apklin untuk farmako
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL
(GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)
DEFINISI
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Manifestasi klini dari Penyakit refluks
gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus (Makmun, 2007).
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyakit GERD bersifat multifaktorial. GERD dapat merupakan gangguan fungsional
(90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan
gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari
GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa
esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus
walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama. Selain itu penurunan tekanan otot sfingter
esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai
penyebab terjadinya refluks (Makmun, 2007).
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali
pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa) (Makmun,
2007).
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter
esofagus bawah(2,3). Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat
dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus SEB dikatakan rendah bila
berada pada < 3 mmHg (3). Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg (Iskandar, 2007).
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong
kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter
esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon
terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring
(Makmun, 2007).
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme (Makmun,
2007) :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat (3). Yang
termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di dada
atau epigastrium Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau heartburn. Selain
itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash. Regurgitasi yaitu
pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau faring yang
menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit (1,3). Pada beberapa
kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan makanan padat. Hal ini
mungkin sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi
esofagus yang berat (Patti, 2011).
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti laringitis,
suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. Manifestasi non esofagus pada GERD
dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara
(Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). Di lain pihak, penyakit paru juga dapat
memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan
tonus SEB. Misalnya theofilin (Makmun, 2007).
Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental, mulut
kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8 minggu, bila
gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT (Iskandar, 2007).
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan
terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi (Patti, 2011).
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian
bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta
mencegah kekambuhan (Makmun, 2007).
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain (Makmun, 2007):
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur, dengan
tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah refluks asam
lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda karena
dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan tonus
SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil dengan
GERD.
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan
step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat
menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton.
Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah
terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid (Patti, 2011).
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik
tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini
pertama dan digunakan pendekatan step down (Patti, 2011).
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih dinilai
efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan asam
lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB. Kelemahan obat golongan ini adalah.
Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat
terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan (maqkmun,
2007).
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD(4). Yang termasuk obat golongan ini
adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan
obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang
berat, misalnya dengan barrett’s esophagus (Patti, 2011).
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang
serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg (Makmun, 2007).
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit
ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus
SEB dan mempercepat pengosongan gaster (Patti, 2011).
1. Metoklopramid (Makmun, 2007).
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor
H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.
2. Domperidon (Makmun, 2007).
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui
dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride (Makmun, 2007).
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat
tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus
dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada
meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis
4x1 gram (Makmun, 2007).
Gejala khas GERD
Umur >40 tahunUmur <40 tahun
PPI tes/ terapi empiris
Respon baik
Terapi minimal 4minggu
Terapi on demand
Gejala menetap/berulang
kekambuhan
Endoskopi
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of
choiceGolongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi
enzim H, K ATP –ase. yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus,
bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2 (Patti,
2011).
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas
obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik (Patti, 2011).
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.
Terduga kasus GERD
Diselidik
Terapi awal
Terapi Maintenance
Tidak diselidiki
Terapi empiris/Tes PPI
On demand therapy
PPI test 1-2 minggu dosis ganda (sensitivitas 60-80%)
Keluhan menetap
Esofagitis sedang dan berat Gejala berulangEsofagitis ringanNERD
Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik
memadai.
Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa pada
pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala lain
seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan
esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi
PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga
memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI (Makmun, 2007).
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup
dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi
(Patti, 2011).
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi
radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat
implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil
(Makmun, 2007).
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek
PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medik (Iskandar,
2007).
DAFTAR PUSTAKA
Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2007.
Patti M, Kantz J,editor. 2011. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment &
Management. Medscape.
Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007.
DIARE
Definisi.
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan betambahnya frekuensi defekasi lebih dari
biasnya (>3x perhari) disertai perubahan konsistensi tinja(menjadi cair), dengan atau tanpa darah
dan atau lender (Suraatmaja, 2007).
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung
kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besar lebih dari
3-4 kali perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau
normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare , tetapi
merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran
cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang menurut ibunya
abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air besar kurang
dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah dapat disebut diare (Subagyo,
2010).
Cara penularan dan faktor resiko.
Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau
barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. (4F= field,
flies, fingers, fluid) (Subagyo, 2010).
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain:tidak
memberikan ASI secara penuh selama 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan atau MCK,
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunya motilitas usus, menderita campak
dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetic (Subagyo, 2010).
1. Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.
Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, berkurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi
atau penyakit yang berulang yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit
pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa (Suraatmaja, 2007).
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat
setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. pada infeksi asimtomatik
yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,
bakteri, atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi yang asimtomatik
berperan penting dalam penyebaran banyak eneteropatogen terutama bila mereka tidak
menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain (Subagyo, 2010).
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. di daerah tropis, diare
karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus
terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. didaerah tropic (termasuk
Indonesia) diare yang disebabkan rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan
peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri terus meningkat
pada musim hujan (Subagyo, 2010).
