laporan geologi teknik - afrizal
Post on 28-Jun-2015
678 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN STUDI
GL 3121 – PENGANTAR GEOLOGI TEKNIK
TATA RUANG KAWASAN PESISIR PANTAI PANGANDARAN
DIKERJAKAN OLEH :
Afrizal Ramadhan (15408002)
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2009
Daftar Isi
Daftar Isi..................................................................................................................................2
Bab I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan dan Sasaran................................................................................................4
1.4 Ruang Lingkup..........................................................................................................5
1.5 Metodologi..................................................................................................................6
1.6 Sistematika Penulisan............................................................................................6
Bab II TINJAUAN TEORITIS DAN KAJIAN DOKUMEN TATA RUANG.........................8
2.1 Definisi Pantai, Pesisir, dan Laut........................................................................8
2.2 Kajian Dokumen Tata Ruang Terkait Kawasan Pesisir Pantai...............12
Bab III GAMBARAN UMUM & PROFIL KAWASAN PESISIR PANTAI PANGANDARAN...................................................................................................................16
3.1 Profil Kawasan Pantai Pangandaran..............................................................16
3.2 Tipologi Kawasan Pantai Pangandaran........................................................18
Bab IV ANALISIS KESESUAIAN TATA RUANG DI KAWASAN PANGANDARAN20
4.1 Kondisi Eksisiting dan Berbagai Persoalan di Pantai Pangandaran....20
4.2 Kesesuaian Dengan Perencanaan Pada Dokumen Tata Ruang...........24
Bab V KESIMPULAN...........................................................................................................27
Daftar Pustaka....................................................................................................................28
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi Indonesia, pariwisata telah menjadi sektor strategis dalam memperkuat
perekonomian negara maupun sebagai elemen pemerataan pembangunan dari aspek
kewilayahan. Kontribusi dari aspek ekonomi menunjukkan bahwa pariwisata ini merupakan
sektor penghasil utama devisa negara nonmigas. Peran dan kontribusi signifikan tersebut
telah semakin mengukuhkan pariwisata sebagai sektor strategis yang memiliki potensi dan
peluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan menjadi lokomotif bagi upaya
pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat serta revitalisasi perekonomian
Indonesia.
Salah satu kawasan pariwisata andalan Propinsi Jawa Barat yang memiliki prioritas
untuk dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Ciamis adalah objek
wisata Pangandaran. Terbukti dengan jumlah kunjungan rata-rata pertahun sekitar 1,5 juta
kunjungan wisatawan nusantara dan sekitar 10 ribuan wisatawan mancanegara
(http://www.mediacenter.or.id). Program pengembangan kepariwisataan di Kabupaten
Ciamis termasuk salah satu program pembangunan daerah dalam bidang ekonomi dengan
tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, mewujudkan azas
pemerataan dalam pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan perluasan kesempatan
berusaha dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Agar potensi wilayah Pangandaran tersebut semakin berkembang, baik potensi
ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan pariwisata dan perikanan, maupun potensi sebagai
kawasan lindung, maka perlu adanya perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan.
Proses perencanaan dan pengelolaan tersebut haruslah mengacu kepada peraturan tata ruang
yang berlaku, baik dalam skala nasional maupun regional. Oleh karena itu, perlu diadakan
sebuah tinjauan terhadap wilayah Pangandaran ini dari segi penataan ruang, yaitu
berdasarkan Peraturan Pemerintah no 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional Republik
Indonesia, UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU no 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Kawasan Pesisir.
1.2 Rumusan Masalah
Proses perencanaan tata ruang ini melibatkan tiga dimensi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu darat, laut, dan udara. Kawasan peisisr pantai ini setidaknya berhubungan
langsung dengan dua unsur yaitu darat dan laut, karena merupakan daerah perbatasan
diantara keduanya. Dari uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang, dalam studi kali ini
akan dibahas mengenai kesesuaian antara kondisi tata ruang eksisting dengan peraturan tata
ruang yang seharusnya. Mengingat bahwa proses perencanaan itu bersifat dinamis, maka
tinjauan kesesuaian seperti ini sangat diperlukan untuk terus melakukan evaluasi dan
perbaikan kedepannya untuk mangembangkan kawasan Pantai Pangandaran ini. Singkat kata,
rumusan persoalan dalam sutudi kali ini adalah sebagai berikut.
“ Apakah kondisi tata ruang di kawasan pesisir pantai Pangandaran sudah sesuai dengan
peraturan-peraturan tata ruang yang terkait? ”
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari studi yang dilakukan kali ini adalah untuk mengetahui kesesuaian
perencanaan tata ruang kawasan pesisir pantai Pangandaran dengan peraturan-peraturan tata
ruang yang terkait, yaitu Peraturan Pemerintah no 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional
Republik Indonesia, UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU no 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut,
diperlukan beberapa sasaran studi sebagai berikut.
Melakukan kajian pada dokumen tata ruang yang terkait dengan perencanaan dan
pengelolaan kawasan pantai atau pesisir.
Menjelaskan beberapa informasi serta definisi umum mengenai kawasan pantai,
pesisir, dan laut untuk memudahkan pemahaman.
Mendeskripsikan gambaran umum tentang kondisi eksisiting dari kawasan pesisir
Pangandaran.
Mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang dimiliki oleh pantai Pangandaran
dalam perspektif tata ruang.
Melakukan analisis atau komparasi dari kondisi tata ruang eksisting di Pangandaran
saat ini dengan peraturan tata ruang yang seharusnya.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam laporan ini dibatasi pada ruang
lingkup materi dan ruang lingkup wilayah.
Ruang Lingkup Wilayah
Wilayah yang diamati pada studi kali ini adalah kawasan Pantai Pangandaran yang
terletak di Desa Kidang Pananjung, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, dengan
jarak 92 km dari Kota Ciamis ke arah selatan. Lokasi Pangandaran dapat kita perhatikan
dalam peta di bawah ini. Pantai Pangandaran merupakan area yang diberi tanda persegi
merah dan juga sekitarnya.
sumber : www.google.com
Ruang Lingkup Materi
Dalam studi kali ini, konteks Pangandaran dapat kita tinjau dari kedua sisi, baik
sebagai kawasan pesisir maupun daerah pantai. Kedua istilah ini memang berbeda namun
memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Selain itu, materi yang akan kita
tinjau dalam studi kali ini yaitu materi-materi terkait tata ruang yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah no 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional Republik Indonesia, UU no
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Kawasan Pesisir. Beberapa diantaranya yaitu sempadan pantai, bangunan-bangunan yang
berdiri di daerah pesisir pantai, serta jenis kegiatan di daerah tersebut yang berhubungan
dengan nilai ekologis dan estetika kawasan Pangandaran.
