apakah perbaikan mekanisme pembiayaan akan mendorong … · 2021. 1. 28. · bukti dari penyedia...
TRANSCRIPT
-
Desember 2020
APAKAH PERBAIKAN MEKANISME PEMBIAYAAN AKAN MENDORONG DILAKUKANNYA RUJUKAN TEPAT WAKTU DAN TERJANGKAU BAGI IBU DAN BAYI BARU LAHIR DI INDONESIA?Bukti dari Penyedia Layanan dan Pemerintah Daerah
https://www.kemkes.go.id/
-
Daftar Isi
Ringkasan ............................................................................................................................... 3
Latar Belakang ....................................................................................................................... 3
Temuan................................................................................................................................... 6
1. Apakah Sistem Rujukan KMN Saat Ini Berorientasi pada Efisiensi di mana Rujukan
Dilakukan Tepat Waktu dan dengan Tepat? .......................................................................... 6
2. Bagaimana Penyedia Layanan Kesehatan Membiayai Biaya Rujukan, Termasuk Biaya
Transportasi? ............................................................................................................................ 8
3. Apakah Skema Insentif yang Saat Ini Berlaku untuk Rujukan KMN oleh Praktik Mandiri
Bidan Memadai untuk Memperoleh Hasil yang Diharapkan? ........................................... 12
Rekomendasi ....................................................................................................................... 14
Rujukan ................................................................................................................................ 16
DESEMBER 2020
Publikasi ini disusun oleh Mukhammad Fajar Rakhmadi, Dorit Stein, Jorge Ugaz, dan Arin Dutta dari
Palladium untuk proyek Health Policy Plus.
Kutipan yang disarankan: Rakhmadi, M.F., D. Stein, J. Ugaz, A. Dutta. 2020. Apakah Perbaikan Mekanisme
Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru
Lahir di Indonesia? Bukti dari Penyedia Layanan dan Pemerintah Daerah. Washington, DC: Palladium,
Health Policy Plus.
Foto sampul milik RTI International/Muhammad Fadli.
ISBN: 978-1-59560-270-1
Health Policy Plus (HP+) adalah perjanjian kerjasama selama tujuh tahun yang didanai oleh U.S. Agency for
International Development dengan Perjanjian No. AID-OAA-A-15-00051, dimulai pada tanggal 28 Agustus
2015. HP+ diimplementasikan oleh Palladium, bekerja sama dengan Avenir Health, Futures Group Global
Outreach, Plan International USA, Population Reference Bureau, RTI International, ThinkWell, dan Aliansi
Pita Putih Indonesia-APPI (White Ribbon Alliance for Safe Motherhood).
Laporan ini disusun oleh HP+ untuk ulasan U.S. Agency for International Development. Informasi yang
disampaikan dalam laporan ini bukan informasi resmi Pemerintah Amerika Serikat dan tidak semerta-
merta mencerminkan pandangan atau posisi dari U.S. Agency for International Development atau
Pemerintah AS.
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
3
Ringkasan
Proyek Health Policy Plus (HP+), bermitra dengan Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan (PPJK), Kementerian Kesehatan Indonesia, melaksanakan sebuah penelitian
untuk mendukung upaya reformasi belanja kesehatan strategis bagi layanan kesehatan
maternal dan neonatal (KMN). Untuk studi ini, HP+ mengumpulkan data di lebih dari 100
fasilitas kesehatan primer dan sekunder, publik dan swasta, termasuk praktik mandiri bidan
(PMB), serta melakukan wawancara dengan wakil pemerintah daerah di 24 kabupaten/kota,
delapan provinsi di Indonesia. Dokumen ini adalah laporan kedua dari tiga seri laporan yang
disusun, dan menyajikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Apakah sistem rujukan KMN saat ini berorientasi pada efisiensi di mana rujukan
dilakukan tepat waktu dan secara tepat?
2. Bagaimana penyedia layanan kesehatan membiayai biaya rujukan, termasuk biaya
transportasi?
3. Apakah skema insentif yang saat ini berlaku untuk rujukan KMN oleh praktik
mandiri bidan memadai untuk memperoleh hasil yang diharapkan?
Temuan Utama
• Keterbatasan kapasitas fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) untuk memberi layanan
persalinan yang berkualitas, ditambah dengan ketidakcukupan pembiayaan layanan KMN dari
skema jaminan kesehatan nasional dapat meningkatkan rujukan kasus dari FKTP ke rumah
sakit.
• Beban keuangan selama rujukan ditanggung oleh pasien KMN yang dirujuk; mereka harus
membayar biaya transportasi, terutama bila mereka dirujuk balik dari rumah sakit ke fasilitas
kesehatan tingkat primer.
• Rendahnya kualitas layanan rujukan yang diberikan praktik mandiri bidan mungkin dipengaruhi
oleh penggantian biaya layanan pra-rujukan dan biaya transportasi yang tidak memadai, serta
kurangnya kemampuan bidan untuk menyiapkan dokumentasi rujukan yang diperlukan.
Rekomendasi
• Memberi insentif yang lebih baik (berdasarkan kualitas layanan) bagi semua jenis penyedia
layanan kesehatan di jenjang lebih rendah, termasuk puskesmas, klinik pratama, dan praktik
mandiri bidan, mendorong penydiaan layanan KMN yang berkualitas dan mengurangi insentif
untuk merujuk pasien KMN yang tidak berisiko tinggi atau bukan kasus gawat darurat ke rumah
sakit. Perbaikan pengaturan pembiayaan perlu didampingi dengan peningkatan otonomi
penyedia layanan untuk menggunakan dana sesuai kebutuhan perbaikan kualitas dan
penyediaan layanan.
• Mencari cara untuk mengurangi beban ekonomi dan keuangan yang harus ditanggung ibu hamil
selama proses rujukan antar FKTP.
• Memperkuat hubungan antara praktik mandiri bidan dan skema jaminan kesehatan nasional
dengan mengizinkan PMB berjejaring langsung dengan BPJS-K. Selain itu, pembayaran ke PMB
juga perlu dikaitkan dengan standar kualitas yang lebih tinggi, atau bahkan dengan sertifikasi
Ikatan Bidan Indonesia (IBI), untuk mendorong penyediaan layanan KMN yang lebih berkualitas.
• Mendukung koordinasi yang lebih erat dan permanen antara Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS), Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah untuk menetapkan
pedoman rujukan yang sesuai.
