pendidikan kewarganegaraan sebagai filter dalam globalisasi pendidikan serta menanamkan nasionalisme...
Post on 24-Dec-2015
101 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI FILTER DALAM GLOBALISASI PENDIDIKAN SERTA MENANAMKAN NASIONALISME RASA CINTA KEPADA TANAH AIR DI SEKOLAH.
OlehChola Wati,FIS
Jurusan Pendidikan Pancasila Dan KewarganegaraanUniversitas Negeri Semarang
Abstrak
Perubahan masyarakat berjalan begitu cepat, dan sistem sosialpun mengalami perubahan yang
cukup signifikan.Dilematika perubahan sosial tersebut mempengaruhi perubahan individu, dan
berdampak pula terhadap bidang kehidupan yang lainnya.Salah satunya bidang pendidikan pun
tidak bisa terlepas dari dampak perubahan sosial tersebut. Hal ini akan berpengaruh juga
terhadap pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik. Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai salah satu mata pelajaran yang berbasis nilai akan menjadi salah satu alternatif dan filter
dalam mengembangkan karakter peserta didik ditengah globalisasi pendidikan. Perubahan sosial
dan Kemajuan iptek yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa
dampak tersendiri bagi dunia pendidikan dalam masyarakat dapat juga berdampak terhadap
pergeseran nilai-nilai nasionalisme yang dapat menganggu internalisasi nilai sebagaimana yang
diusung dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Oleh karena itu perlu
adanya pendidikan kewarganegaraan sebagai filter, dalam globalisasi pendidikan yang sekarang
dirasakan sudah menjadi permasalahan global.serta menanamkan rasa cinta tanah air sebagai
upaya dalam meningkatkan rasa kepedulian terhadap pendidikan yang melalui pendidikan
kewarganegaraan.
Kata Kunci : Globalisasi Pendidikan,Pendidikan Kewarganegaraan,Karakter Cinta Tanah Air
Abstrak, Changes in society goes so fast , and the system sosialpun undergo considerable
changes signifikan.Dilematika social change affects individual change and have an impact on the
field of life lainnya.Salah only education could not be separated from the effects of social change
. This will also affect the formation and character development of students . Citizenship
Education as one of the subjects that will be based on the value of one alternative and filters in
developing the character of students amid the globalization of education . Advances in science
and technology and social changes are accompanied by the hardness of globalization 's impact
for the world of education in society can also affect a shift in the values of nationalism that may
interfere with the internalization of values as that carried in Civics subject in school . Hence the
need for civic education as a filter , in the globalization of education has become a problem now
perceived global.serta instill patriotism in an effort to improve the sense of concern for education
through civic education .
Keywords : Globalization of Education , Citizenship Education , Character Love Homeland
PENDAHULUAN
Globalisasi tentunya menjadi tantangan bagi bangsa didunia terutama bangsa indonesia tidak
heran jika globalisasi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi tingkat pendidikan yang ada,
Globalisasi didefinisikan sebagai semua proses yang merujuk kepada penyatuan seluruh warga
dunia menjadi sebuah kelompok masyarakat global. Namun, pada kenyataannya globalisasi
merupakan penyatuan semu, karena nilai-nilai ekonomi, sosial, dan budaya didominasi nilai-nilai
yang sebenarnya asing bagi masyarakat dunia.Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia”.
Suatu entitas, betapapun, dimanapun, kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok
dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, pemberontakan, dan
sebagainya, begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di dunia Kekuatan
globalisasi menurut analisis para ahli pada umumnya bertumpu pada 4 kekuatan global, yaitu:
1. Kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi dan inovasi-inovasi baru di dalam teknologi
yang mempermudah kehidupan manusia.
2. Perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan iptek.
3. Kerjasama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan bersama dari bangsa-
bangsa tanpa mengenal batas negara.
4. Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia di dalam
kehidupan bersama, dan sejalan dengan itu semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam
alam demokrasi.
Globalisasi tidak terjadi hanya dalam bidang teknologi,namun dalam bidang pendidikan
globalisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dunia pendidikan,globalisasi dalam
pendidikan tentunya timbul dengan seiringnya kemajuan yang menunjang didalam dunia
pendidikan rasa nasionalisme pun akan terkikis dalam arah globalisasi pendidikan.