1.5 Metodologi
Metodologi ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu metode pengumpulan data dan
metode analisis. Untuk metode pengumpulan data, diperoleh melalui survei sekunder dengan
cara studi literatur. Data yang dikumpulkan bersumber dari jurnal, artikel, surat kabar, yang
diperoleh dari media internet. Data data tersebut kemudian dikumpulkan, ditelaah, kemudian
dirangkum dan disajikan sesuai kebutuhan. Sedangkan untuk metode analisis, dilakukan
kajian pada dokumen tata ruang, kemudian melakukan analisis komparasi (perbandingan)
sederhana antara kondisi yang ada saat ini (eksisiting) dengan kondisi yang seharusnya
(menurut yang direncanakan dalam dokumen tata ruang).
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam pembahasan laporan praktikum ini terdiri dari lima bab yang
tersusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan, yaitu:
BAB I Pendahuluan, dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan sasaran, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari ruang lingkup materi dan
wilayah, metodologi penelitian yang terdiri dari pengumpulan data dan pengolahan data, dan
sistematika penulisan laporan.
BAB II Tinjauan Teoritis, berisikan penjelasan tentang pengertian tentang kawasan
pesisir, pantai, laut, serta rangkuman dari kajian pada beberapa dokumen tata ruang yang
terkait dengan kawasan peisisir pantai.
BAB III Gambaran Umum Kawasan Pantai Pangandaran, bab ini terdiri dari
sejarah kawasan, deskripsi letak Pangandaran, kondisi fisik pantai, dan lain sebagainya.
BAB IV Analisis Kesesuaian Tata Ruang di Kawasan Pangandaran, disini akan
dibahas mengenai beberapa persoalan dan potensi yang dimiliki oleh Pangandaran, serta
menunjukan komparasi (perbandingan) antara kondisi tata ruang yang ada saat ini dengan
kondisi tata ruang yang seharusnya.
Bab V Simpulan, berisikan kesimpulan yang menjawab tujuan, rangkuman mengenai
perosalan yang ada di Pangandaran dan intisari dari kesesuaian kondisi eksisiting kawasan
peisisir pantai berdasarkan dokumen tata ruang yang berlaku.
Bab IITINJAUAN TEORITIS DAN KAJIAN DOKUMEN TATA RUANG
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai beberapa definisi umum tentang kawasan
pesisir dan pantai, serta definisi laut. Kemudian bagian yang kedua akan membahas tentang
beberapa poin penting dalam Peraturan Pemerintah no 26 tahun 2008 tentang RTRW
Nasional Republik Indonesia, UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU no 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, terutama yang berkaitan dengan kawasan
pesisir pantai.
2.1 Definisi Pantai, Pesisir, dan Laut
Pantai dan Pesisir merupakan dua istilah yang berbeda akan tetapi keduanya saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan karena sama-sama berhubungan dengan laut.
Pesisir
Pesisir adalah bagian permukaan bumi yang terletak antara pasang naik dan
pasang surut. Pada waktu pasang naik, pesisir tertutup oleh air laur dan pada waktu
pasang surut nampak berupa daratan. Oleh karena itu, pesisir sama panjangnya dengan
pantai. Lebar pesisir tidak sama untuk semua pantai, tergantung pada jenis pantainya. Pada
pantai-pantai yang sangat landai lebar pesisir dapat mencapai beberapa puluh meter. Pada
waktu surut, pesisir nampak terbentang memanjang sepanjang pantai dan merupakan
bentangan pasir yang indah sehingga dapat dijadikan salah satu objek wisata pantai. Pada
pantai-pantai yang curam, lebar pesisir sangat sempit karena ketika pasang naik, air
laut tertahan oleh dinding pantai sehingga tidak dapat mengalir lebih jauh ke arah
daratan.
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-
sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut
meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et
al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002
tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir T erpadu, Wilayah Pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga
dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat
batas administrasi kabupaten/kota.
Potensi-potensi Sumber Daya Alam (SDA) di daerah pesisir yang dapat dimanfaatkan
antara lain:
Estuaria (daerah pantai pertemuan antara air laut dan air tawar) ; berpotensi sebagai
daerah penangkapan ikan (fishing grounds) yang baik.
Hutan mangrove (ekosistem yang tingkat kesuburannya lebih tinggi dari Estuaria) ;
untuk mendukung kelangsungan hidup biota laut.
Padang Lamun (tumbuhan berbunga yang beradaptasi pada kehidupan di
lingkungan bahari) ; sebagai habitat utama ikan duyung, bulubabi, penyu
hijau, ikan baronang, kakatua dan teripang.
Terumbu Karang (ekosistem yang tersusun dari beberapa jenis karang batu
tempat hidupnya beraneka ragam biota perairan).
Pantai Berpasir (tempat kehidupan moluska) ; memiliki nilai pariwisata
terutama pasir putih.
Pesisir merupakan daerah yang rawan terhadap proses abrasi serta kerusakan yang
ditimbulkan oleh aktifitas manusia. Oleh sebab itu, daerah-daerah pantai harus dilestarikan
fungsinya.
Pantai
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir dan terdapat di
daerah pesisir laut atau bagian daratan yang terdekat dengan laut. Perbatasan daratan
dengan laut seolah-olah membentuk suatu garis yang disebut garis pantai. Panjang garis
pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara.
Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 81.000 km.
Keadaan dan bentuk pantai berbeda pada setiap tempat. Beberapa jenis pantai yang
sering dijumpai antara lain:
1) Pantai landai, yaitu pantai yang bentuknya hampir rata dengan permukaan laut. Laut
di pantai landai biasanya sangat dangkal. Pantai landai dijumpai di pantai
sebelah timur Pulau Sumatra, pantai sebelah utara Pulau Jawa, dan Pantai Selatan
Kalimantan.
