copy sindrom nefrotik
Post on 05-Aug-2015
71 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SINDROM NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
Kelainan sistem sawar (barrier) selektif muatan ataupun ukuran pada
dinding kapiler glomerolus dalam fungsinya memfiltrasi protein plasma yang
jumlahnya berlebihan dapat terus berlanjut sebagai akibat variasi proses penyakit,
termasuk penyakit imunologik, cedera toksis, kelainan metabolik, defek
biokimiawi, dan penyakit vaskular. Oleh karena itu, sindrom nefrotik merupakan
tahap akhir yang umum terjadi akibat berbagai proses penyakit yang mengubah
keadaan permiabilitas dinding kapiler glomerulus.(harison)
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis dan terjadi pada segala usia dan lebih banyak menyerang laki-
laki, serta beberapa jenis sindrom nefrotik sifatnya diturunkan. Sindrom nefrotik
dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan elektrostatik maupun struktur membrana basalais glomerulus.
Penyakit ini akan berkembang menjadi gagal ginjal total dalam waktu 3—4 bulan.
Kejadian SN idiopatik pada anak-anak 2-3 kasus/100.000 anak/tahun, sedangkan
pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. (2,ipd,SN,3)
Penyakit ini merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh
proteinuri masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari atau 50
mg/kg berat badan/hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 gr/dl), edema,
hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoaguabilitas. Pada perjalanan awal penyakit
ini tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan
tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum
rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuri juga berkontribusi
terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormon
tiroid juga sering dijumpai pada SN. Pada sebagian besar pasien dengan SN,
1
glomerulus mungkin saja masih intak atau sebagian saja yang terganggu, fungsi
ginjal juga masih normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi
penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberaapa episode, SN dapat sembuh
sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, namun
sebagian lainnya dapat berkembang menjadi kronik.(ipd, 2,45)
II. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)
dan sekunder. SN primer berhubungan dengan kelainan primer glomerolus dengan
penyebab spesifik tidak dapat diketahumelalui evaluasi dan SN sekunder
disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini, gangguan imunitas yang diperantarai
oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya
peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta
peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan
kelainan imunitas yang diperantarai sel T.(ipd,2,5)
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik
2
Glomerulonefritis Primer:
- GN Lesi Minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis Fokal (GSF)
- GN Membranosa (GNMN)
- GN Membranoproliperatif (GNMP)
- GN Proliferatif lain
Glomerulonefritis Sekunder Akibat:
Infeksi
- HIV, hepatitis B virus dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara dan kolon, limfoma Hodgkin, multipel
myeloma, dan karsinoma ginjal
Penyakit jaringan konektif
Lupus eritematous sistemik, AR, MCTD (Mixed Connective Tissue Disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, pesisilinamin, probenesid, air
raksa, Captopril, heroin
Lain-lain
Diabetes Mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks
Vesikoureter
Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik
Diambil dari Kepustakaan (1pd)
Di klinik, 75-80% kasus SN yang ditemukan merupakan SN primer. Pada
anak-anak kurang dari 16 tahun, 75-85% kasus yang paling ditemukan adalah
adalah GN Lesi Minimal dengan umur rata-rata 2,5 tahun dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan 2:1. Pada orang dewasa, 30-50% kasus yang paling
banyak ditemukan adalah GN membranosa dengan umur rata-rata 30-50 tahun
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang sama pada kasus anak-anak.
3
Sindrom nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa terutama terjadi pada
dewasa dan pada 50% penderita yang berusia di atas 15 tahun. (2
III. PATOFISIOLOGI
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan
pedoman pengobaatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.(2,3)
III.1 Proteinuri
Pada individu sehat, dinding kapiler glomerulus berfungsi sebagai sawar
untuk menyingkirkan protein agar tidak memasuki ruangan urinarius melalui
diskriminasi ukuran dan muatan listrik. Orang dewasa normal dan sehat
mengekskresi sedikitn protein dalam kemih (± 150 mg/hari) yang terutama terdiri
dari albumin dan protein Tamm-Horsfall. Yang terakhir ini disekresi oleh tubulus
ginjal. Dengan adanya gangguan glomerulus, ukuran dan muatan sawar selektif
rusak.(6,patof)
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri glomerular merupakan
hasil dari lolosnya protein plasma melalui sawar (barrier) filtrasi glomerulus,
sedangkan proteinuri tubular merupakan hasil dari kegagalan reabsorbsi tubular
terhadap plasma protein yang berukuran kecil yang secara normal dapat terfiltrasi
dan diabsorbsi oleh epitel tubular. Proteinuri tubular jarang mencapai 2 gram per
24 jam, dan oleh karena itu jarang menyebabkan sindrom nefrotik. Sehingga
proteinuri sebagian besar berasal dari proteinuri glomerular dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Kerusakan glomerulus
menyebabkan peningkatan permiabilitas glomerulus terhadap protein plasma, dan
protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin.(2,3).
Dalam keadaan normal membran basalis glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme tersebut
ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG. Umumnya molekul dengan radius <17 Ao dapat
melalui filter glomerulus, begitupun sebaliknya pada molekul dengan radius
4
>44Ao. Albumin dengan radius molekul 36 Ao mempunyai fraksi bersihan sekitar
10% laju filtrasi glomerulis (LFG). Dinding kapiler glomerulus juga mempunyai
muatan negatif atau anionik pada permukaan endotelnya hingga mencapai seluruh
membrana basalis glomerulus dan lapisan sel epitelnya, sehingga dinding kapiler
dapat menolak muatan listrik positif dari protein plasma. Jika glomerulus intak,
maka hanya albumin yang dapat lolos melalui filtrrasi glomerulus. Protein
diekskresikan 150 mg/hari dalam urin. Proteinuri pada SN terutama terdiri dari
proteinuri glomerular. Sedangkan proteinuri tubulus tidak berperan penting,
hanya turut memperberat derajat proteinuri.(3,6,ipd)
Proteinuri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila yang
keluar terdiri dari molekul kecil, misalnya albumin. Sedangkan non-selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin.
(S,ipd)
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui
membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier,
yakni suatu polyanionic glycosaminoglycan dan size selective barrier. Pada GN
Lesi minimal, proteinuri disebabkan oleh hilangnya charge selectivity, sedangkan
pada GN membranosa, proteinuri disebabkan oleh hilangnya size selectivity. Pada
SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuri sselektif. Pemeriksaan
elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan
terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat
proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan
albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permiabilitas MBG
disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut
menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga
permiabilitasnya meningkat. Kompleks C5b-9nyang terbentuk pada GNMN akan
meningkatkan permiabilitas MBG walaupun mekanisme yang pasti belum
diketahui. (2,S,ipd)
III.2 Hipoalbuminemia
5
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin dan usus (protein loosing
enterophaty). Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin
melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin namun tidak memadai
untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin sehingga keadaan tersebut akan
diikuti oleh keadaan hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal
dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini
akan mengurangi filtrasi natrium dari glomerulus. Retensi natrium dan air yang
berhubungan dengan sistem Renin-Angiotensin Aldosteron (RAA) dapat terjadi
bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme
sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang
mengandung anatgonis aldosteron. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi
dan katabolisme albumin oelh tubulus proksimal.(2,S,ipd)
III.4 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill and overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan oleh penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan
interstitium dan terjadilah edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma, terjadilah hipovolemi dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan
katekolamin plasma, serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP).
