bab i pendahuluan a. latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ukuran kedewasaan seseorang sebagai subyek hukum yang cakap,
didalam hukum adat seseroang telah dikatakan dewasa apabila ia telah
purna jeneng yaitu mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus
harta benda dan keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala
tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggung
jawabkan segala tindakannya.1
Seseorang akan melangsungkan perkawinan setelah beranjak
dewasa dengan pasangan hidupnya yang bertujuan membentuk suatu
keluarga bahagia lahir batin serta mendapatkan keturunan sebagai penerus
generasi dalam keluarganya. Budaya perkawinan dan peraturan yang
berlaku pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.2
Perkawinan dan keluarga menurut hukum adat memiliki kolerasi
yang sangat tajam. Bukan semata – mata merupakan ikatan kontraktual
antara laki-laki dengan seorang perempuan, perkawinan adalah
implemetasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk
membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan keluarga.
1 Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. Hal 73.
2 Hilman Hadikusuma. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. CV Bandar Maju. Hal
1.
2
Sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sangat
mempengaruhi dalam hal pewarisannya. Di Indonesia secara umum ada
tiga sistem kekeluargaan yaitu sistem patrilineal, dimana kedudukan pria
lebih menonjol pengaruhnya dalam pembagian warisan sehingga hanya
anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris. Sebaliknya dalam sistem
matrilineal kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan
kedudukan laki-laki dalam pewarisan ahli waris dalam sistem matrilineal
adalah mereka yang ada pada garis ibu. Pada sistem parenatal / bilateral
yaitu sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis ayah dan ibu sehingga
tidak ada perbedaan kedudukan antara pihak laki-laki dan perempuan
dalam memperoleh warisan.3
Hukum waris Indonesia bersifat majemuk, hal tersebut terjadi
karena Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Hukum Waris
Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum waris adat di
Indonesia bersifat pluralistik disebabkan oleh karena sistem garis
keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar sistem suku-suku bangsa
dan kelompok-kelompok etnik. Sehubungan dengan belum adanya
Undang-Undang tersebut di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem
hukum kewarisan yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam, dan Adat.4
Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat berlaku
untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia
3 Haniam Maria. 2015. “ Mengenal Sistem Kekerabatan Patrilineal dan Matrilineal”.
http://www.kompasiana.com. Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.35
4 Soerjono Soerkanto. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal
12.
3
keturunan Tionghoa maupun Eropa yang keturunannya diatur dalam Buku
II KUH Perdata. Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal,
yang dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130 KUH
Perdata. Orang-orang yang berhak menerima warisan dibedakan menjadi
dua macam yaitu ditentukan oleh undang-undang, pada hal ini mewaris
dapat berdasarkan kedudukan sendiri atau mewaris berdasarkan
penggantian tempat dan ahli waris yang ditentukan berdasarkan wasiat.
Dalam pasal 832 KUH Perdata yang ditentukan sebagai ahli waris adalah
para keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama.5
Dalam hukum islam dikenal dengan istilah Faraid yang dapat
diartikan bagian-bagian tertentu yang diperuntukan bagi ahli waris tertentu
dalam hal atau keadaan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an
Surah An Nisaa ayat 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan
Islam , diantaranya bagian separuh anak laki-laki sama dengan bagian dua
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua
maka bagi merek 2/3 dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dari ibu bapak,
bagi masing-masingnya 1/6 dari harta yang ditinggalkan.
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam yang diatur dalam pasal 171-214 Kompilasi Hukum
Islam. Didalam Bab II Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menjelaskan
tentang ahli waris yaitu ahli waris dipandang beragama islam apabila
5 Obbie Afri Gultom. 2014.” Ketentuan Waris BW”. http://www.gultomlawconsultants.com.
Diakses tanggal 8 April 2016, pukul 0.55
4
diketahui dari kartu identitas atau pengakuan, amalan, kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.6 Ketentuan-ketentuan
diatas hanya berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama islam.
Ketentuan kedudukan ahli waris dalam hukum juga dapat dilihat
dalam hukum waris adat yang berlaku diberbagai daerah di Indonesia.