2) Pantai curam atau pantai terjal, yaitu pantai yang bentuknya curam menghadap ke
laut oleh karena pegunungan yang membentang sepanjang pantai sehingga
lereng yang curam langsung berbatasan dengan laut. Pada pantai ini sering terdapat
gua-gua pantai akibat pukulan ombak yanhg berlangsung setiap saat. Pantai curam
banyak ditemukan di pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa dan pantai-pantai
lainnya yang lautnya berbatasan dengan daerah pegunungan.
3) Pantai karang, yaitu di sepanjang pantainya ditemukan banyak pulau-pulau karang,
misalnya di pantai timur laut Benua Australia.
4) Pantai mangrove (pantai bakau), yaitu pantai yang ditutupi oleh hutan bakau, banyak
terdapat di daerah tropis dan banyak lumpur, serta sering tergenang air terutama
ketika pasang naik. Pantai mangrove banyak terdapat di pantai timur Sumatra dan
pantai-pantai rendah lainnya di seluruh Nusantara.
Garis pantai Indonesia panjangnya kurang lebih 81.000 km, wilayah pesisirnya
mempunyai ekosistem yang sangat beraneka ragam antara lain ; hutan bakau, terumbu
karang, rumput laut, dan padang lamun.
Laut
Laut adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubungan dengan samudra. Laut
menutupi permukaan bumi kurang lebih 75%. Batas perairan laut dengan daratan
disebut garis pantai (pertemuan permukaan laut dengan daratan). Perairan laut di
permukaan bumi tidak merata luasnya. Pada belahan bumi utara tertutup lautan
sebesar 60%, sedangkan pada belahan bumi selatan yang tertutup lautan sekitar 80%.Air
di laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti
garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut.
Sifat sifat fisis utama air laut ditentukan oleh 96,5% air murni.
Laut, menurut sejarahnya, terbentuk 4,4 milyar tahun yang lalu, dimana awalnya
bersifat sangat asam dengan air yang mendidih (dengan suhu sekitar 100°C) karena
panasnya Bumi pada saat itu. Asamnya air laut terjadi karena saat itu atmosfer Bumi
dipenuhi oleh karbon dioksida. Keasaman air inilah yang menyebabkan tingginya
pelapukan yang terjadi yang menghasilkan garam-garaman yang menyebabkan air
laut menjadi asin seperti sekarang ini. Pada saat itu, gelombang tsunami sering terjadi
karena seringnya asteroid menghantam Bumi. Pasang surut laut yang terjadi pada saat itu
juga bertipe mamut atau tinggi/besar sekali tingginya karena jarak Bulan yang begitu
dekat dengan Bumi.
Kedalaman laut dan samudra sangat bervariasi, ada yang dangkaltetapi banyak pula
yang dalam. Dalam dan dangkalnya dasar lautmenunjukkan relief dasar laut. Relief
dasar laut lebih besardibandingkan relief di daratan. Hal ini terbukti dari kedalaman
lautrata-rata mencapai 3.800 m, sedangkan ketinggian daratan rata-ratahanya 840 m. Laut
yang terdalam ada di Palung Mindanau (PalungFilipina), mencapai kedalaman 10.830
m sedangkan daratan yangtertinggi adalah pada Gunung Everest, yang mencapai
ketinggian8.880 m.
Landas Kontinen
Pengumuman tentang batas landas kontinen dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
pada tanggal 17 Februari 1969 dan UU No. 1 Tahun 1969 serta UU No. 1 T ahun 1973
tentang landas kontinen yang didasarkan atas wilayah perairan Indonesia. Landas
kontinen adalah bagian dari dasar laut yang secara geologis dan morfologis merupakan
kelanjutan dari daratan bagi negara yang wilayahnya berbatasan dengan laut. Jarak wilayah
landas kontinen dari wilayah daratan yang bersangkutan tidak terlalu besar dan dapat
diukur sejauh 200 mi dari garis dasar. Pada keadaaan tertentu dimana landas kontinen
tumpang tindih dengan landas kontinen negara tetangga, diadakan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian dengan negara-negara tetangga.
Laut Teritorial
Dalam Deklarasi Juanda dinyatakan bahwa batas perairan wilayah Indonesia
sejauh 12 mil laut dari garis dasar pantai pulau-pulau terluar ke arah laut bebas.
Garis dasar pantai yaitu garis pantai rata-rata pada keadaan pasang surut yang
diamati selama puluhan tahun. Jarak yang digunakan ialah mil laut. Jarak satu mil laut sama
dengan satu detik busur derajat bumi (satu per enampuluh menit) sama dengan 1.852
meter. Bandingkan dengan jarak 1 mil Inggris = 1.069 meter.
Perairan wilayah Indonesia yang disebut pula Laut Teritorial, terletak antara garis
dasar pantai pulau terluar sampai ke garis batas teritorial. Dengan demikian, luas perairan
Indonesia waktu itu 3,1 juta km2 tidak termasuk ZEE), yang terdiri dari laut teritorial dan
laut nusantara. Laut nusantara adalah laut yang terletak di antara pulau-pulau Indonesia
seperti Laut Jawa, Laut Banda, Selat Makassar, dsb.
Zona Ekonomi Eksklusif
Pengumuman mengenai ZEE telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tanggal
21 Maret 1980 sejauh 200 mil laut diukur dari garis dasar pantai. Hak yang dimiliki oleh
suatu negara pada ZEE pada dasarnya sama dengan hak landas kontinen yaitu hak untuk
memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung di dalamnya, baik di
dalam laut, dasar laut, atau di bawah dasar laut. Hak pelayaran, pemasangan pipa,
maupun kabel-kabel di dasar laut tetap dihormati dan dibenarkan sepanjang masih
sesuai dengan hukum-hukum laut internasional. Dengan penetapan ZEE ini berarti luas
perairan Indonesia telah bertambah sekitar 2,7 juta km2 dari luas sebelumnya.
2.2 Kajian Dokumen Tata Ruang Terkait Kawasan Pesisir
Pantai
Dokumen tata ruang yang akan kita bahas yaitu Peraturan Pemerintah no 26 tahun
2008 tentang RTRW Nasional Republik Indonesia, UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, serta UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional
Dalam Pasal 51, disebutkan bahwa Kawasan lindung nasional terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi; dan
f. kawasan lindung lainnya.
