alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses …
TRANSCRIPT
i
ALIH KODE PERTUTURAN GURU - SISWA DALAM PROSES
BELAJAR MENGAJAR DI KELAS V SD NEGERI 1 LENDAH,
KULON PROGO SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2018/2019
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
WISHNU HERBOWO MURTY
131224063
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk saya sendiri
Kepada kedua orang tua saya bapak Nooryanto dan ibu Wardiyati yang selalu
memberi arahan, dukungan dan doa kepada saya
Kepada Harry Bramasto Murty kakak saya yang selalu memberi dukungan
Utami Nur Ciamy seseorang yang selalu ada dan memberikan dukungan agar
skripsi ini selesai
Kepada sahabat karib Laurensius Ferry, Silvester Adi P, S.Pd., Rama Raditya,
Yuli Susanto, Yohanes Demi, Fahri Ardianto. Imam, Indra yang telah
mendukung saya
Kepada semua orang yang menanti saya lulus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Segala permasalahan pasti terselesaikan, hadapi dan pecahkan.
(Wishnu Herbowo Murty)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KARYA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Murty, Wishnu Herbowo. 2019. Alih Kode Pertuturan Guru - Siswa dalam Proses
Belajar Mengajar di Kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester
Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas mengenai alih kode dalam pembelajaran di kelas
V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan wujud alih kode, serta mendeskripsikan maksud alih kode dalam
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penelitian
ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif. Data diambil selama semester
ganjil tahun ajaran 2018/2019. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) beserta teknik rekam
dan catat. Data kemudian diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan teori
sosiolinguistik.
Peneliti menemukan adanya wujud kode yang digunakan dalam
pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, yaitu: kode yang
berwujud bahasa meliputi bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia, kode yang
berwujud tingkat tutur meliputi tingkat tutur ngoko dan krama, kode yang
berwujud dialek meliputi dialek bahasa Jawa standar, dan kode berwujud ragam
meliputi ragam ilmiah dan ragam usaha. Peneliti menemukan alih kode berwujud
alih bahasa meliputi alih kode berwujud alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Jawa dan alih kode berwujud alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Adapun maksud guru beralih kode dalam pembelajaran yaitu: (1) alih kode
dengan maksud memfokuskan perhatian siswa, (2) alih kode dengan maksud
menciptakan rasa humor, (3) alih kode dengan maksud melakukan klarifikasi, (4)
alih kode dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa, (5) alih kode dengan
maksud mempermudah penyampaian materi pelajaran.
Kata kunci: wujud kode, wujud alih kode, maksud alih kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Murty, Wishnu Herbowo. 2019. Code Switching of Teacher - Students Speech in
Teaching and Learning in Class V of Lendah Elementary School 1, Kulon
Progo Odd Semester Academic Year 2018/2019. Thesis. Yogyakarta:
Indonesia language literary education study program, Department of
Language education and Arts, Faculty of Teacher Training and Education,
Sanata Dharma University.
This study discusses code switching in learning in class V of Lendah
Elementary School 1, Kulon Progo. The purpose of this study is to describe the
form of code switching, and to describe the purpose of code switching in the
teaching and learning process in the fifth grade of Lendah Elementary School 1,
Kulon Progo. This research is included in qualitative descriptive research. Data
was taken during the odd semester of the 2018/2019 academic year. Data
collection techniques in this study were conducted using the SBLC free method
along with recording and recording techniques. Data is then identified and
analyzed based on sociolinguistic theory.
The researcher found the existence of code used in learning in class V of
SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, namely: code in the form of language
including Javanese and Indonesian, the tangible code of speech level includes the
level of ngoko and krama, codes that have dialect forms include standard
Javanese dialects, and tangible codes of variety include various scientific and
business types. The researcher found code switching in the form of language
conversion including code transfer in the form of transferring Indonesian into
Javanese and tangible code switching over Javanese into Indonesian. The
teacher's intention to switch code in learning is: (1) code switching with the
intention of focusing student attention, (2) code switching with the intention of
creating a sense of humor, (3) code switching with the intention of clarifying, (4)
code switching with the intention of increasing understanding students, (5) code
switching in order to facilitate the delivery of subject matter.
Keywords: code form, code transfer form, meaning code switching.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dan terima kasih peneliti sembahkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkat dan karuniaNya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul Alih Kode Pertuturan Guru - Siswa dalam
Proses Belajar Mengajar di Kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019. Penyusunan skripsi ini merupakan
salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sanata Dharma.
Peneliti menyadari bahwa terselesainya skripsi ini karena adanya
bimbingan, perhatian, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu peneliti menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu memberikan rahmat kesehatan dan
kelancaran selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. selaku kepala program studi PBSI
Universitas Sanata Dharma.
4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. selaku dosen pembimbing tunggal yang
dengan penuh ketelitian telah mendampingi, memotivasi, dan memberikan
berbagai masukan yang sangat berharga bagi peneliti. Mulai dari proses awal
hingga akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. yang bersedia meluangkan waktu untuk menjadi
triangulator.
6. Segenap dosen Prodi PBSI, dosen MKU, dosen MKK, yang telah mendidik
dan membimbing peneliti selama mengikuti perkuliahan.
7. Theresia Rusmiyati sebagai karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar
memberikan pelayanan demi kelancaran peneliti dalam menyelesaikan kuliah
di PBSI sampai penyusunan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO...................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii
ABSTRAK......................................................................................................... viii
ABSTRACT....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI..................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................ 3
1.5 Batasan Istilah.............................................................................................. 5
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 8 2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................................. 8
2.2 Landasan Teori............................................................................................. 11
2.2.1 Pengertian Sosiolinguistik......................................................................... 11
2.3 Pengertian Kedwibahasaan.......................................................................... 14
2.4 Fenomena Kedwibahasaan........................................................................... 17
2.4.1 Interferensi............................................................................................... 17
2.4.2 Integrasi.................................................................................................... 18
2.4.3 Campur Kode (code mixing)...................................................................... 19
2.4.4 Alih Kode (Code Switching)...................................................................... 20
2.5 Variasi – Variasi Bahasa............................................................................... 21
2.5.1 Variasi Bahasa dari Segi Penutur.............................................................. 22
2.5.2 Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian......................................................... 26
2.5.3 Variasi Bahasa dari Segi Keformalan....................................................... 28
2.5.4 Variasi Bahasa dari Segi Sarana............................................................... 2.6 Kode………………………………………………………………………..
30 31
2.7.1 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode…………………………. 35
2.7.2 Bentuk-Bentuk Alih Kode......................................................................... 40
2.8 Wujud Alih Kode........................................................................................ 41
2.8.1 Alih Tingkat Tutur.................................................................................... 42
2.8.2 Alih Bahasa…………………………………………………………….. 43
2.8.2.1 Alih Bahasa dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia.................... 43
2.8.2.2 Alih Bahasa dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa................... 44
2.9 Konteks ....................................................................................................... 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.10 Kerangka Berpikir………………………………………………………... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 55 3.1 Jenis Penelitian............................................................................................. 55
3.2 Sumber Data dan Data.................................................................................. 56
3.3 Instrumen Penelitian..................................................................................... 56
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data....................................................... 1 Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC)....................................................
57 58
2 Teknik rekam................................................................................................... 59
3 Teknik Catat................................................................................................... 59
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data................................................................ 3.6 Triangulasi…………………………………………………………………
59 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ 62
4.1 Deskripsi Data.............................................................................................. 62
4.2 Hasil Penelitian............................................................................................ 64
4.2.1 Kode Berwujud Bahasa.............................................................................. 65
4.2.1.1 Kode Berwujud Bahasa Jawa…………….............................................. 66
4.2.1.2 Kode Berwujud Bahasa Indonesia.......................................................... 68
4.2.2 Kode Berwujud Tingkat Tutur…………................................................... 70
4.2.2.1 Kode Berwujud Tingkat Tutur Ngoko…………………………................. 70
4.2.2.2 Kode Berwujud Tingkat Tutur Krama……............................................. 72
4.2.3 Kode Berwujud Dialek…………………................................................... 73
4.2.3.1 Kode Berwujud Dialek Bahasa Jawa Standar......................................... 74
4.2.4 Kode Berwujud Ragam……………………………….............................. 76
4.2.4.1 Kode Berwujud Ragam Ilmiah.............................................................. 76
4.2.4.2 Kode Berwujud Ragam Usaha…............................................................ 78
4.2.5 Alih Kode Berwujud Alih Bahasa………................................................. 80
4.2.5.1 Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa............................... 80
4.2.5.2 Alih Kode dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia................................. 83
4.2.6 Maksud Guru Beralih Kode………........................................................... 86
4.2.6.1 Memfokuskan Perhatian Siswa …………….......................................... 86
4.2.6.2 Menciptakan Rasa Humor ......................................................................
4.2.6.3 Melakukan Klarifikasi………………………………………………….
90 94
4.2.6.4 Meningkatkan Pemahaman Siswa…….................................................. 97
4.2.6.5 Mempermudah Penyampaian Materi Pelajaran……………………...... 102
4.3 Pembahasan.................................................................................................. 105
BAB V PENUTUP............................................................................................ 112
5.1 Simpulan....................................................................................................... 112
5.2 Saran............................................................................................................. 113
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................... 115
LAMPIRAN...................................................................................................... 117
BIOGRAFI PENULIS..................................................................................... 147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia karena
manusia sebagai makhluk sosial harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam
kelompok sosial. Bahasalah yang memungkinkan terjadinya interaksi dalam
masyarakat. Itulah sebabnya kedudukan bahasa sebagai unsur kebudayaan selalu
di tetapkan pada peringkat pertama. Hal ini bersifat universal yaitu berlaku setiap
suku bangsa atau setiap kelompok manusia.
Setiap bahasa memiliki frasa yaitu gabungan dua kata atau lebih yang tidak
dapat dipisahkan dan melampaui batas fungsi. Bahasa juga memiliki kalimat yaitu
satuan bahasa secara gramatis terdiri satu atau lebih klausa yang ditata menurut
pola tertentu dan dapat berdiri sendiri sebagai satu kalimat. Kalimat sebagaimana
kita ketahui, dibentuk dari kata atau kelompok kata. Di dalam pembentukan atau
penyusunan kalimat, setiap bahasa mempunyai tipologi atau pola kalimat, baik itu
bahasa Indonesia, terdapat bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing, kemungkinan
terjadi kontak bahasa itu sangatlah besar. Mackey (Suwito, 1983) memberikan
pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak bahasa terjadi apabila
seseorang penutur yang menguasai dua bahasa yang dikuasainya secara
bergantian.
Eksistensi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dalam
tindak komunikasi memang perlu dipertahankan. Namun ada beberapa hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
harus di ingat bahwa berdasarkan aspek linguistik, “masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa) yang menguasai lebih dari satu
bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing” (Nababan,
1989:27). Sebagai akibat dari situasi kedwibahasaan pada proses pembelajaran di
kelas V SD Negeri 1 lendah adalah terjadinya alih kode.
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti memanfaatkan situasi dalam kelas
sebagai sumber penelitian yaitu interaksi yang terjadi antara guru dan siswa yang
berpusat pada alih kode yang terjadi pada saat proses pembelajaran di kelas. Hal
ini dikarenakan dalam interaksi guru dan siswa terdapat tuturan-tuturan yang
mengandung alih kode dimana guru tidak menyadari bahwa telah beralih kode
dengan tujuan agar siswa lebih mudah memahami apa yang dijelaskan oleh guru,
mengingat siswa di SD Negeri 1 Lendah mayoritas berasal dari masyarakat Jawa,
yang setiap harinya berkomunikasi dengan Bahasa Jawa. Hal inilah yang
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Alih Kode
Pertuturan Guru - Siswa dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo Semester Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah yang
muncul dalam penelitian ini yaitu :
1. Apa sajakah wujud kode pertuturan guru - siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2018/2019 ?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
2. Apa sajakah wujud alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2018/2019 ?
3. Apa saja maksud alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2018/2019?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mendiskripsikan wujud kode pertuturan guru - siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2018/2019.
