apakah perbaikan mekanisme pembiayaan akan mendorong

18
Desember 2020 APAKAH PERBAIKAN MEKANISME PEMBIAYAAN AKAN MENDORONG DILAKUKANNYA RUJUKAN TEPAT WAKTU DAN TERJANGKAU BAGI IBU DAN BAYI BARU LAHIR DI INDONESIA? Bukti dari Penyedia Layanan dan Pemerintah Daerah

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Desember 2020

APAKAH PERBAIKAN MEKANISME PEMBIAYAAN AKAN MENDORONG DILAKUKANNYA RUJUKAN TEPAT WAKTU DAN TERJANGKAU BAGI IBU DAN BAYI BARU LAHIR DI INDONESIA?Bukti dari Penyedia Layanan dan Pemerintah Daerah

Page 2: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Daftar Isi

Ringkasan ............................................................................................................................... 3

Latar Belakang ....................................................................................................................... 3

Temuan................................................................................................................................... 6

1. Apakah Sistem Rujukan KMN Saat Ini Berorientasi pada Efisiensi di mana Rujukan

Dilakukan Tepat Waktu dan dengan Tepat? .......................................................................... 6

2. Bagaimana Penyedia Layanan Kesehatan Membiayai Biaya Rujukan, Termasuk Biaya

Transportasi? ............................................................................................................................ 8

3. Apakah Skema Insentif yang Saat Ini Berlaku untuk Rujukan KMN oleh Praktik Mandiri

Bidan Memadai untuk Memperoleh Hasil yang Diharapkan? ........................................... 12

Rekomendasi ....................................................................................................................... 14

Rujukan ................................................................................................................................ 16

DESEMBER 2020

Publikasi ini disusun oleh Mukhammad Fajar Rakhmadi, Dorit Stein, Jorge Ugaz, dan Arin Dutta dari

Palladium untuk proyek Health Policy Plus.

Kutipan yang disarankan: Rakhmadi, M.F., D. Stein, J. Ugaz, A. Dutta. 2020. Apakah Perbaikan Mekanisme

Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru

Lahir di Indonesia? Bukti dari Penyedia Layanan dan Pemerintah Daerah. Washington, DC: Palladium,

Health Policy Plus.

Foto sampul milik RTI International/Muhammad Fadli.

ISBN: 978-1-59560-270-1

Health Policy Plus (HP+) adalah perjanjian kerjasama selama tujuh tahun yang didanai oleh U.S. Agency for

International Development dengan Perjanjian No. AID-OAA-A-15-00051, dimulai pada tanggal 28 Agustus

2015. HP+ diimplementasikan oleh Palladium, bekerja sama dengan Avenir Health, Futures Group Global

Outreach, Plan International USA, Population Reference Bureau, RTI International, ThinkWell, dan Aliansi

Pita Putih Indonesia-APPI (White Ribbon Alliance for Safe Motherhood).

Laporan ini disusun oleh HP+ untuk ulasan U.S. Agency for International Development. Informasi yang

disampaikan dalam laporan ini bukan informasi resmi Pemerintah Amerika Serikat dan tidak semerta-

merta mencerminkan pandangan atau posisi dari U.S. Agency for International Development atau

Pemerintah AS.

Page 3: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

3

Ringkasan

Proyek Health Policy Plus (HP+), bermitra dengan Pusat Pembiayaan dan Jaminan

Kesehatan (PPJK), Kementerian Kesehatan Indonesia, melaksanakan sebuah penelitian

untuk mendukung upaya reformasi belanja kesehatan strategis bagi layanan kesehatan

maternal dan neonatal (KMN). Untuk studi ini, HP+ mengumpulkan data di lebih dari 100

fasilitas kesehatan primer dan sekunder, publik dan swasta, termasuk praktik mandiri bidan

(PMB), serta melakukan wawancara dengan wakil pemerintah daerah di 24 kabupaten/kota,

delapan provinsi di Indonesia. Dokumen ini adalah laporan kedua dari tiga seri laporan yang

disusun, dan menyajikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Apakah sistem rujukan KMN saat ini berorientasi pada efisiensi di mana rujukan

dilakukan tepat waktu dan secara tepat?

2. Bagaimana penyedia layanan kesehatan membiayai biaya rujukan, termasuk biaya

transportasi?

3. Apakah skema insentif yang saat ini berlaku untuk rujukan KMN oleh praktik

mandiri bidan memadai untuk memperoleh hasil yang diharapkan?

Temuan Utama

• Keterbatasan kapasitas fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) untuk memberi layanan

persalinan yang berkualitas, ditambah dengan ketidakcukupan pembiayaan layanan KMN dari

skema jaminan kesehatan nasional dapat meningkatkan rujukan kasus dari FKTP ke rumah

sakit.

• Beban keuangan selama rujukan ditanggung oleh pasien KMN yang dirujuk; mereka harus

membayar biaya transportasi, terutama bila mereka dirujuk balik dari rumah sakit ke fasilitas

kesehatan tingkat primer.

• Rendahnya kualitas layanan rujukan yang diberikan praktik mandiri bidan mungkin dipengaruhi

oleh penggantian biaya layanan pra-rujukan dan biaya transportasi yang tidak memadai, serta

kurangnya kemampuan bidan untuk menyiapkan dokumentasi rujukan yang diperlukan.

Rekomendasi

• Memberi insentif yang lebih baik (berdasarkan kualitas layanan) bagi semua jenis penyedia

layanan kesehatan di jenjang lebih rendah, termasuk puskesmas, klinik pratama, dan praktik

mandiri bidan, mendorong penydiaan layanan KMN yang berkualitas dan mengurangi insentif

untuk merujuk pasien KMN yang tidak berisiko tinggi atau bukan kasus gawat darurat ke rumah

sakit. Perbaikan pengaturan pembiayaan perlu didampingi dengan peningkatan otonomi

penyedia layanan untuk menggunakan dana sesuai kebutuhan perbaikan kualitas dan

penyediaan layanan.

• Mencari cara untuk mengurangi beban ekonomi dan keuangan yang harus ditanggung ibu hamil

selama proses rujukan antar FKTP.

• Memperkuat hubungan antara praktik mandiri bidan dan skema jaminan kesehatan nasional

dengan mengizinkan PMB berjejaring langsung dengan BPJS-K. Selain itu, pembayaran ke PMB

juga perlu dikaitkan dengan standar kualitas yang lebih tinggi, atau bahkan dengan sertifikasi

Ikatan Bidan Indonesia (IBI), untuk mendorong penyediaan layanan KMN yang lebih berkualitas.

• Mendukung koordinasi yang lebih erat dan permanen antara Badan Penyelenggara Jaminan

Kesehatan (BPJS), Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah untuk menetapkan

pedoman rujukan yang sesuai.

