bab 2 landasan teori 2.1 tinjauan pusat rehabilitasi...

30
7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat 2.1.1 Pengertian Pusat Rehabilitasi Pengertian Pusat Rehabilitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2012- 2014 adalah sebagai berikut : a. Pusat : pokok pangkal yang jadi pumpunan (berbagai urusan, hal dan sebagainya). b. Rehabilitasi : pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Sehingga didapatkan bahwa suatu Pusat Rehabilitasi adalah suatu tempat yang dapat memberikan pemulihan kepada penduduk supaya dapat menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. 2.1.2 Pengertian Penyandang Cacat Pengertian Penyandang Cacat berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang terdiri dari : a. Penyandang cacat fisik (tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna wicara); b. Penyandang cacat mental (tuna grahita, tuna laras, autis); c. Penyandang cacat fisik dan mental (lebih dari satu jenis cacat). 2.1.3 Undang-Undang Mengenai Penyandang Cacat Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Pasal 10 mengenai penyediaan aksesibilitas para penyandang cacat, yang berisikan : (1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

Upload: hoangliem

Post on 05-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

7

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat

2.1.1 Pengertian Pusat Rehabilitasi

Pengertian Pusat Rehabilitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2012-

2014 adalah sebagai berikut :

a. Pusat : pokok pangkal yang jadi pumpunan (berbagai urusan, hal dan

sebagainya).

b. Rehabilitasi : pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang

dahulu (semula) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat

di masyarakat.

Sehingga didapatkan bahwa suatu Pusat Rehabilitasi adalah suatu tempat

yang dapat memberikan pemulihan kepada penduduk supaya dapat menjadi manusia

yang berguna bagi masyarakat.

2.1.2 Pengertian Penyandang Cacat

Pengertian Penyandang Cacat berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah setiap orang yang

mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan

rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang

terdiri dari :

a. Penyandang cacat fisik (tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna wicara);

b. Penyandang cacat mental (tuna grahita, tuna laras, autis);

c. Penyandang cacat fisik dan mental (lebih dari satu jenis cacat).

2.1.3 Undang-Undang Mengenai Penyandang Cacat

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Pasal 10

mengenai penyediaan aksesibilitas para penyandang cacat, yang berisikan :

(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

8

(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan

lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup

bermasyarakat.

(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Selain melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 43 Tahun 1998 juga mengeluarkan pasal mengenai aksesibilitas penyandang

cacat (Pasal 8-22), diantaranya adalah :

Pasal 8, yang berisikan bahwa : Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum

yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, wajib menyediakan

aksesibilitas.

2.1.4 Klasifikasi Cacat

Berdasarkan ICF (International Classification of Functioning, Disability, and

Health), klasifikasi penyandang cacat dapat terbagi menjadi :

1. Gangguan Pendengaran

Seseorang dikatakan mengalami kesulitan/gangguan pendengaran bila tidak

dapat mendengar suara dengan jelas seperti membedakan sumber, volume,

dan kualitas suara secara keras.

2. Gangguan Penglihatan

Terbagi menjadi 3, yaitu :

a. Low Vision adalah seseorang yang mengalami kesulitan / gangguan jika

dalam jarak minimal 30 cm dengan penerangan yang cukup tidak dapat

melihat dengan jelas baik bentuk, ukuran, dan warna.

b. Light Perception adalah seseorang hanya dapat membedakan terang dan

gelap namun tidak dapat melihat benda didepannya.

c. Totally Blind adalah seseorang tidak memiliki kemampuan untuk

mengetahui / membedakan adanya sinar kuat yang ada langsung di depan

matanya.

3. Gangguan Bicara

Adalah gangguan pada fungsi organ tubuh dalam memproduksi suara,

termasuk gangguan dalam kualitas suara.

9

4. Gangguan Penggunaan Lengan dan Jari Tangan

Adalah kelainan dalam mengkoordinasi lengan dan tangan untuk

menggerakkan benda atau lainnya seperti melempar atau menangkap suatu

benda.