Nasionalisme saat ini dirasakan mulai terkikis di kalangan anak didik di sekolah terutama
Sekolah Menengah Pertama karena berbagai faktor. Apabila dibiarkan begitu saja maka keadaan
ini akan berbahaya, sebab siswa sekolah dan generasi muda pada umumnya merupakan generasi
penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa ini menuju arahyang lebih baik. Apabila
generasi mudanya sudah tidak mencintai bangsanya tentu saja lambat laun negara ini akan
hancur. Karena terkikisnya nasionalisme inilah banyak pihak yang mulai membangkitkan
semangat nasionalisme melalui berbagai kegiatan. Karena semakin lama dampak dari lemahnya
nasionalisme itu sendiri semakin dapat dirasakan dengan tidak terciptanya kerteraturan sosial
yang sangat penting di dalam masyarakat yang majemuk. Untuk membangun anak-anak bangsa
yang memiliki mental dan kepribadian bangsa diperlukan suatu usaha, salah satu usaha yang
terpenting adalah melalui pendidikan secara nasional. Tujuan yang hendak dicapai
melaluipendidikan secara nasional antara lain bahwa Pendidikan Nasional harus mampu
menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan
rasa setia kawan sosial. Hal ini selaras dengan karakteristik dan sikap nasionalisme sendiri
seperti yang dikemukan oleh Suprapto (1987:54):
Dengan menanamkan sikap nasionalisme, diharapkan siswa tumbuh menjadi manusia
pembangunan yakni generasi yang mampu mengisi dan mempertahankan kemerdekaan bangsa
dan negaranya.Maka nampak jelas bahwa target dan sasaran yang ingin dicapai adalah
terbinanya rasa kebangsaan yang tinggi sehingga bisa mengamalkannya ke dalam sikap dan
perilaku sehari-hari. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan suatu usaha melalui pendidikan
di sekolah yang berupa membina, mengembangkan, dan menyempurnakan potensi siswa menuju
proses pendewasaannya. Dalam hal ini bidang studi yang memegang peranan untuk menunjang
terhadap pencapaian tersebut adalah melalui mata pelajaran PKn yang telah diajarkan di semua
jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Peguruan Tinggi. PKn merupakan
mata pelajaran di sekolah yang memfokuskan pelajarannya pada pembentukan manusia
Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter sesuai yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD 1945 (Depdiknas, 2003). Hal tersebut senada dengan tri fungsi peran PKn seperti
dikemukakan oleh Achmad Kosasih Djahiri ( 1996 : 19) sebagai berikut :
1.Membina dan membentuk kepribadian atau jati diri manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila
dn berkepribadian Indonesia
2.Membina bangsa Indonesia melek politik, melek hukum
dan melek pembangunan serta melek permasalahan diri, masyarakat bangsa dan negara
3.Membina pembekalan siswa (substansial dan potensi dirinya untuk belajar lebih maju).
Sementara itu menurut ( Rofi Yani, 2012) tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar
peserta didik memiliki kemampuan yaitu :
Pertama, berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
Kedua, berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-
korupsi.
Ketiga, berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-
karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
Keempat, berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau
tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hasil-hasil penelitian
tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara sesungguhnya juga menyimpulkan
bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan yang dilakukan di berbagai negara
mengarahkan warga bangsa itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa
depan bangsa bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianut bangsa
bersangkutan. Sesungguhnya banyak aliran filsafat yang dapat dijadikan pembenar bagi upaya
pendidikan kewargaan (civic education). Namun, landasan filsafat tersebut, kemudian, perlu
dicari relevansinya dengan kondisi dan tantangan kehidupan nyata dalam masyarakat tertentu,
agar civic education (pendidikan kewargaan) mampu memberikan konstribusi yang positif bagi
pemecahan kemasyarakatan yang sedang dan akan dihadapi suatu bangsa atau masyarakat. Oleh
karenanya, apapun bentuk pendidikan kewargaan yang dikembangkan di berbagai bangsa, nilai-
nilai fundamental dari suatu masyarakat perlu dikembangkan sesuai dengan dinamika perubahan
sosial, agar nilai nilai fundamental tersebut menemukan relevansinya untuk memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pemecahan problem suatu masyarakat. Semua fenomena
yang digambarkan tersebut diatas semakin menambah panjang ekses dari gelombang demokrasi
terhadap tumbuhnya nilai – nilai nasionalisme.Nasionalisme seperti telur diujung pedang yang
sewaktu – waktu terjatuh dan berantakan tanpa bentuk. Tentunya sebagai bagian dari komponen
bangsa ini tidak akan rela dan merelakan kondisi yang demikian, sehingga harapanya melalui
Pendidikan Kewarganegaraan nilai – nilai nasionalisme tersebut dapat dibangun dengan kokoh
diatas fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.Tulisan ini akan mengupas lebih dalam mengenai pendidikan kewarganegraan sebagai
filter dalam globalisasi pendidikan serta untuk menenamkan nasionalisme sehingga karakter
cinta tanah air peserta didik dapat terbentuk.