Dalam hal mengenai kedudukan ahli waris, hukum adat melihatnya atas
sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat tersebut. Seperti
yang sudah dijelaskan diatas sebelumnya di Indonesia ada tiga sistem
kekerabatan yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral.
Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap
pengaturan hukum waris adat, terutama terhadap penetapan ahli waris dan
bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat mengenal
tiga sistem kewarisan yaitu sistem kewarisan individual yaitu sistem
kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara
perorangan misalnya di Jawa, Batak , Sulawesi. Sistem kewarisan kolektif
yaitu sistem yang menetukan bahwa para ahli waris mewaris harta
peningggaan secara bersama-sama sebab harta peninggalan yang diwarisi
itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli
waris. Sistem kewarisan mayorat yaitu sistem yang mentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini
6 Nurul Fajrien. 2014. “ Studi Komparatif Pembagian Waris Anak Perempuan Antara Hukum
Waris Islam Dengan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata”. Hasil Penelitian Fundamental
DIKTI, Pontianak.
5
ada dua macam yaitu mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki
tertua/sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal.7
Kedudukan ahli waris dalam KUH Perdata yang menetapkan tertib
keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan
dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Undang-undang tidak
membeda-bedakan ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, juga
tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli
waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota
keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping.8
Kedudukan ahli waris dalam hal ada anak laki-laki dan perempuan
pembagiannya 2:1, seorang anak laki-laki mendapat perolehan sebanyak
dua orang anak perempuan. Jika dalam keluarga hanya ada anak
perempuan maka ia mendapat jaminan dengan bagian tertentu yang
disebut dengan dzul faraa’idh. Dzul faraa’idh yaitu ahli waris yang sudah
ditentukan dalam Al- Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu
mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-berubah. Adapun
rincian masing-masing ahli waris dzul- faraa’idh ini dalam Al- Quran
tertera dalam surat An- Nisaa ayat 11, 12, dan 176.9
Menentukan ahli waris dalam hukum adat tidak lepas dari sistem
kekelurgaan yang dianut oleh masing-masing daerah di Indonesia. Pada
sistem kekelurgaan patrilineal yang berhak mewarisi harta peninggalan
7 Eman Suparman. 2007. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw.
Bandung. PT Refika Aditama. Hal. 43
8 ibid. hal 30
9 Sajuti Thalib. 2000. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 118.
6
pewaris hanyalah keturunan laki-laki, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Titik tolak anggapan tersebut adalah emas kawin
yang membuktikan bahwa perempuan dijual, adat lakoman yang
membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suami yang
meninggal dan lain sebagainya.10
Pada sistem kekerabatan matrilineal mereka berasal dari satu ibu
yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara
perempua, ibu dan saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan,
dan seterusnya menurut garis perempuan. Dengan sendirinya semua anak
itu hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta
pusakan tinggi maupun untuk pusaka rendah.11
Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumya yaitu sistem
kekeluargaan patrilineal dan matrilineal, ahli waris dalam sistem
kekeluargaan parental atau bilateral adalah anak laki-laki dan perempuan
tanpa adanya perbedaan didalamnya. Mereka mempunyai hak yang sama
atas harta peninggalan orang tuanya.12
Sistem kekerabatan patrilineal di Bali lazim disebut dengan istilah
sistem “kepurusan/purusa” (laki-laki). Dalam sitem ini, hubungan seorang
anak dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan
bapaknya. Keluarga dari bapaknya, atau keluarga dari pancer laki-laki
adalah yang paling penting dalam kehidupnnya, misalnya pancer laki- laki
10 Eman Supatman. Op. cit. Hal 45.
11
Asri Thaher. 2006. “ Sistme Pewarisan Kekerabatan Patrilineal dan Perkembangannya di
Kecamatan Banuhampu Pemerinthan Kota Agam Propinsi Sumatera Barat”. Hasil Penelitian
Fundamental DIKTI, Semarang.
