bab i pendahuluan a. latar belakang -...

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum menurut E. Utrecht dalam bukunya “Pengantar Hukum Indonesia” adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. 1 Sedangkan menurut E. Meyers dalam bukunya De Algemenen begrippen van het Burgerlijk Recht mengungkapkan bahwa hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya. Dari beberapa pandangan ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan-aturan, norma-norma yang mengatur tingkah laku atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Hukum ada bertujuan untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan keadilan ditengah- tengah kehidupan masyarakat. Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman yaitu pengawasan/ pengendalian sosial ( social control), penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan rekayasa sosial (social 1 Yulies Tisna. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 6.

Upload: duongtu

Post on 07-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum menurut E. Utrecht dalam bukunya “Pengantar Hukum

Indonesia” adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam

suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang

bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat

menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.1 Sedangkan menurut

E. Meyers dalam bukunya De Algemenen begrippen van het Burgerlijk Recht

mengungkapkan bahwa hukum adalah semua aturan yang mengandung

pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam

masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam

melakukan tugasnya.

Dari beberapa pandangan ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

hukum merupakan seperangkat aturan-aturan, norma-norma yang mengatur

tingkah laku atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Hukum ada

bertujuan untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan keadilan ditengah-

tengah kehidupan masyarakat. Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M.

Friedman yaitu pengawasan/ pengendalian sosial (social control),

penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan rekayasa sosial (social

1 Yulies Tisna. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 6.

2

enginerring).2 Dalam upaya penegakan hukum, termasuk agar tujuan hukum

dapat tercapai dan terpenuhi maka diperlukan sistem hukum yang menjadi

dasar atau standar, dimana sistem hukum nantinya akan terbagi menjadi dua

sub sistem, yaitu sub sistem peraturan dan sub sistem peradilan.

Sistem hukum yang berlaku disuatu negara tidak terlepas daripada

sistem hukum di dunia. Secara umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi

dua yaitu sistem hukum common law dan sistem hukum civil law. Kedua

sistem hukum tersebut memiliki perbedaan dan ciri tersendiri yaitu, jika pada

sistem hukum common law didominasi dengan hukum tidak tertulis (asas

stare decisis) melalui putusan hakim, sedangkan pada sistem hukum Eropa

Kontinental didominasi oleh hukum tertulis (kodifikasi). Lebih lanjut pada

sistem hukum common law tidak terdapat pemisahan yang jelas dan tegas

antara hukum publik dan hukum privat, sedangkan pada sistem hukum civil

law ada pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum

privat.3

Indonesia sendiri pada mulanya menganut sistem hukum civil law, hal

ini tidak lain dikarenakan adanya asas konkordansi dimana secara historis

Indonesia pernah dijajah oleh Belanda kurang lebih selama 350 tahun

sehingga harus mengikuti sistem hukum yang dibawanya. Akan tetapi dalam

perkembangannya, Indonesia tidak lagi terikat sepenuhnya dengan sistem

2 Lawrence M. Friedman. 1977. Law and Society an Introduction. New Jersey.

Prentice Hall. Hlm 11-12.

3 Ibid. Hlm. 125

3

hukum tersebut, karena saat ini beberapa komponen sistem hukum Anglo

Saxon diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia, baik pada subsistem

peraturan maupun subsistem peradilan.

Sistem peradilan sebagai suatu sub sistem hukum, ia bergantung pada

kekuatan sistem hukum yang dianut oleh masyarakat, maka dapat dikatakan

bahwa keutuhan sistem hukum sangat menentukan sistem peradilannya agar

berfungsi dengan baik. Begitu pula sistem hukum yang dianut oleh suatu

negara senantiasa diikuti oleh sistem peradilannya.4

Salah satu bentuk adopsi dari sistem hukum Anglo Saxon yang

dilakukan oleh Indonesia adalah adanya sistem jalur khusus yang tercantum

pada pasal 199 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan RUU KUHAP) yang mengadopsi

plea bargaining system yang pada umumnya berlaku di lingkup peradilan

pidana di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika

Serikat, Spanyol, Inggris, dll. Pengadopsian tersebut tidak mutlak, namun

disertai dengan beberapa penyesuaian karena tim perumus RUU KUHAP

tidak menghendaki sistem adversarial yang murni untuk diterapkan dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia.

