pembasahan pada permukaan dua cairan. Zat terdispersi berkumpul pada batas fase

air dan minyak lalu membentuk lapisan padat untuk mencegah terjadinya koalesen

fase dalam (Mollet & Grubenmann, 2011). Contoh dari emulgator zat padat yang

terdispersi, yaitu magnesium hidroksida, bentonit, dan aluminium hidroksida

(Allen, 2002).

7. Thaw Cycling Test

Thaw Cycling Test dilakukan untuk menguji produk terhadap kemungkinan

mengalami kristalisasi atau berawan dan menguji krim sebagai indiaktor kestabilan

emulsi (Rieger, 2000). Pengujian dilakukan dengan menyimpan krim pada suhu 4ºC

dan suhu 40±2ºC selama 24 jam (Dewi dkk., 2014). Thaw cycling test maupun freeze

thaw digunakan sebagai parameter kestabilan sediaan terhadap kondisi tertentu

17

seperti penyimpanan dan shipping, tetapi tidak dapat digunakan untuk

memprediksikan shelf life suatu sediaan. Penyimpanan bergantian pada suhu yang

ekstrim akan memberikan stress condition (CTFA,2004). Perubahan fisik meliputi

organoleptis, pH, ada tidaknya pemisahan, kristalisasi, dan sifat fisik sediaan yang

diamati sebelum dan sesudah thaw cycling test.

8. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut. Menurut Goeswin (2007) hal yang harus diperhatikan dalam

pembuatan ekstrak antara lain:

a. Jumlah simplisia yang akan diekstraksi

Jumlah ini digunakan untuk perhitungan dosis obat.

b. Derajat kehalusan simplisia

Penting untuk proses ekstraksi dapat berjalan semaksimal mungkin. Kehalusan

menyangkut luas permukaan yang akan kontak langsung dengan penyari.

c. Jenis pelarut yang digunakan

Pelarut yang akan digunakan harus aman. Selain itu, pelarut menentukan efisiensi

proses penarikan zat berkhasiat dari tanaman obat.

d. Suhu penyari

Digunakan untuk menentukan jumlah dan kecepatan penyarian.

e. Lama waktu penyarian

Penting untuk menentukan jumlah bahan yang tersari.

18

f. Proses ekstraksi

Adanya bahan atau komponen ekstrak yang peka terhadap cahaya maka proses

ekstraksi harus terlindung dari cahaya.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000) beberapa metode ektraksi yang

sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain cara dingin dan cara panas.

Cara dingin terdapat dua mekanisme, yaitu maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah

proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan

sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan

secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat

pertama dan seterusnya disebut remaserasi. Sedangkan cara panas meliputi refluks,

digesti, sokletasi, infundasi, dan dekoktasi.

9. Pengukuran Aktivitas Antioksidan

Radikal bebas yang umumnya digunakan sebagai model dalam penelitian

antioksidan atau penangkap radikal bebas adalah radikal DPPH (1,1-Diphenyl-2-

Picrylhydrazyl). Metode DPPH secara luas digunakan untuk menguji kemampuan

senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau donor hidrogen

serta untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan dari makanan. Metode DPPH

merupakan metode yang akurat, cepat, dan mudah untuk mendeteksi aktivitas

penangkap radikal beberapa senyawa (Prakash dkk., 2001). DPPH adalah radikal

bebas yang stabil pada suhu kamar. Pada saat menerima elektron atau radikal

hidrogen, radikal DPPH akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil.

Interaksi antioksidan dengan DPPH secara transfer elektron maupun transfer

19

radikal hidrogen DPPH akan menetralkan radikal bebas dari DPPH agar dihasilkan

DPPH tereduksi. Jika semua elektron dalam radikal bebas DPPH telah berpasangan

maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang pada λmax 517 nm.

Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang

ditangkap oleh molekul radikal DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux,

2004).

Parameter yang digunakan untuk menentukan aktitivitas antioksidan adalah

Efficient Concentration (EC50) atau Inhibition Concentration (IC50), yaitu

konsentrasi senyawa antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%.