12
Eman Suparman. Op.cit. hal 60
7
lah yang mewaris segala sesuatunya, kasta si anak mengikuti kasta
bapaknya. Anak dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan
mengikuti kasta bapaknya, akan tetapi hanya anak laki-laki yang
dikemudian hari menjadi penerus keturunan ayahnya. 13
Anak perempuan di Bali tidak menjadi penerus keturunan dalam
Hukum Adat Bali yang mana masyaraktnya menganut sistem kekerabatan
patrilineal. Apabila terjadi perkawinan diluar lingkungan keluarga purusa
(laki-laki), maka ia tidak mendapatkan hak terhadap harta kekayaan orang
tuanya. Anak laki laki yang mewarisi semua harta warisan, keturunan,
membayar hutang orang tua, dan melakukan upacara kematian ngaben jika
orang tua meninggal, sebab anak laki-laki sebagai garis purusa (sistem
keturunan laki-laki) yang dipersiapkan untuk melanjutkan keturunan.
Tidak demikian dengan nasib dan kedudukan anak perempuan, apabila
anak perempuan menikah maka dianggap sudah keluar dari lingkungan
(clan, soroh atau marga), maka anak perempuan tidak memiliki kewajiban
terhadap orang tua dan clannya.
Hal tersebut menyebabkan perempuan tidak diberikan hak untuk
mewaris. Hanya jika saudara laki-laki mengikhlaskan untuk memberikan
suatu pemberian sama rata atau memilih untuk tidak menikah sepanjang
hidup atau wanita dapat berposisi purusa (sistem keturunan laki-laki )
apabila perkawinan dilakukan dengan sistem nyentana. Sistem perkawinan
nyentana adalah sistem perkawinan dimana pihak perempuan tidak keluar
13 I Putu Angga. 2014. “Hak Waris Anak Perempuan Terhadap Garta Guna Kaya Orang
Tuanya Menurut Hukum Waris Adat Bali”. Artikel Ilmiah Penelitian Fundamental DIKTI, Jember
8
dari clan atau kerabat ayah kandungnya namun membawa pihak laki-laki
masuk kedalam kerabat ayah kandung perempuan sehingga laki-laki
berubah kedudukannya menjadi perempuan dan perempuan berubah
kedudukannya menjadi laki -laki.14
Mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung M.A.tanggal 3-
12-1958 No. 200K/Sip/1958 menurut hukum adat Bali yang berhak
mewaris sebagai ahli waris ialah hanya keturunan laki - laki dari pihak
keluarga laki -laki dan anak angkat laki-laki.15
Selanjutnya melalui Keputusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 16 November 1999 Reg No. 4766K/Pdt//1998 yang
menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa
bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Putusan
Mahkamah agung ini tidak terlalu berpengaruh terhadap waris seseorang
perempuan di Bali dikarenakan putusan Mahkamah Agung ini
bersebarangan dengan Hukum Adat Bali dan juga hukum agama hindu.
Beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalil hukum adat
untuk mengingkari hukum yang berlaku dinegara ini. Hukum adat Bali
secara fungsional menggeser keberadaan hukum nasional yang akibatnya
menciptakan suatu sangkar diskriminasi bagi perempuan Bali.
14 Desy Erina. 2013. “ Pembagian Waris Bagi Wanita Dalam Hukum Waris Adat Bali setelah
Dikeluarkannya Putusan Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010”. Hasil
Penelitian Fundamental DIKTI, Yogyakarta.
15
Luh Putu Anggreni.2016. Kesetaraan Dalam Hukum Adat Bali http://www.balisruti.com/
Diakses tanggal 25 Februari 2016,pukul 23.00
9
Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi merasa
kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga.16
Dewasa ini pewarisan dalam masyarakat Bali telah mengalami
perkembangan khususnya dalam hal persamaan hak bagi perempuan di
Bali yang diatur di Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali No.
01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 oktober 2010, tentang hasil-
hasil Pasamuan Agung III MUDP Bali.
Secara singkat isi dari keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
Bali yaitu : “ sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan
Keputusan Pesamuan Agung III MUDP ( Majelis Utama Desa Pakraman)
Bali No. 01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 oktober 2010.
Wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusha setelah dipotong
1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum
wanita Bali yang pindah ke agama orang lain, mereka tidak berhak atas
hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa
dana atau bekal sukarela”.17
Berdasarkan uraian diatas dilihat bahwa anak perempuan yang
kawin dan dan tidak menjadi purusa (sistem keturuan laki-
laki) berhak untuk mewarisi harta peninggaan dari pewaris.
Dewasa ini ternyata hasil Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
16 Gek Ela Kumala Parwita, 2011, Diskriminasi DiBalik Hukum Adat, Balisruti, edisi Februari
2011, Bali.
17
Hukum Online. 2012.”Hak Waris Anak Perempuan Menurut Adat Bali”.
http://www.hukumonline.com Diakses Tanggal 12 Mei 2016, pukul 9. 22
10
khusunya di wilayah Desa Adat Penglipuran, keputusan ini masih dipakai
sebagai pilihan hukum, sehingga putusan ini bisa digunakan atau tidak.
Tidak menutup kemungkinan keputusan Majelis Utama Desa Pakaraman
ini digunakan atau tidak oleh masyarakat Desa Penglipuran Bali.
Penulis melalui penelitian ini mengaji mengenai sejarah,
pertimbangan tokoh adat, serta implementasi Keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-
3/MDP Bali/X/2010 di Desa Adat Penglipuran terhadap kedudukan ahli
waris anak perempuan dengan penulisan skripsi yang berjudul :
“IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MAJELIS UTAMA DESA
PAKRAMAN MELALUI PESAMUAN AGUNG NO. 1/KEP/PSM-
3/MDP Bali/X/2010 TERHADAP KEDUDUKAN AHLI WARIS
ANAK PEREMPUAN DI BALI (Studi di Desa Penglipuran Bali)
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang dan pertimbangan tokoh adat dengan
ditetapkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010?
2. Bagaimana implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP BALI/x/2010
terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa Penglipuran
Bali ?
11
3. Apa faktor penghambat implementasi Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP
BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa
Penglipuran Bali ?
C. Tujuan
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang dan pertimbangan tokoh adat dengan
ditetapkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa Penglipuran
Bali.
2. Untuk mengetahui implementasi Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Melalui Pesamuan Agung No. 1/KEP/PSM-3/MDP
BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa
Penglipuran Bali.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Melalui Pesamuan Agung
No. 1/KEP/PSM-3/MDP BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris
anak perempuan di Desa Penglipuran Bali.
D. Manfaat dan Kegunaan
Manfaat dan kegunaan yang ingin di capai penulis dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
12
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
wawasan kepada pembaca guna kepentingan perkembangan ilmu
hukum, khususnya pada bidang hukum waris adat dimasa yang akan
datang mengenai implementasi serta faktor penghambat didalam
melaksanakan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali, khususnya
diwilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian yaitu Desa
Penglipuran.
2. Secara Praktis
a. Bagi penulis
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah ilmu
pengetahuan, wawasan serta pengalaman bagi penulis dalam
mengembangkan teori – teori hukum didalam kehidupan
masyarakat khususnya pada hukum waris adat di Desa Penglipuran
Bali, selain itu sebagai syarat akademis penulis untuk mendapat
gelar Sarjana(S1) dibidang Ilmu Hukum.
b. Bagi Penegak Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada penegak hukum serta bisa dijadikan bahan pertimbangan
dalam menyelesaikan permasalahn-permasalahan hukum waris
adat, terutama dengan di keluarkannya Keputusan Majelis Utama
13
Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris
anak perempuan di Bali, khususnya diwilayah yang dipilih sebagai
lokasi penelitian yaitu Desa Penglipuran.
c. Bagi Masyarakat
Hasil peneitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan wawasan kepada masyarakat luas, bagaiamana sebenarnya
kedudukan anak perempuan dengan adanya Keputusan Majelis
Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris
anak perempuan di Bali, khususnya diwilayah Desa
Penglipuran,sehingga memberikan informasi mengenai pembagian
warisan yang sesuai dengan perkembangan ilmu hukum sekarang
ini.
