daftar isi -...
Post on 15-Aug-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
ii
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
RINGKASAN ................................................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 4
A. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) ........................................................................... 4
B. Kebiasaan dan Habitat ........................................................................................ 4
C. Status dan Distribusi ........................................................................................... 5
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 7
A. Lokasi penelitian ................................................................................................. 7
B. Estimasi populasi dan deteksi sarang .................................................................. 7
C. Pengukuran karakteristik situs bersarang ........................................................... 8
D. Permodelan kesesuaian lokasi situs bersarang dengan GIS ................................ 9
E. Analisi data .......................................................................................................... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASA ........................................................................ 10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 16
iv
RINGKASAN
Burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) tergolong ecological specialist yang umumnya
memiliki distribusi yang sempit dan menjadi endemik karena daerah distribusi atau
pesebarannya hanya disekitar wilayah Pulau Jawa. Elang Jawa menempati hutan hujan
tropis pada ketinggian 0 – 3000 meter diatas permukaan laut, dimana spesies ini lebih
banyak ditemukan pada ketinggian 500 – 2000 meter dpl dan mendiami hutan primer
yang terpelihara seperti hutan hujan pegunungan. Namun, hutan yang menjadi habitat
Elang Jawa ini sering terganggu oleh manusia maupun bencana alam, sehingga hutan
terdegradasi dan keberadaan Elang Jawa terancam. Karena kondisi tersebut, IUCN
menetapkan Elang Jawa dalam status endangered. Kasus endemik seperti Elang Jawa ini
menjadi prioritas utama konservasi untuk memperluas distribusi dan potensi dari spesies
tersebut. Pada beberapa kasus, spesies endemik dapat menempati suatu habitat baru yang
cukup berbeda dengan habitat aslinya karena kesempatandan beberapa mungkin dapat
mencapai proses reproduksi. Reproduksi merupakan aspek fundamental biologis untuk
menentukan establisasi dari suatu spesies, maka keberadaan jejak reproduksi (seperti
sarang) dapat digunakan sebagai indikator suksesnya establisasi suatu spesies di suatu
wilayah.Observasi anecdotal baru-baru ini mendeteksi keberadaan Elang Jawa di cagar
alam Nusakambanganpada dua waktu yang berbeda. Meskipun belum diketahui apakah
individu yang dijumpai pada dua waktu berbeda tersebut adalah individu yang serupa atau
bukan, namun pada satu perjumpaan ditemukan sepasang Elang Jawa. Perjumpaan
sepasang Elang Jawa ini cukup memungkinkan untuk terjadinya proses
perkembangbiakan.Lokasi ini sebelumnya belum masuk ke dalam daftar distribusi Elang
Jawa di Pulau Jawa, selain itu lokasi ini memiliki luas yang tidak cukup besar dan hampir
membentuk pulau yang terisolasi. Karakteristik lain dari pulau ini adalah daratan rendah
yang datar dan dekat dengan laut yang bukan merupakan habitat untuk Elang Jawa.Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Elang Jawa telah establish
di pulau Nusakambangan melalui sarang sebagai indikator. Jika sarang ditemukan, maka
kami mengukur karakteristik situs bersarang yang digunakan oleh Elang Jawa di Pulau
ini mengingat kondisi lingkungan pasti berbeda dengan kondisi lingkungan pada
umumnya (hutan pegunungan). Menggunakan data karakteristik situs bersarang, kami
mencoba untuk memprediksi keberlanjutan populasi Elang Jawa ditinjau dari ketersedian
kesesuaian lokasi situs bersarang yang tersedia di seluruh Pulau
Nusakambangan.Parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap preferensi
bersarang elang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi kesesuaian tempat
bersarang Elang Jawa. Digunakan analis komponen utama atau PCA untuk mengevaluasi
variabel-variabel yang paling mempengaruhi preferensi Elang Jawa bersarang. Data-data
tersebut dianalisis menggunakan rotasi varimax. Variabel yang dianggap dominan adalah
variabel yang memiliki skor faktor lebih besar dari 0,5. Uji analisis komponen utama ini
dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17 untuk Windows. Sedangkan untuk
menekspresikan titik-titik lokasi yang sesuai dengan preferensi bersarang Elang Jawa,
kami menggunakan program Arcview 3.3.Data GPS yang diperoleh berdasarkan hasil
observasi selanjutnya diinput ke dalam peta dasar tematik Nusakambangan yang
diperoleh dari Bakosurtanal.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Distribusi dan kelimpahan dari suatu organisme sangat ditentukan oleh faktor-
faktor tertentu, seperti kuantitas dan kualitas suatu habitat, keberadaan pesaing, predator
dan parasit, kemampuan untuk dapat bertahan di luar habitat fundamentalnya, serta
kondisi iklim dan geologis suatu wilayah baik yang terjadi saat ini atau di masa
lampau(Newton, 2003).Diantara faktor-faktor tersebut, interaksi biotik (seperti:
kompetisi, predasi, parasit) dan karakteristik habitat (tutupan dan struktur vegetasi)
merupakan rintangan distribusi dalam skala kecil dari suatu organisme, sedangkan faktor
abiotik (khusunya iklim) adalah penghalang distribusi dalam skala besar(Newton, 2003).
Dengan kata lain, ilmu ekologimengkategorikan organisme menjadi dua kelompok
berdasarkan kemampuan distribusinya, yaitu ecological generalist dan ecological
specialist. Ecological generalist adalah organisme atau spesies yang mampu hidup pada
kisaran kondisi lingkungan yang tinggi atau di luar kondisi fundamentalnya, sedangkan
ecological specialist cenderung untuk dapat hidup pada kondisi yang serupa dengan
kondisi fundamentalnya(Devictor, Julliard, & Jiguet, 2008).
Spesies yang tergolong dalam ecological generalist cenderung untuk menginvasi
wilayah-wilayah baru dan memiliki distribusi yang sangat luas di sepanjang gradien
lingkungan. Spesies ini seringkali menjadi masalah invasi biologis (biological invasion)
yang umumnya memberikan dampak buruk terhadap spesies lokal karena invasinya.
Sebaliknya, spesies yang tergolong ecological specialist umumnya memiliki distribusi
yang sempit dan tidak jarang yang menjadi spesies endemik dan langka pada akhirnya.
Kasus spesies endemik ini menjadi prioritas utama konservasi di seluruh dunia dan
berbagai inisiatif telah dilakukan untuk memperluas distribusi dan populasi dari spesies
tersebut(Stattersfield, Crosby, Long, & Wege, 2005). Meskipun demikian, tidak jarang
kegagalan yang diterima karena sulitnya untuk mengetahui misteri dari ke-endemis-an
suatu spesies(Temple, 1992).
Pada beberapa kasus, spesies endemik dapat menempati suatu habitat baru yang
cukup berbeda dengan habitat aslinya karena kesempatan(van Balen, Nijman, & Sözer,
1999) dan beberapa mungkin dapat mencapai proses reproduksi(van Balen,
1991).Mengingat reproduksi merupakan aspek fundamental biologis untuk menentukan
establisasi dari suatu spesies (Lee, 2003), maka keberadaan jejak reproduksi (seperti
2
sarang) dapat digunakan sebagai indikator suksesnya establisasi suatu spesies di suatu
wilayah.
Elang jawa diketahui menempati hutan hujan tropis pada ketinggian 0 – 3000
meter diatas permukaan laut(MacKinnon & Phillips, 1993), dimana spesies ini lebih
banyak ditemukan pada ketinggian 500 – 2000 meter dpl(Sözer & Nijman, 1995; van
Balen, 1991).Spesies elang jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa, namun distribusinya di
Pulau Jawa cukup merata mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Meskipun sebagian
besar ditemukan di wilayah yang konservasi, namun beberapa diketahui hidup di wilayah
yang terganggu(van Balen, 1991). Daerah jelajah elang ini umumnya adalah 400 ha,
namun berkurang menjadi sekitar 300 ha diluar musim kawin(Gjershaug et al.,
2004).Untuk bersarang, pohon tinggi berkisar 30 – 50 meter (Rasamala Altingia excelsa,
Pasang Quercus sp., Puspa Schima wallichii) dengan area terbuka di sekelilingnya
menjadi pilihan elang jawa. Lokasi sarang biasanya terletak pada percabangan trifurkasi
(cabang tiga) yang berada sekitar ¾ dari tinggi pohon. Diameter sarang kurang lebih
sekitar 1 meter.
Observasi anecdotal baru-baru ini mendeteksi keberadaan elang jawa di cagar
alam Nusakambangan pada dua waktu yang berbeda (gambar 1 dan 2). Meskipun belum
diketahui apakah individu yang dijumpai pada dua waktu berbeda tersebut adalah
individu yang serupa atau bukan, namun pada satu perjumpaan ditemukan sepasang elang
jawa (Agus & Ahmad, manuskrip tidak terpublikasi). Perjumpaan sepasang elang jawa
ini cukup memungkinkan untuk terjadinya proses perkembangbiakan (gambar 2). Pulau
Nusakambangan memanjang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 36 km dan lebar
antara 4-6 km. Luas Pulau Nusakambangan seluruhnya adalah 210 km atau 21.000 ha.
Secara administratif Pulau Nusakambangan termasuk wilayah Kabupaten Cilacap,
tepatnya dalam wilayah Kotatip Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan. Pulau ini masih
memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi dan hutan yang cukup padat, sehingga
dimasukkan menjadi wilayah Cagar Alam, tepatnya di wilayah bagian timur dan
barat.Lokasi ini sebelumnya belum masuk ke dalam daftar distribusi elang jawa di Pulau
Jawa, selain itu lokasi ini memiliki luas yang tidak cukup besar dan hampir membentuk
pulau yang terisolasi. Karakteristik lain dari pulau ini adalah daratan rendah yang datar
dan dekat dengan laut yang bukan merupakan habitat untuk elang jawa (van Balen et al.,
1999).
