bab 0 pengantar mpkt buku ke-1 (bagus takwin)

Upload: rachmah-rizky

Post on 19-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A

BUKU AJAR I

Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan KarakterBagus TakwinFristian HadinataSaraswati Putri

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2012BUKU AJAR I

Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan KarakterPengantar Buku Ajar MPKT A

Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan Memerdekakan Manusia Indonesia

Bagus Takwin

1. PendahuluanKonsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai. Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara tentang manusia.

Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya? Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.

Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi. Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan. Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia. Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggung- jawabkan dirinya.

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso mengemukakan bahwa tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.

Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain, orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan daya-daya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat.

Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti becoming and being somebody dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa, Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya. Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang merdeka.

Universitas Indonesia melalui program-program pendidikannya berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI.Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi. Tulisan ini merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di UI.2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas

Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.

Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah educate the head, the heart, and the hand sangat tepat (Dewantara, 2004).

Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan manusia menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiribaik secara politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.

Konsep manusia merdeka dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya dihormati.

Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan. Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain, pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.

Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakansesuai dengan hukum sebab-akibatdan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian.

Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah. Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti (yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam pendidikan.

Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen. Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah kapabilitas, implikasi logisnya sama dengan istilah merdeka dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.

Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai a persons ability to do valuable acts or reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person is able to do or be (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian, kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).

Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat dengan kapabilitas:

1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya

2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang bernilai

3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan

4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.

Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan aset.

Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi, melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut, misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.

Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting dan berharga baginya.

Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar, yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.

Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya, menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam masyarakat (Unterhalter 2003).

3. Kapabilitas dan Fungsi

Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan, bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir, kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen, 1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi.

Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan (Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya. Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu. Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam ujian nasional.

Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya. Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman, tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.

Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain, keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.

Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being) seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan, tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UIDengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda diakuisecara sosial dan edukasionalmemiliki klaim yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum dalam proses pendidikan di Indonesia.

Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka. Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan perguruan tinggiseperti juga lulusan SMAdapat diserap oleh dunia kerja yang membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang bayaran, yakni orang yang bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan.

Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat bahwa kebanyakankalau tidak dapat dikatakan semuaperguruan tinggi di Indonesia masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka.

Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama, posisi atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kapabilitas sangat jarang.

UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI. Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat. Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya.

Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak penyelenggara pendidikan yang sungguh-sungguh berikhtiar meningkatkan dan menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun masih belum efektif.

Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan cara-cara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal, menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.

5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan

Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah (problem-based learning); pemagangan; penyelesaian proyek bersama; penugasan (internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata (KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya; pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam penyelenggaraan administrasi pendidikan.

Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas. Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan peningkatan keagenan dan kemerdekaan.

Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik. Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka masing-masing.

Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua, mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker 2005; McLeod, 2005).

UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi. Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.

Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen, 1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat, memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguh-sungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.

UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan, memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah atau beasiswa penuh kepada mereka.

UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat, kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat, mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.

6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI

Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya.

Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa, khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumber-sumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.

Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika, pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia, Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan. Buku III memuat materi tentang Bangsa dan Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia.

MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya sendiri dan masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKAuntuk Pengantar

Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins.

Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sens Capability Approach and Poverty Reduction. Oxford: Oxford University Press.

Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social Advantage. London: Routledge Falmer.

Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage.

Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.

. 2002. Schooling in Capitalist America Revisited. Dalam Sociology of Education, 75 (2): 118.

Brighouse, H. 2002. What Rights (if any) Do Children Have? Dalam The Moral and Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford: Oxford University Press.

Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. Defending Liberalism in Education Theory. Dalam Journal of Education Policy, 18:355373.

Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press.

Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 2130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Kwesiga, J. 2002. Womens Access to Higher Education in Africa: Ugandas Experience. Kampala: Fountain Publishers.

Lynch, K. dan Baker, J. 2005. Equality in Education: An Equality of Condition Perspective. Dalam Theory and Research in Education 3:131164.