4. Epidemi dan pendemi
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemic dan pandemic
dan mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia.
sejak tahun 1961, cholera yang disebabkan oleh v. cholera 0.1 biotipe eltor telah
menyebar ke negara-negara di afrika, amerika latin, asia, timur tengah, dan beberapa
daerah di amerika utara dan eropa. dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae 1
menjadi penyebab wabah yang besar di amerika tengah dan terakhir di afrika tengah dan
asia selatan. Pada tahun 1992 dikenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang menyebabkan
epidemic di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah (Subagyo, 2010).
Mekanisme daya tahan tubuh
Infeksi virus atau bakteri tidak selamanya akan menyebabkan terjadinya diare karena
tubuh mempunyai mekanisme daya tahan tubuh. Usus adalah organ utama yang berfungsi
sebagai front terdepan terhadap invasi dari berbagai bahan yang berbahaya yang masuk ke dalam
lumen usus. Bahan-bahan ini antara lain mikroorganisme, antigen toksin, dll. Jika bahan-bahan
ini dapat menembus barieir mekanisme daya tahan tubuh dan masuk kedalam sirkulasi sistemis,
terjadilah bermacam-macam reaksi seperti infeksi, alergi atau keadaan autoimunitas (Suraatmaja,
2007).
1. Daya pertahanan tubuh nonimunologi
a. Flora usus
Bakteri yang terdapat dalam usus normal (flora usus normal), dapat mencegah
pertumbuhan yang berlebihan dari kuman pathogen yang secara potensial dapat
menyebabkan penyakit. Setelah lahir usus sudah dihuni oleh bermacam-macam
mikroorganisme yang merupakan flora usus normal. Penggunaan antibiotika dalam
jangka panjang dapat mengganggu keseimbangan flora usus, menyebabkan pertumbuhan
yang berlebihan dari kuman-kuman non pathogen yang mungkin juga telah resisten
terhadap antibiotika (Suraatmaja, 2007).
Pertumbuhan kuman pathogen dalam usus akan dihambat karena adanya
persaingan dengan flora usus normal. Hal ini terjadi karena adanya kompetisi terhadap
substrat yang mempengaruhi pertumbuhan kuman yang optimal (pH menurun, daya
oksidasi reduksi menurun,dsb) atau karena terbentuknya zat anti bakteri terhadap kuman
pathogen yang disebut colicines (Suraatmaja, 2007).
b. Sekresi usus
Mucin (Glikoprotein dalam usus) dan kelenjar ludah penting untuk mencegah
perlekatan kuman-kuman Streptococcus, Staphylococcus, Lactobacilus pada mukosa
mulut sehingga pertumbuhan kuman tersebut dapat diahambat dan dengan sendirinya
mengurangi jumlah mikrooganisme yang masuk ke dalam lambung. Mucin serupa
terdapat pula dalam mucus yang dikeluarkan oleh sel epitel usus atau disekresi oleh usus
secara kompetitif mencegah melekatnya dan berkembangbiaknya mikroorganisme di
epitel usus. Selain itu muci juga dapat mencegah penetrasi zat-zat toksik seperti allergen,
enterotoksin,dll (Suraatmaja, 2007).
c. pertahanan lambung
Asam lambung dan pepsin mempunyai peranan penting sebagai penahan masuknya
mikroorganisme, toksin dan antigen kedalam usus.
d. gerak peristaltik
Gerak peristaltic merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha mencegah
perkembangbiakan bakteri dalam usus, dan juga ikut mempercepat pengeluaran bakteri
bersama tinja. Hal ini terlihat bila karna sesuatu sebab gerak peristaltis terganggu
(operasi, penyakit, kelainan bawaan dsb), sehingga menimbulkan stagnasi isi usus
(Subagyo, 2010).
e. filtrasi hepar
Hepar, terutama sel kupfer dapat bertindak sebgaai filtrasi terhadap bahan-bahan
yang berbahaya yang diabsorbsi oleh usus dan mencegah bahan-bahan yang berbahaya
tadi masuk kedalam sirkulasi sistemik (Subagyo, 2010).
f. Lain-lain
- lisosim (mempunyai daya bakteriostatik)
- garam-garam empedu membantu mencegah perkembangbiakan kuman
- Natural antibody : menghambat perkembangan beberapa bakteri pathogen, tetapi
tidak mengganggu pertumbuhan flora usus normal. Natural antibody ini mungkin
merupakan hasil dari reaksi cross imunity terhadap antigen yang sama yang terdapat
pula pada beberapa mikroorganisme (Suraatmaja, 2007).