3
Dalam penelitian ini, kami bertujuan untuk mengetahui apakah elang jawa telah
establish di pulau Nusakambangan melalui sarang sebagai indikator. Jika sarang
ditemukan, maka kami mengukur karakteristik situs bersarang yang digunakan oleh elang
jawa di Pulau ini mengingat kondisi lingkungan pasti berbeda dengan kondisi lingkungan
pada umumnya (hutan pegunungan). Menggunakan data karakteristik situs bersarang,
kami mencoba untuk memprediksi keberlanjutan populasi elang jawa ditinjau dari
ketersedian kesesuaian lokasi situs bersarang yang tersedia di seluruh Pulau
Nusakambangan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Javan Hawk-eagle (Nisaetus bartelsi)atau yang dikenal dengan nama Elang Jawa,
burung ini merupakan spesies endemik Jawa karena daerah sebarannya hanya disekitar
wilayah Pulau Jawa. Elang Jawa memiliki ukuran tubuh 600 mm dan jambul menonjol.
Dewasa: jambul hitam dengan ujung putih. Mahkota dan garis-garis hitam halus. Pipi dan
tengkuk cokelat kemerahan. Punggung dan atas bulu sayap coklat gelap. Ekor juga coklat
dengan empat pita hitam. Tenggorokan putih dengan garis hitam ditengahnya. Perut,
berwarna krem atau kuning muda dengan bercak coklat gelap. Iris kuning ke jinggaan
(dewasa) dan abu-abu gelap (juvenil). Burung yang belum dewasa memiliki warna lebih
terang dan polos di bagian bawah (Prawiradilaga, 1999). Elang Jawa dinyatakan sebagai
burung nasional Indonesia dan simbol spesies langka oleh Presiden Soeharto pada tanggal
10 Januari 1993, karena kemiripannya dengan Burung Garuda, yang merupakan burung
mitologi di Indonesia, dan karena kelangkaan dan keunikannya (Sözer & Nijman, 1995).
B. Kebiasaan dan Habitat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sözer & Nijman (1995), bahwa
Elang Jawa mendiami daerah hutan primer yang masih terpelihara, tercatat juga di
sebagian besar daerah dengan lereng curam dan di habitat yang kurang khas seperti
perkebunan jati, hutan pinus dan di sekitar pemukiman manusia. Elang Jawa memiliki
distribusi terbatas. Hal ini dianggap tergantung pada hutan pegunungan wilayah Jawa
Barat dan tidak pernah digambarkan sebagai sesuatu yang melimpah. Menurut Sözer &
Nijman (1995), persyaratan habitat Elang Jawa tergantung pada dataran rendah yang
subur (selalu hijau sepanjang tahun) dan hutan hujan pegunungan. Namun, sarang Elang
Jawa juga bahkan telah tercatat di hutan sekunder, hutan produksi, hutan semi-gugur
tropis dan lebih memilih lereng terjal dengan tutupan vegetasi yang tinggi (Tsuyuki,
2008).
Elang Jawa bertelur setiap dua tahun, terutama antara Januari dan Juli, namun
dapat berkembang biak pada setiap saat sepanjang tahun (Prawiradilaga, 1999), dengan
hasil reproduksi yang umumnya dianggap rendah (Tsuyuki, 2008). Sarangnya berstruktur
besar yang terbuat dari batang dan daun, dilapisi dengan daun hijau, dan ditempatkan di
5
sebuah pohon besar. Dari hasil studi yang dilakukan Sözer & Nijman (1995), sarang
ditemukan terletak di pohon besar yang khas yakni Rasamala, dan terekspos di lereng
utara-barat dari punggungan yang sangat curam. Dan diperkirakan ketinggian pohon di
30-35m. Pada lembah di bawah sungai kecil yang mengalir dari pegunungan. Burung
Elang Jawa biasanya memangsa mamalia kecil, termasuk Tikus pohon, tupai, kelelawar,
tikus, dan hewan pengerat kecil lainnya. Namun, memakan burung, ular, dan kadal juga
(Prawiradilaga, 1999).
C. Status dan Distribusi
Sebagian besar Elang Jawa yang teramati di hutan primer. Hutan primer yang
ditempati sering terganggu, baik oleh pengaruh manusia atau oleh alam misalnya sebagai
akibat dari angin topan atau tanah longsor. Catatan insidental luar hutan primer menjadi
hutan terdegradasi tidak menunjukkan bahwa spesies dapat bertahan hidup dalam jenis
habitat. Bila tidak terdapat hutan yang masih asli keberadaan spesies mungkin tidak
ditemukan pada daerah tersebut (Sözer & Nijman, 1995). Keadaan tersebut menjadi
alasan IUCN menetapkan Elang Jawa sebagai spesies yang terancam punah dengan status
“endangered”.
Pesebaran Elang Jawa di Pulau Jawa mencakup wilayah dekat pantai sampai ke
hutan pegunungan bawah dan atas pada ketinggian 2.200 m dpl (Prawiradilaga, 1999).
Hasil survei oleh van Balen (1991) Elang Jawa juga ditemukan di dataran rendah di
Lebakhaijo dan Alas Purwo, di mana spesies tercatat di permukaan laut. MacKinnon &
Phillips (1993) menyatakan bahwa sebagian besar catatan berasal dari pegunungan di
wilayah Jawa Barat hingga 3000 m, tetapi juga di permukaan laut Meru Betiri.
Tercatat baru-baru ini, pada tahun 2015 ditemukan sepasang Elang Jawa di sisi
timur Kali Jati yang masuk dalam kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat, sedang
bertengger di atas pohon dengan tinggi 20 m. Perjumpaan Elang Jawa ini teramati dua
kali, yaitu pada bulan Januari dan Maret oleh Agus & Ahmad (manuskrip tidak
terpublikasi) yang merupakan mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sekaligus anggota
Komunitas Save Our Nusakambangan Island, Cilacap. Nusakambangan merupakan pulau
dengan luas sekitar 240 km2 yang secara ekologis sangat penting karena terdapat hutan
alam dataran rendah, hutan pantai dan hutan bakau (Suripto & Hamidy, 2015).
6
Gambar 1. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) sedang bertengger di Cagar Alam Barat Nusakambangan
Gambar 2. Sepasang Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Nusakambangan
7
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian difokuskan di area Cagar Alam Nusakambangan Barat
mengingat inisiasi perjumpaan tercatat di kawasan tersebut, meskipun tidak menutup
kemungkinan jika distribusi elang jawa mencapai Cagar Alam Nusakambangan Timur.
Waktu penelitian akan dilaksakan pada bulan April – Juni 2017. Walaupun berdasarkan
referensi sebelumnya diketahui bahwa elang jawa berkembangbiak sepanjang tahun,
namun waktu berkembangbiak umumnya terjadi pada bulan-bulan tersebut(Nijman &
Van Balen, 2003).
B. Estimasi populasi dan deteksi sarang
Mengingat bahwa jenis-jenis raptor merupakan satwa yang sulit untuk ditemukan,
kami memadukan beberapa metode pencarian, yaitu: mengamati dari vantage-point (area
tinggi yang memungkinkan untuk mengamati keberadaan elang jawa), line transect, dan
menelusuri jalur yang telah ada. Setiap individu elang yang ditemukan, kami kelompokan
mengikuti Nijman & Van Balen (2003)menjadi empat berdasarkan kelas umurnya, yaitu:
fledglings (anakan), juveniles (elang muda),immatures (remaja), dan adults
(dewasa).Anakan hampir serupa dengan elang muda, perbedaannya terdapat pada bulu
yang belum tumbuh dengan sempurna. Elang muda berwarna coklat cinamon, sayap
berwarna cokelat, dan memiliki iris berwarna ungu kebiruan. Remaja memiliki warna
yang berwarna lebih gelap dibadingkan elang muda, sudah terdapat corak pita pada
sayapnya, serta iris yang berwarna kuning. Sedangkan dewasa dibedakan melalui corak
pita yang telah sempurna pada sayapnya.
Kami mencoba untuk mencirikan tanda yang ada pada setiap individu untuk
membedakan dengan individu yang ditemukan selanjutnya, hal ini bertujuan untuk
mencegah pengulangan perhitungan estimasi populasi.Deteksi sarang elang dilakukan
mengikuti deskripsi dariNijman, van Balen, & Sözer (2000). Mengingat bahwa spesies
burung besar di Nusakambangan tidak sedikit, maka deteksi sarang elang mungkin lebih
sulit dikenali. Oleh karena itu, kami meminta bantuan dari petugas lokal untuk membantu
mengenali sarang dari elang jawa (Komunitas Save Our Nusakambangan Island).
8
C. Pengukuran karakteristik situs bersarang
Parameter yang digunakan untuk mengukur karakteristik sarang elang jawa
mengikutiBakaloudis, Vlachos, Papageorgiou, & Holloway (2001) dan Nijman et al.
(2000). Kami mengindentifikasi spesies pohon yang digunakan oleh elang jawa untuk
bersarang dan mengukur diameter pohon (DBH: Diameter Breast High), tinggi pohon dan
tinggi sarang dari permukaan tanah menggunakan Nikon forestry laser range finder. Kami
juga menghitung persentase rasio antara tinggi sarang dan tinggi pohon. Kami juga
menghitung posisi sarang relatif terhadap crown atau tajuk dengan cara membagi jarak
antara sarang dengan cabang paling bawah dengan lebar tajuk. Lebar tajuk diukur dari
cabang terbawah hingga ujung pohon(Koops, McGrew, de Vries, & Matsuzawa, 2012).
Lokasi peletakan sarang dikategorikan menjadi batang utama, cabang utama, dan
cabang skunder. Cabang utama adalah cabang yang keluar dari batang utama, sedangkan
cabang skunder adalah cabang yang keluar dari cabang utama. Kami tidak memasukkan
ranting ke dalam kategori, karena berdasarkanNijman et al.(2000) diketahui bahwa elang
tidak bersarang di ranting atau periperal pohon. Kami juga mendeksripsikan tipe
percabangan dimana lokasi sarang berada dan mengelompokkannya menjadi tidak
bercabang, bercabang dua (bifurcation) atau bercabang tiga (trifurcation). Inklinasi
batang atau cabang tempat sarang berada dikategorikan menjadi lurus (vertical) atau
miring (inclined vertical), dan datar (horizontal)(Koops et al., 2012).
