bab 1 ra
DESCRIPTION
JHGHJGJHGJTRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Dahulu
rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: rinitis alergi
musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
1.2. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:
1) Pangkal hidung (bridge)
2) Batang hidung (dorsum nasi)
3) Puncak hidung
4) Ala nasi
5) Kolumela
6) Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasalis)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor
1
3) beberapa pasang kartilago ala minor
4) tepi anterior kartilago septum.
Gambar 1. Dinding Lateral Kavum Nasi
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os
etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine.
Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2)
kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os
etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan
kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang
palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
2
Gambar 2. Septum Nasi
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius Gambar 2. Septum nasi terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
3
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.. Bagian atas
rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. Oftalmika berasal dari a. karotis
interna.
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
Persarafan hidung, pada bagian atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.Etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.Maksilaris melalui ganglion sfenopalatina. Fungsi penghidu
berasal dari n.Olfaktorius.
I.3. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah :
A. Fungsi Respirasi
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
4
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh: a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,b. Silia, c.
Palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
B. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat.
C. Fungsi Fonetik
1. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
2. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
D. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.
5
1.4. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
1.4.1. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alegen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan parenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
6
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).
1.4.2. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban
yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
1.4.3. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
7
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Gambar 3. Patofisiologi alergi terhadap paparan alergen pertama dan selanjutnya
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akanmenangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
8
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
9
1.4.4. Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat
serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
1.4.5. Gejala Klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
10
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
1.4.6. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
11
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung
basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang denganmeniadakan suatu jenis makanan.
12
1.4.7. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Antihistamin di absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun
pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih
bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator
dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik
dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topikal
adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya
untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast, anti IgE,
DNA rekombinan.
13
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider,
2001).
c. Imunoterapi jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan
yaitu intradermal dan sub-lingual.
1.3.8. Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya(lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
14