Semakin rendah nilai EC50 atau IC50 senyawa maka aktivitas antioksidan semakin

kuat (Brand-Williams, 1995). Suatu zat dikatakan mempunyai sifat antioksidan bila

nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Apabila nilai IC50 yang diperoleh 200-1000 ppm,

maka zat tersebut kurang aktif sebagai antioksidan. Namun, berpotensi untuk

menjadi antioksidan (Molyneux, 2004).

N

N

O2N NO2

NO2

N

NH

O2N NO2

NO2

A B

Gambar 5. Struktur DPPH, A)bentuk radikal bebas; B)bentuk tereduksi

20

10. Simplex Lattice Design (SLD)

Simplex Lattice Design (SLD) merupakan suatu metode yang digunakan

untuk menentukan formula optimum pada suatu formulasi. Dasar metode SLD,

yaitu adanya dua variabel bebas A dan B. Rancangan dibuat dengan memilih dua

kombinasi dari campuran dua variabel bebas dan setiap kombinasi diamati respon

yang diperoleh. Persyaratan yang dipenuhi adalah jumlah total variabel bebas harus

konstan (satu bagian). Hubungan antara respon dan komponen dapat digambarkan

dengan rumus :

Y = a [A] + b [B ] + ab [A] [B] ................................................................(2)

Keterangan : Y = respon yang diharapkan a, b, ab = koefisien yang didapat dari percobaan [A] [B] = fraksi (bagian) komponen

dengan persyaratan:

0 ≤ [A] ≤ 1, 0 ≤[B] ≤ 1 ................................................................................(3)

Nilai respon yang dihasilkan dari percobaan disubtitusikan ke dalam

persamaan 2 dan diperoleh nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai koefisien

tersebut diketahui maka respon (nilai Y) pada setiap variasi campuran A dan B

dapat dihitung. Dengan demikian, didapatkan gambaran profil dari campuran A dan

B (Bolton, 1997).

11. Monografi Bahan

a. Asam stearat

Asam stearat dalam sediaan topikal digunakan sebagai bahan pengemulsi.

Dalam pembuatan basis krim netral (nonionik) asam stearat dinetralisasi dengan

penambahan alkali. Zat ini mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida,

21

kloroform, dan eter; larut dalam etanol, heksan dan propilen glikol; praktis tidak

larut dalam air. Asam stearat tidak menyebabkan toksik atau iritasi serta memiliki

titik leleh: >54ºC. Dalam sediaan krim konsentrasi yang digunakan adalah sebesar

1-20% (Rowe dkk., 2009).

b. Trietanolamin (TEA)

Trietanolamin (TEA) dalam sediaan topikal dalam farmasetika digunakan

sebagai bahan pengemulsi anionik untuk menghasilkan emulsi m/a yang homogen

dan stabil. TEA sangat higroskopis, serta memiliki titik leleh 20-21ºC. Konsentrasi

yang umum digunakan sebagai emulgator 2-4% (Rowe dkk., 2009).

c. Setil Alkohol

Setil alkohol merupakan alkohol lemak yang berbentuk serpihan licin,

granul, atau kubus yang mengandung susunan kelompok hidroksil. Setil alkohol

banyak digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pengeras dalam sediaan krim.

Titik leleh dari setil alkohol sebesar 45-52 ºC. Bahan ini sangat mudah larut dalam

etanol 95% dan eter serta tidak larut dalam air. Kelarutan akan meningkat bila

suhunya dinaikkan. Konsentrasi umum digunakan sebagai pengeras adalah 2-10%

dan sebagai bahan pengemulsi maupun emolien adalah 2-5% (Rowe dkk., 2009).

d. Gliserin

Gliserin biasa digunakan sebagai emolien, humektan dan bahan pengawet

dalam sediaan formulasi topikal dan kosmetik. Fungsi gliserin sebagai humektan

untuk mempertahankan tingkat kandungan air dalam produk dengan cara

mengurangi penguapan air selama pemakaian sehingga pembentukan kerak dalam

wadah yang dikemas dapat dihindari. Gliserin sedikit larut dalam aseton, tidak larut

22

dalam benzena dan kloroform, dapat bercampur dengan etanol dan metanol, serta

tidak larut dalam minyak (Rowe dkk., 2009).