Tutupan kanopi vegetasi di bawah dan di sekitar pohon sarang diambil dengan
menggunakan Lensa Sigma Hemispherical dengan area cakupan 1800 yang dikoneksikan
dengan Kamera digital full-frame Canon Eos 5D(Rich, 1990). Pengambilan gambar
tutupan kanopi dibagi menjadi dua, tutupan kanopi pohon sarang dan tutupan kanopi
disekitar pohon sarang. Tutupan kanopi pohon sarang diukur dengan mengambil gambar
tutupan tepat dari samping pohon. Sedangkan tutupan kanopi di sekitar pohon sarang
dilakukan dengan membagi pohon sarang menjadi empat kuadran dimana pohon sarang
sebagai pusatnya. Penentuan kuadran tersebut diaplikasikan secara acak, dengan jarak
total masing-masing kuadran adalah 100 meter. Gambar diambil sebanyak dua titik pada
tiap kuadran, masing-masing berada pada jarak 50 meter dan 100 meter dari pohon
sarang. Hasil gambar selanjutnya akan didigitas ke dalam komputer dan dianalisis
menggunakan software GLA 2.0(Frazer, Canham, & Lertzman, 1999). Parameter lain
yang diambil adalah ketinggian (altitude) dengan menggunakan altimeter.
9
D. Permodelan kesesuaian lokasi situs bersarang dengan GIS
Parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap preferensi bersarang
elang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi kesesuaian tempat bersarang elang
jawa. Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut, kami membuat line transect
sepanjang 4 km (menyesuaikan dan sejajar dengan lebar pulau) sebanyak 10 transect yang
dibuat sejajaruntuk mendeteksi kesesuaian struktur habitat bersarang elang jawa. Setiap
lokasi yang sesuai terdeteksi, kami menandainya dengan menggunakan GPS.
E. Analisi data
Analis komponen utama atau PCA digunakan untuk mengevaluasi variabel-
variabel yang paling mempengaruhi preferensi elang jawa bersarang. Data-data tersebut
dianalisis menggunakan rotasi varimax. Variabel yang dianggap dominan adalah variabel
yang memiliki skor faktor lebih besar dari 0,5. Uji analisis komponen utama ini dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 17 untuk Windows. Sedangkan untuk
menekspresikan titik-titik lokasi yang sesuai dengan preferensi bersarang elang jawa,
kami menggunakan program Arcview 3.3. Data GPS yang diperoleh berdasarkan hasil
observasi selanjutnya diinput ke dalam peta dasar tematik Nusakambangan yang
diperoleh dari Bakosurtanal.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Observasi secara periodik yang dilakukan mulai tahun 2011 hingga 2017
diperoleh 3 (tiga) kali perjumpaan dengan Elang Jawa pada waktu yang berbeda. Elang
Jawa terekam pertama kali di kawasan IUP Holcim Indonesia Cilacap Plant bagian timur
(108°58'22.969"E, 7°44'50.882"S ), ketika kegiatan Monitoring Biodiversitas di kawasan
IUP Holcim Indonesia Cilacap Plant, Nusakambangan. Perjumpaan kedua tercatat di
kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat (108°48'7.698"E, 7°43'1.5"S).
Gambar 3. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) sedang bertengger di Cagar Alam Barat
Nusakambangan
11
Gambar 4. Sepasang Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Nusakambangan
Berbeda dengan perjumpaan lainnya, pada perjumpaan kedua ini, sepasang Elang
Jawa yang berada di cabang pohon mendatar dengan tinggi sekitar 20 m. Catatan
perjumpaan ini mengindikasikan adanya kemungkinan pembentukan pasangan (pair
formation) dimana tidak menutup kemungkinan terjadinya proses perkawinan dan
reproduksi. Pada pertemuan yang ketiga, satu individu Elang Jawa ditemukan pada lokasi
yang serupa namun di pohon yang berbeda (108°48'7.166"E, 7°43'0.432"S), jarak antar
pohon (tempat perjumpaan sebelumnya) dengan pohon ini sekitar 50 m. Pada tahun 2016,
observasi anekdotal masih mendeteksi keberadaan Elang ini di Nusakambangan tepatnya
di Cagar Alam Nusakambangan Barat, namun rincian data dan titik koordinat tidak
tersedia.
Gambar 5. Peta distribusi Elang Jawa di Nusakambangan mulai dari Tahun 2013
Berdasarkan data waktu perjumpaan (grafik) diketahui bahwa keberadaan Elang
Jawa di Pulau Nusakambangan termasuk data rekaman anekdotal telah mencapai 3 (lima)
tahun. Lokasi pertama kali Elang Jawa terdeteksi adalah di Kawasan IUP Holcim dan 3
(tiga) lokasi lainnya berada di Cagar Alam Nusakambangan Barat. Kami tidak
12
memastikan apakah Individu Elang Jawa yang ditemukan di IUP Holcim serupa dengan
individu yang teramati di 3 (tiga) titik di Kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat.
Mengacu kepada data ditemukannya sepasang Elang Jawa, maka kami melakukan
observasi di tahun 2017 untuk mendeteksi adanya jejak reproduksi. Observasi yang
dilakukan pada bulan Juli 2017 di wilayah Kalijati, Cagar Alam Nusakambangan Barat
(lokasi terakhir ditemukan pasangan Elang Jawa) tidak ditemukan adanya jejak
reproduksi (seperti: sarang, anakan elang). Pada observasi tersebut bahkan tidak
ditemukan individu Elang Jawa. Dengan demikian, kami tidak dapat melakukan analisis
karakteristik bersarang Elang Jawa di Nusakambangan dan juga tidak dapat memetakan
potensi bersarangnya.
Gambar 6. Peta pertemuan dengan Elang Jawa di Pulau Nusa Kambagan berdasarkan
waktu
Keterangan:
1. Kotak yang diaksir mengindikasikan pertemuan sepasang Elang Jawa
2. Kotak berwarna cokelat mengindikasikan hasil observasi anekdotal dimana data dan titik
koordinat tidak tercatat
B. PEMBAHASAN
Elang Jawa merupakan Elang endemik Jawa yang hanya ditemukan di kawasan
hutan hijau (evergreen forest spesialist). Meningkatnya populasi manusia dan aktivitas
pembangunan di Pulau Jawa menyebakan Elang Jawa hanya dapat ditemukan di sisa-sisa
hutan. Tahun 1999, van Balen, Nijman, & Sözer (1999) mencatat keberadaan Elang Jawa
di 27 lokasi hutan di sepanjang Pulau Jawa. Meningkatnya kegiatan eksplorasi
Jan
uar
i
Feb
ruar
i
Mar
et
Ap
ril
Mei
Jun
i
Juli
Juli
Ag
ust
us
Sep
tem
ber
Ok
tob
er
No
vem
ber
Des
emb
er
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Bulan
Tahun
catatan anedoktal
13
pengamatan Elang Jawa di wilayah selatan Pulau Jawa (meliputi kawasan yang serupa
dan juga kawasan baru) menunjukkan catatan keberadaan Elang Jawa di 15 lokasi baru,
namun hasil obervasi juga menemukan hilangnya populasi Elang Jawa dari beberapa
lokasi sebelumnya (seperti: Ciwidey, Pangalengan, Danau Pangkalan) (Setiadi,
Rakhman, Nurwatha, Muchtar, & Raharjaningtrah, 2000). Hasil pengamatan terbaru
melaporkan adanya lokasi distribusi baru dari Elang Jawa, yaitu di Kondang Merak,
Malang (Ardiansyah et al., 2015).
Deteksi keberadaan Elang Jawa dalam penelitian ini menjadi catatan baru
mengenai distribusi Elang Jawa di Pulau Jawa mengingat bahwa penelitian sebelumnya
tidak pernah mencatat keberadaan Elang ini di Pulau Nusakambangan (Setiadi et al.,
2000; R Sözer et al., 1998; van Balen et al., 1999) atau bahkan di kawasan konservasi
terdekatnya, yaitu Cagar Alam Pangandaran (Setiadi et al., 2000). Mengingat bahwa
preferensi habitat Elang Jawa adalah hutan primer (Thiollay & Meyburg, 1988) dan
kawasan Nusakambangan memiliki wilayah hutan primer yang tidak cukup luas (sekitar
2, 8 ha menurut Flora dan Fauna Indonesia), maka kemungkinan Elang Jawa tidak
terdeteksi dalam penelitian sebelumnya sangat kecil. Dengan demikian, kami berasumsi
bahwa individu Elang Jawa yang berada di Nusakambangan kemungkinan adalah Elang
Migrasi dari wilayah terdekat (Gunung Slamet; van Balen et al., 1999) atau individu yang
dipelihara oleh masyarakat. Meskipun demikian, tanpa mengacu kepada asal usulnya,
Elang Jawa tersebut diketahui dapat bertahan hidup selama kurang lebih 3 tahun di
Nusakambangan. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi alam Nusakambangan dapat
mendukung kehidupan Elang Jawa dan mungkin dapat pula mendukung reproduksinya,
mengingat bahwa Elang Jawa dilaporkan dapat sukses bereproduksi pada wilayah yang
bahkan kurang dari 20 ha (Setiadi et al., 2000). Penelitian jangka panjang sangat
diperlukan untuk mensensus dan memantau kehidupan serta establisasi Elang Jawa di
Pulau Nusakambangan ini.
Rekaman pengamatan sepasang Elang Jawa di Kalijati membuat kemungkinan
akan adanya proses perkawinan dan reproduksi, meskipun pada kenyataanya bahwa
banyak Elang Jawa yang ditemukan berpasangan (Nijman, 2004) dan diantara pasangan
itu tidak seluruhnya sukses melalukan perkawinan dan reproduksi (personal
communication). Meskipun demikian, rekaman catatan perjumpaan satu individu elang
14
di lokasi serupa (hanya berjarak 50 meter dari lokasi awal) yang berselang hanya dua
bulan dari catatan sebelumnya memberikan harapan yang cukut kuat akan terjadinya
proses reproduksi.
Resit Sözer & Nijman (1995) dan van Balen et al. (1999) mengungkapkan bahwa
waktu inkubasi yang diperlukan oleh Elang Jawa adalah sekitar dua bulan. Pada saat
inkubasi tersebut, betina relatif menghabiskan seluruh waktu untuk mengeramkan telur
di sarang dan hanya sesekali saja pergi namun dengan lokasi yang tidak jauh dari sarang
(Nijman, van Balen, & Sözer, 2000). Jika asumsi telah terjadi proses reproduksi adalah
benar, maka satu individu yang terekam tersebut merupakan betina yang sedang mencari
makan atau mencari bahan untuk merenovasi sarang. Mengingat bahwa kami tidak
berhasil mengidentifikasi jenis kelamin dan tidak ditemukannya jejak reproduksi saat
observasi terakhir, maka asumsi ini belum dapat dipastikan. Penelitian lebih detail dengan
jangka waktu yang cukup lama sangat diperlukan untuk memastikan asumsi tersebut.
