bab 4 analisis 4.1 analisis kemampuan deteksi objek · pdf filekedalaman pasti dari sbes untuk...
TRANSCRIPT
54
BAB 4
ANALISIS
4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek
4.1.1 Ketelitian koordinat objek
Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinat-
koordinat objek berbahaya pada area kajian SBES – SSS dengan koordinat objek
berbahaya yang sama pada area kajian MBES. Secara teori, area kajian MBES
memilki ketelitian koordinat yang lebih baik daripada area kajian SBES-SSS arena
karena melalui satu kali perhitungan koreksi posisi, yaitu koreksi offset statis.
Sedangkan untuk area kajian SBES-SSS harus melalui koreksi offset dan koreksi
USBL.
Pada area kajian SBES – SSS akan ditentukan satu buah titik dimana titik tersebut
merupakan titik kedalaman SBES yang mewakili koordinat dari suatu objek, dan juga
mewakili koordinat salah satu objek-objek berbahaya dasar laut. Titik tersebut
ditandai dengan bintang warna merah pada Gambar 4.1. Pada area MBES juga akan
diletakkan titik kajian dengan posisi yang sama relatif terhadap posisinya pada objek
dasar laut yang dikaji agar dapat dilihat seberapa besar perbedaan koordinat dari
kedua area kajian. Titik tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2.
Koordinat titik pada area kajian SBES-SSS dan SBES sama, yaitu UTM 49S
6344175,500 S; 9328518, 554 E. Dapat dilihat pada gambar titik kajian yang
diperjelas bahwa terdapat perbedaan lokasi titik, padahal kedua area menggunakan
datum dan proyeksi yang sama dalam pengolahannya di dua jendela Global Mapper
yang berbeda. Jarak perkiraan dari kedua titik adalah sebanyak 10-11 meter seperti
yang dapat dilihat pada gambar 4.3.
55
Gambar 4.1 Titik kajian koordinat objek untuk SBES-SSS
56
Gambar 4.2 Titik kajian koordinat objek untuk MBES
57
Gambar 4.3 Titik perkiraan SBES-SSS dan jaraknya dengan titik MBES
4.1.2 Ketelitian kedalaman objek
Menggunakan titik perkiraan yang sama dalam kajian ketelitian koordinat pada
Gambar 4.3, pada kajian ini akan dilihat kedalaman dari titik perkiraan SBES-SSS
tersebut untuk kemudian dibanduingkan dengan kedalaman dari titik MBES.
Kedalaman pada titik perkiraan pada area kajian MBES adalah 75,89 meter,
sedangkan pada titik kajian aktual di area kajian SBES-SSS kedalamannya sebesar
76.54. Kedua kedalaman tersebut berbeda 0,65 meter, dan perbedaan tersebut masih
didalam batas toleransi antara perbedaan kedalaman survei dengan spesifikasi 1B
(a=0,5, b=0.013, d=76.54) yaitu 1.13 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa
ketelitian kedalaman area kajian SBES-SSS cukup baik di titik-titik yang memiliki
58
data kedalaman SBES, akan tetapi tetap memiliki data kedalaman yang buruk diluar
garis survei SBES tersebut.
4.1.3 Kualitas interpretasi objek
4.1.3.1 Kualitas penggambaran area objek
Pada kajian kemampuan interpretasi, akan dibandingkan kemampuan dari SBES-SSS
dan MBES dalam memberikan keterangan interpretatif mengenai objek-objek
berbahaya dasar laut, dalam hal ini pockmark atau lubang dasar laut. Yang dimaksud
keterangan mengenai objek-objek dasar laut tersebut adalah kualitas penggambaran
area dari objek-objek berbahaya tersebut dan keterangan mengenai kedalamannya.
Dari Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 dapat terlihat dengan jelas perbedaan yang cukup
besar dalam kualitas interpretasi objek untuk area kajian MBES dan SBES-SSS. Pada
MBES, area-area yang menggambarkan pockmark terinterpretasi dengan baik dan
jelas, dimana bentuk dari area-area yang menggambarkan pockmark dapat ditentukan
secara pasti batas-batasnya.