Kemudian dalam Pasal 52 ayat (2), disebutkan kawasan perlindungan setempat terdiri atas:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d. ruang terbuka hijau kota.
Pada Pasal 56 ayat (1) dijelaskan bahwa Sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria:
a. Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik
pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal
dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Dalam Pasal 100 ayat (1), peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;
c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai;
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan
e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.
Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir
Dalam pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan dengan tujuan:
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif
Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai
keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta
Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian dalam pasal 7, disebutkan bahwa Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri atas:
a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RSWP-3-K;
b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RZWP-3-K;
c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RPWP-3-K; dan
d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya
disebut RAPWP-3-K.
Dalam pasal 28 ayat 1 dijelaskan bahwa Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil diselenggarakan untuk :
a. menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
c. melindungi habitat biota laut; dan
d. melindungi situs budaya tradisional.
Untuk kepentingan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagian
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi. Selain
itu, dalam pasal 35 terdapat beberapa larangan dalam pemafaatan kawasan pesisir, yaitu:
Setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;
b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
c. menggunakan bahan peledak, bahan beracundan/atau bahan lain yang merusak
Ekosistem terumbu karang;
d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yangmerusak Ekosistem terumbu karang;
e. menggunakan cara dan metode yang merusakEkosistem mangrove yang tidak sesuai
dengankarakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasanatau Zona budidaya yang tidak
memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman,
dan/atau kegiatan lain;
h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;
i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial,
dan/ataubudaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan
dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau
ekologisdan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkankerusakan lingkungan dan/atau
pencemaranlingkungan dan/atau merugikan Masyarakasekitarnya; serta
l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
merugikan masyarakat sekitarnya.
Dalam pasal 56 dan 58, disebutkan bahwa saat menyusun rencana pengelolaan dan
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi
bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan
wilayahnya. Mitigasi bencana tersebut dibuat dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi,
dan budaya Masyarakat; kelestarian lingkungan hidup; kemanfaatan dan efektivitas; serta
lingkup luas wilayah.
Bab IIIGAMBARAN UMUM & PROFIL KAWASAN PESISIR PANTAI
PANGANDARAN
3.1 Profil Kawasan Pantai Pangandaran
Pantai pangandaran merupakan pantai yang berada di selatan Jawa barat, Ciamis
dengan letak astronomi antara 108°40′ BT dan 7°43′ LS. Topografi kawasan ini mulai dari
landai sampai berbukit kecil dengan ketinggian tempat rata-rata 0 – 147 meter dari
permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Pangandaran termasuk tipe iklim
B dengan curah hujan rata-rata pertahun 3.196 mm.
Pantai pangandaran memiliki berbagai macam ekosistem di antaranya
Ekosistem littoral, yang didominasi oleh rumput laut (Thalassia sp).
Ekosistem pantai, yang didominasi oleh Butun (Baringtonia asiatica), Ketapang
(Terminalia cattapa), Nyamplung (Callophylum inophylum), Pandan (Pandanus
rectorius) dan Waru laut (Hibiscus tiliaceus).
Ekosistem dataran rendah, yang didominasi oleh Laban (Vitex pubescens), Marong
(Cratoxylon formosum), Kisegel (Dilenia excelsa) dan
Ekosistem padang rumput, yang didominasi oleh Alang-alang (Impenata cylindrica),
Saliara (Lantena camara), Rumput teki (Kyllinga monocephala)
Kawasan Pantai Pangandaran merupakan salah satu objek wisata andalan Kabupaten
Ciamis dan Provinsi Jawa Barat. Bahkan, kawasan yang berada di Pantai Selatan Jawa ini
masuk dalam agenda kunjungan wisata Indonesia tahun 2008. Karena itu, pemerintah daerah
melalui Dinas Pariwisata dan Budaya setempat, terus membenahi dan melengkapi berbagai
fasilitas penunjang kawasan wisata Pantai Pangandaran. Selain itu, pantai Pangandaran juga
memiliki banyak keistimewaan, diantaranya:
Dapat melihat terbit dan tenggelamnya matahari dari satu tempat yang sama
Pantainya landai dengan air yang jernih serta jarak antara pasang dan surut relatif lama
sehingga memungkinkan kita untuk berenang dengan aman
Terdapat pantai dengan hamparan pasir putih
Tersedia tim penyelamat wisata pantai
Jalan lingkungan yang beraspal mulus dengan penerangan jalan yang memadai
Terdapat taman laut dengan ikan-ikan dan kehidupan laut yang mempesona. • Dapat
melihat terbit dan tenggelamnya matahari dari satu tempat yang sama
Pantainya landai dengan air yang jernih serta jarak antara pasang dan surut relatif lama
sehingga memungkinkan kita untuk berenang dengan aman
Terdapat pantai dengan hamparan pasir putih
Tersedia tim penyelamat wisata pantai
Jalan lingkungan yang beraspal mulus dengan penerangan jalan yang memadai
Terdapat taman laut dengan ikan-ikan dan kehidupan laut yang mempesona.
Dengan adanya faktok-faktor penunjang tadi, maka wisatawan yang datang di
Pangandaran dapat melakukan kegiatan yang beraneka ragam: berenang, berperahu pesiar,
memancing, keliling dengan sepeda, para sailing, jet ski dan lain-lain. Adapun acara
tradisional yang terdapat di sini adalah Hajat Laut, yakni upacara yang dilakukan nelayan di
Pangandaran sebagai perwujudan rasa terima kasih mereka terhadap kemurahan Tuhan YME
dengan cara melarung sesajen ke laut lepas. Acara ini biasa dilaksanakan pada tiap-tiap bulan
Muharam, dengan mengambil tempat di Pantai Timur Pangandaran.