Nijman et al. (2000) telah melakukan studi yang menjelaskan deskripsi
karakteristik sarang Elang Jawa. Data tersebut dapat digunakan sebagian data acuan untuk
memetakan potensi lokasi bersarang Elang Jawa di Pulau Nusakambangan terutama di
Cagar Alam Nusakambangan Barat. Pada penelitian ini, kami belum dapat melakukan
analisis dan memetakan potensi bersarang Elang Jawa di Nusakambangan karena
kurangnya data informasi spasial dan iklim. Data spasial beresolusi tinggi, yaitu LIDAR,
untuk kawasan Nusakambangan tidak ditemukan begitu pula dengan data iklim dan
vegetasi.
15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Elang Jawa adalah Elang endemik Jawa yang hanya ditemukan di kawasan hutan
hijau (evergreen forest spesialist). Meningkatnya populasi manusia dan aktivitas
pembangunan di Pulau Jawa menyebabkan Elang Jawa hanya dapat ditemukan di
sisa-sisa hutan.
2. Hasil pengamatan terbaru menunjukkan lokasi distribusi baru dari Elang Jawa,
yaitu di Kondang Merak, Malang. Deteksi keberadaan Elang Jawa dalam
penelitian ini menjadi catatan baru mengingat bahwa preferensi habitat Elang
Jawa adalah hutan primer maka kemungkinan Elang Jawa tidak terdeteksi dalam
penelitian sebelumnya sangat kecil.
3. Elang Jawa yang berada di Nusakambangan kemungkinan adalah Elang Migrasi
dari wilayah terdekat (Gunung Slamet; van Balen et al., 1999) atau individu yang
dipelihara oleh masyarakat.
4. Rekaman pengamatan sepasang Elang Jawa di Kalijati membuat kemungkinan
akan adanya proses perkawinan dan reproduksi.
5. Pada penelitian ini belum dapat dianalisis dan dipetakan potensi bersarang Elang
Jawa di Nusakambangan karena kurangnya data informasi spasial dan iklim.
B. SARAN
1. Hutan Nusa Kambangan merupakan lokasi migrasi Elang Jawa yang berpotensi
tinggi untuk tempat melakukan reproduksi
2. Hutan Nusa Kambangan harus bebas dari segala bentuk invasi yang berpotensi merusak
kelestarian hutan alamiah.
3. Diperlukan pengamatan lebih lanjut dan berkala untuk memperoleh data spasial
beresolusi tinggi, data iklim dan vegetasi kawasan Nusakambangan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, M., Pramudita, H. E., Cahyono, H., Hermadhiyanti, W., Arifiantari, R.,
Sa’adah, A., … Diwanata, B. (2015). The Sighting Report Ofjavan Hawk-Eagle
(Nisaetus bartelsi) In The Area Of Kondang Merak, Malang Regency, Indonesia.
KnE Life Sciences, 2(1), 530–532.
Bakaloudis, D. E., Vlachos, C., Papageorgiou, N., & Holloway, G. J. (2001). Nest‐site
habitat selected by Short‐toed Eagles Circaetus gallicus in Dadia Forest
(northeastern Greece). Ibis, 143(4), 391–401.
Devictor, V., Julliard, R., & Jiguet, F. (2008). Distribution of specialist and generalist
species along spatial gradients of habitat disturbance and fragmentation. Oikos,
117(4), 507–514.
Frazer, G. W., Canham, C. D., & Lertzman, K. P. (1999). Gap Light Analyzer (GLA),
Version 2.0: Imaging software to extract canopy structure and gap light
transmission indices from true-colour fisheye photographs, users manual and
program documentation. Simon Fraser University, Burnaby, British Columbia, and
the Institute of Ecosystem Studies, Millbrook, New York, 36.
Gjershaug, J. O., Røv, N., Nygård, T., Prawiradilaga, D. M., Afianto, M. Y., Hapsoro,
S. A., & Supriatna, A. (2004). Home-range size of the Javan Hawk-Eagle
(Spizaetus bartelsi) estimated from direct observations and radiotelemetry. J.
Raptor Res, 38(4), 343–349.
Koops, K., McGrew, W. C., de Vries, H., & Matsuzawa, T. (2012). Nest-building by
chimpanzees (Pan troglodytes verus) at Seringbara, Nimba Mountains:
antipredation, thermoregulation, and antivector hypotheses. International Journal
of Primatology, 33(2), 356–380.
Lee, J. C. (2003). The Cuban Treefrog in Florida. Life History of a Successful
Colonizing Species. Herpetological Review, 34(1), 85.
MacKinnon, J., & Phillips, K. (1993). Field Guide to the Birds of Sumatra, Borneo,
Java and Bali (The Greater Sunda Islands). Oxford (GB): Oxford University Press.
Newton, I. (2003). Speciation and biogeography of birds. Academic Press.
Nijman, V. (2004). Habitat segregation in two congeneric hawk-eagles (Spizaetus
bartelsi and S. cirrhatus) in Java, Indonesia. Journal of Tropical Ecology, 20(1),
17
105–111.
Nijman, V., & Van Balen, S. B. (2003). Wandering stars: age‐related habitat use and
dispersal of Javan Hawk‐eagles (Spizaetus bartelsi). Journal Für Ornithologie,
144(4), 451–458.
Nijman, V., van Balen, S. B., & Sözer, R. (2000). Breeding biology of Javan hawk-
eagle Spizaetus bartelsi in West Java, Indonesia. Emu, 100(2), 125–132.
Prawiradilaga, D. M. (1999). Elang Jawa Satwa Langka. Seri Pendidikan Konservasi
Keanekaragaman Hayati. Bogor: Biodiversity Conservationa Project [LIPIPHKA-
JICA].
Rich, P. M. (1990). Characterizing plant canopies with hemispherical photographs.
Remote Sensing Reviews, 5(1), 13–29.
Setiadi, A. P., Rakhman, Z., Nurwatha, P. F., Muchtar, M., & Raharjaningtrah, W.
(2000). Status, distribution, population, ecology and conservation Javan
Hawkeagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924 on southern part of west Java.
FFI/BirdLife International/YPAL-HIMIBIO (Bandung: UNPAD).
Sözer, R., & Nijman, V. (1995). Behavioural ecology, distribution and conservation of
the Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Verslagen En
Technische Gegevens, 62(1), 1–122.
Sözer, R., Nijman, V., Setiawan, I., Van Balen, S., Prawiradilaga, D. M., & Subijanto, J.
(1998). Javan Hawk-eagle recovery plan. Bogor: Directorate General of Forest
Protection and Nature Conservation (PHPA)—Indonesian Institute of Sciences
(LIPI)/BirdLife International Indonesia Programme.(Recovery Plan 2).
Stattersfield, A. J., Crosby, M. J., Long, A. J., & Wege, D. C. (2005). Endemic bird
areas of the world: priorities for biodiversity conservation.
Suripto, B. A., & Hamidy, A. (2015). Burung di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah: Keanekaragaman, Adaptasi dan Jenis-Jenis Penting untuk Dilindungi.
Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 13(1), 9–25.
Temple, S. A. (1992). Exotic birds: a growing problem with no easy solution. The Auk,
109(2), 395–397.
Thiollay, J.-M., & Meyburg, B. U. (1988). Forest fragmentation and the conservation of
raptors: a survey on the island of Java. Biological Conservation, 44(4), 229–250.
Tsuyuki, S. (2008). GIS-based modeling of Javan Hawk-Eagle distribution using
18
logistic and autologistic regression models. Biological Conservation, 141(3), 756–
769.
van Balen, S. B. A. S. (1991). The Java Hawk Eagle Spizaetus bartelsi WWGBP project
report No.1. Birds of Prey Bull, 4, 33–40.
van Balen, S. B. A. S., Nijman, V., & Sözer, R. (1999). Distribution and conservation of
the Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bird Conservation International, 9(4),
333–349.
Lampiran 1.
Submit di:
Establisasi Dan Prediksi Keberlanjutan Populasi Elang Endemik Jawa
Nisaetus Bartelsi Di Nusakambangan, Jawa Tengah: Sarang Sebagai
Indikator
Oleh:
Rini Puspitaningrum, Mohamad Isnin Noer.
Abstraks
Burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) tergolong ecological specialist yang umumnya
memiliki distribusi yang sempit dan menjadi endemik karena daerah distribusi atau
pesebarannya hanya disekitar wilayah Pulau Jawa. Elang Jawa menempati hutan hujan
tropis pada ketinggian 0 – 3000 meter diatas permukaan laut, dimana spesies ini lebih
banyak ditemukan pada ketinggian 500 – 2000 meter dpl dan mendiami hutan primer
yang terpelihara seperti hutan hujan pegunungan. Namun, hutan yang menjadi habitat
Elang Jawa ini sering terganggu oleh manusia maupun bencana alam, sehingga hutan
terdegradasi dan keberadaan Elang Jawa terancam. Karena kondisi tersebut, IUCN
menetapkan Elang Jawa dalam status endangered. Kasus endemik seperti Elang Jawa ini
menjadi prioritas utama konservasi untuk memperluas distribusi dan potensi dari spesies
tersebut. Pada beberapa kasus, spesies endemik dapat menempati suatu habitat baru yang
cukup berbeda dengan habitat aslinya karena kesempatandan beberapa mungkin dapat
mencapai proses reproduksi. Reproduksi merupakan aspek fundamental biologis untuk
menentukan establisasi dari suatu spesies, maka keberadaan jejak reproduksi (seperti
sarang) dapat digunakan sebagai indikator suksesnya establisasi suatu spesies di suatu
wilayah.Observasi anecdotal baru-baru ini mendeteksi keberadaan Elang Jawa di cagar
alam Nusakambanganpada dua waktu yang berbeda. Meskipun belum diketahui apakah
individu yang dijumpai pada dua waktu berbeda tersebut adalah individu yang serupa atau
bukan, namun pada satu perjumpaan ditemukan sepasang Elang Jawa. Perjumpaan
sepasang Elang Jawa ini cukup memungkinkan untuk terjadinya proses
perkembangbiakan.Lokasi ini sebelumnya belum masuk ke dalam daftar distribusi Elang
Jawa di Pulau Jawa, selain itu lokasi ini memiliki luas yang tidak cukup besar dan hampir
membentuk pulau yang terisolasi. Karakteristik lain dari pulau ini adalah daratan rendah
yang datar dan dekat dengan laut yang bukan merupakan habitat untuk Elang Jawa.Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Elang Jawa telah establish
di pulau Nusakambangan melalui sarang sebagai indikator. Jika sarang ditemukan, maka
kami mengukur karakteristik situs bersarang yang digunakan oleh Elang Jawa di Pulau
ini mengingat kondisi lingkungan pasti berbeda dengan kondisi lingkungan pada
umumnya (hutan pegunungan). Menggunakan data karakteristik situs bersarang, kami
mencoba untuk memprediksi keberlanjutan populasi Elang Jawa ditinjau dari ketersedian
kesesuaian lokasi situs bersarang yang tersedia di seluruh Pulau
Nusakambangan.Parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap preferensi
bersarang elang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi kesesuaian tempat
bersarang Elang Jawa. Digunakan analis komponen utama atau PCA untuk mengevaluasi
variabel-variabel yang paling mempengaruhi preferensi Elang Jawa bersarang. Data-data
tersebut dianalisis menggunakan rotasi varimax. Variabel yang dianggap dominan adalah
variabel yang memiliki skor faktor lebih besar dari 0,5. Uji analisis komponen utama ini
dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17 untuk Windows. Sedangkan untuk
menekspresikan titik-titik lokasi yang sesuai dengan preferensi bersarang Elang Jawa,
kami menggunakan program Arcview 3.3.Data GPS yang diperoleh berdasarkan hasil
observasi selanjutnya diinput ke dalam peta dasar tematik Nusakambangan yang
diperoleh dari Bakosurtanal.