2. Mendiskripsikan wujud alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester
Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019.
3. Mendiskripsikan maksud alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo Semester
Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat-manfaat yang dapat diambil secara
teoritis maupun praktis. Beberapa manfaat yang diharapkan timbul dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoritis dalam ilmu linguistik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Manfaat dari penelitian dapat memberikan teori-teori atau sumbangsih penemuan
yang berkaitan dengan ilmu sosiolinguistik khususnya alih kode. Manfaat
penelitian ini juga memberikan bukti nyata antara teori dan praktik dari deskripsi
realita fenomena alih kode di dalam pembelajaran di Sekolah Dasar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru
Penelitian ini diharapkan dapat membantu guru, khususnya guru di SD Negeri
1 Lendah untuk melihat permasalahan kebahasaan pada pembelajaran dan
dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa
siswa.
b. Bagi siswa
Berdasarkan fakta yang ada, siswa di SD Negeri 1 Lendah masih banyak yang
tidak mengetahui tentang permasalahan–permasalahan kebahasaan, bahkan
mereka cenderung kurang terampil dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi dikelas. Sehubungan dengan uraian diatas penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan siswa mengenai permasalahan kebahasaan
dan meningkatkan keterampilan siswa dalam berbahasa Indonesia.
c. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi peneliti lain tentang
kajian sosiolinguistik khususnya fenomena alih kode dan menindak lanjuti
penelitian alih kode dengan ruang lingkup yang lebih sempit sehingga kedalaman
analisis masalah yang lebih mendasar dapat diketahui. Selain itu, penelitian ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
diharapkan dapat menjadi gambaran bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian
sejenis yang relevan.
1.5 Batasan Istilah
Sehubungan dengan judul penelitian ini, agar terdapat persamaan konsep dari
beberapa istilah dan agar permasalahan tersebut tampak jelas adanya, maka perlu
diberikan adanya pembatasan pengertian istilah. Sedangkan istilah-istilah yang
perlu ditegaskan adalah sebagai berikut:
1. Sosiolinguistik
Fishman (dalam Chaer 2004: 3) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah
kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan
pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalau berinteraksi, berubah dan
saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
2. Kedwibahasaan
Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) memberikan pendapat mengenai definisi
kedwibahasaan yaitu; Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara
bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-
bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak”. Jadi, kontak bahasa terjadi
dalam diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya
kontak bahasa disebut dwibahasawan. Peristiwa pemakaian dua bahasa (lebih)
secara bergantian oleh seorang penutur disebut kedwibahasaan.
3. Variasi Bahasa
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995:79), menyatakan bahwa variasi
bahasa ditentukan oleh faktor waktu, tempat, sosiokultural, situasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
medium pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari
masa ke masa. Faktor daerah membedakan bahasa yang dipakai di suatu
tempat dengan di tempat lain. Faktor sosiokultural membedakan bahasa yang
dipakai di suatu tempat dengan di tempat lain. Faktor sosiokultural
membedakan bahasa yang dipakai suatu kelompok sosial. Faktor situasional
timbul karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi
tertentu. Faktor medium pengungkapan membedakan bahasa lisan dan bahasa
tulisan.
4. Kode
Kode dapat didefinisikan sebagai sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya
mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur
dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
variasi bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu
masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, dalam Rahardi 2001: 22)
5. Alih Kode
Dell Hymes (dalam Suandi, 2014: 133) mengungkapkan bahwa pengertian alih
kode merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk menyatakan
pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari
satu bahasa atau bahkan beberapa ragam dari satu gaya.
6. Konteks
Mey (dalam Nadar 2009: 3) menyatakan bahwa konteks adalah situasi
lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur untuk dapat
berinteraksi dan dapat membuat ujaran mereka dapat dipahami. Adapun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
konteks yang dimaksud oleh Mey bahwa konteks merupakan situasi yang
berada di luar kerangka kebahasaan seperti lingkungan yang mendukung.
Melalui situasi lingkungan yang mendukung, proses pemahaman ujaran antara
penutur dan mitra tutur akan lebih mudah.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan penelitian ini dipaparkan sebagai berikut: Bab I
membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah. Bab II
membahas mengenai kajian pustaka yang terdiri dari penelitian terdahulu yang
relevan dan landasan teori. Bab III membahas mengenai metode penelitian, yang
terdiri dari tempat penelitian, waktu penelitian, subjek penelitian, data dan sumber
data, teknik analisis data. Bab IV membahas tentang hasil analisis data dan
pembahasan. Dan bab V berisi tentang simpulan dan sarana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini secara khusus akan diuraikan dua hal, yaitu : (1) penelitian
terdahulu yang relevan, (2) landasan teori.
2.l Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian di bidang pragmatik khususnya alih kode bahasa sudah pernah
ada dalam penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu menjadi referensi
peneliti untuk menyusun penelitian yang akan dilakukan. Berikut ini adalah
beberapa penelitian terdahulu yang relevan.
Penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Has’ad
Rahman Attamimi yang berjudul ‘Analisis Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar
Labuhan Sumbawa Pendekatan Sosiolinguistik’. Penelitian yang dilakukan
Has’ad Rahman Attamimi adalah penelitian tentang fenomena bahasa khususnya
campur kode dalam lingkungan pasar Labuhan Sumbawa. Hasil dari penelitiannya
adalah bahwa kegiatan tindak bahasa campur kode dilakukan oleh masyarakat
hampir setiap hari, selain itu faktor penyebab terjadinya campur kode khususnya
di pasar Labuhan yakni ada beberapa faktor diantaranya : 1) faktor peran, 2)
faktor ragam, 3) faktor penutur, 4) faktor bahasa. Dalam penelitiannya juga
mendapatkan hasil ciri-ciri campur kode yakni : campur kode terjadi karena
kesantaian, campur kode terjadi dalam situasi tidak resmi (informal), campur kode
berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling tinggi dan kata
pada tataran yang paling rendah, dan unsur bahasa sisipan dalam peristiwa campur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
kode tidak lagi mendukung fungsi bahasa secara mandiri tetapi sudah menyatu
dengan bahasa yang disisipi.
Adapun persamaan antara penelitian Has’ad Rahman Attamimi dengan
penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang fenomena kebahasaan.
Sedangkan Yang menjadi pembeda adalah subjek penelitian, pada penelitian yang
dilakukan Has’ad subjek penelitian adalah pedagang dan pembeli di Pasar
Labuhan Sumbawa, sedangkan subjek penelitian ini adalah guru dan siswa di
kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Selain subjek penelitian, objek
penelitian juga berbeda jika pada penelitian terdahulu berfokus pada campur kode,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti berfokus pada alih kode.
Dalam penelitian terdahulu teknik pengumpulan data menggunakan metode 1)
metode observasi, 2) metode wawancara, sedangkan dalam penelitian ini
menggunakan 1) teknik simak bebas libat cakap (SBLC), 2) teknik rekam, 3)
teknik catat.
Penelitian relevan yang kedua adalah milik Nugroho (2011) dari
Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul skripsi “Alih Kode dan Campur
Kode Pada Komunikasi Antara Guru-Siswa Di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten”.
Nugroho dalam skripsinya memberikan garis besar hal-hal apa saja yang
disajikan.
Melihat judul milik Nugroho penelitian yang dilakukan adalah penelitian
tentang fenomena bahasa khususnya alih kode dan campur kode dalam
lingkungan sekolah. Peneliti menggunakan teknik rekam, catat, dan simak untuk
mengambil data alih kode dan campur kode serta menggunakan teknik analisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
deskritif kualitatif sebagai teknik analisis data. Penelitian yang dilakukan Nugroho
telah menganalisis data-data yang diperoleh yaitu untuk Alih kode telah
ditemukan bahwa terdapat dua bentuk alih kode yang pertama dari bahasa yaitu
terdapat bahasa formal dan informal dalam percakapan guru-siswa. Bentuk alih
kode kedua adalah hubungan antar bahasa. Terdapat hubungan antar bahasa yaitu
bahasa Perancis - bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia - bahasa Perancis.
Selanjutnya, data campur kode yang telah dianalisis terdapat dua bentuk. Bentuk
pertama adalah unsur sintaksisnya, terdapat campur kode dengan wujud kata dan
frasa.
Bentuk kedua adalah kategorisasi kata, meliputi: nomina, adverbia,
adjektiva, numeralia, pronominal, dan preposisi. Tidak hanya itu, terdapat analisis
data tentang faktor-faktor terjadinya alih kode pada komunikasi guru- siswa.
faktor-faktor tersebut meliputi: 1) hubungan penutur dengan mitra tutur, 2)
hadirnya pihak ketiga, 3) perubahan situasi dari informal ke formal begitupun
sebaliknya, dan 4) topik pembicaraan.
Dari penelitian relevan di atas, ditemukan persamaan dan perbedaan.
Penelitian di atas memiliki persamaan pada fenomena bahasa yang diteliti, teknik
pengumpulan data dan teknik analisis data, hasil analisis data ada beberapa yang
sama. Adapun perbedaanya terdapat pada lokasi penelitian, jika dalam penelitian
yang dilakukan oleh Nugroho meliputi fenomena bahasa alih kode dan campur
kode, dalam penelitian ini hanya terbatas pada alih kode saja, bahasa yang
diperoleh dalam penelitianya pun berbeda yaitu bahasa Prancis dengan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Indonesia sedangkan dalam penelitian ini bahasa yang diperoleh adalah bahasa
Indonesia dengan bahasa Jawa.
2.2 Landasan Teori
Pada landasan teori ini diuraikan tentang teori-teori yang mendasari
permasalahan pada penelitian ini. Adapun uraian selanjutnya disampaikan pada
paparan sebagai berikut.
2.2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan lingustik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kajian yang sangat erat. Sosiologi
berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap
ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai
objek kajiannya Chaer dkk,(2010: 2). Menurut pandangan sosiolinguistik, bahasa
mengandung berbagai macam variasi sosial yang tidak dapat dipecahkan oleh
kerangka teori struktural, dan terlalu naif bila variasi-variasi itu hanya disebut
performansi.
Menurut konsepsi sosiolinguistik struktur masyarakat yang selalu bersifat
heterogen (tidak pernah homogen) mempengaruhi struktur bahasa. Adapun
struktur masyarakat di sini dipengaruhi oleh bebrapa faktor, seperti siapa yang
berbicara (who speaks), dengan siapa (with whom), dimana (where), kapan
(when), dan untuk apa (to what end) Wijana dkk, (2010: 5). Sosiolinguistik
sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa
dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai
masyarakat sosial.
Chaer via Dittmar (1976: 128) mengatakan bahwa tujuh dimensi yang
merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas social dari
penutur, (2) identitas sosiala dari pendengar yang terlibat dalam proses
komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat pristiwa tutur terjadi, (4) analisis
sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan prilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan
ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Seseorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk
mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu, perubahan
situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Sejalan dengan pendapat Chaer, Fishman (dalam Sumarsono, 2004: 2)
menjelaskan cakupan permasalahan dalam sosiologi bahasa sebagai berikut.
“The sociology of language focuses upon entire gamut of topics related to the
social organitation of language behavior including not only language usage per
se, but also language attitude, overt behavior toward language and language
users”.
