bab i pendahuluan a. latar belakang -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ukuran kedewasaan seseorang sebagai subyek hukum yang cakap, didalam hukum adat seseroang telah dikatakan dewasa apabila ia telah purna jeneng yaitu mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda dan keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. 1 Seseorang akan melangsungkan perkawinan setelah beranjak dewasa dengan pasangan hidupnya yang bertujuan membentuk suatu keluarga bahagia lahir batin serta mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi dalam keluarganya. Budaya perkawinan dan peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Perkawinan dan keluarga menurut hukum adat memiliki kolerasi yang sangat tajam. Bukan semata mata merupakan ikatan kontraktual antara laki-laki dengan seorang perempuan, perkawinan adalah implemetasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan keluarga. 1 Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. Hal 73. 2 Hilman Hadikusuma. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. CV Bandar Maju. Hal 1.

Upload: haxuyen

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ukuran kedewasaan seseorang sebagai subyek hukum yang cakap,

didalam hukum adat seseroang telah dikatakan dewasa apabila ia telah

purna jeneng yaitu mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus

harta benda dan keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala

tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggung

jawabkan segala tindakannya.1

Seseorang akan melangsungkan perkawinan setelah beranjak

dewasa dengan pasangan hidupnya yang bertujuan membentuk suatu

keluarga bahagia lahir batin serta mendapatkan keturunan sebagai penerus

generasi dalam keluarganya. Budaya perkawinan dan peraturan yang

berlaku pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan

lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.2

Perkawinan dan keluarga menurut hukum adat memiliki kolerasi

yang sangat tajam. Bukan semata – mata merupakan ikatan kontraktual

antara laki-laki dengan seorang perempuan, perkawinan adalah

implemetasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk

membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan keluarga.

1 Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. Hal 73.

2 Hilman Hadikusuma. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. CV Bandar Maju. Hal

1.

2

Sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sangat

mempengaruhi dalam hal pewarisannya. Di Indonesia secara umum ada

tiga sistem kekeluargaan yaitu sistem patrilineal, dimana kedudukan pria

lebih menonjol pengaruhnya dalam pembagian warisan sehingga hanya

anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris. Sebaliknya dalam sistem

matrilineal kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan

kedudukan laki-laki dalam pewarisan ahli waris dalam sistem matrilineal

adalah mereka yang ada pada garis ibu. Pada sistem parenatal / bilateral

yaitu sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis ayah dan ibu sehingga

tidak ada perbedaan kedudukan antara pihak laki-laki dan perempuan

dalam memperoleh warisan.3

Hukum waris Indonesia bersifat majemuk, hal tersebut terjadi

karena Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Hukum Waris

Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum waris adat di

Indonesia bersifat pluralistik disebabkan oleh karena sistem garis

keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar sistem suku-suku bangsa

dan kelompok-kelompok etnik. Sehubungan dengan belum adanya

Undang-Undang tersebut di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem

hukum kewarisan yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam, dan Adat.4

Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat berlaku

untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia

3 Haniam Maria. 2015. “ Mengenal Sistem Kekerabatan Patrilineal dan Matrilineal”.

http://www.kompasiana.com. Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.35

4 Soerjono Soerkanto. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal

12.

3

keturunan Tionghoa maupun Eropa yang keturunannya diatur dalam Buku

II KUH Perdata. Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal,

yang dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130 KUH

Perdata. Orang-orang yang berhak menerima warisan dibedakan menjadi

dua macam yaitu ditentukan oleh undang-undang, pada hal ini mewaris

dapat berdasarkan kedudukan sendiri atau mewaris berdasarkan

penggantian tempat dan ahli waris yang ditentukan berdasarkan wasiat.

Dalam pasal 832 KUH Perdata yang ditentukan sebagai ahli waris adalah

para keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama.5

Dalam hukum islam dikenal dengan istilah Faraid yang dapat

diartikan bagian-bagian tertentu yang diperuntukan bagi ahli waris tertentu

dalam hal atau keadaan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an

Surah An Nisaa ayat 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan

Islam , diantaranya bagian separuh anak laki-laki sama dengan bagian dua

anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua

maka bagi merek 2/3 dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu

seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dari ibu bapak,

bagi masing-masingnya 1/6 dari harta yang ditinggalkan.

Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang

beragama Islam yang diatur dalam pasal 171-214 Kompilasi Hukum

Islam. Didalam Bab II Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menjelaskan

tentang ahli waris yaitu ahli waris dipandang beragama islam apabila

5 Obbie Afri Gultom. 2014.” Ketentuan Waris BW”. http://www.gultomlawconsultants.com.

Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.55

4

diketahui dari kartu identitas atau pengakuan, amalan, kesaksian,

sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa

beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.6 Ketentuan-ketentuan

diatas hanya berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama islam.

Ketentuan kedudukan ahli waris dalam hukum juga dapat dilihat

dalam hukum waris adat yang berlaku diberbagai daerah di Indonesia.

Dalam hal mengenai kedudukan ahli waris, hukum adat melihatnya atas

sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat tersebut. Seperti

yang sudah dijelaskan diatas sebelumnya di Indonesia ada tiga sistem

kekerabatan yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral.

Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap

pengaturan hukum waris adat, terutama terhadap penetapan ahli waris dan

bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat mengenal

tiga sistem kewarisan yaitu sistem kewarisan individual yaitu sistem

kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara

perorangan misalnya di Jawa, Batak , Sulawesi. Sistem kewarisan kolektif

yaitu sistem yang menetukan bahwa para ahli waris mewaris harta

peningggaan secara bersama-sama sebab harta peninggalan yang diwarisi

itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli

waris. Sistem kewarisan mayorat yaitu sistem yang mentukan bahwa harta

peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini

6 Nurul Fajrien. 2014. “ Studi Komparatif Pembagian Waris Anak Perempuan Antara Hukum

Waris Islam Dengan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata”. Hasil Penelitian Fundamental

DIKTI, Pontianak.

5

ada dua macam yaitu mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki

tertua/sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal.7

Kedudukan ahli waris dalam KUH Perdata yang menetapkan tertib

keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan

dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Undang-undang tidak

membeda-bedakan ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, juga

tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli

waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota

keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping.8

Kedudukan ahli waris dalam hal ada anak laki-laki dan perempuan

pembagiannya 2:1, seorang anak laki-laki mendapat perolehan sebanyak

dua orang anak perempuan. Jika dalam keluarga hanya ada anak

perempuan maka ia mendapat jaminan dengan bagian tertentu yang

disebut dengan dzul faraa’idh. Dzul faraa’idh yaitu ahli waris yang sudah

ditentukan dalam Al- Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu

mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-berubah. Adapun

rincian masing-masing ahli waris dzul- faraa’idh ini dalam Al- Quran

tertera dalam surat An- Nisaa ayat 11, 12, dan 176.9

Menentukan ahli waris dalam hukum adat tidak lepas dari sistem

kekelurgaan yang dianut oleh masing-masing daerah di Indonesia. Pada

sistem kekelurgaan patrilineal yang berhak mewarisi harta peninggalan

7 Eman Suparman. 2007. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw.

Bandung. PT Refika Aditama. Hal. 43

8 ibid. hal 30

9 Sajuti Thalib. 2000. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 118.

6

pewaris hanyalah keturunan laki-laki, sedangkan anak perempuan sama

sekali tidak mewaris. Titik tolak anggapan tersebut adalah emas kawin

yang membuktikan bahwa perempuan dijual, adat lakoman yang

membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suami yang

meninggal dan lain sebagainya.10

Pada sistem kekerabatan matrilineal mereka berasal dari satu ibu

yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara

perempua, ibu dan saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan,

dan seterusnya menurut garis perempuan. Dengan sendirinya semua anak

itu hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta

pusakan tinggi maupun untuk pusaka rendah.11

Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumya yaitu sistem

kekeluargaan patrilineal dan matrilineal, ahli waris dalam sistem

kekeluargaan parental atau bilateral adalah anak laki-laki dan perempuan

tanpa adanya perbedaan didalamnya. Mereka mempunyai hak yang sama

atas harta peninggalan orang tuanya.12

Sistem kekerabatan patrilineal di Bali lazim disebut dengan istilah

sistem “kepurusan/purusa” (laki-laki). Dalam sitem ini, hubungan seorang

anak dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan

bapaknya. Keluarga dari bapaknya, atau keluarga dari pancer laki-laki

adalah yang paling penting dalam kehidupnnya, misalnya pancer laki- laki

10 Eman Supatman. Op. cit. Hal 45.

11

Asri Thaher. 2006. “ Sistme Pewarisan Kekerabatan Patrilineal dan Perkembangannya di

Kecamatan Banuhampu Pemerinthan Kota Agam Propinsi Sumatera Barat”. Hasil Penelitian

Fundamental DIKTI, Semarang.