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga
akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut. Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma,
6
meningkatkan laju filtrasi glomerulus, dan ekskresi fraksional Natrim Clorida dan
air yang menyebabkan edema berkurang. (2)(9, S)
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Teori ini menjelaskan bahwa
retensi natrium dan air adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema akibat teraktifasinya sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA)
terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-
sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu, juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik
dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler
glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan
desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang
rendah serta peningkatan ANP.(9, S,8)
Beberapa teori peneliti berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya
disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Dijelaskan
bahwa volume plasma menurun secara bermaksa pada saat pembentukan edema
dan meningkat selama fase diuresis. Faktor asupan natrium, efek diuretik atau
terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan
dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih
berperan.(2)
III.4 Hiperlipidemi dan Lipiduria
Kolesterol terikat pada plasma dan merupakan konstituen dari lipoprotein
yang terdiri dari high dan low density (HDL dan LDL). Kolesterol serum, Very
Low Density Lipoprotein (VLDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida meningkat, sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Mekanisme hiperlipoproteinemia pada sindrom
nefrotik tidak diketahui, diduga berhubungan dengan mobilisasi lemak tubuh
untuk sintesis protein setelah terjadi ketidakseimbangan protein, sehingga terjadi
peningkatan sintesis VLDL di hepar, sebuah lipoprotein yang selanjutnya
7
dikonversi menjadi LDL, dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron, dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. Pengalaman klinis membuktikan
bahwa hiperlipoproteinemia dapat dicegah atau diatasi sementara dengan infus
albumin, dan akan meninggi lagi selama masih terdapat kelainan ginjal. (2,5,S,3)
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permiabel.(2,4,ipd)
III.5 Hiperkoagulabilitas
Pasien dengan serum albumin kurang dari 2 gr/dl akan mengalami
hiperkoagulopati. Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya
faktor V, VII, VIII, X, trombosit dan agregasi trombosit, fibrinogen, perubahan
fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI). Semua hal
tersebut dapat meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh
darah (trombosis), terutama pada vena ginjal.(2, SN,9)\
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks. Gangguan koagulasi
yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan
protein melalui urin.(ipd)
III.6 Kerentanan terhadap Infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A akibat kehilangan melalui
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul, seperti Streptococcus pneumonia,
Kliebsella, dan Haemophillus. Selain itu, juga sering terjadi infeksi oportunistik
(infeksi bakteri yang dalam keadaan normal tidak berbahaya). Pada SN juga
terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Semua kejadian tersebut
menyebabkan terjadinya bronkopneumoni dan peritonitis.(2, SN)
Selain itu, kerentanan terhadap infeksi diakibatkan kekurangan gizi
(misalnya glukosa) yang hilang ke dalam air kemih dan juga karena terdapatnya
albumin dalam serum yang memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri.
8
Pertumbuhan juga dapat terhambat karena kalsium akan diserap dari tulang.
Rambut dan kuku menjadi rapuh sehingga bisa terjadi kerontokan rambut dan
pada kuku terbentuk garis horizontal putih yang penyebabnya tidak diketahui.
(sn,S,4)
IV. DIAGNOSIS
V.1 Gambaran Klinis
Secara umum, gejala awal pada pasien SN berupa berkurangnya nafsu
makan, edema dan asites akibat hipoalbuminemia, sesak napas akibat efusi pleura,
nyeri perut, air kemih berbusa hingga berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal
karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. (SN,?)
Sembab merupakan keluhan utama dan tidak jarang merupakan satu-
satunya keluhan pada SN. Edema perifer terjadi jika konsentrasi albumin serum
kurang dari 3 gr/dl. Lokasi sembab biasanya mengenai kelopak mata, tungkai,
perut, thoraks, dan genital. Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-
pindah, pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah berjalan
cairan akan tertimbun di pergelangan kaki. Setelah beberapa minggu atau bulan
dan albumin serum telah kurang dari 2 gr%, sembab tersebut akan mengenai
seluruh tubuh, yang dinamakan anasarka dan akan menetap. Adapun pengkisutan
otot dapat tertutupi oleh pembengkakan, dan tekanan darah dapat rendah, normal
ataupun tinggi. (9,S)(SN)
Pasien-pasien sering mengeluh sesak nafas akibat edema paru, efusi
pleura, dan penekanan diafragma akibat asites. Selain itu, pasien juga sering
mengalami kaki terasa berat dan dingin, dan tidak jarang juga ditemukan diare.
Jika hal ini berlangsung lama, akan muncul tanda-tanda malnutrisi seperti
perubahan-perubahan rambut dan kulit, pembesaran kelenjar parotis, garis
Meurecke pada kuku.(5,S)
Otot-otot akan mengalami atrofi terurtama otot skelet (muscle wasting)
akibat ketidakseimbangan nitrogen ataupun akibat efek samping pemberian
kortikosteroid jangkan panjang. Otot-otot yang mengalami atrofi tersebut akan
semakin nyata bila sembab akan hilang. Pada beberapa pasien juga tidak jarang
9
datang dengan keluhan yang menyerupai akut abdomen, yakni sakit perut hebat,
mual muntah,dan disertai dinding perut yang sangat tegang. Keluhan demikian
dinamakan nephrotic crisis. Pada laparotomi hanya ditemukan cairan asites steril
dan serat-serat fibrin. Sindom nefrotik sangat peka terhadap infeksi sekunder
terutama infeksi saluran nafas (pnuemonia) dan saluran kemih (pielonefritis).(S)
Pada pemerikasaan fisis ditemukan juga anemi ringan, pembesaran
kelenjar parotis, dan struma difussa non-toksik. Hipertensi berat dengan atau
tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom nefrotik tetapi mempunyai
hubungan dengan atau tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom nefrotik
tetapi mempunyai hubungan dengan etiologi dan perubahan-perubhan
histopatologi ginjal. Pada pasien-pasien glomerulopati lesi minimal (GLM) jarang
ditemukan hipertensi. Pada glomerulopati membranous (GM) hipertensi
ditemukan kira-kira 50%. Hipertensi lebih sering ditemukan (75%( bila sindrom
nefrotik mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis kronik, lupus nefritis,
dan glomerulo-sklerosis ionterkapiler pada diabetes mellitus.(S)
V.2. Laboratorium
V.2.I Urinalisis
Proteinuri biasanya dideteksi pada urinalisis rutin. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. Pemeriksaan yang paling sering dan mudah dilakukan
adalah dengan cara dipstick yang bermanfaat untuk melihat ada tidaknya
proteinuri. Tes tersebut akan bernialai positif bila total ekskresi albumin lebih
dari 300-500 mg/dl terlebih pada nilai yang +3 (3 gr/dl) atau +4 (>20gr/dl), tetapi
pada nilai intermediate, angka positif palsunya mencapai 50% karena tidak
sensitif untuk proteinuri. Pada wanita sering didapatkan positif palsu akibat
kontaminasi kemih dengan sekret vagina.(patof,SN)
Protein urin 24 jam adalah baku emas untuk pengukuran nilai proteinuri,
tetapi cara ini tidak praktis terutama pada keadaan pre-eklampsi yang memerlukan
hasil segera mungkin. Yang paling baik adalah dengan menggunakan alat
urinalisa otomatis. Bila asal protein tidak jelas, dapat dilakukan elektroforesis
protein urin. Bila albumin lebih dari 70%, maka sumbernya adalah glomerulus.
