majalah sagang
Post on 22-Mar-2016
279 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
halaman KULITi
No. 175 APRIL 2013 tahun XV www.majalahsagang.com
Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia!(Henri Chambert-Loir)
Esei:Pernaskahan Melayuoleh Dr. Mu’jizah
Lunturnya TradisiMendongengoleh Indra KS
Pernaskahan Melayuoleh Dr. Mu’jizah
Lunturnya TradisiMendongengoleh Indra KS
Cerita-pendek Hasan JunusPengantin Boneka(The Puppet Bride)
Cerita-pendek:Air Mata Mitnaholeh Purwanto
Sajak:- Kerudung Puisi- Muhammad Esqalani eNeSTe
Tokoh:Khalil Gibran
Rehal:Sepuluh Drama PendekSamuel Beckett
halaman KULITii
PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK
PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ
PAKET INFO PRODUKMenginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja,anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya.Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami(Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan.Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinyadi koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku
MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS
Percetakan Riau Pos Grafi kaDivisi Komersial Printing
Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru
Offi ce +62 761 - 566810
Fax +62 761 - 64636
Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504
Bank Riau KCP Panam 134-08-02010
Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990
An: PT Riau Graindo
E-mail riauposgrafi ka@yahoo.com
"SHOW OFF YOUR BUSINESS!"mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda
halaman 1
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers
SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998
ISSN: 1410-8690
Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas
KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, IndonesiaTelepon Redaksi: (0761) 566810
Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636
www.majalahsagang.come-magazine
Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-
No. 175 APRIL 2013 tahun XV
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH
Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani.Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keter-angan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisa-gang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
Seni Tari "Perjuangan Cinta"merupakan judul kertas kerja Lilis Suryani
untuk memperoleh gelar Diploma IIIdi Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)
Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-
No. 175 APRIL 2013L tahun XV
Daftar Isi
Schiller dan Beethoven
(kolaborasi duo seniman) .........................2
Esei
- PernaskahanMelayu
Oleh Dr. Mu’jizah ..................................3
- Lunturnya Tradisi Mendongeng
oleh Indra KS .......................................10
Cerita-pendek
Hasan Junus (Alm)
Pengantin Boneka................................ 13
The Puppet Bride ................................. 21
Cerita-Pendek
Air Mata Mitnah oleh Purwanto .........29
Sajak
- Kerudung Puisi ....................................33
- Muhammad Esqalani eNeSTe ............. 41
Tokoh
Khalil Gibran ...................................... 48
Rehal
Sepuluh Drama Pendek
Samuel Beckett ....................................58
Tokoh
Bei Dao ................................................. 61
Illustrasi
Halaman 29 karya Purwanto
halaman 2
tajuk
LUDWIG VAN BEETHOVEN memberikan gambaran tentang sebuah puisi yang bagus lebih sulit untuk mengatur musik dari yang sekadar baik, karena komposer harus di atas lebih ti nggi dari penyair, dan bagi komposer handal ini sajak Goethe jauh lebih mudah dilakukan musikalnya daripada yang dilakukannya dalam kasus Schiller, seperti karya Beethoven yang terkenal dalam simfoni kesembilan-nya (Symphony No. 9 in D minor,Op. 125). Sajak Schiller An die Freude atau Ode to Joy yang ditulis tahun 1785 dan direvisi untuk pengaturan musiknya oleh komponis terkenal ini menjadi bagian dari simfoni kesembilan-nya itu. Empat penyanyi solo dan paduan suara membuat simfoni ini menjadi contoh simfoni pertama yang memakai paduan suara (vokal):
Wo Dein sanft er Flügel weilt.Seid umschlungen, Millionen!Diesen Kuß der ganzen Welt!
Selain Schiller dan Beethoven, seniman dunia lainnya seperti Goethe dan Wagner menjadi contoh kolaborasi yang baik bagi dunia seni. Di dunia musik Melayu, kolaborasi duo seniman, seorang musisi terkenal sekelas P, Ramlee, banyak memakai sajak Jamil Sulong dan Sudarmaji pada lagu-lagunya yang indah dan terkenal. Ada lagu Melayu yang juga sangat indah dan bagus lirik dan musiknya, yang sangat disukai oleh Idrus Tinti n dan Hasan Junus (alm) dan juga Al azhar yaitu Disebut Jangan Dikenang Jangan. Pada mulanya disangka lagu ini ditulis oleh P. Ramlee bersama Jamil Sulong atau Sudarmadji, tetapi rupanya ditulis oleh kolaborasi duo seniman Ibrahim Bachik pada lagu atau musiknya dan Rosley Haji Yusuf pada lirik atau seni-katanya. Bagaimana lagu indah ini dapat menyentuh perasaan banyak orang terutama liriknya, dapat disimak bait terakhir syairnya:
Sebuti r embun meniti sSeribu kuntum mengembangSepatah ku berjanjiKu sebut kau ulang-ulang
Mencurah hujan membatuMeresap di telan bumiSegala sumpah janjimuTak satu yang kau tepati
Schiller dan Beethoven (kolaborasi duo seniman)
Chorus :Tiada kuduga Tiada ungkitanBagimu tuanKu rela dilupakanKu diumpat janganDikenang jangan
Berlalu kisah di tamanBak mimpi diganggu siangDisebut diingat janganTak guna di kenang-kenang
Kalau ditulis kolaborasi duo seniman dalam dunia musik dan sastra ini, akan memenuhi semua halaman majalah ini, karena itu patutlah beberapa penyair terkenal mengabadikan sajak epitaph-nya di batu nisan seniman terkenal sahabatnya, seperti halnya Conrad Ferdinand Meyer (1825-1898), seorang penyair dan novelis sejarah Swiss mengabadikan sajak epitaph-nya di batu nisan Schiller yang meninggal dalam usia ti dak terlalu tua (45 tahun) di Saxe-Weimar, Jerman:
“Two dim and paltry torches that the raging stormAnd rain at any moment threaten to put out.A waving pall. A vulgar coffi n made of pineWith not a wreath, not e'en the poorest, and no train –As if a crime were swift ly carried to the grave!The bearers hastened onward. One unknown alone, Round whom a mantle waved of wide and noble fold, Followed this coffi n. 'Twas the Spirit of Mankind”
Dua obor bersahaja redup keti ka amukan badaiDan hujan seti ap saat mengancam padam.Sebuah selubung melambai. Sebuah peti mati dari kayu pinus terdedahTak memakai karangan bunga, tak sebuah kemiskinan, dan tak ada kereta api -Kejahatan bagai kilat dibawa ke kuburan!Penghela terus melaju. Ketahuilah hanya satu saja, Mantel menggelebang melambai lebar dan mulia melipat, Mengikuti peti mati ini. Sungguh Roh Manusia.***
Redaksi
halaman 3
1. Pengantar
Produk budaya Nusantara dalam
bentuk sastra mencakupi tiga hal,
yakni sastra cetak termasuk di dalamnya
sastra modern, sastra lama dalam bentuk
tulis tangan yang disebut naskah, dan
sastra lisan yang hidup dalam tradisi lisan.
Dalam makalah ini penyusunan program
difokuskan pada program pengembangan
hasil tradisi tulis yang disebut naskah
(manuscript). Tradisi ini tersebar luas di
beberapa daerah dan menjadi kekayaan
Nusantara. Naskah ini ditulis dalam aksara
dan bahasa daerah dan sudah berkembang
kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di
dalamnya prasasti, sedangkan tradisi tulis
dalam bentuk naskah berusia seribu tahun
lebih. Sebagian besar naskah-naskah itu
saat ini tersimpan dalam koleksi publik
yang jumlahnya mencapai puluhan ribu
dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang
menjadi koleksi pribadi.
Dari sekitar 726 bahasa di Indonesia ada
kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai
sistem tulisan dan meninggalkan dalam
PernaskahanMelayu
Oleh Dr. Mu’jizah(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
esei
halaman 4
bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa
itu adalah (1)Aceh, (2) Batak, (3) Melayu,
(4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa
Melayu di Sumatra Tengah dan Selatan,
(6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali,
(10) Bugis, (11) Sasak, (12) Makassar, (13)
Buton.
Khazanah naskah tertulis yang menjadi
peninggalan masyarakat Riau adalah Me-
layu yang ditulis dalam aksara Jawi dalam
bahasa Melayu. Naskah Melayu ini bukan
hanya ada di daerah Riau, melainkan
penyebarannya sangat luas di beberapa
daerah di Indonensia, seperti (1) Aceh,
(2) Minangkabau, (3) Riau, (4) Siak, (5)
Bengkulu, (6) Sambas, (7) Kutai, (8) Ternate,
(9) Ambon, (10) Bima (11) Palembang, dan
(12) Banjarmasin. Naskah-naskah tersebut
saat ini disimpan di lembaga-lembaga,
seperti museum daerah, Perpustakaan Na-
sional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid,
dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Di Perustakaan Nasional naskah mencapai
9.626 dalam berbagai bahasa. Bagaimana
dengan jumlah naskah Melayu? Pendataan
yang pasti belum pernah ada karena jumlah
terus bertambah dengan ditemukannya
koleksi-koleksi baru dan terus berkurang
karena banyak naskah yang rusak dan
tidak terawat. Mengenai jumlah naskah
Melayu Ismail Husein (1974) pernah
mengemukakan angka 5.000, Chambert-
Loir (1980) mengemukakan 4.000, dan
Russel Jones sampai pada angka 10.000
(Mulyadi, 1994). Sampai saat ini naskah
Melayu tersimpan hampir di 29 negara (1)
Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria,
(4) Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7)
Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark,
(10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia,
(13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia, (16)
Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18)
Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia, (21)
Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24)
Singapura, (25) Spanyol, (26) Srilangka,
(27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand
(Chambert-Loir, 1999). Bagaimana dengan
naskah Melayu, khusus Riau. Di mana
saja naskah tersebut disimpan? Berbagai
penelusuran sudah mulai dilakukan. Naskah
Melayu yang begitu besar jumlahnya harus
segera ditangani dengan perencanaan kerja
yang matang. Program pengembangan,
pengkajian, dan pemibaan harus terus
dipacu sebab kita berpacu dengan waktu.
Semakin lama tidak tertangani, semakin
rapuh pula naskah, khususnya naskah
yang menjadi koleksi masyarakat (pribadi).
Pemeliharaan naskah menjadi prioritas
utama karena sampai saat ini sudah banyak
naskah yang hilang dan rusak. Hilangnya
naskah berarti hilang pula hasil pemikiran
bangsa. Padahal di dalam naskah itu
berbagai hal yang menjadi kekayaan bangsa
ada di situ, seperti politik, sosial, budaya,
keagamaan, sejarah, dan bahasa. Karena
penelitian masih kurang dan sosialisasinya
belum maksimal, masyarakat saat ini
kurang mengenal warisan budaya mereka.
Padahal kekayaan ini sangat penting bagi
pengambangan kebudayaan.
Sampai saat ini sebenarnya penanganan
pernaskahan Melayu dengan kegiatan pe-
ngembangan, penelitian, dan pembinaan
sudah dilakukan oleh berbagai lembaga
di Indonesia, baik lembaga pendidikan
maupun lembaga penelitian, negeri dan
sawasta. Namun, agaknya kegiatan itu harus
terus digalakkan dengan berbagai upaya.
Kerja sama dengan lembaga terkait dan
lembaga swasta baik dalam dan luar negeri
harus segera dijalin bagi penyelamatan
warisan budaya ini.
halaman 5
2. Program Pengembangan
Pernaskahan Melayu
Program kegiatan yang harus segera
dilakukan dalam pengembangan dunia
pernaskahan Melayu adalah (1) Inven-
tarisasi dan pembuatan katalog, (2) doku-
mentasi naskah, (3) penyusunan buku seba-
gai bahan bacaan bagi khalayak ilmiah dan
khalayak umum, (4) pangkalan data (data
base)
A. Inventariasai dan Penyusunan
Katalog
Sampai saat ini naskah Melayu Riau,
tempat penyimpanannya sangat tersebar.
Upaya penelusuran harus terus dilanjutkan.
Berdasarkan informasi Rudjiati Mulyadi
(almarhum) di Daek Lingga juga banyak
tersimpan naskah. Untuk itu. Untuk itu
buku Naskah Melayu Kuno Daerah Riau
I—III yang disusu Hamidy (1985) harus
diperkaya lagi dengan data naskah Riau
yang lain. Dalam Penelusuran Penyalinan
Naskah Riau: Kajian Kodikologis (Mu’-
jizah 1999), tercatat sekitar 44 naskah
koleksi Yayasan Indra Sakti dan dalam
koleksi Perpustakaan Nasional sekitar 13.
Jumlah yang 13 itu masih harus ditelusur
lagi dalam koleksi naskah yang diwariskan
Von de Wall, yaitu orang Jerman yang
bekerja untuk Pemerintah Hindia-Belanda
yang pada tahun 1858 bertugas di Riau.
Pada masa itu, ia adalah pengayom untuk
kegiatan pernaskahan di Riau. Saat ini
koleksinya disimpan di Perpustakaan Na-
sional. Pada tahun 2003, sebagai penelitian
lanjutan saya mendata naskah Riau yang
menjadi koleksi Perpustakaan Universitas
Leiden dan Perpustakaan KITLV. Dari
kedua tempat tercatat sekitar 45-an naskah
yang berasal dari daerah Riau. Usaha
ini harus terus dilakukan sehingga kita
mendapat gambaran yang jelas tentang
kekayaan naskah Melayu Riau. Usaha yang
dilakukan Chambert-Loir (1999) agaknya
perlu diikuti dengan penelusuran naskah
Riau yang berada dalam koleksi lembaga
(dalam dan luar negeri) dan koleksi pribadi
(masyarakat).
Penyusunan katalog memang bukan
penelitian mudah karena untuk kegiatan
ini diperlukan tim peneliti khusus yang me-
mahami dunia pernaskahan. Langkah
awal yang bisa dilakukan adalah mengin-
ventarisasi lebih dahulu semua naskah
Riau berdasarkan informasi dari berbagai
daftar dan katalog yang ada. Setelah
itu, diadakan penelitian lapangan untuk
penyusunan katalog. Katalog yang ideal
yang banyak membantu peneliti adalah
katalog deskriptif, sebuah katalog yang
lebih terurai isinya dari hanya suatu daftar.