‘Sosiologi bahasa meyoroti keseluruhan permasalahan yang berhubungan dengan
organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja,
melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakai
bahasa’. Pendapat Fishman tersebut semakin mempertegas bahwa sosilogi bahasa
atau sosiolinguistik merupakan kajian bahasa yang menempatkan bahasa dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
penggunaanya di dalam masyarakat. Fishman (dalam Chaer 2004: 3) juga
mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa,
fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalau
berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat
tutur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, (1) Wijana
mengemukakan sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam
masyarakat. (2) Chaer via Dittmar memberikan tujuh dimensi yang merupakan
masalah dalam sosiolinguistik, yaitu: identitas social dari penutur, identitas sosiala
dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, lingkungan sosial tempat
pristiwa tutur terjadi, analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial,
penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan prilaku bentuk-bentuk ujara,
tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan penerapan praktis dari penelitian
sosiolinguistik. (3) Fishman mengatakan sosiologi bahasa meyoroti keseluruhan
permasalahan yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak
hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa,
perilaku terhadap bahasa dan pemakai bahasa.
Ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan sosiolinguistik dalam penelitian ini
adalah sejalan dengan Fishman dan dilengkapi oleh Chaer via Dittmar yang telah
dijelaskan diatas. Sosiolinguistik bukan hanya melihat bahasa dari segi
pemakaiannya saja, tetapi juga melihat hubungan antara bahasa dengan
masyarakat. Sosiolinguistik menaruh perhatian pada nilai dan norma yang berlaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
dalam suatu masyarakat tutur, siapa yang saling bertutur, dan pada situasi apa
ragam tertentu digunakan.Peneliti memilih teori Chaer via Dittmar dan Fishman
karena dianggap pendapat mereka paling lengkap dan sesuai dengan penelitian ini.
2.3 Pengertian Kedwibahasaan
Kedwibahasaan merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh hampir
semua Negara di dunia termasuk Indonesia. Timbulnya kedwibahasaan di
Indonesia disebabkan oleh adanya berbagai suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing serta adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan dengan negara lain yang memiliki bahasa
yang berbeda juga merupakan fakta yang menyebabkan timbulnya
kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait dengan campur kode, karena
campur kode merupakan aspek kedwibahasaan. Selain itu, subjek yang diteliti
merupakan masyarakat kedwibahasaan yang cenderung melakukan campur kode.
Berikut pendapat beberapa ahli sehubungan dengan kedwibahasaan.
Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) memberikan pendapat mengenai definisi
kedwibahasaan yaitu; Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian
oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut
dalam keadaan saling kontak”. Jadi, kontak bahasa terjadi dalam diri penutur
secara individual. Individu-individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut
dwibahasawan. Peristiwa pemakaian dua bahasa (lebih) secara bergantian oleh
seorang penutur disebut kedwibahasaan.
Berbeda dengan Weinreich, Macnamara (dalam Rahardi: 2001) mengusulkan
bahwa batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan (mastery) atas paling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua, kendatipun tingkat penguasaan bahasa
yang kedua tersebut hanyalah pada sebatas tingkatan yang paling rendah. Namun,
batasan yang demikian itu nampaknya cukup realistis karena di dalam
kenyataannya tingkat penguasaan bahasa pertama dengan bahasa kedua tidak
pernah akan sama. Pada kondisi tingkat penguasaan bahasa kedua yang paling
rendah pun, menurut pandangan Macnamara, masih dapat dikatakan sebagai
seorang yang bilingual. Haugen (dalam Rahardi: 2001) juga sejalan dengan
batasan yang dikemukakan oleh Macnamara tersebut.
Dilihat dari tingkat kedwibahasaannya, terdapat jenis kedwibahasaan tingkat
minimal dan maksimal. Pada kedwibahasaan tingkat minimal menganggap
individu sudah dinyatakan sebagai individu yang dwibahasawan apabila individu
itu mampu untuk melahirkan tuturan yang berarti dalam bahasa lain.
Selanjutnya,kedwibahasaan maksimal menganggap bahwa individu adalah
dwibahasawan apabila individu itu mampu untuk melahirkan tuturan dalam dua
bahasa secara memuaskan.
Fishman (dalam Rahardi: 2001) menyatakan bahwa kajian atas masyarakat
bilingual tidaklah dapat dipisahkan dari kemungkinan ada atau tidaknya gejala
“diglosa”. Menurut pandangan Fishman, diglosa semata-mata tidak hanya
merupakan gejala yang terdapat dalam masyarakat monolingual, melainkan lebih
dari itu diglosa juga mengacu kepada pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan
fungsi dan peran yang tidak sama pula. Lebih lanjut, Fishman menunjukkan
kemungkinan hubungan interaksi antara bilingualisme dan diglosa ke dalam
empat tipe masyarakat, yaitu (1) masyarakat dengan bilingualisme dan diglosa, (2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
masyarakat dengan bilingualisme tanpa diglosa, (3) masyarakat dengan diglosa
tetapi tanpa bilingualisme, dan (4) masyarakat tanpa diglosa dan tanpa
bilingualisme.
Dari penjelasan tentang kedwibahasaan atau bilingualisme di atas, maka
simpulannya adalah. (1) Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) mengatakan apabila
dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka
akan terjadi kontak bahasa. (2) Macnamara (dalam Rahardi: 2001) mengusulkan
bahwa batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan (mastery) atas paling
sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua, meskipun penguasaan bahasa kedua
berada pada tingkatan yang paling rendah. (3) Fishman (dalam Rahardi: 2001)
menyatakan bahwa masyarakat bilingual tidak akan lepas oleh adanya gejala
diglosia. Kedwibahasaan itu pada dasarnya merupakan kemampuan dari
seseorang, baik individu ataupun masyarakat, yang menguasai dua bahasa dan
mampu untuk menggunakan kedua bahasanya tersebut dalam melakukan
komunikasi sehari-hari secara bergantian dengan baik. Sedangkan seseorang yang
terlibat dalam kegiatan atau praktik menggunakan dua bahasa secara bergantian
itulah yang disebut dengan bilingualnya atau yang kita kenal dengan istilah
dwibahasawan.
Dalam penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Macnamara
yang didukung teori milik Fishman, dikarenakan teori mereka berdua sejauh ini
dianggap paling lengkap dan sesuai dengan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
2.4 Fenomena Kedwibahasaan
Masyarakat tutur yang tertutup dan tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain
karena tidak ingin berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat
tutur tersebut akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi
masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka
mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, akan mengalami kontak
bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan. Peristiwa kebahasaan yang
dapat terjadi antara lain adalah interferensi, integrasi, alih kode, dan campur kode
(Chaer dan Agustina, 2010: 111). Hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
2.4.1 Interferensi
Interferensi adalah digunakannya unsur bahasa lain dalam menggunakan
suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari
kaidah atau aturan bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina, 2010: 120).
Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 120) mengemukakan bahwa
interferensi adalah perubahan sistem atau bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan usnur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Berdasarkan hal tersebut interferensi dapat diartikan
sebagai penggunaan sistem BI dalam menggunakan B2, sedangkan sistem tersebut
tidak sama dalam kedua bahasa tersebut. Interferensi berarti adanya saling
berpengaruh antarbahasa (Alwasilah dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 66).
Dapat terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata, dan makna budaya baik
dalam ucapan maupun tulisan, terutama jika seseorang sedang mempelajari
bahasa kedua (Alwasilah, 1985: 131). Pengaruh itu dalam benuk paling sederhana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
berupa pengambilan suatu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam
hubungannya dengan bahasa lain. Interferensi dapat terjadi pada pengucapan, tata
bahasa, kosakata, dan makna bahasa lain. Interferensi dianggap sebagai gejala
tutur, terjadi hanya pada dwibahasan dan peristiwanya dianggap sebagai
penyimpangan, jika sekiranya dwibahasawan itu dapat memisahkan kedua bahasa
yang dikuasai dalam arti dwibahasawan adalah dua pembicara yang terpisah
dalam diri atau orang, berarti tidak akan terjadi penyimpangan atau interferensi
(Aslinda dan Syafyahya, 2010: 65).
Interferensi dibagi empat jenis, yaitu:
1. pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain;
2. perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan;
3. penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa
pertama;
4. pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam
bahasa pertama (Weinreich dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 66).
2.4.2 Integrasi
Menurut Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 128) integrasi adalah
unsur- unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap
sudah menjadi bahasa tersebut. Unsur-unsur tersebut tidak dianggap lagi sebagai
unsur- unsur pinjaman atau pungutan. Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa
lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa
disadari oleh pemakainya (Kridalaksana, 2008: 94). Dari dua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa integrasi merupakan unsur-unsur bahasa lain yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
digunakan pada bahasa tertentu dan dianggap menjadi bagian dari bahasa tersebut.
Proses integrasi ini memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang
berintegrasi tersebut harus disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, ataupun tata
bentuknya.
Berdasarkan hal tersebut penulis mengacu pada pendapat Chaer dan Agustina
yang mengemukkan bahwa integrasi penerapan unsur bahasa lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bahasa tersebut.
2.4.3 Campur Kode (code mixing)
Ciri yang menandai adanya ketergantungan hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaaan. Peranan artinya yang menggunakan kode bahasa
tersebut. Fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penuturnya.
Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan
bercampur kode lebih banyak daripada penutur yang menguasai satu atau dua
bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak
bahasa selalu banyak melakukan campur kode. Campur kode atau code mixing
adalah percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak
bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran
bahasa itu (Nababan, 1991: 32).
Sedikit berbeda dengan pandangan Nababan, Aslinda dan Syafyahya (2007:
86) menyatakan bahwa campur kode terjadi ketika seorang penutur bahasa,
misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam
pembicaraan bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Apabila
seseorang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
keotonomian, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama
merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah
kode.
2.4.4 Alih Kode (Code Switching)
Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107) menyatakan bahwa alih kode
adalah gejala bahasa yang bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Hampir sama dengan teori Hymes, Nababan (dalam Suandi, 2014: 133)
mengatakan bahwa alih kode merupakan penggantian peralihan pemakaian bahasa
atau ragam fungsiolek ke dalam ragam yang lain.
Dengan demikian, alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa yang
terjadi karena situasi dan terjadi antar bahasa serta antarragam dalam satu bahasa.
Pemaparan lebih lanjut dari Hymes, tentang penggunaan dua bahasa atau lebih
dalam alih kode sebagai berikut.
1. Alih kode terjadi akibat adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan
bahasa (language dependency).
2. Alih kode itu akan mungkin terjadi bila masyarakat atau peserta pembicaraanya
adalah orang-orang yang bilingual atau multilingual dan atau glosik. Hal ini
disebabkan syarat yang dituntut oleh pengertian alih kode itu sendiri, yaitu suatu
pembicaraan yang beralih dari satu kode ke kode yang lain. Kode adalah salah
satu varian dalam tataran bahasa. Dengan demikian, peralihan kode di sini
dimaksudkan bisa beralih bahasa, varian, gaya, ragam, atau dialek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
3. Di dalam alih kode pemakaian bahasa atau kode disesuaikan dengan situasi
yang terikat dengan perubahan isi pembicaraan.
4. Alih kode itu terjadi disebabkan oleh tuntutan yang berlatar belakang tertentu
baik yang ada pada diri penutur pertama, orang kedua, maupun situasi yang
mewakili terjadinya pembicaraan itu.
2.5 Variasi - Variasi Bahasa
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995:79), menyatakan bahwa variasi
bahasa ditentukan oleh faktor waktu, tempat, sosiokultural, situasi dan medium
pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke masa.