5. Gangguan Penggunaan Kaki

Adalah kelainan seseorang berjalan di permukaan langkah demi langkah

dengan 1 kaki selalu berada di tanah misalnya: berjalan, maju, mundur,

kesamping dan juga termasuk tidak memiliki jari, kaki, maupun pergelangan

kaki.

6. Gangguan Kelainan Bentuk Tubuh

Adalah kelainan pada tulang, otot atau sendi anggota gerak dan tubuh,

kelumpuhan pada anggota gerak dan tubuh, tidak ada atau tidak lengkapnya

anggota gerak atas dan anggota gerak bawah sehingga menimbulkan

gangguan gerak.

7. Gangguan Mental Retardasi

Adalah kelainan yang biasanya terjadi sejak kecil misalnya anak yang

terhambat perkembangan kepandaiannya (duduk, berdiri, jalan, bicara,

berpakaian, makan), tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang

umum yang dilakukan orang lain seusianya, tidak mampu berkomunikasi

dengan orang lain, kematangan sosial tidak selaras dengan usianya, tingkat

kecerdasan dibawah normal sehingga tidak dapat mengikuti sekolah biasa.

Wajah penderita terlihat seperti wajah dungu.

2.1.5 Spesifikasi Cacat

Spesifikasi cacat yang diambil pada proyek ini adalah cacat tubuh akibat

kecelakaan. Cacat tubuh adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami difungsi

pada sebagian kondisi fisiknya, cacat tubuh akibat kecelakaan dibagi lagi menjadi

beberapa jenis kecacatan yaitu :

a. Cacat tubuh itu sendiri artinya ada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya baik

itu tangan, kaki maupun anggota tubuh lainnya seperti leher yang mengalami

disfungsi.

b. Polio tangan, apabila polio tangan keadaan tangan membengkok dan tidak

berfungsi dengan baik.

10

c. Polio Kaki, apabila polio kaki keadaan kaki bengkok dan pada orang-orang

tertentu membentuk huruf X maupun membentuk huruf O, dan kakinya tidak

berfungsi dengan baik.

d. Lumpuh layu adalah suatu keadaan dimana anggota tubuhnya lemas dan tidak

bisa digerakkan secara maksimal, serta semakin lama tangan dan kakinya

semakin kecil.

e. Paraphlegi adalah suatu keadaan dimana kecacatannya diakibatkan oleh

patahnya tulang punggung maupun retaknya tulang ekor dan tulang kemaluan

serta retaknya tulang pinggang.

f. Amputi tangan adalah keadaan dimana tangan seseorang terpotong.

g. Amputi Kaki adalah keadaan dimana kaki seseorang terpotong.

2.1.6 Proses Kemandirian Cacat Tubuh dan hubungannya dengan Program Ruang

Kemandirian yang dapat dilakukan oleh Psikolog dapat disesuaikan dengan

tahapan terapi menurut Dauphinee (2002) yaitu:

1. Fase inisiasi meliputi terapi yang bersifat akut dan mobilisasi awal.

2. Proses berlangsungnya mobilisasi dan rehabilitasi melalui pelatihan

keberfungsian anggota tubuh yang baru, pelatihan reinnervation, pertolongan

untuk mampu menolong diri sendiri, dan dukungan dengan peralatan mekanis

(seperti kursi roda, tongkat penyangga, dan sepeda maupun motor beroda

tiga).

3. Fase pengukuran pencegahan terjadinya komplikasi setelah pasien kembali ke

rumah.

Rehabilitasi mencakup layanan fisioterapi untuk membantu melatih pasien

pasca-operasi maupun yang tidak dioperasi berupa perawatan, konsultasi,

pengepasan alat bantu dan kunjungan pada pasien luar sentra.