Katalog deskriptif naskah Melayu yang
pernah disusun, di antanya susunan S. Van
Ronkel (1909) yang berisi khazanah naskah
Melayu koleksi Perpustakaan Nasional (dulu
adalah koleksi Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenscahppen). Katalog
naskah Melayu lain yang rinciannya
paling lengkap adalah yang dibuat oleh
Wieringa (1998) Catalogue of Malay
and Minangkabau Manuscripts. Katalog
ini sangat membantu dalam pelacakan
berbagai topik yang berhubungan dengan
naskah karena disertai dengan indeks
judul, indeks tempat atau daerah, cap
kertas (watermarks), cap kertas tandingan
(countermarks), dan indeks surat. Katalog
deskriptif naskah Melayu yang lebih baru
dan lebih sederhana uraiannya dibuat oleh
tim Yanassa (Yayasan Naskah Nusantara)
yang diketuai oleh Prof. Achadiati. Lem-
baga ini bekerja sama dengan Toyota Foun-
dation menyusun Katalog Naskah Buton
halaman 6
(2001). Koleksi yang didata adalah naskah
milik pribadi, yakni milik Abdul Mulku
Zahari. Tahun 2004, lembaga ini juga
bekerja sama dengan Tokyo University Of
Foreign Studies menyusun Katalog Naskah
Palembang. Naskah yang dikatalogkan juga
sebagian besar milik pribadi yang disimpan
oleh 10 pemilik,.
Dalam penyusunan katalog naskah
selain keahlian diperlukan juga kesabaran
dan ketekunan. Sebelumnya kita bisa me-
nyiapkan formulir yang bisa kita isi dengan
data setiap naskah. Setelah formulir ini
terisi, kita tinggal menarasikan. Pokok-
pokok penting yang didata dalam pe-
nyusunan ini pokok yang berkaitan dengan
hal umum, gambaran fi sik, dan ringkasan
isi naskah. (1) Tempat penyimpan nas-
kah adalah nama lembaga (yayasan, per-
pustakaan, masjid, kantor) atau nama
pengoleksi naskah (pemilik/perorangan).
(2) Judul naskah biasanya terdapat pada
halaman judul (halaman awal teks). Kalau
tidak ada, peneliti dapat mencatatkan judul
berdasarkan bacaan teksnya. (3) Nomor
naskah adalah nomor yang tercatat pada
sampul muka, punggung naskah, halaman
sampul belakang. Catat pula nomor lama
jika naskah tersebut memang mempunyai
nomor baru. Jika naskah belum dinomori,
peneliti bisa memberikannya. (4) Jumlah
teks, apakah terdiri atas satu, dua, kum-
pulan.(5) Jenis naskah adalah genre
naskah, hikayat, syair, atau jenis lain.(6)
Bahasa apa yang digunakan dalam naskah.
(7) Tanggal penulisan merupakan waktu
penulisan yang tercatat dalam teks. (8)
Tempat penulisan adalah nama tempat
yang tercatat dalam teks. (9) Catat nama
penulis/penyalin yang tertera dalam teks.
(10) Tuliskan daftar atau katalog lain yang
pernah mendata naskah ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan fi sik
naskah yang perlu dicatat adalah seperti
berikut. (1) Bahan naskah adalah alas yang
dipakai untuk menulis, jika kertas, kertas
apa yang digunakan. (2) Cap kertas dapat
dilihat dengan mengangkat kertas dan
memberikan cahaya. Cap kertas sangat
beragam. Untuk sementara mungkin cap
kertas dideskripsi saja lebih dahulu,
kemudian deskripsi itu dapat dicocokkan
dengan daftar cap kertas. Daftar cap
kertas yang agak lengkap adalah Churchill
(1935) atau Heawood (1924). (3) Kondisi
naskah adalah keadaan naskah saat diteliti,
deskripsikan dengan cermat dan rinci
sehingga pembaca mendapat gambaran
bagaimana keadaan naskah tsb. (4) Jumlah
halaman dihitung mulai dari awal hingga
akhir naskah. (5) Jumlah baris pada
halaman kedua, biasanya jumlah halaman
awal dan akhir berbeda dengan halaman
berikutnya. (6) Ukuran halaman dihitung
panjang kali lebar. (7) Penomoran halaman
biasanya ditemukan pada pias atas atau
pias bawah, biasa ditulis dengan angka
Arab atau dengan kata alihan (catcword),
yaitu kata yang menjadi penanda halaman
berikutnya.
Hal yang berkaitan dengan tulisan
yang perlu dicatat adalah (1) aksara atau
huruf yang digunakan, (2) hiasan huruf
adalah kata yang penulisannya dihias, ada
pula yang ditulis dalam bentuk kaligrafi ,
(3) Iluminasi (gambar atau hiasan pada
halaman naskah) dapat dicatat dengan
menyebutkan halamannya dan bentuk
gambarnya.
Informasi lain yang perlu didata adalah
(1) bahan sampul yang dipakai, (2) ukuran
sampul dihitung panjang kali lebar. Selain
itu, catat pula (3) kolofon, yakni catatan
yang menjelaskan waktu, penulis/penyalin,
halaman 7
dan tempat penulisan. Bagian ini biasanya
ada yang bagian ini seperti apa adanya
dalam teks.(4) Kepemilikan adalah nama
lembaga atau perorangan yang pernah
memiliki naskah ini. Informasi sering
ditemukan pada bagian sampul (depan atau
belakang), halaman pelindung, atau bagian
lain. Hal yang berkaitan dengan isi adalah
(1) ringkasan isi merupakan rangkuman
bagian isi; bagian ini dapat dinyatakan
minimal dalam satu paragraf, (2) kutipan
teks awal minimal tiga baris, dan (3) teks
akhir juga minimal tiga baris saja. Ideanya
rincian naskah ini juga dilengkapi dengan
foto naskah yang dianggap penting.
B. Dokumentasi
Selain katalog, idealnya sebagai bahan
pendamping adalah dokumentasi naskah
dalam bentuk foto, mikrofi lm atau mikrofi s.
Dokumentasi ini sangat penting agar naskah
tidak punah. Warisan budaya dalam bentuk
naskah di daerah tropis seperti Indonesia
ini sangat rentan dari kerusakan, terutama
alas naskah sebab alas seperti kertas dan
lontar tidak dapat bertahan terhadap iklim.
Di samping itu serangan serangga juga
mengancam keberadaan naskah. Untuk
itu, perawatan naskah menjadi prioritas
utama. Namun, pada kenyataannya pe-
rawatan pada benda budaya ini sangat
minim, apalagi pada naskah-naskah yang
masih disimpan di dalam koleksi pribadi
(masyarakat). Untuk menanggulangi ke-
punahan ini dokumentasi harus segera
dilakukan. Beberapa puluh tahun yang la-
lu dokumentasi dalam bentuk mikrofi lm
sudah banyak dilakukan, namun perawatan
mikrofi lm itu juga belum memadai sehingga
mikrofi lmnya yang dibuat lebih dahulu
punah daripada naskahnya.
Saat ini dengan kemajuan teknologi
begitu pesat, pendokumentasi lebih mudah
dilakukan, yakni dengan pembuatan foto
digital. Dokumentasi ini lebih sederhana
dilakukan daripada pembuatan mikrofi lm
atau mikrofi s. Yang dibutuhkan adalah
fotografer profesional sehingga foto
yang dihasilkan berkualitas. Idealnya
dokumentasi ini dilakukan seiring de-
ngan pembuatan katalog karena pada
saat itu, kita dapat memilih naskah-
naskah yang menjadi prioritas utama
untuk diselamatkan. Jika naskah sudah
didokumentasi dalam bentuk foto, tentu
perawatannya juga harus diupayakan.
C. Penyusunan Buku sebagai Bahan
Bacaan
Naskah warisan nenek moyang ini
layaknya jangan hanya ditimang-timang,
tetapi harus diolah. Olahan itu bisa ber-
bentuk penelitian dan penyusunan bahan
bacaan lain sehingga isinya dapat diketahui
masyarakat. Informasi ini penting agar
berbagai hasil pemikiran yang ada di
dalamnya diketahui masyarakat. Caranya
adalah dengan pengadaan berbagai bahan
bacaan. Bacaan itu dapat disajikan untuk
khalayak ilmiah dan khalayak umum
tergantung kepentingannya. Penyusunan
itu bisa dalam bentuk (1) edisi Teks, (2)
bacaan remaja, (3) antologi atau bunga
rampai.
Edisi teks merupakan salah satu cara
menginformasikan isi naskah, hanya pem-
bacanya lebih terbatas, yakni khalayak
ilmiah. Terbitan ini bisa berbentuk edisi
faksimile dan edisi kritis. Usaha Manuscripta
Indonesica perlu ditiru. Terbitan yang
dikelola Universitas Leiden ini berbentuk
edisi faksimile, yaitu terbitan naskah dalam
halaman 8
bentuk apa adanya. Belum dilakukan alih
aksara, yang diperlukan hanya pengantar
yang lengkap tentang naskah yang dipilih.
Salah satu naskah Riau yang berada
dalam koleksi universitas tersebut, yakni
Tawarikh Alwusta pernah dimuat dalam
terbitan ini. Edisi kritis adalah edisi yang
banyak dilakukan diperguruan tinggi dan
lembaga-lembaga penelitian. Dalam edisi
ini, teks sudah dialihaksarakan dan diberi
catatan yang pertangungjawaban jika ada
beberapa perubahan yang dilakukan atas
teks asli. Biasanya dalam edisi ini jika
teks memakai bahasa daerah, terjemahan
juga perlu dilakukan agar pembaca dapat
mengerti isinya. Biasanya dalam edisi
ini para peneliti menambahkan dengan
kajian isi. Topik-topik yang sedang menjadi
perhatian digali dari khazanah teks yang
ada.
Penyusunan bahan bacaan bagi remaja
yang bersumber pada naskah juga harus
dilakukan agar mereka sebagai generasi
penerus bisa mengapresiasi dan mempunyai
wawasan pengetahuan dari budaya asalnya.
Berbagai edisi ilmiah yang sudah ada
bisa dipakai sebagai sumber. Upaya yang
dilakukan Inggris dalam memperkenalkan
Hamlet dan Shakespeare kepada anak-anak
muda perlu ditiru. Tahun ini Pusat Bahasa
bekerja sama dengan sastrawan membuat
saduran yang bersumber pada naskah.
Usaha ini diharapkan berhasil sehingga
penulis-penulis muda mengetahui motis-
mitos yang menjadi kekayaan daerahnya
dan mereka mengungkapkan kembali
dalam karya-karya mereka sehingga terjadi
kesinambungan. Upaya ini juga diharapkan
dapat menambah krativitas remaja dan
membangkitkan minat serta pertumbuhan
sastra. Selain itu, bahan bacaan ini dapat
juga menjadi alternatif sebagai bahan
pengajaran sastra di sekolah.
Penyusunan antologi atau bunga
rampai merupakan salah satu upaya
pemasyarakatan dan penyebaran informasi.
Berbagai penelitian dan edisi yang sudah
dilakukan bisa diolah dalam bentuk yang
lebih pendek. karya-karya dalam naskah
dan memperkenalkan serta meneruskan
nilai-nilai dan hasil pemikiran yang ada
di dalamnya perlu suatu pengolahan dari
karya-karya yang sudah ada, baik edisi yang
sudah diterbitkan maupun bahan-bahan
kajian. Pengolahan itu dapat berbentuk
antologi atau bunga rampai. Sebuah ikhtisar
dari karya-karya terpilih bisa dimasukkan
dalam kegiatan ini. Sebuah olahan yang
didasarkan pada pemilihan pokok tertentu
dan memperkenalkan tokoh-tokoh tertentu
juga bisa masuk dalam kelimpok ini. Olahan
ini biasa dikenal dengan Pokok dan Tokoh.
Sebuah olahan yang diambil dari berbagai
kajian naskah yang sudah ada juga patut
diambil, seperti yang sudah dilakukan Al
Azhar dan Elmustian, 2001 Kandil Akal di
Pelataran Budi. Upaya ini dilakukan untuk
menembus khalayak pembaca umum yang
sudah tidak mengenal bahasa dan aksara
dalam naskah. Untuk menembus pembaca
ini juga perlu diupayakan kumpulan ikhtisar
dari beberapa karya yang dianggap penting
dan dikumpulkan dalam sebuah buku.
Bunga rampai seperti ini bisa menembus
pembaca di kalangan remaja sebagai bahan
pelajaran.
Dalam teknologi informasi yang ber-
kembang pesat, rasanya pangkalan data
(data base) tentang kekayaan khazanah
karya Melayu perlu segara dibuat. Pangkalan
data ini memudahkan pencarian bahan
bagi berbagai kegiatan pengembangan,
pembinaan dan pengkajian.
halaman 9
3. Penutup
Akhirul kata, perkembangan sastra
Melayu, khususnya Riau, menjadi tanggung
jawab masyarakatnya ada dua kegiatan lagi
yang sudah harus dilakukan juga, yakni
sosialisasi UU no.5 tahun 1992 tentang
pemeliharaan dan pelestarian cagar budaya.
Undang-undang ini harus dimasyarakatkan
khususnya kepada para pemilik naskah
yang jumlahnya belum banyak diketahui.
Dengan UU ini diharapkan tidak terjadi
lagi perdagangan naskah.
Upaya yang juga memerlukan ketekunan
dan kesabaran adalah pemerkasaan Aksara
Jawi. Aksara ini akan hilang sebagai
warisan budaya Melayu jika tidak segera
diperkenalkan kepada generasi penerus,
baik tingkat sekolah dasar, menengah, dan
atas. Upaya ini bisa dilakukan dengan kerja
sama pada instansi terkait, pemda atau
dikmenum.