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
4
Latar Belakang
Upaya Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang tinggi
masih menghadapi berbagai tantangan.1 Beberapa bukti baru memberi indikasi bahwa upaya
yang dilakukan selama ini kurang efektif karena terbentur berbagai hambatan seperti norma
budaya, tantangan geografis, keterbatasan ekonomi dan kurangnya akses masyarakat ke
asuransi kesehatan (Nugraheni et al., 2020; Rizkianti et al., 2020). Selain itu, sistem
kesehatan, khususnya sistem rujukan, belum mampu mempengaruhi perilaku penyedia
layanan kesehatan dan tindakan pencarian layanan kesehatan masyarakat sedemikian rupa
sehingga luaran (outcome) kesehatan dapat meningkat (Thabrany et al., 2017; Sartika dan
Masahin, 2020; Handriani dan Meleniani, 2015). Di Indonesia, sekitar 75% dari kematian
ibu terjadi tepat setelah, dan dalam waktu 48 jam setelah persalinan, sementara 58% dari
kematian neonatus terjadi 48 jam setelah kelahiran; dan 70% dari kematian tersebut
sesungguhnya dapat dicegah (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2018). Terkait dengan
hal ini, salah satu faktor yang turut berperan dalam stagnasi perbaikan luaran KMN di
Indonesia adalah tantangan seputar sistem rujukan layanan kesehatan maternal dan
neonatal (KMN), terutama antara fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) dan rumah sakit
(Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2018; lihat Kotak 1). Saat ini belum ada data yang
jelas apakah sistem pembiayaan turut mendorong penyedia layanan untuk menerapkan
praktik rujukan tertentu.
1 Angka kematian ibu adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup; angka kematian bayi adalah 24 per
1.000 lahir hidup (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015, 2017).
Kotak 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rujukan Maternal dan Neonatal di Indonesia
Di Indonesia, hambatan terhadap rujukan tepat waktu dan layanan pra- dan pasca-rujukan yang
berkualitas adalah sebagai berikut:
• Hambatan transportasi di mana transportasi darurat tidak tersedia sedangkan untuk transportasi swasta ada biaya yang harus ditanggung.
• Ketidakpastian di mana layanan gawat darurat dapat diperoleh sehingga pasien harus datang ke beberapa rumah sakit sebelum dapat memperoleh pertolongan.
• Kesulitan mengkoordinasi sistem publik dan swasta, termasuk dengan rumah sakit swasta dan praktik mandiri bidan.
• Ketiadaan protokol standar penanganan komplikasi dan rujukan darurat antara puskesmas dan rumah sakit.
• Keengganan untuk menerima pasien dari keluarga miskin yang ditanggung jaminan kesehatan nasional.
• Ketiadaan dokumentasi pendaftaran asuransi kesehatan yang sesuai.
• Jarak ke fasilitas kesehatan.
• Kekurangan tenaga kesehatan yang berkualifikasi.
• Fasilitas kesehatan yang penuh sesak.
• Akreditasi fasilitas kesehatan yang sub-optimal.
Sumber: Pedrana et al., 2019
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
5
Untuk mencegah dan mengurangi angka morbiditas dan kematian ibu dan bayi baru lahir,
maka layanan berkualitas tinggi harus diberikan secepat mungkin segera setelah komplikasi
kehamilan atau persalinan terjadi. Sejak awal timbulnya komplikasi kebidanan, layanan
berkualitas yang tepat waktu harus diberikan tanpa penundaan yang dapat berakibat buruk
bagi kesehatan. Sebagai contoh adalah model “tiga terlambat” yang menyatakan bahwa
penyebab kematian yang berkaitan dengan kehamilan adalah keterlambatan ibu hamil untuk
memutuskan mencari pertolongan tenaga kesehatan, untuk datang ke fasilitas yang mampu
memberi layanan kebidanan, dan untuk menerima layanan kesehatan yang tepat di fasilitas
yang bersangkutan (Thaddeus dan Maine, 1994). Sistem rujukan KMN yang efektif dan
efisien diharapkan dapat mendorong rujukan tepat waktu bagi ibu dan bayi baru lahir yang
mengalami kesulitan dalam persalinan atau masalah kesehatan ke fasilitas yang mampu
menangani kasus-kasus gawat darurat. Ini termasuk merujuk wanita dengan kehamilan
berisiko tinggi (yaitu wanita yang lebih berisiko mengalami komplikasi saat bersalin) secara
tepat ke rumah sakit atau faskes yang mampu menangani kegawatdaruratan kebidanan
sebelum persalinan.
Sesuai dengan sistem rujukan berjenjang yang diterapkan di Indonesia,2 fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) berperan sebagai penjaga gawang (gatekeeper) untuk semua
layanan kesehatan termasuk layanan KMN (BPJS-K, 2014a, 2014c). Hal ini berarti wanita
memiliki pilihan-pilihan penyedia layanan di tingkat layanan kesehatan terendah (seperti
puskesmas yang merupakan faskes primer milik pemerintah) tapi tidak dapat datang
langsung ke faskes di jenjang layanan lebih tinggi (seperti rumah sakit) tanpa memperoleh
surat rujukan terlebih dahulu (BPJS-K, 2014a,
2014b, 2014c). Perpindahan dari rumah sakit
tipe lebih rendah ke tipe lebih tinggi (misalnya
dari Tipe D ke Tipe C) saat pengobatan tidak
tersedia di jenjang yang lebih rendah, juga
memerlukan surat rujukan. Pada
pelaksanaannya, terlepas dari aturan rujukan
dan mekanisme penjaga gawang tersebut,
sistem rujukan yang telah dibentuk kurang
efisien dan pasien banyak mengalami rujukan
berulang (Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2018).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
pembiayaan dan dukungan pembayaran untuk
layanan KMN di tingkat layanan primer
(termasuk layanan bidan) dan sekunder, di
sektor publik maupun swasta, dapat mendorong
dilakukannya rujukan tepat waktu dan
pemberian layanan yang memadai, yang berarti
kualitas perawatan yang lebih baik (Wright dan
Eichler, 2018; Kamau et al., 2017). Faktor-faktor
ini mencakup ketersediaan sarana transportasi
dan biaya, koordinasi antar penyedia layanan,
pemanfaatan sistem komunikasi dan informasi
terpadu, ketersediaan layanan berkualitas
tinggi, dan masih banyak lagi (lihat Kotak 1 di
halaman sebelumnya).
2 Berdasarkan PMK No. 3/2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Tujuan
Dokumen ini merangkum beberapa
temuan spesifik untuk memahami
bagaimana struktur pembiayaan dan
insentif yang dimiliki penyedia layanan
kesehatan berperan dalam pelaksanaan
rujukan KMN yang tepat dan tepat waktu.
Selain itu juga disajikan beberapa aspek
yang dapat mempengaruhi praktik
rujukan penyedia layanan primer,
termasuk praktik mandiri bidan.
Dokumen ringkas ini menyajikan bukti
untuk pertanyaan penelitian berikut:
1. Apakah sistem rujukan KMN saat ini
berorientasi pada efisiensi di mana
rujukan dilakukan tepat waktu dan
dengan tepat?
2. Bagaimana penyedia layanan
kesehatan membiayai biaya rujukan,
termasuk biaya transportasi?
3. Apakah skema insentif yang saat ini
berlaku untuk rujukan KMN oleh
praktik mandiri bidan memadai untuk
memperoleh hasil yang diharapkan?