PEMBAHASAN
1. Globalisasi Pendidikan dan tantangannya
Globalisasi secara umum, sebagaimana diungkapkan Sztompka (2004: 101-102), dapat diartikan
sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Artinya, masyarakat di seluruh dunia menjadi
saling tergantung pada semua aspek kehidupan baik secara budaya, ekonomi, maupun politik,
sehingga cakupan saling ketergantungan benar-benar mengglobal. Misalnya, dalam 4 bidang
politik, globalisasi ditandai dengan adanya kesatuan supranasional dengan berbagai cakupan
blok politik dan militer dalam NATO (North Atlantic Organizatioan), koalisi kekuasaan
dominan, dan organisasi berskala internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa).
Selanjutnya, globalisasi dalam bidang ekonomi ditandai dengan peningkatan peran koordinasi
dan integrasi supranasional, seperti EFTA (European Free Trade Association), EC (European
Commission), OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), perjanjian kerja sama
ekonomi regional serta dunia, pembagian kerja dunia, dan peningkatan peran kerja sama
multinasional (Piötr Sztompka, 2004: 102-103). Mansour Fakih (2002: 219) menambahkan
bahwa globalisasi di bidang ekonomi dapat dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian
ekonomi nasional berbagai bangsa ke dalam sistem ekonomi global. Oleh karena itu, sejak
dicanangkannya penandatanganan kesepakatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade),
ditandatanganinya aneka kesepakatan lainnya, seperti NAFTA (The North American Free Trade
Agreement), APEC (Asia Pasific Economi Conference), serta WTO (World Trade Organization),
dan dilaksanakannya Structural Adjustment Program oleh Bank Dunia, pertanda globalisasi
tengah berlangsung. Sebenarnya, ditinjau dari sejarah perkembangan ekonomi, pada dasarnya
globalisasi merupakan salah satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal,
yang secara teoritis telah dikembangkan oleh Adam Smith. Dengan demikian, sesungguhnya
globalisasi merupakan kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalism (Mansour Fakih,
2002: 211). Sementara itu, globalisai di bidang budaya ditandai dengan kemajuan menuju
keseragaman. Dalam hal ini, media massa, terutama televisi, mengubah dunia menjadi sebuah
“dusun global”. Informasi dan gambaran peristiwa yang terjadi di tempat yang sangat jauh dapat
ditonton jutaan orang pada waktu hampir bersamaan, sehingga pengalaman budaya, seperti
selera, persepsi, dan pilihan relatif sama. Di samping itu, muncul juga bahasa Inggris sebagai
bahasa global yang berperan sebagai alat komunikasi profesional di bidang bisnis, ilmu
pengetahuan, komputer, teknologi, transportasi, dan digunakan sebagai alat komunikasi pribadi
dalam berpergian. Di bidang teknologi komputer, program yang sama digunakan di seluruh
dunia sebagai pola umum dalam menyusun dan memproses data serta informasi. Akhirnya,
tradisi budaya pribumi atau lokal semakin terkikis dan terdesak, serta menyebabkan budaya
konsumen atau budaya massa model Barat menjadi budaya universal yang menjalar ke seluruh
dunia (Piötr Sztompka, 2004: 102-103). Pengertian globalisasi di atas tidak jauh berbeda dengan
apa yang pernah dikemukakan Irwan Abdullah (2006: 107). Menurutnya, budaya global ditandai
dengan adanya integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar
yang beragam menjadi dasar dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri
dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan
dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan
global yang dianggap tidak terelakan inilah yang akan menciptakan suatu masyarakat yang
terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang begitu luas dengan batas-batas yang