Page 4: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

4

Latar Belakang

Upaya Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang tinggi

masih menghadapi berbagai tantangan.1 Beberapa bukti baru memberi indikasi bahwa upaya

yang dilakukan selama ini kurang efektif karena terbentur berbagai hambatan seperti norma

budaya, tantangan geografis, keterbatasan ekonomi dan kurangnya akses masyarakat ke

asuransi kesehatan (Nugraheni et al., 2020; Rizkianti et al., 2020). Selain itu, sistem

kesehatan, khususnya sistem rujukan, belum mampu mempengaruhi perilaku penyedia

layanan kesehatan dan tindakan pencarian layanan kesehatan masyarakat sedemikian rupa

sehingga luaran (outcome) kesehatan dapat meningkat (Thabrany et al., 2017; Sartika dan

Masahin, 2020; Handriani dan Meleniani, 2015). Di Indonesia, sekitar 75% dari kematian

ibu terjadi tepat setelah, dan dalam waktu 48 jam setelah persalinan, sementara 58% dari

kematian neonatus terjadi 48 jam setelah kelahiran; dan 70% dari kematian tersebut

sesungguhnya dapat dicegah (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2018). Terkait dengan

hal ini, salah satu faktor yang turut berperan dalam stagnasi perbaikan luaran KMN di

Indonesia adalah tantangan seputar sistem rujukan layanan kesehatan maternal dan

neonatal (KMN), terutama antara fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) dan rumah sakit

(Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2018; lihat Kotak 1). Saat ini belum ada data yang

jelas apakah sistem pembiayaan turut mendorong penyedia layanan untuk menerapkan

praktik rujukan tertentu.

1 Angka kematian ibu adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup; angka kematian bayi adalah 24 per

1.000 lahir hidup (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015, 2017).

Kotak 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rujukan Maternal dan Neonatal di Indonesia

Di Indonesia, hambatan terhadap rujukan tepat waktu dan layanan pra- dan pasca-rujukan yang

berkualitas adalah sebagai berikut:

• Hambatan transportasi di mana transportasi darurat tidak tersedia sedangkan untuk

transportasi swasta ada biaya yang harus ditanggung.

• Ketidakpastian di mana layanan gawat darurat dapat diperoleh sehingga pasien harus

datang ke beberapa rumah sakit sebelum dapat memperoleh pertolongan.

• Kesulitan mengkoordinasi sistem publik dan swasta, termasuk dengan rumah sakit

swasta dan praktik mandiri bidan.

• Ketiadaan protokol standar penanganan komplikasi dan rujukan darurat antara

puskesmas dan rumah sakit.

• Keengganan untuk menerima pasien dari keluarga miskin yang ditanggung jaminan

kesehatan nasional.

• Ketiadaan dokumentasi pendaftaran asuransi kesehatan yang sesuai.

• Jarak ke fasilitas kesehatan.

• Kekurangan tenaga kesehatan yang berkualifikasi.

• Fasilitas kesehatan yang penuh sesak.

• Akreditasi fasilitas kesehatan yang sub-optimal.

Sumber: Pedrana et al., 2019

Page 5: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

5

Untuk mencegah dan mengurangi angka morbiditas dan kematian ibu dan bayi baru lahir,

maka layanan berkualitas tinggi harus diberikan secepat mungkin segera setelah komplikasi

kehamilan atau persalinan terjadi. Sejak awal timbulnya komplikasi kebidanan, layanan

berkualitas yang tepat waktu harus diberikan tanpa penundaan yang dapat berakibat buruk

bagi kesehatan. Sebagai contoh adalah model “tiga terlambat” yang menyatakan bahwa

penyebab kematian yang berkaitan dengan kehamilan adalah keterlambatan ibu hamil untuk

memutuskan mencari pertolongan tenaga kesehatan, untuk datang ke fasilitas yang mampu

memberi layanan kebidanan, dan untuk menerima layanan kesehatan yang tepat di fasilitas

yang bersangkutan (Thaddeus dan Maine, 1994). Sistem rujukan KMN yang efektif dan

efisien diharapkan dapat mendorong rujukan tepat waktu bagi ibu dan bayi baru lahir yang

mengalami kesulitan dalam persalinan atau masalah kesehatan ke fasilitas yang mampu

menangani kasus-kasus gawat darurat. Ini termasuk merujuk wanita dengan kehamilan

berisiko tinggi (yaitu wanita yang lebih berisiko mengalami komplikasi saat bersalin) secara

tepat ke rumah sakit atau faskes yang mampu menangani kegawatdaruratan kebidanan

sebelum persalinan.

Sesuai dengan sistem rujukan berjenjang yang diterapkan di Indonesia,2 fasilitas kesehatan

tingkat pertama (FKTP) berperan sebagai penjaga gawang (gatekeeper) untuk semua

layanan kesehatan termasuk layanan KMN (BPJS-K, 2014a, 2014c). Hal ini berarti wanita

memiliki pilihan-pilihan penyedia layanan di tingkat layanan kesehatan terendah (seperti

puskesmas yang merupakan faskes primer milik pemerintah) tapi tidak dapat datang

langsung ke faskes di jenjang layanan lebih tinggi (seperti rumah sakit) tanpa memperoleh

surat rujukan terlebih dahulu (BPJS-K, 2014a,

2014b, 2014c). Perpindahan dari rumah sakit

tipe lebih rendah ke tipe lebih tinggi (misalnya

dari Tipe D ke Tipe C) saat pengobatan tidak

tersedia di jenjang yang lebih rendah, juga

memerlukan surat rujukan. Pada

pelaksanaannya, terlepas dari aturan rujukan

dan mekanisme penjaga gawang tersebut,

sistem rujukan yang telah dibentuk kurang

efisien dan pasien banyak mengalami rujukan

berulang (Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia, 2018).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa

pembiayaan dan dukungan pembayaran untuk

layanan KMN di tingkat layanan primer

(termasuk layanan bidan) dan sekunder, di

sektor publik maupun swasta, dapat mendorong

dilakukannya rujukan tepat waktu dan

pemberian layanan yang memadai, yang berarti

kualitas perawatan yang lebih baik (Wright dan

Eichler, 2018; Kamau et al., 2017). Faktor-faktor

ini mencakup ketersediaan sarana transportasi

dan biaya, koordinasi antar penyedia layanan,

pemanfaatan sistem komunikasi dan informasi

terpadu, ketersediaan layanan berkualitas

tinggi, dan masih banyak lagi (lihat Kotak 1 di

halaman sebelumnya).

2 Berdasarkan PMK No. 3/2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Tujuan

Dokumen ini merangkum beberapa

temuan spesifik untuk memahami

bagaimana struktur pembiayaan dan

insentif yang dimiliki penyedia layanan

kesehatan berperan dalam pelaksanaan

rujukan KMN yang tepat dan tepat waktu.

Selain itu juga disajikan beberapa aspek

yang dapat mempengaruhi praktik

rujukan penyedia layanan primer,

termasuk praktik mandiri bidan.