Tidak ada definisi baku mengenai Plea Bargaining System, namun dari

beberapa sumber dapat dirumuskan bahwa Plea Bargaining System adalah

4 Marwan Mas. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor. Ghalia Indonesia. Hlm. 124.

4

proses dimana penuntut umum dan tertuduh5 dalam suatu proses peradilan

pidana melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak untuk

kemudian dimintakan persetujuan pengadilan, biasanya didalamnya termasuk

pengakuan bersalah (plea guilty) tertuduh untuk mendapatkan keringanan

tuntutan atau untuk mendapatkan beberapa keuntungan lain yang

memungkinkan untuk memperoleh keringanan hukuman.6 Jadi, yang menjadi

titik tekan dari sistem ini adalah adanya negosiasi atau perundingan antara

penuntut umum dan terdakwa mengenai tuntutan yang dijatuhkan kepada

terdakwa diluar agenda persidangan.

Pengadopsian plea bargaining system kedalam sistem jalur khusus pada

RUU KUHAP diharapkan dapat memecahkan permasalahan penumpukan

perkara yang ada pada lingkup peradilan pidana di Indonesia yang belum

mampu terselesaikan meskipun dalam sistem peradilan pidana terdapat asas

peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Ketentuan asas cepat, sederhana

dan biaya ringan terdapat pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Adapun penjelasan dari ayat tersebut yang dimaksud dengan sederhana

adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

5 Dalam beberapa literatur yang ditemukan oleh penulis, penyebutan terdakwa

sebagaimana dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dalam pembahasan sistem peradilan

pidana di common law disebut sebagai tertuduh

6 Hazel B. Kerper. Introduction to the criminal justice System. Second ed, West

publishing company. hlm. 185.

5

dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan yaitu konteks acara haruslah

jelas dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Asas cepat yaitu bahwa

proses keseluruhan peradilan dari tahap awal sampai akhir haruslah cepat

dimana dapat dimaknai sebagai efisiensi dan efektivitas dalam hal waktu dan

tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan yang dimaksud

dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh

masyarakat, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa masyarakat yang

dimaksud adalah masyarakat dari segala lapisan sehingga hukum dan

keadilan dapat dicapai oleh semua orang. Namun demikian, asas sederhana,

cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di

pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari

kebenaran dan keadilan.

Permasalahan penumpukan perkara pada lingkup sistem peradilan

pidana di Indonesia terlihat pada data yang penulis peroleh dari Website atau

laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia dimana pada tahun 2013

sampai dengan 2014 yaitu pada presentase perkara yang harusnya

diselesaikan pada tahun 2013 namun menjadi perkara yang masih harus

diselesaikan ditahun berikutnya yaitu tahun 2014. Adapun data yang

dipaparkan adalah sebagai berikut :

6

Tabel 1:

Presentase jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung tahun

2013 sampai dengan tahun 2014

Sumber : http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id

Menurut presentase diatas, pada perkara pidana tahun 2013 menyisakan

945 perkara pidana dan 1.265 perkara pidana khusus untuk dituntaskan

ditahun 2014, ditambah lagi perkara baru yang masuk pada tahun berjalan

tahun 2014 yaitu 1.793 perkara pidana dan 2.763 perkara pidana khusus.

Hingga akhir tahun 2014, masih terdapat perkara pidana dan pidana khusus

yang belum mampu tertuntaskan yaitu 586 perkara pidana dan 844 perkara

pidana khusus yang kembali harus dituntaskan ditahun selanjutnya yaitu

tahun 2015.