Daftar Pustaka
Al Azhar dan Elmustian. 2001. Kandil Akal di Pelataran Budi. Pekan Baru: Yayasan Kata.Chambert-Loir. 1999. Panduan Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Ding Choo Ming. 1999. Raja Aisyah Sulaiman: Pengarang Ulung Wanita Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Melaysia.Hamidy, UU. 1985. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III. Pekanbaru.Gallop, Annabel Teh. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library.Ikram, Achadiati dkk. 2001. Katalog Naskah Buton. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta.------. 2004. Katalog Naskah Palembang. Tokyo University of Foreign Studies.Junus, Hasan H. dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji: Sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tanjung Pinang: Pemerintah Provinsi Riau.Matheson, VirgineaMcGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta:Yayasan Lontar.Mu’jizah. 1999. Penelusuran Penyalinan Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI. Mulyadi, S.W.R. 1994. Kodikologi Melayu Jakarta: FSUI.Putten, Jan van der. 1995. Di dalam Berkekalan Persahabatan. Leiden: Department of Languages and Cultures of South-east and Oceania.Sham, Abu Hasan. 1999. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.Churchill, 1935. Watermarks in Paper. 1935.
halaman 10
“Tadi malam waktu aku mau bobo, aku
didongengkan ibu Kancil dan Keong,
ceritanya menarik sekali loh teman-
teman.” apabila yang keluar kata-kata
itu dari mulut anak yang sedang bermain
dengan teman-temannya. Pastilah amat
indah sekali.
Pada tahun 90-an sepertinya kita
masih akrab dengan dongeng. Orang tua
selalu aktif memberikan dongeng sebagai
pengantar tidur anak-anaknya. Tetapi pada
saat ini, kita sangat jarang menjumpai
orang tua yang mau mendongeng untuk
anaknya. Anak-anak lebih banyak yang
tertidur di depan layar kaca televisi ataupun
tidur dengan kehampaan di tempat tidur
dan didongengi oleh suara derik jangkrik
atau binatang malam lainnya. Dongeng
(folktales, folklore) menurut Nurgiyantoro
(2004: 115) merupakan salah satu bentuk
dari cerita tradisional. Istilah “tradisional”
dalam kesastraan (traditional literature
atau folk literature) menunjukkan bah-
wa bentuk itu berasal dari cerita yang
telah mentradisi, tidak diketahui kapan
mulainya dan siapa penciptanya, dan di-
kisahkan secara turun-temurun secara
lisan. Jadi dapat disimpulkan mendongeng
merupakan kegiatan yang telah mentradisi
pada masyarakat sejak dahulu.
Namun tradisi mendongeng lambat laun
akan hilang dengan sendirinya, apabila
orang tua tidak melakukan kegiatan
mendongeng seperti yang dilakukan
nenek moyang dahulu. Oleh sebab itu,
untuk menjaga tradisi yang diwariskan
nenek moyang kita harus menggiatkan
mendongeng kembali. Walaupun untuk
zaman sekarang dirasa sulit dengan beribu
alasan.
Salah satu faktor yang menyebabkan
para ibu atau orang tua enggan untuk
memberikan dongeng kepada anak-
anaknya beranekaragam. Misalnya, tidak
Lunturnya Tradisi Mendongeng
oleh Indra KS
esei
halaman 11
adanya waktu karena sang ibu kerja sampai
malam, kecapaian, ataupun karena tidak
dapat mendongeng. Kita tahu saat ini
banyak kaum ibu yang menjadi wanita
karier tidak seperti dahulu yang tahunya
hanya dapur, sumur, dan kasur. Jadi
wajar saja kalau sang ibu mengalami
kecapaian sehingga tidak ada waktu untuk
memberikan dongeng kepada anaknya.
Bahkan ada ibu yang kerjanya sampai
malam. Maka saat pulang anaknya telah
tidur dengan nyenyak.
Faktor lain karena sang ibu tidak
dapat mendongeng yang disebabkan
ketidaktahuan tentang dongeng itu sendiri.
Ini terjadi karena waktu kecil sama sekali
tidak pernah mendengarkan dongeng.
Untuk masalah ini sebenarnya ada
solusinya sebab berbagai cerita tradisional
dewasa ini telah banyak yang dikumpulkan,
dibukukan, dan dipublikasikan secara
tertulis, antara lain dimaksudkan agar
cerita-cerita tersebut tidak hilang dari
masyarakat mengingat kondisi masyarakat
yang telah brubah. Jadi tidak ada alasan
untuk tidak memberikan dongeng dengan
dalih tidak dapat mendongeng, sebab buku
dongeng saat ini telah banyak beredar
di pasaran. Ibu dapat dengan mudah
mendongeng dengan membacakannya.
Kita tahu Indonesia kaya akan dongeng.
Oleh karena itu, orang tua tidak akan
kehabisan dongeng setiap malamnya.
Dongeng yang akrab di telinga kita antara
lain Bawang Merah Bawang Putih, Kancil
dan Keong, Kancil dan Buaya, dan lain
sebagainya. Dongeng tersebut mengandung
ajaran moral yang dapat mendukung
perkembangan anak. Contohnya pada
dongeng Kancil dan Keong. Pada dongeng
tersebut diceritakan tentang Kancil yang
sombong dan pada akhirnya Ia termakan
oleh kesombongannya sendiri. Jadi dapat
dipetik pelajaran bahwa sombong itu tidak
baik.
Tingkah laku anak juga akan berbeda,
antara anak yang suka mendengarkan
dongeng dengan anak yang sama sekali
tidak pernah mendengarkan dongeng.
Anak yang suka mendengarkan dongeng
cenderung lebih pintar, kreatif, dan kaya
tentang bahasa. Misalnya apabila anak
sedang bergaul dengan teman bermainnya
lalu Ia bercerita tentang kancil, anak lain
yang tidak pernah diberikan dongeng
tentang kancil pastilah tidak akan tahu
tentang kancil yang merupakan salah satu
dari hewan berkaki empat yang mirip
dengan rusa tetapi tidak bertanduk.
Jangan biarkan anak-anak tertidur di
depan layar kaca yang acara di dalamnya
belum tentu sesuai dengan perkembangan
anak walaupun ada acara yang memang
dikemas untuk anak. Misalnya kartun
atau acara anak lainnya. Tapi kita lihat
acara tersebut, pada kenyataannya banyak
yang menampilan perkelahian ataupun
kekerasan. Jadi tidaklah salah apabila
kebanyakan anak saat ini berperilaku nakal.
Dengan mendongeng setidaknya kita
juga ikut menjaga warisan budaya nenek
moyang yang tak ternilai harganya ini.
Selain itu kita secara tidak langsung juga
dapat mengubah topik pembicaraan anak di
lingkungan bermainnya dari yang tadinya
saling bercerita tentang fi lm-fi lm kartun
atau bahkan lagu untuk dewasa beralih
topik ke negeri dongeng.***
Indra KSLahir di desa Tanggeran, 5 Oktober 1989. Tulisannya terbit di Riau Pos, Padang Ekspres, dan sebagainya. Aktif di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK).
halaman 12
cerita-pendek
Pengantar RedaksiTak terasa setahun sudah, tepatnya 30 Maret 2012 lalu, almarhum
Hasan Junus (HJ) berpulang menghadap yang Maha Kuasa. HJ, seorang
sastrawan penulis yang boleh dikata hampir sebahagian besar perjalanan
usianya, ia dedikasikan untuk kepenti ngan kebudayaan dan kepenulisan
kreati f. Berbagai tulisan telah ia lahirkan, sebagai buah dari pemikiran
yang didasarkan pada upaya yang kerap ia lafazkan pada berbagai kesem-
patan, “cari sesuatu yang baru dan teruslah membaharu” dan ucapannya
ini terlihat jelas pada sosok karya-karya HJ.
Sebagai salah satu bentuk kenangan yang kami suguhkan kepada para
pembaca majalah budaya “Sagang”, pada nomor ini kami muatkan karya
cerita pendek almarhum HJ bertajuk “Penganti n Boneka”. Sebuah karya
penuh dengan kepiawaian memberi makna kekinian (present meaning)
dari sebuah tradisi masa lalu. Sekaligus kami muatkan juga, terjemahan
cerita pendek tersebut ke dalam bahasa Inggris yang dikerjakan oleh: Jea-
nett e Lingard, dalam Diverse Lives - Contemporary Stories from Indonesia,
Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995.
halaman 13
ORANG Barat itu begitulah penduduk menyebutnya seperti biasa
memulai acara paginya dengan berenang di pantai. Sudah tiga bu-
lan ia tinggal di pulau kecil itu untuk menyiapkan risalah ilmiahnya
tentang duabelas cerita wayang cecak.
Dalam simbahan matahari pagi, ia menyelam, berenang dan
bersenandung lagu kampungnya di negeri jauh. Tidak seorang pun
memperhatikannya lagi. Sudah biasa.
Tiba-tiba ia menjerit sejadi-jadinya, bergegas menuju ke darat.
Teriakannya mengejutkan perempuan-perempuan yang sedang
mencuci di perigi dekat pantai, dan para nelayan yang baru saja pu-
lang dari menangkap ikan malam tadi. Teriak paniknya bersambut
dengan gaung di sana sini. Orang-orang berlarian, berkerumun di
pinggir air.
Di air sedalam pinggang, ia menggendong Nenek Lamah, perem-
puan tertua di pulau itu. Rambut si nenek tergerai mengalun pu-
tih. Lelaki asing itu terus saja menggumamkan kata-kata yang tak
dipahami penduduk. Padahal biasanya ia fasih sekali berbahasa se-
tempat. Selangkah demi selangkah ia mendekati kerumunan orang
yang makin lama makin bertambah banyak.
Permulaannya? Dimulai dari perkawinan. Bukan perkawinan
sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara. Ceritanya
semua berakhir dengan kematian. Begitulah hidup!
Seperti di depan sebuah cermin nyinyin fantasmagoris peristiwa
demi peristiwa muncul dan lenyap secara mengejut dalam kehidu-
pannya. Masa kanak-kanak, masa remaja yang kepergiannya selalu
ditangisi, menjadi isteri, menjadi janda, semuanya tidak lama. Bah-
kan usianya yang sudah hampir satu abad itupun terasa baginya ti-
dak lama. Tidaklah lama. Tapi setiap peristiwa selalu melekat dalam
ingatannya seperti goresan paku pada permukaan kaca.
Di pulau kecil yang dulunya menjadi pusat pemerintahan kera-
jaan kepulauan itulah dia dilahirkan. Ayahnya, yang cepat sekali
menjadi duda karena kelahirannya, memberinya nama Salamah,
perempuan pembawa damai. Akan tetapi kita semua tahu nama bu-
kanlah jaminan nasib orang.
Nasib baikkah yang mendatanginya ketika dia dikawinkan den-
gan Encik Muhammad, seorang pegawai mahkamah kerajaan? Na-
Pengantin BonekaOleh Hasan Junus
halaman 14
mun empat bulan setelah kawin, sang suami pergi ke Mekah untuk
memperdalam ilmu nahu dan fi qih. Lelaki itu meninggal dunia nun
di negeri tempatnya menuntut ilmu.
Salamah tak tahu persis tahun berapa semua itu terjadi. Dia
hanya dapat menyandingkan dengan beberapa kejadian. Dia kawin
ketika ...Tunggu dulu! Cerita ini harus bermula dari perkawinan yang
lain. Bukan perkawinan sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara.
Sejak masa gadisnya yang singkat, Salamah sudah dilatih oleh neneknya membuat boneka dari perca kain sepanjang kira-kira se-jengkal. Boneka perca kain inilah yang menjadi pemegang peranan dalam sandiwara boneka tradisional daerah itu yang dinamakan ‘wayang cecak’. Kepandaian itu diturunkan oleh Nenek Anjung, perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil dengan keras, mulai dari segala macam pekerjaan rumah tangga, adab sopan santun, sampai menghafal dialog cerita wayang cecak yang tak boleh salah walau sedikitpun.
Ada duabelas cerita wayang cecak itu. Semuanya dimulai dari perkawinan dan berakhir dengan kematian. “Begitulah hidup!” kata Salamah menirukan ucapan neneknya setiap mengakhiri cerita. Dia sudah mengucapkan kata-kata itu entah berapa ribu kali selama hidupnya.
Pertunjukan resminya yang pertama, setelah hampir satu tahun berlatih, dilakukan pada suatu malam di ruang tengah rumahnya yang besar. Para penonton terdiri dari kira-kira duapuluh orang perempuan dan anak-anak. Tentu saja dengan didahului sebuah upacara.
Sore tadi dia disuruh mandi berlangir oleh si nenek karena mens-truasinya yang pertama berakhir hari itu. Salamah disolek cantik seperti pengantin kanak-kanak. Bau wangi pakaiannya berasal dari asap dupa dan bunga rampai yang dibuat oleh tangan yang ahli.
Dalam benderang cahaya lilin yang bertengger pada empat buah tempat-lilin bercabang lima, Salamah memainkan cerita wayang cecaknya yang pertama, ‘Pengantin Duyung’.
Sambil meletakkan satu per satu boneka perca kain ke atas ran-jang miniatur tembaga yang berkilau-kilau, dengan suara beningagak gemetar, gadis yang sudah tidak sunti lagi itu mengucapkan prolog yang sudah dihafalnya sekian lama. Suatu hari, seekor lum-ba-lumba betina yang hamil tua tersadai di beting pasir, lengah karena terpesona oleh hangatnya matahari pagi, sampai lupa pada laut yang terus berangkat surut. Hingga senja tiba, dia masih meng-hempas-hempaskan tubuhnya di pantai yang kering timpas itu, bergelut sia-sia, sementara lumba-lumba yang jantan berenang ber-
halaman 15
putar-putar di laut yang jauh redam, tak berdaya hendak menolong betinanya. Lemah oleh letih dan sakit, di atas beting pasir itulah sang betina melahirkan sepasang anak, yang dengan susah payah merangkak ke darat, dan menjadi anak manusia. Malam datang bersama bulan cemerlang mengantar pasang. Dengan menangis kedua lumba-lumba itu berenang pulang ke lubuknya, tanpa kedua anak mereka. Beribu-ribu tahun kemudian ...
Karena cerita ini dimulai dari perkawinan, upacara perkawi-nanlah yang berlangsung di atas pentas ranjang miniatur tembaga itu. Pentas yang bersemarak. Pengantin-perempuan duduk di atas pelamin, di depan nasi-hadap: nasi pulut yang dikuningkan dengan kunyit, dihiasi bunga-telur warna warni yang dibuat dari manik-manik.
Meskipun sang dalang hanya dapat menggerakkan dua buah boneka,tapi kononnya karena suasana magis, wangi setanggi dan mantera-mantera, boneka-boneka perca kain itu seperti berjiwa.