Faktor daerah membedakan bahasa yang dipakai di suatu tempat dengan di tempat
lain. Faktor sosiokultural membedakan bahasa yang dipakai di suatu tempat
dengan di tempat lain. Faktor sosiokultural membedakan bahasa yang dipakai
suatu kelompok sosial. Faktor situasional timbul karena pemakai bahasa memilih
ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi tertentu. Faktor medium pengungkapan
membedakan bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Terjadinya variasi bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya
yang heterogen, tetapi karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan
sangat beragam (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 80).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa
adalah wujud pemakaian bahasa yang berbeda oleh penutur karena faktor-faktor
tertentu dan terjadinya variasi bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penutur
yang hetrogen tetapi karena kegiatan interaksi sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Chaer dan Agustina dan Agustina (2010:62) membedakan variasi bahasa
menjadi variasi bahasa dari segi penutur, variasi bahasa dari segi penggunaannya,
variasi bahasa dari segi keformalan, dan variasi dari segi sarana.
2.5.1. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
a. Idiolek
Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan (Chaer dan
Agustina, 2010:62). Setiap orang, memiliki ideoleknya masing-masing. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan oleh Aslinda (2010:17) yang menyatakan
bahwa setiap individu mempunyai sifat-sifat khas yang tidak dimiliki oleh
individu lain. Aslinda (2010:18) juga menambahkan bahwa perbedaan sifat-sifat
khas antar individu disebabkan oleh faktor fisik dan psikis. Perbedaan fisik
misalnya, karena perbedaan bentuk alat-alat bicara, sedangkan perbedaan faktor
psikis biasanya disebabkan oleh perbedaan tempramen, watak, intelektual, dan
lainnya. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya
bahasa, dan sebagainya, tetapi yang paling dominan adalah “warna” suaranya
(Chaer dan Agustina, 2010:62).
b. Dialek
Menurut Chaer dan Agustina (2010:63) dialek adalah variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat,
wilayah, atau area tertentu. Sedangkan menurut Aslinda (2010:18) dialek adalah
variasi bahasa dari sekelompok individu yang merupakan anggota masyarakat dari
suatu daerah tertentu atau kelas sosial tertentu. Sumarsono (2012:21)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
menyebutkan dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu
daerah tertentu.
Perbedaan dialek di dalam sebuah bahasa ditentukan oleh letak geografis
kelompok pemakainya. Karena itu, dialek disebut dialek geografis atau dialek
regional (Sumarsono, 2012:22). Para penutur dalam suatu dialek, memiliki
kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada dalam satu dialek yang
berbeda dengan kelompok penutur lain (Chaer dan Agustina, 2010:63). Misalnya
bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri
yang dimiliki bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang, atau juga
dialek Surabaya.
c. Kronolek atau Dialek Temporal
Kronolek atau dialek temporal merupakan variasi bahasa yang digunakan
oleh kelompok sosial pada masa tertentu (Chaer dan Agustina, 2010:
64). Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun 1945-1950, akan
berbeda baik dari segi lafal, ejaan, morfologi maupun sintaksis dengan bahasa
yang digunakan pada tahun 1970-1980. Namun, yang paling tampak biasanya
dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan
sosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Chaer dan Agustina, 2010:64).
d. Sosiolek atau Dialek Sosial
Sosiolek atau dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan dan kelas sosial para penuturnya (Chaer dan Agustina,
2010:64). Menurut Soemarsono (2012:25) sosiolek bisa ditentukan oleh jenis
kelamin, umur, pekerjaan, status ekonomi (membedakan kelompok kaya dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kelompok miskin), status sosial (masyarakat yang mengenal kasta), atau adanya
kelompok terdidik dan tidak terdidik.
1) Berdasarkan usia
Kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-
kanak, para remaja, orang dewasa dan orang-orang yang tergolong lansia (Chaer
dan Agustina, 2010:64).Perbedaan variasinya bukan yang berkenaan dengan isi
pembicaraannya, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan
juga kosakatanya. Variasi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia.
Misalnya, variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi bahasa remaja
atau orang dewasa. Kata maem misalnya digunakan oleh anak-anak untuk
menyatakan aktivitas makan yang berbeda dengan orang dewasa. Kata bobok juga
merupakan variasi bahasa anak-anak untuk menyatakan aktivitas tidur.
2) Berdasarkan pendidikan
Para penutur yang memiliki pendidikan tinggi, akan berbeda variasi bahasanya
dengan mereka yang berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak
berpendidikan sama sekali (Chaer dan Agustina, 2010:65). Perbedaannya dalam
bidang kosa kata, pelafalan, dan juga morfologi dan sintaksis. Misalnya, orang
yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya
dengan orang yang lulus sekolah tingkat atas. Kata spesifik, implementasi, dan
proporsional misalnya digunakan oleh masyarakat yang memiliki pendidikan
tinggi. Masyarakat yang hanya lulusan SD umumnya tidak menggunakan kata-
kata tersebut, tetapi mereka menggunakan kata khusus untuk menggantikan kata
spesifik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
3) Berdasarkan seks atau jenis kelamin
Contoh variasi bahasa berdasarkan seks atau jenis kelamin antara lain yang
digunakan oleh mahasiswi dan ibu-ibu akan berbeda dengan variasi bahasa yang
digunakan oleh mahasiswa dan sekelompok bapak-bapak (Chaer dan Agustina,
2010:65). Misalnya variasi yang digunakan oleh wanita akan berbeda dengan
variasi bahasa yang digunakan oleh pria. Variasi bahasa wanita umumnya lebih
lembut dibandingkan laki-laki. Variasi bahasa berdasarkan jenis kelamin juga
dapat dilihat dari kosa kata yang diproduksi. Kosa kata seperti sarung, udeng,
peci, koteka, kumis, dan lain-lain berhubungan dengan laki-laki, sedangkan kosa
kata seperti menstruasi, sanggul, lipstik, bra, hamil, kerudung, dan lain-lain
berhubungan dengan wanita..
4) Berdasarkan perbedaan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para
penutur
Perbedaan bahasa mereka dikarenakan lingkungan tugas mereka dan apa yang
mereka lakukan (Chaer dan Agustina 2010:65). Contohnya, bahasa yang
digunakan oleh guru akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh bos
perusahaan. Perbedaan variasi bahasa ini biasanya pada aspek kosa kata. Guru
misalnya menggunakan kata-kata siswa, kurikulum, ujian semester, rapor, dan
lain-lain, yang berbeda dengan variasi bahasa dokter yang menggunakan jarum
suntik, resep, obat dan lain-lain.
5) Berdasarkan tingkat kebangsawanan
Di dalam masyarakat tutur yang mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan
dapat terlihat variasi bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina 2010:65).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Contohnya adalah bahasa Jawa dan bahasa Bali. Misalnya, adanya perbedaan
variasi bahasa yang digunakan oleh raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa
dalam bidang kosakata, seperti kata mati untuk masyarakat biasa, sedangkan para
raja menggunakan kata mangkat. Di Bali, contohnya masyarakat yang memiliki
kasta brahmana mengunakan kata ngajeng untuk aktivitas makan, sedangkan
masyarakat sudra menggunakan kata medaar untuk aktivitas makan.
6) Berdasarkan tingkat ekonomi para penutur
Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat menyebabkan adanya variasi
bahasa (Chaer dan Agustina 2010:66). Misalnya orang yang memiliki tingkat
sosial lebih tinggi akan memiliki variasi bahasa yang berbeda dengan orang yang
bertingkat sosial rendah.
Sehubungan dengan variasai bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan
status dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi
bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon,
argot, dan ken (Chaer dan Agustina 2010:66).
2.5.2. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaan, pemakaiannya atau fungsinya
disebut fungsiolek (Nababan, 1984:22), ragam, atau register. Fungsiolek adalah
ragam bahasa yang didasarkan atas perbedaan fungsi ragam itu (Sumarsono,
2012:27). Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya,
atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan (Chaer dan Agustina,
2010:68). Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Setiap bidang
tersebut biasanya memiliki kosakata yang berbeda dengan bidang lainnya.
a. Ragam Bahasa Sastra
Ragam bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi
estetis, sehingga dipilih dan digunakan kosakata yang secara estetis memiliki ciri
eufoni serta daya ungkap yang paling tepat (Chaer dan Agustina, 2010:68).
Berbeda dengan ragam bahasa umum yang mengungkapkan bahasa dengan lugas,
ragam bahasa sastra akan mengungkapkan sesuatu dengan menonjolkan segi
estetisnya. Dengan kata lain bahasa sastra lebih mengutamakan keindahan
tulisannya, karena hal yang utama dilihat dari suatu karya sastra adalah pilihan
bahasa yang tepat dan indah ketika dibaca.
b. Ragam Bahasa Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri bersifat sederhana, komunikatif dan
ringkas (Chaer dan Agustina, 2010:69). Sederhana karena harus dipahami dengan
mudah komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat dan
ringkas karena keterbatasan ruang (media cetak) dan keterbatasan waktu (media
elektronik). Seperti yang kita ketahui dalam jurnalistik, pembaca menuntut untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas tanpa harus membuang waktu
mereka, sebab itu dalam jurnalistik bahasa yang digunakan harus singkat padat
dan jelas.
c. Ragam Bahasa Militer
Ragam bahasa militer memiliki ciri ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan
tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi (Chaer
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dan Agustina, 2010:69). Dalam bahasa Indonesia, ragam bahasa militer
ditunjukkan dengan banyaknya singkatan dan akronim. Digunakanya banyak
singkatan karena dalam kemiliteran setiap informasi sifatnya adalah rahasia,
dengan singkatan, informasi akan tetap terjaga.
d. Ragam Bahasa Ilmiah
Ragam bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri lugas, jelas, dan bebas dari
keambiguan, serta segala macam metafora dan idiom (Chaer dan Agustina,
2010:69). Ragam bahasa ilmiah tidak boleh ambigu karena harus memberikan
informasi secara jelas.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebur register (Chaer dan
Agustina, 2010:69). Alwasilah (melalui Aslinda, 2010:19) mengatakan register
adalah satu ragam tertentu yang digunakan untuk maksud tertentu, sebagai
kebalikan dari dialek sosial atau regional. Jika dialek berkenaan dengan bahasa itu
digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan
masalah bahasa itu diungkapkan untuk kegiatan apa (Chaer dan Agustina,
2010:69). Dalam kehidupan sosial di masyarakat, mungkin saja orang hanya
mengenal satu dialek saja, akan tetapi ia pasti mengenal beberapa register karena
dalam kehidupan dalam masyarakat bidang kegiatan yang dilakukan pasti lebih
dari satu.
2.5.3. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Martin Joos (melalui Chaer dan Agustina, 2010:70) membuat lima klasifikasi
bahasa menurut tingkat keformalannya, yaitu:\
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
a. Ragam Beku (frozen)
Ragam bahasa beku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang digunakan
dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi (Nababan,
1984:22). Aslinda (2010:20) menyebut ragam ini dengan sebutan ragam beku
karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara tetap dan tidak dapat diubah.