Konsep plea bargaining system sebenarnya telah dikenal di Indonesia

meskipun terdapat beberapa perbedaan namun dilain sisi juga terdapat

beberapa karakteristik yang sama yaitu diantaranya sebagai berikut. Pertama,

7

dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU

LPSK) yang berbunyi :

“Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat

dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

Namun dalam praktik pasal ini tidak berjalan, ketentuan ini jarang sekali

digunakan oleh penuntut umum dan hakim yang memutus suatu perkara, hal

ini disebabkan oleh tak adanya aturan pelaksana yang menjadi pedoman pasal

tersebut.7

Kedua, dalam hal justice collaborator yang dimaknai sebagai saksi pelaku

dalam suatu tindak pidana tertentu yang bekerja sama. Atas justice

collaborator perlakuan terhadapnya telah diatur dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011

tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi

Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborators) didalam Perlakuan Tindak

Pidana Tertentu. Menurut SEMA tersebut, yg dapat dikatakan sebagai justice

collaborators yaitu yang merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu

dalam SEMA tersebut namun bukan merupakan pelaku utama, mengakui

kejahatan yang dilakukan, bersedia memeberikan keterangan sebagai saksi

dalam proses peradilan. justice collaborators tersebut akan mendapatkan

7 Ali. Belajar Konsep Plea Bargain dari USA. http://hukumonline.com. Diakses pada

22 Februari 2017

8

beberapa “keistimewaan” dalam menghadapi perkara pidana yang

dijalaninya.

Ketiga, juga terdapat dalam konsep diversi dalam Undang-Undang No.

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni mengalihkan

suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan

ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum.8 Dalam Pasal 8 ayat (1) UU a quo dikatakan bahwa:

“proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak

dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing

kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan

pendekatan keadilan Restoratif”.

Hal yang sama dalam ketentuan ini dengan plea bargaining system yaitu

adanya musyawarah ataupun perundingan antar pihak yang sedang

“berperkara”, namun dalam hal ini berbeda pihak dengan plea bargaining

system yang dilakukan oleh penuntut umum dengan terdakwa atau penasehat

hukumnya. Dilain sisi, plea bargaining sebagai “hadiah” bagi justice

collaborator yang kooperatif dalam mengungkap suatu tindak pidana hanya

berdasarkan pada kebijakan pimpinan instansi Penuntut Umum yaitu

Kejaksaan Negeri

Sistem jalur khusus pada RUU KUHAP pada intinya memberikan

pilihan kepada terdakwa untuk memberikan pengakuannya atas tindak pidana

yang didakwakan kepadanya dalam tahap persidangan yaitu setelah agenda

pembacaan dakwaan penuntut umum, namun sistem ini hanya dapat

8 Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi

dan Restorative Justice. PT. Refika Aditama. Bandung. Hlm. 168.

9

diterapkan kepada tindak pidana yang ancaman pidana penjara yang

didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun dan pengakuan tersebut

diserahkan kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus

perkara tersebut, dalam artian hakim dapat menilai apakah pengakuan

terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan padanya benar atau tidak.

Apabila majelis hakim tidak yakin dengan pengakuan terdakwa maka proses

pemeriksaan berlanjut ke tahap selanjutnya, namun apabila majelis hakim

meyakini pengakuan yang diberikan oleh terdakwa tersebut benar, maka

proses pemeriksaan dialihkan menjadi acara pemeriksaan singkat dan

pengakuan terdakwa tersebut dituangkan dalam berita acara tersendiri.

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk penulisan tugas

akhir atau skripsi dengan judul :

“ Analisis Terhadap Penerapan Sistem Jalur Khusus (Plea Bargaining

System) dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Studi Terhadap Pasal

199 RUU KUHAP) “

B. Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas dan agar penelitian ini

lebih terarah dan terperinci sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka

penulis dapat menarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep sistem jalur khusus dalam Pasal 199 RUU

KUHAP?

10

2. Bagaimana potensi penerapan sistem jalur khusus Pasal 199 RUU

KUHAP dalam sistem peradilan pidana Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka

tujuan yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep sistem jalur khusus dalam Pasal 199

RUU KUHAP;

2. Untuk mengetahui potensi penerapan sistem jalur khusus Pasal

199RUU KUHAP dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan agar memberikan manfaat dan kegunaan

sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan bagi Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan tim perumus pada

perumusan RUU KUHAP khususnya pada ketentuan mengenai jalur

khusus ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana.