Tak ada bunyi-bunyian mengiringi pertunjukan wayang cecak itu. Tapi ketika Salamah meningkah keramaian dengan nyanyian pengantin berarak, ruangan itu seperti bergemuruh dengan tabu-han rebana dan tiupan nafi ri. Penonton terpukau bagaikan menyak-sikan upacara perkawinan yang sebenarnya. Mereka menyaksikan lakon yang diperankan oleh manusia-manusia kecil, tapi kadang-kdang terasa seperti merekalah yang menciut jadi sebesar boneka-boneka perca kain itu.
Ruang tengah rumah besar itu menjadi sepi sekali ketika sampai pada adegan mempelai bersuap-suap makan nasi-hadap. Perem-puan pengiring pengantin mengambil sejemput pulut kuning, men-gupas telur, meletakkannya ke tangan pengantin-perempuan dan membawakan tangan itu ke mulut pengantin-lelaki. Kemudian si pengiring itu mengambil pula sejemput pulut, mengupas telur, me-letakkannya ke tangan pengantin-lelaki dan membawa tangan itu ke mulut pengantin-perempuan. Para penonton bersorak riang.
Lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tiba-tiba pengantin-lelaki jatuh tersungkur. Mulutnya memuntahkan darah, berselekeh men-gotori pelamin. Pengantin-perempuan terkejut, bangkit dan men-jerit. Di antara hadirin, seorang perempuan berdiri mendakwa, “Pengantin-perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jari-manisnya berkuku panjang, tempat racun itu disimpannya!”
Dengan air mata bercucuran, si pengantin-perempuan pergi ke-luar meninggalkan ruangan yang hingar. Dia melangkah dengan gontai, telapak kakinya seperti tak jejak di tanah, menuju pantai yang kering kerontang bagaikan padang tandus, karena air surut timpas. Kakinya yang halus dan telanjang tidak lagi merasakan tajam kerikil. Dia melangkah terus ke pinggir air, dan duduk di atas
halaman 16
sebungkah batu-karang. Matahari merah kian redup dan bayangan
lebam malam sudah mulai membayang. Bulan pucat siap menggan-
tikan si matahari.
Pengantin itu mengorak sanggulnya. Rambutnya yang tergerai
panjang mengalun dalam angin. Telah dia tolak air pasang dengan
tangisan. Tapi kemudian alam menjadi gelisah dan tak sudi dika-
lahkan oleh tangisan perempuan. Air-mata pengantin itu pun habis,
tinggallah sedu-sedan yang kering. Dan itu terasa lebih pedih.
Air laut yang mulai pasang menggelitik telapak kakinya. Pengan-
tin perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jari manisnya
berkuku panjang tempat racun itu disimpannya! Air mulai menyapu
pergelangan kakinya. Perempuan itu memandang kaku jari-manis-
nya yang panjang. Dia membungkuk dan menikam telapak kakinya
berkali-kali dengan kukunya itu. Air laut di sekitar kakinya berkuah
darah. Lututnya sudah dijejaki air. Lalu pinggangnya. Lalu dada-
nya. Digoresnya belikat dan ketiaknya dengan kuku yang panjang
itu. Air telah sampai ke lehernya. Getah darah di sekeliling batu-
karang tempat perempuan itu duduk telah berbancuh dengan war-
na malam. Luka-luka di telapak-kaki, belikat dan ketiaknya telah
berubah menjadi sisik dan sirip: kulit dan sirip ikan duyung. Sekali
lagi dia memandang ke daratan, coba menangis, tapi tetaplah yang
tinggal hanya sedu-sedan yang kering, lebih pedih dari semua luka.
Lalu dia pun berenang ke dalam laut dan malam.
Di ruangan tempat pengantin bersanding yang penuh panik,
tiba-tiba masuk mendedas seorang lelaki dengan suara menggel-
egar, “Mana pengantin-perempuan? Aku pamannya. Sudah kukira
ini akan terjadi, karena itu kuletakkan penawar racun pada kuku
jari-manis kemanakanku tanpa diketahuinya. Pada kukunya itulah
tersimpan obat untuk suaminya.” Lalu lelaki itu mendakwa perem-
puan yang tadi menuduh pengantin-perempuan telah meracuni
suaminya itu yang meracuni pengantin-lelaki dengan bantuan si
pengiring-pengantin. “Mana pengantin-perempuan itu. Carilah
dia!”
Orang-orang segera sadar bahwa pengantin-perempuan telah
meninggalkan ruangan itu. Seorang bocah berkepala gundul yang
sejak tadi berdiri dekat pintu berkata, “Saya lihat dia duduk di atas
batu-karang di pantai. Ketika matahari terbenam dan air laut naik
pasang, dia pun berenang ke dalam laut dan malam.”
Lilin duapuluh batang yang menerangi ruangan itu sudah pendek
sekali. Tujuh di antaranya telah padam. Yang lain bakal menyusul
sebentar lagi. Cahaya malap lilin-lilin sisa itu seperti sengaja men-
gantarkan kisah itu ke ujungnya. Dari jendela masuk cahaya bulan
halaman 17
yang dingin. Tak ada lagi asap setanggi mengepul, tinggal baunya yang masih melekat di udara.
Cerita itu memang hampir selesai. Adegan penghabisan meng-gambarkan ibu dan ayah pengantin-lelaki memasuki ruangan itu. Si ibu mendekati anaknya, duduk dan meriba kepalanya, mengu-sap-usapnya dengan sayang. Sekali-sekali dia menyeka air-mata. Si ayah duduk di samping isterinya, memegang lengan anaknya. Ia juga menyeka air-mata. Paman pengantin-perempuan pergi ke samping pintu dan duduk di situ. Ia menunduk. Dan ia menyeka air-matanya. Satu per satu hadirin menyeka air-mata.
Dengan sekali sentuh, jari-kelingking Salamah melepaskan kait tabir di sebelah depan ranjang miniatur tembaga itu. Tabir itupun jatuh menutup pemandangan di atas pentas. “Begitulah hidup!” ka-tanya menutup cerita. Ceritanya yang pertama.
Salamah belum sempat mementaskan cerita wayang cecak yang keduabelas ketika dia dikawinkan. Sekali ini bukan pengantin bone-ka wayang cecak yang diarak beramai-ramai. Bukan permainan. Bukan semacam sandiwara. Perkawinan yang sebenarnya.
Lalu suaminya berangkat ke Mekah. Beberapa bulan sesudah itu Salamah diundang ke istana untuk memainkan wayang cecak di depan keluarga sultan. Dan hal itu terjadi berulang-ulang entah berapa kali. Tapi cerita wayang cecak yang keduabelas ‘Amuk si Bir-ing Kuning’ tak dapat diselesaikan karena ketika sedang memen-taskannya orang memberitahu Nenek Anjung meninggal. Sebelum air-matanya kering datang pula dari Mekah tentang kematian sua-minya. Lalu waktu bergerak seperti terbang. Seluruh pulau kecil itu pada suatu pagi dipenuhi oleh serdadu asing. Sultan pergi mening-galkan pusat pemerintahannya. Pulau yang molek itu dijarah, ista-na dan gedung-gedung menjadi puing, hanya tinggal sebuah mesjid yang dipelihara dengan baik oleh penduduk. Raja-raja dan pembe-sarnya makhluk fana seperti orang lain, hanya Tuhan yang abadi. Waktu benar-benar terbang laju sekali.
Dan pada suatu hari seorang pemuda asing diperkenalkan kepa-da Nenek Lamah, panggilan untuk Salamah yang berubah menurut waktu. Ia telah beberapa bulan tinggal di pulau itu. Ia mengetahui tentang wayang cecak sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, kecuali cerita yang keduabelas. Bermacam-macam alasan telah dikemuka-kannya kepada Nenek Lamah agar mau menceritakan atau kalau mungkin mementaskan cerita yang keduabelas itu. Telah ia gunak-an bujukan, uang, dan pengaruh orang-orang lain. Akhirnya ia me-makai senjata terakhir menghadapi perempuan tua yang ingatan-
nya sesegar gadis remaja itu. Ia memperlihatkan foto-foto suami
Salamah dan buku-buku karangannya, surat-suratnya, dan juga
catatan tentang wayang cecak. Di pinggir keputusasaan pemuda as-
halaman 18
ing itu berhasil.
Bersama dengan sepuluh orang penduduk pulau mungil itu si
pemuda asing menyaksikan Nenek Lamah mementaskan cerita
wayang cecak yang keduabelas malam tadi. Setanggi dibakar,
mantera pembuka dibaca oleh si nenek dengan suara tuanya yang
gemetar. Tapi dari mana perempuan itu mendapatkan suara gadis
remaja ketika ia mulai mendendangkan prolog:
Hidup ini seperti embun di daun
Seperti embun di atas daun
Embun di ujung daun ......
Dan dalam embun Tuhan
Mari mandikan diri
Cuci-cuci!
Ketika iringan pengantin lelaki berarak hendak memasuki hala-man rumah pengantin-perempuan, si Biring Kuning, ayam-jantan milik pengantin-lelaki yang tak pernah berpisah dengan tuannya itu menjeritkan kokok, “Kukukuuuuuk si Biring Kuning ... Bawa sirih bekal jauh!”
Setiap langkah mendekati tempat pengantin-perempuan di pela-min, si ayam sabungan terus menjeritkan kokok, sehingga langkah pengantin-lelaki itu tersandung-sandung, namun diteruskannya juga dengan khawatir.
Karena merasa tak diperdulikan, ayam-jantan itu tiba-tiba me-ronta, melepaskan diri dari tali pengikatnya. Si Biring Kuning ter-bang dengan murka, ke tengah gelanggang perkawinan, mengamuk dengan dahsyat.
Ayam itu seperti telah berubah menjadi rajawali. Dia menyambar ke sana ke mari. Orang-orang semua tengkurap di tanah, ketakutan. Diporakperandakannya segala yang ada di depan matanya. Tabir-tabir koyak, telur dan nasi kuning berhamburan menaburi tubuh pengantin-perempuan yang tergolek pingsan. Hanya pengantin-lelaki, tuan si Biring Kuning, yang tegak berdiri, bingung sendiri.
Penat mengamuk, ayam itu menyembah tuannya. Pengantin-lelaki itu menghardik, “Biring Kuning, mengapa kau ini?”
“Tuan tidak paham bahasa isyarat. Telah saya beritahu dengan tanda, tapi yang tuan maukan masih juga kata-kata, benda yang lebih tajam dari sembilu, lebih menikam dari belati. Dan inilah dia: Ini perkawinan sumbang! Tak boleh dilanjutkan. Banjir dan gempa akan melanda, sial dan celaka seperti mega di langit menurunkan air mautnya. Pengantin-perempuan itu adik tuan. Boleh tanyakan kepada bunda tuan yang tinggal di ujung tanjung sana.”
halaman 19
Pengantin-lelaki itu menggendong ayamnya. Selangkah demi se-langkah ia tinggalkan tempat itu. Tapi di gerbang halaman, ayah pengantin-perempuan meneriakkan perintah, “Penghinaan! Kejar! Tangkap!”
Tiga puluh lelaki berseragam hitam muncul dengan keris dan tombak di tangan. Mereka bergegas mengejar pengantin-lelaki itu.
Bersama si Biring Kuning, si pengantin-lelaki merobohkan keti-gapuluh orang itu dengan mendapat tigapuluh liang luka di badan-nya sendiri. Duapuluh sembilan kali si Biring Kuning memuntahkan cairan obat dari paruhnya, yang akhirnya kering juga. Kini tuannya terbaring di samping mayat para penyerangnya tak jauh dari ujung tanjung yang menahan amukan gelombang dari laut besar.
Malam datang. Pengantin-perempuan siuman. Dia tinggalkan ruangan tempat bersanding itu menuju pantai. Berteman cahaya bulan dia mencari suaminya.
Di sepanjang pasir pantai berserakan mayat-mayat. Pengantin-perempuan memeriksa mayat-mayat itu satu per satu. Seorang perempuan datang mendekatinya dari tengah temaram malam yang ditingkah debur gelombang. Dialah ibu pengantin-lelaki, ibu tiri pengantin-perempuan. Berdua mereka meratapi mayat lelaki yang mereka sayangi.
Di pinggir air tiba-tiba terdengar kokok ayam, suara si Biring Kuning yang putus kedua kepaknya, namun masih sempat berkokok sebelum diseret gelombang.
Tabir di depan ranjang miniatur tembaga itu jatuh kena sentuh jari-kelingking Nenek Lamah. “Begitulah hidup!” terdengar suara perempuan itu seperti gemetar dalam angin.
Pemuda asing dan tamu-tamu yang menemaninya tadi sudah pulang semua. Dengkur dua orang perempuan yang tinggal bersa-ma Nenek Lamah dalam rumahnya yang besar itu makin keras ter-dengar. Perempuan tua itu masih duduk di depan ranjang miniatur tembaga yang menjadi pentas sandiwara bonekanya.
Satu demi satu boneka-boneka perca kain itu disusunnya di de-pan pentas. Rebana dan nafi ri terdengar, mula-mula sayup, lalu makin mendekat bunyinya, makin gemuruh hingar. Semua boneka wayang cecak itu berbaris-berarak menuju pintu samping yang pel-antarnya menghadap ke laut. Si Biring Kuning berkokok, disambut oleh seribu ekor ayam-jantan. Pengantin Duyung membuka pintu yang menghala ke laut, lalu sambil memimpin tangan Nenek La-mah menuruni tangga ke air yang tenang. Bersama dengan semua pengantin boneka dalam duabelas cerita wayang cecak, Nenek La-mah menari di atas permukaan laut yang benderang oleh cahaya
bulan.***
halaman 20
int
halaman 21
The Puppet BrideBy Hasan Junus
THE Westerner, as the locals called him, started his day as usu-
al with a swim at the beach. For three months, he’d been staying on
that small island doing research on the twelve stories of the cecak-
puppet theatre. Bathed in the morning sunlight, he dived, swam,
and hummed a song of his far-away homeland. No one took any
notice of him any more. They were all used to him.