Terapi okupasi untuk menolong individu yang mempunyai kelainan atau

kecacatan fisik dan atau mental baik yang bersifat sementara atau menetap dengan

menggunakan aktifitas yang disesuaikan, untuk membantu pemulihan fungsi fisik,

mental ataupun sosial secara optimal di bidang perawatan diri, produktifitas dan yang

bersifat rekreasi atau menyenangkan sehingga menjadi mandiri dalam beraktifitas

baik dengan alat bantu ataupun tanpa alat bantu terutama untuk aktivitas

kesehariannya.

11

Terapi psikososial berupa pendampingan individu dan terapi bersama untuk

orangtua dan keluarga; serta pemberian alat bantu untuk penyandang disabilitas fisik

berupa: brace, sepatu ortopedik, kursi roda, prothese, korset, maupun splint.

Terlihat pada penjelasan diatas bahwa proses kemandirian dan terapi-terapi

yang dilakukan memerlukan berbagai ruangan-ruangan yang berbeda fungsi, seperti

ruang Examination, ruang latihan (termasuk ruang latihan air seperti kolam renang),

ruang olahraga, ruang kontrol, ruang rekreasi (indoor maupun outdoor), dan

ruangan-ruangan lain yang dibutuhkan. Maka dari itu diperlukan pengolahan

ruangan-ruangan tersebut.

2.1.7 Kebutuhan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat

Seperti yang telah disampaikan pada bab 1, bahwa jumlah penyandang cacat

di Indonesia semakin meningkat dan belum teratasi secara maksimal, dimana hanya

15% penyandang cacat yang teratasi. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya suatu

tempat yang dapat mendukung proses penyembuhan para penyandang cacat tubuh

tersebut yaitu suatu pusat rehabilitasi. Pusat Rehabilitasi itu sendiri harus memiliki

fasilitas-fasilitas lengkap yang dapat mendukung proses rehabilitasi penyandang

cacat tersebut.

2.2 Tinjauan Ruang Terapi

Berdasarkan buku Time-Saver Standards for Building Types; Health Care,

Rehabilitation Center, hubungan antar ruang dalam suatu pusat rehabilitasi sangat

perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya hubungan antar ruang

yang baik, para pasien yang menjalankan terapi akan merasakan kenyamanan yang

lebih dan akan membantu mempercepat proses penyembuhan. Adapun beberapa

contoh hubungan antar ruang terapi (khususnya yang sering digunakan oleh

penyandang cacat tubuh) tersebut adalah :

a. Terapi Fisik & Hidro

b. Terapi Okupansi

c. Terapi Vokasional

12

Gambar 2. Jenis-Jenis Sistem Terapi Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care

Gambar 3. Hubungan Ruang Terapi Fisik dan Hidro Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care

13

Gambar 4. Hubungan Ruang Terapi Okupansi Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care

Gambar 5. Hubungan Ruang Terapi Latihan Vokasional Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care

Workshops pada terapi vokasional yang paling sering digunakan adalah

komersial, reparasi komputer, reparasi jam, reparasi sepatu, reparasi perabot,

operasional toko mesin, reparasi elektronik, dan drafting.

14

2.3 Tinjauan Aksesibilitas

2.3.1 Aksesibilitas

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 30/PRT/M/2006,

aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk

penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala

aspek kehidupan dan penghidupan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Pasal 9, bahwa

penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan

yang lebih menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup

bermasyarakat. Pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas secara fisik terhadap

fasilitas umum dan infrastruktur, bangunan umum, jalan umum, taman dan

pemakaman, dan sarana transportasi.

2.3.2 Teori Aksesibilitas

Teori aksesibilitas terbagi menjadi 4 hal, yaitu :

1. Aksesibilitas Berdasarkan Tujuan dan Kelompok Sosial

Aksesibilitas menyediakan ukuran kinerja antara tata guna lahan dengan

sistem transportasi.

2. Indikator Aksesibilitas

Indikator aksesibilitas secara sederhana dapat dinyatakan dengan jarak.

3. Aksesibilitas dalam Kebijakan Tata Guna Lahan Perkotaan

Aksesibilitas menjadi kunci penting terhadap kebijakan tata guna lahan

dimana tata guna lahan yang memiliki aksesibilitas tinggi akan mempunyai

nilai lahan yang lebih baik.