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
6
Menyadari bahwa pembiayaan layanan, termasuk rujukan, mampu meningkatkan kualitas
dan kesinambungan layanan KMN, di tahun 2018 Pemerintah Indonesia membentuk
Kelompok Kerja Teknis Belanja Kesehatan Strategis (TWG SHP) yang beranggotakan
berbagai pemangku kepentingan dan para ahli untuk memberi informasi yang membantu
Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Kesehatan (BPJS-K)
membuat keputusan mengenai layanan KMN yaitu layanan apa yang perlu disediakan, dari
penyedia layanan mana, dan dengan mekanisme pembiayaan seperti bagaimana. Tujuan
dari Kelompok Kerja Teknis adalah untuk mengembangkan rekomendasi kebijakan yang
dapat merevisi pengaturan pembiayaan dan belanja kesehatan saat ini sedemikian rupa
sehingga tercipta insentif untuk penyediaan layanan KMN, termasuk rujukan, yang efisien
dan berkualitas tinggi.
Untuk mendukung kelompok kerja tersebut, proyek Health Policy Plus (HP+) dengan
dukungan dana Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), bermitra dengan Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK)-Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
serta Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM)
melaksanakan survei dan pengumpulan data primer dari fasilitas kesehatan primer dan
sekunder, publik dan swasta, termasuk praktik mandiri bidan, dan melakukan wawancara
dengan wakil pemerintah daerah di 24 kabupaten/kota, delapan provinsi di Indonesia
antara bulan November 2019 dan Februari 2020. Metodologi, definisi dan masukan teknis
terkait dengan studi dijelaskan di Lampiran Rincian Metodologi dalam laporan HP+ yang
berkaitan yang disusun oleh Stein et al. (2020).
Temuan
1. Apakah Sistem Rujukan KMN Saat Ini Berorientasi pada
Efisiensi di mana Rujukan Dilakukan Tepat Waktu dan dengan
Tepat?
Untuk menilai efisiensi layanan rujukan KMN, HP+ meneliti apakah faskes kesehatan
tingkat primer (FKTP) memenuhi peran mereka sebagai penjaga gawang dan tidak merujuk
ke atas kasus-kasus yang tidak memiliki indikasi medis yang cukup. Di Indonesia, wanita
hamil perlu memiliki surat rujukan dari FKTP sebelum dapat memperoleh layanan
spesialistik di rumah sakit, dan bahkan dianjurkan untuk bersalin di FKTP. Rujukan hanya
dilakukan untuk kasus gawat darurat (BPJS-K, 2014c).3 Bila wanita hamil melangkahi
fasilitas jenjang lebih rendah dan datang langsung ke rumah sakit, atau bila penyedia
layanan primer merujuk wanita hamil ke rumah sakit untuk layanan yang sesungguhnya
dapat diberikan di tingkat primer, maka ada kemungkinan rancangan sistem yang
diterapkan saat ini kurang efisien. Untuk itu, HP+ menilai tingkat penolakan (rejection) dan
penampikan (refusal), yang dalam sistem rujukan yang efisien di mana rujukan dilakukan
secara tepat dan tepat waktu ke jenjang yang lebih tinggi yang mampu menangani kasus-
kasus gawat darurat, seharusnya relatif rendah. Berikut ini adalah beberapa bukti tentang
efisiensi sistem rujukan layanan KMN di Indonesia.
Layanan KMN yang kurang berkualitas berdampak pada peran penyedia
layanan primer sebagai penjaga gawang. Beberapa penelitian menunjukkan bukti
bahwa fasilitas kesehatan tingkat primer tidak mampu menjalankan peran mereka sebagai
penjaga gawang secara efisien sehingga banyak wanita di Indonesia melangkahi jenjang
3 BPJS-K menetapkan kondisi gawat darurat sebagai perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban
pecah dini, gawat janin, dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayi (BPJS-K, 2014b).
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
7
layanan yang lebih rendah dan langsung datang ke rumah sakit untuk memperoleh layanan
KMN yang lebih berkualitas, sekalipun untuk kondisi yang tidak memerlukan layanan
rumah sakit (Wilopo et al., 2020; Thabrany et al., 2017; wawancara informan kunci dengan
pakar KMN). Perilaku ini mungkin merupakan sebuah reaksi atas persepsi bahwa kualitas
layanan di tingkat primer buruk (Bapna et al., 1991; Leonard et al., 2002; Kruk et al., 2014,
2009; Kahabuka et al., 2011; Parkhurst dan Ssengooba, 2009). Ketidakmampuan penyedia
layanan primer untuk memberi layanan persalinan yang berkualitas mungkin juga menjadi
salah satu faktor kunci mengapa wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi juga mencari
layanan KMN di rumah sakit. Di antara penyedia layanan primer yang menjadi sampel studi,
kualitas teknis untuk layanan persalinan (atau kemampuan penyedia layanan memberi
layanan kebidanan dan bayi baru lahir rutin maupun darurat yang berkualitas) rendah
(Stein et al., 2020).4
Tingkat kecukupan pembayaran skema jaminan kesehatan nasional (JKN) yang
rendah untuk layanan KMN dapat meningkatkan rujukan ke jenjang yang lebih
tinggi. Sesuai temuan HP+, di beragam layanan KMN, penyedia layanan memiliki pendapat
yang sangat bervariasi tentang apakah pembayaran dan penggantian biaya dari JKN
memadai untuk menutupi biaya langsung penyediaan tiap layanan KMN. Secara khusus,
tingkat kecukupan pembiayaan JKN lebih banyak dilaporkan oleh rumah sakit daripada oleh
penyedia layanan primer (Stein et al., 2020). Rendahnya kecukupan pembayaran JKN di
faskes tingkat primer berpotensi mendorong mereka untuk merujuk wanita hamil ke rumah
sakit lebih daripada yang diperlukan, yang membuat layanan semakin tidak efisien dan
semakin membebani sumber daya manusia dan keuangan di rumah sakit.
Kepadatan berlebih dan keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan
penolakan dan penampikan rujukan. Peran penjaga gawang yang kurang efisien dan
insentif penyedia layanan primer untuk merujuk wanita hamil ke rumah sakit dapat
menimbulkan kepadatan berlebih di jenjang layanan kesehatan yang lebih tinggi di
Indonesia. Ini juga menjadi salah satu penyebab penolakan dan penampikan rujukan. Di
antara faskes sampel, 14% dari puskesmas dan 31% dari praktik mandiri bidan (PMB)
mengatakan bahwa pasien mereka pernah ditolak atau ditampik oleh faskes di jenjang lebih
tinggi dengan berbagai alasan. Alasan yang paling umum, menurut puskesmas dan PMB
adalah keterbatasan ruangan/ruang operasi, keterbatasan perlengkapan dan alat, serta
ketiadaan dokter spesialis untuk memberi layanan yang dibutuhkan. Di kalangan rumah
sakit, alasan yang paling umum dikemukakan ketika melakukan penolakan dan penampikan
pasien adalah fasilitas yang terlalu penuh dengan antrian panjang, selain juga keterbatasan
alat, tes, perlengkapan dan obat (lihat Gambar 1).