Suddenly, he cried out at the top of his voice and raced toward
the shore. His shouts starled the women who were doing their
washing at the well near the beach and the fi shermen on the way
home after fi shing all night. His cry of panic was echoed here and
there and people came running and gathered at the water’s edge.
The Westerner waded in through the waist-deep water, carry-
ing in his arms Grannie Lamah, the oldest woman in the village.
Her long white hair hung loosely. The foreigner was mumbling in-
telligibly to the people, although usually he was very fl uent in the
local language. Step by step, he neared the crowd that grew larger
by the minute.
***
Where did it begin? It began with a wedding. Not a real one.
Only a game. A kind of play.
Stories all end with death. That’s life!
***
As though standing in front of a phantasmagoric mirror maze,
each episode in her life came and went quickly. Childhood, youth,
becoming a wife, then a widow, all fl ashed past. Even her age,
which was almost a century, didn’t seem long to her. It may not
have seemed long, but every incident was fi xed in her memory like
nail scratches on the surface of a mirror.
She was born on the small island which was formerly the centre
of government of that island kingdom. Her father, who had sud-
denly become a widower when she was born, called her Salamah,
which means ‘she who brings peace’. But we all know a name is no
guarantee of a person’s fate.
Was fate kind to her because she married Encik Muhammad,
an offi cial in the high court of the kingdom? Whether it was or not,
Terjemahan Inggris
halaman 22
four months after they were married, her husband went to Mecca
to deepen his knowlwdge of Koranic interpretation and Islamic
law. He died there, far away in the country where he’d gone to
seek knowledge.
Salamah couln’t remember exactly what year all that happened.
She could only try to link it with some other incident. She was mar-
ried when ...
But wait.
This story has to begin with another wedding. Not a real wed-
ding. Just a game, a kind of play.
Since her brief childhood, Salamah had been trained by her
grandmother to make dolls from scraps of cloth about a hand’s
span in length. It was the dolls that played the parts in the tradi-
tional puppet theatre of that region which was called the cecak-
puppet theatre.
Grannie Anjung, the old woman who raised her strickly from
the time she was small, handed the skill down, training her in ev-
erything from houseworks, good manners, and correct behaviour,
to memorizing the dialogue of the puppet theatre stories, which
had to be word perfect.
There were twelve of these stories. They all began with a wed-
ding and ended with death. ‘That’s life!’ Salamah would say, copy-
ing her grandmother’s words every time she ended a story. She
must have said those words thousands of times in her lifetime.
Her fi rst offi cial performance, after almost a year of practice,
was held oen night in the main room of her large house. The au-
dience consisted of twenty women and children. Naturally, there
was a ceremony before the performance.
Earlier, she’d been told by her grandmother to bathe and sham-
poo her hair because her fi rst menstruation had ended that day.
Salamah was dressed up like a child bride. Her clothes were fra-
grant from incense and pot-pourri of fl owers made by skilled
hands.
By the light of the candles in four fi ve-branched candelabra, Sal-
amah performed her fi rst puppet story, called ‘The Dolphin Bride’.
Placing the cloth puppets one by one on the miniature stage of
gleaming copper, the young girl, who had now reached puberty,
spoke the prologue which she had been memorizing for so long.
‘One day a female dolphin that was very pregnant lay in the
shallows, careless because she was enchanted by the warmth of
the morning sun. She forgot that the tide always goes out. At dusk,
she was still thrashing around on the dry sand, struggling in
halaman 23
vain, while the male dolphin swam round and round in the deep
water, powerless to help his mate. Weak from exhaustion and pain,
in the shallows, the female gave birth to a pair of young that with
great diffi culty crawled up on to the land and turned into humans.
Night came and with it the bright moon to accompany them.
Weeping, the dolphins swam back to their deep pool without
their babies.
‘Thousands of years later ...’
The story began with a wedding, so it was a wedding that took
place on the miniature copper stage. A stage that gleamed. The
puppet bride sat on the bridal dais, and in front was ceremonial
glutinous rice, which was coloured yellow with turmeric, and dec-
orated with eggs and coloured fl owers made of beads.
Although the puppeteer could only move two puppets at a time,
it was said that because of the magical atmosphere, the fragrance
of incense and the mantras, the cloth puppets seemed to be alive.
Everyone was watching the performance in silence but when
Salamah raised the level of excitement with the song of the weed-
ing procession, it was as though the room thundered with the rat-
tling of tambourines and the blowing of trumpets. The audience
was mesmerized, as though witnessing a real wedding ceremony.
They were watching a drama acted by tiny people but they that
it was they who had shrunk to the size of the cloth puppets.
The large room was hushed with silence in the scene where the
bridal couple fed each other a mouthful of the special rice. The
bride’s attendant took a little rice in fi ngers, peeled a egg, placed
them in the bride’s hand, and raised that hand to the groom’s
mouth. Then she did the same for groom and raised his hand to the
bride’s mouth. The audience cheered and clapped.
Then something terrifying happened. Suddenly, the groom col-
lapsed, vomiting blood. The bride was shocked and leapt to her
feet, screaming. A woman among the wedding guests stood up and
said accusingly, ‘The bride has poisoned her husband. Look at the
long nail on her ring fi nger. That’s where she hid the poison!’
With tears streaming down her face, the puppet bride left the
room that was in uproar. She walked slowly, as though her feet
were not touching the ground, and headed for the beach that was
as dry as a bone, like an arid desert because the water had all dried
up. Her soft, bare feet no longer felt the sharp pebbles. She walked
straight to the water’s edge and sat on a rock. The red sun faded
and the purple shadows of the night began to appear. The pale
moon made ready to replace the sun.
halaman 24
The bride undid the bun in her hair. Her long, loose hair stirred
in the breeze. She kept the tide at bay with her tears. But nature
became inpatient and unwilling to be defeated by a woman’s tears.
They dried up and dry sobs remained which were more painful
than the tears.
The tide which had begun to come in lapped the soles of her
feet. ‘The bride has poisoned her husband! Look at the long nail of
her ring fi nger where she hide the poison!’ Water started to brush
her ankles. She looked at her long fi nger-nail, bent forward, and
stabbed the soles of her feet several times with it. Blood mingled
with the water around her feet. The water came up to her knees,
then her waist, then her chest. She scratched her shoulder blades
and armpits with the long nail. The water was up to her neck. The
sticky blood around the rock where she was sitting mingled with
colour of the night. The wounds on her feet, shoulder blades, and
armpits turned into scales and fi ns, the scales dan fi ns of a dolphin.
Once again, she looked at the land and tried to weep but all that re-
mained were the dry sobs, more painful than all the wounds. Then
she swam off into the sea and the night.
At the wedding ceremony, there was panic. Suddenly, a man
rushed in and in a thundering voice said, ‘Where is the bride? I am
her uncle. I had a premonition something would happend tonight.
As a precaution, I put some antidote under my niece’s fi nger-nail
without her knowing. It was medicine for her husband that was
under her nail.’ The he pointed to the woman who’d accused the
bride, and accused her of poisoning the groom with the help of the
bride’s attendant. ‘Where is the bride? Find her!’
It wasn’t till then that everyone realized that the bride had gone.
A boy who had been standing near the door said, ‘I saw her sitting
on a rock on the beach. When the sun set and the tide came in, she
swam away into the sea and the night.’
The story was almost fi nished. The closing scene showed the par-
ents of the groom entering the room. THe mother sat and touched
her son’s head, stroking it lovely and wiping her tears.
The father sat beside his wife, holding his son’s arm. He too
brushed tears from his eyes. The bride’s uncle went and sat by the
door, and bowed his head, wiping his tears. And one by one the
guests wiped their tears too.
With one touch of her little fi nger, Salamah release the catch
of the screen at the front of the miniature stage. The screen came
down and hid the stage. ‘That’s life!’ she said, ending the story. Her
fi rst story.
halaman 25
***
Before Salamah ever had the chance to perform the twelfth sto-
ry she got married. This time it wasn’t the puppets which were in
the festive bridal procession. It wasn’t game or a kind of play.
It was a real wedding.
Then her husband went to Mecca. A month or so after that, Sal-
amah was invited to the palace to perform the show in front of
the Sultan’s family. And that happened many times. But she was
unable to fi nish the twelfth story which was called ‘Biring Kun-
ing’s Rampage’ because when she was performing it, she received
news that Grannie Anjung had died. Before her tears were dry,
the news also arrived from Mecca about the death of her husband.
Then time seemed to fl y. One morning, the small island was full
of foreign soldiers. The Sultan left his centre of government. The
beautiful island was looted and the buildings fell into ruin. All that
remained was the mosque which people looked after carefully.
Kings and their high offi cials are fl eeting creatures, only God is
eternal. Time raced by.
One day, a young foreign man was introduced to Grannie La-
mah, as Salamah was now called with the passing of time. He’d
been living on the island for a few months. He knew every tiny
detail about the cecaktheatre except the twelfth story. He tried
in all sorts of ways to persuade Grannie Lamah to tell or may-
be even perform the twelfth story. He tried fl attery, money, and
other people’s infl uence. Finally, he used his trump card against
the old woman whose memory was as fresh as a young girl’s. He
produced photos of Salamah’s husband, and books of his writing,
and his letters and notes about the puppet theatre. On the brink of
despair, the young man was successful. She agreed.
Together with ten people from that lovely island, the foreigner
hadwitnessed Grannie Lamah performing the twelfth story the
previous evening.
Incense was burnt and the opening mantra was recited by the
old woman in a trembling voice. But from where did she get the
voice of a young woman when she began to chant the prologue:
Life is like dew on the leaves
Dew on the surface of leaves
Dew on the tips of leaves
And in that God-given dew
Let us bathe ourselves
And be cleansed.
halaman 26
When the groom’s party came in procession to enter the
grounds of the bride’s home, his champion fi ghting cock, Biring
Kuning, which never left his master’s side, started crowing loudly,
Biring Kuning is here ... bringing the ceremonial betel from afar!’
But as they got closer to the dais where the bride was waiting,
the cock seemed to become agitated and crowed more and more
loudly. Concerned by this, the bridegroom faltered in his steps, but
then continued moving toward the dais.
Because he felt he was being ignored, Biring Kuning suddenly
struggled and broke free from the tie that was binding him. He
fl ew furiously into the centre of the bridal area, and went horrify-
ingly berserk.
The cock seemed to become like a huge hawk. He swooped in
all directions. Everyone lay face down on the ground, terrifi ed. He
wrought havoc with everything in sight. Curtains were ripped, the
eggs and yellow rice were scattered and spilt on the body of the
bride who had fainted. Only the groom, Biring Kuning’s master,
stood fi rm, but he was confused.
Exhausted by his rampage, the cock made obeisance to his mas-
ter. The groom snapped angrily, ‘Biring Kuning, why did you do
this?’
‘You did not understand my signals. I tried to tell you with signs
but you still want words, things sharper than a blade, more pierc-
ing than a dagger. Well, here they are. This is an incestuous mar-
riage! It cannot continue. Floods and earthquakes will strike, mis-
fortune and disaster will be like clouds raining death upon us. The
bride is your young sister! If you don’t believe me, you can ask the
old woman who lives at the end of the headland there.’
The groom picked up the bird and walked slowly away from the
place. But when they had reached the gates, the bride’s father called
out, ‘They have humiliated me! Go after them! Capture them!’
Thirty men dressed in black uniforms with krisses and spears in
their hands appeared and chased after the bridegroom.
In the ensuing battle, with Biring Kuning’s help, the groom killed
the thirty men, but was himself stabbed thirty times, and mortally
wounded. Biring Kuning too sustained many wounds and blood
dribbled from his beak. Now his master lay beside the bodies of his
attackers, not far from the end of the headland that was buffeted
by the raging waves from huge seas.
Night fell. The bride regained consciousness. She left the bridal
chamber and and hurried to the beach. By the friendly moonlight,
she searched for her husband.
halaman 27
Bodies lay strewn along the shore. The bride examined them,
one by one. A woman approached her in the gloom of the night that
was rent by the roarof the waves. It was the mother of the groom,
the bride’s stepmother. Together, the two women mourned over
the body of the man they loved.
Suddenly, at the water’s edge, a cock crow was heard. It was
Biring Kuning. Although his wings were broken, he still managed
to crow one more time before being dragged into the waves.
The screen in front of the miniature copper stage fell at the
touch of Lamah’s fi nger. As though trembling in the wind, the old
woman’s voice was heard saying, ‘That’s life!’
***
It was late. The young foreigner and the guests who accompa-
nied him earlier had all gone home. The snoring of the two women
who lived with Grannie Lamah in the big house got louder and
louder. The old woman was still sitting in front of the miniature
copper platform which was the stage for her puppet play.
Then, one by one, she arranged the puppets at the front of the
stage. The tambourine and the trumpet were heard, faintly at fi rst,
then louder as they got closer. All the puppets lined up in proces-
sion and headed for the side door that led to the sea. Biring Kun-
ing crowed and was answered by the crows of a thousand cocks.
Taking Lamah’s hand, the Dolphin Bride opened the door that led
to the sea and went down the steps and out into the peaceful night.
In company with all the puppet brides in the twelve stories, Lamah
danced upon the sea in the bright moonlight.
***
halaman 28
Air Mata Mitnaholeh Purwanto
cerita-pendek
halaman 29
BELUM kering-kering juga air mata Mitnah menangisi kepergian
suaminya Sarmuni, H. Sarmuni Muntil, SE lengkapnya. Air mata
yang sebelumnya sejuk dan bening bak air telaga di bawah bukit, kini
berubah menjadi gelombang yang menghempas, marah dan lebat
mengucur dari kedua mata Mitnah. Seolah ada yang memompa dari
dalam matanya. Mitnah masih terus menangis setiap hari sehingga
membuat air mata itu semakin membanjir ke lantai marmer rumahnya
yang licin mengkilap. Semakin lama semakin tinggi merendam apa
saja yang ada. Karpet merah di depan pintu yang biasa dilalui sang
suami, kini sudah mengapung dan berayun-ayun dimainkan irama air
matanya. Begitu juga dengan kursi kayu Jati berukir kepala burung
Garuda di ruang tamu, sudah tinggal separohnya yang kelihatan.
Pokoknya air mata Mitnah kini sudah hampir merendam semua yang
ada di dalam rumah itu. Rumah mewah bergaya Eropa yang dibangun
oleh almarhum sang suami.