Event pariwisata bertaraf internasional yang selalu dilaksanakan di sini adalah
Festival Layang-layang Internasional (Pangandaran International Kite Festival) dengan
berbagai kegiatan pendukungnya yang bisa kita saksikan pada tiap bulan Juni atau Juli.
berikut ini adalah fasilitas yang tersedia di Pangandaran:
1. Lapang parkir yang cukup luas,
2. Hotel, restoran, penginapan, pondok wisata dengan tarif bervariasi,
3. Pelayanan pos, telekomunikasi dan money changer,
4. Gedung bioskop, diskotik
5. Pramuwisata dan Pusat Informasi Pariwisata,
6. Bumi perkemahan,
7. Sepeda dan ban renang sewaan,
8. Parasailing dan jetski.
3.2 Tipologi Kawasan Pantai Pangandaran
Wilayah kepesisiran di Pangandaran ini secara umum telah dikembangkan sebagai
daerah tujuan wisata, baik domestik maupun mancanegara.Potensi di bidang pariwisata di
Pangandaran ini tidak lepas dari tipologi patai yang dimiliki oleh pesisir Pangandaran.
Tipologi coast build by organism yang terdapat di Pangandaran keberadaannya
berasosiasi dengan Tipologi marine deposition coast. Pantai ini bersebelahan dengan pantai
pasir putih. Pantai ini memiliki reeffrom sejauh 100 meter ke arah breaker zone laut dimana
kedalamannya kurang dari 2 meter. Di pantai ini terdapat hamparan terumbu karang yang
tumbuh cukup intensif. Pantai dengan tipologi seperti ini hanya terbentuk di satu sudut pantai
di pulau pananjung. Walaupun areanya tergolong sempit, tetapi tipologi pantai seperti ini
sudah dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk spot wisata snorkeling.
Tipologi wave erosion coast terdapat pada sebagian besar tanjung Pulau Pananjung
Pangandaran Tipologi ini nampak dengan ciri-ciri seperti bentuk pantai yang berliku atau
terjal tidak teratur, material pantai didominasi material pasir. dan ditandai dengan keberadaan
stack berupa hancuran batuan-batuan dengan berbagai ukuran yang berasal dari dinding
pantai (cliff). Dinamika pantai yang terjadi pada daerah ini adalah erosi oleh gelombang
(abrasi). Meskipun demikian, karena material penyusun batuan di wilayah ini adalah batuan
gamping yang keras, dan tidak terdapat sarana dan prasarana umum yang berada disana
sehingga abrasi yang terjadi di sana tidak begitu beresiko dan membayakan.
Berdasarkan tipologi yang dimilikinya, Pantai Pangandaran memiliki potensi dan
permasalahan wilayah kepesisiran, diantaranya :
a. Potensi Untuk Pariwisata
Masing-masing tipologi pesisir memiliki potensi di jadikan tempat wisata, mengingat
masing-masing tipologi pantai memiliki karakteristik yang unik yang layak ditawarkan
sebagai objek wisata. Tipologi wave erosion coast memiliki kenampakkan laut lepas yang
luas. Selain itu tipologi ini pada beberapa tempat memungkinkan untuk digunakan sebagai
arena panjat tebing.
Tipologi pesisir dengan tipe Marine deposition coast memiliki gisik pantai yang dapat
digunakan sebagai tempat bermain, berenang, jala-jalan dan beberapa aktifitas lain yang
dapat dilakukan selama berwisata.
Permasahalahan yang terjadi di sini adalah sampah dari hasil kegiatan pariwisata yang
mengotori pantai. Selain itu, karakteristik pantainya yang berbentuk saku dan berhadapan
dengan laut lepas, ia sangat rawan akan gelombang tsunami.
b. Potensi untuk Perikanan
Pantai pangandaran yanng berbatasan dengan laut lepas ini memiliki potyensi di
bidang perikanan yang cukup potensial. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat pelelangan
ikan yang cukup besar di daerah pantai timur pangandaran.
c. Potensi Untuk Peternakan
Peternakan yang paling potensial untuk dikembangkan pada wilayah pesisir
pangandaran khususnya di pulau pananjung, adalah budididaya sarang burung walet.
Budidaya ini sebernanya sudah dikembangkan hampir pada semua wilayah pesisir pulau
pananjung karena banyak terdapat cliff , notch serta sea cave. Meskipun demikian, budidaya
sarang burung walet baru dilakukan di Pantai, yakni pada tebing yang menghadap ke laut.
Bab IVANALISIS KESESUAIAN TATA RUANG DI KAWASAN
PANGANDARAN
4.1 Kondisi Eksisiting dan Berbagai Persoalan di Pantai
Pangandaran
Berikut ini adalah gambaran kondisi ekssisting kawasan pantai Pangandaran.
a. Terumbu Karang & Biota Laut
Pangandaran ditumbuhi terumbu karang berikut ikan karang, rumput laut dan alga.
Jenis-jenis tersebut antara lain : Acropora, Fungis sp, Favia sp, Oxypora, Chaetodon sp,
Apolemichthys sp, Dasyllus sp. Berdasarkan hasil pengamatan tahun 1998 tutupan terumbu
karang terdiri dari karang batu (21,15%), Karang mati (42,65 %). Terumbu karang di
Pangandaran banyak ditemui di Pantai bagian barat dan timu Kerusakan masif terumbu
karang di Pangandaran dipengaruhi selain karena tsunami tetapi juga karena kerusakan alami
akibat letusan Gunung Galunggung tahun 1982, akibat ulah manusia melalui pemanenan
terumbu karang untuk suvenir, dan penangkapan ikan dengan metode peledakan maupun
racun. Sebelum tahun 1970-an, tutupan terumbu karang di Pantai Pangandaran seluas 1500 m
x 50 m. Namun saat ini, keberadaan terumbu karang yang tersisa hanya 100 m x 50 m
(Pasirputih) dan 150 m x 50 m di Pantai Timur Pangandaran.
Berdasarkan temuan Local Working Group (LWG) atau dikenal sebagai kelompok
kerja lokal kepariwisataan Pangandaran, terumbu karang di area Pantai Barat (Pasirputih) dan
Pantai Timur (Cirengganis) Pangandaran, Ciamis, saat ini dalam kondisi memprihatinkan.
Keberadaan biota laut tersebut, kini, tinggal 14, 85 persen. Terumbu karang di Pantai Barat
(Pasirputih) yang masih ada sekarang, antara lain karang hidup (live coral) 11, 48 persen,
karang mati (dead coral) 20, 87 persen, dan patahan karang (rubble coral) 50,95 persen.
Sementara itu, terumbu karang di Pantai Timur, yaitu karang hidup 18,21 persen, karang mati
13,13 persen, dan patahan karang 61,70 persen.