PENDAHULUAN
Distribusi dan kelimpahan dari suatu organisme sangat ditentukan oleh faktor-
faktor tertentu, seperti kuantitas dan kualitas suatu habitat, keberadaan pesaing, predator
dan parasit, kemampuan untuk dapat bertahan di luar habitat fundamentalnya, serta
kondisi iklim dan geologis suatu wilayah baik yang terjadi saat ini atau di masa
lampau(Newton, 2003).Diantara faktor-faktor tersebut, interaksi biotik (seperti:
kompetisi, predasi, parasit) dan karakteristik habitat (tutupan dan struktur vegetasi)
merupakan rintangan distribusi dalam skala kecil dari suatu organisme, sedangkan faktor
abiotik (khusunya iklim) adalah penghalang distribusi dalam skala besar(Newton, 2003).
Dengan kata lain, ilmu ekologimengkategorikan organisme menjadi dua kelompok
berdasarkan kemampuan distribusinya, yaitu ecological generalist dan ecological
specialist. Ecological generalist adalah organisme atau spesies yang mampu hidup pada
kisaran kondisi lingkungan yang tinggi atau di luar kondisi fundamentalnya, sedangkan
ecological specialist cenderung untuk dapat hidup pada kondisi yang serupa dengan
kondisi fundamentalnya(Devictor, Julliard, & Jiguet, 2008).
Spesies yang tergolong dalam ecological generalist cenderung untuk menginvasi
wilayah-wilayah baru dan memiliki distribusi yang sangat luas di sepanjang gradien
lingkungan. Spesies ini seringkali menjadi masalah invasi biologis (biological invasion)
yang umumnya memberikan dampak buruk terhadap spesies lokal karena invasinya.
Sebaliknya, spesies yang tergolong ecological specialist umumnya memiliki distribusi
yang sempit dan tidak jarang yang menjadi spesies endemik dan langka pada akhirnya.
Kasus spesies endemik ini menjadi prioritas utama konservasi di seluruh dunia dan
berbagai inisiatif telah dilakukan untuk memperluas distribusi dan populasi dari spesies
tersebut(Stattersfield, Crosby, Long, & Wege, 2005). Meskipun demikian, tidak jarang
kegagalan yang diterima karena sulitnya untuk mengetahui misteri dari ke-endemis-an
suatu spesies(Temple, 1992).
Pada beberapa kasus, spesies endemik dapat menempati suatu habitat baru yang
cukup berbeda dengan habitat aslinya karena kesempatan(van Balen, Nijman, & Sözer,
1999) dan beberapa mungkin dapat mencapai proses reproduksi(van Balen,
1991).Mengingat reproduksi merupakan aspek fundamental biologis untuk menentukan
establisasi dari suatu spesies (Lee, 2003), maka keberadaan jejak reproduksi (seperti)
sarang) dapat digunakan sebagai indikator suksesnya establisasi suatu spesies di suatu
wilayah.
Elang jawa diketahui menempati hutan hujan tropis pada ketinggian 0 – 3000
meter diatas permukaan laut(MacKinnon & Phillips, 1993), dimana spesies ini lebih
banyak ditemukan pada ketinggian 500 – 2000 meter dpl(Sözer & Nijman, 1995; van
Balen, 1991).Spesies elang jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa, namun distribusinya di
Pulau Jawa cukup merata mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Meskipun sebagian
besar ditemukan di wilayah yang konservasi, namun beberapa diketahui hidup di wilayah
yang terganggu(van Balen, 1991). Daerah jelajah elang ini umumnya adalah 400 ha,
namun berkurang menjadi sekitar 300 ha diluar musim kawin(Gjershaug et al.,
2004).Untuk bersarang, pohon tinggi berkisar 30 – 50 meter (Rasamala Altingia excelsa,
Pasang Quercus sp., Puspa Schima wallichii) dengan area terbuka di sekelilingnya
menjadi pilihan elang jawa. Lokasi sarang biasanya terletak pada percabangan trifurkasi
(cabang tiga) yang berada sekitar ¾ dari tinggi pohon. Diameter sarang kurang lebih
sekitar 1 meter.
Observasi anecdotal baru-baru ini mendeteksi keberadaan elang jawa di cagar
alam Nusakambangan pada dua waktu yang berbeda (gambar 1 dan 2). Meskipun belum
diketahui apakah individu yang dijumpai pada dua waktu berbeda tersebut adalah
individu yang serupa atau bukan, namun pada satu perjumpaan ditemukan sepasang elang
jawa (Agus & Ahmad, manuskrip tidak terpublikasi). Perjumpaan sepasang elang jawa
ini cukup memungkinkan untuk terjadinya proses perkembangbiakan (gambar 2). Pulau
Nusakambangan memanjang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 36 km dan lebar
antara 4-6 km. Luas Pulau Nusakambangan seluruhnya adalah 210 km atau 21.000 ha.
Secara administratif Pulau Nusakambangan termasuk wilayah Kabupaten Cilacap,
tepatnya dalam wilayah Kotatip Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan. Pulau ini masih
memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi dan hutan yang cukup padat, sehingga
dimasukkan menjadi wilayah Cagar Alam, tepatnya di wilayah bagian timur dan
barat.Lokasi ini sebelumnya belum masuk ke dalam daftar distribusi elang jawa di Pulau
Jawa, selain itu lokasi ini memiliki luas yang tidak cukup besar dan hampir membentuk
pulau yang terisolasi. Karakteristik lain dari pulau ini adalah daratan rendah yang datar
dan dekat dengan laut yang bukan merupakan habitat untuk elang jawa (van Balen et al.,
1999).
Dalam penelitian ini, kami bertujuan untuk mengetahui apakah elang jawa telah
establish di pulau Nusakambangan melalui sarang sebagai indikator. Jika sarang
ditemukan, maka kami mengukur karakteristik situs bersarang yang digunakan oleh elang
jawa di Pulau ini mengingat kondisi lingkungan pasti berbeda dengan kondisi lingkungan
pada umumnya (hutan pegunungan). Menggunakan data karakteristik situs bersarang,
kami mencoba untuk memprediksi keberlanjutan populasi elang jawa ditinjau dari
ketersedian kesesuaian lokasi situs bersarang yang tersedia di seluruh Pulau
Nusakambangan.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian
Lokasi penelitian difokuskan di area Cagar Alam Nusakambangan Barat
mengingat inisiasi perjumpaan tercatat di kawasan tersebut, meskipun tidak menutup
kemungkinan jika distribusi elang jawa mencapai Cagar Alam Nusakambangan Timur.
Waktu penelitian akan dilaksakan pada bulan April – Juni 2017. Walaupun berdasarkan
referensi sebelumnya diketahui bahwa elang jawa berkembangbiak sepanjang tahun,
namun waktu berkembangbiak umumnya terjadi pada bulan-bulan tersebut(Nijman &
Van Balen, 2003).
Estimasi populasi dan deteksi sarang
Mengingat bahwa jenis-jenis raptor merupakan satwa yang sulit untuk ditemukan,
kami memadukan beberapa metode pencarian, yaitu: mengamati dari vantage-point (area
tinggi yang memungkinkan untuk mengamati keberadaan elang jawa), line transect, dan
menelusuri jalur yang telah ada. Setiap individu elang yang ditemukan, kami kelompokan
mengikuti Nijman & Van Balen (2003)menjadi empat berdasarkan kelas umurnya, yaitu:
fledglings (anakan), juveniles (elang muda),immatures (remaja), dan adults
(dewasa).Anakan hampir serupa dengan elang muda, perbedaannya terdapat pada bulu
yang belum tumbuh dengan sempurna. Elang muda berwarna coklat cinamon, sayap
berwarna cokelat, dan memiliki iris berwarna ungu kebiruan. Remaja memiliki warna
yang berwarna lebih gelap dibadingkan elang muda, sudah terdapat corak pita pada
sayapnya, serta iris yang berwarna kuning. Sedangkan dewasa dibedakan melalui corak
pita yang telah sempurna pada sayapnya.
Kami mencoba untuk mencirikan tanda yang ada pada setiap individu untuk
membedakan dengan individu yang ditemukan selanjutnya, hal ini bertujuan untuk
mencegah pengulangan perhitungan estimasi populasi.Deteksi sarang elang dilakukan
mengikuti deskripsi dariNijman, van Balen, & Sözer (2000). Mengingat bahwa spesies
burung besar di Nusakambangan tidak sedikit, maka deteksi sarang elang mungkin lebih
sulit dikenali. Oleh karena itu, kami meminta bantuan dari petugas lokal untuk membantu
mengenali sarang dari elang jawa (Komunitas Save Our Nusakambangan Island).
Pengukuran karakteristik situs bersarang
Parameter yang digunakan untuk mengukur karakteristik sarang elang jawa
mengikutiBakaloudis, Vlachos, Papageorgiou, & Holloway (2001) dan Nijman et al.