12

Eman Suparman. Op.cit. hal 60

7

lah yang mewaris segala sesuatunya, kasta si anak mengikuti kasta

bapaknya. Anak dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan

mengikuti kasta bapaknya, akan tetapi hanya anak laki-laki yang

dikemudian hari menjadi penerus keturunan ayahnya. 13

Anak perempuan di Bali tidak menjadi penerus keturunan dalam

Hukum Adat Bali yang mana masyaraktnya menganut sistem kekerabatan

patrilineal. Apabila terjadi perkawinan diluar lingkungan keluarga purusa

(laki-laki), maka ia tidak mendapatkan hak terhadap harta kekayaan orang

tuanya. Anak laki laki yang mewarisi semua harta warisan, keturunan,

membayar hutang orang tua, dan melakukan upacara kematian ngaben jika

orang tua meninggal, sebab anak laki-laki sebagai garis purusa (sistem

keturunan laki-laki) yang dipersiapkan untuk melanjutkan keturunan.

Tidak demikian dengan nasib dan kedudukan anak perempuan, apabila

anak perempuan menikah maka dianggap sudah keluar dari lingkungan

(clan, soroh atau marga), maka anak perempuan tidak memiliki kewajiban

terhadap orang tua dan clannya.

Hal tersebut menyebabkan perempuan tidak diberikan hak untuk

mewaris. Hanya jika saudara laki-laki mengikhlaskan untuk memberikan

suatu pemberian sama rata atau memilih untuk tidak menikah sepanjang

hidup atau wanita dapat berposisi purusa (sistem keturunan laki-laki )

apabila perkawinan dilakukan dengan sistem nyentana. Sistem perkawinan

nyentana adalah sistem perkawinan dimana pihak perempuan tidak keluar

13 I Putu Angga. 2014. “Hak Waris Anak Perempuan Terhadap Garta Guna Kaya Orang

Tuanya Menurut Hukum Waris Adat Bali”. Artikel Ilmiah Penelitian Fundamental DIKTI, Jember

8

dari clan atau kerabat ayah kandungnya namun membawa pihak laki-laki

masuk kedalam kerabat ayah kandung perempuan sehingga laki-laki

berubah kedudukannya menjadi perempuan dan perempuan berubah

kedudukannya menjadi laki -laki.14

Mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung M.A.tanggal 3-

12-1958 No. 200K/Sip/1958 menurut hukum adat Bali yang berhak

mewaris sebagai ahli waris ialah hanya keturunan laki - laki dari pihak

keluarga laki -laki dan anak angkat laki-laki.15

Selanjutnya melalui Keputusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia tanggal 16 November 1999 Reg No. 4766K/Pdt//1998 yang

menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang

peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa

bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Putusan

Mahkamah agung ini tidak terlalu berpengaruh terhadap waris seseorang

perempuan di Bali dikarenakan putusan Mahkamah Agung ini

bersebarangan dengan Hukum Adat Bali dan juga hukum agama hindu.

Beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalil hukum adat

untuk mengingkari hukum yang berlaku dinegara ini. Hukum adat Bali

secara fungsional menggeser keberadaan hukum nasional yang akibatnya

menciptakan suatu sangkar diskriminasi bagi perempuan Bali.

14 Desy Erina. 2013. “ Pembagian Waris Bagi Wanita Dalam Hukum Waris Adat Bali setelah

Dikeluarkannya Putusan Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010”. Hasil

Penelitian Fundamental DIKTI, Yogyakarta.

15

Luh Putu Anggreni.2016. Kesetaraan Dalam Hukum Adat Bali http://www.balisruti.com/

Diakses tanggal 25 Februari 2016,pukul 23.00

9

Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi merasa

kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga.16

Dewasa ini pewarisan dalam masyarakat Bali telah mengalami

perkembangan khususnya dalam hal persamaan hak bagi perempuan di

Bali yang diatur di Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali No.