Rusaknya biota laut di dua areal itu telah menyebabkan pasir pantai terkikis. Yang
lebih parah lagi, kerusakan tersebut telah menyebabkan nelayan terus-terusan mengalami
paceklik. Adapun penyebab kerusakan terumbu karang tersebut, terutama karena ulah
manusia. Di antaranya, aktivitas rekreasi pantai, pembuangan sampah ke laut, penangkapan
ikan yang berlebih, penyelaman yang merusak, dan penambatan kapal dengan sistem jangkar.
b. Cagar Alam
Sebelum di tetapkan sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih
dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-
1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 Ha, (luas yang sebenarnya 530 Ha) dan taman
laut luasnya 470 Ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah diketemukan bunga
Raflesia Padma, status Suaka Margasatwa dirubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat
akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37,70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk
Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978.
Flora yang terdapat sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya
adalah hutan primer. Pohon-pohon yang dominant antara lain Laban (Vitex pubescens),
Kisegel (Dilenia excelsea), dan Marong (Cratoxylon formosum). Selain itu banyak juga
terdapat jenis-jenis pohon seperti : Reungas (Buchanania arborencens), Kondang (Ficus
variegata), teureup (Artocarpus elsatica) dan lain-lain. Dari formasi Baringtonia terdiri dari
Nyamplung (Callophylum inophylum), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia
cattapa), dan Butun (Baringtonia aistica). Di dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang
merupakan tanaman exotica, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), Mahoni
(Swietenia mahagoni) dan Komis (Acacia auriculirformis).
Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah : Banteng (Bos sondaicus), Kijang
(Muntiacus muntjak), Tando (Cynocephalus variegatus), Kalong (Pteroptus vampyrus), Kera
abu-abu (Macaca fascicularis), Lutung (Trcyphithecus auratus), Kangkareng (Anthracoceros
convexus), Rangkong (Buceros rhinoceros), dan Ayam hutan (Gallus gallus).
Menurut Dadang Sudardja, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, kondisi ekosistem pesisir pantai selatan di
Kabupaten Ciamis, termasuk Pangandaran, sepanjang 60 kilometer rusak. Kehancuran
ekosistem pesisir mulai dari Kecamatan Kalipucang hingga Cimerak terjadi secara luar biasa.
Pemerintah dinilai telah gagal menjaga kelestarian ekosistem pesisir. Hanya Cagar Alam
Pananjung yang relatif masih terjaga kelestariannya. Oleh karena itu, diperlukan konsep
terintegrasi yang memerhatikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi untuk mengatasi masalah
tersebut.
c. Kebersihan Pantai
Saat ini, kondisi di sepanjang jalur pantai tampak kotor dan kumuh. hal tersebut
mengganggu kenyamanan pengunjung yang hendak menghabiskan liburannya di sana.
Seringkali usai perayaan tahun baru sampah berserakan di sepanjang garis pantai kawasan
wisata Pangandaran. Salah satu penyebabnya adalah jumlah personil kebersihan yang kurang
memadai. Hal inilah yang menjadi dasar dan alasan selama ini kenapa kebersihan di sejumlah
tempat seperti objek wisata pangandaran menjadi terbengkalai. Selain itu, kendala lain yang
menyebabkan hal itu terjadi akibat insentif petugas di lapangan yang sangat minim.
Permasalahan sampah di objek wisata pangandaran juga disebabkan oleh kurangnya
kedisiplinan para pengunjung, berdatangannya PKL (pedagang kaki lima) musiman, dan PKL
permanen. Jumlah tenaga kebersihan yang ada di objek wisata pangandaran saat ini (Oktober
2010) sebanyak 73 orang termasuk staf administrasi yang terdiri dari 51 orang PNS dan 22
orang honorer. Padahal, sebenarnya jumlah petugas kebersihan yang idelanya berjumlah
minimal 200 orang, terutama jika saat acara besar seperti Natal dan tahun baru.
d. Ekonomi Pariwisata
Setelah sempat dihantam bencana tsunami tahun 2006 lalu, kini kondisi pariwisata
Pantai Pangandaran sudah pulih. Pendapatan dari retribusi wisata pada libur hari raya Idul
Fitri, Natal, dan tahun baru kemarin telah melampaui target pendapatan yang ditetapkan
pemerintah. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas-Pengelola Obyek Wisata (UPTD-POW)
Pangandaran, Haryono, mengatakan, saat libur Natal dan tahun baru 2008 tercatat sedikitnya
77.447 orang berkunjung ke pantai yang menjadi obyek wisata andalan Jawa Barat itu.
Pendapatan pengelola obyek wisata Pangandaran dari retribusi wisata sejak tanggal 24-31
Desember 2008 mencapai Rp 176.861.800.
Fakta tersebut menujukkan bahwa kondisi pariwisata Pangandaran sudah mulai pulih.,
masyarakat sudah tidak takut lagi berwisata ke pantai. Meskipun dinyatakan sudah pulih,
obyek wisata Pangandaran masih perlu beberapa pembenahan. Di antaranya, penambahan
sarana hiburan yang memadai, misalnya pendirian gedung pertunjukan yang bisa dijadikan
tempat pementasan, tidak hanya untuk seni kontemporer tetapi juga kesenian tradisional yang
terdapat di Ciamis.
e. Abrasi
Berdasarkan data yang dirilis dalam situs Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Provinsi Jawa Barat, tingkat abrasi di pantai selatan Jawa Barat pada 2005
mencapai angka 35,35 hektare per tahun. Angka tersebut setidaknya bisa menjadi acuan
untuk menunjukkan bahwa pesisir Jawa Barat sudah sedemikian rusak. Dapat kita bayangkan
setiap tahunnya lahan sebanyak 35 hektar terkikis, belum ditambah lagi adanya kemungkinan
peningkatan luas lahan yang terkikis. Hal tersebut dapat mengancam keselamatan
masyarakat dan ekosistem di sekitar pantai. Saat ini tengah terjadi perubahan iklim yang
menyebabkan makin meningkatnya gelombang air laut. Peningkatan itu berbanding lurus
dengan tingkat abrasi yang terjadi di pesisir pantai. Hal tersebut merupakan faktor alam yang
sulit disiasati. Di sisi lain, faktor yang mempercepat abrasi adalah aktivitas manusia yang
berada di pesisir pantai.
f. Daya Tangkap Ikan
Ribuan nelayan yang tersebar di perairan Ciamis selatan, khususnya Pangandaran,
merasa bahwa alat tangkap ikan yang mereka miliki sudah tidak memadai lagi. Akibatnya,
mereka sukar memperoleh tangkapan yang banyak dan seakan dilanda masa paceklik yang
berkepanjangan. Karena alat tangkap ikan yang dimiliki nelayan sudah ketingalan jaman,
maka ikan yang banyak itu tidak bisa ditangkap secara mudah. salahsatu sarana tangkap yang
dirasakan sangat perlu diperbaharui tersebut adalah perahu. Karena masih menggunakan
perahu yang tradisional, daya jelajah nelayan hanya sekira satu km saja ke tengah lautan,
sedangkan ikan-ikan biasanya berada jauh dari di tengah lautan.