11

2. Manfaat praktis

a. Bagi Penulis

Menambah wawasan baru yang bersifat komprehensif

yang kemudian dapat dijadikan sebagai modal dalam

meningkatkan proses belajar untuk mengembangkan

keintelektualan dalam bidang hukum acara.

b. Bagi masyarakat umum, akademisi, praktisi dan lain-lain.

Sebagai media referensi bagi masyarakat umum,

akademisi, praktisi dalam hal pemahaman mengenai sistem

jalur khusus yang termuat dalam pasal 199 RUU KUHAP.

3. Kegunaan akademis

a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan

Strata 1 (S-1) di bidang hukum;

b. Sebagai sumbangsih perkembangan konsentrasi hukum acara

atau praktisi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Malang.

E. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini

yaitu menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu melihat hukum

sebagai norma di dalam masyarakat dan pendekatan yang menggunakan

konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik

12

dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-

lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga

memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup

dan terlepas dari kehidupan masyarakat.9

2. Jenis bahan hukum

Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan ini adalah :

a. Bahan hukum primer

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Konvensi-konvensi internasional yang relevan, Draft

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana Tahun 2012, Naskah akademik RUU KUHAP dll.

b. Bahan hukum sekunder

Buku, jurnal, hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,

hasil kegiatan ilmiah tentang hukum acara pidana, sistem peradilan

pidana baik di Indonesia maupun lain negara, dan plea bargaining

system

9 Ronny Hanitijo Soemitro. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia

Indonesia. Jakarta. hlm. 11.

13

c. Bahan hukum tersier

Bahan-bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

yaitu ensiklopedi, kamus, glossary, dll.

4. Teknik pengumpulan bahan hukum

a. Studi kepustakaan

Merupakan kegiatan pengumpulan data-data terkait yang

dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan kepustakaan yang

diantaranya berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal

maupun penelitian terdahulu yang serupa (dalam bentuk skripsi,

thesis, disertasi) yang membahas mengenai sistem peradilan pidana

baik secara umum maupun di Indonesia dan negara lain, hukum

acara pidana, plea bargaining system dan jalur khusus dalam RUU

KUHAP.

b. Studi internet

Merupakan kegiatan penelusuran dan pencarian bahan-bahan

melalui internet dari website resmi maupun artikel anonim yang

membahas mengenai sistem peradilan pidana baik secara umum

maupun di Indonesia dan negara lain, hukum acara pidana, plea

bargaining system dan jalur khusus dalam RUU KUHAP yang

nantinya melengkapi bahan hukum yang telah ditemukan

sebelumnya.

14

5. Teknik analisa bahan hukum

Analisa terhadap bahan hukum dalam penulisan hukum yang

normatif yaitu dengan analisis isi (content analysis) dan analisis

perbandingan (comparative analysis).

F. Rencana Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hukum ini, penulis membagi pembahasan ke dalam

empat bab, dimana setiap bab dibagi atas beberapa sub-bab yang bertujuan

untuk mempermudah pemahaman. Adapun sistematika penulisannya adalah

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik

dari penulisan hukum ini dan sekaligus menjadi pengantar umum memahami

penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang, rumusan

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode

penulisan, dan rencana sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan berisi deskripsi atau uraian tentang kajian-kajian teori

hukum terkait topik penulisan hukum ini yang nantinya akan menjadi dasar

pembahasan dan mendukung dalam proses penulisan tentang sistem peradilan

pidana, plea bargaining system dan jalur khusus dalam RUU KUHAP

15

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan berisi analisis penulis secara mendalam dan objektif

mengenai sistem jalur khusus dari perspektif sistem peradilan pidana

berdasarkan teori-teori hukum yang relevan.

BAB IV PENUTUP

Bab ini akan memuat kesimpulan dan saran atas hasil dari analisa

permasalahan yang diteliti.