4 Lihat laporan HP+ terkait (Stein et al., 2020) yang menjelaskan secara rinci tentang kapasitas
penyedia layanan untuk memberi layanan persalinan yang berkualitas.
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
8
Gambar 1. Alasan Penolakan Rujukan yang Paling Umum Dikemukakan Penyedia
Layanan
2. Bagaimana Penyedia Layanan Kesehatan Membiayai Biaya
Rujukan, Termasuk Biaya Transportasi?
Di Indonesia, transportasi rujukan ke atas dan ke bawah dibayar oleh BPJS-K ke penyedia
layanan dengan mekanisme fee-for-service. Ini merupakan salah satu sumber pendanaan
utama untuk rujukan bagi puskesmas dan klinik swasta kecil yang dikelola oleh dokter
umum, yang disebut klinik pratama. Pembayaran dapat dipakai untuk transportasi pasien
dari FKTP ke rumah sakit dengan ambulans, dan juga untuk rujukan balik (BPJS-K, 2014d).5
Pemerintah daerah diharapkan mengalokasikan sebagian dana mereka untuk biaya
transportasi rujukan dan transportasi darurat dan menetapkan besaran penggantian biaya
transportasi yang sesuai untuk wilayah mereka masing-masing. Akan tetapi, bukti
menunjukkan bahwa dana fee-for-service (melalui mekanisme non-kapitasi BPJS-K) untuk
layanan rujukan tidak dimanfaatkan secara optimal karena petunjuk penggunaan dan
persyaratan administrasi untuk memperoleh penggantian biaya sangat rumit dan
membingungkan sehingga penyedia layanan tidak terdorong untuk menggunakan dana
tersebut (Yap et al., 2017; Wilopo et al., 2020; wawancara informan kunci dengan pakar
KMN).
5 Penggantian biaya untuk layanan rujukan balik hanya mencakup pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, asma, penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, epilepsi, gangguan kesehatan jiwa
kronik, stroke, sistemik lupus eritematosus, dan gejala lain yang menyebabkan situasi gawat darurat
yang harus ditangani oleh rumah sakit.
Puskesmas
Komplikasi kebidanan
Alasan penolakan yang paling
umum:
• Keterbatasan ruangan/ruang operasi tidak tersedia
• Keterbatasan perlengkapan atau alat
• Informasi medis pasien tidak lengkap/tidak adanya surat
rujukan
Alasan penolakan yang paling
umum:
• Keterbatasan ruangan • Tidak adanya spesialis
untuk melakukan operasi
sesar
• Keterbatasan obat • Keterbatasan
perlengkapan atau alat
Praktik Mandiri Bidan
Komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir
Rumah Sakit
Alasan penolakan yang paling umum:
• Rumah sakit terlalu penuh, antrian panjang
• Keterbatasan alat, tes, perlengkapan atau obat
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
9
Mengingat pentingnya ketersediaan transportasi yang terjangkau agar rujukan berlangsung
tepat waktu dan efektif, HP+ meneliti apakah pemerintah daerah memberi penggantian
biaya rujukan dan siapa yang bertanggung jawab memberi penggantian biaya awal untuk
beragam jenis rujukan. Temuan dibahas di bawah ini.
Sekitar separuh dari kabupaten/kota sampel memberi penggantian biaya
transportasi rujukan. Berdasarkan data faskes yang dimiliki HP+, hanya 54% dari
pemerintah daerah memberi penggantian biaya transportasi rujukan, dengan besaran rata-
rata kurang dari Rp. 78.400.6 Jumlah ini jauh di bawah tarif yang dipakai BPJS-K dan
program Jampersal yang memberikan Rp. 150.000 per kasus rujukan dari FKTP ke rumah
sakit.7 Terbatasnya dukungan pemerintah daerah untuk layanan rujukan KMN dapat
menyebabkan rujukan wanita dengan komplikasi ke rumah sakit kurang tepat waktu
ataupun efektif, yang semakin memperburuk tingkat efisiensi sistem dan pada akhirnya
berdampak pada hasil akhir persalinan yang kurang baik.
Data HP+ menunjukkan bahwa pasien dan fasilitas kesehatan tingkat primer kerap memikul
tanggung jawab (baik secara penuh atau sebagian) biaya transportasi rujukan. Sebagai
contoh, ketika pasien dirujuk dari praktik mandiri bidan ke FKTP, 33% FKTP mengatakan
bahwa biaya transportasi ditanggung oleh pasien, 17% melaporkan menanggung biaya
transportasi, dan 50% menyatakan bahwa tanggung jawab membayar biaya transportasi
terletak pada PMB yang merujuk (lihat Gambar 2). Selain itu, 55% FKTP mengatakan bahwa
biaya transportasi untuk rujukan antar FKTP ditanggung oleh pasien. Sebaliknya, bila pasien
dirujuk dari FKTP ke rumah sakit yang masuk jejaring JKN, maka 93% FKTP mengatakan
mereka akan menanggung biaya transportasi dan 100% mengatakan mereka akan
membayar transportasi bila pasien dirujuk ke puskesmas. Bila pasien dirujuk ke klinik
pratama, 33% FKTP mengatakan pasien akan menanggung biaya transportasi awal. HP+
juga meneliti pengaturan transportasi dari rumah tunggu kelahiran (RTK) ke fasilitas
layanan primer dan 31% dari FKTP mengatakan bahwa biaya transportasi adalah tanggung
jawab pasien (lihat Kotak 2 untuk informasi lebih lanjut tentang rumah tunggu kelahiran).
Gambar 2. Siapa yang Membayar Biaya Transportasi Awal Ketika Merujuk Ke dan Dari
Fasilitas Layanan Primer
6 Menggunakan kurs Bank Indonesia USD$ 1 ke Rp. 14.249,4 tanggal 6 November 2020. 7 Korespondensi dengan Dr. Sri Indriati, Kasie Kesehatan Keluarga, Dinas Kesehatan Kabupaten
Tangerang, Banten di bulan November 2020.