Contoh penggunaan ragam bahasa ini adalah: upacara kenegaraan, tata cara
pengambilan sumpah, undang-undang dasar, akta notaris, naskah perjanjian jual-
beli, dan lain-lain. Susunan kalimat dalam ragam beku biasanya panjang-panjang,
bersifat kaku, serta kalimatnya lengkap (Chaer dan Agustina, 2010:70).
b. Ragam Resmi (formal)
Ragam bahasa resmi/formal adalah ragam bahasa yang digunakan dalam
buku-buku pelajaran, rapat dinas, dan surat menyurat resmi (Aslinda,
2010:20). Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai
standar (Chaer dan Agustina, 2010:70). Contoh lain penggunaan ragam bahasa
resmi adalah pinangan, seorang mahasiswa berbicara dengan dosen di kantor,
diskusi dalam ruang kuliah, pidato-pidato resmi, rapat resmi pimpinan, dan lain-
lain.
c. Ragam Usaha (consultative)
Ragam usaha atau ragam konsultatif merupakan ragam bahasa yang lazim
digunakan dan bahasa yang paling operasional (Chaer dan Agustina,
2010:71). Ragam ini biasanya digunakan dalam pembicaraan biasa di
sekolah, perusahaan, rapat usaha, atau suatu pembicaraan yang berorientasi pada
sebuah hasil atau produksi. Menurut Chaer dan Agustina (2010:71) keberadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
ragam ini berada di antara bahasa formal dan bahasa informal. Sejalan dengan hal
tersebut, Aslinda (2010:20) juga mengungkapkan bahwa ragam ini berada di
antara ragam bahasa formal dan ragam bahasa santai. Contohnya adalah Saudara
boleh mengambil buku-buku ini yang Saudara sukai!.
d. Ragam Santai (casual)
Ragam santai adalah ragam bahasa santai antar teman dalam berbincang-
bincang, rekreasi, berolahraga, dan sebagainya (Nababan, 1984:22). Ragam ini
banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk atau ujaran kata yang
dipendekkan (Chaer dan Agustina, 2010:71). Kosakata dalam bahasa santai
ini banyak dipengaruhi oleh unsur leksikal dialek (Aslinda, 2010:20). Contoh
penggunaan bahasa ini adalah Ambillah kalau kamu suka!
e. Ragam Akrab (intimate)
Ragam akrab/intimate adalah ragam bahasa yang digunakan antara teman
yang sudah akrab, karib, dan keluarga (Aslinda, 2010:20). Ragam ini ditandai
dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan terkadang
artikulasi tidak jelas (Chaer dan Agustina, 2010:71). Contoh penggunaan ragam
ini adalah Kalau mau ambil aja!. Dari tuturan tersebut terlihat bahwa penggunaan
bahasa tidak dibatasi perasaan segan atau tak berjarak, hal ini dikarenakan
hubungan antara penutur dan lawan tutur yang begitu dekat.
2.5.4. Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Berdasarkan sarana yang digunakan, ragam bahasa terdiri atas dua bagian,
yaitu ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan (Aslinda, 2010:21). Adanya
ragam bahasa lisan dan bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama (Chaer dan
Agustina, 2010:72). Ragam bahasa lisan disampaikan secara lisan dan dibantu
oleh unsur-unsur suprasegmental, sedangkan ragam bahasa tulis unsur
suprasegmental diganti simbol dan tanda baca (Aslinda, 2010:21). Dalam
berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita
susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik (Chaer dan Agustina, 2010:73).
Berbeda dengan Aslinda (2010:21) yang hanya membagi variasi bahasa ini
menjadi ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, Chaer dan Agustina
(2010:72) juga menambahnya dengan ragam dalam berbahasa dengan
menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya dalam bertelepon atau
bertelegraf. Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa
lisan dan ragam bahasa tulis sebenarnya termasuk dalam bahasa tulis (Chaer dan
Agustina, 2010:73). Akan tetapi, kedua sarana tersebut mempunyai ciri dan
keterbatasan sendiri-sendiri serta syarat tertentu sehingga dikenal adanya bahasa
telepon dan bahasa telegraf. Kedua ragam tersebut berbeda dengan ragam bahasa
yang lainnya.
2.6 Kode
Menurut Kridalaksana (1984:102) kode diartikan sebagai (1) lambang
suatu sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (2)
sistem bahasa dalam satu masyarakat, (3) suatu varian tertentu dalam satu bahasa.
Berbeda dari penjelasan Kridalaksana, Poedjosoedarmo (1982:30)
menyatakan bahwa kode merupakan suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
lawan tutur, dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu terdapat unsur bahasa
seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem.
Dari uraian di atas mengenai kode dapat disimpulkan bahwa, (1)
Kridalaksana mengartikan kode sebagai lambang suatu sistem ungkapan yang
dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, sistem bahasa dalam satu
masyarakat, dan varian dalam suatu bahasa. (2) Poedjosoedarmo memberikan
gambaran lebih rinci mengenai kode yakni suatu system tutur yang penerapan
unsur bahasanya memiliki ciri khas sesuai latar belakang penutur dan lawan tutur.
Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori milik
Poedjosoedarmo, karena dianggap sesuai dengan penelitian ini. Kode yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah kode merupakan lambang, sistem bahasa,
varian bahasa dalam suatu kelompok masyarakat dimana penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan
lawan tutur, dan situasi yang ada, didalam kode juga terdapat beberapa unsur
bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem.
2.7 Pengertian Alih Kode
Jendra (dalam Padmadewi, Merlyna, dan Saputra, 2014: 64) mengatakan
bahwa alih kode sebagai peralihan atau pergantian dari satu varian bahasa satu ke
bahasa lain. Sedikit berbeda dengan pendapat Jendra, Dell Hymes (dalam
Suandi, 2014: 133) mengungkapkan bahwa pengertian alih kode merupakan
suatu istilah umum yang digunakan untuk menyatakan pergantian (peralihan)
pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan
beberapa ragam dari satu gaya. Hampir sama dengan pendapat Dell Hymes,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Nababan (dalam Suandi, 2014: 133) mengatakan bahwa alih kode merupakan
penggantian peralihan pemakaian bahasa atau ragam fungsiolek ke dalam ragam
yang lain. Selaras dengan pendapat Nababan, Suwito (dalam Wijana dan
Rohmandi, 2006: 171) mengatakan pula alih kode adalah peristiwa peralihan dari
kode satu ke kode lain. Apabila sorang penutur mula-mula menggunakan bahasa
kode A dan kemudian beralih menggunakan kode B. Adapun batasan dari alih
kode itu sendiri, Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) menawarkan
kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Apabila satu
klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya
disusun menurut gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih
kode.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan para ahli tersebut, maka yang dimaksud
alih kode adalah pergantian bahasa dari satu bahasa tertentu ke bahasa lain atau
berubahnya ragam santai menjadi resmi atau sebaliknya, pengalihan itu dilakukan
oleh seseorang dalam keadaan sadar karena sebab-sebab tertentu. Alih kode
merupakan penanda dari sebuah sikap, intensitas emosi, atau beragam jenis
identitas.
Berikut disajikan contoh yang dikutip dari Abdul Chaer dan Leonie Agustina
(diangkat dari Widjajakusumah 1981).
Latar belakang : Komplek perumahan guru di Bandung
Para Pembicara : ibu-ibu rumah tangga. Ibu S dan Ibu H Orang Sunda, dan Ibu N
orang Minang yang tidak bisa berbahsa Sunda.
Topik : air ledeng tidak keluar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Sebab alih kode : Kahadiran Ibu N dalam peristiwa tutur Peristiwa tutur
Ibu S : Bu H, kumaha cai tadi wengi? Di abdi mah tabuh sepuluh nembe
ngocor, kitu ge alit (Bu H, bagaimana air ledeng tadi malam? Di
rumah saya sih pukul sepuluh baru keluar, itupun kecil)
Ibu H : Sami atuh. Kumaha Ibu N yeuh, kan biasanya baik (Samalah.
Bagaimana Bu N ni, kan biasanya baik).
Terlihat di situ, begitu pembicaraan ditujukan kepada Ibu N alih kodepun
langsung dilakukan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Berikut contoh lain
dari tuturan yang mengandung alih kode.
Bu Inem : “Selamat pagi bu Ijah? Menurut ibu, ada acara apa di rumah
Anita?”
Bu Ijah : “Pagi, eh buk Inem. Acara doa untuk almarhum ayah angkat
Anita Buk.”
Bu Inem : “Oh ayah angkat Anita, sing jare wong kampung ninggal
garagara digebuk wong sak RT opas konangan maling motor
ya Bu? (Oh ayah angkat Anita, yang kata orang kampung
meninggal karena dipukulin orang satu RT waktu mencuri
motor ya Bu?).”
Bu Ijah : “Eh ya Buk, lah deneng sampean ngerti Buk? (Oh iya Buk, kok
tau Buk?).
Pada contoh percakapan di atas, dapat dilihat bahwa ketika topiknya tentang
mendoakan seseorang yang telah meninggal maka percakapan itu berlangsung
dalam bahasa Indonesia, tetapi ketika membicarakan pribadi orang yang didoakan
terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sejalan dengan hal itu,
Suandi (2014: 133) mengemukakan ciri-ciri alih kode sebagai berikut.
1) Alih kode terjadi akibat adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan
bahasa (language dependency).
2) Alih kode itu akan mungkin terjadi bila masyarakat atau peserta pembicaranya
adalah orang-orang yang bilingual atau multilingual dan atau diglosik. Hal ini
disebabkan syarat yang dituntut oleh pengertian alih kode itu sendiri, yaitu suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
pembicaraan yang beralih dari satu kode ke kode yang lain. Kode adalah salah
satu varian di dalam tataran bahasa. Dengan demikian, peralihan kode di sini
dimaksudkan bisa beralih, varian, gaya, ragam, atau dialek.
3) Dalam alih kode pemakaian bahasa atau kode itu masih mendukung fungsinya
sendiri-sendiri sesuai dengan isi (konteks) yang dipendamnya.
4) Fungsi tiap-tiap bahasa atau kode disesuaikan dengan situasi yang terkait
dengan perubahan isi pembicaraan.
5) Alih kode itu terjadi disebabkan oleh tuturan yang berlatar belakang
tertentu,baik yang ada pada diri penutur pertama, orang kedua, maupun situasi
yang mewadahi terjadinya pembicaraan itu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alih kode secara
umum memiliki ciri, yaitu pemakaian bahasa atau kode itu masih mendukung
fungsinya sendiri-sendiri sesuai dengan isi (konteks). Alih kode itu akan mungkin
terjadi bila masyarakat atau peserta pembicaranya adalah orang-orang yang
bilingual atau multilingual dan atau diglosik. Hal ini disebabkan syarat yang
dituntut oleh pengertian alih kode itu sendiri, yaitu suatu pembicaraan yang
beralih sari satu kode ke kode yang lain.
2.7.1 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode
Banyak ahli bahasa yang menerangkan bahwa faktor-faktor alih kode secara
umum dapat diperinci sebagai berikut: (1) alih kode karena mensitir, (2) alih kode
secara tidak langsung, (3) hubungan yang tidak pasti antara penutur dan lawan
tutur, (4) ketidakmampuan menguasai kode tertentu, (5) pengaruh kalimat-kalimat
yang mendahului penuturnya, (6) pengaruh situasi, (7) pengaruh materi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
percakapan, (8) pengaruh orang ketiga, (9) bersandiwara, (10) pengaruh maksud
tertentu. Menurut Appel (dalam Pateda, 1987: 86) faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya alih kode antara lain, (1) siapa pembicara dan
pendengar, (2) pokok pembicaraan, (3) konteks verbal, (4) bagaimana bahasa
yang dihasilkan, dan (5) lokasi. Sementara itu, menurut Chaer dan Agustina
(2010: 108) alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor, yakni pembicara atau
penutur, pendengar atau mitra tutur, perubahan situasi karena hadirnya orang
ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik
pembicaraan.