Air mata Mitnah masih belum juga berhenti mengalir. Entah sudah
berapa hari ia menangis. Bahkan iapun tidak menyadari kalai air mata
itu sekarang sudah hampir merendam badannya sendiri. Ia memang
sengaja membiarkan air mata itu menenggelamkan rumahnya yang
mewah. Baginya tak ada bedanya lagi sekarang, setelah sang suami
pergi untuk selama-lamanya, lebih baik iapun mati tenggelam di air
matanya sendiri.
Sambil menangis ia terus berusaha memanggil El Maut agar
menghampirinya, lalu ia meminta untuk diajak terbang ke langit ke
tujuh tempat semua roh berkumpul, termasuk roh suaminya, Sarmuni.
Mitnah tidak rela ditinggal sendirian di dunia ini. Ia benar-benar tidak
mau sepeninggal suaminya, dirinya akan menjadi gunjingan orang-
orang. Ia juga tidak siap untuk dikucilkan dari pergaulan, apalagi
sekarang ia harus menghadapinya sendiri ; sendiri tanpa Sarmuni
suaminya ! Dengan harta melimpah justru akan menyulitkan posisinya
di pergaulan. Orang-orang akan bertanya dari mana harta sebanyak itu
didapat. Kenapa secepat itu ia menjadi kaya raya. Padahal untuk ukuran
pegawai seperti suaminya babak perjalanan kekayaan Sarmuni-Mitnah
itu baru saja dimulai. Masih banyak cerita di belakang yang nantinya
akan bercerita sendiri tentang asal-muasal semua itu. Mitnahpun sadar
akan hal itu, makanya ia memilih untuk berdamai dengan sang Maut
agar secepat mungkin menjemputnya untuk menyusul sang suami.
“Hai sang Maut! Mengapa kau tak juga datang? Huuu….Huuuu…
aaaa !!!” begitulah kata-kata yang selalu diucapkan; setiap menit,
setiap jam, setiap hari….
Padahal El-Maut terus-menerus memperhatikan setiap gerak dan
permintaan Mitnah. Dengan jubah api yang berkobar-kobar dan mata
halaman 30
yang membara, El-Maut setia menunggu kapan waktu yang pas untuk
menjemput Mitnah. Ia biarkan aroma kematian Sarmuni tetap melang-
lang di sekitar Mitnah. Biar Mitnah tahu bahwa kematian Sarmuni
adalah kematian yang telah direncanakan dan telah ditulis di buku
taqdirnya. Tak ada yang kebetulan, pun tak ada yang tak disengaja.
Mitnah harus tahu bahwa iapun sedang menunggu giliran. Giliran
dijemput. Meski bagi Mitnah, ia mau giliran itu dihapuskan, sehingga
ia bisa langsung memintanya “segera” !
“El-Maut, kalau tidak secepatnya kau jemput aku…. Aku takut nanti
bang Muni sudah semakin jauh meninggalkanku…. hua…. haaaaa….!”
“Apa perlu kusogok dulu dengan semua uangku agar kau segera
datang ? Iya ?!” kata Mitnah setengah menjerit.
“Kau mau berapa ? semilyar, dua milyar atau seratus…?”
“Ayo katakan !” ia semakin hiteris.
Tak perlu basa-basi untuk urusan orang seperti Mitnah. Dengan
satu jentikan jari yang penuh kobaran api saja pasti semua beres.
Masalahnya sekarang, waktu itu betul yang belum datang. Jadwal
kematian Mitnah masih belum tiba. Bagi El-Maut tidak ada alasan
untuk mempercepat atau memperlambatnya walau sedetik. Semuanya
tepat waktu. El-Maut memang tidak berhak merubah jadwal kerjanya,
termasuk jadwal kapan ia harus menjemput Mitnah. Ia tidak diizinkan
bekerja tanpa jadwal.
***
Semasa hidup Sarmuni, Mitnah adalah type istri yang setia. Banyak
rahasia sang suami yang dia pegang rapat. Karena rahasia suami
adalah rahasianya juga. Siapapun Sarmuni sebenarnya, tak ada orang
lain tahu kecuali Mitnah. Ia menyimpan rahasia itu di dalam hati yang
digembok dengan kunci rahasia. Namun begitu hati Mitnah tetap
punya ruang berapapun banyaknya rahasia tentang Sarmuni. Begitu
aman dan lapangnya hati Mitnah, sampai-sampai tidak ada kecurigaan
sedikitpun di hati Sarmuni. Ia bisa kapan saja mengintip hati yang
digembok itu, apakah masih tetap terjaga atau tidak. Kadang-kadang
Sarmuni masuk sendiri menyusun rahasia-rahasianya di rak hati
Mitnah. Mitnahpun dengan rela membiarkan suaminya berbuat itu. Ia
tahu tak mungkin suaminya akan berbuat macam-macam kepadanya.
Sebab hampir semua ruangan di dalam hatinya telah manjadi milik
suaminya.
“Bang, saya akan menyimpan rahasia-rahasia ini sampai saya mati,
Bang. Abang tak perlu khawatir.” Kata Mitnah suatu hari.
“Aku percaya padamu, Mitnah !” sambil dikecupnya kening istrinya
itu. “Besok abang harus jadi tikus lagi ?” tanya Sarmuni lembut. Istrinya
hanya tersenyum sedikit sambil mengangguk meng-iyakan.
halaman 31
Bagi Sarmuni untuk merubah menjadi seekor tikus tidaklah susah.
Dengan sedikit mantera dan taktik yang dipelajari secara otodidak, tak
perlu memakan waktu semenit pasti sudah berubah. Begitu menjadi
seekor tikus, seketika itu juga Sarmuni tidak ingat apa-apa lagi. Ia
tidak ingat namanya sendiri, tidak ingat waktu, tidak ingat Tuhan,
apalagi ingat nasehat-nasehat ibunya waktu kecil saat akan pergi
mengaji di kampungnya dulu. Pokoknya ia tidak ingat apa-apa….
Yang ia tahu hanyalah mengendus-endus dengan moncong hidungnya
yang panjang, lalu…happpp, happ, happp! Melahap semua yang
dihadapannya.
Tikus Sarmuni paling tahu aroma uang. Di moncongnya aroma
uang adalah aroma paling menggiurkan dan paling tidak pernah disia-
siakan. Ia tidak pernah kenyang walau entah sudah berapa banyak
menelannya. Uang memang tidak pernah mengenyangkan! Apalagi
dari dorongan dan desakan sang istri yang sangat dicintai, membuat ia
semakin menikmati cara hidupnya itu.
***
Sekarang Mitnah sudah hampir tenggelam dengan air matanya
sendiri. Air matanya itu sekarang sudah separas dagu. Ia semakin
bersemanagt menangis, agar bisa secepatnya tenggelam. Dengan
begitu tidak ada alasan lagi bagi El-Maut untuk tidak menjemputnya.
Ia sudah tidak sabar menyusul Sarmuni di “syurga”!
Di balik jendela kaca bergrafi r motif bunga, tampak jelas kesunyian
di luar rumah megah itu. Tak satupun burung mau mencicit, jangkrik-
jangkrik yang selalu rajin menyanyi dari balik rerumputan juga begitu.
Semuanya membisu seribu bahasa. Suara-suara mereka kini menjadi
beku bak es batu, semakin lama semakin keras dan keras.
Entah kebetulan entah memang ada perintah dari “atas” mereka
juga tidak tahu. Padahal suara itu semakin hari semakin ingin meledak.
Tapi karena mungkin indra keenam makhluk Tuhan ini masih
berfungsi baik, mereka dapat merasakan aroma kematian yang begitu
dekat mengintip. Tatapan El-Maut begitu menyeramkan, sampai-
sampai mereka tak boleh bersuara dan bernyanyi, karena kematian di
alam nyata tidak sama dengan di sinetron yang harus diiringi musik.
Kematian tidak butuh back ground musik untuk menjalankannya.
Maka semuanya harus diam !
Sambil terus menunggu, Mitnah sudah benar-benar siap untuk
dijemput El-Maut. Meski tetap menangis ia membayangkan
pertemuannya nanti dengan Sarmuni suaminya di “surga”. Ia
membayangkan sebuah pertemuan yang romantis di atas awan.
Dengan pakaian serba putih mereka bergandengan tangan melayang
sambil diiringi musik paling merdu yang berlum pernah mereka dengar
halaman 32
sebelumnya. Mereka akan menghabiskan waktu dengan berduaan saja
tanpa harus takut dikucilkan tetangga, tanpa harus takut diperiksa
oleh yang berwenang tentang asal-muasal kekayaannya. Di atas awan
yang serba putih itu mereka benar-benar berdua…!
Sambil membayangkan pertemuan itu, Mitnah tersenyum dan
seketika berhenti mengangis!, pikiranya kini dipenuhi angan-angan
indah bersama sang suami. Senyuman yang sebelumnya tersungging
sedikit, kini mulai berubah menjadi merekah dan tiba-tiba saja berubah
menjadi tawa. Mitnah tertawa !
“Bang, aku datang, Bang…!”
“Ha…ha… bang, ini aku datang, Bang…!”
Sekarang, air mata yang tadinya hampir menenggelamkannya,
sudah semakin menyurut. Dari separas dagu menjadi hampir separas
dada, terus menyurut, menyurut dan menyurut…. Perabotan yang
tadinya sudah mengapung, sekarang perlahan-lahan kembali ke posisi
semula. Begitu juga dengan karpet merah yangh digelar di depan pintu,
sudah tergelar seperti sedia kala. Air mata Mitnah telah kering kembali.
“Bang, sekarang kita bersama lagi. Abang jangan tinggalkan Mitnah,
ya ?” Dipeluknya foto Sarmuni erat-erat lalu diciumi berkali-kali.
“Na…naa…naaa Abang sayang….”
Begitulah akhinya Mitnah. Rambutnya yang dulu terawat dan selalu
rapi, sekarang sudah acak-acakan tak dihiraukan. Pakaiannya yang
dulu selalu mewah dan rapi, kini semakin kumal dan bau. Berhari-
hari , berbulan-bulan Mitnah terus mendekap foto sang suami, sambil
sesekali menyanyi. Kadang matanya berbinar gembira tapi tak jarang
tiba-tiba saja berubah menjadi kesedihan luar-biasa. Memang sekarang
hati mereka telah bersatu di suatu tempat yang hanya mereka yang
tahu. Mungkin di “surga”, atau mungkin di neraka. Wallahu’alam !
***
Di luar rumah burung-burung dan jangkirk-jangkrik sudah berani
bersuara. Bayangan kematian yang disebar El-Maut tak lagi terasa.
Memang sudah ada kesepakatan antara Mitnah dan El-Maut sejak
Mitnah masih di dalam rahim ibunmya, tentang kapan mereka bertemu.
Pertemuan yang tak sedetikpun bergeser dari jadwal, tapi pertemuan
yang pasti akan berlangsung. Mitnah tetap harus menunggu giliran,
seperti yang lainnya….
***
halaman 33
Kerudung Puisi (Bellinda Puspita Dara).Mahasiswa UNRI FKIP Ekonomi program S1.
Ia adalah anggota FLP Cabang Wilayah Pekanbaru Angkatan 8, dan anggota COMPETER.
Memiliki motto hidup“Selagi bisa berusaha sendiri kenapa harus mengharap orang lain,
selalu berusaha memberikan manfaat untuk orang lain sekecil apapun,lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang jangan menunda-nunda”
Kerudung Puisi
“Hanya Puting Beliung”Kata Anak Muda
Aliran SesatAmanat Kami (Bebek-bebek)
Putra MahkotaKembang SetamanBalada Anak Jelata
Swara Durhaka
sajak
halaman 34
“Hanya Puting Beliung” Kata Anak Muda
Hanya pusaran angin tergopoh datang
Anggap saja tamu nakal tak diundang
Memburu pelarian penyamun malam kelam
Begitu konyol terang-terangan disulap siluman
Sangat leluasa para buronan perwira tuan
Hanya mainan baru tak begitu menggebu
Disana sini sekedar tanda dunia kelabu
Kenyataan kita lebih suka fi lem biru
Dari langit biru atau samudra biru bahkan darah biru
Dibalik kelambu begitu mengharu biru qelabu!
Konon yang masqul hanya tukang bakul
Sebab tak kebagian jatah getah “berpikul-pikul”
Walau bau nan lengket namun mudah harum bekatul
Pemikir tak beranjak demi kolot dikumuhi takhayul
Kejayaan masa lalu berlalu didramatisir hilang timbul
Tak terpungkiri ada terselip rasa takabur
Kamu, kamu dan kamu pernah ngelindur
Dibawah sadar tampil memukau walau ngawur
Cobalah mulai berkiprah dengan “laku terukur”
Agar gelak tawa, canda ria tak lagi ngelantur
halaman 35
Aliran Sesat
Gerabah lama jadi pusaka
Keramik pernik jadi antik
Ka’bah tetap jadi poros dunia
Pemilik islami jadi pemantik
Ajaran sesat sesaat pesat
Al-Qiyadah, Almadiyah begitu mewabah
Isilah yang esa berkehendak tamat
Dalam hitungan detik musnah mudah
Manusia modern yang pongah!
Sebenarnya sungsang gelisah gesang
Bila tampil juru selamat tengadah
Serta merta berhamburan datang menjelang
Dalam gentai gamang berkurang
Tempias bara bagai telaga bagai telaga menggoda
Saat dikejar kian jauh terbelakang
Dahaga asa kian terasa nestapa
Kerling indah jadi tawar
Saat mawar terpijak tercampak
Tebur mahligai dinanti sabar
Melati pengantin atau pusaka sepetak
halaman 36
Amanat Kami (Bebek-bebek)
Negeriku nampak berkabut
Awan-awan hitam bergumpal-gumpal bergayut
Angin kencang yang dingin pun berhembus-hembus
Gemuruhnya bagai pertanda bakal datang bencana
Guntur pun berselang-selang bergelegar-gelegar
Diiringi kilatan-kilatan putra yang mengerikan
Akankah negeriku akan porak poranda?
Tangis dan rintih si miskin ibarat lagu wajib
Keluhan panjang, ratapan derita ibarat nyanyian jeraka
Lolongan insan terjepit ibarat lagu merayap
Pekikan jeritan, histeris ibarat lagu rock hura-hura
Tuan-tuan yang berkuasa menyapa hanya menonton?