17%
54%33%
31%
55%
50%
15%
45%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Dirujuk oleh
PMB jejaring
Dirujuk oleh
rumah tunggu
kelahiran
Dirujuk oleh
Puskesmas
lain
% F
KTP
Rujukan ke FKTP
FKTP Pasien Faskes yang merujuk
93% 100%
67%
4%
33%
2%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Dirujuk ke RS
dalam jejaring
JKN
Dirujuk ke
Puskesmas lain
Dirujuk ke klinik
pratama dalam
jejaring JKN
% F
KTP
Rujukan dari FKTP
FKTP Pasien Faskes yang merujuk
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
10
Pasien bertanggung jawab untuk biaya transportasi rujukan balik dari rumah
sakit ke fasilitas kesehatan tingkat primer. Sebagian besar rumah sakit
menyampaikan bahwa biaya transportasi pasien yang dirujuk ke rumah sakit ditanggung
oleh fasilitas pengirim, terlepas dari apakah pasien berasal dari puskesmas, klinik pratama
jejaring JKN atau praktik mandiri bidan (lihat Gambar 4, grafik kiri). Akan tetapi, ketika
rumah sakit merujuk pasien kembali ke fasilitas layanan primer, maka sebagian besar FKTP
mengatakan bahwa biaya terkait dengan rujukan menjadi tanggung jawab pasien (Gambar 4,
grafik kanan). Perlu diingat bahwa BPJS-K memberi penggantian biaya untuk layanan
rujukan balik, tapi hanya untuk wanita yang sebelumnya dirujuk oleh FKTP oleh karena
kondisi darurat dan wanita yang memerlukan perawatan khusus yang hanya tersedia di
rumah sakit. Implikasi dari pembedaan struktur tanggung jawab biaya transportasi rujukan
ini adalah bahwa pasien menanggung beban keuangan terkait dengan rujukan balik untuk
melanjutkan layanan KMN mereka di fasilitas layanan primer. Wanita yang tidak mampu
menanggung biaya tersebut kemungkinan tidak akan kembali ke faskes primer untuk
melanjutkan pengobatan mereka.
Kotak 2. Transportasi dari Rumah Tunggu Kelahiran ke Puskesmas
Hanya 19% dari puskesmas dan 5% dari klinik pratama sampel mengatakan menerima
pasien wanita hamil dari rumah tunggu kelahiran (RTK). Sekitar sepertiga dari puskesmas
dan 60% dari klinik pratama tidak berada di lokasi yang dekat dengan RTK. Untuk
transportasi dari RTK ke puskesmas, 33% puskesmas mengatakan bahwa ibu hamil
menggunakan bus dari RTK (lihat Gambar 3). Sepertiga puskesmas mengirimkan satu orang
staf untuk mendampingi ibu berjalan kaki dari RTK ke faskes, sementara 44% puskesmas
mengatakan bahwa ibu hamil berjalan kaki ke puskesmas dengan didampingi staf RTK.
Gambar 3. Pengaturan Transportasi dari Rumah Tunggu Kelahiran ke Puskesmas,
sesuai laporan Puskesmas (N = 9)
44%
22%
33%
11%
33%
11%
11%
0% 10% 20% 30% 40% 50%
Rumah tunggu kelahiran biasanya menemani
pasien berjalan ke puskesmas
Puskesmas menyediakan ambulans, mobil atau
sepeda motor, bila tersedia
Puskesmas biasanya menugaskan staf
mendampingi pasien berjalan ke puskesmas
Puskesmas biasanya mengatur untuk
menggunakan kendaraan pribadi
Pasien naik bus
RTK membuat pengaturan transportasi
Lainnya
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
11
Gambar 4. Siapa yang Menanggung Biaya Transportasi Awal Ketika Merujuk Ke dan Dari
Rumah Sakit
Penggunaan beragam pedoman rujukan oleh penyedia layanan menyebabkan
regulasi rujukan kerap tidak konsisten. Dari penyedia layanan di dalam sampel, HP+
menemukan bahwa pedoman rujukan yang digunakan sebagai acuan sangat beragam (lihat
Gambar 5). Hampir separuh dari puskesmas (48%) dan 82% klinik pratama menggunakan
aturan rujukan dari BPJS-K, sementara rumah sakit kebanyakan mengacu pada aturan
rujukan dari pemerintah pusat, dan praktik mandiri bidan mengacu pada aturan rujukan
dari pemerintah kabupaten/kota. Keragaman pedoman ini membingungkan penyedia
layanan kesehatan yang kemudian sulit menentukan kriteria pasien yang dapat dirujuk,
layanan apa yang dapat memperoleh penggantian biaya, besaran penggantian, dll. Dalam
wawancara untuk studi, diperoleh bukti tentang masalah ini; misalnya, ada kasus di mana
PMB tidak menerima penggantian biaya transportasi rujukan dari BPJS-K yang berpendapat
pasien seharusnya tidak dirujuk ke rumah sakit, sementara menurut pedoman Dinkes
Kabupaten, pasien sudah memenuhi kriteria untuk dirujuk.
Gambar 5. Proporsi Penggunaan Beragam Pedoman Rujukan per Jenis Penyedia
Layanan
5% 6% 7%10% 12%
14%
86% 82% 79%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Dirujuk oleh
Puskesmas
Dirujuk oleh
klinik pratama
dlm jejaring
JKN
Dirujuk oleh
PMB dlm
jejaring JKN
% r
um
ah
sa
kit
Rujukan ke Rumah Sakit
Rumah Sakit Pasien Faskes yang merujuk
7% 8%
80% 75%78%
13% 17% 22%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Dirujuk balik
ke
Puskesmas
Dirujuk balik
ke klinik
pratama dlm
jejaring JKN
Dirujuk balik
ke PMB dlm
jejaring JKN
% r
um
ah
sa
kit
Rujukan Balik dari Rumah Sakit
Rumah Sakit Pasien Faskes yang merujuk
29%24%
45%
18%
4%9%
6%
48%
82%
36%
24%
42%
12%
32%
41%
6% 6%
24%
14%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Puskesmas
(N = 48)
Klinik Pratama
(N = 17)
Rumah Sakit
(N = 22)
Praktik Mandiri Bidan
(N = 17)
Regulasi pemerintah pusat Regulasi pemerintah provinsi
Regulasi BPJS-K Regulasi pemerintah kab/kota
Regulasi internal Puskesmas Regulasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
12
3. Apakah Skema Insentif yang Saat Ini Berlaku untuk Rujukan
KMN oleh Praktik Mandiri Bidan Memadai untuk Memperoleh
Hasil yang Diharapkan?
Bidan memegang peran penting dalam penyediaan layanan KMN di Indonesia. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, lebih
dari 60% persalinan ditolong oleh bidan
(termasuk PMB) dan 52% dari semua layanan
antenatal dilakukan oleh bidan (BKKBN et al.,
2018). Bagian ini menguraikan praktik rujukan
yang diterapkan oleh praktik mandiri bidan, dan
bagaimana pengaturan penggantian biaya oleh
JKN berdampak pada layanan bidan.8
Walaupun praktik mandiri bidan memberi
kontribusi yang signifikan terhadap layanan
antenatal dan persalinan secara keseluruhan,
bukti yang ada juga menunjukkan bahwa layanan
rujukan yang dilakukan bidan tidaklah efektif
(Yap et al., 2017) (lihat Kotak 3 tentang tantangan
seputar layanan KMN yang diberikan bidan).