tidak begitu jelas. Dengan demikian, selain arus orang dan barang, arus informasi merupakan
suatu keuntungan dan sekaligus suatu ancaman yang sangat berbahaya. Misalnya, terbentuknya
diversitas (perbedaan), pembentukan nilai jangka panjang, dan hilangnya humanitas
(perikemanusiaan) (Irwan Abdullah, 2006: 166). Secara jelas pada era globalisasi ini,
sebagaimana yang sekarang terjadi, dunia seolah sudah tidak memiliki lagi batas-batas wilayah
dan waktu. Food, fashion, dan fun (makanan, mode, dan hiburan) merupakan gejala yang sangat
kentara pada era ini. Food berarti orang tidak lagi makan makanan dari daerahnya, karena
banyak makanan dan minuman disajikan secara sama di seluruh dunia. Misalnya, resep Kolonel
Sanders dari Kentucky Fried Chicken dapat dinikmati baik oleh penduduk Chicago maupun
penduduk berbagai pelosok Indonesia sekalipun. Fashion menandakan bahwa sekarang terdapat
kota-kota tertentu yang menentukan perkembangan busana untuk seluruh dunia. Semacam ini
dapat dilihat dalam majalah mode Prancis Elle yang dicetak dalam enam belas edisi
internasional. Demikian pula, CNN (Cable News Network) yang merupakan stasiun televisi
internasional melaporkan mode-mode baru dari New York, Tokyo, Milan, dan Paris.
Selanjutnya, fun berarti sekarang hiburan menjadi bisnis internasional, seperti film, musik, dan
macam-macam kegiatan hiburan lainnya dikelola secara internasional (Jalaluddin Rakhmat,
2003: 71-72). Di belahan separuh dunia, orang secara jelas dan mudahnya dapat berbicara
melalui telepon dikarenakan adanya fasilitas satelit. Dalam hal ini, berbagai orang dapat
menyaksikan Pertandingan Sepak Bola Piala Dunia secara langsung di Dortmun, Jerman, lewat
Satelit siaran langsung di televisi. Orang juga bisa berbicara lewat tulisan melalui internet, yang
berarti tanpa ada sensor dari tangan siapapun. Dengan alat canggih tersebut, keglamouran dan
kebebasan berlebihan yang terjadi di Hollywood, Amerika Serikat detik itu juga bisa disaksikan,
misalnya, di Indonesia dalam waktu yang bersamaan (A. Qodri Azizy, 2004: 19-20). Melalui
internet, orang juga dengan bebas dapat mengakses gambar-gambar tubuh manusia secara
vulgar, dan bahkan dengan adegan-adegan yang dapat merusak pikiran manusia. Fenomena
globalisasi memang sudah tidak dapat dihindari lagi oleh siapapun, kecuali dia sengaja
mengungkung diri menjauhi interaksi dan komunikasi dengan yang lain. Hanya saja yang perlu
disadari dan mendapat catatan, di samping globalisasi membawa manfaat, namun juga
mendatangkan madlarat. Oleh karena itu, harus pandai-pandai menyikapinya, misalnya, jikalau
nilai-nilai yang terdapat dalam globalisasi itu positif maka tidaklah salah untuk mengambilnya,
sebaliknya jika hal itu memang negatif maka harus dapat membendungnya. Dalam hal ini,
ungkapan seperti al-akhdu bi al-8 jadid al-aslah (ambillah hal-hal yang baru yang sekiranya baik
dan banyak mengandung maslahat) mungkin dapat dijadikan dasar pijakan. Sebagaimana
diungkapkan Azizy (2004: 25), apabila globalisasi itu memang memberi hal-hal, nilai, dan
praktek yang positif yang tidak berbenturan dengan budaya lokal, nasional, dan terutama sekali
nilai agama, haruslah menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mampu menyerapnya.
Dengan kata lain, bagaimana agar nilai-nilai positif yang ada di Barat, atau bahkan di belahan
negara lain yang masuk dapat dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Budaya positif tersebut
mencakup disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, kompetisi, kerja keras,
penghargaan terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, demokratisasi, dan semacamnya.