4. Keterkaitan Tata Ruang dengan Transportasi

Ruang merupakan kegiatan yang “ditempatkan” di atas lahan kota, sedangkan

transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan

suatu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan

dan transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang

transportasi.

15

2.3.3 Pembagian Sistem Aksesibilitas

Dalam pembahasan ini, sistem aksesibilitas akan dibagi menjadi beberapa

bagian dan akan menggunakan standar dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

30/PRT/M/2006, yaitu :

a. Antropometri Penyandang Cacat

b. Standar Ukuran Pedestrian

c. Standar Ukuran Ramp

d. Standar Ukuran Tangga

e. Standar Ukuran Lift

f. Standar Ukuran Tempat Parkir

g. Standar Ukuran Kamar Mandi

h. Standar Ukuran Kamar Tidur

i. Standar Ukuran Pintu

2.3.4 Antropometri Penyandang Cacat

Alat bantu yang paling sering dan umum digunakan oleh para penyandang

cacat tubuh adalah kursi roda dan tongkat bantu (kruk). Kedua alat bantu ini

membutuhkan kondisi akses khusus sehingga para pengguna dapat menjalankan

aktivitas dengan baik. Maka dari itu, pada penelitian ini, kondisi akses akan berfokus

terhadap para pengguna kursi roda dan tongkat bantu. Dimensi-dimensi yang

digunakan sendiri adalah dimensi ukuran tubuh orang dewasa.

Gambar 6. Dimensi Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior

16

Gambar 7. Dimensi Putaran Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior

A 158.1cm

B 41.3cm

C 22.2cm

D 47.0cm

E 65.4cm

F 73cm

G 48.3cm

H 130.8cm

I 148cm

Gambar 8. Antropometri Pengguna Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior

17

Gambar 9. Antropometri Pengguna Tongkat Bantu Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior

Gambar 10. Antropometri Pengguna Kruk Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior

Dari standar-standar dan antropometri yang telah dimasukkan diatas, dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Lebar gerak minimal untuk pengguna kursi roda adalah 180cm, pengguna

kruk adalah 122cm.

b. Tinggi langit-langit minimal adalah 185cm.

c. Radius putaran dari satu kursi roda adalah 160cm.

d. Jarak satu langkah tongkat bantu adalah sekitar 180cm dan jarak satu langkah

untuk pengguna kruk adalah 122cm.

18

2.3.5 Standar Ukuran Pedestrian

Jalur pedestrian yang dirancang harus dapat medukung para penyandang

cacat, khusus nya yang menggunakan kursi roda, sehingga mereka juga dapat

merasakan kenyamanan.

Adapun beberapa syarat umum dalam perencanaan pedestrian, diantara lain :

a. Permukaan jalur pedestrian harus rata dan juga tidak licin.

b. Kemiringan maksimal adalah 7o.

c. Lebar minimal pedestrian adalah 120cm. Jika pedestrian difungsikan

sekaligus menjadi tempat pasien terbaring, maka lebar minimal menjadi

225cm.

d. Tinggi langit-langit minimal adalah 240cm.

Gambar 11. Standar Ukuran Pedestrian Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.6 Standar Ukuran Ramp

Adapun beberapa syarat dalam perencanaan ramp, diantaranya adalah :

a. Kemiringan maksimal adalah 7o.

b. Lebar minimal tanpa pegangan samping adalah 95cm.

c. Lebar minimal dengan pegangan samping adalah 120cm.

d. Bordes harus dapat memaksimalkan putaran kursi roda dengan nilai minimal

160cm.

e. Pencahayaan pada ramp harus dapat mendukung penglihatan para pengguna

ramp.