Melalui diskusi dengan berbagai pakar KMN—
termasuk dengan wakil Ikatan Bidan Indonesia
(IBI)—diperoleh gambaran bahwa walaupun
perlu, PMB sering tidak merujuk pasien ke
jenjang yang lebih tinggi dan bersikeras memberi
pertolongan persalinan di fasilitas mereka
sendiri. Hal ini, ditambah dengan terbatasnya
kemampuan bidan menangani kasus gawat
darurat kebidanan, serta praktik rujukan darurat
yang kerap terlambat semakin meningkatkan
risiko persalinan dengan hasil akhir yang buruk.
Tingkat penggantian biaya yang tidak memadai untuk layanan pra-rujukan dan
transportasi rujukan yang diberikan praktik mandiri bidan. Praktik mandiri bidan
mungkin memiliki insentif untuk memberi pertolongan persalinan di fasilitas mereka dan
tidak merujuk pasien ke fasilitas kesehatan di jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana
dibahas sebelumnya, akibat pedoman rujukan yang tidak konsisten, PMB kerap harus
menanggung biaya transportasi pasien yang mereka rujuk. Selain itu, dari PMB yang
menjadi sampel studi – di mana semuanya telah berjejaring dengan BPJS-K, hanya 28% dari
PMB mengatakan menerima penggantian biaya dari JKN (melalui FKTP induk) untuk
layanan pra-rujukan yang diberikan (lihat Gambar 6), dan hanya 6% dari PMB mengatakan
bahwa pembayaran JKN mampu menutupi biaya langsung penyediaan layanan pra-rujukan
mereka (lihat Gambar 7).
8 Praktik Mandiri Bidan tidak dapat berkontrak langsung dengan BPJS-K. Untuk menerima
penggantian biaya dari JKN untuk layanan KMN, PMB harus membangun jejaring dengan klinik
dokter umum, klinik pratama, atau puskesmas (berdasarkan: PMK No. 71/2013 dan PMK No.
99/2015).
Kotak 3. Tantangan Utama seputar
Layanan KMN yang Diberikan
Bidan
• Bidan sering menawarkan untuk
menolong persalinan di rumah
(bukan di fasilitas kesehatan).
• Indonesia tidak memiliki standar
pelatihan kebidanan pra-jabatan;
akibatnya, tingkat keterampilan
bidan sangat bervariasi. Bidan
sering tidak mampu menstabilkan
pasien dalam kondisi darurat dan
tidak tahu kapan wanita hamil
perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih tinggi.
• BPJS-K tidak dapat membuat
kontrak langsung dengan PMB dan
ini menyebabkan terjadi
kekurangan tenaga bidan di
puskesmas dan rumah sakit.
Sumber: Teplitskaya dan Dutta, 2018
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
13
Gambar 6. Praktik Mandiri Bidan yg
Mengatakan Menerima Penggantian Biaya
JKN untuk Layanan Pra-rujukan di
Th.2018 (N = 18)
Gambar 7. Praktik Mandiri Bidan yg
Mengatakan Penggantian Biaya Layanan
Pra-Rujukan dari JKN Dapat Menutupi
Biaya Penyediaan Layanan (N = 18)
Terbatasnya kapasitas praktik mandiri bidan untuk memenuhi persyaratan
dokumentasi rujukan. Penggantian biaya layanan pra-rujukan dan transportasi yang
diberikan pada praktik mandiri bidan tergantung pada kelengkapan dokumentasi rujukan.9
Kemampuan bidan untuk melakukan dokumentasi dengan baik tergantung pada sistem
rujukan yang mereka gunakan. Sistem rujukan elektronik dirancang untuk
menyederhanakan proses kodifikasi pasien dan membantu bidan membuat dokumentasi
rujukan. Akan tetapi, walaupun mayoritas penyedia layanan kesehatan telah menggunakan
minimal satu sistem rujukan elektronik, 83% dari praktik mandiri bidan masih belum
menggunakan sistem e-rujukan sama sekali (lihat Gambar 8). Saat ini masih belum jelas
apakah hal ini mengurangi kapasitas bidan menyiapkan dokumentasi yang diperlukan,
sehingga kemampuan mereka memperoleh penggantian biaya untuk layanan rujukan dan
mempertahankan keberlangsungan praktik bidan mereka juga terdampak.
Gambar 8. Proporsi Penggunaan Sistem e-Rujukan, per Jenis Penyedia Layanan
9 Sebagai contoh, dokumen yang dibutuhkan untuk penggantian biaya transportasi (ambulans): (1)
rekam medis pasien dari faskes yang merujuk, (2) salinan kartu identitas pasien, dan (3) bukti
layanan ambulans. Penjelasan lengkap dapat diperoleh dari Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan, tersedia di
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/5fb1dc8414591e392ab5a3f70e2ab35a.pdf.
28%
72%
0% 50% 100%
Ya
Tidak 6% 94%
0% 50% 100%
Layanan pra-rujukan
“Selalu” atau “sering” menutupi biaya langsung
“Kadang” atau “tdk pernah” menutupi biaya
langsung
85%
95%
86%
11%13% 10%
32%
6%2% 0%
6%10%
5% 5%
83%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Puskesmas Klinik Pratama Rumah Sakit Praktik Mandiri
Bidan
Sistem P-care dari BPJS-K
Sistem Informasi Rumah Sakit
Sistem Informasi Rujukan
Terintegrasi (SISRUTE)
Sistem rujukan daring
Tidak ada
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/5fb1dc8414591e392ab5a3f70e2ab35a.pdf
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
14
Rekomendasi
Sistem rujukan di Indonesia memberi amanat bahwa layanan KMN perlu diberikan di
tingkat layanan primer, kecuali kasus gawat darurat dan komplikasi persalinan. Dalam
sistem rujukan, fasilitas kesehatan primer berperan penting sebagai penjaga gawang untuk
mencegah rujukan ke atas yang tidak perlu, dan memberi layanan rujukan yang tepat secara
tepat waktu. Akan tetapi, perilaku dan praktik rujukan dari faskes tingkat primer
dipengaruhi oleh sistem pembiayaan dan pembayaran layanan KMN yang mereka terima.
Studi ini menemukan bahwa kapasitas faskes primer yang lemah, disertai dengan
pembayaran JKN yang tidak dapat menutupi biaya penyediaan layanan KMN meningkatkan
kemungkinan pasien dirujuk ke fasilitas di jenjang yang lebih tinggi. HP+ juga menemukan
bahwa pasien KMN yang dirujuk memikul beban keuangan yang cukup signifikan karena
biaya transportasi menjadi tanggung jawab pasien, khususnya ketika mereka dirujuk balik
Kotak 4. Hubungan antara Praktik Mandiri Bidan dengan JKN Lemah
Praktik Mandiri Bidan tidak dapat membuat kontrak langsung dengan JKN—mereka perlu
berjejaring dengan fasilitas tingkat primer untuk dapat menerima penggantian biaya dari JKN.