E. Metode Penelitian
Didalam melakukan penulisan skripsi, untuk memberikan
kebenaran dalam penulisan skripsi serta mencari data-data yang akan di
teliti maka tidak akan lepas dari metode penelitian yang dipakai oleh
penulis. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan,
dimana penulis langsung datang kelokasi penelitian. Metode ini juga
digunakan dengan beberapa metode tertentu yaitu :
14
1. Metode Pendekatan
Penyusunan sebuah karya ilmiah wajib diperlukannya data-
data yang akurat, relevan serta dapat dipertanggung jawabkan. Untuk
itu metode pendekatan merupakan salah satu hal penting dalam
memperoleh data- data yang akurat hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan penelitian langsung di lapangan atau ruang lingkup tertentu
untuk memperoleh data yang akurat. Dalam hal ini penulis
menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Dalam
pendekatan yuridis sosiologis, hukum sebagai Law In Action,
dideskripsikan sebagai gejala sosial yang empiris.18
Dengan demikian hukum tidak sekedar diberikan arti sebagai
jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum
positif, tetapi juga diberikan makna sebagai sistem ajaran tentang
kenyataan, perilaku yang teratur, atau hukum dalam arti petugas.
Dengan metode pendekatan ini diharapkan apakah implementasi dari
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung
III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli
waris anak perempuan di Bali khususnya di Desa Penglipuran sudah
berjalan dengan kesesuaian antara peraturan berlaku dengan kenyataan
sosial yang ada di lapangan.
18 Mohammad Nazir. 2011. Metode Penelitian. Bogor. Penerbit. Ghalia Indo. Hal. 53
15
2. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Desa
Penglipuran yang berada di Wilayah Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini
merupakan salah satu desa adat yang berada dalam lingkungan Desa
Pakraman di Bali. Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat
yang berada di kabupaten Bangli pulau Bali, didesa ini masalah
mengenai pewarisan masih sangat kental dengan hukum adatnya.
Sedangkan pada tahun 2010 dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-
3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di
Bali. Yang mana secara garis besar seorang ahli waris perempuan di
Bali berhak akan warisan dari pewaris.
Sesuai dengan fokus kajian dari Penulis maka untuk
mengetahui bagaimana kontribusi masyarakat adat Desa Penglipuran
dengan dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali.
Apakah dengan adanya putusan ini masyarakat tetap menggunakan
hukum adatnya atau menjalankan putusan tersebut.
3. Jenis Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam hal ini adalah data
yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis.
Adapun sumber pengumpulan data adalah sebagai berikut :
16
a. Data Primer
Data primer adalah jenis data yang diperole melalui
wawancara, dokumen tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat
dan lain – lain yang diperoleh dari sumber utama/pertama. 19
Sumber utama disini yaitu, Kepala adat Desa Penglipuran Bali,
tokoh adat yang ada di Desa Penglipuran Bali, responden yang
mempunyai pengetahuan tentang permasalahan yang dikaji oleh
penulis yang diperoleh dengan wawancara serta hasil yang akurat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari
dokumen tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat dan lain – lain
yang diperoleh dari sumber kedua (buku, jurnal, hasil penelitian
terdahulu dan lain – lain ).20
c. Data Tersier
Jenis data mengenai pengertian baku bahan hukum yang dapat
menjelaskan baik bahan hukum primer maupun sekunder yang
diperoleh dari Ensiklopedia, Kamus, Grossary dan lain-lain21
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara
sebagai berikut :
a. Wawancara
19 Fakultas Hukum UMM. 2012 Pedoman Penilisan Hukum. hal 18
20
ibid
21
ibid
17
Wawancara adalah proses tanya jawab lisan antara dua orang atau
lebih secara langsung. Pewancara disebut sebagai interviewer dan
orang yang diwawancarai disebut sebagai interviewe. Pada
penelitian ini penulis menggunakan jenis wawancara tidak
terpimpin yang merupakan tanya jawab yang terarha untuk
mengumpulkan data – data yang relevan saja. Pada wawancara ini
pertanyaan yang diajukan sistematis, sehingga mudah diolah
kembali, pemecahan masalah menjadi lebih mudah,
memungkinkan anlisis kuantitatif dan kualitatif, dan kesimpulan
yang diperoleh lebih reliabel.22
Adapun responden pada penelitian ini yaitu :
1. Ketua adat Desa Penglipuran Bali wawancara tentang
implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa
Penglipuran.