19

Gambar 12. Bentuk dan Ukuran Ramp yang dianjurkan Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.7 Standar Ukuran Tangga

Beberapa syarat dalam perencanaan tangga antara lain :

a. Panjang tangga minimal adalah 80cm dan tidak melebihi 125cm.

b. Tinggi anak tangga sebaiknya sekitar 15-19cm.

c. Lebar anak tangga sebaiknya sekitar 27-30cm.

d. Kemiringan kurang dari 60o.

e. Lebar bordes minimal adalah 90cm dan tidak melebihi 155cm.

20

Gambar 13. Standar Ukuran Tangga Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.8 Standar Ukuran Lift

Adapun beberapa syarat dalam perencanaan lift, antara lain :

a. Lebar minimal koridor lift adalah 185cm.

b. Letak dari tombol lift harus dapat dijangkau oleh pengguna kursi roda dengan

ketinggian 90-110cm.

c. Panel tombol di dalam lift setinggi 90-120cm.

d. Ukuran bersih minimal ruang dalam lift adalah 140x140cm.

Gambar 14. Standar Ukuran Lift Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.9 Standar Ukuran Tempat Parkir

a. Area parkir bagi penyandang cacat harus terletak dekat dari bangunan dengan

jarak maksimal 15m.

b. Area parkir bagi penyandang cacat harus diberikan tanda parkir.

21

c. Usahakan menyediakan ramp pada sisi didekat area parkir penyandang cacat.

d. Area bukaan pintu mobil harus memiliki lebar minimal 1.2m untuk 1 mobil

dan minimal 2.5m untuk 2 mobil. Selain itu juga disediakan jarak didepan

sekitar 0.9m dan dibelakang sekitar 0.6m untuk pergerakan penyandang

cacat.

Gambar 15. Standar-standar Ukuran Area Parkir bagi Penyandang Cacat Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.10 Standar Ukuran Kamar Mandi

Adapun beberapa syarat dalam perencanaan kamar mandi, antara lain :

a. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan tinggi kursi roda, sekitar

45-50cm

b. Peralatan mandi harus dapat dijangkau dengan leluasa dan tidak ditempatkan

pada ketinggian yang sulit dijangkau.

22

c. Ruang gerak pada kamar mandi harus cukup untuk aktivitas dengan kursi

roda.

d. Kamar mandi harus memiliki handrail denga posisi yang disesuaikan dengan

tinggi kursi roda.

e. Handrail harus memiliki bentuk siku keatas untuk membantu pergerakan

pengguna kursi roda.

f. Kunci-kunci kamar mandi harus dapat dibuka dari luar jika terjadi kondisi

darurat.

g. Dianjurkan menyediakan tombol pencahayan darurat bila sewaktu-waktu

terjadi pemadaman listrik.

Gambar 16. Standar Ukuran Kloset Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.11 Standar Ukuran Kamar Tidur

Adapun beberapa syarat dalam perencanaan kamar tidur, antara lain :

a. Harus tersedia zona sirkulasi bagi pengguna kursi roda disamping tempat

tidur.

b. Zona sirkulasi harus dapat mendukung putaran 360o bagi pengguna kursi

roda.

c. Lebar pintu masuk ke kamar tidur minimal 1.168m.

d. Perabot yang diperlukan dalam kamar tidur :

o Tempat tidur elektrik

o Peralatan medis seperti : tombol panggilan, oxygen sentral

o Bedside Cabinet

o Peralatan pendukung seperti : TV, AC, kulkas

23

A 76.2cm

B 99.1cm

C 53.3cm

D 228.6cm

E 137.2cm

F 221cm

G 355.6cm

H 137.2cm

Gambar 17. Standar Ukuran Kamar Tidur Sumber: Buku Dimensi Manusia & Ruang Interior

2.3.12 Standar Ukuran Pintu

Adapun beberapa syarat dalam perencanaan pintu, antara lain :

a. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar manfaat bukaan minimal 90 cm,

dan pintu-pintu yang kurang penting memiliki lebar bukaan minimal 80 cm,

kecuali untuk rumah sakit harus berukuran minimal 90 cm.

b. Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau

perbedaan ketinggian lantai.

c. Hindari penggunan bahan lantai yang licin di sekitar pintu.

d. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi

pengguna kursi roda.