Sedangkan pada area kajian SBES-SSS terdapat banyak objek-objek yang terpotong-
potong sehingga bentuk asli dan batas dari objek tersebut juga tidak dapat ditentukan
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.5. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
sistem USBL yang digunakan oleh SSS tidaklah seakurat MBES sehingga visualisasi
yang didapatkan pun dapat menemui ketidakcocokan dan mengakibatkan
terpotongnya objek. Ketidakakuratan USBL tersebut salah satunya dipengaruhi oleh
faktor jauhnya beacon penerima sinyal USBL dengan USBL yang terpasang di
kapal.SSS harus melakukan survei pada kedalaman 10% dari kedalaman survei, dan
hal ini berarti jarak antara beacon dengan USBL pada kedalaman survei ± 75 meter
adalah 67.5 meter. Untuk USBL Sonardyne Ranger yang digunakan, ketelitiannya
adalah 5,4 meter untuk kedalaman dibawah 1000 meter, dan hal tersebut memberikan
kesalahan dari koordinat SSS lebih besar dari kesalahan koordinat MBES sebanyak
5,4 meter.
59
Gambar 4.4 Batas-batas objek pada area kajian MBES
Gambar 4.5 Batas-batas objek pada area kajian SBES-SSS
60
4.1.3.2 Resolusi penggambaran objek
SBES-SSS memiliki resolusi penggambaran objek yang lebih baik dari MBES. Untuk
alat SSS C-Max resolusi yang didapat adalah 39mm sedangkan untuk MBES EM
3002 resolusi yang didapat adalah 50mm. Dengan resolusi yang lebih baik tersebut,
SBES-SSS mampu memberikan gambaran objek yang lebih mendetail.
Karena setiap sinyal akustik dari SSS dan MBES membentuk sudut tertentu didalam
pemancarannya, maka resolusi dari MBES akan semakin berkurang dengan
bertambahnya kedalaman karena posisinya di lambung kapal mengakibatkan sinyal-
sinyal akustik terpencar akibat terbentuknya jarak mendatar yang semakin besar
dengan titik tengah transponder. Pada SSS, resolusi citranya tetap terjaga karena SSS
terpasang pada towfish yang secara aktif terus menjaga kedalaman terhadap dasar laut
sehingga jarak mendatar dari sinyal akustik tidak berubah.
4.1.3.3 Kualitas penggambaran nilai kedalaman
Untuk kajian penggambaran kedalaman akan dibentuk suatu area pada area kajian
MBES dan SBES-SSS yang teridentifikasi memiliki pockmark. Area tersebut akan
dinamakan pockmark X. Untuk penggambaran data kedalaman pada area kajian
MBES, kontur kedalaman dari pockmark X seperti pada gambar 4.4 dapat dilihat
dengan mudah, mengingat MBES mencatat setiap titik kedalaman di setiap area
pockmark X. Data titik kedalaman yang berjumlah ribuan tersebut dapat
diinterpretasikan secara 3-dimensi pada QINSy seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 4.6.
Untuk penggambaran data kedalaman di area kajian SSS-SBES seperti pada gambar
4.5, hanya dapat ditentukan kedalaman di sepanjang garis survei SBES, sehingga
kedalaman pasti dari SBES untuk seluruh area diluar garis survei tidak dapat
diketahui. Untuk mengatasi hal ini, penentuan kedalaman di lokasi lainnya dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus panjang bayangan citra SSS. Metode ini
hanya dapat menentukan kedalaman dari objek-objek yang menghasilkan bayangan,
61
sehingga area dasar laut yang landai dan tidak menghasilkan bayangan tidak dapat
ditentukan kedalamannya.
Gambar 4.6 Lokasi pockmark X pada area kajian MBES
Gambar 4.7 Lokasi pockmark X pada area kajian SSS-SBES
62
Gambar 4.8 Kontur kedalaman pockmark X pada area kajian MBES
Gambar 4.9 Data kedalaman pockmark X pada area kajian SBES-SSS
63
4.2 Analisis Efektifitas Waktu
4.2.1 Kebutuhan waktu untuk akuisisi data
Mengingat biaya survei lokasi yang cukup besar, maka keefektifan waktu
pelaksaanaan selalu menjadi pertimbangan yang besar dalam perencaanaan sebuah
survei lokasi. Analisa akan dilakukan dengan menghitung waktu yang dibutuhkan
bagi MBES dan SBES-SSS dalam mensurvei area seluas 1.000.000 m².Dalam sistem
SBES-SSS, yang memiliki kemampuan visualisasi area adalah SSS, sehingga yang
akan diperbandingkan disini hanyalah SSS. Tabel 3.5 memperlihatkan spesifikasi dan
ilustrasi cakupan dari SSS C-Max dan MBES EM 3002 yang digunakan dalam
mensurvei area tersebut.