2. Tokoh adat Desa Penglipuran wawancara tentang sejarah dan
pertimbangan tokoh adat dengan adanya Keputusan Majelis
Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan Agung III Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli
waris anak perempuan di Desa Penglipuran.
22
Ali. 2015. “Pengertian Wawancara, Tujuan Wawancara, Jenis Wawancara
“.http://www.informasiahli.com/ Diakses tanggal 6 Maret 2016,pukul 23.00
18
3. Responden dari masyarakat Desa Penglipuran Bali yang pernah
mengadakan pembagian warisan setelah adanya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Melalui Pesamuan Agung No.
1/KEP/PSM-3/MDP BALI/X/2010 terhadap kedudukan ahli
waris anak perempuan di Desa Penglipuran Bali.
b. Metode Kepustakaan
Metode yang digunakan yaitu mengumpulkan data dengan
membaca buku – buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel,
sumber dokumen, media elektronik, peraturan perundang -
undangan yang membantu didalam melengkapi data yang
berhubungan dengan masalah yang di kaji oleh penulis. Metode
kepustakaan ini dilakukan dengan cara mempelajari, memahami
dengan masalah yang dikaji oleh penulis berupa :
i. Bahan Hukum Primer
Data sekunder bahan hukum primer berupa himpunan peraturan
perundang – undangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan
Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 terhadap
kedudukan ahli waris anak perempuan di Bali, Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847
Nomor 23), Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
19
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019).
ii. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa himpunan studi kepustakaan
berupa buku- buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, artikel dan
lain sebagainya.
iii. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier berupa bahan hukum dari ensiklopedia,
kamus hukum, grossary dan lain sebagainya yang dapat
membantu objek dari penelitian penulis.
5. Teknik Analisa Data
Teknik analisa pada penelitian ini menggunakan teknik analisa
data deskriptif kualitatif. Teknik analisa data deskriptif kualitatif ialah
peneliti memaparkan data yang didasarkan pada kualitas yang relevan
dengan permasalahan yang dikaji oleh penlis dengan menguraikan
data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis,
tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan dalam
pemahaman dan interprestasi data.23
Penelitian kualitatif berusaha mengungkapkan gejala secara
menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui
pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti
23 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti.
Bandung. Hal 172.
20
sebagai instrumen kunci.24
Tujuan analisa data yaitu untuk mengaji
seberapa jauh sebuah Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
melalui Pesamuan Agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010 terhadap kedudukan ahli waris anak perempuan di Desa
Penglipuran.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan hukum ini, penulis akan menyajikan
empat bab yang terdiri dari sub bab yang bertujuan untuk mempermudah
penulis dalam penulisannya. Sistematika penulisan ini juga akan
menyesuaikan dengan buku panduan penulisan skripsi yang terdiri dari :
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latarbelakng masalah pemilihan topik penulisan
skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum didalam memahami
penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,kegunaan
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi kajian – kajian teori- teori hukum yang mendukung
penulis dalam menulis skripsi terkait permasalahan yang diangkat oleh
penulis yaitu tentang sejarah dikeluarkannya Putusan Pesamuan agung
III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, pertimbangan tokoh
adat dan implementasi setelah adanya Putusan Pesamuan agung III
24
Suparno.(etal.,). 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang. UNM. Hal 28.
21
Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa
Penglipuran Bali.
3. BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan, menjelaskan, dan menganalisa data
terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis sejarah
dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010,
pertimbangan tokoh adat dan implementasi setelah adanya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan agung III Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa Penglipuran Bali.
4. BAB IV PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan, ini merupakan intisari
darihasil penelitian yang dibuat seringkas mungkin, selain itu penulis
juga memberikan saran yang merupakan sumbangan pemikiran
penulis terkait dengan permasalahan yang diangkat mengenai sejarah
dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman melalui
Pesamuan agung III Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010,
pertimbangan tokoh adat dan implementasi setelah adanya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman melalui Pesamuan agung III Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 khusunya di Desa Penglipuran Bali.