Alhasil, PMB tidak dapat memanfaatkan sistem penggantian biaya dan rujukan JKN (Wilopo
et al., 2020). HP+ menemukan bahwa hanya 6% dari FKTP sampel yang mengatakan
membuat kontrak dengan PMB untuk penyediaan layanan (lihat Gambar 9). Selain itu, tiap
puskesmas berjejaring dengan rata-rata 2,3 PMB, dan tiap klinik pratama berjejaring dengan
rata-rata 3,0 PMB (lihat Gambar 10).
Sebanyak 83% PMB mengatakan ingin berkontrak dengan JKN; yang paling sering disebutkan
adalah kontrak melalui organisasi profesi (seperti IBI) atau kontrak langsung dengan JKN
(lihat Gambar 11). Hampir separuh (47%) dari PMB mengatakan ingin berkontrak langsung
dengan JKN untuk mengurangi beban administrasi; 33% mengatakan ingin memperoleh
manfaat dari penggantian biaya.
Gambar 11. Jenis Kontrak yang menjadi Preferensi PMB (N = 15)
27%
33%
7%
33%
0% 10% 20% 30% 40% 50%
Jaringan bidan (contoh: Bidan Delima)
Organisasi profesi (contoh: IBI)
Rumah bersalin
Kontrak langsung
6%
15%
0% 10% 20%
Puskesmas (N = 48)
Klinik pratama (N = 20)
Figure 9. Proporsi FKTP yang Mengatakan
Berjejaring dengan PMB untuk Penyediaan
Layaan KMN
2.3
3.0
-1 1 3 5
Puskesmas (N = 3)
Klinim pratama (N = 3)
Gambar 10: Rata-rata Jumlah
PMB yang Berjejaring per FKTP
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
15
dari rumah sakit ke FKTP. Berdasarkan hal ini dan berbagai temuan lain, HP+ mengusulkan
beberapa perubahan terhadap pengaturan pembiayaan rujukan KMN di Indonesia.
Pertama, kapasitas dan kemampuan penyedia layanan di tingkat primer perlu
ditingkatkan agar mereka dapat memberi layanan KMN yang berkualitas dan
meningkatkan luaran kesehatan yang lebih baik, mengurangi jumlah rujukan
yang tidak perlu, dan memastikan rujukan yang perlu dapat terlaksana tepat
waktu dan memadai. Selain inisiatif perbaikan kualitas, BPJS-K perlu meninjau ulang
pengaturan penggantian biaya layanan KMN yang mereka terapkan. Bagian pertama dari
studi ini (lihat laporan pendamping HP+ oleh Stein et al. [2020]) melaporkan bahwa
pendanaan dari BPJS-K memberi kontribusi yang cukup signifikan ke total pendapatan
penyedia layanan kesehatan, khususnya penyedia layanan swasta yang merupakan faskes
pilihan untuk layanan KMN bagi mayoritas wanita Indonesia. Hal ini memberi peluang bagi
BPJS-K untuk membentuk perilaku penyedia layanan terkait dengan kualitas layanan dan
rujukan melalui insentif pembiayaan dan pembayaran. Untuk pengelolaan yang lebih baik
dan perbaikan tata kelola antar penyedia layanan, mekanisme penggantian biaya perlu
ditinjau ulang. Secara khusus perlu diterapkan sistem pembayaran penyedia layanan
berdasarkan kualitas, dan penggantian biaya layanan KMN di tingkat primer melalui
mekanisme fee-for-service juga perlu ditingkatkan agar lebih mampu menutupi biaya
penyediaan layanan. Ini semua mendorong perbaikan kualitas layanan, dan rujukan yang
tepat dan tepat waktu. Evaluasi ulang perlu berfokus pada hal-hal berikut:
• Pemberian insentif yang lebih baik (didasarkan pada kualitas layanan) kepada semua
jenis penyedia layanan kesehatan di jenjang yang lebih rendah, termasuk puskesmas,
klinik pratama, dan praktik mandiri bidan, harus dapat mendorong mereka untuk
menyediakan layanan KMN berkualitas tinggi dan mengurangi insentif untuk
merujuk pasien yang tidak berisiko tinggi atau bukan dalam kondisi darurat untuk
memperoleh layanan KMN di rumah sakit. Perbaikan mekanisme pembiayaan perlu
didampingi dengan peningkatan otonomi penyedia layanan untuk menggunakan
dana sesuai kebutuhan dalam rangka perbaikan kualitas dan penyediaan layanan
(Stein et al., 2020).
• Identifikasi cara untuk mengurangi beban ekonomi dan keuangan yang dipikul
wanita hamil selama proses rujukan antar fasilitas kesehatan tingkat primer,
khususnya dalam rujukan balik dari rumah sakit ke puskesmas.
• Penguatan hubungan praktik mandiri bidan dengan sistem JKN melalui mekanisme
kontrak langsung dengan tiap PMB. Mayoritas PMB dalam sampel HP+ lebih
memilih untuk berkontrak langsung dengan BPJS-K atau dengan IBI. Pembayaran ke
PMB juga perlu dikaitkan dengan standar kualitas yang lebih tinggi, atau bahkan
dengan sertifikasi IBI, untuk mendorong peningkatan kualitas layanan. Secara
umum, IBI dapat mengevaluasi standar kualitas dan protokol, dan memberi insentif
tidak langsung untuk penguatan kualitas layanan rutin yang diberikan oleh anggota
IBI. BPJS-K perlu melakukan evaluasi akan kemungkinan pemberian penggantian
biaya yang lebih tinggi bagi PMB yang memenuhi sertifikasi IBI. Akhirnya, mayoritas
PMB tidak menerima penggantian biaya transportasi dan layanan pra-rujukan;
skema pembayaran yang baru harus mampu mengatasi isu ini agar PMB memiliki
insentif yang tepat untuk menyediakan layanan yang lebih berkualitas dan merujuk
pasien secara lebih tepat waktu.
Kedua, BPJS-K, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah perlu
membentuk koordinasi yang lebih erat dan permanen dan merampingkan
beragam pedoman rujukan yang digunakan. Studi ini menyajikan bukti bahwa
masing-masing penyedia layanan kesehatan menggunakan pedoman rujukan yang berbeda,
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
16
dan mengapa tiap pedoman memiliki interpretasi yang berbeda tentang cakupan layanan
adalah hal yang penting untuk dipahami. Selain itu perlu ada konsistensi antar pedoman
untuk mengurangi inefisiensi dalam sistem rujukan KMN dan menyelaraskan seluruh
insentif.
Rujukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Kesehatan (BPJS-K). 2014a. Buku Panduan Praktis
[Gatekeeper Concept]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/49.
———. 2014b. Buku Panduan Praktis Kebidanan dan Neonatal [Obstetric and Neonatal
Practical Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/38.
———. 2014c. Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang [Tiered Referral System
Practical Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/37.
———. 2014d. Buku Panduan Praktis Pelayanan Ambulan [Ambulance Service Practical
Handbook]. Available at: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/44.