01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 oktober 2010, tentang hasil-

hasil Pasamuan Agung III MUDP Bali.

Secara singkat isi dari keputusan Majelis Utama Desa Pakraman

Bali yaitu : “ sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan

Keputusan Pesamuan Agung III MUDP ( Majelis Utama Desa Pakraman)

Bali No. 01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 oktober 2010.

Wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusha setelah dipotong

1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum

wanita Bali yang pindah ke agama orang lain, mereka tidak berhak atas

hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa

dana atau bekal sukarela”.17

Berdasarkan uraian diatas dilihat bahwa anak perempuan yang

kawin dan dan tidak menjadi purusa (sistem keturuan laki-

laki) berhak untuk mewarisi harta peninggaan dari pewaris.

Dewasa ini ternyata hasil Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman

melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010

16 Gek Ela Kumala Parwita, 2011, Diskriminasi DiBalik Hukum Adat, Balisruti, edisi Februari

2011, Bali.

17

Hukum Online. 2012.”Hak Waris Anak Perempuan Menurut Adat Bali”.

http://www.hukumonline.com Diakses Tanggal 12 Mei 2016, pukul 9. 22

10

khusunya di wilayah Desa Adat Penglipuran, keputusan ini masih dipakai

sebagai pilihan hukum, sehingga putusan ini bisa digunakan atau tidak.

Tidak menutup kemungkinan keputusan Majelis Utama Desa Pakaraman

ini digunakan atau tidak oleh masyarakat Desa Penglipuran Bali.

Penulis melalui penelitian ini mengaji mengenai sejarah,

pertimbangan tokoh adat, serta implementasi Keputusan Majelis Utama

Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-

3/MDP Bali/X/2010 di Desa Adat Penglipuran terhadap kedudukan ahli

waris anak perempuan dengan penulisan skripsi yang berjudul :

“IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MAJELIS UTAMA DESA

PAKRAMAN MELALUI PESAMUAN AGUNG NO. 1/KEP/PSM-

3/MDP Bali/X/2010 TERHADAP KEDUDUKAN AHLI WARIS

ANAK PEREMPUAN DI BALI (Studi di Desa Penglipuran Bali)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang dan pertimbangan tokoh adat dengan

ditetapkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010?

2. Bagaimana implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman

Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP BALI/x/2010

terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa Penglipuran

Bali ?

11

3. Apa faktor penghambat implementasi Keputusan Majelis Utama Desa

Pakraman Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP

BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa

Penglipuran Bali ?

C. Tujuan

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui latar belakang dan pertimbangan tokoh adat dengan

ditetapkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010

terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa Penglipuran

Bali.

2. Untuk mengetahui implementasi Keputusan Majelis Utama Desa

Pakraman Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP

BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa

Penglipuran Bali.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Melalui Pesamuan Agung

No. 1/KEP/PSM-3/MDP BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris

anak perempuan di Desa Penglipuran Bali.

D. Manfaat dan Kegunaan

Manfaat dan kegunaan yang ingin di capai penulis dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut :

12

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

wawasan kepada pembaca guna kepentingan perkembangan ilmu

hukum, khususnya pada bidang hukum waris adat dimasa yang akan

datang mengenai implementasi serta faktor penghambat didalam

melaksanakan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010

terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali, khususnya

diwilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian yaitu Desa

Penglipuran.

2. Secara Praktis

a. Bagi penulis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah ilmu

pengetahuan, wawasan serta pengalaman bagi penulis dalam

mengembangkan teori – teori hukum didalam kehidupan

masyarakat khususnya pada hukum waris adat di Desa Penglipuran

Bali, selain itu sebagai syarat akademis penulis untuk mendapat

gelar Sarjana(S1) dibidang Ilmu Hukum.

b. Bagi Penegak Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada penegak hukum serta bisa dijadikan bahan pertimbangan

dalam menyelesaikan permasalahn-permasalahan hukum waris

adat, terutama dengan di keluarkannya Keputusan Majelis Utama

13

Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor

01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris

anak perempuan di Bali, khususnya diwilayah yang dipilih sebagai

lokasi penelitian yaitu Desa Penglipuran.

c. Bagi Masyarakat

Hasil peneitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

dan wawasan kepada masyarakat luas, bagaiamana sebenarnya

kedudukan anak perempuan dengan adanya Keputusan Majelis

Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor

01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris

anak perempuan di Bali, khususnya diwilayah Desa

Penglipuran,sehingga memberikan informasi mengenai pembagian

warisan yang sesuai dengan perkembangan ilmu hukum sekarang

ini.