Sebaliknya, yang harus disadari, globalisasi juga banyak mengandung hal-hal yang negatif.
Misalnya, karena globalisasi mengaburkan batas-batas budaya, akibatnya aneka budaya seluruh
umat di jagat raya ini mudah diakses dan ditiru lewat media televisi maupun internet. Oleh
karena itu, dengan mudah orang mengakses gaya, model, prilaku, atau cara berbusana yang pada
hakikatnya bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang mulia. Dampak yang tidak baik pun
dapat dirasakan, terutama bagi kalangan anak-anak dan kaum remaja. Dapatlah disaksikan,
bahwa budaya yang semacam itu, yang kebanyakan terjadi di Barat dan tidak terkecuali di
Indonesia, telah membawa prilaku sex bebas, sebuah prilaku yang tidak bertanggung jawab.
2. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI FILTER DALAM ERAGLOBALISASI PENDIDIKAN
Kealan dan Zubaidi (2007) menyebutkan bahwa syarat-syarat utama berdirinya suatu
Negara merdeka adalah harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan ada pemerintahan
yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak
mungkin suatu Negara berdiri tanpa memiliki pemerintahan yang berdaulat secara nasional, dan
bilamana itu terjadi, maka Negara itu belum dapat disebut sebagai sebuah Negara merdeka.
Lebih lanjut, Kealan dan Zubaidi (2007) mendefinisikan warga Negara sebagai rakyat
yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan Negara.
Dalam hubungan antara warga Negara dan Negara, warga Negara mempunyai kewajiban-
kewajiban terhadap Negara dan sebaliknya warga Negara juga mempunyai hak-hak yang harus
diberikan dan dilindungi oleh Negara.
Dalam konteks hak dan kewajiban warga Negara ini adalah adanya hak dan kewajiban bela
Negara. Pembelaan Negara atau bela Negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga Negara
yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air
serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara (Kaelan danZubaidi, 2007:120). Dan, bela
Negara bagi warga Negara Indonesia adalah usaha pembelaan Negara dilandasi oleh kecintaan
terhadap tanah air (wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia dengan
keyakinan pada Pancasila sebagai dasar Negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstitusi
Negara. Wujud dari usaha bela Negara dalam konteks ii adalah kesiapan dan kerelaan setiap
warga Negara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan Negara,
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah nusantara dan yurisdiksi nasiona
serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua
UUD 1945 termaktub bahwa usaha bela Negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga
Negara. Hal ini menunjukkan adanya asas demokrasi dalam pembelaan Negara yang
dicerminkan dalam dua pengertian usaha pembelaan Negara, yaitu (i) setiap warga Negara turut
serta dalam menentukan kebijakan tentang pembelaan Negara melalui lembaga-lembaga
perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku, serta (ii) bahwa
setiap warga Negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan Negara sesuai dengan
kemampuan dan profesinya masing-masing. Usaha pembelaan Negara bertumpu pada kesadaran
setiap warga Negara akan hak dan kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu ditumbuhkan
melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan Negara.
Proses motivasi untuk membela Negara dan Bangsa akan berhasil jika setiap Warga Negara
memahami keunggulan dan kelebihan Negara dan bangsanya. Disamping itu setiap warga
Negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi
bangsa dan Negara Indonesia. Dalam hal ini terdapat beberapa dasar pemikiran yang dapat
dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga Negara untuk ikut serta membela Negara
Indonesia, diantaranya : (i) pengalaman sejarah perjuangan RI, (ii) kedudukan wilayah geografis
nusantara yang strategis, (iii) keadaan penduduk (demografi) yang besar, (iv) kekayaan
sumberdaya alam, (v) perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan, dan (vi)
kemungkinan timbulnya bencana perang. Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Penerbit “PARADIGMA”,2007) hal. 120. Globalisasi yang
demikian cepat hadir dan bercengkerama dengan kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini
tentu membawa angin perubahan terhadap kondisi kemasyarakatan di masa mendatang.