Bapna, J.S., D. Tekur, S.C. Pradham, and C.H. Shashindran. 1991. “Why Patients Prefer
Referral Hospitals.” World Health Forum 12(3): 344–345.
Handriani, I. and S. Meleniani. 2015. “Pengaruh Proses Rujukan dan Komplikasi Terhadap
Kematian Ibu.” Jurnal Berkala Epidemiologi 3(3): 400–411.
Indonesian Academy of Sciences. 2018. Evidence Summit on Reducing Maternal and
Neonatal Mortality in Indonesia. Jakarta: Indonesian Academy of Sciences.
Kahabuka, C., G. Kvåle, K.M. Moland, and S.G. Hinderaker. 2011. “Why Caretakers Bypass
Primary Health Care Facilities For Child Care - A Case from Rural Tanzania.” BMC Health
Services Research doi:10.1186/1472-6963-11-315.
Kamau, K.J., B.O. Osuga, and S. Njuguna. 2017. “Challenges Facing Implementation of
Referral System for Quality Health Care Services In Kiambu County, Kenya.” Health Systems
and Policy Research 4:1, doi: 10.21767/2254-9137.100067.
Kruk, M.E., S. Hermosilla, E. Larson, and G.M. Mbaruku. 2014. “Bypassing Primary Care
Clinics for Childbirth: A Cross-Sectional Study in the Pwani Region, United Republic of
Tanzania.” Bulletin of the World Health Organization 92: 246–253.
Kruk, M.E., G. Mbaruku, C.W. McCord, M. Moran, P. Rockers, et al. 2009. “Bypassing
Primary Care Facilities for Childbirth: A Population-Based Study in Rural Tanzania.” Health
Policy and Planning 24(4): 279–288.
Leonard, K.L., G.R. Mliga, and D. Haile Mariam. 2002. “Bypassing Health Centres in
Tanzania: Revealed Preferences for Quality.” Journal of African Economies 11(4): 441–471.
National Population and Family Planning Board (BKKBN), Statistics Indonesia (BPS),
Ministry of Health (Kemenkes), and ICF. 2018. Indonesia Demographic and Health Survey
2017. Jakarta, Indonesia: BKKBN, BPS, Kemenkes, and ICF.
Nugraheni, W.P., R. Mubasyiroh, and R.K. Hartono. 2020. “The Influence of Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) on the Cost of Delivery Services in Indonesia.” PLoS ONE 15(7):
e0235176.
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/49https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/38https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/37https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/44
-
Apakah Perbaikan Mekanisme Pembiayaan akan Mendorong Dilakukannya Rujukan Tepat Waktu dan
Terjangkau bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia?
17
Parkhurst, J.O. and F. Ssengooba. 2009. “Assessing Access Barriers to Maternal Health Care:
Measuring Bypassing to Identify Health Centre Needs in Rural Uganda.” Health Policy and
Planning 24(5): 377–384.
Pedrana, A., S.N. Qomariyah, M. Tholandi, B. Wijayanto, T. Gandawidjaja, et al. 2019.
“Assessing the Effect of the Expanding Maternal and Neonatal Survival Program on
Improving Stabilization and Referral for Maternal and Newborn Complications in
Indonesia.” International Journal of Gynecology & Obstetrics 144; 30–41.
Rizkianti, A., T. Afifah, I. Saptarini, and M.F. Rakhmadi. 2020. “Women’s Decision-Making
Autonomy in the Household and the Use of Maternal Health Services: An Indonesian Case
Study.” Midwifery 90: 102816.
Sartika, I. and A. Masahin. 2020. “Analysis of the Implementation of Online Referral for
National Health Security Participant at PKU Muhammadiyah Karanganyar Hospital.”
STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan 09(01): 286–296.
Statistics Indonesia. 2015. “Maternal Mortality Rate by Island.” Available at:
https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/05/1439/angka-kematian-ibu-menurut-
pulau-per-100-000-kelahiran-hidup-2015.html.
Statistics Indonesia. 2017. “Infant Mortality Rate (IMR) Per 1000 Live Births by Province.”
Available at: https://www.bps.go.id/dynamictable/2019/10/06/1688/angka-kematian-bayi-
akb-per-1000-kelahiran-hidup-menurut-provinsi-2012-dan-2017.html.
Stein, D., M.F. Rakhmadi, J. Ugaz, and A. Dutta. 2020. Does Better Financing Enable
Delivery of Higher Quality Maternal Health Services in Indonesia? Evidence from
Providers and Local Governments. Washington, DC: Palladium, Health Policy Plus.
Teplitskaya, L. and A. Dutta. 2018. Has Indonesia’s National Health Insurance Scheme
Improved Access to Maternal and Newborn Health Services? Washington, DC: Palladium,
Health Policy Plus.
Thabrany, H., E. Setiawan, G.C. Puteri, U.K. Qodarina, A.S. Pujiastuti, et al. 2017. Studi
Evaluasi Penyelenggaraan Sistem Rujukan Berjenjang Era JKN-KIS. BPJS Kesehatan.
Thaddeus, S. and D. Maine. 1994. “Too Far to Walk: Maternal Mortality in Context.” Social
Science & Medicine 38(8): 1091–1110.
Wilopo, S., A. Wahdi, H. Thabrany, and A. Pattnaik. 2020. Bringing Private Midwives into
Indonesia’s National Health Insurance Scheme: A Landscape Analysis. Washington, DC:
Universitas Gadjah Mada and ThinkWell.
Wright, J. and R. Eichler. 2018. “A Review of Initiatives that Link Provider Payment with
Quality Measurement of Maternal Health Services in Low-and Middle-Income
Countries.” Health Systems & Reform 4(2): 77–92.
Yap, W.A., E.S. Pambudi, P. Marzoeki, J. Salcedo Cain, and A. Tandon. 2017. Revealing the
Missing Link: Private Sector Supply-Side Readiness for Primary Maternal Health Services
in Indonesia. Washington: World Bank Group.
https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/05/1439/angka-kematian-ibu-menurut-pulau-per-100-000-kelahiran-hidup-2015.htmlhttps://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/05/1439/angka-kematian-ibu-menurut-pulau-per-100-000-kelahiran-hidup-2015.htmlhttps://www.bps.go.id/dynamictable/2019/10/06/1688/angka-kematian-bayi-akb-per-1000-kelahiran-hidup-menurut-provinsi-2012-dan-2017.htmlhttps://www.bps.go.id/dynamictable/2019/10/06/1688/angka-kematian-bayi-akb-per-1000-kelahiran-hidup-menurut-provinsi-2012-dan-2017.html
-
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Health Policy Plus
Palladium
1331 Pennsylvania Ave NW, Suite 600
Washington, DC 20004
Tel: (202) 775-9680
Fax: (202) 775-9694
Email: [email protected]
www.healthpolicyplus.com
MNH FR Report 2_Referral_IND.pdfDaftar IsiRingkasanLatar BelakangTemuanRekomendasiRujukan