McLeod, Julie. 2005. Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions about Gender Habitus and Gender Change. Dalam Theory and Research in Education, 3:79.

Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Robeyns, I. 2005. The Capability Approach: A Theoretical Survey. Dalam Journal of Human Development, 6(1) 93-114.

Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas Indonesia.

Sen, Amartya. 1979. Utilitarianism and Welfarism. Dalam The Journal of Philosophy, LXXVI, 463-489.

. 1980. Equality of What? Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press.

. 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press

. 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press.

. 1993. Capability and Well-being dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life.

. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.

. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press.

. 2004. Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation. Dalam Feminist Economics, 10:7780.

Stromquist, Nelly. 1998. Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC.

Unterhalter, E. 2003. The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination of South African Complexities. Dalam Theory and Research in Education, 1 (1): 722.

Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sens Capability Approach and Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.DAFTAR ISI

PENGANTAR ..iiiDAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ...xviDAFTAR ISI.. xviiiBAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER1. Pendahuluan...12. Kepribadian dan Karakter......23. Kekuatan dan Keutamaan Karakter....44. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional.45. Kriteria Karakter yang Kuat.66. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya.77. Karakter dan Spiritualitas..12

8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan. 15

DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I....................................................................17BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT1. Pendahuluan ......182. Pengertian Filsafat...... 203. Cabang dan Aliran Filsafat.....264. Alternatif Langkah Belajar Filsafat....34DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II .............................................................38BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA....391. Apakah Logika Itu?......................................392. Kategori.........433. Term, Definisi dan Divisi...483.1 Term.....48

3.2 Definisi.49

3.2.1 Penggolongan Definisi50

3.2.2 Aturan Membuat Definisi51

3.3 Divisi.52

3.3.1 Divisi Real atau Aktual52

3.3.2 Divisi Logis..53

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi.53

4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi....544.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi...544.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks564.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks.584.3.1 Negasi...58

4.3.2 Konjungsi.59

4.3.3 Disjungsi..61

4.3.4 Kondisional..62

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi644.4 Hubungan Antar-pernyataan.....654.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi66

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi.68

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis.685. Penalaran....705.1 Penyimpulan Langsung......705.2 Penyimpulan Tak Langsung.....715.3 Dua Jenis Penalaran..725.4 Kesalahan Penyimpulan725.5 Argumentasi..736. Argumen Deduktif...746.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi).746.2 Karakteristik Penalaran Deduktif..746.3 Silogisme...756.3.1 Silogisme Kategoris.76

6.3.2 Delapan Hukum Silogisme..76

6.3.3 Silogisme Hipotetis.79

6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih.797. Argumen Induktif...817.1 Definisi Induksi81

7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif).84

7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal..88

7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik..92

8. Sesat Pikir....1008.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)..100

8.2 Sesat Pikir Formal.101

8.3 Sesat Pikir Nonformal..104

9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif.1099.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif..110

9.2 Kesalahan Generalisasi.112

9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan).112

9.2.2 Kesalahan Kecelakaan.113

5.1 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah.116

9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan.116

9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan117

5.1 Kesalahan Statistikal119

9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias).1199.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup).120

9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gamblers Fallacy)......122

9.5 Kesalahan Kausal.1239.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat.124

9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama125

9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc).126

9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient Condition127

9.6 Kesalahan Analogi129DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III...................................................132BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA.1331. Perbedaan Etika dan Moralitas......................................................................1332. Klasifikasi Etika..1352.1 Etika Normatif..1362.2 Etika Terapan137

2.3 Etika Deskriptif.138

2.4 Metaetika..1403. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis....1413.1 Realisme Etis.141

3.2 Nonrealisme Etis...1424. Empat Jenis Pernyataan Etika.1435. Kegunaan Etika...1456. Immanual Kant dan Etika Kewajiban.1467. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian..1498. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban..152DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ........................................156 EMBED Word.Picture.8

Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia.

Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.

Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI.

Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.

Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.

i

_1195425179.doc