Dokumen ringkas ini menyajikan bukti

untuk pertanyaan penelitian berikut:

1. Apakah sistem rujukan KMN saat ini

berorientasi pada efisiensi di mana

rujukan dilakukan tepat waktu dan

dengan tepat?

2. Bagaimana penyedia layanan

kesehatan membiayai biaya rujukan,

termasuk biaya transportasi?

3. Apakah skema insentif yang saat ini

berlaku untuk rujukan KMN oleh

praktik mandiri bidan memadai untuk

memperoleh hasil yang diharapkan?

Page 6: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

6

Menyadari bahwa pembiayaan layanan, termasuk rujukan, mampu meningkatkan kualitas

dan kesinambungan layanan KMN, di tahun 2018 Pemerintah Indonesia membentuk

Kelompok Kerja Teknis Belanja Kesehatan Strategis (TWG SHP) yang beranggotakan

berbagai pemangku kepentingan dan para ahli untuk memberi informasi yang membantu

Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Kesehatan (BPJS-K)

membuat keputusan mengenai layanan KMN yaitu layanan apa yang perlu disediakan, dari

penyedia layanan mana, dan dengan mekanisme pembiayaan seperti bagaimana. Tujuan

dari Kelompok Kerja Teknis adalah untuk mengembangkan rekomendasi kebijakan yang

dapat merevisi pengaturan pembiayaan dan belanja kesehatan saat ini sedemikian rupa

sehingga tercipta insentif untuk penyediaan layanan KMN, termasuk rujukan, yang efisien

dan berkualitas tinggi.

Untuk mendukung kelompok kerja tersebut, proyek Health Policy Plus (HP+) dengan

dukungan dana Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), bermitra dengan Pusat

Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK)-Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

serta Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM)

melaksanakan survei dan pengumpulan data primer dari fasilitas kesehatan primer dan

sekunder, publik dan swasta, termasuk praktik mandiri bidan, dan melakukan wawancara

dengan wakil pemerintah daerah di 24 kabupaten/kota, delapan provinsi di Indonesia

antara bulan November 2019 dan Februari 2020. Metodologi, definisi dan masukan teknis

terkait dengan studi dijelaskan di Lampiran Rincian Metodologi dalam laporan HP+ yang

berkaitan yang disusun oleh Stein et al. (2020).

Temuan

1. Apakah Sistem Rujukan KMN Saat Ini Berorientasi pada

Efisiensi di mana Rujukan Dilakukan Tepat Waktu dan dengan

Tepat?

Untuk menilai efisiensi layanan rujukan KMN, HP+ meneliti apakah faskes kesehatan

tingkat primer (FKTP) memenuhi peran mereka sebagai penjaga gawang dan tidak merujuk

ke atas kasus-kasus yang tidak memiliki indikasi medis yang cukup. Di Indonesia, wanita

hamil perlu memiliki surat rujukan dari FKTP sebelum dapat memperoleh layanan

spesialistik di rumah sakit, dan bahkan dianjurkan untuk bersalin di FKTP. Rujukan hanya

dilakukan untuk kasus gawat darurat (BPJS-K, 2014c).3 Bila wanita hamil melangkahi

fasilitas jenjang lebih rendah dan datang langsung ke rumah sakit, atau bila penyedia

layanan primer merujuk wanita hamil ke rumah sakit untuk layanan yang sesungguhnya

dapat diberikan di tingkat primer, maka ada kemungkinan rancangan sistem yang

diterapkan saat ini kurang efisien. Untuk itu, HP+ menilai tingkat penolakan (rejection) dan

penampikan (refusal), yang dalam sistem rujukan yang efisien di mana rujukan dilakukan

secara tepat dan tepat waktu ke jenjang yang lebih tinggi yang mampu menangani kasus-

kasus gawat darurat, seharusnya relatif rendah. Berikut ini adalah beberapa bukti tentang

efisiensi sistem rujukan layanan KMN di Indonesia.

Layanan KMN yang kurang berkualitas berdampak pada peran penyedia

layanan primer sebagai penjaga gawang. Beberapa penelitian menunjukkan bukti

bahwa fasilitas kesehatan tingkat primer tidak mampu menjalankan peran mereka sebagai

penjaga gawang secara efisien sehingga banyak wanita di Indonesia melangkahi jenjang

3 BPJS-K menetapkan kondisi gawat darurat sebagai perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban

pecah dini, gawat janin, dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayi (BPJS-K, 2014b).

Page 7: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

7

layanan yang lebih rendah dan langsung datang ke rumah sakit untuk memperoleh layanan

KMN yang lebih berkualitas, sekalipun untuk kondisi yang tidak memerlukan layanan

rumah sakit (Wilopo et al., 2020; Thabrany et al., 2017; wawancara informan kunci dengan

pakar KMN). Perilaku ini mungkin merupakan sebuah reaksi atas persepsi bahwa kualitas

layanan di tingkat primer buruk (Bapna et al., 1991; Leonard et al., 2002; Kruk et al., 2014,

2009; Kahabuka et al., 2011; Parkhurst dan Ssengooba, 2009). Ketidakmampuan penyedia

layanan primer untuk memberi layanan persalinan yang berkualitas mungkin juga menjadi

salah satu faktor kunci mengapa wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi juga mencari

layanan KMN di rumah sakit. Di antara penyedia layanan primer yang menjadi sampel studi,

kualitas teknis untuk layanan persalinan (atau kemampuan penyedia layanan memberi

layanan kebidanan dan bayi baru lahir rutin maupun darurat yang berkualitas) rendah

(Stein et al., 2020).4

Tingkat kecukupan pembayaran skema jaminan kesehatan nasional (JKN) yang

rendah untuk layanan KMN dapat meningkatkan rujukan ke jenjang yang lebih

tinggi. Sesuai temuan HP+, di beragam layanan KMN, penyedia layanan memiliki pendapat

yang sangat bervariasi tentang apakah pembayaran dan penggantian biaya dari JKN

memadai untuk menutupi biaya langsung penyediaan tiap layanan KMN. Secara khusus,

tingkat kecukupan pembiayaan JKN lebih banyak dilaporkan oleh rumah sakit daripada oleh

penyedia layanan primer (Stein et al., 2020). Rendahnya kecukupan pembayaran JKN di

faskes tingkat primer berpotensi mendorong mereka untuk merujuk wanita hamil ke rumah

sakit lebih daripada yang diperlukan, yang membuat layanan semakin tidak efisien dan

semakin membebani sumber daya manusia dan keuangan di rumah sakit.

