bab 2 tinjauan kepustakaan 2.1. anatomi dan...

43
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) 2.1.1.1 Embriologi hidung Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002) Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002) Universitas Sumatera Utara

Upload: dothu

Post on 06-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal

2.1.1 Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat

kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut

menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.1 Embriologi hidung

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,

embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang

berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi

menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk

ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan

embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung

sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan

prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak

bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari

pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah

mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai

terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih

sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu

membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,

mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media.

Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula

ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris.

Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel

etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel

ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya

pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk

dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus

paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,

perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang

adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh

WE, 2002)

2.1.1.2 Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk

oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan

beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang

hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus

frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang

rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago

nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi

anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari

os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga

hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat

konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan

dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan

inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus

superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam

2.1.1.3.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh

kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian

posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista

sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.2 Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus

horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian

besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen

n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju

bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger

JJ,1994)

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,

os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os

etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus

medial. . (Ballenger JJ,1994)

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara

konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka

media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut

meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang

teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa

lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.3 Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit

antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel

etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan

korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus

sfenoid. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.4 Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih

luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,

sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka

media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang

berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau

fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan

infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial

infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid

yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan

sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel

etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila

bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-

kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di

belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.1.1.3.6 Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap

nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian

dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian

luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri

atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan

sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular

dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah

apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;

Hilger PA,1997)

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan

bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita

dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar

epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga

hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet

(Sobol SE, 2007).

2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan

ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret

yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal

sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai

serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus

dan konka media (Nizar NW, 2000).

Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)

2.1.1.5 Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani

RS,2007)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial

dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani

RS,2007)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke

v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak

memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran

infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.6 Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum

selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor

atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum

terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D &

Wardani RS,2007)

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada

mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D

& Wardani RS,2007

2.1.2 Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi

penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara

untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk

resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban

kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D

& Wardani RS,2007)

2.2. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus

paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah

pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan

dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut

Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini

dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan

semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger

JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian

anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada

atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel

anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas

konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis

perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua

kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal

adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke

mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)

2.2.1 Embriologi sinus paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa

rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin

berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium

sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali

sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat

anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar

agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus

frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih

8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan

berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya

mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;

Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal

2.2.2 Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang

terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan

sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya

mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan

ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa

celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi

tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah

ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4

mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan

berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm

anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga

hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan

setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan

perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.

Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger

JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke

fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.

Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa

kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding

medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum

dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus

maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya

ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara

ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku

anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-

6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium

maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini

biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar

daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan

irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)

dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu

premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus,

hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan

dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke

dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi

di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau

limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga

sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan

komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus,

sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior

dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi

drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ;

Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.3 Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke

emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;

Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat

berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga

ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak

simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak

di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus

frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata

sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.

Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto

rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang

yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya

yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.4 Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-

akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-

sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus

superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan

posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang

sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di

bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid

dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus

etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid

anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan

sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid

anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium

sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat

menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.5 Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan

evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya

berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak

berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada

usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta

bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum

tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus

akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid

posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya

berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus

bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan

tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah :

sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah

inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah

posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.6 Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.

Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini

adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku

Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak

memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh

Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak

memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi

yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai

fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak

mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan

tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain

adalah :

(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak

didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume

sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo

E., Soetjipto D. 2007)

(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita

dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi

kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan

organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

(3) Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan

memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori

ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator

yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus

pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E.,

Soetjipto D. 2007)

(6) Membantu produksi mukus.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.3 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 2.4. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

2.3.1 Mukosa hidung

Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas

permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang

berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi

oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu

mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan

(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka

superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa

respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D &

Wardani RS,2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang

berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada

hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel

kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas

dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa

olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak

mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran

basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).

Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang

bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat

macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar

epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki

banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.

Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja

silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai

mikrovili). (Watelet, 2002).

Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada

daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang

vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan

rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan

menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan

ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan

berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan

inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun

rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

I. Lapisan Mukosa Hidung Ia. Sel bersilia Ib. Goblet sel Ic. Sel tidak bersilia Id. Sel basalis

II. Lapisan sel radang

(Sel plasma,limfosit dan eosinofil) III. Lapisan Kelenjar superfisial IV. Lapisan vaskular

V. Lapisan kelenjar dalam

Gambar 2.5. Histologi Mukosa Hidung (Sumber Watelet)

Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili

yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah

nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing

pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya ± 1/3 silia

dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan

fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan

diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994;

Waguespack,1995)

Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak

pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya

memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-

sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)

Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering

terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi

metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket)

pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel

goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung,

hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,

bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat

dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,

gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa

juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ;

Levine,2002).

Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa

macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk

kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah

kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)

2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus)

Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan

endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein

polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet

tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di septum nasi (5700

sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel

goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah

nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.3.3 Silia hidung

Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)

memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya

yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan

struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam

membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh

membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap

selnya. Panjang silia antara 5-7 µm dengan diameter 0,3 µm. Denyut silia kira-kira 9-

15 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia

terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang

mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh

bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam

pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3

tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;

Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)

Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian

membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan

silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi

berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak

maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400

kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan

lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang

disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan

gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey,

pada tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar

secara aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal.

Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada

hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga

memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden

melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung.

Dan berikutnya , Messerklinger memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik

nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam

mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi. (Ballenger

JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006)

Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring.

Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari

udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan

udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara

inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah

uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat

kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan

hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada

kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara

10-20 kali permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997;

Waguespack R,1995)

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.

Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan

dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam

rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani

RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)

Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi

sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2.

Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan

sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double microtubulus).

Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril

B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B

tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui

radial spokes (Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997)

Gambar 2.6 Anatomi Molekuler Silia (Sumber Cohen)

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.

Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari

pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan

mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara

pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang

disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)

Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah

(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga

menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan

ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya

kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan

tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan

seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya sama.

(Ballenger;1994)

Gambar 2.7 Diagram gerak silia(Sumber Ballenger

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.3.4 Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini

diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada

mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang

komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga

mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,

telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,

bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara

berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan atau

dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang

sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah

lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir

yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.

Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan

yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan

perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang

silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan

palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack

R,1995)

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein

sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting

pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,

sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh

elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi

digerakkan oleh klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan

kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)

Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein

mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan

dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi

sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol

yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;

Weir,1994; Waguespack,1995)

Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan

palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan

perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam

ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung

silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan

aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan

cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat

mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)

Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus

medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger ,

1994; Sakakura ;1994)

Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet

dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan

penting dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger

JJ,1994 ; Sakakura, 1997)

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.4 Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung

untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang

terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan

local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar

atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ; Waguespack

R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu

gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan

mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang

terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti

pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang

kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami.

Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan

suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa

mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri .

Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah

beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan

Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi

virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan

mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang

terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea

rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.

Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk

kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.

Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1

sampai 20 mm / menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ;

2006)

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka

gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik

lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah

gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.

Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan

pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20

mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997).

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung

dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat

infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan

dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan

sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior

orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun

kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 )

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian

hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya

1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)

2.5 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Beragam cara yang digunakan untuk menilai TMS. Pemeriksaan dapat

dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun yang tidak larut

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi ;

sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um allumunium

disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.

Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu /

kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS.

2002 ; Waguespack R,1995)

Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau Waktu

TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah digunakan secara luas

pada beragam penelitian sebagai indikator untuk menilai fungsi pembersihan pada

rongga hidung manusia. Uji sakarin ini juga telah digunakan pada beberapa

penelitian untuk menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat

kecepatan, radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan siliotoksik pada

mukosa hidung. Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu sakarin ini adalah

sebagai indikator langsung terhadap fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian

yang lain telah dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar

penelitian untuk memperlihatkan fisiologik hidung yang multifaktorial. (Havas T,

1999 ; Jorissen M, 1998 ; Talbot AR, 1998 Waguespack R,1995)

Secara klinis pengukuran waktu TMS dengan sakarin pertama kali

diperkenalkan oleh Anderson dan kawan-kawan pada tahun 1974 dan sampai

sekarang telah banyak digunakan pada pemeriksaan rutin, bahkan oleh banyak

para ahli di berbagai kota di dunia oleh karena biayanya relatif murah dan mudah

dalam penggunaannya. Uji sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik.

(Ballenger JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ; Waguespack

R,1995)

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Pemeriksaan pasien diawali dengan penderita dalam kondisi sadar dan

diharapkan untuk tidak menghirup, makan dan minum. Penderita duduk dengan

kepala posisi fleksi 10 derajat. Bubuk sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas

anterior konka inferior. Kemudian subjek diminta untuk menelan secara periodik

tertentu kira-kira 1/2 - 1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu pada saat

sakarin mulai diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis di

lakukan pencatatan dan ini disebut sebagai TMS atau waktu sakarin. Rata-rata nilai

normal adalah 12-15 menit (Jorissen M, 1998 ; Jorissen M, Willems T, Boeck KD,

2000)

