bab 1 ra

23
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). 1.2. ANATOMI HIDUNG Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: 1) Pangkal hidung (bridge) 2) Batang hidung (dorsum nasi) 3) Puncak hidung 4) Ala nasi 5) Kolumela 6) Lubang hidung (nares anterior) 1

Upload: bumble-melati

Post on 21-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

JHGHJGJHGJ

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 RA

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von

Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Dahulu

rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: rinitis alergi

musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

1.2. ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:

1) Pangkal hidung (bridge)

2) Batang hidung (dorsum nasi)

3) Puncak hidung

4) Ala nasi

5) Kolumela

6) Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1) tulang hidung (os nasalis)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan

yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor

1

Page 2: BAB 1 RA

3) beberapa pasang kartilago ala minor

4) tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1. Dinding Lateral Kavum Nasi

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang

nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk

oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os

etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine.

Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2)

kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os

etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan

kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang

palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,

sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

2

Page 3: BAB 1 RA

Gambar 2. Septum Nasi

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di

belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral

hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil

lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka

suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan

suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan

dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius Gambar 2. Septum nasi terletak

diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus

frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang

merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus

etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung

dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.

3

Page 4: BAB 1 RA

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.. Bagian atas

rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang

merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. Oftalmika berasal dari a. karotis

interna.

Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung

yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang

membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum etmoid, hiatus

semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unit

fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang

letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi

obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang

signifikan pada sinus-sinus yang terkait.

Persarafan hidung, pada bagian atas rongga hidung mendapat persarafan

sensoris dari n.Etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n.Maksilaris melalui ganglion sfenopalatina. Fungsi penghidu

berasal dari n.Olfaktorius.

I.3. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah :

A. Fungsi Respirasi

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran

udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk

melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara

inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain

kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari

nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:

4

Page 5: BAB 1 RA

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada

musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini

sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh

darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,

sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu

udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri

dan dilakukan oleh: a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,b. Silia, c.

Palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-

partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

B. Fungsi Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel

bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik nafas dengan kuat.

C. Fungsi Fonetik

1. Resonansi Suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung

akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

sengau.

2. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana

rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk

aliran udara.

D. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung

menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.

5

Page 6: BAB 1 RA

1.4. Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von

Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

1.4.1. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal

rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu

nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang

tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten

atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering ialah alegen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan

alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan

alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada

anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,

gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan parenial lebih ringan

dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

6

Page 7: BAB 1 RA

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas (Bousquet et al, 2001).

1.4.2. Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi

rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen

inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala

alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda

tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang

menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi

perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan

seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya

karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban

yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang

bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,

polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang.

3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

1.4.3. Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate

7

Page 8: BAB 1 RA

phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Gambar 3. Patofisiologi alergi terhadap paparan alergen pertama dan selanjutnya

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akanmenangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek

peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan

pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-

1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

8

Page 9: BAB 1 RA

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil

(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi

terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan

terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain

histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor

(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony

Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat

sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,

juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter

Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta

peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein

(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non

spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan

cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

9

Page 10: BAB 1 RA

1.4.4. Gambaran Histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat

serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat

terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan

yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi

reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik

dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,

reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil

dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada

defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi

kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis

kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi

(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

1.4.5. Gejala Klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya

10

Page 11: BAB 1 RA

lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai

bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer

dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan

banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,

faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang

pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian

hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.

Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk

edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).

Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil

dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia

submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara

(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang

tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada

sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,

mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

1.4.6. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang

khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)

yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung

tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien

(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,

menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor

genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap

pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan

berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali

setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,

dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

11

Page 12: BAB 1 RA

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan

gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain

itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi

bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh

punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung

basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.

Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat

gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau

penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya

selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah

dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno

Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan

diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam

jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya

infeksi bakteri.

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan

untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang

bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi

serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit

seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan

diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap

dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang

dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati

reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan

sampai suatu ketika gejala menghilang denganmeniadakan suatu jenis makanan.

12

Page 13: BAB 1 RA

1.4.7. Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan

eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor

komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik

yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.

Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan

secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan

antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin

generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak

(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.

Antihistamin di absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk

mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Preparat

simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung

oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun

pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk

menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih

bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi

dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal

(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan

triamsinolon). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan

mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator

dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi

dengan menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik

dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topikal

adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas

inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya

untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast, anti IgE,

DNA rekombinan.

13

Page 14: BAB 1 RA

b. Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi

memakai AgNO3 25% atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider,

2001).

c. Imunoterapi jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan

hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan

yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum

memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking

antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan

yaitu intradermal dan sub-lingual.

1.3.8. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,

akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya(lebih eosinofil dan limfosit

T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang

menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan

udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama

bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain

akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil

(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

14