Kepadatan berlebih dan keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan

penolakan dan penampikan rujukan. Peran penjaga gawang yang kurang efisien dan

insentif penyedia layanan primer untuk merujuk wanita hamil ke rumah sakit dapat

menimbulkan kepadatan berlebih di jenjang layanan kesehatan yang lebih tinggi di

Indonesia. Ini juga menjadi salah satu penyebab penolakan dan penampikan rujukan. Di

antara faskes sampel, 14% dari puskesmas dan 31% dari praktik mandiri bidan (PMB)

mengatakan bahwa pasien mereka pernah ditolak atau ditampik oleh faskes di jenjang lebih

tinggi dengan berbagai alasan. Alasan yang paling umum, menurut puskesmas dan PMB

adalah keterbatasan ruangan/ruang operasi, keterbatasan perlengkapan dan alat, serta

ketiadaan dokter spesialis untuk memberi layanan yang dibutuhkan. Di kalangan rumah

sakit, alasan yang paling umum dikemukakan ketika melakukan penolakan dan penampikan

pasien adalah fasilitas yang terlalu penuh dengan antrian panjang, selain juga keterbatasan

alat, tes, perlengkapan dan obat (lihat Gambar 1).

4 Lihat laporan HP+ terkait (Stein et al., 2020) yang menjelaskan secara rinci tentang kapasitas

penyedia layanan untuk memberi layanan persalinan yang berkualitas.

Page 8: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

8

Gambar 1. Alasan Penolakan Rujukan yang Paling Umum Dikemukakan Penyedia

Layanan

2. Bagaimana Penyedia Layanan Kesehatan Membiayai Biaya

Rujukan, Termasuk Biaya Transportasi?

Di Indonesia, transportasi rujukan ke atas dan ke bawah dibayar oleh BPJS-K ke penyedia

layanan dengan mekanisme fee-for-service. Ini merupakan salah satu sumber pendanaan

utama untuk rujukan bagi puskesmas dan klinik swasta kecil yang dikelola oleh dokter

umum, yang disebut klinik pratama. Pembayaran dapat dipakai untuk transportasi pasien

dari FKTP ke rumah sakit dengan ambulans, dan juga untuk rujukan balik (BPJS-K, 2014d).5

Pemerintah daerah diharapkan mengalokasikan sebagian dana mereka untuk biaya

transportasi rujukan dan transportasi darurat dan menetapkan besaran penggantian biaya

transportasi yang sesuai untuk wilayah mereka masing-masing. Akan tetapi, bukti

menunjukkan bahwa dana fee-for-service (melalui mekanisme non-kapitasi BPJS-K) untuk

layanan rujukan tidak dimanfaatkan secara optimal karena petunjuk penggunaan dan

persyaratan administrasi untuk memperoleh penggantian biaya sangat rumit dan

membingungkan sehingga penyedia layanan tidak terdorong untuk menggunakan dana

tersebut (Yap et al., 2017; Wilopo et al., 2020; wawancara informan kunci dengan pakar

KMN).

5 Penggantian biaya untuk layanan rujukan balik hanya mencakup pasien dengan diabetes mellitus,

hipertensi, asma, penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, epilepsi, gangguan kesehatan jiwa

kronik, stroke, sistemik lupus eritematosus, dan gejala lain yang menyebabkan situasi gawat darurat

yang harus ditangani oleh rumah sakit.

Puskesmas

Komplikasi kebidanan

Alasan penolakan yang paling

umum:

• Keterbatasan ruangan/ruang

operasi tidak tersedia

• Keterbatasan perlengkapan atau

alat

• Informasi medis pasien tidak

lengkap/tidak adanya surat

rujukan

Alasan penolakan yang paling

umum:

• Keterbatasan ruangan

• Tidak adanya spesialis

untuk melakukan operasi

sesar

• Keterbatasan obat

• Keterbatasan

perlengkapan atau alat

Praktik Mandiri Bidan

Komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir

Rumah Sakit

Alasan penolakan yang paling umum:

• Rumah sakit terlalu penuh, antrian

panjang

• Keterbatasan alat, tes, perlengkapan

atau obat

Page 9: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

9

Mengingat pentingnya ketersediaan transportasi yang terjangkau agar rujukan berlangsung

tepat waktu dan efektif, HP+ meneliti apakah pemerintah daerah memberi penggantian

biaya rujukan dan siapa yang bertanggung jawab memberi penggantian biaya awal untuk

beragam jenis rujukan. Temuan dibahas di bawah ini.

Sekitar separuh dari kabupaten/kota sampel memberi penggantian biaya

transportasi rujukan. Berdasarkan data faskes yang dimiliki HP+, hanya 54% dari

pemerintah daerah memberi penggantian biaya transportasi rujukan, dengan besaran rata-

rata kurang dari Rp. 78.400.6 Jumlah ini jauh di bawah tarif yang dipakai BPJS-K dan

program Jampersal yang memberikan Rp. 150.000 per kasus rujukan dari FKTP ke rumah

sakit.7 Terbatasnya dukungan pemerintah daerah untuk layanan rujukan KMN dapat

menyebabkan rujukan wanita dengan komplikasi ke rumah sakit kurang tepat waktu

ataupun efektif, yang semakin memperburuk tingkat efisiensi sistem dan pada akhirnya

berdampak pada hasil akhir persalinan yang kurang baik.

Data HP+ menunjukkan bahwa pasien dan fasilitas kesehatan tingkat primer kerap memikul

tanggung jawab (baik secara penuh atau sebagian) biaya transportasi rujukan. Sebagai

contoh, ketika pasien dirujuk dari praktik mandiri bidan ke FKTP, 33% FKTP mengatakan

bahwa biaya transportasi ditanggung oleh pasien, 17% melaporkan menanggung biaya

transportasi, dan 50% menyatakan bahwa tanggung jawab membayar biaya transportasi

terletak pada PMB yang merujuk (lihat Gambar 2). Selain itu, 55% FKTP mengatakan bahwa

biaya transportasi untuk rujukan antar FKTP ditanggung oleh pasien. Sebaliknya, bila pasien

dirujuk dari FKTP ke rumah sakit yang masuk jejaring JKN, maka 93% FKTP mengatakan

mereka akan menanggung biaya transportasi dan 100% mengatakan mereka akan

membayar transportasi bila pasien dirujuk ke puskesmas. Bila pasien dirujuk ke klinik

pratama, 33% FKTP mengatakan pasien akan menanggung biaya transportasi awal. HP+

juga meneliti pengaturan transportasi dari rumah tunggu kelahiran (RTK) ke fasilitas

layanan primer dan 31% dari FKTP mengatakan bahwa biaya transportasi adalah tanggung

jawab pasien (lihat Kotak 2 untuk informasi lebih lanjut tentang rumah tunggu kelahiran).

Gambar 2. Siapa yang Membayar Biaya Transportasi Awal Ketika Merujuk Ke dan Dari

Fasilitas Layanan Primer

6 Menggunakan kurs Bank Indonesia USD$ 1 ke Rp. 14.249,4 tanggal 6 November 2020. 7 Korespondensi dengan Dr. Sri Indriati, Kasie Kesehatan Keluarga, Dinas Kesehatan Kabupaten

Tangerang, Banten di bulan November 2020.