2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar

Menurut Sakakura bahwa yang dapat mempengaruhi TMS ada tiga faktor

yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang

normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi

dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi

mukosiliar dapat terjadi. Selain itu beliau juga melaporkan bahwa disfungsi

mukosiliar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa kelainan primer yaitu :

diskinesia silia primer, fibrosis kistik, sindroma kartagener dan sindroma silia yang

immotile; sedangkan kelainan sekunder antara lain adalah : common cold, sinusitis

kronik, rinitis atropi, rinitis vasomotor, septum deviasi nasal, sindroma Sjorgen, dan

penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)

Waquespack mengemukakan bahwa keadaan yang mempengaruhi TMS

adalah faktor fisologik atau fisik, merokok dan polusi udara, kelainan kongenital,

rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan

pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack R,1995)

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Proctor, Anderson dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor lingkungan

tidak begitu memperhatikan fungsi mukosiliar. Pada percobaan, perubahan yang

mendadak pada suhu lingkungan di atas dan di bawah 250 C mungkin akan

mengakibatkan sedikit perlambatan TMS. Kelembaban yang tinggi mungkin akan

menimbulkan rasa yang kurang nyaman tetapi tidak mengubah dan mempengaruhi

TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Scott Brown, 1997 ; Wageuspack, 1995)

2.6.1 Kelainan kongenital

Diskinesia silia primer adalah kekurangan atau ketiadaan lengan dynein ,

ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia yang

abnormal, sel-sel basal abnormal dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu

1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes Sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60

menit .

Sindrom kartagener merupakan penyakit kogenital dengan kelainan

bronkiektasis , sinusitis, dan situs inversus, sering disebut dengan sindrom silia

immotil. Penyakit ini diturunkan secara genetik merupakan contoh diskenesia silia

primer, dimana terlihat kekurangan sebahagian atau seluruh lengan dynein luar atau

dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia

dan disorientasi arah dari pukulan/denyut dan merupakan identifikasi klasik dengan

abnormalitas kogenital dari silia. Rata-rata frekuensi denyut silia pada kelainan

lengan dynein adalah 6,1 Hz , pada defek jari-jari radial adalah 9,6 Hz dan pada

kelainan translokasi adalah10,2 Hz. Pemeriksaan waktu transportasi mukosiliar pada

pasien ini lebih dari 60 menit. Gangguan pada transpor mukosiliar dan frekuensi

denyut silia menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasis

dan sinusitis. (Ballenger,1994; Waguespack ,1995; Fauroux, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Fibrosis kistik dan sindrom young juga merupakan kelainan kongenital yang

dihubungkan dengan sinusitis kronis. Ultrastruktur silia pada kelainan ini terlihat

normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan dari palut lendir dan terdapat

perpanjangan waktu transport mukosiliar( Ballenger, 1994; Waguespack ,1995)

2.6.2 lingkungan

Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut

silia bekerja normal pada pH 7-9. Diluar pH tersebut akan terjadi penurunan

frekuensi. Kekeringan akan cepat merusak silia. Frekuensi denyut silia juga

dipengaruhi oleh dehidrasi, hipoksia, hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan

memperlambat gerakan silia dan oksigen yang banyak akan menaikkan frekuensi

denyut silia sampai dengan 30-50 %. Debu tidak berbahaya terhadap waktu

transport mukosiliar, kecuali zat yang berbahaya yang menempel pada permukaan

seperti pada industri kayu dan kulit . Sulfur, formaldehit terlihat memperlambat waktu

transport mukosiliar (Ballenger,1994; Waguespack,1995; Hilger, 1997, Weir ,1997;

Michael,1998)

2.6.3 Alergi

Pengaruh lingkungan alergik pada hidung masih diperdebatkan. Adanya

pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi juga diduga

dapat menyebabkan gangguan pada transport mukosiliar. (Ballenger,1994 ;

Waguespack, 1995)

Chevance pada tahun 1957 melaporkan bahwa pada hewan sensitisasi pada

hidung akan menyebabkan kerusakan silia bila dilakukan dengan menaruh alergen

spesifik dirongga hidung. Beberapa penelliti menemukan pembengkakan

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

mikroskopis pada sitoplasma hidung manusia dalam keadaan alergi yang

dikatakannya sebagai ”akibat pengaruh iritasi” dan ditemukan adanya penurunan

transport mukosiliar hidung pada bronkus dengan pasien penderita atopi bila

dirangsang dengan alergen spesifik. (Ballenger, 1994)

2.6.4 Obat-obatan

Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam

hipertonik (NaCI 3 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar

dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot, 1997).

Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal

antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H202), dan anti jamur (amphotericin B,

itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi

ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia.

Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan

aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik

dibanding H2O2. Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia

setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini

mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur

khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar (

Gosepath, 2002 ).