2. Pertahanan imunologik lokal
Saluran pencernaan dilengkapi dengan system imunologik terdapat penetrasi antigen ke
dalam epitel usus. Limfosit dan sel plasama terdapat dalam jumlah yang berlebihan dalam
usus, baik sebagai bagian dari plaque peyeri di ileum dan apendiks maupun tersebar secara
difus di dalam lamina propria usus kecil dan usus besar. Reaksi imunologik local ini tidak
tergantung dari system imunologik sistemik.Reaksi ini terjadi karena rangsangan antigen dari
permukaan epitel usus. Yang termasuk dalam pertahanan imunologik lokal adalah:
a. Secretory Immunoglobulin A (SIgA)
IgA diketahu terbanyak terdapat pada sekresi eksternal sedangkan IgG dalam cairan
tubuh internal. Strukur SIgA berlainan dengan antibody yang terdapat dalam serum,
berbentuk dimer dari IgA yang diikat oleh rantai polipeptida. Dimer IgA ini dibuat dalam
sel plasma yang terdapat dibawah permukaan epitel usus yang kemudian akan diikat lagi
oleh suatu glikoprotein yang dinamakan sekretori komponen (SC). Dengan ikatan yang
terakhir SIgA akan lebih tahan terhadap pengrusakan oleh enzim proteolitik (tripsin dan
kemotripsin) yang terdapat dalam usus. Bagaiman proses proteksi dari SIgA ini yang
sesungguhnya belum jelas, walaupun ada yang menyatakan bahwa SIgA yang terdapat
dalam lapisan mukosa usus halus dapat mencegah melekatnya mikroorganisme dan
antigen pada epitel usus sehingga bakteri tidak dapat berkembangbiak. Sejumlah SIgA
terdapat pula pad kolostrum.Hal ini sangat penting sebagai proteksi terhadap usus bayi
yang baru lahir (Suraatmaja, 2007).
b. Cell Mediated Immunity (CMI)
Dikemukakan bahwa peranan limfosit dalam CMI terletak pada plaque peyeri di ileum.
walaupun demikian peranan CMI dalam proteksi usus masih dalam taraf penelitian
(Suraatmaja, 2007).
c. Imunoglobulin lain
IgG terdapat dalam jumlah kecil dalam usus dan mudah rusak dalam lumen usus. Hanya
bila mukosa usus mengalami peradangan IgG bersama-sama dengan sel plasma terdapat
dalam jumlah cukup banyak di usus dan merupakan proteksi temporer terhadap
kerusakan usus lebih lanjut. IgM dapat menggantikan fungsi IgA bila karena suatu sebab
terjadi defisiensi IgA. IgE tidak jelas peranannya dalam protersi usus(Subagyo, 2010).
Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan dibidang teknik laboratorium telah dapat diidentifikasi
tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.
dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non-inflamatory dan inflammatory
Enteropatogen menimbulkan non-inflamatory diare melalui produksi enterotoksin oleh
bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan/ atau
translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatoyi diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang
menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin (Subagyo, 2010).
GOLONGAN BAKTERI GOLONGAN VIRUS GOLONGAN PARASIT
Aeromonas Astrovirus Balantidiom coli
Bacillus cereus Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) Blastocystis homonis
Canpilobacter jejuni Enteric adenovirus Crytosporidium parvum
Clostridium perfringens Corona virus Entamoeba histolytica
Clostridium defficile Rotavirus Giardia lamblia
Eschercia coli Norwalk virus Isospora belli
Plesiomonas shigeloides Herpes simplek virus Strongyloides stercoralis
Salmonella Cytomegalovirus Trichuris trichiura
Shigella
Staphylococcus aureus
Vibrio cholera
Vibrio parahaemolyticus
Yersinia enterocolitica
Tabel 1. Penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia
Tabel 2. Frekuensi Enteropatogen penyebab diare pada anka usia <5 tahun
Tabel 3. Tabel Enteropatogen pathogen penyebab diare yang tersering berdasarkan umur
Diasamping itu penyebab diare nonifeksi yang dapat menimbulkan daire pada anak antara lain:
Kesulitan makanan Neoplasma
Neuroblastoma
Phaeochromocytoma
Sindroma Zollinger Ellison
Defek anatomis
Malrotasi
Penyakit Hirchsprung
Short Bowel Syndrome
Atrofi mikrovilli
Stricture
Lain-lain:
Infeksi non gastrointestinal
Alergi susu sapi
Penyakit Crohn
Defisiensi imun
Colitis ulserosa
Ganguan motilitas usus
Pellagra
Malabsorbsi
Defesiensi disakaridase
Malabsorbsi glukosa dan galaktosa
Cystic fibrosis
Cholestosis
Penyakit celiac
Keracunan makanan
logam berat
Mushrooms
Endokrinopati
Thyrotoksikosis
Penyakit Addison
Sindroma Androgenital
Tabel 4. Penyebab diare nonifeksi pada anak
Patofisiologi
Ada 2 prinsip meaknisme terjadinya diare cair, yaitu sekeretorik dan osmotik. Meskipun
dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi
saluran cerna. begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu anak
(Firmansyah, 2005).
1. Diare osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan ekstrasel.
Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian
proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan
tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat
permeable, air akan mengalir kea rah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul air dalam lumen
usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan
intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini akan dibawa kembali,
akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap
seperti Mg, glukosa, sucrose, lactose, maltose di segmen ileum dan melebihi kemampuan
absorbs kolon, sehinga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dan jus buah, atau bahan
yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlabihan akan memberikan dampak yang sama
(Subagyo, 2010).
2. Diare Sekretorik
Diare sekterik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi
akibat gangguan absorbs natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap
berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh
sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri akbat
rangsangan pada mukosa usus halus oleh toksin E.coli atau V. cholera.01 (Firmansyah, 2005).