Kecepatan arus informasi dalam mendistribusikan opini dan berita publik telah sedemikian
cepatnya merubah pandangan dan wawasan seseorang. Keterbatasan jarak dan waktu dewasa ini
telah dapat dipangkas secara cepat, sehingga mempermudah arus migrasi barang dan jasa
maupun manusia telah sedemikian rupa menjamah ranah sosial antar warga Negara di dunia,
sehingga proses akulturasi menjadi sebuah keniscayaan yang terjadi dewasa ini. Proses
perubahan yang demikian cepat akibat globalisasi tersebut membawa dampak yang tidak kecil
bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bilamana kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai luhur budaya dan
peradaban bangsa Indonesia yang bakal tergantikan dengan nilai-nilai global menjadi isu utama
yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Terlebih lagi, dewasa ini semakin berkurangnya
pemahaman dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 telah sedemikian nampak berlaku di
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong dewasa ini cenderung
tergantikan dengan budaya konvensasi atau membayar orang untuk menggantikan
pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan secara bersama-sama. Budaya musyawarah untuk
mufakat cenderung semakin terpinggirkan oleh budaya voting untuk menentukan sebuah
keputusan. Demikian juga budaya silaturahim yang mengutamakan tatap muka dan jabat tangan
cenderung tergantikan dengan budaya obrolan melalui telepon genggam atau rumah, kendati
jaraknya hanya 5 atau 10 menit perjalanan. Fenomena ini tentu harus diwaspadai, karena nilai-
nilai luhur untuk senantiasa bertenggang rasa, saling hormat menghormati, tolong menolong,
berwelas asih dan berkekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah semakin
luntur dijiwai oleh warga Negara Indonesia dewasa ini. Mahasiswa Indonesia dewasa ini lebih
cenderung menyukai turun ke jalan untuk berdemonstrasi ketimbang berlomba-lomba menulis
opini dalam menanggapi setiap persoalan yang melanda negeri. Padahal di era globalisasi ini,
aksi-aksi demonstratif yang tidak terarah dan sporadis cenderung merugikan motor ekonomi
yang seharusnya berjalan untuk mencapai tujuan utama pembangunan ekonomi, yaitu
kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, penting kiranya membangun kembali sistem nilai luhur bangsa Indonesia yang
telah dituangkan oleh para pendiri negeri sebagai buah pemikiran cerdas dan penuh
kebijaksanaan, yang tersirat dan tersurat di dalam Pancasila dan UUD 1945. Bisa saja, kurangnya
pemahaman dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup berbangsa dan
bernegara serta sebagai ideologi negara, lebih disebabkan oleh lemahnya sistem pembinaan
individu dari mulai tingkat informal (seperti lingkungan keluarga) sampai ke tingkat formal
(seperti sistem pendidikan nasional). Selain itu, proses perubahan pikir, ucap dan tindak ini juga
tidak terlepas dari adanya perubahan sosial, budaya dan ekonomi akibat adanya era globalisasi
ini. Tidaklah dapat dielakkan lagi bahwa pembekalan kemampuan dan pengetahuan setiap
warga negara, menjadi syarat mutlak dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai, sehingga setiap
individu dapat mengetahui, memahami, dan menghayati untuk kemudian mengamalkan nilai-
nilai tersebut dalam bentuk sikap-sikap yang dapat mencerminkan sifat kejujuran, kebenaran,
kekeluargaan dan keadilan yang merata pada setiap komponen bangsa. Oleh karena itu,
persiapan dan proses penyesuaian diri dengan era globalisasi melalui pendidikan
kewarganegaraan di era globalisasi ini menjadi sangat perlu untuk dilakukan. Pendidikan
Kewarganeraan yang diberikan kepada mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memang
didesain sebagai bagian dari mata kuliah kepribadian. Dimana, tujuan pengajarannya adalah
memberikan pemahaman terhadap rasa kecintaan terhadap tanah air, mengenal nilai-nilai luhur
ke-Indonesia-an, serta penumbuhan raga kebanggaan atas segenap khasanah sosial, ekonomi,
budaya, politik dan sistem pertahanan dan keamanan yang telah turun temurun berlaku dan
melembaga dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Dan pada
akhirnya, mahasiswa tersebut dapat dicetak menjadi ilmuwan yang professional yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban, serta menjadi warga Negara
yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan
yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Adapun muatan pendidikan kewarganegaraan
tersebut diantaranya meliputi beberapa hal sebagai berikut:
(1) Filsafat Pancasila, yang meliputi pengetahuan mengenai Pancasila sebagai sistem
filsafat dan sebagai ideology bangsa dan Negara
(2) Identitas nasional, yang meliputi pengetahuan mengenai karakteristik identitas
nasional dan proses berbangsa dan bernegara
(3) Politik dan strategi, yang meliputi pengetahuan mengenai sistem konstitusi,
politik dan ketatanegaraan Indonesia
(4) Demokrasi Indonesia, yang meliputi pengetahuan mengenai konsep dan prinsip
demokrasi serta demokrasi dan pendidikan demokrasi
(5) Hak azasi manusia dan rule of law
(6) Hak dan kewajiban warga Negara, yang meliputi pengetahuan mengenai warga
Negara Indonesia serta hak dan kewajiban warga Negara Indonesia
(7) Geopolitik Indonesia, yang meliputi pengetahuan mengenai wilayah sebagai ruang
hidup dan otonomi daerah
(8) Geostrategi Indonesia, yang melipui pengetahuan mengenai konsep Asta Gatra
serta peranan Indonesia di dunia dan perdamaian dunia Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik IndonesiaNomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi.
Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan memang didesain sebagai upaya persiapan
dan penyesuaian diri terhadap perubahan nilai di masa mendatang yang sangat
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal dalam negeri maupun eksternal luar
negeri, terutama yang berkaitan dengan isu global dan globalisasi itu sendiri.
Persiapan dan penyesuaian diri terhadap arus dan era globalisasi ini harus dimulai
dengan adanya (1) ketanggapan terhadap berbagai masalah sosial, politik, budaya dan
lingkungan; (2) kreativitas dalam menemukan alternatif pemecahannya; serta (3)
efesiensi dan etos kerja yang tinggi. Persiapan dan penyesuaian diri tersebut seyogianya
dicirikan dengan adanya (1) kemampuan mengantisipasi perkembangan berdasarkan
ilmu pengetahuan; (2) kemampuan dan sikap untuk mengerti dan mengantisipasi situasi;
(3) kemampuan untuk mengakomodasi, utamanya IPTEK serta perubahan yang
diakibatkannya; serta (4) kemampuan mereorientasi, utamanya kemampuan untuk
menyeleksi terhadap arus informasi yang membombardirnya.
Pada akhirnya persiapan dan penyesuaian diri dalam era globalisasi ini setidaknya
mampu memunculkan (1) pekerja yang terampil yang menjadi bagian utama dari mekanisme
produksi (dalam arti luas) yang harus lebih efektif dan efesien; (2)pemimpin dan manajer yang
efektif yang memiliki kemampuan berpikir, mengambil keputusan yang tepat pada waktunya
serta mengendalikan pelaksanaan dengan cakap dan wibawa; serta (3) pemikir yang mampu
menentukan/memelihara arah perjalanan dan melihat segala kemungkinan di hari depan. Oleh
karena itu, maka pemikiran tersebut dapatlah menjadi sarat mutlak dalam pembinaan dan
pengembangan manusia Indonesia yang diarahkan untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya
yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan dan perjuangan bangsa yang mengutamakan
persatuan dan kesatuan sebagai landasan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi masyarakat global atas adanya perubahan
nilai-nilai dan sikap, maka diperlukan suatu pemahaman yang luas terhadap Pancasila sebagai
ideologi negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukum negara. Perubahan nilai-nilai dan sikap
dengan menumbuhkembangkan pengertian, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila
serta UUD 1945 dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan formal dan informal.
Dalam pendidikan formal, seyogyanya tidak hanya teori-teori dasar saja yang diberikan, namun
demikian harus dibarengi dengan adanya pola pembentukan pengetahuan dalam bentuk simulasi.