17%

54%33%

31%

55%

50%

15%

45%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Dirujuk oleh

PMB jejaring

Dirujuk oleh

rumah tunggu

kelahiran

Dirujuk oleh

Puskesmas

lain

% F

KTP

Rujukan ke FKTP

FKTP Pasien Faskes yang merujuk

93% 100%

67%

4%

33%

2%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Dirujuk ke RS

dalam jejaring

JKN

Dirujuk ke

Puskesmas lain

Dirujuk ke klinik

pratama dalam

jejaring JKN

% F

KTP

Rujukan dari FKTP

FKTP Pasien Faskes yang merujuk

Page 10: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

10

Pasien bertanggung jawab untuk biaya transportasi rujukan balik dari rumah

sakit ke fasilitas kesehatan tingkat primer. Sebagian besar rumah sakit

menyampaikan bahwa biaya transportasi pasien yang dirujuk ke rumah sakit ditanggung

oleh fasilitas pengirim, terlepas dari apakah pasien berasal dari puskesmas, klinik pratama

jejaring JKN atau praktik mandiri bidan (lihat Gambar 4, grafik kiri). Akan tetapi, ketika

rumah sakit merujuk pasien kembali ke fasilitas layanan primer, maka sebagian besar FKTP

mengatakan bahwa biaya terkait dengan rujukan menjadi tanggung jawab pasien (Gambar 4,

grafik kanan). Perlu diingat bahwa BPJS-K memberi penggantian biaya untuk layanan

rujukan balik, tapi hanya untuk wanita yang sebelumnya dirujuk oleh FKTP oleh karena

kondisi darurat dan wanita yang memerlukan perawatan khusus yang hanya tersedia di

rumah sakit. Implikasi dari pembedaan struktur tanggung jawab biaya transportasi rujukan

ini adalah bahwa pasien menanggung beban keuangan terkait dengan rujukan balik untuk

melanjutkan layanan KMN mereka di fasilitas layanan primer. Wanita yang tidak mampu

menanggung biaya tersebut kemungkinan tidak akan kembali ke faskes primer untuk

melanjutkan pengobatan mereka.

Kotak 2. Transportasi dari Rumah Tunggu Kelahiran ke Puskesmas

Hanya 19% dari puskesmas dan 5% dari klinik pratama sampel mengatakan menerima

pasien wanita hamil dari rumah tunggu kelahiran (RTK). Sekitar sepertiga dari puskesmas

dan 60% dari klinik pratama tidak berada di lokasi yang dekat dengan RTK. Untuk

transportasi dari RTK ke puskesmas, 33% puskesmas mengatakan bahwa ibu hamil

menggunakan bus dari RTK (lihat Gambar 3). Sepertiga puskesmas mengirimkan satu orang

staf untuk mendampingi ibu berjalan kaki dari RTK ke faskes, sementara 44% puskesmas

mengatakan bahwa ibu hamil berjalan kaki ke puskesmas dengan didampingi staf RTK.

Gambar 3. Pengaturan Transportasi dari Rumah Tunggu Kelahiran ke Puskesmas,

sesuai laporan Puskesmas (N = 9)

44%

22%

33%

11%

33%

11%

11%

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Rumah tunggu kelahiran biasanya menemani

pasien berjalan ke puskesmas

Puskesmas menyediakan ambulans, mobil atau

sepeda motor, bila tersedia

Puskesmas biasanya menugaskan staf

mendampingi pasien berjalan ke puskesmas

Puskesmas biasanya mengatur untuk

menggunakan kendaraan pribadi

Pasien naik bus

RTK membuat pengaturan transportasi

Lainnya

Page 11: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

11

Gambar 4. Siapa yang Menanggung Biaya Transportasi Awal Ketika Merujuk Ke dan Dari

Rumah Sakit

Penggunaan beragam pedoman rujukan oleh penyedia layanan menyebabkan

regulasi rujukan kerap tidak konsisten. Dari penyedia layanan di dalam sampel, HP+

menemukan bahwa pedoman rujukan yang digunakan sebagai acuan sangat beragam (lihat

Gambar 5). Hampir separuh dari puskesmas (48%) dan 82% klinik pratama menggunakan

aturan rujukan dari BPJS-K, sementara rumah sakit kebanyakan mengacu pada aturan

rujukan dari pemerintah pusat, dan praktik mandiri bidan mengacu pada aturan rujukan

dari pemerintah kabupaten/kota. Keragaman pedoman ini membingungkan penyedia

layanan kesehatan yang kemudian sulit menentukan kriteria pasien yang dapat dirujuk,

layanan apa yang dapat memperoleh penggantian biaya, besaran penggantian, dll. Dalam

wawancara untuk studi, diperoleh bukti tentang masalah ini; misalnya, ada kasus di mana

PMB tidak menerima penggantian biaya transportasi rujukan dari BPJS-K yang berpendapat

pasien seharusnya tidak dirujuk ke rumah sakit, sementara menurut pedoman Dinkes

Kabupaten, pasien sudah memenuhi kriteria untuk dirujuk.

Gambar 5. Proporsi Penggunaan Beragam Pedoman Rujukan per Jenis Penyedia

Layanan

5% 6% 7%10% 12% 14%

86% 82% 79%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Dirujuk oleh

Puskesmas

Dirujuk oleh

klinik pratama

dlm jejaring

JKN

Dirujuk oleh

PMB dlm

jejaring JKN

% r

um

ah

sa

kit

Rujukan ke Rumah Sakit

Rumah Sakit Pasien Faskes yang merujuk

7% 8%

80% 75%78%

13% 17% 22%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Dirujuk balik

ke

Puskesmas

Dirujuk balik

ke klinik

pratama dlm

jejaring JKN

Dirujuk balik

ke PMB dlm

jejaring JKN

% r

um

ah

sa

kit

Rujukan Balik dari Rumah Sakit

Rumah Sakit Pasien Faskes yang merujuk

29%24%

45%

18%

4%9%

6%

48%

82%

36%

24%

42%

12%

32%

41%

6% 6%

24%

14%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Puskesmas

(N = 48)

Klinik Pratama

(N = 17)

Rumah Sakit

(N = 22)

Praktik Mandiri Bidan

(N = 17)

Regulasi pemerintah pusat Regulasi pemerintah provinsi

Regulasi BPJS-K Regulasi pemerintah kab/kota

Regulasi internal Puskesmas Regulasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI)

Page 12: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

12

3. Apakah Skema Insentif yang Saat Ini Berlaku untuk Rujukan

KMN oleh Praktik Mandiri Bidan Memadai untuk Memperoleh

Hasil yang Diharapkan?