(2000). Kami mengindentifikasi spesies pohon yang digunakan oleh elang jawa untuk
bersarang dan mengukur diameter pohon (DBH: Diameter Breast High), tinggi pohon dan
tnggi sarang dari permukaan tanah menggunakan Nikon forestry laser range finder. Kami
juga menghitung persentase rasio antara tinggi sarang dan tinggi pohon. Kami juga
menghitung posisi sarang relatif terhadap crown atau tajuk dengan cara membagi jarak
antara sarang dengan cabang paling bawah dengan lebar tajuk. Lebar tajuk diukur dari
cabang terbawah hingga ujung pohon(Koops, McGrew, de Vries, & Matsuzawa, 2012).
Lokasi peletakan sarang dikategorikan menjadi batang utama, cabang utama, dan
cabang skunder. Cabang utama adalah cabang yang keluar dari batang utama, sedangkan
cabang skunder adalah cabang yang keluar dari cabang utama. Kami tidak memasukkan
ranting ke dalam kategori, karena berdasarkanNijman et al.(2000) diketahui bahwa elang
tidak bersarang di ranting atau periperal pohon. Kami juga mendeksripsikan tipe
percabangan dimana lokasi sarang berada dan mengelompokkannya menjadi tidak
bercabang, bercabang dua (bifurcation) atau bercabang tiga (trifurcation). Inklinasi
batang atau cabang tempat sarang berada dikategorikan menjadi lurus (vertical) atau
miring (inclined vertical), dan datar (horizontal)(Koops et al., 2012).
Tutupan kanopi vegetasi di bawah dan di sekitar pohon sarang diambil dengan
menggunakan Lensa Sigma Hemispherical dengan area cakupan 1800 yang dikoneksikan
dengan Kamera digital full-frame Canon Eos 5D(Rich, 1990). Pengambilan gambar
tutupan kanopi dibagi menjadi dua, tutupan kanopi pohon sarang dan tutupan kanopi
disekitar pohon sarang. Tutupan kanopi pohon sarang diukur dengan mengambil gambar
tutupan tepat dari samping pohon. Sedangkan tutupan kanopi di sekitar pohon sarang
dilakukan dengan membagi pohon sarang menjadi empat kuadran dimana pohon sarang
sebagai pusatnya. Penentuan kuadran tersebut diaplikasikan secara acak, dengan jarak
total masing-masing kuadran adalah 100 meter. Gambar diambil sebanyak dua titik pada
tiap kuadran, masing-masing berada pada jarak 50 meter dan 100 meter dari pohon
sarang. Hasil gambar selanjutnya akan didigitas ke dalam komputer dan dianalisis
menggunakan software GLA 2.0(Frazer, Canham, & Lertzman, 1999). Parameter lain
yang diambil adalah ketinggian (altitude) dengan menggunakan altimeter
Permodelan kesesuaian lokasi situs bersarang dengan GIS
Parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap preferensi bersarang
elang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi kesesuaian tempat bersarang elang
jawa. Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut, kami membuat line transect
sepanjang 4 km (menyesuaikan dan sejajar dengan lebar pulau) sebanyak 10 transect yang
dibuat sejajaruntuk mendeteksi kesesuaian struktur habitat bersarang elang jawa. Setiap
lokasi yang sesuai terdeteksi, kami menandainya dengan menggunakan GPS.
Analisi data
Analis komponen utama atau PCA digunakan untuk mengevaluasi variabel-
variabel yang paling mempengaruhi preferensi elang jawa bersarang. Data-data tersebut
dianalisis menggunakan rotasi varimax. Variabel yang dianggap dominan adalah variabel
yang memiliki skor faktor lebih besar dari 0,5. Uji analisis komponen utama ini dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 17 untuk Windows. Sedangkan untuk
menekspresikan titik-titik lokasi yang sesuai dengan preferensi bersarang elang jawa,
kami menggunakan program Arcview 3.3. Data GPS yang diperoleh berdasarkan hasil
observasi selanjutnya diinput ke dalam peta dasar tematik Nusakambangan yang
diperoleh dari Bakosurtanal.
ASIL DAN PEMBAHASAN
Observasi secara periodik yang dilakukan mulai tahun 2011 hingga 2017
diperoleh 3 (tiga) kali perjumpaan dengan Elang Jawa pada waktu yang berbeda. Elang
Jawa terekam pertama kali di kawasan IUP Holcim Indonesia Cilacap Plant bagian timur
(108°58'22.969"E, 7°44'50.882"S ), ketika kegiatan Monitoring Biodiversitas di kawasan
IUP Holcim Indonesia Cilacap Plant, Nusakambangan. Perjumpaan kedua tercatat di
kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat (108°48'7.698"E, 7°43'1.5"S).
Gambar 7. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) sedang bertengger di Cagar Alam Barat
Nusakambangan
Gambar 8. Sepasang Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Nusakambangan
Berbeda dengan perjumpaan lainnya, pada perjumpaan kedua ini, sepasang Elang
Jawa yang berada di cabang pohon mendatar dengan tinggi sekitar 20 m. Catatan
perjumpaan ini mengindikasikan adanya kemungkinan pembentukan pasangan (pair
formation) dimana tidak menutup kemungkinan terjadinya proses perkawinan dan
reproduksi. Pada pertemuan yang ketiga, satu individu Elang Jawa ditemukan pada lokasi
yang serupa namun di pohon yang berbeda (108°48'7.166"E, 7°43'0.432"S), jarak antar
pohon (tempat perjumpaan sebelumnya) dengan pohon ini sekitar 50 m. Pada tahun 2016,
observasi anekdotal masih mendeteksi keberadaan Elang ini di Nusakambangan tepatnya
di Cagar Alam Nusakambangan Barat, namun rincian data dan titik koordinat tidak
tersedia.
Gambar 9. Peta distribusi Elang Jawa di Nusakambangan mulai dari Tahun 2013
Berdasarkan data waktu perjumpaan (grafik) diketahui bahwa keberadaan Elang
Jawa di Pulau Nusakambangan termasuk data rekaman anekdotal telah mencapai 3 (lima)
tahun. Lokasi pertama kali Elang Jawa terdeteksi adalah di Kawasan IUP Holcim dan 3
(tiga) lokasi lainnya berada di Cagar Alam Nusakambangan Barat. Kami tidak
memastikan apakah Individu Elang Jawa yang ditemukan di IUP Holcim serupa dengan
individu yang teramati di 3 (tiga) titik di Kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat.
Mengacu kepada data ditemukannya sepasang Elang Jawa, maka kami melakukan
observasi di tahun 2017 untuk mendeteksi adanya jejak reproduksi. Observasi yang
dilakukan pada bulan Juli 2017 di wilayah Kalijati, Cagar Alam Nusakambangan Barat
(lokasi terakhir ditemukan pasangan Elang Jawa) tidak ditemukan adanya jejak
reproduksi (seperti: sarang, anakan elang). Pada observasi tersebut bahkan tidak
ditemukan individu Elang Jawa. Dengan demikian, kami tidak dapat melakukan analisis
karakteristik bersarang Elang Jawa di Nusakambangan dan juga tidak dapat memetakan
potensi bersarangnya.
Gambar 10. Peta pertemuan dengan Elang Jawa di Pulau Nusa Kambagan berdasarkan
waktu
Keterangan:
3. Kotak yang diaksir mengindikasikan pertemuan sepasang Elang Jawa
4. Kotak berwarna cokelat mengindikasikan hasil observasi anekdotal dimana data dan titik
koordinat tidak tercatat
Elang Jawa merupakan Elang endemik Jawa yang hanya ditemukan di kawasan
hutan hijau (evergreen forest spesialist). Meningkatnya populasi manusia dan aktivitas
pembangunan di Pulau Jawa menyebakan Elang Jawa hanya dapat ditemukan di sisa-sisa
hutan. Tahun 1999, van Balen, Nijman, & Sözer (1999) mencatat keberadaan Elang Jawa
di 27 lokasi hutan di sepanjang Pulau Jawa. Meningkatnya kegiatan eksplorasi
pengamatan Elang Jawa di wilayah selatan Pulau Jawa (meliputi kawasan yang serupa
dan juga kawasan baru) menunjukkan catatan keberadaan Elang Jawa di 15 lokasi baru,
namun hasil obervasi juga menemukan hilangnya populasi Elang Jawa dari beberapa
lokasi sebelumnya (seperti: Ciwidey, Pangalengan, Danau Pangkalan) (Setiadi,
Rakhman, Nurwatha, Muchtar, & Raharjaningtrah, 2000). Hasil pengamatan terbaru
melaporkan adanya lokasi distribusi baru dari Elang Jawa, yaitu di Kondang Merak,
Malang (Ardiansyah et al., 2015).
Deteksi keberadaan Elang Jawa dalam penelitian ini menjadi catatan baru
mengenai distribusi Elang Jawa di Pulau Jawa mengingat bahwa penelitian sebelumnya
tidak pernah mencatat keberadaan Elang ini di Pulau Nusakambangan (Setiadi et al.,
2000; R Sözer et al., 1998; van Balen et al., 1999) atau bahkan di kawasan konservasi
Jan
uar
i
Feb
ruar
i
Mar
et
Ap
ril
Mei
Jun
i
Juli
Juli
Ag
ust
us
Sep
tem
ber
Ok
tob
er
No
vem
ber
Des
emb
er
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Bulan
Tahun
catatan anedoktal
terdekatnya, yaitu Cagar Alam Pangandaran (Setiadi et al., 2000). Mengingat bahwa
preferensi habitat Elang Jawa adalah hutan primer (Thiollay & Meyburg, 1988) dan
kawasan Nusakambangan memiliki wilayah hutan primer yang tidak cukup luas (sekitar
2, 8 ha menurut Flora dan Fauna Indonesia), maka kemungkinan Elang Jawa tidak
terdeteksi dalam penelitian sebelumnya sangat kecil. Dengan demikian, kami berasumsi
bahwa individu Elang Jawa yang berada di Nusakambangan kemungkinan adalah Elang
Migrasi dari wilayah terdekat (Gunung Slamet; van Balen et al., 1999) atau individu yang
dipelihara oleh masyarakat. Meskipun demikian, tanpa mengacu kepada asal usulnya,
Elang Jawa tersebut diketahui dapat bertahan hidup selama kurang lebih 3 tahun di
Nusakambangan. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi alam Nusakambangan dapat
mendukung kehidupan Elang Jawa dan mungkin dapat pula mendukung reproduksinya,
mengingat bahwa Elang Jawa dilaporkan dapat sukses bereproduksi pada wilayah yang
bahkan kurang dari 20 ha (Setiadi et al., 2000). Penelitian jangka panjang sangat
diperlukan untuk mensensus dan memantau kehidupan serta establisasi Elang Jawa di
Pulau Nusakambangan ini.