Simulasi dimaksud adalah dengan membuat suatu flatform penggalian potensi melalui
pengkajian-pengkajian yang dilakukan sendiri oleh anak didik. Hasil dari pengkajian tersebut
kemudian dibahas bersama. Model-model diskusi dua arah akan sangat efektif terhadap
pemahaman dan penghayatan isi yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Selain
pendidikan formal, pendidikan informal pun memberikan konstribusi lebih terhadap
pembentukan sikap dan perilaku. Pendidikan informal dimaksud dimulai dengan pendidikan
dalam keluarga yang diarahkan untuk selalu menanamkan sikap kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat yang sesuai dengan norma-norma yang ada di lingkungannya, dimana norma-
norma tersebut mempunyai nilai yang universal seperti halnya ideologi negara.Pendekatan
pembentukan/pengubahan nilai dan sikap diri seseorang dapat juga dilakukan melalui berbagai
cara, seperti (1) pembiasaan, (2) internalitas nilai melalui ganjaran-hukuman, (3) keteladanan, (4)
teknik klarifikasi nilai, dan sebagainya. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa segenap
pendekatan yang dilakukan mempunyai kelebihan dan kekurangan, dimana kesemuanya sangat
tergantung pada tingkat belajar para individu dalam hal (1) menerima, (2) menganggapi, (3)
menilai dan berkeyakinan, (4) mengorganisasi dan berkonseptual, serta (5) mewataki dan
memerankan hasil belajartersebut. Sasaran akhir dari pembentukan/pengubahan nilai dan sikap
adalah bahwa suatu norma sebagai acuan perilaku telah terwujud dalam perilaku sehari-hari
secara konsisten, dengan kata lain sistem nilai telah terbentuk dan mewarnai pandangan hidup
dan perilaku seseorang dalam hidupnya. Perubahan nilai dan sikap dalam rangka mengantisipasi
masa depan tersebut haruslah diupayakan sedemikian rupa sehingga mewujudkan keseimbangan
dan keserasian antara aspek pelestarian dan aspek pembaharuan. Nilai-nilai luhur yang
mendasari kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia seyogyanya akan tetap dilestarikan,
agar terhindar dari krisis identitas. Sebagai suatu masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya
nusantara seharusnya dikembangkan untuk memantapkan dan memperkaya kebudayaan
Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam program pendidikan haruslah dilakukan
sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat muatan nasional dalam memilih dan
memilah pengaruh global. Di sisi lain dan serentak dengan pelengkapan dan perkuatan muatan
nasional, maka penyertaan aspek budaya dunia juga harus dimunculkan sehingga mencapai
keselarasan dengan adanya kebutuhan akan perkembangan jaman. Oleh karena itu, pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks ini harus selalu dapat menjaga secara seimbang pembentukan
kemampuan mempertanyakan di samping kemampuan menerima dan mempertahankan.
Keserasian dan keselarasan antara pelestarian dan pembaharuan nilai dan sikap tersebut yang
akan memberi peluang keberhasilan menjemput masa depan di era globalisasi.
PENUTUP
Kenyataan bahwa Indonesia sekarang telah masuk dalam era globalisasi yang mengarah
kepada akulturasi nilai global terhadap nilai-nilai lokal, maka pendidikan kewarganegaraan bagi
kalangan mahasiswa di perguruan tinggi masih sangat relevan diberikan dalam rangka
membentengi para calon pemimpin bangsa akan nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an untuk
mengantisipasi segenap permasalahan rumahtangga bangsa sendiri dan dalam rangka
mengantisipasi masuknya nilai-nilai global yang cenderung destruktif dan melunturkan nilai-
nilai lokal. Semangat persatuan dan kesatuan yang melatarbelakangi pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini harus selalu terpatri dalam setiap individu warga
Negara Indonesia. Dan pendidikan kewarganegaraan perlu tetap diberikan untuk mempersiapkan
calon pemimpin bangsa tidak akan membiarkan keretakan pemahaman para elit bangsa menjadi
unsur pemecah yang membawa pada disintegrasi bangsa yang memang sudah lama dirongrong
oleh unsur asing di segala bidang. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan harus betul-
betul didesain dan mampu memupuk sikap dan menanamkan kembali jiwa patriot yang harus
selalu dijunjung demi mengantisipasi berbagai macam perubahan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.uns.ac.id/12648/1/Publikasi_Jurnal_%28117%29.pdf
http://www.researchgate.net/profile/Mahifal_Mahifal/publication/
228125298_The_Relevance_of_Civil_Education_in_the_Era_of_Globalization_in_Indonesia/links/
0f3175316d26300e55000000
http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Miftahuddin, M.Hum./Artikel Pendidikan, Globalisasi, dan
Akhlak.pdf
http://ejurnal.veteranbantara.ac.id/index.php/proceeding/article/download/22/14
jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/download/389/392 GLOBALISASI PENDIDIKAN PDF
top related