Bidan memegang peran penting dalam penyediaan layanan KMN di Indonesia. Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, lebih

dari 60% persalinan ditolong oleh bidan

(termasuk PMB) dan 52% dari semua layanan

antenatal dilakukan oleh bidan (BKKBN et al.,

2018). Bagian ini menguraikan praktik rujukan

yang diterapkan oleh praktik mandiri bidan, dan

bagaimana pengaturan penggantian biaya oleh

JKN berdampak pada layanan bidan.8

Walaupun praktik mandiri bidan memberi

kontribusi yang signifikan terhadap layanan

antenatal dan persalinan secara keseluruhan,

bukti yang ada juga menunjukkan bahwa layanan

rujukan yang dilakukan bidan tidaklah efektif

(Yap et al., 2017) (lihat Kotak 3 tentang tantangan

seputar layanan KMN yang diberikan bidan).

Melalui diskusi dengan berbagai pakar KMN—

termasuk dengan wakil Ikatan Bidan Indonesia

(IBI)—diperoleh gambaran bahwa walaupun

perlu, PMB sering tidak merujuk pasien ke

jenjang yang lebih tinggi dan bersikeras memberi

pertolongan persalinan di fasilitas mereka

sendiri. Hal ini, ditambah dengan terbatasnya

kemampuan bidan menangani kasus gawat

darurat kebidanan, serta praktik rujukan darurat

yang kerap terlambat semakin meningkatkan

risiko persalinan dengan hasil akhir yang buruk.

Tingkat penggantian biaya yang tidak memadai untuk layanan pra-rujukan dan

transportasi rujukan yang diberikan praktik mandiri bidan. Praktik mandiri bidan

mungkin memiliki insentif untuk memberi pertolongan persalinan di fasilitas mereka dan

tidak merujuk pasien ke fasilitas kesehatan di jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana

dibahas sebelumnya, akibat pedoman rujukan yang tidak konsisten, PMB kerap harus

menanggung biaya transportasi pasien yang mereka rujuk. Selain itu, dari PMB yang

menjadi sampel studi – di mana semuanya telah berjejaring dengan BPJS-K, hanya 28% dari

PMB mengatakan menerima penggantian biaya dari JKN (melalui FKTP induk) untuk

layanan pra-rujukan yang diberikan (lihat Gambar 6), dan hanya 6% dari PMB mengatakan

bahwa pembayaran JKN mampu menutupi biaya langsung penyediaan layanan pra-rujukan

mereka (lihat Gambar 7).

8 Praktik Mandiri Bidan tidak dapat berkontrak langsung dengan BPJS-K. Untuk menerima

penggantian biaya dari JKN untuk layanan KMN, PMB harus membangun jejaring dengan klinik

dokter umum, klinik pratama, atau puskesmas (berdasarkan: PMK No. 71/2013 dan PMK No.

99/2015).

Kotak 3. Tantangan Utama seputar

Layanan KMN yang Diberikan

Bidan

• Bidan sering menawarkan untuk

menolong persalinan di rumah

(bukan di fasilitas kesehatan).

• Indonesia tidak memiliki standar

pelatihan kebidanan pra-jabatan;

akibatnya, tingkat keterampilan

bidan sangat bervariasi. Bidan

sering tidak mampu menstabilkan

pasien dalam kondisi darurat dan

tidak tahu kapan wanita hamil

perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan

yang lebih tinggi.

• BPJS-K tidak dapat membuat

kontrak langsung dengan PMB dan

ini menyebabkan terjadi

kekurangan tenaga bidan di

puskesmas dan rumah sakit.

Sumber: Teplitskaya dan Dutta, 2018

Page 13: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

13

Gambar 6. Praktik Mandiri Bidan yg

Mengatakan Menerima Penggantian Biaya

JKN untuk Layanan Pra-rujukan di

Th.2018 (N = 18)

Gambar 7. Praktik Mandiri Bidan yg

Mengatakan Penggantian Biaya Layanan

Pra-Rujukan dari JKN Dapat Menutupi

Biaya Penyediaan Layanan (N = 18)

Terbatasnya kapasitas praktik mandiri bidan untuk memenuhi persyaratan

dokumentasi rujukan. Penggantian biaya layanan pra-rujukan dan transportasi yang

diberikan pada praktik mandiri bidan tergantung pada kelengkapan dokumentasi rujukan.9

Kemampuan bidan untuk melakukan dokumentasi dengan baik tergantung pada sistem

rujukan yang mereka gunakan. Sistem rujukan elektronik dirancang untuk

menyederhanakan proses kodifikasi pasien dan membantu bidan membuat dokumentasi

rujukan. Akan tetapi, walaupun mayoritas penyedia layanan kesehatan telah menggunakan

minimal satu sistem rujukan elektronik, 83% dari praktik mandiri bidan masih belum

menggunakan sistem e-rujukan sama sekali (lihat Gambar 8). Saat ini masih belum jelas

apakah hal ini mengurangi kapasitas bidan menyiapkan dokumentasi yang diperlukan,

sehingga kemampuan mereka memperoleh penggantian biaya untuk layanan rujukan dan

mempertahankan keberlangsungan praktik bidan mereka juga terdampak.

Gambar 8. Proporsi Penggunaan Sistem e-Rujukan, per Jenis Penyedia Layanan

9 Sebagai contoh, dokumen yang dibutuhkan untuk penggantian biaya transportasi (ambulans): (1)

rekam medis pasien dari faskes yang merujuk, (2) salinan kartu identitas pasien, dan (3) bukti

layanan ambulans. Penjelasan lengkap dapat diperoleh dari Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan, tersedia di

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/5fb1dc8414591e392ab5a3f70e2ab35a.pdf.

28%

72%

0% 50% 100%

Ya

Tidak 6% 94%

0% 50% 100%

Layanan pra-rujukan

“Selalu” atau “sering” menutupi biaya langsung

“Kadang” atau “tdk pernah” menutupi biaya

langsung

85%

95%

86%

11%13% 10%

32%

6%2% 0%

6%10%

5% 5%

83%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Puskesmas Klinik Pratama Rumah Sakit Praktik Mandiri

Bidan

Sistem P-care dari BPJS-K

Sistem Informasi Rumah Sakit

Sistem Informasi Rujukan

Terintegrasi (SISRUTE)

Sistem rujukan daring

Tidak ada

Page 14: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

14

Rekomendasi

Sistem rujukan di Indonesia memberi amanat bahwa layanan KMN perlu diberikan di

tingkat layanan primer, kecuali kasus gawat darurat dan komplikasi persalinan. Dalam

sistem rujukan, fasilitas kesehatan primer berperan penting sebagai penjaga gawang untuk

mencegah rujukan ke atas yang tidak perlu, dan memberi layanan rujukan yang tepat secara

tepat waktu. Akan tetapi, perilaku dan praktik rujukan dari faskes tingkat primer

dipengaruhi oleh sistem pembiayaan dan pembayaran layanan KMN yang mereka terima.