Ini bukan tontonan, ini bukan drama pementasan
Kami betul-betul menderita, betul-betul sengsara
Kami betul-betul merasa disisihkan oleh beruang
Kami betul-betul merasa ditindas oleh macan-macan
Kami betul-betul merasa dibohongi oleh slogan-slogan
Memang kami hanya sekedar bebek-bebek
Tapi janganlah memandang kami dengan sorot begitu
Kami pun dapat restu tuhan untuk sama-sama makan
Kami pun punya hak hidup seperti tuan-tuan
Begitulah kami walau setetes itu minuman segar
Begitulah kami walau sesuap itu makanan lezat
Wahai tuan-tuan yang berkuasa!
Sekali-kali memalingkan muka dari kami
Atau memasabodohkan nasib kami
Atau menelantarkan pengharapan kami
Sebab ini berarti pengkhianatan terhadap pahlawan-pahlawan
Adalah pula pengkhianatan terhadap amanat-amanat kami
Janganlah sampai kami berdoa yang akan menyusahkan tuan-tuan
halaman 37
Putra Mahkota
Bagi orang-orang bisnis
Bagi penguasa-penguasa kelas atas
Dia bagai malaikat maut yang membawa vonis
Dia bagai dewan-dewan yang tak boleh dilawan
Dia bagai pangeran-pangeran yang tak boleh dibantah
Orang bilang negeriku bukan negeri tirani
Tapi ternyata banyak pangeran-pangeran mengangkat diri
Perangkat-perangkat negara pun tunduk terhadap mereka
Terlebih bagi rakyat jelata yang bagai bebek-bebek
Berkompetisi dengan pangeran-pangeran orbitan babeh-babeh
Jangan harap menang walau sekalipun!
Negeriku sebenarnya sedang mencari identitas diri
Konfi gurasi yang diciptakan tanpa kompromi
Niscaya akan tercipta konfl ik dan konfrontasi
Konsesus atau kebulatan tekad sebenarnya tidak berdasar
Itu hanya kreasi oporturis dan penjilat-penjilat
Tunggulah masanya kreditor-kreditor menuntut kompensasi
Dan kawan-kawan religiius beserta masyarakat luas
Menelorkan komitmen suci yang kompak
Pasti akan datang massanya meledak
Kebathilan diruntuhkan oleh kebenaran
Sebab pada hakekatnya hukum Tuhan tak terkalahkan
Hanya belum banyak orang yang tahu
halaman 38
Kembang Setaman
Harapan nan menggumpal
Tak juga cair didekat perapian
Kulit sudah kian keriput
Kening malah berkerut-kerut
Kelopak mata berlipat-lipat
Monumen bertahta nama-nama dua “tanda”
Tetap kokoh walau kian kusam
Pengenduspun sudah separuh perjalanan
Kembang setaman yang dulu kutanam
Masih saja kau genggam dalam kelam
Beribu senja temaram tidak lagi kita nikmati
Berjuta bintang gemintang telah lama tak dicermati
Fajar demi fajar telah melarutkan bermilyaran butir embun
Bergulirnya waktu demi waktu ku tetap berusaha tersenyum
Walau sering tertatih, tak terasa sudah separuh jalan tertimbun
Harapan kian menggumpal
Akankah hanya membuncah sia-sia?
Penghibur jiwa penyejuk rasa kian jauh bersebrangan
Sepersekian detik demi sepersekian detik alunan nafas kita menguap
Jejak pesona, harum bunga mawar dalam tas sekolah tetap tercium
Wewangian kasmaran yang tidak pernah pudar di tepis musim
medium
Kelopak mawar yang berguguran, terus tumbuh menguncup
mengembang lagi
“Pohon pengantin” terus mengerling-ngerling tiada henti peduli
Sepanjang “kembang setaman” bersemayam dalam singgasana
kenangan
halaman 39
Balada Anak Jelata
Anak Jelata menelan air liur
Ketika berada didepan restoran VIP
Sejoli pasangan muda bercengkrama
Dibalik kaca yang tembus pandang
Sambil nikmati panggang ayam dan sate kambing
Betapa nikmatinya mereka menyantap
Anak Jelata terbengong-bengong
Ketika dibawa masuk oleh seseorang
Ke sebuah bank bonafi t yang megah
Betapa berada didalamnya sangat membingungkan
Hampir menubruk kaca pematang
Selalu sempoyongan dalam lift
Selalu terkagum-kagum menjumpai segala kemewahan
Berdecak-decak heran dan takjub
Dan terkesima pula oleh hilir-mudik
Bidadari-bidadari metropolitan mendekap map-map
Anak Jelata piun iri
Manakala setiap saat menatap sedan
Terutama yang dikemudikan oleh dara metropolitan
Ngeceng-mejeng mereka bercakap
Menambah banyak saja air liur yang ditelan
Mungkin inilah yang menciptakan kecemburuan sosial
Sebab selalu pamer kemewahan dan kekayaan
Berkesan ria dan angkuh
Malam pun menjelang
Dalam keadaan setengah lapar
Disudut ibu kota
Aku terlelap dalam tidur
halaman 40
Swara Durhaka
Eksotika jadi senjata
Erotis jadi swara cara
Dunia semarak pesta pora
Pesona sesat berselimut budaya
Hura-hura gelepar-gelepar
Jingkrak-jingkrak konyolan-konyolan
Paha betis berserakan
Mengundang syahwat dalam remang
Selera tinggi kalangan atas
Tidak selalu tanpa batas
Nilai moral selalu adil
Meski penganut pendawa agal
Represing pengobat pening
Melepas beban dari penat
Tidak harus memporoti hati nurani
Tidak harus membius hati sanubari
Seni apapun bercorak bebas
Swara durhaka cap yang pas
Misi bagus yang berkumandang
Rusak akhlak yang nyata datang
halaman 41
Muhammad Esqalani eNeSTe
Reuni SunyiMekar Ingkar I
Mekar Ingkar IIKaligrafi SunyiOrangorangan
Gemah Ripah Loh JenawiPotongan Mimpi Shofi a
Dari Izka Ke IzkaMengitari Fasih Lengang 3
Sepasang Mata Cahaya
sajak
Muhammad Asqalani eNeSTe (Ibnu Thamrin Al-Asqalani A.G)Lahir di Paringgonan 25 Mei 1988.
Menulis Puisi sejak 2006. Meraih Gelar “Penulis dan Pembaca Puisi
Muda Terpuji Riau 2011” Oleh MMG.Masuk dalam Daftar Peyair versi SiksaMata.
Juara I Lomba Penulisan Puisi Remaja se-Riau Xpresi Riau Pos 2010.Meramaikan Media seperti: Riau Pos, Batam Pos, Majalah Sagang, dll.
Kumpulan Puisi bersamanya, "Kutukan Negeri Rantau","Festival Bulan Purnama Majapahit", dll.
Kumpulan Puisi Tunggalnya ke-3nya yang akan terbit "ABUSIA".
halaman 42
Reuni Sunyi : Stovvi Salman Leaz
kau tancapkan lagi epitaf negeri sunyi
di sepanjang kanal besi tawafan nahari
sesekali terlihat halusinasi kafan, menari
nari di pusara bagasi tubuh, memetafi sikakan
nar demi nar memberangus situs seluruh ruh
Mekar Ingkar I
ada cincin cinta di nadi
yang kaulingkarkan di waktu kiri
aku membuangnya ke lepas janji
agar tak terpenjara rindu ke suci
Mekar Ingkar II
di suatu subuh kumenari
di bawah alunan misk nurani
di lekat lantun ayat ilahi
kau telah pergi
tapi masih tersimpan Adam dalam diri
meski terasa asing dan nyeri
halaman 43
Kaligrafi Sunyi : Gui Susan
Laa Roiba fi ihi hudal lil Muttakiin
tidak ada keraguan padanya,
ketika masamasa futur berserpihan
di mana dada terasa kehilangan ruang
nafas terasa lelah difi uhkan
lengang memagar kamar bathin
kita bertanya tentang lembaranlembaran
dalam genggaman
yang kita jadikan peta menuju pertanggungjawaban
ketika orangorang
bertanya bagaimana kita memandang tuhan
haruskah aku menjawabnya kawan?
ketika aku mulai kehabisan makna ruh dalam badan?
ketika aku mulai tak sanggup membedakan
garis yang memisah siang dan malam?
ketika lembaralembaran dalam genggamanku
terbiar lusuh?
ini kutitipkan padamu alarm
yang juga tersambung ke denyut nadi
Alladzi na yukminuu nabil ghoibi wayukimu nassholata
wa mimma rozaq nahum yunfi quuun
baca lagi, baca! biarkan segala memiuh dalam jiwajiwa yang
tenang
maka kembalilah bertanya. mungkin tentang siapa dan mengapa
kita
ada!
halaman 44
Orangorangan
di sawah kehabisan marwah
hingga tak dapat ia bahasakan tegah
kala kera bersetubuh dengan lintah
Gemah Ripah Loh Jenawi
mayat jelata terkapar sunyi di tiap lorong
tak dapat lagi sekadar memukat kata tolong
pun akan sia(l)sia,
takkan ada yang mendengarnya dengan telinga nurani
dan ketajaman mata jiwa
lapar adalah hak autentik jelata
ketika karung tak dapat lagi diusung
diisi dengan alatalat buntung atau lalat puntung
kelaparan adalah penjara nyata dera
tak perlu menangguk ceruk demi ceruk airmata
hal itu akan memudahkan penguasa untuk menghanyutkan rupiah
ke muara mana yang ia suka, mungkin ke muara tempat
kaumengais
segala sisa yang masih dapat dipisah dari tinja
halaman 45
Potongan Mimpi Shofi a
seandainya ayah dan ibu pulang
aku takkan merindui Adam
hanya karena ketakutan yang tak kunjung tenggelam
sebelum pejam
*
seandainya Adam tahu apelnya kusimpan
ia takkan lagi menapaki hutan larangan
dan demi menemukan pakaian kami yang hilang
di rimbun dedaunan
*
seandainya Ababil datang sebelum pejam
aku takkan terus berlarilari dan mencari Adam
hingga bertemu dengan tuhan
*
sendainya aku Hawa dan bukan Shofi a
aku takkan bertemu lagi dengan Izazil untuk kali kedua
hingga dadaku terguncang, wajahku bagai hilang
*
Ayah dan Ibu, Apel dan Adam datanglah…
aku tak sanggup memakan sekian tempayan kesendirian
halaman 46
Dari Izka Ke Izka
salam pada pepohonan
salam jawab daundaun
pagi yang tak berembun
bergelimbun minta ampun
---
musafi rmusafi r tanpa bekal
melintasi Taiwan..
melewati hewan-hewan liar
di taman yang telah ditinggalkan
berabadabad silam
jauh sebelum angan diciptakan
---
bibir siapa yang bertakbir
di Padang Pasir
Oase bersuara kering dan parau
---
dari Izka ke Izka
berapa jauhkah?
tanya Pelepah Kurma
mari kita ta’aruf kata angin bunting
desau menggunting percakapan
kita orang Alim sekaligus Lalim
begitulah perjalanan dari Izka ke Izka
terjebak di antara dosa dan pahala
---
bumi bergoyang, sekian kaki tumbang
siapa sebenarnya yang berjalan?
---
air berhenti mengalir
segala yang getir tumbuh
dari Izka ke Izka
halaman 47
Mengitari Fasih Lengang 3
serigala pulang
kepalanya hilang
bulan sepenggal
malam tak berbadan
langit gerimis darah
ada yang lebih amis dari kematian
Sepasang Mata Cahaya
kapan lagi matahari tebit dari langit hatimu yang terbelah dua?
saat kemilau musim gugur terkubur dengkur laila perkasa
reranting pohon poplar terbakar dalam ingatanmu yang
berserakan
suara sampan menjohu dari biru darahmu tersikat jejaring benalu
tun, maafkan aku diam-diam berlari aliri reruntuhan hujan
berkarat
terbang hinggap kelelawar taat dalam keheningan dzikir rakaat
tamat
demikian kita sudahi belenggu hantu belau waktu di kompas
nafasmu
nunnnn, jauh mengharu derudesau risau luluh tersapu debu
halaman 48
Khalil Gibran (nama lahir Gibran Khalil Gibran, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 –meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir saat Lebanon masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Khalil Gibran lahir dari keluarga katholik-maronit. Tempat kelahirannya merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.
Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Dampaknya adalah, kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya,
seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berbondong-bondong datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit
tokoh
Khalil Gibran
kat.eluarga katholik-nya merupakan hi badai, gempasejak kecil, mata ngkap fenomena-h yang nantinya isan-tulisannya
ama ibu dan ibran pindah erika Serikat.
n Gibran kecil
ami oleh para ondong-bondong da akhir abad ke-ku sekolah umum asa akulturasinya
dibentuk oleh Namun, proses
nya berlangsung ah itu dia kembali di College de la lik-Maronit
sejak tahun 1899 sampai 1902.Selama awal masa remaja, visinya tentang
tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafi k organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat
int
halaman 49
ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena Tuberkolosis.
Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena penyakit yang sama dengan adiknya Sultana. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s
Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografi nya.
Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat
halaman 50
dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.
Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
Karya dan kepengarangan Gibran.Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap
meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “Th e Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “Th e Madman”. Setelah “Th e Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “Th e Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan
Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “Th e Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “Th e Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “Th e Garden of the Propeth”.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.
Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.
Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”
halaman 51
Beberapa Mutiara Kata Karya Kahlil Gibran
“...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...” (Kahlil Gibran)
“...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang” (Kahlil Gibran)
“Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan...” (Kahlil Gibran)
“Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan” (Kahlil Gibran)
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...” (Kahlil Gibran)
“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang” (Kahlil Gibran)
“Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya” (Kahlil Gibran)
halaman 52
Puisi-puisi Cinta Kalil Gibran
Cinta Yang Agung
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya..Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia..Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’Apabila cinta tidak berhasil…BEBASKAN dirimu…Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnyadan terbang ke alam bebas LAGI ..Ingatlah…bahwa kamu mungkin menemukan cinta dankehilangannya..tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu mati bersamanya…Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu menang..MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
halaman 53
Waktu
Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.
halaman 54
Cinta
AKU bicara perihal Cinta ????… Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,Walau jalannya sukar dan curam.Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya.Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya.Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman.Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia kan menyalibmu. Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu, demikian pula dia ada untuk pemaksamu.Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu dan membelai mesra ranting-rantingmu nan paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari.Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan mengguncang-guncangnya di dalam cengkeraman mereka kepada kami.Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri.Dia menebah engkau hingga engkau telanjang.Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu.Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih.Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar;Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya. Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan.Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,
halaman 55
supaya bisa kaupahami rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta. Maka lebih baiklah bagimu kalau kau tutupi ketelanjanganmu dan menyingkir dari lantai-penebar cinta.Memasuki dunia tanpa musim tempat kaudapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri.Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki; Karena cinta telah cukup bagi cinta.Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,” tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan”.Dan jangan mengira kau dapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta, pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan, biarlah ini menjadi aneka keinginanmu: Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan melodinya bagai sang malam. Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tenung cinta;Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira.Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan dan mensyukuri hari haru penuh cahaya kasih; Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap; Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sebuah gita puji pada bibirmu.
halaman 56
Persahabatan
Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang persahabatan.Dan dia menjawab:Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.Bila dia berbicara, mengungkapkan fi kirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.Dan bilamana dia diam, hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fi kiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung
halaman 57
daripada tanah ngarai dataran.Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan gairah segar kehidupan.
(Marrylina Yonita, dari berbagai sumber)
halaman 58
rehal
Judul Buku : Sepuluh Drama
Pendek Samuel Beckett
Penulus : Samuel Beckett
Penerbit : BUKUPOP
Tahun Tebit : 2006
Jumlah Halaman : 137 hal
Bahasa : Indonesia
ISBN : 979-1012-00-8
Sepuluh Drama Pendek
Samuel Beckett
int
halaman 59
Ringkas Tentang Samuel Beckett
(catatan redaksi)
SAMUEL BECKETT kelahiran Dublin,
Irlandia tahun 1906, tutup usia tahun
1989 di Paris, Prancis.
Beckett menurut para pengamat adalah
salah satu pengarang/penulis abad ke-20
yang sangat inovatif dengan karya-karyanya
yang berpengaruh. Hal ini ditunjang oleh
keyakinannya yang selalu tampak jelas
pada karya-karya yang dihasikannya,
keyakinannya itu ialah, bahwa hidup
manusia adalah absurb, tidak jelas, keras,
dan akhirnya tidak memiliki tujuan. Secara
pribadi, ia gigih menyuarakan metafora-
metafora tentang malaise. Depresi Besar
yang mempengaruhi hidup dan berdampak
krisis moral.
Beckett terutama dikenal sebagai penulis
drama, tetapi ia juga menulis novel dan
puisi. Ia telah menulis enam novel, empat
naskah drama serta tak terhitung fragmen
yang pendek, selain sebuah esai dan satu
kumpulan puisi. Namuni yang membuat
namanya dikenal adalah karya drama
Waiting for Godot (1952) yang disebut-
sebut sebagai drama paling penting dalam
abad ke-20 dan dipentaskan di hampir
serata dunia.
Dalam keterangan pers-nya, Akademi
Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel
Kesusastraan pada Beckett sebagai
pengakuan: “….untuk karangan-
karangannya yang dalam, serta
mengungkap kekurangan manusia
modern, mendapatkan tempat yang
luhur lewat bentuk novel dan drama gaya
baru….”
Beckett adalah sastrawan kedua Irlandia
(setelah William Butler Yeats tahun 1923)
yang memperoleh penghargaan tersebut.
Atau sastrawan ketiga setelah George
Bernard Shaw (tahun 1925) yang kemudian
hijrah dan menjadi warga negara Inggris.
Buku Sepuluh Drama Pendek Samuel
Beckett, berisi sepuluh terjemahan naskah
drama pendeknya, antara lain:
1. Sketsa Teater I
Dipenghujung 1950, ditulis dalam
bahasa Perancis berdasar naskah asli
berbahasa Inggris. Naskah aslinya
dipublikasikan pertama kali dalam bahasa
Inggris oleh Grove Press, New York, tahun
1976, dipertunjukkan pertama kali di
Schiller Theater, Hamburg, Mei 1979.
2. Laku Tanpa Kata I
Ditulis dalam bahasa Prancis 1956,
dengan musik John Beckett, keponakannya
sendiri. Pertama kali dipublikasikan
tahun 1957. Oleh penulisnya sendiri,
diterjemahkan dalam bahasa Inggris untuk
diterbitkan oleh Grove Press, New York,
tahun 1958. Pertama kali dipentaskan di
Royal Court Theatre, London, 3 April 1957.
int
halaman 60
3. Laku Tanpa Kata II
Menutur Beckett, ditulis hampir
bersamaan dengan Act Without Words /
(1956). Oleh penulisnya diterjemahkan
dalam bahasa Prancis. Diterbitkan tahun
1959 dalam New Departures. Dipentaskan
pertama kali di Institut Seni Kontemporer
pada Januari 1960.
4. Rekaman Terakhir Krapp
Ditulis di Inggris awal tahun 1958.
Pertama kali dipublikasikan di Evergreen
Review musim panas 1958. Pertama
kali dipentaskan di Royal Court Theatre
London, 28 Oktober 1958.
5. Bara
Ditulis sebagai drama radio dan
diselesaikan pada awal 1959. Pertama
terbit dalam Evergreen Review akhir 1959.
Pertama disiarkan oleh Third Programme
BBC tanggal 24 Juni 1959.
6. Datang dan Pergi
Ditulis di Inggris, awal 1965. Pertama
kali dipublikasikan di Prancis dalam
edisi de Minuit, Paris 1966. Pertama kali
dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh
Calder and Boyars, London 1967. Pertama
kali diproduksi dengan judul Commen
und Gehen, diterjemahkan oleh Elmar
Tophoven, di Schiller Theatre Werkstatt,
Berlin 14 Januari 1966. Pertama kali
dipertunjukkan dalam bahasa Inggris
di Peacock Theatre, Dublin, 28 Februari
1968 dan di Royal Festival Hall, London, 9
Desember 1968.
7. Napas
Pertama kali dipublikasikan 1970, dan
dipertunjukkan di Eden Theatre New York
16 Juni 1969, kemudian di Close Theatre
Club, Oktober 1969.
8. Kursi Goyang
Ditulis dalam dalam bahasa Inggris di
tahun 1980. Pertama kali pertunjukkan di
Buffalo, New York di tahun 1981 dengan
aktris terkenal Billie Whitelaw sebagai w dan
v, disutradarai Alan Schneider, produksi
Dan Labaeille. Pertama dipublikasikan oleh
Grove Press tahun 1981.
9. Bencana
Ditulis dalam bahasa Prancis di tahun
1982. Pertama kali dipentaskan di Festival
Avignon di tahun 1982, menyambung
setahun kemudian di Paris 15 September
1983, 13 Agustus 1984 di Edinburgh
Festival. Dipublikasikan pertama kali di
New York, USA, 1983 dan Faber Faber,
London, 1984.
10. Malam dan Mimpi-mimpi
Malam dan Mimpi Mimpi (Nacht
und Treume) ditulis dan diproduksi oleh
Sueddeutscher Rundfunk tahun 1982.
Dipancarkan 19 Mei 1983.
Buku ini layak dimiliki mahasiswa seni
(jurusan teater/fi lm, pemerhati dunia
teater pada umumnya, maupun seniman
teater khususnya.***
(red. 4-2013, Dari berbagai Sumber)
halaman 61
“Di satu sisi puisi itu tak berguna, ia tak bisa mengubah dunia secara material. Di lain pihak, puisi adalah bagian dari eksistensi manusia.”
(Bei Dao)
“Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu,Hitung aku sebagai yang ke seribu satu.”
(Bei Dao, “The Answer” /Jawabannya)
tokoh
Bei Dao
Zao Zhenkai (Bei Dao) lahir di Beijing
pada 2 Agustus 1949. Nama samarannya
Bei Dao yang secara harfi ah berarti “Pulau
Utara,” nama yang disarankan oleh
seorang teman sebagai referensi untuk
asal sang penyair dari Cina Utara serta
sebagai identitas atas kesendiriannya. Bei
Dao memperoleh pendidikan yang baik di
Sekolah Menengah Ke-empat. Pada usia
17 tahun dia bergabung dengan Revolusi
Kultural dan karena itu studinya tertunda.
Dari 1969 sampai 1980 dia menjadi
pekerja konstruksi. Pada awal 1970-an
Bei Dao mulai menulis beberapa puisi.
Pada 1976 sajak-sajak Dao mulai diakui
di kalangan Gerakan Demokrasi. Bei Dao
mengekspresikan keinginan besar akan
kebebasan namun kecewa karena keinginan
itu tak terpenuhi. Dia ikut mendirikan
majalah sastra tak resmi, Jintian, yang
mengumpulkan penyair muda dan
pembangkang. Majalah ini terbit antara
1978 dan 1980. Pada saat itu karya-karya
Dao bebas dari bentuk-bentuk ortodoks
resmi. Para pengecamnya menganggap
puisi-puisinya nihilistik. Dao juga berusaha
halaman 62
memecahkan masalah perbedaan antara
bahasa ucap dengan bahasa tulis Cina pada
sajak-sajak eksperimentalnya. Majalah itu
kemudian dilarang pada tahun 1980. Dao
mulai terkenal secara internasional lewat
sajaknya, “Jawaban,” yang diterbitkan
dalam jurnal puisi Shi Kan pada 1980.
Pada awal 1980-an Dao bekerja di Foreign
Language Press di Beijing. Dia menjadi
sasaran utama dalam Kampanye Polusi
Anti Spiritual dari pemerintah, tetapi pada
1983 dia berhasil bertemu secara rahasia
dengan penyair Amerika, Allen Ginsberg.
Pada 1983 sajak-sajak Dao dipublikasikan
dalam seri East Asia Papers dari Cornell
University East Asia Program dan dalam
Renditions di Hongkong. Puisi-puisinya
juga muncul di Bulletin Concerned Asian
Scholars (1984) dan dalam Contemporary
Chinese Literature, yang diedit oleh
Michael Duke (1985). Sejak pertengahan
1980-an sajak-
s a j a k n y a
m e n j a d i
hahahah lamamaaannnnnnnnnnnn nn nnnnnnnnnnnnn 66666666666666666626262626222222666666666262226666662626266626622226662266266266666626626222
1980-an sajak-k
s a j a k n y aa
m e n j a d ii
semakin pesimistik, dan berpuncak dalam
Bai Ri Meng (1986). Buku Bei Dao Shi
Xuan (1986), koleksi puisi yang ditulis
antara 1970 dan 1986, diterima dengan
antusias tetapi buku itu kemudian dilarang
oleh penguasa.
Selain puisi Bei Dao juga menulis novel;
Bodong menjadikan Dao sebagai novelis
modernis Cina yang terkemuka. Ceritanya
tentang “generasi yang hilang” dari Revolusi
Budaya. Pada 1989 Bei Dao bersama
33 intelektual lainnya menandatangani
sebuah surat untuk NPC dan Komite
Pusat, meminta pembebasan tahanan
politik, antara lain aktivis demokratik
Wei Jingsheng. Ketika demonstran di
Tiananmen dibantai, Dao sedang berada
di Berlin. Beberapa sajaknya beredar
ditengah-tengah demonstran tahun
1989 itu dan dia dituduh ikut memicu
huru-hara. Bei Dao memilih hidup di
pengasingan dan menghidupkan kembali
Jintian, yang kemudian menjadi majalah
sastra Cina yang berpengaruh di luar
negeri. Setelah sempat mengajar di
Denmark, Swedia, dan Jerman
dia pergi Amerika dan mengajar
di Universitas Michigan. Dia
pernah berkata: “Di satu sisi
puisi itu tak berguna, ia tak bisa
mengubah dunia secara material.
Di lain pihak, puisi adalah bagian
dari eksistensi manusia.” Pada
2001 terbit koleksi puisi dari 1991-
1996 dalam edisi bilingual, At the
Sky’s Edge: Poems 1991-1996 (2001).
Pada tahun 2006, Bei Dao diizinkan untuk
pindah kembali ke China. ***
int
halaman 63
Puisi Bei Dao
Jawabannya
Kehinaan adalah kata dasar segala jalan,
Aristokrat adalah nisan untuk mereka yang mulia.
Tengok bagaimana langit yang disalut sepuh
Dengan bayang-bayang berpintal melayang dari orang-orang yang
telah mati.
Era beku kini tiada lagi,
Mengapa ada tangis dimerata tempat?
Tanjung harapan indah sudah dijumpai
Mengapa beradu beribu-ribu pelayaran ke laut mati?
Aku tiba ke dunia ini
Hanya membawa kertas, tali dan sebersit bayang,
Untuk menyampaikan di sidang penghakiman
Suara yang telah dihakimi:
Biar kuberitakan kepada kau, dunia,
Aku-tak-percaya!
halaman 64
Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu,
Hitung aku sebagai yang ke seribu satu.
Aku tak percaya langit itu biru;
Aku tak percaya pada gema guruh;
Aku tak percaya mimpi-mimpi itu palsu;
Aku tak percaya bahawa kematian tiada pembalasan.
Jika laut itu ditakdirkan menjembatani tebing-tebing
Biarkan semua air payau itu tertumpah di jantung-mu;
Jika daratan itu ditakdirkan bangkit
Biarkan kemanusiaan memilih puncak bagi kewujudannya sekali
lagi.
Penyatuan baru dan bintang-bintang berkerdipan
Menghiasi langit yang kini tak terhalang;
Mereka adalah lukisan di dinding gua dari lima ribu tahun silam.
Mereka adalah mata-mata pemerhati bagi orang-orang masa depan.
(Red. Dari berbagai sumber dengan terjemahan sajak Bei Dao
dari teks berbahasa Inggris “The Answer” ke bahasa Indonesia
oleh: Rudiman Yulis).
halaman lxvww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m “...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“
Kantor Pusat : Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau
Pusat PenjualanPekanbaru : Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12
Dumai : Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171 Batam : Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996
Tanjung Pinang : Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039
Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768
Bukit Tinggi : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar
halaman lxvi
top related