24

Gambar 18. Standar Ukuran Pintu Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006

2.3.13 Kesimpulan

Berdasarkan data-data mengenai standar-standar ukuran yang telah

dilampirkan pada bagian sebelumnya, didapatkan bahwa dalam merancang dimensi

dan tata ruang suatu pusat rehabilitasi dengan sistem gerak yang baik, memerlukan

kerincian dalam hal pengukuran. Terutama untuk ukuran-ukuran jarak bukaan, jarak

antar benda, jarak antar ruang, dan sebagainya.

2.4 Novelty

Unsur kebaruan dari laporan penelitian ini adalah dalam perencanaan pusat

rehabilitasi yang difokuskan kepada perancangan tata ruang dan aksesibilitas

sedemikian mungkin agar dapat memudahkan para penyandang cacat.

25

Beberapa permasalahan yang akan diselesaikan dalam laporan ini antara lain:

a. Perencanaan tata ruang yang akan memberikan kenyamanan dan kesan

terarah pada pusat rehabilitasi, sehingga para pengguna bangunan tidak

bingung mengenai sistem pergerakan dalam bangunan dan juga agar para

pengguna bangunan dapat memaksimalkan fungsi bangunan.

b. Perencanaan sistem aksesibilitas pada dan luar bangunan yang dapat

membuat para pengguna bangunan menjadi mudah dalam melakukan

aktivitas, terutama bagi para pengguna alat bantu gerak yang memiliki sistem

mobilitas terbatas.

2.5 Studi Literatur

Studi Literatur akan mengambil 3 proyek bangunan pusat rehabilitasi yang

ada dan melihat kondisi aksesibilitas yang ada pada ketiga bangunan itu yang

kemudian dilihat apakah sudah memenuhi kriteria yang mendukung penyandang

cacat.

Pemilihan objek literatur berdasarkan kelengkapan akses dan sistem terapi

yang dimiliki oleh bangunan. Sistem terapi yang dimiliki harus sesuai dengan sistem

terapi yang akan pakai pada perancangan.

1. Rehabilitation Centre Groot Klimmendaal

Gambar 19. Lokasi RCG Klimmendaal Sumber: maps.google.com diakses 8 Maret 2015

• Architects: Architectenbureau Koen van Velsen BV

• Location: The Netherlands

• Project Area: 14,000 sqm

• Project Year: 2011

Terdapat lebih dari 30 jenis fasilitas terapi yang tersedia pada pusat

rehabilitasi ini, termasuk :

26

• Terapi Okupansi

• Terapi Fisik

• Terapi Akuatik (Hidro)

Fasad bangunan menggunakan material brown-golden aluminium, dan

terlihat berirama dengan alam. Denah pada bangunan ini berbentuk persegi panjang

dengan pola ruang grid.

Gambar 20. Fasad RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-

groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015

Gambar 21. Denah Lantai 1 RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-

groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015

Zonasi bangunan ini terbagi menjadi Lantai bawah terdapat kantor-kantor,

bagian atas merupakan area klinik, dan pada atap terdapat Rumah Ronald McDonald.

Pada bagian pintu masuk utama memiliki ketinggian dua kali lebih tinggi dan

memiliki fasilitas seperti fasilitas olahraga, fitness, kolam renang, restoran, dan

teater.

27

Gambar 22. Koridor RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-

groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015

Terlihat bahwa koridor bangunan ini bervariasi dimana pada koridor utama,

dapat diakses oleh pengguna kursi roda, sedangkan pada koridor samping tidak dapat

diakses pengguna kursi roda.

Gambar 23. Area Open space RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-

groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015

Terdapat area open space yang sangat luas dan penuh dengan penghijauan

pada bagian depan bangunan dan dimanfaatkan sebagai area rekreasi para pasien dan

pengunjung dan juga sebagai area terapi outdoor.