Tabel 3.5 Spesifikasi dan ilustrasi cakupan SSS dan MBES
SBES-SSS MBES
Lebar cakupan 150 m (untuk 325 kHz) 4 x kedalaman rata-rata (75 m)
= 300 m
Pertampalan cakupan 30% 200%
Ilustrasi
Dengan menganggap kecepatan kapal dan keadaan laut sama serta jalur survei
keduanya merupakan jalur survei utama yang searah, maka dengan pembulatan keatas
SSS membutuhkan lajur survei sebanyak ((1000-100)/70)+1 = 13,8 = 14 jalur survei.
Sedangkan untuk MBES dibutuhkan ((1000-300)/150)+1 = 5,66 = 6 jalur survei.
64
Oleh karena itu dapat dilihat bahwa MBES membutuhkan waktu survei yang lebih
singkat dibandingkan dengan SBES-SSS.
4.2.2 Kebutuhan waktu untuk pengolahan data
Untuk pengolahan data survei lokasi, MBES lebih memakan waktu lebih singkat
dibandingkan dengan waktu pengolahan data SBES maupun SSS. Hal ini
dikarenakan meskipun MBES mengakuisisi data yang lebih banyak dan lengkap
daripada SBES maupun SSS, akan tetapi tidak membutuhkan persyaratan survei yang
banyak seperti SBES dan SSS. Pengolahan data MBES membutuhkan proses
pembersihan data-data noise yang banyak didapatkan sewaktu survei, penyamaan
level dari garis-garis survei yang tidak sama dengan yang lainnya, penghalusan
gambar menggunakan interpolasi, digitasi objek-objek berbahaya dasar laut, serta
penggabungan gambar akhir dengan garis-garis survei.
Untuk SBES, tidak dibutuhkan pengolahan data yang rumit karena data-data
kedalaman dari SBES berada dalam garis-garis dan tidak terlalu dipengaruhi efek
perubahan posisi kapal yang berkontribusi sangat besar dalam membentuk noise.
Akan tetapi, pengolahan data SSS memakan waktu cukup banyak karena akan
menggabungkan gambar dari setiap garis survei hingga menjadi satu kesatuan,
dimana visualisasi dari setiap line dapat berbeda seperti kasus pada Gambar 4.6 dan
membutuhkan perhatian ekstra.
4.3 Analisis Biaya Operasional
4.3.1 Biaya penyewaan
Biaya penyewaan yang digunakan adalah biaya penyewaan pada perusahan rental alat
yang berlokasi di Indonesia dan Norwegia dengan estimasi peminjaman 20-30 hari.
Berikut adalah hasil dari pencarian di situs internet mengenai harga sewa dari MBES
EM 3002, SBES EA 500, dan SSS C-Max. Sumber harga yang digunakan adalah dari
PT Fifan Jaya Makmur dan Kongsberg Maritime.
65
Biaya penyewaan MBES Simrad EM 3002 : Rp 9.057.490/hari
Biaya penyewaan SBES Simrad EA 500 : Rp 1.088.776/hari
Biaya penyewaan SSS C-Max : Rp 2.064.920 /hari
Dari data diatas dapat dilihat bahwa harga untuk penyewaan MBES hampir 3 kali
lipat dari penyewaan SBES dan SSS. Biaya penyewaan ini juga terkait dengan biaya
penundaan survei yang diakibatkan cuaca buruk, dimana banyaknya biaya yang
keluar perhari tanpa survei dari MBES mencapai 3 kali lipat dari SBES-SSS. Dari
poin tersebut dapat dikatakan bahwa pada lokasi area survei yang memiliki cuaca
ekstrim, menggunakan MBES dapat 3 kali lipat lebih merugikan dalam segi biaya
daripada menggunakan SBES-SSS.
4.3.2 Biaya SDM
Untuk biaya yang dibutuhkan untuk mempekerjakan data processor atau surveyor,
kedua alat memiliki jumlah data processor atau surveyor yang relatif sama
tergantung keahliannya. Apabila mengambil sampel di instansi swasta, maka jumlah
dari data processor dan surveyor untuk MBES adalah 3 orang dengan latar belakang
keilmuan geodesi, dan untuk data processor dan surveior dari SBES dan SSS
sebanyak 3 orang dengan latar belakang keilmuan geologi dan geofisika. Yang dapat
membedakan adalah biaya pelatihan software. Berikut adalah data mengenai harga
pelatihan perangkat lunak untuk pengolahan data MBES, SBES, dan SSS.
MBES training : Rp 5.600.000
SSS Training : Rp 2.350.000
SBES Training : Rp 3.700.000
Total SSS+SBES Training : Rp 6.050.000
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa biaya total pelatihan untuk alat SSS dan SBES
sedikit lebih mahal dibandingkan dengan pelatihan MBES.