Rekaman pengamatan sepasang Elang Jawa di Kalijati membuat kemungkinan
akan adanya proses perkawinan dan reproduksi, meskipun pada kenyataanya bahwa
banyak Elang Jawa yang ditemukan berpasangan (Nijman, 2004) dan diantara pasangan
itu tidak seluruhnya sukses melalukan perkawinan dan reproduksi (personal
communication). Meskipun demikian, rekaman catatan perjumpaan satu individu elang
di lokasi serupa (hanya berjarak 50 meter dari lokasi awal) yang berselang hanya dua
bulan dari catatan sebelumnya memberikan harapan yang cukut kuat akan terjadinya
proses reproduksi.
Resit Sözer & Nijman (1995) dan van Balen et al. (1999) mengungkapkan bahwa
waktu inkubasi yang diperlukan oleh Elang Jawa adalah sekitar dua bulan. Pada saat
inkubasi tersebut, betina relatif menghabiskan seluruh waktu untuk mengeramkan telur
di sarang dan hanya sesekali saja pergi namun dengan lokasi yang tidak jauh dari sarang
(Nijman, van Balen, & Sözer, 2000). Jika asumsi telah terjadi proses reproduksi adalah
benar, maka satu individu yang terekam tersebut merupakan betina yang sedang mencari
makan atau mencari bahan untuk merenovasi sarang. Mengingat bahwa kami tidak
berhasil mengidentifikasi jenis kelamin dan tidak ditemukannya jejak reproduksi saat
observasi terakhir, maka asumsi ini belum dapat dipastikan. Penelitian lebih detail dengan
jangka waktu yang cukup lama sangat diperlukan untuk memastikan asumsi tersebut.
Nijman et al. (2000) telah melakukan studi yang menjelaskan deskripsi
karakteristik sarang Elang Jawa. Data tersebut dapat digunakan sebagian data acuan untuk
memetakan potensi lokasi bersarang Elang Jawa di Pulau Nusakambangan terutama di
Cagar Alam Nusakambangan Barat. Pada penelitian ini, kami belum dapat melakukan
analisis dan memetakan potensi bersarang Elang Jawa di Nusakambangan karena
kurangnya data informasi spasial dan iklim. Data spasial beresolusi tinggi, yaitu LIDAR,
untuk kawasan Nusakambangan tidak ditemukan begitu pula dengan data iklim dan
vegetasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
6. Elang Jawa adalah Elang endemik Jawa yang hanya ditemukan di kawasan hutan
hijau (evergreen forest spesialist). Meningkatnya populasi manusia dan aktivitas
pembangunan di Pulau Jawa menyebabkan Elang Jawa hanya dapat ditemukan di
sisa-sisa hutan.
7. Hasil pengamatan terbaru menunjukkan lokasi distribusi baru dari Elang Jawa,
yaitu di Kondang Merak, Malang. Deteksi keberadaan Elang Jawa dalam
penelitian ini menjadi catatan baru mengingat bahwa preferensi habitat Elang
Jawa adalah hutan primer maka kemungkinan Elang Jawa tidak terdeteksi dalam
penelitian sebelumnya sangat kecil.
8. Elang Jawa yang berada di Nusakambangan kemungkinan adalah Elang Migrasi
dari wilayah terdekat (Gunung Slamet; van Balen et al., 1999) atau individu yang
dipelihara oleh masyarakat.
9. Rekaman pengamatan sepasang Elang Jawa di Kalijati membuat kemungkinan
akan adanya proses perkawinan dan reproduksi.
10. Pada penelitian ini belum dapat dianalisis dan dipetakan potensi bersarang Elang
Jawa di Nusakambangan karena kurangnya data informasi spasial dan iklim.
SARAN
4. Hutan Nusa Kambangan merupakan lokasi migrasi Elang Jawa yang berpotensi
tinggi untuk tempat melakukan reproduksi
5. Hutan Nusa Kambangan harus bebas dari segala bentuk invasi yang berpotensi merusak
kelestarian hutan alamiah.
6. Diperlukan pengamatan lebih lanjut dan berkala untuk memperoleh data spasial
beresolusi tinggi, data iklim dan vegetasi kawasan Nusakambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, M., Pramudita, H. E., Cahyono, H., Hermadhiyanti, W., Arifiantari, R.,
Sa’adah, A., … Diwanata, B. (2015). The Sighting Report Ofjavan Hawk-Eagle
(Nisaetus bartelsi) In The Area Of Kondang Merak, Malang Regency, Indonesia.
KnE Life Sciences, 2(1), 530–532.
Bakaloudis, D. E., Vlachos, C., Papageorgiou, N., & Holloway, G. J. (2001). Nest‐site
habitat selected by Short‐toed Eagles Circaetus gallicus in Dadia Forest
(northeastern Greece). Ibis, 143(4), 391–401.
Devictor, V., Julliard, R., & Jiguet, F. (2008). Distribution of specialist and generalist
species along spatial gradients of habitat disturbance and fragmentation. Oikos,
117(4), 507–514.
Frazer, G. W., Canham, C. D., & Lertzman, K. P. (1999). Gap Light Analyzer (GLA),
Version 2.0: Imaging software to extract canopy structure and gap light
transmission indices from true-colour fisheye photographs, users manual and
program documentation. Simon Fraser University, Burnaby, British Columbia, and
the Institute of Ecosystem Studies, Millbrook, New York, 36.
Gjershaug, J. O., Røv, N., Nygård, T., Prawiradilaga, D. M., Afianto, M. Y., Hapsoro,
S. A., & Supriatna, A. (2004). Home-range size of the Javan Hawk-Eagle
(Spizaetus bartelsi) estimated from direct observations and radiotelemetry. J.
Raptor Res, 38(4), 343–349.
Koops, K., McGrew, W. C., de Vries, H., & Matsuzawa, T. (2012). Nest-building by
chimpanzees (Pan troglodytes verus) at Seringbara, Nimba Mountains:
antipredation, thermoregulation, and antivector hypotheses. International Journal
of Primatology, 33(2), 356–380.
Lee, J. C. (2003). The Cuban Treefrog in Florida. Life History of a Successful
Colonizing Species. Herpetological Review, 34(1), 85.
MacKinnon, J., & Phillips, K. (1993). Field Guide to the Birds of Sumatra, Borneo,
Java and Bali (The Greater Sunda Islands). Oxford (GB): Oxford University Press.
Newton, I. (2003). Speciation and biogeography of birds. Academic Press.
Nijman, V. (2004). Habitat segregation in two congeneric hawk-eagles (Spizaetus
bartelsi and S. cirrhatus) in Java, Indonesia. Journal of Tropical Ecology, 20(1),
105–111.
Nijman, V., & Van Balen, S. B. (2003). Wandering stars: age‐related habitat use and
dispersal of Javan Hawk‐eagles (Spizaetus bartelsi). Journal Für Ornithologie,
144(4), 451–458.
Nijman, V., van Balen, S. B., & Sözer, R. (2000). Breeding biology of Javan hawk-
eagle Spizaetus bartelsi in West Java, Indonesia. Emu, 100(2), 125–132.
Prawiradilaga, D. M. (1999). Elang Jawa Satwa Langka. Seri Pendidikan Konservasi
Keanekaragaman Hayati. Bogor: Biodiversity Conservationa Project [LIPIPHKA-
JICA].
Rich, P. M. (1990). Characterizing plant canopies with hemispherical photographs.
Remote Sensing Reviews, 5(1), 13–29.
Setiadi, A. P., Rakhman, Z., Nurwatha, P. F., Muchtar, M., & Raharjaningtrah, W.
(2000). Status, distribution, population, ecology and conservation Javan
Hawkeagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924 on southern part of west Java.
FFI/BirdLife International/YPAL-HIMIBIO (Bandung: UNPAD).
Sözer, R., & Nijman, V. (1995). Behavioural ecology, distribution and conservation of
the Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Verslagen En
Technische Gegevens, 62(1), 1–122.
Sözer, R., Nijman, V., Setiawan, I., Van Balen, S., Prawiradilaga, D. M., & Subijanto, J.
(1998). Javan Hawk-eagle recovery plan. Bogor: Directorate General of Forest
Protection and Nature Conservation (PHPA)—Indonesian Institute of Sciences
(LIPI)/BirdLife International Indonesia Programme.(Recovery Plan 2).
Stattersfield, A. J., Crosby, M. J., Long, A. J., & Wege, D. C. (2005). Endemic bird
areas of the world: priorities for biodiversity conservation.
Suripto, B. A., & Hamidy, A. (2015). Burung di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah: Keanekaragaman, Adaptasi dan Jenis-Jenis Penting untuk Dilindungi.
Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 13(1), 9–25.
Temple, S. A. (1992). Exotic birds: a growing problem with no easy solution. The Auk,
109(2), 395–397.
Thiollay, J.-M., & Meyburg, B. U. (1988). Forest fragmentation and the conservation of
raptors: a survey on the island of Java. Biological Conservation, 44(4), 229–250.
Tsuyuki, S. (2008). GIS-based modeling of Javan Hawk-Eagle distribution using
logistic and autologistic regression models. Biological Conservation, 141(3), 756–
769.
van Balen, S. B. A. S. (1991). The Java Hawk Eagle Spizaetus bartelsi WWGBP project
report No.1. Birds of Prey Bull, 4, 33–40.
van Balen, S. B. A. S., Nijman, V., & Sözer, R. (1999). Distribution and conservation of
the Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bird Conservation International, 9(4),
333–349.