10
Selain itu, pada pemerikasaan elektrolit urin dapat diketahui kadar natrium yang
rendah dan kadar kalium yang tinggi.(SN,6,8)
2.2 Sedimen Urin
Urin mengandung benda-benda lemak dan kolesterol ester, terlihat sebagai oval
fat bodies atau maltese cross bodies dengan sinar polarisasi. Hematuri
mikroskopik disertai silinder eritrosit sering ditemukan pada semua bentuk
glomerulonefritis yang menyebabkan SN.(6)
2.3 Faal Ginjal
Pada stadium awal faal ginjal masih normal, masih sanggup
mengeksresikan urea, kreatinin dan hasil-hasil metabolisme protein lainnya. Bila
SN telah berjalan lama dan menetap, baru terdapat gangguan faal ginjal, biasanya
telah terdapat kerusakan progresif glomerulus.(6)
2.4 Pemeriksaan Darah
Kenaikan lemak darah sudah lama diketahui pada SN dan dapat
merupakan indikator hiperlipoproteinemi pasca sindrom nefrotik.. Kenaikan
kolesterol total serum dapat mencapai 400-600 mg%, trigliserida serum 2—3
gram%, dan lemak total 2-3% bahkan dapat mencapai 10 kali dari konsentrasi
normal, adapun HDL dapat normal atau menurun. Pada umumnya terdapat
hubungan terbalik antara kadar albumin serum dengan kadar kolesterol total
serum, yakni penurunan kadar albumin serum disertai kenaikan kadar kolesterol
total serum. Sindrom nefrotik yang tidak disertai hiperkolesterolemia dinamakan
pseudo-nephrotic syndrome, biasanya ditemukan pada lupus eritematous sistemik
atau telah jatuh pada fase gagal ginjal..Pada pemeriksaan darah rutin dapat
ditemukan anemia, sedangkan faktor pembekuan dapat menurun atau meningkat.
(SN,6,8)
2.5 Elektroforesis Serum Protein
Penurunan kadar albumin terutama menyebabkan hipoproteinemi.
Globulin serum cenderung normal atau sedikit meninggi. Proteinuri non selektif
dan gamma glonulin dapat lolos melalui urin jika glomerulus rusak berat. Gamma
globulin sering kali meninngi, juga beta globulin dan fibrinogen. Jika pengobatan
adekuat, maka semua fraksi tersebut akan kembali normal(6).
11
2.6 Biopsi Ginjal
Bipso ginjal merupakan salah satu teknik diagnostik terpenting yang telah
berkembang selama beberapa abad terakhir. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
mengetahui penyebab SN dan mengelompokkan kerusakan ginjal yang khas,
menentukan jenis terapi terutama peranan steroid, serta menentukan prognosis
penyakit.(SN,6,patof)
Indikasi untukuntuk melakukan biopsi oerkutaneus tersebut, diantaranya
GGA atau GGK yang tidak jelas, sindrom nefritik akut, proteinuri dan hematuri
yang tidak jelas penyebabnya, mengidentifikkasi jenis lesi untuk menentukan
jenis terapi, penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelainan ginjal seperti
SLE untuk menentukan keterlibatan ginjal, suspek terjadi reaksi transplantasi.(9)
Dari pemerikasaan histopatologi ini dapat dibedakan jenis sindrom
nefrotik berdasarkan etiologinya, terutama SN primer, seperti glomerulopati lesi
minimal (GNLM), glomerulopati lesi membranous (GLM), glomerulosklerosis
lokal (GFS), glomerulopati lesi proliferatif (GLP), glomerulopati lesi membrano-
proliferatif (GLMP), dan glomerulopati mesangiokapiler (GMK). (S)
V. DIAGNOSIS BANDING
Gejala dan tanda khas dari sindrom nefroti adalah edema. Edema dapat
disebabkan oleh banyak hal, yakni: (8,? Nda ada nda prlu)
a. Tekanan hidrostatik kapiler meningkat [pada gagal jantung, sirosis hepatis
dan retensi natrium akibat penyakit ginjal atau obat-obatan, kehamilan, dan
edema idiopatik.
b. Hipoalbuminemia yang disebabkan oleh kurangnya sintesis protein yang
terjadi pada kwasiorkor dan penyakit hati.
c. Peningkatan permiabilitas kapiler yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis,
reaksi laregi, trauma, ataupun sindrom distress nafas pada dewasa.
d. Obstruksi limfe atau peningkatan tekanan onkotik interstisial, seperti
pembesaran limfe nodus dengan atau tanpa hipotiroidisme.
VI. PENATALAKSANAAN
12
VII.1 Tindakan Umum
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal
atau penyakit penyabab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan
proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi, serta mencegah dan mengatasi
penyulit. (SN,s)
Penderita dengan edema anasarka berat harus dirawat inap dan istirahat di
tempat tidur untuk mengurangi proteinuri. Mobilisasi otot-otot penting untuk
mencegah atrofi otot ekstremitas. Penderita edema ringan cukup rawat jalan dan
mengurangi mobilisasi aktif untuk mencegah proteinuri ortostatik.(6)
VII.2 Diet
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandu ng protein dan kalium
dalam jumlah yang cukup disertai lemak jenuh dan natrium yang rendah untuk
mengkompensasi kehilangan protein melalui urin. Diet untuk pasien SN adalah 35
kal/kg berat badan/hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet
protein normal 0,8—1 gram/kg berat badan/hari. Girdano dkk memberikan diet
protein 0,6 gram/kg berat badan/ hari ditambah dengan jumlah gram protein
sesuai dengan proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah
meningkat, dan kadar fibrinogen menurun.(Sn,2,6)
Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam. Bila sembab tidak
berat pembatasan konsumsi garam dapur tidak perlu ketat. Penderita dilarang
makan ikan asin, telur asin, kecap asin, maupun makanan kaleng (1—2 gram
Natrium/hari). Untuk penderita edema anasarka dilakukan restriksi garam ketat 10
mEq/hari.(SN,6)
VII.3 Diuretik
Pembatasan garam hendaknya disertai dengan diuretik (furosemid 40
mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi loop diuretik atau
Potassium sparing diuretic (Spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi
resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton).