Dari faktor-faktor yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa alih kode
diakibatkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Siapa yang berbicara
2. Siapa yang diajak berbicara
3. Kehadiran orang ketiga
4. Topik pembicaraan
5. Situasi pembicaraan
6. Maksud atau tujuan pembicara
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, penulis lebih mengacu pada teori dari
Chaer dan Agustina penyebab terjadinya alih kode sebagai berikut.
1. Pembicara atau Penutur
Seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih kode untuk
memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih kode
memperoleh biasnaya dilakukan penutur dalam keadaan sadar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
2. Pendengar atau Lawan Tutur
Pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya
karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur.
Biasanya hal ini terjadi karena kemampuan berbahasa mitra tutur kurang atau
karena memang bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur itu berlatar belakang
bahasa yang sama dengan penuturnya, maka alih kode yang terjadi hanya berupa
peralihan varian (baik regional ataupun sosial), ragam, gaya, atau register. Alih
kode ini juga dapat dipengaruhi sikap atau tingkah laku lawan tutur.
3. Perubahan Situasi karena Hadirnya Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang memiliki latar belakang bahasa
berbeda bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dapat menyebabkan
terjadinya peristiwa alih kode. Status orang ketiga dalam alih kode juga
menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan dalam suatu pembicaraan.
4. Perubahan Situasi dari Formal ke Informal atau Sebaliknya
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Alih kode
yang terjadi biasanya bisa dari ragam formal ke informal atau sebaliknya,
misalnya dari ragam bahasa Indonesia formal menjadi ragam bahasa santai, atau
dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya.
Berikut contoh alih kode karena perubahan situasi dari situasi formal ke
nonformal tampak pada peristiwa tutur berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Guru : “Saya rasa semua sudah jelas dengan tugas kelompoknya masing-
masing, baiklah kita lanjutkan besok, selamat siang.”
Murid : ”Siang pak.”
Guru : (Menghampiri salah satu siswa) “Deni tolong jipo‟ne minum
bapak, delehne neng mejo bapak yo. Bapak arep sholat ndisek.”
Deni : ”Nggeh Pak.”
5. Berubahnya Topik Pembicaraan
Peristiwa alih kode dipengaruhi juga oleh pembicaraan. Pokok pembicaraan ini
biasanya bersifat formal dan informal. Misalnya, seorang pegawai sedang
berbincang-bincang dengan atasannya mengenai surat, bahasa yang digunakan
adalah bahasa Indonesia resmi. Namun, ketika topiknya berubah pada pribadi
orang yang dikirimkan surat, maka terjadilah alih kode ke dalam bahasa Indonesia
ragam santai. Alih kode ini terjadi karena topik pembicaraan telah berbeda, yaitu
dari hal-hal yang bersifat formal menjadi informal. Peristiwa alih kode dilakukan
oleh penutur dalam keadaan sadar dan dilakukan dengan faktor-faktor tertentu.
Sebagai salah satu strategi verbal antarpenutur bilingual, memperlihatkan bahwa
di Indonesia (khususnya dari Jawa ke bahasa Indonesia).Perpindahan kode atau
alih kode terjadi karena ingin mengakrabkan hubungan atau untuk
merenggangkan hubungan. Suatu perpindahan kode tidak tepat antara lain dapat
menimbulkan hal yang lucu atau menggelikan lawan bicara dan pendengar
lainnya, tentu dapat pula menimbulkan kesan lain. Alih kode yang biasanya
dipakai dalam situasi informal atau akrab dapat menimbulkan bahwa si pembicara
ingin mencapai tujuan bicaranya dengan meyakinkan lawan bicara bahwa antara
mereka banyak terdapat persamaan. Bila lawan bicara tidak setuju akan tindakan
orang pertama, dapatlah dia umpamanya memberikan jawaban dalam kode yang
biasa dipakai dalam situasi formal (Anwar, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Contoh peristiwa alih kode yang dikutip dari Chaer dan Agustina (2010:
106), terdapat dua mahasiswa yakni nanang dan ujang. Keduanya berasal dari
Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah.
Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tidak menentu dengan
menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Sekali bercampur dengan
bahasa Indonesia jika topik pembicaraannya menyangkut masalah pelajaran.
Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap, masuklah Togar, teman kuliahnya
yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda. Togar
menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Lalu, segera mereka terlibat
percakapan dengan bahasa Indonesia. Tidak lama kemudian masuklah teman-
teman mereka yang lain sehingga suasana menjadi riuh dan percakapan tak terarah
lagi. Dari contoh tersebut jelas terlihat telah terjadi peralihan bahasa (alih kode)
dalam berkomunikasi. Alih kode juga dapat terjadi di ragam bahasa daerah,
misalnya pada penduduk di Sumatra Barat cenderung menunjukkan bahwa
bertemu dua orang dari daerah dialek yang berlainan, maka mereka berbicara
dalam suatu ragam bahasa Minang yang dianggap ragam umum. Hal ini mereka
lakukan antara lain tentulah untuk mempermudah pengertian dan menunjukan
bahwa mereka masing-masing sudah biasa keluar dari kampungnya. Anggapan ini
mungkin benar tetapi kita baru berbicara secara umum saja. Ragam bahasa yang
akan dipilih seseorang dalam suatu pembicaraan ditentukan oleh pembicaraan,
tempat pembicaraan itu dilakukan, formal atau tidak formalnya pembicaraan,
bagaimana penilaian si pembicara terhadap dirinya dalam hubungan dengan lawan
bicaranya. Selama pembicaraan berlangsung, bisa saja satu pihak atau kedua belah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
pihak menukar ragam bahasa yang dipakai untuk tujuan tertentu, misalnya untuk
menunjukkan kekesalan, kemesraaan, dan sebagainya (Anwar, 1990: 42).
Menurut Anwar (1990: 42) mengenai topik pembicaraan, tentu banyak
pula ragamnya. Bila seorang ahli ekonomi membahas suatu masalah yang
bersangkutan dengan keahliannya mungkin dia akan menggunakan ragam bahasa
atau bahasa tertentu. Seorang pembicara ada yang terbatas sekali mengenai topik
yang akan dibicarakan tetapi ada pula yang menguasi mengenai semua topik yang
dibicarakan. Orang yang terbatas topik pembicaraannya tentulah terbatas pula
penggunaan ragam bahasanya begitu pun sebaliknya. Tempat pembicaraan terjadi
yang mempengaruhi ragam bahasa yang dipakai. Pemilihan ragam bahasa ini
ditentukan oleh topik dan domain. Selanjutnya, status si pembicara dalam
hubungannya dengan status lawan bicara juga ikut berperan di samping ragam
bahasa dan bahasa yang dikuasai oleh peserta pembicara. Perpindahan kode atau
alih kode digunakan untuk mengakrabkan hubungan atau merenggangkannya.
Perpindahan kode atau alih kode dapat menimbulkan hal yang lucu, menggelikan
lawan bicara, dan kesan yang lain. Alih kode biasa digunakan dalam situasi
formal kepada kode yang biasa dipakai situasi informal dapat menimbulkan
bahwa si pembicara ingin mencapai tujuan bicaranya meyakinkan lawan
bicaranya (Anwar, 1990: 44).
2.7.2 Bentuk-Bentuk Alih Kode
Alih kode merupakan gejala peralihan bahasa dan gaya yang terdapat dalam
satu bahasa (Hymes dalam Aslinda dan Syafyahya). Soewito (dalam Chaer dan
Agustina, 2010:114) membedakan alih kode menjadi dua macam, yaitu alih kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
intern dan alih kode ekstren. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung
antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia kebahasa Jawa, atau sebaliknta.
Sedangkan alih kode ekstren adalah alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri
dan bahasa asing, seperti dari bahasa Indonesia kebahasa Inggris atau sebaliknya.
Menurut Suandi (2014: 135) alih kode internal adalah alih kode yang terjadi
bila si pembicara dalam pergantian bahasanya menggunakan bahasa-bahasa yang
masih dalam ruang lingkup bahasa nasional atau antardialek dan bahasa dalam
satu bahasa daerah atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu
dialek. Misalnya, ketika pembicaraan si A mula-mula berbahasa Indonesia baku
karena situasi menuntut dia beralih kode kedalam bahasa Indonesia dialek Jakarta.
Berdasarkan definisi dari beberapa pakar, dapat disimpulkan bahwa alih kode
internal terjadi antarbahasa sendiri, sedangkan alih kode eksternal adalah alih
bahasa yang terjadi antarbahasa sendiri ke bahasa asing.
Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori milik Hymes, seperti
yang sudah dipaparkan di atas bahwa pengertian alih kode merupakan suatu
istilah umum yang digunakan untuk menyatakan pergantian (peralihan)
pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan
beberapa ragam dari satu gaya. Tak hanya itu untuk mendukung teori Hymes
digunakan pula teori milik Nababan untuk memperjelas fokus penelitian yaitu
peralihan bahasa.
2.8 Wujud Alih Kode
Rahardi, (2001: 105) menyatakan bahwa pemerian wujud alih kode itu akan
mencakup dua hal, yakni peralihan dari kode yang berstatus tinggi (vous) ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dalam kode yang berstatus rendah (tu) dan sebaliknya dari kode yang berstatus
rendah (tu) ke dalam kode yang berstatus tinggi (vous). Berbeda dengan Rahardi,
Kamaruddin (1989: 59) mengatakan bahwa alih kode terjadi pada tingkat frasa,
klausa, kalimat atau antar kalimat. Dengan demikian wujud alih kode dalam
tulisan ini sejalan dengan teori Rahardi, yakni alih kode adalah peralihan dari
kode yang berstatus tinggi (vous) ke dalam kode yang berstatus rendah (tu) dan
sebaliknya dari kode yang berstatus rendah (tu) ke dalam kode yang berstatus
tinggi (vous). Yang dimaksud dengan kode berstatus tinggi adalah kode yang
memiliki makna rasa penuh sopan santun, sedangkan yang dimaksud dengan kode
berstatus rendah adalah kode yang memiliki makna rasa yang tak berjarak antara
penutur dengan mitra tutur
2.8.1 Alih Tingkat Tutur
Menurut Poedjasoedarma, (1979: 3) , tingkat tutur adalah variasi bahasa yang
perbedaan antar tingkat satu dengan yang lain ditentukan oleh perbedaan
kesopanan penutur terhadap mitra tutur. Berbeda dengan pendapat Soepomo,
Rahardi,(2001: 107) menyatakan bahwa alih tingkat tutur dalam bahasa Jawa
dapat berupa perpindahan dari tingkat tutur ngoko ke madya, madya ke ngoko.
Seperti dijelaskan oleh Rahardi, (2001: 59) yang dimaksud dengan tingkat tutur
ngoko adalah tingkat tutur yang memiliki makna rasa tak berjarak antara orang
pertama atau penutur dengan orang kedua atau mitra tutur. Dengan perkataan lain
hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh semacam rasa segan atau
“pekewuh”. Sedangkan yang dimaksud dengan tingkat tutur madya menurut
Rahardi (2001: 60) adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
tutur karma dan tingkat tutur ngoko. Tingkat tutur madya ini menunjukkan
perasaan sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Berdasarkan teori diatas dalam tulisan ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Rahardi yakni alih tingkat tutur dalam bahasa Jawa dapat berupa perpindahan
dari tingkat tutur ngoko ke madya, madya ke ngoko. Dipilihnya teori ini karena
dianggap sesuai dengan penelitian ini.
2.8.2 Alih Bahasa
Alih bahasa merupakan peralihan dari bahasa satu ke bahasa yang lain,
seperti yang terjadi dalam proses belajar mengajar di SD Negeri 1 Lendah
mencakup peralihan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Alih kode berwujud alih bahasa sering
ditemukan dalam interaksi guru – siswa dalam proses belajar mengajar dikelas.