Gambar 24. Detail RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-

groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015

Bangunan menggunakan konsep maju mundur dimana terlihat bahwa ada

beberapa bagian bangunan yang maju dan beberapa bagian bangunan masuk

kedalam.

28

Penghematan energi pada bangunan ini dimaksimalkan dengan menggunakan

material yang tahan lama, perancangan sistem elektrikal dan mekanikal, terutama

penyimpanan termal (panas dan cold storage) berkontribusi pada pengurangan

konsumsi energi.

2. Spaulding Rehabilitation Hospital

Gambar 25. Lokasi Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: maps.google.com diakses 8 Maret 2015

• Architects: Perkins+Will

• Location: Charlestown, Boston, Massachusetts, United States

• Area: 378,367 sqft

• Year: 2013

Terdapat sekitar 20 jenis fasilitas terapi yang tersedia pada pusat rehabilitasi

ini, termasuk :

• Terapi Okupansi

• Terapi Fisik

Fasad bangunan banyak menggunakan gray materials agar terlihat seperti

kapal perang zaman dulu dan glass curtainwall untuk memaksimalkan view dan

pencahayaan alami. Denah pada bangunan ini berbentuk memanjang dengan pola

ruang grid.

Gambar 26. Fasad Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-

hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015

29

Gambar 27. Denah Lantai 1 Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-

hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015

75% dari lantai dasar merupakan area publik dan berhubungan dengan

Boston Harbor Walk. Pembagian zonasi berdasarkan pembagian dua bangunan,

dimana 1 bangunan merupakan area privat dengan 8 lantai dan bangunan lainnya

merupakan bangunan publik dan semi-publik dengan aktivitas terapi.

Gambar 28. Lobby Koridor Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-

hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015

Bangunan memiliki banyak koridor yang memiliki area yang luas, sehingga

para pengguna kursi roda dapat beraktivitas secara maksimal.

Gambar 29. Open space Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-

hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015

30

Memiliki banyak sekali area open space, dimana area-area tersebut terletak

tidak hanya pada lantai dasar, tetapi juga pada lantai atas dan area ini juga

dimanfaatkan sebagai area rekreasi para pasien dan pengunjung dan juga sebagai

area terapi outdoor.

Gambar 30. View Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-

hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015

Bangunan berbentuk kotak-kotak dengan konsep open, dimana terlihat bahwa

bangunan ini memiliki banyak area terbuka, baik diluar maupun didalam.

Dalam menanggapi perubahan iklim dan kemungkinan kenaikan permukaan

laut, lantai utama diangkat sejauh setengah meter dan semua peralatan HVAC terletak

di atap. Vegetasi pada atap mengurangi limpasan air hujan dan mengurangi beban

pendinginan dan efek heat-island.

3. Vandhalla Egmont Rehabilitation Center

Gambar 31. Lokasi Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: maps.google.com diakses 14 April 2015

• Architects: Force4 Architects + CUBO Arkitekter

• Location: Hou Seasportcenter, Villavej 25, Odder, Denmark

• Area: 4,000 sqm

• Year: 2013

31

Fasilitas terapi utama pada proyek ini adalah Terapi Hydro yang dapat

digunakan oleh pengguna kursi roda. Selain itu, terdapat juga fasilitas terapi fisik

pada bangunan ini.

Fasad bangunan terlihat tertutup pada lantai atas, sedangkan pada lantai

dasar, terlihat bangunan terselubung oleh kaca, sehingga terlihat terbuka.

Gambar 32. Fasad Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.world-Architects.com/en/projects/41631_

Vandhalla_Egmont_Water_Rehabilitation_Centre diakses 14 April 2015

Gambar 33. Denah Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-

force4-Architects/ diakses 14 April 2015

Pembagian zonasi pada bangunan ini adalah dengan meletakkan area

pemeriksaan ditengah bangunan dan dikelilingi oleh area-area terapi berupa kolam

renang, gymnasium, lapangan olahraga. Terdapat juga area berkumpul yang

difungsikan sebagai kantin di bagian samping bangunan.