(SN,2,9)
Resistensi terhadap diuretik bersifat multifaktoral. Diduga
hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat
13
kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme
utama resistensi ini. Pada pasien demikian, dapat diberikan infus salt-poor human
albumin. Terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju
filtrasi glomerulus dan aliran darah, serta ekskresi Natrium. Namun demikian,
infus albumin ini masih diragukan sefektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan
edema paru pada pasien hipervolemi.(2)
VII.4 Kortikosteroid
Jika penyebab SN tidak diketahui secara pasti, maka diberikan
kortikosteroid dan obat-obatan yang menekan sistem kekebalan. SN lesi minimal
dan SN membranosa adalah kelainan yang memberikan respon yang baik terhadap
terapi kortokosteroid dengan atau tanpa obat sitotoksik. Schieppati dan kawan
menemukan bahwa pada kebanyakan pasien SN membranosa idiopatik terapi
simptomatik fungsi ginjal lebih baik untuk jangka waktu yang lama dan dapat
sembuh spontan. Oleh sebab itu, mereka tidak mendukung pemakaian
glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini. Penelitian lain
menemukan bahwa glomerulosklerosis fokal segmental hampir 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.(5,s)
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya Prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan, jika relaps terapi dapat
diulangi. Refimen lain pada orang dewasa adalah prednison atau prednisolon 1-
1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1
hari selama 4 minggu berikutnya. Hampir 90% pasien akan remisi bila terapi
diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami
kekambuhan setelah kortokosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100
mg/48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai
200 mg/h48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga ≤2 gram per
24 jam, atau sampai terapi dianggap tidak memberikan manfaat. Pada anak-anak
diberikan Prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan
14
selama 48 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4
minggu. Respon klinis terhadap kortokosteroid dapat dibagi menjadi:
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN lesi
minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% kasus SN membanosa, dan 20-
40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping
pemakaian kortikosteroid jangka panjang, diantaranya nekrosis aseptik, katarak,
osteoporosis, hipertensi, dan diabetes mellitus.(2)
VII.5 ACE-Inhibitor, OAINS dan ARB
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk
mengurang proteinuri digunakan terapi asimptomatik dengan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI), misal Captopril atau Enalapril dosis rendah,
dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-steroid
(OAINS), misal Indometasin 3x50 mg.
Selain berfungsi sebagai antihipertensi, ACEI membantu mengurangi
ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler
glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek
antiproteinuri obat tersebut berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat
dihentikan). Angiotensin Receptor Blocker (ARB) ternyata juga dapat mengurangi
proteinuri dengan memperbaiki hemodinamik intrarenal, menghambat inflamasi
dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan dan
adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACE dan
ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis
perimer dibandingkan ACEI atau ARB saja. Namun obat tersebut tidak dapat
merubah kelainan primer glomerulus.(2)
OAINS dapat digunakan pada pasien SN membranosa dan
glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal
tersebut menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler
glomerulus, dan mengurang proteinuri hingga 75%. Selain itu, OANS dapat
mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic, dan mencegah agregasi
tombosit. Namun demikian, penting diperhatikan bahwa OAINS dapat
15
menyebabkan oenurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat
tersebut tidak bolah diberikan jika klirens kreatinin <50 ml/menit.
VII.6 Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan salah satu alkylating agent dan golongan
imunosupresif yang sangat poten. Pada pasien GNLM yang sering relaps atau
resisten terhadap dengan kortikosteroid dapat diberikan terapi lain dengan
Siklofosfamid atau Klorambusil. Indikasi laiannya dari siklofosfamid adalah
kambuh berulang (frequent relapse) dan tergantung kortikosteroid, dan timbul
efek samping dari kortikosteroid. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama
daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3mg/kg berat
badan/hari selama 8 minggu. Efek samping Siklofosfamid adalah depresi sumsum
tulang, inksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas baik wanita maupun pria
teruratma pada pemberian lebih dari 6 bulan atau dosis >200mg/kg berat badan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 01-0,2 mg.kg berat badan/hari selama
8 minggu. Efek samping Klorambusil adalah azoozpermia dan agranulositosis.
Ponticelli dan kawan-kawan mengemukakan bahwa pada SN membranosa
idiopatik, kombinasi Metilprednisolon dan Klorambusil selama 6 bulan
menginduksi temisi lebiah awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal
dibandingkan dengan Metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang
sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini sudah tidak bermakna lagi).
Regimen yang digunakan adalah Metilprednisolon 1 gr/hari intravena selama 3
hari, lalu 0,4 mg/kg berat badan peroral selama 27 hari diikuti Klorambusil 0,2
mg/kg berat badan selang 1 hari selama 1 bulan berselang-seling.(6,?)
Terapi lain terapi SN membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg berat
badan/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan
(maksimal 6 bulan). Levamisol merupakan suatu obat cacing yang dapat pula
digunakan untuk terapi SN lesi minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5 mg/kg
berat badan tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang
terjadi adalah netropeni, trombositopeni, dan skin rash.
VII.7 Siklosporin
16
Siklorporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah pemberian
siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian
kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kg berat badan/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun
(setelah 6 bulan dosis siturunkan 25% setian 2 bulan). Siklosporin A dapat juga
dikombinasikan sengan prednisolon pada kasus Snyang gagal dengan kombinasi
terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasia gingiva, hipertrikosis,
hiperurisemi, hipertensi, dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti
efektivitasnya adalah azatioprim 2-2,5 mg/kg berat badan/hari selama 12 bulan.
VII.8 Mycophenolate Mofetil (MMF)
Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunosupresan saat
ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yakni mycophenolate mofetil
(MMF) dengan dosis 2 x (0,5—1) gram. Efek obat ini yakni menghambat
proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B
dan ekspresi molekul adhesi, serta menghambat proliferasi sel otot polos
pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi
histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8%.
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan resiko terjadinya
aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan hidroxymethyl
ghutaryl A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma.
Obat golongan ini paling efektif dengan efek samping yang minimal. Gemfibrozil,
bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserida dan sedikit
menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat menyebabkan toksisitas pada kadar
yang biasa, hal ini disebabkan kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar
kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida.
Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lelebih efektif jika
dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena
efeknya pada absorbsi vitamnin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin
D pada SN.