Studi ini menemukan bahwa kapasitas faskes primer yang lemah, disertai dengan

pembayaran JKN yang tidak dapat menutupi biaya penyediaan layanan KMN meningkatkan

kemungkinan pasien dirujuk ke fasilitas di jenjang yang lebih tinggi. HP+ juga menemukan

bahwa pasien KMN yang dirujuk memikul beban keuangan yang cukup signifikan karena

biaya transportasi menjadi tanggung jawab pasien, khususnya ketika mereka dirujuk balik

Kotak 4. Hubungan antara Praktik Mandiri Bidan dengan JKN Lemah

Praktik Mandiri Bidan tidak dapat membuat kontrak langsung dengan JKN—mereka perlu

berjejaring dengan fasilitas tingkat primer untuk dapat menerima penggantian biaya dari JKN.

Alhasil, PMB tidak dapat memanfaatkan sistem penggantian biaya dan rujukan JKN (Wilopo

et al., 2020). HP+ menemukan bahwa hanya 6% dari FKTP sampel yang mengatakan

membuat kontrak dengan PMB untuk penyediaan layanan (lihat Gambar 9). Selain itu, tiap

puskesmas berjejaring dengan rata-rata 2,3 PMB, dan tiap klinik pratama berjejaring dengan

rata-rata 3,0 PMB (lihat Gambar 10).

Sebanyak 83% PMB mengatakan ingin berkontrak dengan JKN; yang paling sering disebutkan

adalah kontrak melalui organisasi profesi (seperti IBI) atau kontrak langsung dengan JKN

(lihat Gambar 11). Hampir separuh (47%) dari PMB mengatakan ingin berkontrak langsung

dengan JKN untuk mengurangi beban administrasi; 33% mengatakan ingin memperoleh

manfaat dari penggantian biaya.

Gambar 11. Jenis Kontrak yang menjadi Preferensi PMB (N = 15)

27%

33%

7%

33%

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Jaringan bidan (contoh: Bidan Delima)

Organisasi profesi (contoh: IBI)

Rumah bersalin

Kontrak langsung

6%

15%

0% 10% 20%

Puskesmas (N = 48)

Klinik pratama (N = 20)

Figure 9. Proporsi FKTP yang Mengatakan

Berjejaring dengan PMB untuk Penyediaan

Layaan KMN

2.3

3.0

-1 1 3 5

Puskesmas (N = 3)

Klinim pratama (N = 3)

Gambar 10: Rata-rata Jumlah

PMB yang Berjejaring per FKTP

Page 15: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

15

dari rumah sakit ke FKTP. Berdasarkan hal ini dan berbagai temuan lain, HP+ mengusulkan

beberapa perubahan terhadap pengaturan pembiayaan rujukan KMN di Indonesia.

Pertama, kapasitas dan kemampuan penyedia layanan di tingkat primer perlu

ditingkatkan agar mereka dapat memberi layanan KMN yang berkualitas dan

meningkatkan luaran kesehatan yang lebih baik, mengurangi jumlah rujukan

yang tidak perlu, dan memastikan rujukan yang perlu dapat terlaksana tepat

waktu dan memadai. Selain inisiatif perbaikan kualitas, BPJS-K perlu meninjau ulang

pengaturan penggantian biaya layanan KMN yang mereka terapkan. Bagian pertama dari

studi ini (lihat laporan pendamping HP+ oleh Stein et al. [2020]) melaporkan bahwa

pendanaan dari BPJS-K memberi kontribusi yang cukup signifikan ke total pendapatan

penyedia layanan kesehatan, khususnya penyedia layanan swasta yang merupakan faskes

pilihan untuk layanan KMN bagi mayoritas wanita Indonesia. Hal ini memberi peluang bagi

BPJS-K untuk membentuk perilaku penyedia layanan terkait dengan kualitas layanan dan

rujukan melalui insentif pembiayaan dan pembayaran. Untuk pengelolaan yang lebih baik

dan perbaikan tata kelola antar penyedia layanan, mekanisme penggantian biaya perlu

ditinjau ulang. Secara khusus perlu diterapkan sistem pembayaran penyedia layanan

berdasarkan kualitas, dan penggantian biaya layanan KMN di tingkat primer melalui

mekanisme fee-for-service juga perlu ditingkatkan agar lebih mampu menutupi biaya

penyediaan layanan. Ini semua mendorong perbaikan kualitas layanan, dan rujukan yang

tepat dan tepat waktu. Evaluasi ulang perlu berfokus pada hal-hal berikut:

• Pemberian insentif yang lebih baik (didasarkan pada kualitas layanan) kepada semua

jenis penyedia layanan kesehatan di jenjang yang lebih rendah, termasuk puskesmas,

klinik pratama, dan praktik mandiri bidan, harus dapat mendorong mereka untuk

menyediakan layanan KMN berkualitas tinggi dan mengurangi insentif untuk

merujuk pasien yang tidak berisiko tinggi atau bukan dalam kondisi darurat untuk

memperoleh layanan KMN di rumah sakit. Perbaikan mekanisme pembiayaan perlu

didampingi dengan peningkatan otonomi penyedia layanan untuk menggunakan

dana sesuai kebutuhan dalam rangka perbaikan kualitas dan penyediaan layanan

(Stein et al., 2020).

• Identifikasi cara untuk mengurangi beban ekonomi dan keuangan yang dipikul

wanita hamil selama proses rujukan antar fasilitas kesehatan tingkat primer,

khususnya dalam rujukan balik dari rumah sakit ke puskesmas.

• Penguatan hubungan praktik mandiri bidan dengan sistem JKN melalui mekanisme

kontrak langsung dengan tiap PMB. Mayoritas PMB dalam sampel HP+ lebih

memilih untuk berkontrak langsung dengan BPJS-K atau dengan IBI. Pembayaran ke

PMB juga perlu dikaitkan dengan standar kualitas yang lebih tinggi, atau bahkan

dengan sertifikasi IBI, untuk mendorong peningkatan kualitas layanan. Secara

umum, IBI dapat mengevaluasi standar kualitas dan protokol, dan memberi insentif

tidak langsung untuk penguatan kualitas layanan rutin yang diberikan oleh anggota

IBI. BPJS-K perlu melakukan evaluasi akan kemungkinan pemberian penggantian

biaya yang lebih tinggi bagi PMB yang memenuhi sertifikasi IBI. Akhirnya, mayoritas

PMB tidak menerima penggantian biaya transportasi dan layanan pra-rujukan;

skema pembayaran yang baru harus mampu mengatasi isu ini agar PMB memiliki

insentif yang tepat untuk menyediakan layanan yang lebih berkualitas dan merujuk

pasien secara lebih tepat waktu.