Di satu sisi, ditemukan juga alat tangkap ikan yang kurang ramah lingkungan. Tidak
jauh dari pantai timur kurang lebih ada 36 bagan yang terpasang di tengah laut Bagan
tersebut dipasang waring, lalu dipasang lampu sorot pada malam hari yang ditujukan ke air
laut. Biasanya, ikan akan berkumpul di waring atau semacam jala yang ukurannya sangat
kecil yang disorot lampu. Akhirnya, semua ikan, baik yang besar maupun yang kecil ditarik.
Kemudian ada juga yang menggunakan jaring arad atau pukat harimau mini, yaitu metode
menangkap ikan dengan cara menggunakan beberapa perahu/kapal dengan jaring yang sangat
lebar, panjang, dan dalam. Dengan demikian, area tangkapan ikan pun lebih luas, lebih
banyak ikan yang ditangkap dalam waktu singkat. Cara ini secara ekonomi tentu efisien dan
efektif. Namun, efek dari jaring tersebut, banyakjuga ikan kecil-kecil ataupun ikan yang tidak
bisadikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja
dan dibuang kembali ke laut. Di sinilah efek negatif jaring itu, sangat kuat untuk merusak
lingkungan.
g. Akses Jalan
Jalan masuk menuju loket pintu Tollgate Pangandaran (dari bundaran tugu hingga
jalan di kawasan Tollgate sejauh 1 kilometer) mulai rusak. Selain berlubang, aspalnya
mengelupas dan bergelombang hingga membuat pengendara tidak nyaman. Kerusakan jalan
juga terlihat di sepanjang Jalan Raya Pangandaran-Cijulang yang merupakan akses menuju
obyek wisata Batuhiu, Green Canyon dan Batukaras. Jalan berlubang hingga kedalaman
mencapai 10 cm mengancam keselamatan pengendara. Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan
jalan rusak bisa membuat enggan wisatawan berkunjung ke sejumlah obyek wisata di Ciamis
Selatan.
Selain itu, hujan dan genangan air akibat drainase yang tidak maksimal juga membuat
jalan cepat rusak. Kondisi jalan juga tidak sebanding dengan beban kendaraan yang sering
melintas.misalnya saja sekarang banyak truk-truk pengangkut pasir besi, sehingga jalan cepat
rusat. Sebaiknya jalan dari Pangandaran sampai-Cijulang di hotmix dan dilebarkan, jangan
hanya ditambal, sehingga jalan tidak bergelombang.
4.2 Kesesuaian Dengan Perencanaan Pada Dokumen Tata
Ruang
Ketika pada 2002/2003 Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengucurkan dana miliaran
untuk penataan dan penertiban kondisi pantai Pangandaran, hasilnya antara lain di kawasan
Pantai Pangandaran bukan lagi tenda biru yang berserakan, tetapimalahan kios-kios
permanen dengan konstruksi batako. Sejalan dengan keberadaan kios di sekitar pantai dan di
atas trotoar sepanjang jalan raya pantai yang tidak teratur, keberadaan pendaratan perahu
nelayan di Pantai Wisata ini terus berlangsung, sehingga tampak sekali tidak adanya
kemampuan pemerintah di daerah tersebut untuk melakukan penataan dan penertiban ruang.
Hal lain yang yang sering membuat suasana tidak nyaman bagi wisatawan adalah sistem
jaringan transportasi dan mobilitas pengunjung. Pemanfaatan jaringan jalan lingkungan dan
penggunaan zona ruang perkotaan yang sporadis, terasa tidak mendukung asas efisiensi dan
efektivitas penataan ruang perkotaan. Hal ini seharusnya tidak demikian, karena sampai hari
ini pun tampaknya masih (sangat) luas tanah di Kota Pangandaran yang belum dimanfaatkan
untuk kepentingan pembangunan Pangandaran sebagai daerah Perkotaan.
Konsep menjadikan Pangandaran sebagai pantai terbuka, bisa dikatakan sebagai
kekeliruan yang cukup fatal. Jumlah tanaman yang dihilangkan mencapai ribuan, ada pandan,
rumput khas yang mampu menjaga laju abrasi,ketapang, hingga tanaman lokal. Gundukan-
gundukan pasir yang diciptakan alam diratakan. Saat ini, keberadaan ruang terbuka hijau di
sekitar pantai sangat minim sekali jumlahnya (di samping cagar alam). Kita dapat mengambil
contoh pada kawasan permukiman di sekitar pantai, di mana seharusnya terdapat atura 60:40
dalam pembuatan perumahan. Yaitu 60% dari total kavling adalah bangunan dan 40% lahan
terbuka hijau. Tapi kenyataannya todaklah seperti itu, halaman rumah dan sempadan jalan
dipenuhi jalan tembok, tidak ada lagi lahan (tanah) terbuka. Oleh karena itu, pemerintah juga
sebaiknya harus mulai mempertegas izin mendirikan bangunan di sekitar pantai Pangandaran,
sehingga jumlah bangunan yang digunakan sebagai penunjang rekreasi (hotel, restoran, kios)
bisa dibatasi.