VII.9 Anti Agregasi Trombosit dan Antikoagulan
17
Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yakni tromboemboli yang
terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati
membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari)
sebagai antiagregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat
tersebut dapat mengobati penurunan fungsi ginjal dan gagal ginjal tahap akhir
secara bermakna. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri
nefrotik, albumin < 2 g/dl, atau keduanya. Begitu juga halnya dengan indometacin
yang selain memiliki efek anti agregasi trombosit, juga berefek sebagai anti
proteinuri.(6,?)
Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama
5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3—6 bulan atau setelah terjadi
kesembuhan SN. Pemberian heparin harus diikuti pemantauan APTT 1,5—2,5
kali kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan PT yang bisa dinyatakan
dengan International Normalized Ratio (INR) 2—3 kali normal.
VII.10 Antibiotik
Diketahui setiap SN sangat peka terhadap infeksi sekunder, dan sebagian
besar merupakan infeksi saluran kemih. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial
(pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan
dapat disertai pemberian Imonogluobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi
digunakan vaksin Pneumokokus.(9,2,6)
VII. KOMPLIKASI
Penyulit (komplikasi) sindrom nefrotik tergantung dari beberapa faktor,
seperti kelainan histopatologi, lamanya sakit, dan usia pasien. Adapun komplikasi
SN yang sering dijumpai adalah pingsan bahkan samapi syok akibat kurangnya
cairan intravaskuler, malnutrisi akibat hipoalbuminemia berat, dimana protein
yang keluar lebih dari 10 gr/dl, atherosklerosis akibat hiperlipidemia yang lama,
infeksi sekunder akibat gangguan mekanisme pertahanan humoral (penurunan
gamma globulin serum), kolaps hipovolemia akibat proteinuri yang berat
osteomalacia, tromboflebitis vena dalam, emboli paru, dan trombosis vena ginjal
18
akibat hiperkoagulopati, serta hiperparatiroidisme karena defisiensi vitamin D.
(5,S,8,9,4)
Obat-obatan yang sering digunakan pada pasien SN juga sering
memberikan efek samping, seperti diuretik, antibiotik, kortikosteroid,
entihipertensi, dan sitostatika. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah
infeksi virus seperti dampak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di
antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
(setelah 5—15 tahun). Bila telah terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisa,
dapat dialkukan transplantasi ginjal. Dantal dkk, mnge,mukakan pasien GN fokal
segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15-55% kasus akan terjadi SN
kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating
factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permiabilitas glomerulus.(s,2,3)
VIII. PROGNOSIS
Prognosis penyakit SN bervariasi, tergantung pada penyebab, usia
penderita, hipertensi dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari
pemeriksaan mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau kanker)
atau obat-obatan. Prognosis biasaya baik jika penyebabnya memberikan respon
yang baik terhadap kortikosteroid. (SN,6)
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindrom nefrotik akibat
glomerulunefritis ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa memberikam
respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal
ginjal meskipun cenderung bersifat kambuhan. Namun, setelah 1 tahun bebas
gejala, jarang terjadi kekambuhan.(sn)
Sindrom nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa secara perlahan akan
berkembang menjadi gagal ginjal. 50% penderita lainnya mengalami kesembuhan
atau memiliki proteinuri menetap, tetapi dengan fungsi ginjal yang adekuat. Pada
anak-anak dengan glomerulonefritis membranosa, proteinuri akan hilang secara
total dan spontan dalam 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis.(sn)
19
Sindrom nefrotik familial dan glemerulonefritis membranoproliferatif
memberi respon yang buruk terhadap pengobatan dan prognosisnya tidak terlalu
baik. Lebih dari separuh penderita sindrom nefrotik familial meninggal dalam
waktu 10 tahun. Pada 20% penderita prognosisnya lebih buruk, terjadi gagal
ginjal yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita, glomerulonefritis
membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 10 tahun.
Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan perbaikan.(SN)
Sindrom nefrotik akibat glomerulonefrtis proliferatif mesangial sama
sekali tidak memberi respon terhadap kortikosteroid. Pengobatan pada sindrom
nefrotik akibat SLE, amiloidosis atau Diabetes Mellitus, terutama ditujukan untuk
mengurangi gejalanya. Pengobatan terbaru untuk lupus bisa mengurangi gejala
dan memperbaiki hasil pemeriksaan yang abnormal, tetapi pada sebagian besar
penderita terjadi gagal ginjal yang progresif. Pada penderita Diabetes mellitus,
penyakit ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam waktu 3—5 tahun.(SN)
Prognosis sindrom nefrotik akibat infeksi, alergi, maupun pemakainan
heroin intravena bervariasi, tergantung pada seberapa cepat dan seberapa efektif
penyebabnya diatasi.(SN)\
20
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Z
Umur : 18 tahun/3 bulan/21 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Lambang Saukang
RM : 545404
MRS : 26 April 2012
Ruangan : Lontara 1 Atas Belakang Kamar RSWS
CATATAN RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama :Bengkak seluruh badan
Anamnesis Terpimpin:
Dialami sejak ± 4 bulan sebelum masuk RS secara tiba-tiba. Bengkak berawal
hanya pada kelopak mata yang muncul pada pagi hari dan berkurang menjelang
siang jika pasien sudah duduk sehingga pasien tidak begitu memperdulikannya.
Beberapa minggu kemudian, bengkak juga mulai muncul pada kedua kaki lalu ke
perut dan akhirnya ke alat kelamin yang tidak menghilang walaupun pasien sudah
duduk maupun berdiri lama.
Demam (-), riwayat demam (+) pada saat sebelum munculnya bengkak,
berlangsung ± 5 hari, tidak terus-menerus, demam turun walaupun tanpa minum
obat penurun demam, menggigil (-), kejang (-), keringat banyak (-)
Batuk (+) kadang-kadang sejak 1 minggu sebelum masuk RS, lendir (+) warna
putih, darah (-).
Sesak (+) dialami sejak perut membesar, sesak memberat jika tidur terlentang,
pasien nyaman tidur dengan posisi setengah duduk dan tidur dengan bantal tinggi,
sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas, pasien tidak pernah terbangun
malam hari karena sesak. Nyeri dada (+) sejak ± 1 minggu sebelum masuk RS,
nyeri tidak tembus ke belakang ataupun menjalar ke lengan.
21
Mual (-), muntah (-), riwayat muntah (+) 1 hari sebelum sebelum masuk RS,
frekuensi 1x, isi sisa makanan, lendir (-), darah (-), NUH (-). Nafsu makan
menurun (-).