e. Adeps Lanae

Adeps lanae merupakan lemak bulu Ovis aries L. yang telah dimurnikan,

dibersihkan dan dihilangkan warna serta baunya. Mengandung air tidak lebih dari

0,25%. Pemerian dari Adeps lanae bermassa seperti lemak, lengket, warna kuning,

dan bau khas. Adeps lanae tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol

dingin, lebih larut dalam etanol panas, mudah larut dalam eter dan kloroform. Suhu

leburnya, yaitu antara 38ºC dan 44ºC (Rowe dkk., 2009).

f. Metil Paraben

Dalam sediaan farmasetika, produk makanan, dan kosmetik metil paraben

digunakan sebagai bahan pengawet. Zat ini dapat digunakan sendiri atau

dikombinasikan dengan jenis paraben lain. Efektifitas metil paraben pada rentang

pH 4-8. Kelarutan dalam etanol 95% (1:3) dan eter (1:10). Konsentrasi metil

paraben yang digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,02%-0,3% (Rowe dkk.,

2009).

g. Propil Paraben

Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet. Aktivitas antimikroba

ditunjukkan pada pH antara 4-8. Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet

dalam kosmetik, makanan dan produk farmasetika. Penggunaan kombinasi paraben

dapat meningkatkan aktivitas antimikroba. Konsentrasi propil paraben yang

digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,01%-0,6%. Propil paraben sangat larut

23

dalam aseton dan eter, mudah larut dalam etanol dan metanol, sangat sedikit larut

dalam air (Rowe dkk., 2009).

h. Air suling

Air suling adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air

murni adalah air yang diperoleh melalui proses distilasi, penukar ion, osmosis balik,

atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum

dan tidak mengandung zat tambahan lain. Pemerian air murni, yaitu cairan jernih,

tidak berwarna, dan tidak berbau (Depkes RI, 1995).

F. Landasan Teori

Pemilihan emulgator sangat menentukan sifat dan kegunaan krim (Aulton,

2002). Kombinasi agen pengemulsi digunakan untuk meningkatkan sifat fisik dan

stabilitas fisik suatu krim (Elfiyani dkk., 2013). Menurut Sharon dkk (2013)

penggunaan kombinasi emulgator asam stearat dan TEA dengan konsentrasi

12%:3% dapat menghasilkan krim antioksidan yang memenuhi stabilitas mutu

fisik. Oleh karena itu, untuk memperoleh formula optimum dibutuhkan

perbandingan emulsifying agent yang sesuai. Formula optimum suatu campuran

bahan dapat diperoleh dengan metode SLD (Bolton, 1997). Krim yang berasal dari

formula optimum memenuhi persyaratan kualitas fisik dan stabil selama

penyimpanan, terbukti tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada parameter

pengujian sebelum dan sesudah uji stabilitas (Pardede, 2014).

Metode uji stabilitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji stabilitas

dipercepat, yaitu thaw cycling test. Thaw cycling test digunakan untuk menguji

stabilitas emulsi produk kosmetik (Djajadisastra, 1988) pada perbedaan temperatur

24

yang ekstrim, yaitu pada 4ºC dan 40ºC (Elya dkk., 2013). Panas akan mempercepat

pemecahan emulsi karena temperatur yang tinggi berperan aktif dalam

mentidakstabilkan film yang rigid (Nofrizal dan Prashetya, 2011). Hal tersebut

mengakibatkan penurunan viskositas krim (Martin dkk., 1993). Pada keadaan

dingin akan terjadi pelepasan air pada sediaan. Namun, sistem emulsi akan tetap

stabil apabila film pengemulsi dapat bekerja kembali di bawah tekanan yang

diinduksi oleh kristal es sebelum koalesen (Juwita dkk., 2013). Jika sistem

emulgator pada krim mampu menjaga stabilitas krim selama thaw cycling test maka

tidak akan terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik sediaan krim.

G. Hipotesis

1. Metode SLD dapat menghasilkan perbandingan asam stearat dan TEA yang

memenuhi kualitas fisik krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan.

2. Tidak terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji labu

setelah uji stabilitas thaw cycling test.