Beberapa obat oral juga dapat menurunkan waktu transport mukosiliar seperti

golongan antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. B adrenergik tidak begitu

mempengaruhi gerakan silia tetapi malah dapat merangsang pembentukan palut

lendir. Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas silia dan produksi

palut lendir ( Gosepath,2002; Waguespack, 1994 )

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Kai-Li Liang dkk, dalam jurnal penelitian mereka, berusaha membuktikan

bahwa tindakan mengirigasi atau mencuci hidung adalah terapi yang paling popular

digunakan sebagai terapi adjuvan dan seringkali diresepkan untuk digunakan

setelah bedah sinus endoskopik ( Liang KL; 2008 )

2.7 Rinosinusitis

Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih

mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering

disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,

sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D

& Wardani RS,2007)

Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi

akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3

bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D

& Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan

sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut

berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala

mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan

nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM

,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

Gejala Mayor :

Hidung tersumbat

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND

Sakit kepala

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Gejala Minor :

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas

Sakit gigi

Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European

Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka

panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi

para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :

Gejala dan tanda

Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.

Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung

tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang

menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) :

a) ± disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah

b) ± berkurang / hilangnya penciuman

Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang

cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi

tersebut maka dilakukan tes alergi. (Fokkens W.2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

2.8 Kekerapan

Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah

dapat diperkirakan meningkat hingga mencapai 31 juta orang setiap tahunnya

dengan perkiraan rata-rata 4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita

penyakit tersebut. Sebagian besar pasien dengan rinosinusitis mencari pengobatan

langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang berkunjung ke praktik

dokter setiap tahunnya yang terdiagnosis penyakit rinosinusitis. (Kaszuba, 2006)

Pada tahun 1996, di Amerika Serikat , seluruh pelayanan kesehatan mencatat

bahwa pelayanan yang dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis

“sinusitis” diperkirakan lebih dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10

besar diagnosis penyakit pada seluruh kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat.

(Kaszuba, 2006)

Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan bahwa rinosinusitis adalah

salah satu keluhan medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi,

dan diperkirakan 13 juta setiap tahunnya yang berkunjung ke praktik dokter di

Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika

setiap tahunnya. (Chen B, 2006)

Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan

Januari 2006 – Desember 2008 adalah 1967 orang.

2.9 Patofisiologi

Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus

agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita.

Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang

menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO2, menurunkan pH, mengurangi

Universitas Sumatera Utara

Page 40: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan

menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. (Ballenger JJ, 1994 ; Busquets JM,

2006 ; Wilma T, 2007)

Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik

berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya

mediator diantaranya vasoaktif amin, proteases, arachidonic acid metabolit, imun

kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal tersebut menyebabkan terjadinya

kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar.

Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus. Akibatnya

bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali

terjadi. (Katsuhisa K, 2001 ; Sakakura, 1997)

2.10 Gejala Klinis Dan Diagnosa

Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor

dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang

dijumpai, maka diperkirakan sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk

sebagai diagnosis banding. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

Gejala Mayor :

Obstruksi hidung

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung

Sakit kepala

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Universitas Sumatera Utara

Page 41: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

Gejala Minor :

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas

Sakit gigi

Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga

2.11 Cairan Salin

Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi

krusta pada rongga hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak

mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan

salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema

mukosa secara difusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya. Hal ini dapat

meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder dapat

memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan

mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan

cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond

GS,2005, Shoseyov D, 2005)

Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK)

masih belum dimengerti. Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK

menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan

jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang

pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.

Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan napas dapat meningkatkan jumlah

pengeluaran Ca2+ dari dalam sel (intraseluler) dan peningkatan Ca2+ ini mungkin

Universitas Sumatera Utara

Page 42: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan

juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh

axon-axon silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat

memperbaiki luka dan mencuci luka yang terbuka. (Shoseyov D, 2005)

2.12 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk

penatalaksanaan rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif

dengan morbiditas yang rendah apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang

lain, (Kennedy DW,2006).

Tehnik bedah ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan

dipopulerkan oleh Stamberger di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutan

functional endoscopik sinus surgery (FESS). Tehnik operasi ini dilakukan secara

bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai etmoidektomi

total (Ahmed, 2003; Kennedy DW, 2006).

Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel

pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi

penyakit sinusitis kronis di daerah komplek osteomeatal / KOM dan untuk

memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal di daerah KOM ke

jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu

ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ;

Kennedy DW,2006)

Setelah penelitian Messerklinger pada tahun 1950-1960 an telah banyak

peneliti lain yang mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori

beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada

Universitas Sumatera Utara

Page 43: BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter II.pdf · Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa. Menurut

beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel

pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki

patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang

telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin dan bersamaan

itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga

daya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 :

Wilma T.2007)

Universitas Sumatera Utara