BAB : Biasa, warna kuning
Riwayat BAB encer (-)
Riwayat BAB hitam (-)
BAK : Kesan lancar, warna kuning
Riwayat kencing sedikit-sedikit (-)
Riwayat nyeri saat BAK (-)
Riwayat BAK keruh (-)
Riwayat kencing warna teh pekat tidak diperhatikan
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA:
Riwayat mengalami keluhan yang sama sebelumnya (-)
Riwayat infeksi saluran nafas/kulit sebelumnya (-)
Riwayat minum obat-obatan (-)
Riwayat minum jamu-jamuan (-)
Riwayat merokok (-)
Riwayat penyakit kuning (-)
Riwayat HT (-)
Riwayat DM (-)
STATUS PASIEN:
Status Present:
Sakit sedang/ Gizi kurang/ Kesadaran Composmentis
BB : 56 kg
BBK : 39,2 kg
TB : 158 cm
IMT : 15,7 kg/m2
Tanda vital:
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
22
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala
Ekspresi : Datar Deformitas : (-)
Simetris muka : kiri=kanan Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : (-)
Tekanan bola mata :Dalam batas normal
Kelopak mata : Edema (+)
Konjungtiva : Anemis (-)
Kornea : Jernih
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor, Ø 2,5 mm/ 2,5 mm
Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di processus mastoideus : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : Kering Tonsil : T1_T1
Gigi geligi : Caries(-) Faring : Hiperemis (-)
Gusi : Perdarahan (-) Lidah : Stomatitis (-)
Leher
Kelenjar getah bening : Tak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tak ada pembesaran
DVS : R-2 cm H20
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada
23
Inspeksi : - Bentuk: Simetris kiri=kanan
- Pembuluh darah : Spider nevi (-)
Palpasi : MT (-), NT (-)
VF ↓ pada basal hemithoraks dextra et sinistra
Perkusi : BPH ICS V kanan depan
Pekak pada basal hemithoraks dextra et sinistra
Auskultasi : BP : Bronkovesikuler, menurun pada hemithoraks dextra et sinistra
BT:Rh: Wh: -/-
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung ICS V LMC, pekak (+)
Auskultasi : BJ I/II murni, reguler. Bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Auskultsai : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Asites (+) undulasi
Palpasi : MT (-), NT (-)
Hepar dan lien sulit dievaluasi
Ekstremitas
Edema pretibial +/+
Edema dorsum pedis +/+
Genitalia
Edema scrotum (+)
DIAGNOSIS SEMENTARA:
- Suspek Sindrom Nefrotik
24
- Efusi pleura bilateral
PENATALAKSANAAN AWAL:
- Diet rendah garam, purin, kalium
Diet rendah protein 0,6 gram/kg BB/hari
Diet rendah lemak
- Furosemid 1 amp/12 jam/iv
- Simvastatin 20 mg 0-0-1
- Metylrednisolon 8 mg 6-0-0
- Ranitidin tab 2x1 (sediaan)
RENCANA PEMERIKSAAN:
- Darah rutin
- Protein total, albumin
- Profil lipid
- Ureum/Creatinin
- GDS
- Elektrolit
- Urinalisa
- Urine Esbach
- Foto thorax posisi PA
- USG Abdomen
- Ukur lingkar perut/hari
- Ukur berat badan/hari
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
3 Mei 2012
TD: 120/70
N : 88x/menit
P : 24 x/menit
S KU: Bengkak seluruh badan
Demam(-), batuk(-), sesak(+),
Mual(+), muntah(-), NUH(+)
BAB : Biasa, lunak, kuning
- Diet rendah garam,
purin, kalium
Diet rendah protein 0,6
gram/kg BB/hari
25
S : 36,5oC
Lab :
WBC : 15,68x103
Hb : 9,4
RBC : 3,32x106
PLT : 453x103
GDS : 102 mg/dl
Ur/Cr : 67/2,4
TKK: 37,66
GOT/GPT: 28/18
Protein tot.: 3,3
Albumin : 1,2
Kol. Tot.: 473
HDL : 36
LDL : 323
TG : 269
Na: 139
K: 3,1
Cl:115
USG Abd:
-PNC bilateral
-Ascites+efusi
pleura bilateral
Foto thorax PA:
Efusi pleura bil.
BAK : Lancar, warna kuning
O SS/GK/CM
Kepala: An (+), ikt (-), sian (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax: BP: Vesikuler
BT : Rh Wh -/- BP basal paru D & SAbd : Peristaltik (+), kesan N
Ascites (+)
Ext : Edema pretibial (+)
Edema scrotum (+)
A D/ - Sindrom nefrotik
- Efusi pleura bilateral
Diet rendah lemak
- Simvastatin 20mg0-0-1
- Metylprednisolon 8 mg
6-0-0
- Furosemid1amp/12jam/iv
- Ranitidin 2x1
4 Mei 2012
TD: 120/80
N : 80x/menit
S KU: Bengkak seluruh badan
Demam(-), batuk(-), sesak(+),
Mual(-), muntah(-), NUH(-)
- Diet rendah garam,
purin, kalium
- Diet rendah protein 0,6
26
P : 22 x/menit
S : 36,0oC
BAB : Biasa, lunak, kuning
BAK : Lancar, warna kuning
O SS/GK/CM
Kepala: An (+), ikt (-), sian (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax: BP: Vesikuler
BT : Rh Wh -/- BP basal paru D & SAbd : Peristaltik (+), kesan N
Ascites (+)
Ext : Edema pretibial (+)
Edema scrotum (+)
A D/ - Sindrom nefrotik
- Efusi pleura bilateral
gram/kg BB/hari
Diet rendah lemak
- Simvastatin 20mg0-0-1
- Metylprednisolon 8 mg
6-0-0
- Furosemid 40mg 1-0-0
- Lanzoprasole30mg1-0-1
5 Mei 2012
TD: 110/70
N : 80 x/menit
P : 20 x/menit
S : 36,7oC
LP: 85 cm
Lab
Prot Esbach:
15 gr/dl
S KU: Bengkak seluruh badan
Demam(-), batuk(-), sesak(+),
Mual(-), muntah(-), NUH(-)
BAB : Biasa, lunak, kuning
BAK : Lancar, warna kuning
O SS/GK/CM
Kepala: An (-), ikt (-), sian (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax: BP: Vesikuler
BT : Rh Wh -/- BP basal paru D & SAbd : Peristaltik (+), kesan N
H/L sulit dinilai
Ascites (+)
Ext : Edema pretibial (+)
Edema scrotum (+)
A D/ - Sindrom nefrotik
Efusi pleura bilateral
Diet rendah protein 0,6
gram/kg BB/hari
Diet rendah lemak
- Simvastatin 20mg0-0-1
- Metylprednisolon 8 mg
6-0-0
- Furosemid 40mg 1-0-0
- Lanzoprasole30mg1-0-1
6 Mei 2012
TD: 110/70
N : 82 x/menit
S KU: Bengkak seluruh badan
Demam(-), batuk(-), sesak(+),
Mual(-), muntah(-), NUH(-)
- Diet rendah protein 0,6