Osmolaritas tinja diare sekretorik isoosmolar terhadap plasma. beda osmotik dapat
dihitung dengan mengukur kadar elektrolit tinja. Karena Natrium ( Na+) dan kalium (K+)
merupakan kation utama dalam tinja, osmolalitas diperkirakan dengan mengalikan jumlah kadar
Na + dan K+ dalam tinja dengan angka 2. Jika diasumsikan osmolalitas tinja konstan 290
mOsm/L pada tinja diare, maka perbedaan osmotic 290-2 (Na++K+). Pada diare osmotik, tinja
mempunyai kadar Na+ rendah (<50 mEq/L)dan beda osmotiknya bertambah besar (>160
mOsm/L). Pada diare sekretorik tinja diare mempunyai kadar Na tinggi (>90 mEq/L), dan
perbedaan osmotiknua kuran dari 20 mOsm/L (Pickering, 2012).
Osmotik Sekretorik
Volume tinja <200 ml/hari >200 ml/hari
Puasa Diare berhenti Diare berlanjut
Na+ tinja <70 mEq/L >70 mEq/L
Reduksi (+) (-)
pH tinja <5 >6
Dikenal bahan-bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan
bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihidroxy, serta
asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara
meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP, atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifasi
protein kinasi. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilase membrane protein
sehingga megakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Disisi
lain terjadi peningkatan pompa natrium , dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-
(Subagyo, 2010).
Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas. Meskipun motilitas jarang
menjadi penyebab utama malabsorbsi, teatpi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap
absorbs. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas keduanya dapat menyebabkan diare.
Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare.
Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi, Kegagalan motilitas
usus yang berat menyebabkan statis intestinal bearkibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu
dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat
disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas
mungkin merupakan penyebab diare pada Thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu, dan
berbagai peyakit lain (Subagyo, 2010).
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebakan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mucus, protein dan seringkali sel darah merah
dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan
dengan tipe diare laina seprti diare osmotik dan sekretorik (Subagyo, 2010).
Bakteri enteral pathogen akan mempenagaruhi struktur dan fungsi tight junction,
menginduksi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktifkan kaskade inflamasi. Efek infeksi
bacterial pada tight junction akan memepengaruhi susunan anatomis dan funsi absorbs yaitu
cytoskeleton dan perubahan susunan protein. penelitian oleh Bakes J dkk 2003 menunjukan
bahwa peranan bakteri enteral pathogen pada diare terletak perubahan barier tight junction oleh
toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada cellualar cytoskeleton dan spesifik tight
junction. Pengaruh ini bias pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja
sehingga akan menyebabkan hipersekresi clorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai
contoh Clostridium difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,
Bacteroides frigilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V. cholera
mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi
protein cytoskeleton (Berkes, 2011).
Manifestasi klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya bila terjadi
komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologic. Gejala gastrointestinal bias berupa
diare, kram perut, dan munth. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada
penyebabnya (Subagyo, 2011).
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium,
klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga akan meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi,
asidosis metabolic, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya
karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskular dan kematian bila tidak diobati
dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisistas plasma dapat berupa dehidrasi isotonic,
dehidrasi hipertonik ( hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bias
tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat (Subagyo, 2011).
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enteric pathogen antara lain :
vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomyelitis, meningitis, pneumonia,
hepatitis, peritonitis dan septic tromboplebitis. Gejala neurolgik dari infeksi usus bias berupa
parestesia ( akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamate), hipotoni dan kelemahan otot
(Suraatmaja, 2007).
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas
badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih hebat dan
tenesmus terjadi pada perut bagian bawah serta rectum menunjukan terkenanya usus besar. Mual
dan muntah adalah symptom yang nonspesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh
karena mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seprti:enteric virus, bakteri
yang memproduksi enteroroksin, giardia, dan cryptosporidium (Suraatmaja, 2007).
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas
atu hanya subfebris, nyeri perutperiumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukan bahwa
saluran makan bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan
perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit (Suraatmaja, 2007).
Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Gejala klinis :
Masa Tunas
Panas
Mual, muntah
Nyeri perut
Nyeri kepala
17-72 jam
+
Sering
Tenesmus
-
24-48 jam
++
Jarang
Tenesmus, kramp
+
6-72 jam
++
Sering
Tenesmus,kolik
+
6-72 jam
-
+
-
-
6-72 jam
++
-
Tenesmus, kramp
-
48-72 jam
-
Sering
Kramp
-
lamanya sakit 5-7 hari >7hari 3-7 hari 2-3 hari variasi 3 hari
Sifat tinja:
Volume
Frekuensi
Konsistensi
Darah
Bau
Warna
Leukosit
Lain-lain
Sedang
5-10x/hari
Cair
-
Langu
Kuning hijau
-
anorexia
Sedikit
>10x/hari
Lembek
+
-
Merah-hijau
+
Kejang+
Sedikit
Sering
Lembek
Kadang
Busuk
Kehijauan
+
Sepsis +
Banyak
Sering
Cair
-
-
Tak berwarna
-
Meteorismus
Sedikit
Sering
Lembek
+
-
Merah-hijau
-
Infeksi sistemik+
Banyak
Terus menerus
Cair
-
Amis khas
Seperti air cucuian beras
-
-
Tabel 5. Gejala klinis diare akut oleh berbagai penyebab
Tata laksana
Terdapat empat pilar penting dalam tatalaksana diare yaitu rehidrasi, dukungan nutrisi,
pemberian obat sesuaiindikasi dan edukasi pada orang tua. Tujuan pengobatan (Firmansyah,
2005) :
1. Mencegah dehidrasi
2. Mengatasi dehidrasi yang telah ada
3. Mencegah kekurangan nutrisi dengan memberikan makanan selama dan setelah diare
4. Mengurangi lama dan beratnya diare, serta berulangnya episode diare, dengan
memberikan suplemen zinc
Tujuan pengobatan diatas dapat dicapai dengan cara mengikuti rencana terapi yang
sesuai, seperti yang tertera dibawah ini (WHO, 2009) :
1. Rencana terapi A : penanganan diare di rumah
Jelaskan kepada ibu tentang 4 aturan perawatan di rumah:
Beri cairan tambahan (sebanyak anak mau)
Jelaskan pada ibu:
- pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang
utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
- jika anak memeperoleh ASI eksklusif, beri oralit, atau air matang sebagai
tambahan
- jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini:
oralit, cairan makanan(kuah sayur, air tajin) atau air matang
Anak harus diberi larutan oralit dirumah jika:
- anak telah diobati dengan rencana terapi B atau dalam kunjungan
- anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah berat
Ajari pada ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6 bungkus oralit
(200ml) untuk digunakan dirumah. Tunjukan pada ibu berapa banyak cairan termasuk
oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairanya sehari-hari
(Subagyo, 2010) :
- <2 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali BAB
- > 2 tahun : 100 samapai 200 ml setiap kali BAB
Katakan pada ibu
- agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering dari mangkuk/ cangkir/gelas
- jika anak muntah, tunggu 10 menit. kemudia lanjutkan lagi dengan lebih lambat.
- lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.
Beri tablet Zinc
Pada anak berumur 2 bulan keatas, beri tablet zinc selama 10 hari dengan dosis :
- umur <6 bulan : ½ tablet (10 mg) perhari
- umur >6 bulan : 1 tablet (20 mg) perhari
Lanjutkan pemeberian makanan
Kapan harus kembali
2. Rencana terapi B
Penanganan dehidrasi sedang/ ringan dengan oralit. Beri oralit di klinik sesuai yang
dianjurkan selama periode 3 jam.
Usia <4 bulan 4-11 bulan 12-23 bulan 5-4 tahun 5-14tahun >15 tahun
Berat badan <5 kg 5-7,9 kg 8-10,9 kg 11-15,9 kg 16-29,9 kg >30 kg
Jumlah (ml) 200-400 400-600 600-800 800-1200 1200-2200 2200-4000
Jumlah oralit yang diperlukan 75 ml/kgBB. Kemudian setelah 3 jam ulangi penilaian dan
klasifikasikan kemabali derajat dehidrasinya, dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk
melanjutkan pengobatan. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai tunjukan cara
menyiapkan oralit di rumah, tunjukan berapa banyak larutan oralit yang harus diberikan
dirumah untuk menyelesaikan 3 jam pertama. Beri bungkus oralit yang cukup untuk rehidrasi
dengan menambah 6 bungkus lagi sesuai yang dainjurkan dalam rencana terapi A. Jika anak
menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan sesuai kehilangan cairan yang
sedang berlangsung. Untuk anak berumur kurang dari 6 bulan yang tidak menyusu, beri juga
100-200 ml air matang selama periode ini. Mulailah member makan segera setelah anak ingin
amkan. Lanjutkan pemberian ASI. Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit. berikan
tablet zinc selama 10 hari (Subagyo, 2011).
3. Rencana terapi C (penanganan dehidrasi berat dengan cepat)
Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut,
sementara infuse disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau ringer asetat (atau jika
tak tersedia, gunakan larutan NaCl)yang dibagi sebagai berikut.
Umur Pemberian pertama 30ml/kgBB selama Pemebrian berikut 70ml/kgBB selama
Bayi (bibawah umur12 bulan) 1 jam* 5 jam
Anak (12 bulan sampai 5 tahun) 30 menit* 2 ½ jam
*ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan
intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira 5ml/kgBB/jam) segera setelah anak mau minum,
biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet zinc sesuai dosis dan
jadwal yang dianjurkan. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam
(klasifikasikan dehidrasi), kemudian pilih rencana terapi) untuk melanjutkan penggunaan
(UNICEF, 2011).
Prinsip pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan
pada penderita:
1. Kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit
2. Mengganti cairan kehilangan yang terjadi
3. Mencukupi kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berlangsung.
Pada diare CRO merupakan terapi cairan utama. CRO telah 25 tahun berperan dalam
menurunkan angka kematian bayi dan anak dibawah 5 tahun karena diare. WHO dan UNICEF
berusaha mengembangkan oralit yang sesuai dan lebih bermanfaat. Telah dikembangkan oralt
baru dengan osmolalitas lebih rendah. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang lama, namun
efektifitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolalitas ini
juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja
hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah
direkomendasikan WHO dan UNICEF untuk diare akut non kolera pada anak (Subagyo, 2010).
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak
diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini berbahaya.
Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah (Subagyo, 2010) :
Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholesteramine). Obat-obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuanya untuk mengikat dan
menginaktifasi toksin abkteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan
mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak
Antimotilitas (Suraatmaja, 2007).
Contoh loperamidhydrocloride, diphenoxylate dengan atropine, tincture opiii, paregoric,
codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi
tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus
paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedative pada dosis
normal. Tidak satupun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan
diare (Subagyo, 2010).
Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dngan
diare akut sebanya 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan (Suraatmaja, 2007).
obat-obat lain:
Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan
mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat
anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah biasanya berhenti bila
penderita telah terehidrasi (Subagyo, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Subagyo B dan Santoso NB.2010. Diare akut dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid 1, Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI.
Suraatmaja Sudaryat. 2007. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:
Sagung Seto.
Suraatmaja Sudaryat. 2007. Masalah Rehidrasi Oral dalam Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Jakarta: Sagung Seto.
Pickering LK. 2012. Gastroenteritis in Nelson textbook of pediatrics. United Stated of Amrica,
Lippincot wiliams
Firmansyah A dkk. 2005. Modul pelatihan Tata laksana diare pada anak. Jakarta: Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia.
Berkes et al. 2011. Intestinal Epithelial responses to enteric pathogens: effect on the tight
junction barrier, ion transport and inflammation. Dalam http:www.glut.bmj.com.
WHO. 2009. Diare dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten Kota. Jakarta: WHO
Indonesia.2009.
UNICEF. 2011. Oral Rehydration Salt (ORS) A New Reduced Osmolality Formulation.
Http:www// rehydrate/ors/oral rehydration salt.htm.
Suandi IKG. 2007. Manajemen nutrisi pada gastroenteritis dalam Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto.
ULKUS PEPTIKUM
DEFINISI
Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas
sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di duodenum dan
lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, jejenum, dan Meckel’s
divertikulum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin)
menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat,
mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori (Del John,
2005).
FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI
Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang merupakan
organisme yang menghasilkan urease dan berkoloni pada mukosa antral dari lambung
dimana penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus lambung. H. Pylori paling banyak
terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah seiring dengan usia.
Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs, kurang dari 1% akibat
gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan faktor genetik (Townsend,
2008).
Faktor risiko terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan peningkatan
jumlah sel parietal), merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan stress (Townsend,
2008).
PATOGENESIS
Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer”
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin
adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan
defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih
banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus lambung
(Tarigan, 2009).
Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh sel
G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin dilepaskan oleh
sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada sel
parietal yang merupakan penghasil asam (Tarigan, 2009).
Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan
asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat, sebagai
contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung
biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan
gastritis kronik (Tarigan, 2009).
GAMBARAN KLINIS
Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia.
Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti mual,
muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat merasa
kenyang (Sylvia, 2005).
Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat
antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa terbakar,
rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir (Sylvia, 2005).
Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan sebelah
kiri, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan. Walaupun demikian,
rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung karena dispepsia non
ulkus juga dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah juga kadang timbul pada
ulkus peptikum yang disebabkan edema dan spasme seperti pada ulkus kanal pilorik
(obstruction gastric outlet) (Sylvia, 2005).
Insiden ulkus peptik meningkat pada kegagalan ginjal kronik. Ulkus juga dapat
berkaitan dengan hiperparatiroidisme, sirosis, penyakit paru dan jantung. Kortikosteroid
meningkatkan resiko ulkus peptik dan perdarahan saluran pencernaan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan terjadinya ulkus peptik antara lain merokok, golongan darah O,
penyakit hati kronik, penyakit paru kronik dan pankreatitis kronik (Akil, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Del John.2005. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Kasper DL, Braunwald E, et al
(eds). Harrison’s principles of internal medicine 16th editions. United States: McGraw-
Hill Companies.
Price Sylvia, Wilson Lorraine. 2005. Gangguan lambung dan duodenum. Dalam: Glenda
Lindseth. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC
Tarigan Pengarapen, Akil HAM.2009. Tukak gaster dan tukak duodenum. Dalam: Sudoyo Aru,
Alwi Idrus dkk editor. Buka ajar ilmu penyakit Jakarta: InternaPublishing.
Townsend CM, David R, Mark B, Mattox Kenneth. 2008. Sabiston textbook of surgery.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Akil H.A.M dan Tarigan Pangarepan. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat -
Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Agen Pelindung Mukosa
a. Sukralfat
Dosis
Untuk dewasa 4 kali sehari 500-1000 mg (maksimum 8 gram/hari) sewaktu
lambung kosong (1 jam sebelum makan dan tidur). Pengobatan dianjurkan
selama 4-8 minggu, kecuali apabila pemeriksaan endoskopi atau sinar-X telah
memperlihatkan kesembuhan (Basuki, 2008).
1) Farmakodinamik
Sukralfat adalah suatu kompleks yang dibentuk dari sukrosa oktasulfat dan
polialumunium hidroksida. Aktifitas sukralfat sebagai anti ulkus merupakan
hasil dari pembentukan komplek sukralfat dengan protein yang membentuk
lapisan pelindung menutupi ulkus serta melindungi dari serangan asam lambung,
pepsin dan garam empedu. Percobaan laboratorium dan klinis menunjukkan
bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan tiga cara, yaitu (Basuki, 2008):
a) Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga
merupakan lapisan pelindung.
b) Menghambat aksi asam, pepsin, dan garam empedu.
c) Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan film sukralfat-
albumin.