32

Gambar 34. View Koridor Area Terapi Hydro Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-

force4-Architects/ diakses 14 April 2015

Koridor pada area terapi pusat rehabilitasi ini memiliki lebar yang dapat

dengan pas dilalui oleh 2 pengguna kursi roda. Selain itu pada koridor-koridor

lainnya, terlihat bahwa lebar koridor tersebut lebih lebar dibandingkan dengan

koridor pada area terapi, sehingga pengguna kursi roda dapat beraktivitas lebih

maksimal.

Gambar 35. Bird-View Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.hojskolerne.dk/hoejskoler/hoejskole-soeg/egmont-hoejskolen?lang=en diakses

14 April 2015

Jika dilihat pada gambar diatas, terdapat area open space mengelilingi

bangunan dan juga area open space yang terletak pada dalam bangunan. Selain itu,

area parkir juga diletakkan pada bagian depan bangunan, sehingga area belakang

bangunan tidak terganggu oleh aktivitas kendaraan.

33

Bangunan ini sendiri terletak disamping pantai dan penghijauan, sehingga

memiliki view yang bersifat alami dan menarik.

Gambar 36. View Wheel Chair Water Ramp Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-

force4-Architects/ diakses 14 April 2015

Gambar diatas merupakan fokus utama pada bangunan ini, yaitu sebuah

waterslide dan waterramp yang dapat diakses oleh pengguna kursi roda, sehingga

dapat melatih keseimbangan dan respon para pasien.

Gambar 37. View Wheel Chair Water Slide Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-

force4-Architects/ diakses 14 April 2015

Akses menuju waterslide ini sendiri menggunakan tangga dan elevator ke

atas dan kemudian turun sejauh 90m melalui waterslide.

34

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi literatur, dapat ditarik kesimpulan berupa beberapa

hal, yaitu :

a. Perancangan pusat rehabilitasi harus memperhatikan sistem aksesibilitas,

dimana sistem aksesibilitas tersebut harus dapat mendukung aktivitas para

penyandang cacat, terutama pengguna kursi roda.

b. Koridor pada bangunan harus dapat mendukung pergerakan setidaknya 2

pengguna kursi roda, sehingga tidak bertabrakan dan tidak perlu memutar.

c. Fasad bangunan sebaiknya dapat terlihat menyatu dengan lingkungan.

d. Pembagian zonasi dan fasilitas harus terbagi dengan jelas dan membedakan

antara area privat dan publik.

e. Konsep bangunan dapat berupa konsep maju mundur, open, dan sebagainya

selama dapat memberikan kesan menarik dan menyatu dengan lingkungan.

f. Bangunan sebaiknya memiliki area open space yang dapat menjadi area

rekreasi maupun area terapi. Selain itu, area terapi juga sebaiknya dapat

mendukung aktivitas pengguna kursi roda.

g. Konsep keberlanjutan harus diperhatikan ketika perancangan, baik dalam hal

penggunaan material maupun perancangan sistem bangunan.

35

2.6 Kerangka Berpikir

1.

Gambar 38. Kerangka Berpikir

OPTIMALISASI AKSESIBILITAS UNTUK PUSAT REHABILITASI

PENYANDANG CACAT TUBUH DI JAKARTA UTARA

Latar Belakang & Permasalahan

Bagaimana merancang pusat rehabilitasi penyandang cacat tubuh dengan

akses yang baik

ISSUE :

Sustainable, healthy, and liveable

human settlement

Sustainable, healthy and liveable :

Kurang tersedianya aksesibilitas yang

memudahkan pergerakan para

penyandang cacat

Human Settlement :

Belum tersedianya suatu pusat

rehabilitasi bagi para penyandang

cacat di Jakarta, mengingat angka

penyandang cacat yang cukup

tinggi Studi Literatur

Aksesibilitas & Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat

Analisa Manusia, Lingkungan, dan Bangunan

F

E

E

D

B

A

C

K

Landasan Teori

Konsep Perancangan

Skematik Desain

Perancangan

Analisa Aksesibilitas

36