gram/kg BB/hari
Diet rendah lemak
27
P : 20 x/menit
S : 36,5oC
LP: 85 cm
BB: 59 kg
Lab
Ureum: 76
Creatinin: 2,2
BAB : Biasa, lunak, kuning
BAK : Lancar, warna kuning
O SS/GK/CM
Kepala: An (-), ikt (-), sian (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax: BP: Vesikuler
BT : Rh Wh -/- BP basal paru D & SAbd : Peristaltik (+), kesan N
H/L sulit dinilai
Ascites (+)
Ext : Edema pretibial (+)
Edema scrotum (+)
A D/ - Sindrom nefrotik
- Efusi pleura bilateral
- Simvastatin 20mg0-0-1
- Metylprednisolon 16
mg 3-0-0
- Furosemid 40mg 1-1-0
- Lanzoprasole30mg1-0-1
Periksa:
- DR
- Profil lipid
- Elektrolit
- Prot.tot, albumin
7 Mei 2012
TD: 110/70
N : 84 x/menit
P : 20 x/menit
S : 36,8oC
LP: 84 cm
BB: 58,5 kg
S KU: Bengkak seluruh badan
Demam(-), batuk(-), sesak(+),
Mual(-), muntah(-), NUH(-)
BAB : Biasa, lunak, kuning
BAK : Lancar, warna kuning
O SS/GK/CM
Kepala: An (-), ikt (-), sian (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax: BP: Vesikuler
BT : Rh Wh -/- BP basal paru D & SAbd : Peristaltik (+), kesan N
H/L sulit dinilai
Ascites (+)
Ext : Edema pretibial (+)
Edema scrotum (+)
A D/ - Sindrom nefrotik
Efusi pleura bilateral
- Diet rendah protein 0,6
gram/kg BB/hari
Diet rendah lemak
- Simvastatin 20mg0-0-1
- Metylprednisolon 16
mg 3-0-0
- Furosemid 40mg 1-1-0
stop
- Lanzoprasole30mg1-0-1
- Loratidin 10 mg 3x1
HASIL LABORATORIUM
28
Darah Rutin (4 Mei 2012) :
WBC : 15,68x103/uL
Hb : 9,4 g/dl
RBC : 3,32x106
HCT : 29,2%
MCV : 88,0 fL
MCH : 26,3 pg
MCHC : 32,2 g/dl
PLT : 453x103
NEUT : 11,96x103
LYMPH : 2,65x103
MONO : 1,06x103
EO : 0,01x103
BASO : 0,01x103
Protein (4 Mei 2012) :
Protein total : 3,3 g/l
Albumin : 1,2 gr/l
Profil Lipid (4 Mei 2012) :
Kolesterol Total : 473
HDL : 36
LDL : 323
TG : 269
Ureum/Creatinin (4 Mei 2012) :
Ureum : 76 mg/dl
Creatinin : 2,2 mg/dl
GDS (4 Mei 2012) :
GDS : 102 mg/dl
29
Elektrolit (4 Mei 2012) :
Natrium : 139 mg/dl
Kalium : 3,1 mg/dl
Klorida : 115 mg/dl
Urin Rutin (4 Mei 2012) :
Warna : Kuning
pH : 6
BJ : 1,015
Protein : 500 mg/dl / ++++
Glukosa : 300 mg/dl / +++
Bilirubin\ : Negatif
Urobilinogen : Normal
Keton : Negatif
Nitrat : Negatif
Leukosit : Negatif
Blood : 150 mg/dl / ++++
Vit. C : -
Sedimen Eritrosit : 10—15
Sedimen Leukosit : 0—1
Sedimen Torak : -
Sedimen Kristal : 7—10
Sedimen Epitel Sel:
Sedimen Lain-lain : Granular kasar/++
Protein Esbach (4 Mei 2012) :
Protein Escbach : 15 gr/L
Foto Thorax PA :
30
- Tampak perselubungan homogen pada kedua paru terutama kiri dengan
gambaran periapica lcupping yang menutupi kedua sinus, diafragma, dan
batas jantung
- Cor kesan dalam batas normal
- Tulang-tulang intak
Kesan : Efusi pleura bilateral
USG Abdomen (4 Mei 2012) :
Hepar : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Vaskular dan bile
duct tidak dilatasi. Tidak tampak mass/cyst
GB : Kontraktil
Pankreas : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal
Lien : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Tidak tampak
mass/cyst
Kedua Ginjal : Ukuran dalam batas normal dengan echo parenkim meningkat
dengan tepi irreguler. Tidak tampak dilatasi pelvocalyceal system.
Tidak tampak echo batu maupun mass/cyst
VU : Sulit dinilai, urine minimal
Tampak echo cairan bebas pada cavum peritonium dan kedua cavum pleura
Kesan : - Tanda-tanda PNC bilateral
- Ascites disertai efusi pleura bilateral
31
RESUME
Seorang laki-laki, 18 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan edema
anasarka yang dialami sejak ± 4 bulan sebelum masuk RS secara tiba-tiba. Edema
berawal hanya pada palpebra yang muncul pada pagi hari dan berkurang
menjelang siang jika pasien sudah duduk sehingga pasien tidak begitu
memperdulikannya. Beberapa minggu kemudian, edema juga mulai muncul pada
kedua ekstremitas inferior lalu ke abdomen dan akhirnya ke skrotum yang tidak
menghilang walaupun pasien sudah duduk maupun berdiri lama.
Pasien pernah mengalami febris sebelum munculnya edema yang
berlangsung ± 5 hari yang tidak terus-menerus dan turun walaupun tanpa minum
obat antipiretik. Pasien mengalami dispneu sejak ascites dan memberat jika tidur
terlentang, sehingga pasien nyaman tidur dengan posisi setengah duduk dan tidur
dengan bantal tinggi, dispneu tidak dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas, pasien
tidak pernah terbangun malam hari karena dispneu. Pasien juga mengalami nyeri
dada sejak ± 1 minggu sebelum masuk RS, nyeri tidak tembus ke belakang
ataupun menjalar ke lengan. Terkadang pasien mengalami batuk sejak 1 minggu
sebelum masuk RS, berlendir warna putih.
Pasien tidak mengalami nausea maupun vomit, namun memiliki riwayat
vomitus 1 hari sebelum sebelum masuk RS, frekuensi 1x, isi sisa makanan,tidak
ada lendir maupun darah. Defekasi seperti biasa, warna kuning. Produksi urin
kesan lancar, warna kuning, tidak ada riwayat kencing sedikit-sedikit, disuri, dan
urin keruh. Adapun riwayat kencing warna teh pekat tidak diperhatikan.
Pasien tidak memiliki riwayat keluhan yang sama sebelumnya, infeksi
saluran nafas/kulit, mengkonsumsi obat-obatan ataupun jamu-jamuan, merokok,
ikterus, HT, maupun DM.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan status present: sakit sedang, gizi
kurang, kesadaran composmentis, dengan BB : 56 kg, koreksi : 39,2 kg, TB : 158
cm, IMT : 15,7 kg/m2. Tanda vital TD: 120/80 mmHg, nadi : 78 x/menit,
pernapasan: 20 x/menit, suhu : 36,5oC.