Berbagai efek positif dikaitkan dengan pemberian sukralfat, tetapi
mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Dipercayai bahwa sukrosa sulfat
yang bermuatan negative berikatan dengan protein-protein bermuatan positif di
dasar ulkus atau erosi, membentuk suatu sawar fisik yang mencegah kerusakan
kaustik lebih lanjut serta merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin
mukosa (Katzung, 2014).
2) Farmakokinetik
Penelitian menunjukkan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu
lama dalam saluran cerna sehingga menghasilkan efek obat panjang. Sukralfat
sangat sedikit terabsorpsi di saluran pencernaan sehingga menghasilkan efek
samping sistemik yang minimal (Basuki, 2008).
Suralfat adalah suatu garam sukrosa yang berikatan dengan alumunium
hidroksida bersulfat. Di air atau larutan asam, bahan ini membentuksuatu pasta
kental tahan lama yang secara selektif mengikat ulkus atau erosis hingga 6 jam
(Katzung, 2014).
Sukralfat memiliki kelarutan terbatas, terurai menjadi sukrosa sulfat
(bermuatan negatif kuat) dan suatu garam alumunium diserap dari saluran usus,
sisanya diekskresikan melalui feses (Katzung, 2014).
3) Indikasi
Pengobatan jangka pendek (sampai 8 minggu) pada ulkus duodenum (tukak
usus dua belas jari) (Basuki, 2008).
4) Interaksi obat
Pemberian sukralfat dapat mengurangi absorpsi atau bioavaibilitas obat-
obatan tertentu, yaitu simetidin, antibiotik golongan fluoroquinolon
(ciprofloxacin, norfloxacin), digoxin, ketokonazol, fenitoin, ranitidine,
tetraciclin, quinidine, L-thyroxin dan teofilin, sehingga obat-obatan tersebut
harus diberikan dalam waktu 2 jam sebelum pemberian sukralfat (Basuki, 2008).
5) Efek samping
Sangat jarang, yang relatif sering dilaporkan hanya konstipasi dan mulut
terasa kering. Keluhan lainnya adalah diare, mual, muntah, tidak nyaman di
perut, flatulent, pruritus, rash, mengantuk, pusing, nyeri pada bagian belakang,
dan sakit kepala (Basuki, 2008). Sukralfat harus diberikan secara hati-hati pada
pasien gagal ginjal kronis dan pasien dialisis. Penggunaan obat ini selama
kehamilan hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan. Sukralfat harus
diberikan secara hati-hati pada wanita yang sedang menyusui. Jika diperlukan
antasida dapat diberikan, namun demikian sebaliknya tidak diberikan dalam
jangka waktu 1½ jam sebelum atau sesudah pemberian sukralfat. Keamanan dan
efektifitas pada anak-anak belum dapat ditetapkan (Basuki, 2008).
b. Misoprostol
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik yang dipasarkan dalam
dua bentuk sediaan, yaitu tablet 100 μg dan 200 μg. Nama kimianya adalah Methyl 7-
{3-hydroxy-2-[(E)-4-hydroxy-4-methyloct-1-enyl]-5-oxocyclopentyl}heptanoate, dengan
berat molekul 382,5g/mol. Misoprostol bersifat stabil dan larut dalam air. Formula
empirisnya adalah C22H38O5 (Rahardjo, 2008).
Misosprostol suatu analog metil PGE1 telah disetujui digunakan untuk penyakit-
penyakit gastrointestinal. Setelah pemberian oral obat ini cepat diserap dan
dimetabolismekan menjadi asam bebas yang aktif secara metabolis. Waktu paruh serum
kurang dari 30 menit, karena itu obat ini harus diberikan 3-4 kali sehari. Obat ini
diekskresikan di urin, namun tidak diperlukan pengurangan dosis pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (Katzung, 2014).
Indikasi yang diakui FDA adalah untuk pencegahan dan pengobatan ulkus lambung
akibat pemakaian antiinflamasi nonsteroid. Indikasi ini didasarkan pada efeknya yang
merangsang sintesis mukus dan bikarbonat di lambung dan mengurangi asam lambung.
Pada organ reproduksi wanita, prostaglandin E1 merangsang kontraksi uterus.
Sensitivitas uterus meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada serviks uteri,
misoprostol menyebabkan peningkatan aktivitas kolagenase dan mengubah komposisi
preoteoglikan sehingga menyebabkan pelembutan dan penipisan serviks. Di bidang
obstetri-ginekologi, efek ini dimanfaatkan untuk aborsi selektif, induksi persalinan, dan
untuk evakuasi uterus dalam kasus kematian janin intrauterin. Efek kontraksi uterus
juga bermanfaat untuk mencegah dan mengatasi perdarahan postpartum. Walaupun
tidak satupun dari indikasi obstetri ini yang telah diakui FDA, namun pemakaian off-
label dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu. Efek samping yang sering terjadi setelah
pemakaian misoprostol antara lain mual, muntah, diare, kram perut, demam, dan
menggigil (Rahardjo, 2008).