Selain itu, di bagian pantai yang sering digunakan sebagai area rekreasi (berenang dan
sebagainya), tidak terlihat adanya tumpukan batu-batu pemecah gelombang. Pada tahun 2007
sempat ada rencana pembuatan jalur hijau di sempadan pantai Pangandaran. Jalur tanaman ini
ditata sedemikian rupa sehingga menghasilkan tajuk yang berlapis di mana tanaman dengan
tajuk rendah ditepatkan paling depan dan makin kebelakang tajuknya semakin tinggi yang
berfungsi untuk memecahkan gelombang pasang dan penyanggah arus balik. Namun hingga
saat ini, masih belum terlihat realisasinya.
Kemudian untuk masalah jalur evakuasi, di pantai pangandaran ini sudah terpasang
papan-papan peringatan jalur evakuasi yang sudah terpasang di Kawasan Pantai Pasir Putih,
Papan peringatan yang terpasang sepanjang pantai selatan tersebut untuk memandu
masyarakat menyelamatkan diri ke lokasi aman bila terjadi stunami. Setidaknya, terdapat
sekitar 200 papan peringatan jalur evakuasi yang telah dipasang. Keberadaan jalur evakuasi
ini merupakan salah satu bentuk dari mitigasi bencana terhadap ancaman tsunami atau gempa
bumi di kawasan pantai Pangandaran.
Perlu juga adanya bangunan yang dapat memecah gelombang tsunami, salah satunya
adalah bangunan beratap bundar di Kepulauan Mentawai. Bangunan dengan tinggi 10 meter
dan diamater 12 m ini adalah satu-satunya bangunan yang tersisa saat tsunami di mentawai
pada Okteober 2010, dan berhasil menyelamatkan 37 jiwa. Dengan mempelajari konstruksi
bangunan yang benar, pendirian bangunan pemeceah gelombang tsunami ini juga sangat
bermanfaat terutama saat terjadi tsunami. Di samping itu, bangunan-banguna seperti hotel
maupun rumah penduduk sebaiknya lebih diperkuat lagi konstruksinya sehingga bisa tahan
terhadap gempa dan tsunami.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya yaitu perlunya membangun bangunan/struktur
penahan abrasi. Benteng ini berfungsi untuk menahan laju abrasi akibat peningkatan
permukaan air laut, terutama saat terjadi pasang. Selain itu, benteng ini juga berfungsi untuk
penahan gelombang yang hancur akibat tsunami. Berdasarkan data sekunder yang ditemukan,
penulis belum mengetahui keberlanjutan dari pembangunan proyek ciamis, yang salah
satunya adalah proyek pembangunan benteng abrasi di pantai Pangandaran Timur. Dari data
yang diperoleh dalam salah satu surat kabar, pada tahun 2007 proyek pembangunan benteng
abrasi ini masih sekitar 10%, namun penulis belum memperoleh informasi apakan pada tahun
2011 ini benteng tersebut sudah selesai dibangun atau belum. Jika pembangunan benteng
abrasi memang telah selesai, maka akan terdapat banyak keuntungan, selain mengurangi laju
abrasi, juga membuat penataan kawasan yang juga dimanfaatkan nelayan untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang lebih baik.
Bab VKESIMPULAN
Kawasan Pantai Pangandaran ini memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan,
baik dari sisi pariwisata maupun sebagai kawasan lindung. Penataan ruang yang baik dapat
meningkatkan potensi kawasan ini. Dalam proses perencanaanya, pembangunan di kawasan
pesisir pantai pangandaran ini harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam berbagai
dokumen tata ruang terkait. Standar-standar yang telah ditetapkan dalam dokumen tata ruang
tersebut bukan untuk menyulitkan/memberatkan proses pembangunan, namun untuk
menjaga kualitas pembangunan fisik maupun non-fisik yang baik. Berdasarkan data sekunder
yang diperoleh, wilayah Pangandaran ini juga masih memiliki beberapa persoalan, seperti
semakin berkurangnya terumbu karang, rusaknya biota laut, kebersihan pantai yang kurang
terjaga dengan baik, laju abrasi yang semakin tinggi, daya tangkap para nelayan sudah mulai
berkurang dan akses jalan menuju pangandaran yang kondisinya kurang baik. Hal-hal seperti
itu menjadi tugas bagi pemerintah setempat untuk meperbaikinya, sehingga Pangandaran
menjadi objek wisata alam yang semakin berkembang dan maju di Indonesia.
Jika kita tinjau dari segi tata ruang, beberapa aspek di kawasan Pangandaran ini
masih ada yang belum sesuai dengan dokumen tata ruang. Persoalan yang ada seperti
minimnya ruang terbuka, baik yang berupa lahan terbuka kosong (tanah) maupun ruang
terbuka hijau di sekitar pantai. Kemudian keberadaan batu-batu pemecah ombak di pinggir
pantai sudah jarang keberadaanya. Proses pembangunan benteng penahan abrasi masih belum
diketahui keberkanjutannya, namun jika sudah selesai dibanngun nantinya akan membawa
banyak manfaat. Di sekitar area pantai yang sering digunakan sebagai tempat rekreasi
(berenang) belum terdapat jalur hijau (tanaman) di sempadan pantai. Untuk mitigasi bencana,
sudah ada jalur evakuasi serta sudah terasang papan peringatan jalur evakuasi dengan jumlah
yang memadai. Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan juga, seperti
bangunan pemecah gelombang, serta perbaikan konstruksi bangunan baik bangunan hotel
maupun rumah agar lebih tahan terhadap gempa maupun tsunami. Secara umum, pola ruang
yang ditunjukkan oleh kawasan pantai Pangandaran ini berbeda dengan pola ruang di pantai
Anyer, di wilayah pesisir utara Jawa Barat. Jika kita lihat pola ruang secara sederhana, di
pantai Anyer itu bangunan-bangunan itu berdiri persis di samping pantai, tidak dihalangi oleh
jalan. Namun di Pangandaran, bangunan-bangunan seperti hotel, rumah tdak berada persis di
pinggir jalan, namun dibatasi terlebih dahulu oleh jalan.
Daftar Pustaka
Peraturan Pemerintah No 26 th 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tenteng Penataan Ruang
http://www.mypangandaran.com
http://dishut.jabarprov.go.id
http://www.wisatamelayu.com
http://www.radartasikmalaya.com
http://bisnis-jabar.com/
http://www.pikiran-rakyat.com/
http://bataviase.co.id/
http://www.harapanrakyat.com/category/pangandaran
http://zamiele.onsugar.com/Pangandaran-Telah-Pulih
top related