E. Metode Penelitian

Didalam melakukan penulisan skripsi, untuk memberikan

kebenaran dalam penulisan skripsi serta mencari data-data yang akan di

teliti maka tidak akan lepas dari metode penelitian yang dipakai oleh

penulis. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan,

dimana penulis langsung datang kelokasi penelitian. Metode ini juga

digunakan dengan beberapa metode tertentu yaitu :

14

1. Metode Pendekatan

Penyusunan sebuah karya ilmiah wajib diperlukannya data-

data yang akurat, relevan serta dapat dipertanggung jawabkan. Untuk

itu metode pendekatan merupakan salah satu hal penting dalam

memperoleh data- data yang akurat hal ini dapat dilakukan dengan cara

melakukan penelitian langsung di lapangan atau ruang lingkup tertentu

untuk memperoleh data yang akurat. Dalam hal ini penulis

menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Dalam

pendekatan yuridis sosiologis, hukum sebagai Law In Action,

dideskripsikan sebagai gejala sosial yang empiris.18

Dengan demikian hukum tidak sekedar diberikan arti sebagai

jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum

positif, tetapi juga diberikan makna sebagai sistem ajaran tentang

kenyataan, perilaku yang teratur, atau hukum dalam arti petugas.

Dengan metode pendekatan ini diharapkan apakah implementasi dari

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung

III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli

waris anak perempuan di Bali khususnya di Desa Penglipuran sudah

berjalan dengan kesesuaian antara peraturan berlaku dengan kenyataan

sosial yang ada di lapangan.

18 Mohammad Nazir. 2011. Metode Penelitian. Bogor. Penerbit. Ghalia Indo. Hal. 53

15

2. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Desa

Penglipuran yang berada di Wilayah Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini

merupakan salah satu desa adat yang berada dalam lingkungan Desa

Pakraman di Bali. Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat

yang berada di kabupaten Bangli pulau Bali, didesa ini masalah

mengenai pewarisan masih sangat kental dengan hukum adatnya.

Sedangkan pada tahun 2010 dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama

Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-

3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di

Bali. Yang mana secara garis besar seorang ahli waris perempuan di

Bali berhak akan warisan dari pewaris.

Sesuai dengan fokus kajian dari Penulis maka untuk

mengetahui bagaimana kontribusi masyarakat adat Desa Penglipuran

dengan dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman

melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP

Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali.

Apakah dengan adanya putusan ini masyarakat tetap menggunakan

hukum adatnya atau menjalankan putusan tersebut.

3. Jenis Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam hal ini adalah data

yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis.

Adapun sumber pengumpulan data adalah sebagai berikut :

16

a. Data Primer

Data primer adalah jenis data yang diperole melalui

wawancara, dokumen tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat

dan lain – lain yang diperoleh dari sumber utama/pertama. 19

Sumber utama disini yaitu, Kepala adat Desa Penglipuran Bali,

tokoh adat yang ada di Desa Penglipuran Bali, responden yang

mempunyai pengetahuan tentang permasalahan yang dikaji oleh

penulis yang diperoleh dengan wawancara serta hasil yang akurat.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari

dokumen tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat dan lain – lain

yang diperoleh dari sumber kedua (buku, jurnal, hasil penelitian

terdahulu dan lain – lain ).20

c. Data Tersier

Jenis data mengenai pengertian baku bahan hukum yang dapat

menjelaskan baik bahan hukum primer maupun sekunder yang

diperoleh dari Ensiklopedia, Kamus, Grossary dan lain-lain21

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara

sebagai berikut :

a. Wawancara

19 Fakultas Hukum UMM. 2012 Pedoman Penilisan Hukum. hal 18

20

ibid

21

ibid

17

Wawancara adalah proses tanya jawab lisan antara dua orang atau

lebih secara langsung. Pewancara disebut sebagai interviewer dan

orang yang diwawancarai disebut sebagai interviewe. Pada

penelitian ini penulis menggunakan jenis wawancara tidak

terpimpin yang merupakan tanya jawab yang terarha untuk

mengumpulkan data – data yang relevan saja. Pada wawancara ini

pertanyaan yang diajukan sistematis, sehingga mudah diolah

kembali, pemecahan masalah menjadi lebih mudah,

memungkinkan anlisis kuantitatif dan kualitatif, dan kesimpulan

yang diperoleh lebih reliabel.22

Adapun responden pada penelitian ini yaitu :

1. Ketua adat Desa Penglipuran Bali wawancara tentang

implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010

terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa

Penglipuran.

2. Tokoh adat Desa Penglipuran wawancara tentang sejarah dan

pertimbangan tokoh adat dengan adanya Keputusan Majelis

Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor

01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli

waris anak perempuan di Desa Penglipuran.

22

Ali. 2015. “Pengertian Wawancara, Tujuan Wawancara, Jenis Wawancara

“.http://www.informasiahli.com/ Diakses tanggal 6 Maret 2016,pukul 23.00

18

3. Responden dari masyarakat Desa Penglipuran Bali yang pernah

mengadakan pembagian warisan setelah adanya Keputusan

Majelis Utama Desa Pakraman Melalui Pesamuan Agung No.

1/KEP/PSM-3/MDP BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli

waris anak perempuan di Desa Penglipuran Bali.

b. Metode Kepustakaan

Metode yang digunakan yaitu mengumpulkan data dengan

membaca buku – buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel,

sumber dokumen, media elektronik, peraturan perundang -

undangan yang membantu didalam melengkapi data yang

berhubungan dengan masalah yang di kaji oleh penulis. Metode

kepustakaan ini dilakukan dengan cara mempelajari, memahami

dengan masalah yang dikaji oleh penulis berupa :

i. Bahan Hukum Primer

Data sekunder bahan hukum primer berupa himpunan peraturan

perundang – undangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan

Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap

kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali, Undang –

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab

Undang – Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847

Nomor 23), Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

19

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019).

ii. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa himpunan studi kepustakaan

berupa buku- buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, artikel dan

lain sebagainya.

iii. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier berupa bahan hukum dari ensiklopedia,

kamus hukum, grossary dan lain sebagainya yang dapat

membantu objek dari penelitian penulis.

5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa pada penelitian ini menggunakan teknik analisa

data deskriptif kualitatif. Teknik analisa data deskriptif kualitatif ialah

peneliti memaparkan data yang didasarkan pada kualitas yang relevan

dengan permasalahan yang dikaji oleh penlis dengan menguraikan

data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis,

tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan dalam

pemahaman dan interprestasi data.23

Penelitian kualitatif berusaha mengungkapkan gejala secara

menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui

pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti

23 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti.

Bandung. Hal 172.

20

sebagai instrumen kunci.24

Tujuan analisa data yaitu untuk mengaji

seberapa jauh sebuah Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman

melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP

Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa

Penglipuran.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan hukum ini, penulis akan menyajikan

empat bab yang terdiri dari sub bab yang bertujuan untuk mempermudah

penulis dalam penulisannya. Sistematika penulisan ini juga akan

menyesuaikan dengan buku panduan penulisan skripsi yang terdiri dari :

1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latarbelakng masalah pemilihan topik penulisan

skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum didalam memahami

penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,kegunaan

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi kajian – kajian teori- teori hukum yang mendukung

penulis dalam menulis skripsi terkait permasalahan yang diangkat oleh

penulis yaitu tentang sejarah dikeluarkannya Putusan Pesamuan agung

III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, pertimbangan tokoh

adat dan implementasi setelah adanya Putusan Pesamuan agung III

24

Suparno.(etal.,). 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang. UNM. Hal 28.

21

Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa

Penglipuran Bali.

3. BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan, menjelaskan, dan menganalisa data

terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis sejarah

dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010,

pertimbangan tokoh adat dan implementasi setelah adanya Keputusan

Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan agung III Nomor

01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa Penglipuran Bali.

4. BAB IV PENUTUP

Pada bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan, ini merupakan intisari

darihasil penelitian yang dibuat seringkas mungkin, selain itu penulis

juga memberikan saran yang merupakan sumbangan pemikiran

penulis terkait dengan permasalahan yang diangkat mengenai sejarah

dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui

Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010,

pertimbangan tokoh adat dan implementasi setelah adanya Keputusan

Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan agung III Nomor

01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa Penglipuran Bali.