Misoprostol dapat diberikan secara oral, sublingual, vaginal maupun rektal.
Misoprostol sangat mudah diserap, dan menjalani de-esterifikasi cepat menjadi asam
bebas, yang berperan dalam aktivitas kliniknya dan tidak seperti senyawa asalnya,
metabolit aktifnya ini dapat dideteksi di dalam plasma. Rantai samping alfa dari asam
misoprostol menjalani oksidasi beta dan rantai samping beta menjalani oksidasi omega
yang diikuti dengan reduksi keton untuk menghasilkan analog prostaglandin F
(Rahardjo, 2008).
Pada keadaan normal, misoprostol dengan cepat diabsorbsi setelah pemberian
secara oral.Konsentrasi asam misoprostol didalam plasma mencapai puncak setelah
kira-kira 30 menit dan akan menurun dengan cepat. Bioavailibilitas misoprostol
menurun apabila diberikan bersamaan dengan makanan atau pada pemberian antasid.1
Setelah pemberian per oral, asam misoprostol mencapai kadar puncak (Tmaks) setelah
12±3 menit dengan waktu paruh 20-40 menit. Misoprostol terutama mengalami
metabolisme di hati tetapi tidak menginduksi sistem enzim sitokrom hepatik P-450
sehingga interaksinya dengan obat-obat lain dapat diabaikan. Misoprostol diekskresikan
melalui ginjal sekitar 80% dan melalui feses 15%. Sekitar 1% dari metabolit aktif akan
diekskresikan juga di dalam urin (Rahardjo, 2008).
Misosprostol memiliki efek menghambat asam dan melindungi mukosa. Obat ini
dipercaya merangsang sekresi mucus dan bikarbonat serta meningkatkan aliran darah
mukosa. Selain itu, misosprostol berikatan dengan reseptor prostaglandin di sel parietal,
mengurangi produksi cAMP yang dirangsang oleh histamine serta menyebabkan
inhibisi sedang terhadap asam (Katzung, 2014).
Pada semua rute pemberian, absorbsi terjadi sangat cepat, tetapi yang paling cepat
bila misoprostol diberikan secara oral (mencapai konsentrasi puncak setelah 12 menit,
waktu paruh 20-30 menit. Setelah diabsorbsi secara ekstensif, misoprostol akan cepat
dide-esterifikasi menjadi obat aktif, yaitu dalam bentuk asam misoprostol.Kadar puncak
serum asam misoprostol direduksi jika misoprostol diminum bersama makanan
(Rahardjo,2008).
c. Bismuth
Bismuth subsalisilat adalah satu-satunya sediaan garam bismuth yang tersedia di
Amerika Serikat. Mekanisme penyembuhan ulkus yang paling mungkin adalah melalui
efek antibakteri, efek lokal gastroproteksi, dan stimulasi sekresi prostaglandin endogen.
Garam bismuth tidak menghambat sekresi asam lambung atau pun menetralisasikannya.
Garam bismuth subsalisilat dinyatakan aman dengan sedikit efek merugikan jika
digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Karena insufisiensi ginjal dapat
menurunkan ekskresi bismuth, maka penggunaan bismuth pada pasien gagal ginjal
harus disertai peringatan. Bismuth subsalisilat dapat meningkatkan sensitivitas terhadap
salisilat dan penyakit pendarahan, sehingga harus ada peringatan terhadap pasien yang
juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi
bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam (Hakim,2007).
Mekanisme kerja pasti bismuth tidak diketahui. Bismuth melapisi tukak dan erosi,
menciptakan suatu lapisan protektif terhadap asam dan pepsin. Obat ini juga
merangsang sekresi prostaglandin, mucus, bikarbonat. Bismuth subsalisilat mengurangi
frekuensi dan likuiditas tinja pada diare infeksi akut, karena inhibisi sekresi
prostaglandin dan klorida oleh salisilat (Katzung, 2014).
Bismuth memiliki efek antimikroba langsung dan mampu mengikat enterotoksin,
sehingga obat ini bermanfaat dalam mencegah dan mengobati diare pelancong
(traveller’s diarrhea). Senyawa bismuth memiliki aktivitas antimikroba langsung
terhadap H.pylori (Katzung, 2014).
Obat-obat golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas karena mengalami
aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan
makanan. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-
obat golongan ini mengalami metabolisme lengkap. Tidak ditemukan dalam bentuk asal
di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja. Bismut subnitrat
dapat membentuk lapisan pelindung yang menutupi tukak,lagi pula berkhasiat
bakteriostatik terhadap H. pylori. Kini banyak digunakan sebagai eradikasi tukak, selalu
bersama dengan dua atau tiga obat lain (Hakim, 2007).
Pada penggunaan jangka panjang bismuth salisilat dapat menimbulkan kenaikan
gastrin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada
manusia belum dapat dibuktikan (Hakim,2007).
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Triono. 2008. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan
Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor
Hakim, Lazuardi. 2007. Farmakokinetika. Yogyakarta: UGM Press.
Katzung, B.G. 2014. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: EGC
Rahardjo, Eddy. 2008. Penggunaan Misoprostol di Bidang Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia