laporan praktikum fisiologi
Post on 14-Dec-2014
382 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI
BLOK CARDIOVASKULAR
Nama Asisten Dosen :
Cahya Candra P G1A010003
Anggota :
Raditya Bagas W G1A011006
Rizak Tiara Yusan G1A011016
Afika Fahmudita G1A011019
Mirzania Mahya Fathia G1A011022
Rian Ainnunahqi G1A011025
Nur Qistiyah G1A011027
Zamzami Ahmad Baidowi G1A011028
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2013
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Judul Praktikum : Kesanggupan Kardiovaskuler
B. Waktu, Tanggal Praktikum
Waktu, Tanggal Praktikum : 15.00 WIB, 17 April 2013
C. Tujuan Praktikum
Tujuan Instruksional Khusus :
1. Mengetahui cara – cara pengukuran tekanan darah arteri secara langsung
pada manusia serta memahami faktor – faktor yang mempengaruhinya
2. Mengukur tekanan darah A. brachialis dengan cara auskultasi
3. Membandingkan tekanan darah A. brachialis pada berbagai kerja (kerja
dengan otot dan dengan otak)
4. Mengetahui pengaruh pernafasan dan aliran balik vena terhadap tekanan
darah
5. Mengetahui kesanggupan kardiovaskular seseorang
6. Manganalisa hasil pemeriksaan
D. Dasar Teori
1. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan suatu gaya yang diberikan darah terhadap
dinding pembuluh darah. Nilai ini bergantung pada volume darah yang
terkandung didalam pembuluh, distensibilitas pembuluh (Sherwood,
2012). Tekanan darah merupakan besaran yang penting dalam sistem
sirkulasi karena (Asisten Fisiologi, 2010) :
a. Tekanan harus cukup tinggi agar menghasilkan gaya dorong yang
cukup
1
b. Tekanan juga tidak boleh terlalu tinggi agan organ tidak terlalu
terbebani, mencegah kerusakan pembuluh bahkan ruptur pada
pembuluh halus
c. Tekanan darah merupakan hasil kali curah jantung dengan resistensi
vaskular perifer
d. Tekanan dipengaruhi secara langsung oleh volume darah dan sirkulasi
sistemik.
Volume darah yang konstan, yaitu volume darah yang masuk arteri
dengan volume darah yang keluar dari arteri maka tekanan darah arteri
relatif konstan. Namun secara riil tidak karena saat sistol ventrikel dimana
satu isi sekuncup masuk arteri dari ventrikel disaat yang bersamaan hanya
ada sekitar sepertiga jumlah tersebut yang berpindah dari arteri menuju
arteriol. Kemudian, pada fase diastol tidak terdapat darah masuk dalam
arteri, namun masih terdapat darah yang keluar dari arteri melalui elastic
recoil (Sherwood, 2012).
Pada praktik klinis, tekanan darah merujuk tekanan arteri yg
dinyatakan besar tekanan sistolik per tekanan diastolik yang dianjurkan
kurang dari 120/80 mmHg. Tekanan darah maksimal yang disemprotkan
kedalam pembuluh darah selama fase sistol disebut dengan tekanan sistol,
dengan kisaran normal 120 mmHg. Sedangkan tekanan diastole adalah
tekana minimal arteri ketika darah mengalir kuat dari arteri menuju
pembuluh yang lebih kecil, kisaran normal yaitu 80 mmHg. (Sherwood,
2012).
Tekanan arteri rerata adalah tekanan darah yang dipantau dan diatur
oleh tubuh, bukan tekanan sistolik ataupun diastolik. Pengukuran tekanan
darah merekam tekanan sitolik dan diastolik arteri yang digunakan untuk
patokan menilai tekanan arteri rerata (Sherwood, 2012).
Tubuh melakukan berbagai mekanisme yang terpadu bersama sistem
sirkulasi dan sistem tubuh lain untuk mengatur tekanan darah arteri
(Sherwood, 2012).
2
Tekanan darah arteri rerata
CO TPR
HR SV Resistensi vaskuler
Viskositas
Parasimpatis
Simpatis
Venous Return
Kontrol metabolik lokal
Kontrol Vasokonstriktor intrinsik
Jumlah eritrosit
Volume darah
Pernapasan
Efek hisap jantung
Otot Rangka
Simpatis dan epineprin
Vasopresin dan angiotensin 2
Gambar 1. Mekanisme Terpadu Penentuan Tekanan Arteri Rerata
(Sherwood, 2011)
Tekanan darah arteri rerata dipengaruhi oleh curah jantung maupun
resistensi perifer total. Curah jantung atau cardiac output merupakan
jumlah darah yang dipompa oleh ventrikel kiri per menitnya (Martini et al,
2012). Curah jantung ini merupakan hasil perkalian antara Heart Rate
(frekuensi denyut per menit) ataupun kecepatan jantung dengan Stroke
Volume (volume yang dipompa oleh ventrikel sekali berdenyut)
(Sherwood, 2012).
Kecepatan jantung bergantung pada keseimbangan aktifitas
parasimpatis dan simpatis. Aktivasi simpatis akan menimbulkan
peningkatan kecepatan denyut jantung sedangkan parasimpatis akan
memperlambat kecepatannya. Stroke Volume (SV) dapat meningkat
3
sebagai respon aktivitas simpatis. Selain itu SV dapat meningkat oleh
karena Venous Return / aliran balik vena yang meningkat. Sementara itu,
aliran balik vena bergantung pada vasokontriksi vena yang diinduksi oleh
saraf simpatis, pompa otot rangka, pompa pernapasan serta efek
penghisapan jantung oleh atrium kanan (Sherwood, 2012).
Volume darah sirkulasi juga efektif dalam menentukan darah yang
kembali ke jantung. Volume ini bergantung pada perpindahan cairan
bulkflow pasif antara plasma dan cairan intersisial menembus dinding
kapiler. Pada jangka panjang, volume darah bergantung dalam
keseimbangan air dan garam. Penentu tekanan rerata arteri lainya yaitu
Total Perifer Resistence (TPR) atau resistensi perifer total. TPR ini
merupakan gaya yang melawan aliran darah didalam pembuluh darah.
Faktor terpenting pada TPR yaitu gesekan antara darah dengan permukaan
endotel. TPR dipengaruhi oleh (Martini, 2009) :
a. Resistensi vaskuler
Peningkatan panjang pembuluh darah meningkatkan tingkat
gesekan karena akan memperluas luas permukaan dinding pembuluh.
Diameter pembuluh juga menentukan tingkat gesekan. Semakin lebar
diameter maka akan semakin rendah gesekan dengan komponen darah.
Perbedaan dalam diameter memberi efek lebih besar dibanding
panjang pembuluh darah, kurang lebih setiap peningkatan dua kali
panjang memberikan resistensi 2 kali sedangkan diameter sebesar 16
kali. Kontrol metabolik lokal akan mengontrol aliran darah sesuai
kebutuhan metabolik. Sebagai contoh vasodilatasi arteriol lokal pada
daerah otot – otot rangka yang aktif sehingga membutuhkan
peningkatan aliran darah (Sherwood, 2012).
Jari – jari arteriol (diameter) dipengaruhi juga oleh aktifitas
simpatis, dimana hal tersebut merupakan kontrol ekstrinsik yang
menyebabkan vasokontriksi arteriol. Selain itu, jari – jari (diameter)
arteriol dipengaruhi secara ekstrinsik oleh vasopresin dan angiotensin
II (vasokonstriktor poten) serta penting didalam pengaturan
keseimbangan garam dan air (Sherwood, 2012).
4
b. Viskositas Darah
Darah memiliki kekentalan 5 kali lebih besar dibandingkan air
biasa karena protein plasma dan eritrosit. Jumlah sel darah merah /
eritrosit lebih menentukan kekentalan darah. Pada kondisi anemia,
polisitemia akan mempengaruhi viskositas dan akhirnya berpengaruh
terhadap TPR.
2. Harvard Step Test
Harvard Step Test atau yang dikenal di Indonesia sebagai “Tes
Bangku Harvard” merupakan salah satu tes kebugaran aerobik yang
diprakarsai oleh Brouha pada tahun 1943 di Harvard Fatigue Laboratory,
Amerika Serikat untuk menyeleksi personil tentara saat Perang Dunia
Kedua (Priya, 2010). Tes ini merupakan tes yang sangat populer untuk
menilai kebugaran kardiovaskuler dan direkomendasikan oleh American
Alliance for Health, Physical Education, Recreation, and Dance
(AAHPERD) (Priya, 2010).
Subjek akan melakukan gerakan naik-turun bangku setiap 2 detik
selama 5 menit. Tes ini dapat dihentikan sebelum 5 menit jika subyek
kelelahan, dimana kelelahan didefinisikan sebagai ketidakmampuan
subyek untuk menjaga laju langkah selama 15 detik (Priya, 2010). Pada
akhir tes, subyek akan diperiksa denyut nadinya setelah satu menit
beristirahat kemudian diukur selama 30 detik. Pengukuran dilakukan tiga
kali dengan jeda waktu 30 detik. Tes ini hanya membutuhkan bangku dan
metronom sehingga sangat mudah dilakukan. Namun, karakteristik
biokimia setiap individu berbeda, sehingga tinggi bangku seharusnya
menyesuaikan tinggi masing-masing individu, dimana hal ini sulit untuk
dilakukan (Priya, 2010).
Denyut nadi yang diukur setelah melakukan aktivitas fisik
memiliki beberapa faktor yaitu (Priya, 2010) :
a. penurunan denyut nadi berbanding lurus dengan umur
b. latihan fisik dinamis lebih meningkatkan denyut nadi dibandingkan
latihan fisik statis
5
c. pusat pengaturan di serebrokortikal, dimana terjadi peningkatan
aktivasi sistem simpatis sehingga menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokard dan vasokonstriksi perifer.
d. refleks otot kontraktil yang dipicu oleh stimulasi mekanoreseptor dan
baroreseptor
e. refleks baroreseptor dan faktor lokal yang mempengaruhi aliran darah
menuju otot rangka
E. Alat dan Bahan
1. Spygmomanometer
2. Stetoskop
3. Stopwatch
4. Bangku Harvard setinggi 16 inchi (1 inchi = 2,54 cm)
5. Metronom (2x ayunan per detik)
F. Cara Kerja
1. Pemeriksaan Kesanggupan Kardiovaskular (Harvard Step Test)
a. Metronom diatur sehingga memberikan irama 120x/menit
b. Probandus berdiri menghadap bangku Harvard dengan sikap tenang,
metronom mulai di jalankan
c. Probandus menempatkan salah satu kaki (yang kanan atau kiri) di atas
bangku tepat pada detikan pertama metronome
d. Pada detikan kedua, kaki lainnya dinaikkan ke atas bangku, sehingga
probandus berdiri tegak di atas bangku
e. Pada detikan ketiga, kaki yang pertama naik keatas diturunkan
f. Pada detikan keempat, kaki yang masih di atas bangku diturunkan
pula, sehingga probandus berdiri di depan bangku, dilakukan selama 5
menit
g. Segera setelah itu, probandus di suruh duduk dan istirahat selama 30
detik, lalu denyut nadi dihitung selama 30 detik sebanyak 3 kali pada :
1’ – 1’30” , 2 – 2’30”, 3’ – 30”
6
2. Pemeriksaan Tekanan Darah Pada Berbagi Kerja
a. Kerja Otot
1) Ukur tekanan darah awal probandus sebelum melakukan kerja
sebagai Pengukuran 1
2) Probandus melakukan gerakan badan selama 1 menit (lari
ditempat)
3) Ukur tekanan darah probandus setelah melakukan kerja sebagai
Pengukuran 2
4) Tetapkan tekanan darah rata – ratanya
5) Bandingkan hasilnya dengan keadaan lain
b. Kerja Otak
1) Ukur tekanan darah awal probandus sebelum melakukan kerja
sebagai Pengukuran 1
2) Probandus mengerjakan suatu soal hitungan dalam waktu 1 menit
3) Ukur tekanan darah probandus setelah melakukan kerja sebagai
Pengukuran 2
4) Tetapkan tekanan darah rata – ratanya
5) Bandingkan hasilnya dengan keadaan lain
7
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pemeriksaan Kesanggupan Kardiovaskuler (Harvard Step Test)
a. Identitas probandus
Nama Rian Ainnunahqi
Jenis kelamin Laki laki
Umur 18 tahun
Ras Asia
b. Hasil pemeriksaan
1) Waktu lama naik turun : 5 menit (300 detik)
2) Denyut nadi 3 kali pengambilan
No Detik Jumlah nadi
1 30 detik pertama 80 kali
2 30 detik kedua 73 kali
3 30 detik ketiga 68 kali
3) Interpetasi hasil
indeks= lamanya naik turun dalam detik × 1002× ¿¿
indeks= 300 ×1002 ×(80+73+64)
indeks=30.000442
indeks=67,873
8
Interpretasi : 67,8 termasuk kesanggupan cukup (nilai rujukan 65 – 79 )
2. Pemeriksaan Tekanan Darah Pada Berbagai Kerja
a. Identitas Probandus
1) Pengujian kerja otak
Nama R. Bagas W.
Jenis kelamin Laki laki
Umur 19 tahun
Ras Asia
2) Pengujian kerja otot
Nama Rizak Tiara Y
Jenis kelamin Laki laki
Umur 19 tahun
Ras Asia
b. Hasil Pemeriksaan
Keadaan Pengukuran 1 Pengukuran 2 Rata rata MAP
Kerja otak 120/80 120/80 120/80 93,3
Kerja otot 110/70 130/90 120/80 93,3
c. Interpretasi Hasil
MAP≅ DP+ 13(SP−DP )
1) Kerja otak
MAP≅ 80+ 13(120−80)
MAP≅ 80+13,3
MAP≅ 93,3
2) Kerja otot
MAP≅ 80+ 13(120−80)
MAP≅ 80+13,3
MAP≅ 93,3
9
Kriteria JNC 7
Klasifikasi Sistol mmHg Diastole mmHg
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 - 139 80 – 89
Hipertensi stage 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stage 2 >159 >99
Keterangan :
1. Kerja otak :
Prehipertensi
2. Kerja otot :
Normal
B. Pembahasan
Tes bangku Harvard merupakan salah satu test untuk mengukur kebugaran
dan ketahanan kardiovaskular seseorang. Tes Bangku Harvard dikenal juga
sebagai Harvard Step Test. Metode yang digunakan pada Tes Bangku Harvard
ialah dengan naik turun bangku dengan kecepatan yang telah ditentukan.Tes
ini dilakukan berdasarkan tinggi bangku dan tinggi seseorang. Kedua hal
tersebut merupakan suatu variasi yang dipengaruhi juga oleh berat badan
(Mangkoesoebroto, 2011).
Pada praktikum kali ini didapatkan bahwa probandus berjenis kelamin
laki-laki dengan usia 18 tahun dapat melaksanakan Tes Bangku Harvard
selama 5 menit (300 detik) dengan setiap 30 detiknya ialah masing-masing 80
kali, 73 kali dan 68 kali. Berdasarkani nterpretasi tersebut, dengan cara lambat
didapatkan hasil kesanggupan cukup. Sedangkan, dengan cara cepat
didapatkan hasil kesanggupan sedang. Tes Bangku Harvard (Harvard Step
Test) melihat hubungan antara curah jantung, kecepatan jantung, dan volume
sekuncup pada probandus yang menjalani tes. Curah jantung merupakan
volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit. Secara formula, curah
jantung merupakan hasil kali antara kecepatan jantung dengan volume
10
sekuncup. Saat melakukan olahraga atau aktivitas fisik lainnya, curah jantung
dapat meningkat 20 sampai 25 liter per menit, di mana seorang atlet terlatih
dapat mencapai curah jantung yang lebih tinggi, yakni 40 liter per menit
(Sherwood, 2011).
Curah jantung sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh volume sekuncup dan
kecepatan jantung. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi curah
jantung secara langsung, yaitu metabolisme basal tubuh, kerja fisik, usia, dan
ukuran tubuh (Guyton, 2007). Dari empat faktor tersebut, pembahasan tes
bangku Harvard kali ini akan lebih melihat dari segi kerja fisik, mengingat
variable faktor yang lain tidak mengalami perlakuan.
Interpretasi dari hasil tes bangku Harvard berhubungan erat dengan
volume sekuncup yang dapat dipengaruhi oleh aliran balik vena dan volume
diastolic akhir (Sherwood, 2011). Sesuai dengan hukum Frank-Sterling,
peningkatan jumlah aliran balik vena dan volume diastolic akhir dapat
menyebabkan peningkatan volume darah pada jantung yang berimbas pada
peningkatan peregangan pada otot jantung. Semakin tinggi peregangan otot
jantung, kontraksi otot jantung akan menjadi lebih besar sehingga volume
darah yang keluar dari jantung akan meningkat pula. Dalam arti lain, hal ini
menunjukkan adanya peningkatan pada volume sekuncup yang berakibat pada
peningkatan curah jantung saat seseorang melakukan aktivitas fisik (Guyton,
2007).
Pada atlet olahraga maupun orang-orang yang terlatih dengan aktivitas
fisik, secara tidak langsung mereka akan membentuk otot rangka dan otot
jantung yang mengalami hipertrofi sebagai kompensasi dari aktivitas yang
mereka lakukan. Saat otot jantung mengalami hal tersebut, maka peregangan
otot jantung dapat mengalami peningkatan, sehingga volume darah pada
jantung pun meningkat. Hal tersebut dapat meningkatkan volume sekuncup
yang dihasilkan oleh jantung. Namun, kecepatan jantung akan menurun karena
otot jantung pada kasus ini tidak perlu berkontraksi dengan maksimal akibat
dari hipertrofit ersebut. Seluruh hal ini dapat berakibat pada peningkatan curah
jantung secara efektif, di mana jantung tidak perlu berkontraksi terlalu keras
untuk mengedarkan darah keseluruh tubuh (Gutyon, 2007).
11
Hal tersebut akan berkebalikan dengan orang yang jarang beraktivitas
fisik. Untuk mencukupi kebutuhan aliran darah saat beraktivitas, kecepatan
jantung mereka akan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sering
beraktivitas fisik. Hal tersebut disebabkan peregangan otot jantung yang tidak
dapat maksimal untuk menghasilkan volume sekuncup yang besar. Dalam arti
lain, kerja jantungnya kurang efektif dibandingkan dengan orang yang sering
beraktivitas fisik (Guyton, 2007).
Tidak hanya intensitas aktivitas fisik yang berperan, usia probandus pun
memiliki hubungan dengan peningkatan curah jantung tersebut. Curah jantung
dapat dikaitkan dengan usia yang lebih dikenal sebagai indeks jantung pada
berbagai umur. Pada decade pertama kehidupan manusia, terjadi peningkatan
pada indeks jantung sampai lebih dari 4 liter/menit/m2 luas tubuh. Hal tersebut
akan menurun hingga 2,4 liter/menit/m2padausia 80 tahun (Guyton, 2007).
Probandus pada pengujian kali ini baru mencapai usia sekitar satu setengah
dekade, di mana merupakan puncak dari indeks jantung. Hal ini sangat
berhubungan dengan interpretasi hasil yang didapatkan.
Pada praktikum kali ini pula didapatkan hasil dari kinerja otak untuk
pengukuran pertama 120/80 mmHg dan tetap pada pengukuran kedua. Pada
kinerja otot didapatkan hasil berupa 110/70 mmHg untuk pengukuran
pertamadan 130/90 mmHg untuk pengukuran kedua. Rata-rata dari kedua
hasil tersebut adalah 120/80 mmHg, di mana pada pengukuran otot terjadi
peningkatan tekanan darah, sedangkan pada pengukuran otak tidak terjadi
fluktuasi nilai.
Pada saat aktivitas berupa kerja otot maupun kerja otak terjadi, system
kardiovaskuler akan berperan dalam memasok oksigen dan nutrisi lain kepada
bagian yang bekerja, dalam hal ini sel-sel pada otak dan jaringan otot. Sebagai
kompensasinya, aliran darah akan meningkat selama aktivitas terjadi. Secara
statistik, kenaikan darah arteri akan terjadi selama aktivitas berlangsung
sekitar 30 persen. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan peningkatan tensi
darah, tetapi juga meregangkan dinding arteriol dan menurunkan tahanan
vaskular. Tekanan darah yang meningkat ini akan aliran darah jumlah besar
12
untuk memenuhi bagian yang membutuhkan oksigen dan nutrisi sebagai
kompensasi dari aktivitas tersebut (Guyton, 2007).
Sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada, pada aktivitas otot ditemukan
peningkatan tekanan darah.Namun, pada aktivitas otak peningkatan tersebut
tidak terjadi. Jika dianalisis, hal tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor,
seperti kesalahan pengukuran tekanan darah maupun probandus yang belum
sempat melakukan aktivitas otak mengingat waktu yang cukup singkat untuk
melakukan aktivitas otak tersebut.
C. Aplikasi Klinis
1. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih
besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat / tenang (Depkes RI, 2007). Menurut WHO (2011) batas
normal tekanan darah adalah kurang dari atau 120 mmHg tekanan sistolik
dan kurang dari atau 80 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan
mengidap hipertensi bila tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHg.
1) Klasifikasi
Berdasarkan Penyebab:
a) Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang
penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi
faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan.
Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi. Hipertensi primer
kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan pada jantung dan
pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan
meningkatnya tekanan darah (Ruhyanudin, 2007).
b) Hipertensi Sekunder (Hipertensi non Esensial)
Hipertensi sekunder adalah jika penyebabnya diketahui. Pada
sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal.
13
Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu (Ruhyanudin, 2007).
Berdasarkan TDS dan TDD:
Menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) tahun 2003 hipertensi
dibedakan berdasarkan Tekanan Darah Sistolik (TDS) dan Tekanan
Darah Diastolik (TDD) sebagai berikut (Department of Cardiology and
Vascular FKUI, 2003):
a) Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik
<80 mmHg
b) Prehypertension bila tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan
diastolik 80-89 mmHg
c) Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan
diastolik 90-99 mmHg
d) Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan
diastolik ≥100 mmHg.
b. Etiologi
Corwin (2009) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada
kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral
Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang
tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan
kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf
atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung
biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR,
sehingga tidak menimbulkan hipertensi (Hayens, 2003).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan,
akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi
garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron
maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan
air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan
menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi
14
peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan preload
biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik (Hayens, 2003).
Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat
terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol,
atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan
normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh
darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus
memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan
yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang
menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan
biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila
peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin
mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan
ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus
mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi
kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai
tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan
penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup (Hayens, 2003).
c. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
15
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2009).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula
adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat
respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan
renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi (Dekker, 1996).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi
dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2009).
d. Gejala Klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala,
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan
dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang
dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah
kemerahan dan kelelahan (Ruhyanudin, 2007).
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul
gejala berikut yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah,sesak nafas,
16
gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan
pada otak, mata, jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat
mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi
pembengkakan di otak (Ruhyanudin, 2007).
Hipertensi yang berujung pada komplikasi menunjukkan gejala
kerusakan organ. Adapun yang menjadi gejala kerusakan organ, yaitu
(Laporan komisi pakar WHO, 2001):
1. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, penglihatan terganggu, serangan
iskemik sesaat, gangguan panca indera atau gerak
2. Jantung: berdebar-debar, nyeri dada, napas pendek, pergelangan kaki
bengkak
3. Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuria
4. Arteri perifer: tangan kaki dingin, pincang berkala (claudicatio
intermittens).
e. Faktor Risiko
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Hal
ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada
yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri
koroner dan kematian prematur (Julianti, 2005).
Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya
hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit
hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55
tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause (Depkes, 2007).
Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah
terjadinya hipertensi yang cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika
seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang
hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi (Julianti, 2005).
Garam dapur merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis
hipertensi. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan
hipertensi yang rendah, jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
17
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam
terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma,
curah jantung dan tekanan darah (Wiryowidagdo, 2004). Garam
mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium
lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan
peningkatan tekanan darah (Sheps, 2005).
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun
hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan
peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah
kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembulu dadarah hingga ke
otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat
ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk
bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu, karbon
monoksida dalam asap rokokmenggantikan iksigen dalam darah. Hal ini
akan menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa
untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh
(Dunitz, 2001).
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada
orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih
keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa
maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Dunitz, 2001).
Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya
hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga
melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan
darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan
dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi (Dunitz, 2001).
f. Komplikasi
Tekanan darah secara alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan
darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten.
Tekanan seperti membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai
18
darah (termasuk jantung dan otak) menjadi tegang (Palmer, 2007). Bila
tekanan darah tinggi tidak dapat dikontrol dengan baik, maka dapat terjadi
serangkaian komplikasi serius dan penyakit kardiovaskular seperti angina
atau rasa tidak nyaman di dada dan serangan jantung, stroke, gagal
jantung, kerusakan ginjal, gagal ginjal, masalah mata, hipertensif
encephalopathy sering dirujuk pada penyakit organ akhir (Yasmin, 1996).
Stroke dapat terjadi akibat hemoragik tekanan tinggi di otak, atau
akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan
tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri
yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga
aliran darah ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang
mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2009).
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau
apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melewati
pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan
oksigen miokardum mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi
iskemia jantung yang menyebabkan infark (Corwin, 2009).
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran
darah ke unit fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang sering dijumpai
pada hipertensi kronis (Corwin, 2009).
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
dan mendorong cairan ke ruang interstisial diseluruh susunan saraf pusat.
Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian
(Corwin, 2009).
19
g. Pengobatan
Baik pendekatan nonfarmakologis maupun farmakologis berguna
dalam menatalaksana penderita dengan kenaikan tekanan darah. Remaja
dengan hipertensi esensial paling baik ditatalaksana pada mulanya dengan
terapi nonfarmakologis (Pruitt, 2007).
Karena banyak penderita dengan kenaikan tekanan darah adalah
kegemukan, pengurangan berat badan dapat berakibat penurunan tekanan
darah 5 sampai 10 mmHg pada tekanan sistolik dan penurunan 5mmHg
pada tekanan diastolik. Pengurangan masukan natrium dapat menurunkan
tekanan darah sekitar 5 mmHg (Pruitt, 2007).
Program latihan aerobik yang teratur juga ternyata menurunkan
tekanan darah pada kelompok penderita dengan hipertensi esensial
ringan .Untuk anak dengan hipertensi sekunder dan hipertensi esensial
terapi farmakologis juga diperlukan. Untuk penurunan tekanan darah
selama krisis hipertensi penting untuk memilih obat dengan mulai kerja
cepat dan diperlukan monitoring secara hati-hati terhadap tekanan darah
(Pruitt, 2007).
Pada gawat darurat hipertensi obat-obat pilihan yang digunakan
adalah labetolol, nitropusid intravena atau nifedipin sublingual.
Kebanyakan penderita dengan krisis hipertensi menderita penyakit ginjal
akut atau kronis, manajemen tekanan darah juga memerlukan perhatian
yang teliti terhadap keseimbangan cairan dan memerlukan diuresis.
Furosemid intravena biasanya efektif, walaupun filtrasi glomerulus
mungkin terganggu (Pruitt, 2007).
Dalam memilih regimen pengobatan untuk jangka panjang diperlukan
pemahaman patofisiologi. Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron
yang berlebihan dapat dipengaruhi oleh obat yang menghambat reseptor β
(propanolol) untuk penekanan sekresi renin, penghambat enzim pengubah
angiotensin (ACE inhibitor) seperti kaptopril atau antagonis aldosteron
20
seperti spironolakton. ACE inhibitor berguna pada penderita dengan
hipertensi renin tinggi yang merupakan akibat penyakit renovaskuler atau
parenkim ginjal dan juga pada penderita hipertensi esensial renin tinggi.
Kaptopril efektif pada neonatus dengan hipertensi akibat penutupan parsial
pembuluh darah ginjal oleh trombus akibat kelebihan produksi angiotensin
.Penderita muda dengan hipertensi esensial dapat diobati mulanya dengan
diuretik atau obat penghambat β. Jika tekanan darah tidak turun dapat
dikombinasikan dengan diuretik atau ACE inhibitor (Pruitt, 2007).
Pada penderita hipertensi yang berlangsung lama dan tidak terkontrol,
patofisiologi yang mendasari sering kompleks dan memerlukan terapi
kombinasi obat antihipertensi. Prinsip dasar kombinasi terapi
antihipertensi adalah pemberian bersama obat-obat dengan tempat atau
mekanisme kerja yang berbeda-beda. Regimen obat harus sesederhana
mungkin dan diperlukan pemantauan yang baik (Pruitt, 2007).
h. Pencegahan
Pencegahan tekanan darah tinggi dapat dipandang sebagai bagian dari
pencegahan penyakit kardiovaskuler. Beberapa faktor risiko untuk
gangguan kardiovaskuler telah diketahui, mencakup obesitas, kolesterol
serum naik, masukan diet natrium tinggi dan gaya hidup . Pendekatan
populasi untuk pencegahan hipertensi esensial adalah pengurangan
masukan natrium dan penambahan aktivitas fisik melalui program
kurikulum sekolah (Pruitt, 2007).
i. Prognosis
Prognosis untuk hipertensi terutama ditentukan oleh sifat penyakit
yang mendasari dan ketanggapannya terhadap terapi spesifik (Pruitt,
2007).
2. Infark Miokard Akut (IMA)
a. DefinisiMenurut Kamus Kedokteran Dorland, infark adalah area nekrosis
koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi
sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus. Infark
miokard adalah nekrosis otot jantung yang bersifat ireversibel akibat iskemi
21
yang lama. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
demand dan supply dari oksigen. Biasanya disebabkan oleh rupture plak
dengan adanya trombus pada pembuluh koroner, sehingga menyebabkan
adanya sumbatan pada pemubuluh darah (Zafari, 2013).
b. Faktor resiko
Infark Miokard terjadi oleh beberapa penyebab, yaitu (Alpert et al.,
2010):
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura,
atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan
dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu
munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari
anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan
spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak
ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak
didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda
biokimiawi sempat meningkat.
4. Infark miokard tipe 4
Infark miokard tipe 4 dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat
pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang
memicu terjadinya infark miokard.
b) Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
22
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal.
Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi
bypass koroner.
Terjadinya infark miokard dipengaruhi oleh dua macam faktor
resiko, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan yang dapat dikontrol.
Faktor terjadinya infark miokard yang tidak dapat dikontrol adalalah
sebagai berikut (Siregar, 2011):
a) Usia
Salah satu penyebab utama dari infark miokard akut adalah adanya
aterosklerosis. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Sebelum usia 40 tahun resiko terjadinya penyakit
yang serius jarang terjadi.
b) Jenis kelamin
Laki-laki muda lebih beresiko daripada wanita usia muda. Namun,
apabila wanita sudah memasuki fase menopause, resiko terkena
penyakit sama dengan laki-laki. Hal ini belum pasti penyebabnya,
namun diperkirakan karena adanya fungsi proteksi dari hormon.
c) Riwayat keluarga
Faktor genetic tidak dapat diubah. Apabila salah satu anggota
keluarga memiliki riwayat penyakit ini, maka anggota keluarga yang
lain memiliki resiko yang besar untuk menderita infark miokard akut.
d) Ras
Ras yang sering terkena IMA adalah Ras Afrika.
Faktor IMA yang dapat dikontrol adalah sebagai berikut (Siregar, 2011):
1. Obesitas
2. Hipertensi
3. Diabetes melitus
4. Merokok dan konsumsi alkohol
5. Faktor stress dan psikososial
c. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
23
Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi
(Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel
tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi
makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor
pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika
media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah
bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma
matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.
Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi
dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price et al., 2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh
formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk
keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap
kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh
24
sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner
desendens kiri berbahaya (Selwyn et al., 2005).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke
jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam
fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke
subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal
arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi
dan berelaksasi (Selwyn et al., 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme
asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini
mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel
menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel
(<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir
pada infark miokard (Selwyn et al., 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di
arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya
terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen
ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim,
2001).
25
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8
jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu
yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu
berbeda-beda (Selwyn et al., 2005).
d. Penegakkan diagnosis
1. Nyeri dada
Nyeri dada yang sering dirasakan biasanya bersifat (Alwi, 2009):
a) Berlokasi di substernal, retrosternal, dan prekordial
b) Rasa nyerinya seperti rasa sakit ditusuk, diperas, dan dipelintir
c) Rasa sakit menjalar ke lengan kiri, leher, rahang bawh, gigi, dan
punggung
d) Dapat dipicu karena aktivitas fisik maupun faktor psikis
e) Gejala lain yang menyertai adalah mual, muntah, sulit bernapas,
keringat dingin, cemas dan lemas
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah:
a) Pasien tampak cemas dan tidak dapat istirahat
b) Ekstremitas pucat dan keringat dingin
c) Pada infark anterior ditemukan takikardi dan pada infark infrerior
dapat ditemukan bradikardi
d) Kenaikan suhu menjadi 38oCpada minggu pertama
e) Pada auskultasi ditemukan suara jantung 3 (S3) dan suara jantung
4 (S4), penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua.
3. Elektrokardiograf
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri
koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG
berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q.
26
Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika
trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi
segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST
digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon,
2005).
4. Penanda biokimia
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam
ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui
mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu,
nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah
yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain
aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine
kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III
(CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T
(cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-
protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).
e. Penatalaksanaan
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Diberikan secara sublingual dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan
sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Berguna untuk mengurangi
nyeri dada dan mengurangi kebutuhan oksigen.
3. Morfin
Diberikan efektif untuk nyeri dada. Dosis yang dapat diberikan adalah
2-4 mg dapat diulang dengan interval 5-15 menit samapi dosis total 20
mg.
4. Aspirin
27
Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi
kadar trmboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg. Aspirin digunakan sebagai antiplatelet.
5. Beta bloker
Biasanya digunakan jika pemberian nitrat tidak efektif.
6. Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajad disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikel yang malignan. Sasaran terapi reperfusi adalah
door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit.
(Siregar, 2011)
28
BAB III
KESIMPULAN
1. Tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output dan tekanan resisten perifer
dimana dalam praktikum kali ini dipengaruhi oleh kerja otot maupun otak.
2. Pengaruh kerja otot terhadap peningkatan tekanan darah pada praktikan lebih
dominan dibanding dengan pengaruh kerja otak.
3. Pada tes kesanggupan kardiovaskular dengan Harvard step test, diperoleh
kesanggupan praktikan cukup dengan nilai indeks 65 – 79.
4. Aplikasi klinis dari praktikum kali ini yaitu pada penyakit hipertansi dan
Infark Miokard Akut (IMA).
29
DAFTAR PUSTAKA
Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of Myocardial Infarction for the Twenty-First Century. AccessMedicine from McGraw-Hill. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/716457
Alwi, Idrus. 2009. Infark Miokard Akut dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser,
Cannon, C.P., Braunwald, E., 2005. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1444-1445.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Dekker, E. 1996. Hidup dengan tekanan darah tinggi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Department of Cardiology and Vascular FKUI. 2003. Hypertension, Vascular Disease: Management and Prevention From Dream To Reality. Jakarta: FKUI.
Depkes RI. 2007. InaSH Menyokong Penuh Penanggulangan Hipertensi. Jakarta: Intimedia.
Depkes. 2007. Hipertensi di indonesia. Available at: www.depkes.go.id
Dunitz, M. 2001. Treatrment of hypertension in general practice. Dallas: Blok Well Sciens Inc.
Guyton, Arthur C., John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11 (AlihBahasa :Irawati). Jakarta : EGC
Hayens, B. 2003. Buku pintar menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladang Pustaka.
Julianti, E. D., Nurjana, dan soetrisno. 2005. Bebas Hipertensi dengan terapi jus. Jakarta: Puspa Suara.
Kalim, H., 2001, Diagnostik dan Stratifikasi Risiko Dini Sindrom Koroner Akut. Dalam: Kaligis, R.W.M., Kalim, H., Yusak, M., Ratnaningsih, E., Soesanto, A.M. (eds). Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita, 227-228.
30
Laporan komisi pakar WHO. 2001. Pengendalian Hipertensi. Bandung: ITB.
Mangkoesoebroto, Arjatya P., Maria Mexitalia. 2011. Hubungan Indeks Massa Tubuhdengan Kesegaran Kardiovaskular yang diukurdengan Harvard Step Test dan 20M Shuttle Run Test padaAnakObesitas. Semarang :Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Martini, Frederic H et al. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology 9th
Edition. San Francisco : Pearson Education.
Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of Clinical Biochemistry. Available from: http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf
Palmer, Anna. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Erlangga.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Priya. 2010. Study of Cardiovascular Response to Exercise by Yoga Training (Shavasana) in Young Adults by Using Harvard Step Test. Bangalore: Rajiv Gandhi University of Health Sciences Press.
Pruitt, A. W. Dalam: Behrman R. E., Kleigman R. M. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics 18 Edition. Philadelphia: Saunders Company.
Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st ed. USA: Oxford University Press.
Ruhyanudin, Faqih. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Kardioavaskuler. Malang: UMM Press.
Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw- Hill 1434-1435.
Sheps. 2005. Mengatasi tekanan darah tinggi. Jakarta: Intisari Mediatama.
WHO. 2011. Hypertension fact sheet. Available at: http:-//www.searo.who.int/linkfiles/non_communicable_diseases_hypertension-fs.pdf
Siregar, Yasmine F. 2011. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Berdasarkan Hasil EKG dengan Kadar Troponin T pada Penderita Infark Miokard Akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008 - 31 Desember 2009. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22069/4/Chapter%20II.pdf
Wiryowidagdo, S. 2004. Obat tradisional untuk penyakit jantung, darah tinggi dan kolestrol. Jakarta: Agromedia Pustaka.
31
Yasmin, A. 1996. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: EGC.
Zafari, A. Maziar. 2013. Myocardial Infarction. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview#aw2aab6b2b2
32
top related