Lampiran 2. Jadwal Penelitian
No. Tahapan Penelitian Bulan
Maret April Mei Juni Juli Agustus
1 Persiapan Penelitian
2 Penyusunan Instrumen
3 Validasi Instrumen
4 Pengumpulan data
Lapangan
5 Pengolahan data
6 Analisis data
7 Laporan Penelitian
Lampiran 1. Biodata Peneliti
I. BIODATA
1 Name Dr. Rini Puspitaningrum, M.Biomed
2 Position 1. Head of Research Center of UNJ for
science technology and sport science
2. Internal research reviewer UNJ for
Kemenristekdik
3. Head of Laboratory of Biochemistry and
Molecular Biology
3 NIP 196810042001122001
4 NIDN 0004106805
5 Place of Birth Jakarta, 4 Oktober 1968
6 Home address Patria Jaya Blok B1/26 Jatirahayu Pondok
Gede 17414
7 Cell mobile +62.81932681013
8 Alamat Kantor Gedung Kihajar Dewantara Lantai 7. Jl.
Rawamangun Muka Rawamangun Jakarta
13220 Indonesia
9 Telp and Fac. (Office) + 62 21 4890865
10 Email address rini_puspitaningrum@yahoo.com;
rini_puspitaningrum@unj.ac.id
riniunj@gmail.com
11 Subjects Biochemistry (3SKS); Genetics (4SKS);
Biology Cell Metabolism (4SKS);
Enzimology (2SKS);PHP
(2SKS);Seminar Biology (2SKS); Biology
(2SKS); Genetic Molecular (4SKS);
BioInformatic (2SKS), Bioinformatic
(Transkriptomic, Metabolomic,
Peroteomic - 2SKS)
II. PENDIDIKAN :
SSi : Fakultas Biologi, Universitas Nasional : Immunology (1993)
MBiomed : Ilmu Biomedik : Biokimia & Biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (1998).
Doktoral : Ilmu Biomedik : Biokimia & Biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (2010)
Doctoral SandwichPrograme :BiologicalSciences – University of Liverpool – UK
(2008 –2009)
Post DocResearchStay :Faculty of Medicine – University of Giessen –
Germany:2011 – 2012; 2013.
PstDocResearchStay :Faculty of Medicine – University of Yamaguchi – Japan
: 2011 – 2012; 2013.
III. AWARDS
1. Scholar Funding DIKTI BPPS 2015 - Doktoral
2. Research Grant Doktoral Sandwich like – DIKTI 2008 – 2009
3. Collaboration research abroad – Japan 2011: in kind
4. Collaboration research abroad – Germany 2011 – 2012 : in kind
5. Research Grant DIKNAS for Student Ecxellent 2011
6. BestResearcher I MRU FKUI 2010
7. Best Poster II MRU FKUI 2010
8. Grant of Post Doc Net Working PAR DIKTI 2011- 2012
9. Grant of Post Doc Research Stay DAAD 2011 – 2012
10. Collabortaion research abroad – Germany 2013
11. Collabortaion research abroad – Germany 2016
III EXPERIENCES
Year Title of research Source of Research grant
2017 Polymorphism gen ALAD dan hemoglobin anak di
Jakarta Barat
Research Grant DIKTI Rp. 75.000.000,
collaborate to University of Yamaguchi –
Japan – In kind
2017 Polymorphism Mannose Binding Lectin as a
candidate immunotherapy for dengue infection on
Indonesian People
Research Grant DIKTI Rp. 75.000.000,
collaborate to University of Yamaguchi –
Japan – In kind
2016 Polymorphism Mannose Binding Lectin as a
candidate immunotherapy for dengue infection on
Indonesian People
Research Grant DIKTI Rp. 180.000.000,
collaborate to University of JLU Giessen
Germany in kind
2016 Determination of Myoglobin fragment gene from
fishes
Research grant Faculty - UNJ
2016 Analisis polimorfisme gen Luciferase of buterfly Research grant Faculty - UNJ
2015 Analisis polimorfisme gen ALAD pada anak PAUD
Ceria – FIP UNJ
Dana Mandiri: PSL and KPM UNJ
2015 Determinasi dan kombinasi susunan isozim enzim
laktat dehidrogenase Bacillus sp. Strain-BG sebagai
perangkat penting identitas agen bakteri kompos
unggulan
HibahBersaing DIKTI. Rp.
Rp. 100.000.000
2015 Analisis Polimorfisme Gen Mannose Binding Lectin
(MBL-2) Asal Indonesia
Research Grant from FMIPA _ UNJ. Rp.
10.000.000
2015 Identifikasi Molekuler Gen Pengkode Protein Lektin
Pada Kacang Kedelai Hitam (Glycine Max (L.)
Merill).
Research Grant from FMIPA _ UNJ. Rp.
10.000.000
2014 Analyisispolymorpihsm MBL element promoter
gene in patiens of Dengue
Collaborate to UIN - Jakarta.
Rp. 100.000.000
2014 Analysis of Myoglobin expression and its
regulatory in Human Stem Cell
DIKTI - Rp. 90.000.000
2013 Analysis of Myoglobin expression and its
regulatory in Rattusnorvegicus hypoxic 1styear
DIKTI & Collaborate to University of
Giessen – Germany Rp. 100.000.000+ 1250
Euro
2013 Identification of D-Loop and ND1 point mutation of
DMT2 patiensGorontalonesse and Javaness
BKLN DIKNAS & Collaborate to University
of Yamaguchi – Japan. Rp. 60.000.000
2012 Identification of point mutation of DMT2
patiensGorontalonesse and Javaness
BKLN DIKNAS & Collaborate to University
of Yamaguchi – Japan. Rp. 75.000.000
2011 Analysis Proteomic of Myoglobin protein in
Hypoxic Rattusnovergicus Lung tissue
PAR C DIKTI, DAAD & Collaborate to
University of Giessen – German Rp.
75.000.000 + 2500EURO
2011 Amplification of Jalak Bali Birds D-Loop Research Grant of Hibah FMIPA UNJ – Rp.
7.000.000
2011 Analysis ofvariation of mitochondrial mutation
sintheSundanesse tribe with type II Diabetic.
BKLN DIKNAS and PNBP
KompetensiLemlit UNJ – Rp. 10.000.000,
Collaborate to University of Yamaguchi –
Japan. Rp.75.000.000
2010 Analysis ofHIF expression in patients with systemic
lupus erithematosushemolyticanemia1(SLEH 1).
PNBP Lemlit UNJ – Rp. 10.000.000
2010 Analysis of Chromosome11q14 gene SLEH1 Lupus
Patient: Beginnings Through Molecular Analysis
Primeroligo nucleotide design SLEH 1
Research Grant of Hibah FMIPA UNJ – Rp.
6.000.000
2009 Analysis of myoglobin properties in non-muscular
tissue hatchling Cheloniamydas
DIKTI Stranas batch IV - 70.000.000 ,
Sandwich Like Program & Collaborate to
University of Liverpool - England. Rp.
97.000.000
2009 Isolation of antibodies anti - green sea turtle
(Chelonia mydas) hemoglobin without Freund
adjuvant
Research Grant of HibahkompetisiLemlit UNJ
– Rp. 17.000.000
OTHER TOPIC RESEARCH (IN EDUCATION) Year Title of research Source of Research grant
2015 Analisis Kemandirian Ekonomi Wanita Nelayan
Dalam Upaya Peningkatan Akses Terhadap
Pendanaan dan Pasar
Kementrian Pemberdayaan, Perlindungan
Anak dan Perempuan
Rp. 30.000.000,00-
2014 Penerapan Program Remedial Dalam Pembelajaran
Biologi di Sekolah Menengah Atas
Dana Mandiri
2015 Analisis Konsep Struktur Kognitif Calon Guru
Biologi Materi Sistem Peredaran Darah di Tingkat
Universitas di Indonesia
Dana Mandiri
IV PUBLICATIONS
Jakarta, Februari 2017
Dr. Rini Puspitaningrum, M.Biomed
Authors Year of
publicati
on
Tittle Journal Volume
and pages
Amelia. R., Dachlan. YP.,
Susanto, AB,
Puspitaningrum, R.
2015 presencPresence of Manosa Binding Lectin on
Dengue Infection
Asia Jr. of
Microbiol.
Biotech. Env.Sc.
in press
YULILINA RETNO
DEWAHRANI, CHRIS
ADHIYANTO ,
WIENA FUTY
AND RINI
PUSPITANINGRUM
2015 SCREENING OF HEMOGLOBIN E
IN STUDENTS OF BIOLOGY
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
USING HYBRI-PROBE
GENOTYPE METHOD
Asia Jr. of
Microbiol.
Biotech. Env.Sc.
Vol 17 no.
(2):
2015:379-
385
Sartono M, Novianto D,
Ulfa E, Puspitaningrum R
2015 Crude Extract Mulberry (Morus alba
L.) Leaves Improves Urine Creatinine
Levels and Histology Diabetic Rat
Kidney.
Asia Jr. of
Microbiol.
Biotech. Env.Sc.
Vol 17 no.
(2):
2015:451-
459
Rini Puspitaningrum, et al 2014 MUTATION OF MT ND1 GENE IN
20 TYPE 2 DIABETES MELITUS
GORONTALONESE AND
JAVANESE PATIENTS
HAYATI journal
Biological
Sciences
Rini Puspitaningrum, et al 2014 Analysis of Hypervariable Region 1D-
Loop mtDNA Mutation in Diabetes
Mellitus Type 2 Patients.
Adv. Sci. Eng.
Med.
6, 114-118.
2014
Mohamad Sadikin Rini
Puspitaningrum, Septelia
Inawati Wanandi,
Rondang Roemiati,
2012 Isolation and characterize of turtle
hatch Cheloniamydas myoglobin.
HAYATI journal
Biological
Sciences
19 (2): 60-
6
Rini Puspitaningrum,
Septelia Inawati Wanandi,
Rondang Roemiati,
Mohamad Sadikin
2011 Turtle hatch Cheloniamydasblood
gasses analysis in different field
temperature
HAYATI journal
Biological
Sciences
18(3):
147-157
Rini Puspitaningrum,
SepteliaInawati Wanandi,
Rondang Roemiati,
Mohamad Sadikin, Daryl
Robert Williams, Andrew
Robert Cossins
2010 Myoglobin expression in
Cheloniamydas brain, heart and liver
tissues
HAYATI journal
Biological
Sciences
17 (3):
110-114
Rini Puspitaningrum 2009 Captiveturtlesandbiologyresearch. It
takesaspecialobservationtoobtainthe
state of
naturewherehatchlingscanadaptivetober
eleasedin the wild.
TROPIKA
Conservation
International
Indonesia
13(4) :44
NIP. 19681004200112
top related