32
Pada pemeriksaan kepala ditemukan anemis (-), ikterus (-), sianosis (-),
edema palpebra (+). Pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar dan nyeri
tekan dengan DVS R-2 cm H2O.
Pada pemerikasaan thorax melalui inspeksi tampak dinding thorax simetris
kiri dan kanan, pada palapasi ditemukan vocal fremitus menurun pada basal
hemithorax dextra et sinistra, pada perkusi ditemukan pekak pada basal
hemithoraks dextra et sinistra, dan pada auskultasi, bunyi pernapasan terdengar
bronkovesikuler yang menurun pada hemithoraks dextra et sinistra, dengan BT:
Rh: dan Wh: -/-.
Pada pemeriksaan cor tidak didapatkan pembesaran jantung dengan BJ I/II
murni, reguler, bising (-). Pada pemeriksaan Abdomen melalui inspeksi tampak
abdomen cembung dan mengikuti gerak napas, melalui auskultsai terdengar
peristaltik (+) kesan normal, melalui perkusi dan palpasi ditemukan ascites
dengan undulasi (+), dimana hepar dan lien sulit dievaluasi.
Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema pretibial +/+ dan edema
dorsum pedis +/+. Pada pemeiksaan genitalia, ditemukan edema scrotum (+).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil:
WBC : 15.68x103, Hb : 9.4, RBC : 3.32x106, MCV : 88.0 fL, MCH : 26.3 pg,
MCHC : 32.2 g/dl, PLT : 453x103.
Protein total : 3, albumin : 1.2
Kolesterol total: 473, HDL : 36, LDL : 323, TG : 269
GDS : 102 mg/dl, SGOT : 28, SGPT : 18, Ureum : 67, Kreatinin : 2.4
Na: 139, K: 3.1, Cl:115
Urin rutin : Warna : Kuning, pH : 6, BJ : 1.015, protein : 500 mg/dl / ++++,
glukosa : 300 mg/dl / +++, bilirubin\ : negatif, urobilinogen: normal, keton:
negatif, Nitrat : negatif, leukosit : negatif, darah : 150 mg/dl / ++++, Vit. C: (-),
sedimen eritrosit : 10—15, sedimen leukosit : 0—1, sedimen torak : (-), sedimen
kristal : 7—10, sedimen epitel sel: (-), sedimen lain-lain : granular kasar/++
Protein Escbach : 15 gr/L
USG Abdomen : PNC bilateral + ascites + efusi pleura bilateral
Foto thorax PA : Efusi pleura bilateral
33
Darti hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien tersebut, maka ditegakkan diagnosis Sindroma Nefrotik.
DISKUSI
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis dan terjadi pada segala usia dan lebih banyak menyerang laki-
laki, serta beberapa jenis sindrom nefrotik bersifat diturunkan. Sindrom nefrotik
dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan elektrostatik maupun struktur membrana basalis glomerulus.
Kejadian SN idiopatik pada anak-anak 2-3 kasus/100.000 anak/tahun, sedangkan
pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. (2,ipd,SN,3)
Penyakit ini merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh
proteinuri masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari atau 50
mg/kg berat badan/hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 gr/dl), edema,
hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoaguabilitas. Protenuri masif merupakan
tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum
rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. (ipd, 2,45)
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer yang bersifat
idiopatik dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini,
gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN.
(ipd,2,5)
Pada kasus ini ditegakkan sindrom nefrotik berdasarkan:
1. Anamnesis, diketahui:
Seorang laki-laki, 18 tahun, dengan keluhan edema anasarka yang
dialami sejak ± 4 bulan sebelum masuk RS secara tiba-tiba. Edema berawal
hanya pada palpebra yang hilang pada siang hari, namun beberapa minggu
kemudian edema juga mulai muncul pada kedua ekstremitas inferior lalu ke
abdomen dan akhirnya ke skrotum yang tidak menghilang walaupun pasien
sudah duduk maupun berdiri lama. Pasien mengalami dispneu sejak ascites dan
memberat jika tidur terlentang, sehingga pasien nyaman tidur dengan posisi
34
setengah duduk dan tidur dengan bantal tinggi, dispneu tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan aktivitas, pasien tidak pernah terbangun malam hari karena dispneu.
Pasien juga mengalami nyeri dada sejak ± 1 minggu sebelum masuk RS, nyeri
tidak tembus ke belakang ataupun menjalar ke lengan. Terkadang pasien
mengalami batuk sejak 1 minggu sebelum masuk RS, berlendir warna putih.
2. Pemriksaan fisis, didapatkan:
- Pada pemeriksaan fisis mata ditemukan edema palpebra (+).
- Pada pemerikasaan thorax melalui palapasi ditemukan vocal fremitus
menurun pada basal hemithorax dextra et sinistra, pada perkusi ditemukan
pekak pada basal hemithoraks dextra et sinistra, dan pada auskultasi bunyi
pernapasan terdengar bronkovesikuler yang menurun pada hemithoraks
dextra et sinistra.
- Pada pemeriksaan perkusi dan palpasi abdomen ditemukan ascites dengan
undulasi (+), dimana hepar dan lien sulit dievaluasi.
- Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema pretibial pada seluruh
ekstremitas dan edema dorsum pedis +/+. Pada pemeiksaan genitalia,
ditemukan edema scrotum (+).
3. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil:
- Darah rutin : Leukosit: 15.68x103, Hb : 9.4, eritrosit : 3.32x106, platelet :
453x103.
- Protein total : 3, albumin : 1.2
- Kolesterol total: 473, HDL : 36, LDL : 323, TG : 269
- Ureum : 67, Kreatinin : 2.4
- Urin rutin : protein : 500 mg/dl / ++++, glukosa : 300 mg/dl / +++, darah :
150 mg/dl / ++++, sedimen eritrosit : 10—15, sedimen kristal : 7—10,
sedimen lain-lain : granular kasar/++
- Protein Escbach : 15 gr/L
4. Pemeriksaan radiologi ditemukan hasil:
- USG Abdomen : PNC bilateral + ascites + efusi pleura bilateral
- Foto thorax PA : Efusi pleura bilateral
35
36
A. Remisi lengkap, bila:
– Proteinuri minimal (<200 mg/24 jam)
– Albumin serum >3 gr/dl
– Kolesterol serum <300 mg/dl
– Diuresis lancar dan edema hilang
B. Remisi pasrsial, bila:
- Proteinuri <3,5 gr/24 jam
- Albumin seru >2,5 gr/gl
- Kolesterol serum <350 gr/gl
- Diuresis kurang lancar dan masih edema
C. Resisten
- Klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan
setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
37
top related