Kedua, BPJS-K, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah perlu

membentuk koordinasi yang lebih erat dan permanen dan merampingkan

beragam pedoman rujukan yang digunakan. Studi ini menyajikan bukti bahwa

masing-masing penyedia layanan kesehatan menggunakan pedoman rujukan yang berbeda,

Page 16: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

16

dan mengapa tiap pedoman memiliki interpretasi yang berbeda tentang cakupan layanan

adalah hal yang penting untuk dipahami. Selain itu perlu ada konsistensi antar pedoman

untuk mengurangi inefisiensi dalam sistem rujukan KMN dan menyelaraskan seluruh

insentif.

Rujukan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Kesehatan (BPJS-K). 2014a. Buku Panduan Praktis

[Gatekeeper Concept]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/49.

———. 2014b. Buku Panduan Praktis Kebidanan dan Neonatal [Obstetric and Neonatal

Practical Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/38.

———. 2014c. Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang [Tiered Referral System

Practical Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/37.

———. 2014d. Buku Panduan Praktis Pelayanan Ambulan [Ambulance Service Practical

Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/44.

Bapna, J.S., D. Tekur, S.C. Pradham, and C.H. Shashindran. 1991. “Why Patients Prefer

Referral Hospitals.” World Health Forum 12(3): 344–345.

Handriani, I. and S. Meleniani. 2015. “Pengaruh Proses Rujukan dan Komplikasi Terhadap

Kematian Ibu.” Jurnal Berkala Epidemiologi 3(3): 400–411.

Indonesian Academy of Sciences. 2018. Evidence Summit on Reducing Maternal and

Neonatal Mortality in Indonesia. Jakarta: Indonesian Academy of Sciences.

Kahabuka, C., G. Kvåle, K.M. Moland, and S.G. Hinderaker. 2011. “Why Caretakers Bypass

Primary Health Care Facilities For Child Care - A Case from Rural Tanzania.” BMC Health

Services Research doi:10.1186/1472-6963-11-315.

Kamau, K.J., B.O. Osuga, and S. Njuguna. 2017. “Challenges Facing Implementation of

Referral System for Quality Health Care Services In Kiambu County, Kenya.” Health Systems

and Policy Research 4:1, doi: 10.21767/2254-9137.100067.

Kruk, M.E., S. Hermosilla, E. Larson, and G.M. Mbaruku. 2014. “Bypassing Primary Care

Clinics for Childbirth: A Cross-Sectional Study in the Pwani Region, United Republic of

Tanzania.” Bulletin of the World Health Organization 92: 246–253.

Kruk, M.E., G. Mbaruku, C.W. McCord, M. Moran, P. Rockers, et al. 2009. “Bypassing

Primary Care Facilities for Childbirth: A Population-Based Study in Rural Tanzania.” Health

Policy and Planning 24(4): 279–288.

Leonard, K.L., G.R. Mliga, and D. Haile Mariam. 2002. “Bypassing Health Centres in

Tanzania: Revealed Preferences for Quality.” Journal of African Economies 11(4): 441–471.

National Population and Family Planning Board (BKKBN), Statistics Indonesia (BPS),

Ministry of Health (Kemenkes), and ICF. 2018. Indonesia Demographic and Health Survey

2017. Jakarta, Indonesia: BKKBN, BPS, Kemenkes, and ICF.

Nugraheni, W.P., R. Mubasyiroh, and R.K. Hartono. 2020. “The Influence of Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) on the Cost of Delivery Services in Indonesia.” PLoS ONE 15(7):

e0235176.

Page 17: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan

Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?

17

Parkhurst, J.O. and F. Ssengooba. 2009. “Assessing Access Barriers to Maternal Health Care:

Measuring Bypassing to Identify Health Centre Needs in Rural Uganda.” Health Policy and

Planning 24(5): 377–384.

Pedrana, A., S.N. Qomariyah, M. Tholandi, B. Wijayanto, T. Gandawidjaja, et al. 2019.

“Assessing the Effect of the Expanding Maternal and Neonatal Survival Program on

Improving Stabilization and Referral for Maternal and Newborn Complications in

Indonesia.” International Journal of Gynecology & Obstetrics 144; 30–41.

Rizkianti, A., T. Afifah, I. Saptarini, and M.F. Rakhmadi. 2020. “Women’s Decision-Making

Autonomy in the Household and the Use of Maternal Health Services: An Indonesian Case

Study.” Midwifery 90: 102816.

Sartika, I. and A. Masahin. 2020. “Analysis of the Implementation of Online Referral for

National Health Security Participant at PKU Muhammadiyah Karanganyar Hospital.”

STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan 09(01): 286–296.

Statistics Indonesia. 2015. “Maternal Mortality Rate by Island.” Available at:

https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/05/1439/angka-kematian-ibu-menurut-

pulau-per-100-000-kelahiran-hidup-2015.html.

Statistics Indonesia. 2017. “Infant Mortality Rate (IMR) Per 1000 Live Births by Province.”

Available at: https://www.bps.go.id/dynamictable/2019/10/06/1688/angka-kematian-bayi-

akb-per-1000-kelahiran-hidup-menurut-provinsi-2012-dan-2017.html.

Stein, D., M.F. Rakhmadi, J. Ugaz, and A. Dutta. 2020. Does Better Financing Enable

Delivery of Higher Quality Maternal Health Services in Indonesia? Evidence from

Providers and Local Governments. Washington, DC: Palladium, Health Policy Plus.

Teplitskaya, L. and A. Dutta. 2018. Has Indonesia’s National Health Insurance Scheme

Improved Access to Maternal and Newborn Health Services? Washington, DC: Palladium,

Health Policy Plus.

Thabrany, H., E. Setiawan, G.C. Puteri, U.K. Qodarina, A.S. Pujiastuti, et al. 2017. Studi

Evaluasi Penyelenggaraan Sistem Rujukan Berjenjang Era JKN-KIS. BPJS Kesehatan.

Thaddeus, S. and D. Maine. 1994. “Too Far to Walk: Maternal Mortality in Context.” Social

Science & Medicine 38(8): 1091–1110.

Wilopo, S., A. Wahdi, H. Thabrany, and A. Pattnaik. 2020. Bringing Private Midwives into

Indonesia’s National Health Insurance Scheme: A Landscape Analysis. Washington, DC:

Universitas Gadjah Mada and ThinkWell.

Wright, J. and R. Eichler. 2018. “A Review of Initiatives that Link Provider Payment with

Quality Measurement of Maternal Health Services in Low-and Middle-Income

Countries.” Health Systems & Reform 4(2): 77–92.

Yap, W.A., E.S. Pambudi, P. Marzoeki, J. Salcedo Cain, and A. Tandon. 2017. Revealing the

Missing Link: Private Sector Supply-Side Readiness for Primary Maternal Health Services

in Indonesia. Washington: World Bank Group.

Page 18: Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Health Policy Plus

Palladium

1331 Pennsylvania Ave NW, Suite 600

Washington, DC 20004

Tel: (202) 775-9680

Fax: (202) 775-9694

Email: [email protected]

www.healthpolicyplus.com