Adapun uraian tentang alih bahasa akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
2.8.2.1 Alih Bahasa dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia
Rahardi (2001: 119) menyatakan bahwa fungsi bahasa dari kedua bahasa
itupun sering dapat saling menggantikan. Maksudnya adalah bahwa dalam suatu
kesempatan bahasa Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa yang berstatus tinggi
(vous) dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang berstatus rendah (tu).
Rahardi juga memberikan contoh percakapan antara penjual dengan
pembeli, sebagai penjelas dari teorinya. Adapun salah satu contohnya sebagai
berikut.
‘Ini daster, ya.’
Penjual : Ya daster, ya rok.’
‘Ya daster, ya rok.’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Pembeli : Pinten niki ?
‘Berapa ini.’
Penjual : Niku sekawan setengah.
‘Itu empat setengah.’
Pembeli : Kalau yang ini berapa bu?
Dari cuplikan percakapan di atas terlihat bahwa pembeli beralih kode dari
bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Jelas dalam percakapan antara penjual
dengan pembeli di atas dari awal mereka menggunakan bahasa Jawa kemudian di
akhir percakapan menggunakan bahasa Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa
bahasa Jawa sebagai bahasa yang berstatus tinggi (vous) dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang berstatus rendah (tu).
2.8.2.2 Alih Bahasa dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa
Rahardi (2001: 120) menyatakan pada kesempatan yang lain bahasa
Indonesia dapat berfungsi sebagai bahasa yang berstatus tinggi (vous) dan bahasa
Jawa berfungsi sebagai bahasa yang berstatus rendah (tu).
Lebih jelas Rahardi memberikan contoh percakapan anatara penjual dengan
pembeli, salah satunya adalah sebagai berikut.
Pembeli : Ini berapa, bu?
Penjual : Tiga setengah.
Pembeli : Ndak boleh kurang?
Pembeli :Daster, to iki.
Penjual : Badhe pinten to mundhute?
‘Mau berapa belinya?’
Pembeli : Setunggal mawon. Pase pinten?
‘Satu saja. Pasnya berapa?
Penjual : Kalih setengah
‘Dua setengah’
Dari percakapan di atas terlihat bahwa adanya alih kode yang dilakukan
oleh pembeli. Dari awal percakapan mereka menggunakan bahasa Indonesia
kemudian beralih ke bahasa Jawa dalam tingkat madya. Hal ini menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berstatus tinggi (vous) dan bahasa
Jawa sebagai bahasa yang berstatus rendah (tu).
2.9 Konteks
Uraian mengenai konteks dipaparkan secara rinci oleh Dell Hymes (1974)
dalam jurnal berjudul Konteks dan Jembatan Komunikasi milik Annisa dan
Handayani (2013). Hymes menyebutkan konteks ini sebagai komponen tutur
(component of speech). Komponen tutur mencakup delapan elemen yang
dirumuskan dalam teori SPEAKING. Teori SPEAKING merumuskan faktor-faktor
penentu peristiwa tutur. Adapun yang dimaksud dengan teori SPEAKING adalah
Setting and scene (S), Participant (P), End (E), Act Sequences (A), Key (K),
Instrumentalities (I), Norms (N), Genres (G). Hymes dalam Rahardi (2001: 29-35)
menjelaskan konsep SPEAKING sebagai berikut:
1). Setting and Scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) bersifat fisik, yaitu
meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara Scene adalah latar psikis
yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tutur.
2). Participant, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung
maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan seperti usia,
pendidikan, latar sosial, dan sebagainya, juga menjadi perhatian. Pihak pertama
adalah penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi
tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan
hadirnya pihak ketiga.
3). End, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang
diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
sendiri (end in views goals). Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk
menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk,
merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga
ditujukan untuk mengubah perilaku sesorang dalam dalam masyarakat. Tuturan
yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering disebut
tujuan konatif dari penutur.
4). Act sequences (pesan/amanat), terdiri dari bentuk pesan (messages form) dan
isi pesan (messages content).
5). Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan.
6). Instrumentalities (sarana), yaitu sarana percakapan. Maksudnya, dengan media
apa percakapan tersebut disampaikan, misalnya: dengan cara lisan, surat, radio,
dan sebagainya.
7). Norms merujuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan.
Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara
membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan sebagainya.
8). Genres, yaitu jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang
sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana, misalnya:
wacana telepon, wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.
Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2001: 35-36) memiliki konsep komponen
tutur yang merupakan pengembangan dari konsep Dell Hymes. Menurut
Poedjosudarmo, terdapat tiga belas komponen tutur yaitu: 1) pribadi si penutur
atau orang pertama, 2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya
dengan orang yang diajak bicara, 3) kehadiran orang ketiga, 4) maksud dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
kehendak si penutur, 5) warna emosi si penutur, 6) nada suasana bicara, 7) pokok
pembicaraan, 8) urutan bicara, 9) bentuk wacana, 10) sarana tutur, 11) adegan
tutur, 12) lingkungan tutur, dan 13) norma kebahasaan lainnya. Berikut ini uraian
mengenai ketigabelas komponen tutur tersebut.
1). Pribadi Si Penutur atau Orang Pertama
Pribadi si penutur atau orang pertama banyak menentukan kuantitas tuturan
yang disampaikan seseorang. Berkenaan dengan hal ini terdapat dua hal penting
yang perlu di sebutkan. Pertama adalah siapakah kejatian atau identitas orang
pertama itu dan yang kedua adalah dari manakah asul-usul penutur itu. Identitas
orang pertama akan ditentukan oleh tiga hal penting yakni (1) keadaan fisiknya,
(2) keadaan mentalnya, dan (3) kemampuan berbahasanya.
Kedua hal penting yang telah dipaparkan Poedjosudarmo di atas sangat
berpengaruh pada kuantitas tuturan. Sebagai contoh, seorang balita yang baru bisa
berbicara banyak mengeluarkan celoteh. Orang yang mentalnya terganggu juga
sering menuturkan sesuatu namun sangat sulit dipahami oleh pendengarnya.
Seorang warga yang bertemu dengan turis asing di lokasi wisata dan tidak dapat
berbahasa Inggris hanya menggunakan bahasa isyarat ketika menanggapi ujaran
turis yang hanya bisa berbahasa Inggris.
2). Anggapan Penutur terhadap Kedudukan Sosial dan Relasinya dengan Orang
yang Diajak Bicara
Masalah latar belakang penutur, perlu dikaitkan dengan masalah jenis
kelamin, daerah asal, suku, umur, golongan kelas dalam masyarakat, dan agama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
atau kepercayaan. Seseorang yang berjenis kelamin wanita tentu akan
menggunakan bahasa yang berbeda dengan pria.
Menurut Wardhaugh, dalam Rahardi (2001: 37), seorang pria memiliki
kecenderungan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan olah raga,
politik, dan sebagainya sedangkan wanita cenderung membicarakan masalah
rumah tangga, perhiasan, pakaian, dan semacamnya. Demikian juga masyarakat
golongan atas akan berbicara dengan cara yang berbeda dengan anggota
masyarakat golongan bawah. Orang-orang golongan atas dapat berbicara ihwal
bisnis besar, barang mewah, dan semacamnya sedangkan anggota masyarakat
golongan bawah tidak mmungkin melakukan hal yang demikian itu.
3) Kehadiran Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga kadang-kadang dapat juga dipakai sebagai penentu
berubahnya kode yang dipakai seseorang dalam berkomunikasi. Sebagai contoh,
dalam peristiwa tawar-menawar yang berbahasa Jawa dalam tingkat tutur Krama
bercampur dengan Ngoko, mendadak berubah menjadi bahasa Jawa Krama tanpa
dicampuri dengan variasi Ngoko karena datangnya teman pedagang yang
barangkali juga bisa berbahasa Jawa dengan semua langganannya. Kedatangaan
sang teman pedagang dalam peristiwa tutur itu akan menuntutnya menggunakan
bahasa yang sama dengan pedagang itu.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kehadiran orang ketiga berpengaruh pada
bahasa yang digunakan. Seringkali penutur harus mengubah kode tuturannya
supaya orang yang memiliki latar belakang kebahasaan berbeda dapat terlibat
dalam komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
4) Maksud dan Kehendak Si Penutur
Faktor maksud dapat pula berpengaruh terhadap kode bahasa yang dipilih
seseorang dalam bertutur. Seorang anak yang biasanya berbicara dengan bahasa
Jawa ngoko kepada ibunya, sekejap dapat berubah berbahasa dengan
menggunakan variasi bahasa dalam tingkat krama karena maksud-maksud tertentu
yang penentuan hasilnya adalah pada pihak sang Ibu. Pada saat anak minta
dibelikan pakaian baru oleh ibunya, anak itu akan mengubah kodenya supaya
maksudnya tercapai.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa perubahan kode berkaitan pula dengan
maksud tuturan. Supaya maksud tuturan dapat dipahami oleh lawan bicara,
seorang penutur harus menggunakan kode tertentu yang mendukung maksud.
5) Warna Emosi Si Penutur
Terkait erat dengan faktor maksud dan kehendak dari penutur adalah warna
emosi. Penutur yang sedang gugup barangkali akan menimbulkan tuturan yang
tidak jelas ditangkap oleh mitra tutur. Ketidakjelasan itu mungkin dikarenakan
oleh banyaknya frasa yang terpenggal, banyaknya tuturan yang tidak lengkap,
banyaknya pengulangan tuturan yang bahkan membingungkan, dan sebagainya.
Dalam bahasa Jawa, hal yang demikian itu dikatakan sebagai tumpang suh
yang artinya tuturan yang tidak memiliki keteraturan urutan. Faktor warna emosi
ini barangkali menjadi amat jelas manakala orang sedang marah. Orang yang
sedang marah atau dalam keadaan emosi tingkat tinggi dapat dipastika kesulitan
dalam mengontrol tuturannya. Dengan emosi yang demikian itu si penutur akan
banyak mengeluarkan kata-kata yang terlepas dari pilihan tingkat tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
6) Nada Suasana Bicara
Terkait dengan emosi adalah nada suasana bicara. Nada suasana dapat
berpengaruh terhadap perasaan dan emosi penutur dan lawan tutur sehingga
akhirnya akan berpengaruh juga terhadap tuturan.
Sebagai contoh adalah manakala terjadi peristiwa kematian dalam suatu
keluarga. Nada suasana yang ada pada saat itu adalah kesedihan. Suasana yang
demikian sudah barang tentu mewarnai perasaan para anggota keluarga bahkan
anggota masyarakat itu. Apabila mereka bertutur, sudah barang tentu perasaan
sedih itu tidak dapat disembunyikan. Dengan kata lain tuturan mereka pada saat
berkomunikasi dan mengadakan kontak dengan yang lain dipengaruhi oleh nada
suasana yang melingkunginya.
7) Pokok Pembicaraan
Agak dekat dengan masalah nada suasana tutur adalah masalah bidang atau
masalah yang dibicarakan. Membicarakan masalah politik sudah barang tentu
berbeda dengan membicarakan masalah olah raga. Berbicara ihwal politik pasti
disertai dengan unsur keseriusan, kendatipun hanya dalam batas-batas tertentu,
sedangkan berbicara masalah olah raga cenderung untuk bersifat santai dan tidak
menegangkan.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa pokok pembicaraan juga memengaruhi
situasi pembicaraan. Topik pembicaraan yang serius akan menciptakan suasana
yang serius. Topik pembicaraan yang santai akan menciptakan suasana
pembicaraan yang santai pula.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
8) Urutan Bicara
Masalah urutan dalam bertutur juga sangat berpengaruh terhadap tuturan.
Pada saat terjadi percakapan antara dosen dengan seorang mahasiswa yang sedang
berkonsultasi tentang penulisannya tesisnya sudah barang tentu sang dosen itu
akan berbicara dengan lebih leluasa. Di lain pihak mahasiswa akan berbicara
dengan lebih hati-hati dan cenderung hanya menjawab apa yang ditanyakan oleh
dosennya.Artinya bahwa karena urutan bicara sang mahasiswa adalah di belakang
sang dosen, maka urutan yang muncul dari mahasiswa itu pun cenderung terbatas.
Dari uraian di atas diketahui bahwa urutan bicara berkaitan pula dengan status
atau kedudukan sosial. Dosen merupakan orang yang dihormati oleh
mahasiswanya dari segi usia maupun ilmu yang dimilikinya.
9) Bentuk Wacana
Di dalam suatu masyarakat biasanya terdapat tuturan dalam bentuk yang
sudah mapan (established speech form). Bentuk tutur orang berpidato, orang
memberikan sambutan, orang mengundang kenduri (dalam masyarakat Jawa)
mengandung urut-urutan tutur yang sudah hampir pasti dan selalu sama. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa bentuk tuturan dalam wacana-wacana itu sudah
mapan dan orang tidak demikian mudah mengganti urutan bentuk tuturan itu.
Uraian di atas menunjukkan perbedaan dengan ragam lisan yang bentuk
kebahasaannya dapat berubah sesuai dengan situasi pemakaian. Sementara
wacana merupakan ragam tulis yang umumnya memiliki ketetapan bentuk dan
urutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
10) Sarana Tutur
Sarana tutur menunjuk kepada saluran dan media disampaikannya tuturan itu
kepada lawan tutur, juga menentukan tuturan yang muncul dari seseorang. Orang
berbicara dengan berhadapan langsung antara penutur dan lawan tutur tentu
berbeda dengan tuturan orang yang berbicara melalui pesawat telepon. Berbicara
melalui telepon akan cenderung bersifat membatasi tuturan yang harus
disampaikan oleh penutur. Hal demikian disebabkan oleh berbagai faktor seperti
ekonomi, etika, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa proses komunikasi menggunakan
sarana tertentu berbeda dengan proses komunikasi secara langsung. Seseorang
tentu lebih leluasa mengutarakan maksudnya secara langsung daripada
menggunakan sarana atau media misalnya melalui telepon.
11) Adegan Tutur
Komponen adegan tutur yang menunjuk pada aspek tempat, waktu, dan
peristiwa tutur yang juga banyak berpengaruh terhadap tuturan. Tempat terjadinya
percakapan sudah barang tentu menentukan tuturan yang akan dimunculkan oleh
penutur dan lawan tutur.
Orang di pasar atau di pinggir jalan besar pasti akan bertutur dengan cara
yang berbeda dengan di tempat-tempat keramat misalnya makam, tempat ziarah,
dan sebagainya.
12) Lingkungan Tutur
Komponen lain yang juga ikut menentukan tuturan seseorang adalah
lingkungan di mana tuturan itu terjadi. Sebagai contoh tuturan yang terjadi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
sebuah ruangan keluarga yang terdapat sejumlah anggota keluarga menikmati
acara kethoprak dalam televisi pasti akan menentukan tuturan yang muncul.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa lingkungan memengaruhi
penggunaan bahasa. Ragam bahasa yang digunakan seseorang tentunya harus
disesuaikan dengan lingkungan yang melingkupi ujaran.
13) Norma Kebahasaan
Norma kebahasaan masyarakat juga sangat menentukan ujaran anggota
masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa, terdapat semacam norma yang tidak
tertulis bahwa berbicara dengan seseorang yang lebih tua harus pelan-pelan dan
tidak boleh dengan suara yang lantang. Norma dalam masyarakat Jawa ini
kadang-kadang disertai juga dengan hal yang sifatnya paralinguistik, seperti
bungkukan tubuh, pengedepanan kedua tangan, senyuman, dan sebagainya.
Norma yang dimaksud dalam uraian di atas tentunya disesuaikan dengan
norma di mana penutur berada. Norma suatu kelompok masyarakat tentunya
berbeda dengan norma kelompok masyarakat yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
2.10 Kerangka Berpikir
ALIH KODE PERTUTURAN GURU - SISWA DALAM
PROSES BELAJAR MENGAJAR DI KELAS V SD
NEGERI 1 LENDAH,
KULON PROGO SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN
2018/2019
SOSIOLINGUISTIK
ALIH KODE
WUJUD ALIH KODE MAKSUD ALIH KODE
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif jenis
deskriptif dengan tujuan untuk mendapatkan deskripsi objektif tentang alih kode
pertuturan guru – siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1
Lendah,Kulon Progo. Penelitian kualitatif merupakan aktivitas atau suatu proses
“memahami” hakikat fenomena dengan alamiah, dengan berporos pada data
deskriptif yang disediakan dengan triangulasi untuk dianalisis sehingga
menghasilkan pemahaman yang holistik berdasarkan perspektif partisipan yang
sesuai dengan konteksnya (Muhamad (2010:31). Metode penelitian kualitatif jenis
deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada
fakta-fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya
sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa perian bahasa yang bisa dikatakan
sifatnya seperti potret atau paparan seperti apa adanya Sudaryanto (dalam
Muhamad 2014:192). Sementara ,Muhamad (2010:23) menyebutkan bahwa salah
satu fenomena yang dapat menjadi objek penelitian adalah peristiwa komunikasi
atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan, makna semantik tutur,
orang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur,
dan latar tutur.
Berdasarkan metode penelitian kualitatif jenis deskriptif diatas, sangat
membantu peneliti untuk memperoleh data yang berupa alih kode pertuturan guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
– siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon
Progo.
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data adalah tempat ditemukannya data yang hendak diteliti. Dalam
penelitian, sumber data harus jelas supaya mendapatkan data yang valid dan
akurat. Penelitian ini sumber data yang digunakan adalah guru dan siswa SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo di kelas V. Sedangkan data merupakan pertuturan
guru – siswa pada proses belajar mengajar di SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo
kelas V yang mengandung alih kode.
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian
adalah peneliti itu sendiri. Peneliti menjadi alat pengumpul data utama karena
mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan dilapangan. Selain itu
peneliti juga mampu memahami, menilai, menyadari masing-masing kenyataan
itu (Muhamad, 2014:32). Dalam pemerolehan data penelitian kualitatif, peneliti
berperan sebagai alat yang mampu mengumpulkan data. Apabila peneliti
memanfaatkan alat yang bukan manusia atau peneliti itu sendiri, sangat tidak
mungkin untuk bisa menyesuaikan terhadap kenyataan yang ada di lapangan.
Hanya manusia sebagai alat saja yang dapat memahami kenyataan di lapangan
dan dapat menyadari berbagai bentuk faktor yang merugikan maupun
menguntungkan di lapangan serta mampu mengatasinya. Pengukuran dalam dunia
pendidikan tentu saja akan melibatkan objek-objek dalam lingkungan pendidikan.
Objek-objek yang terdapat dalam proses pengukuran disebut responden.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Responden dalam penelitian yang kaitannya dengan pendidikan dapat berupa
manusia maupun hasil karya manusia. Dalam penelitian yang hendak dilakukan
peneliti dengan menggunkana human instrument atau peneliti sebagai alat, yang
menjadi responden atau objek penelitian adalah manusia, yakni para guru dan
siswa dalam pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan
berbagai cara.
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat
dokumen.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode simak. Metode simak
dijabarkan dalam berbagai wujud teknik sesuai dengan macam alatnya.
Penggunakan metode simak atau penyimakan memang harus digunakan.
Mengingat hasil simakan tersebut menjadi data yang akan diolah oleh peneliti.
Peneliti menyimak atau mengamati bahasa yang digunakan saat interaksi guru dan
siswa dalam pembelajaran di Kelas V SD Negeri 1 Lendah Kulon Progo.
Adapun teknik yang dimaksud berdasarkan pada tahapan penggunaannya,
dibedakan menjadi dua :teknik dasar dan teknik lanjutan (Sudaryanto, 1988:2).
Teknik dasar yang digunakan adalah teknik sadap. Teknik sadap disebut teknik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
dasar dalam metode simak karena hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan
penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan
dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Mahsun,
2007:242). Dalam penyadapan ini, peneliti menyadap penggunaan bahasa yang
dituturkan oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data . teknik
Simak Bebas Libat Cakap (SBLC),teknik rekam, dan teknik catat . (Sudaryanto,
2015:204-206) berikut pemaparannya.
a. Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC)
Pada penelitian ini, peneliti tindak bertindak sebagai pembicara yang
berhadapan dengan penutur dan mitra tutur. Peneliti hanya sebagai pemerhati
penuh tekun mendengarkan apa yang dikatakan (dan bukan apa yang dibicarakan)
oleh orang-orang yang hanyut dalam proses berdialog. Dalam teknik SBLC ini,
peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menemukan pembentukan dan
pemunculan data. Kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang
terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar peneliti.
Berdasarkan pada topik penelitian ,teknik ini membantu peneliti untuk
memperoleh data yang berupa alih kode pertuturan guru – siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo.
b. Teknik rekam
Teknik pencatatan dalam metode observasi tidak dapat dilakukan secara
lengkap dan sempurna oleh peneliti, yang dimaksud peneliti tidak bisa mencatat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
semua kejadian saat observasi. Penggunaan teknik rekaman untuk memperoleh
data untuk menunjang metode observasi itu sendiri. Hal-hal yang sebelumnya
belum tercatat oleh peneliti akan dikonfirmasikan dan dilengkapi melalui hasil
rekaman. Kedua metode ini menjadi alat untuk peneliti saat melakukan observasi
subjek untuk memperoleh data yang bersifat fakta atau asli. Data yang diperoleh
merupakan data asli dan tidak dibuat-buat. Teknik ini membantu peneliti untuk
memperoleh data dengan cara merekam apa saja yang terjadi ketika interaksi guru
dan siswa dalam pembelajaran di Kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo.
c. Teknik Catat
Teknik catat digunakan saat proses pembelajaran berlangsung. Walaupun
teknik rekam juga digunakan akan tetapi teknik catat juga perlu digunakan.
Mengingat teknik rekam hanya digunakan untuk melihat ulang tuturan-tuturan
yang belum dicacat oleh peneliti. Dengan teknik ini peneliti akan mencatat
tuturan-tuturan yang diutarakan saat interaksi guru dan siswa dalam pembelajaran
di Kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Tahapan analisis data adalah tahapan yang sangat menentukan, karena pada
tahapan ini kaidah-kaidah yang mengatur keberadaan objek penelitian harus sudah
diperoleh. Adapun data yang dianalisis oleh peneliti berupa tuturan yang
digunakan oleh guru dan murid dalam proses belajar mengajar di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Dalam proses menganalisis data peneliti
menggunakan metode padan. Metode padan alat penentunya diluar, terlepas dan
tidak menjadi bagian dari bahasa (langue). Metode ini dibagi menjadi lima sub-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
jenis berdasarkan macam alat penentu yang dimaksud. Sub-jenis yang pertama,
alat penentunya ialah kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau
referent bahasa; sub-jenis kedua, alat penentunya organ pembentuk bahasa atau
organ wicara; dan sub-jenis bahasa ketiga, keempat, dan kelima berturut-turut alat
penentunya bahasa lain atau langue.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode padan dengan alat penentunya
referensial. Referent yaitu suatu hal atau apa yang dibicarakan, organ wicara atau
mulut beserta dengan bagian-bagiannya, tulisan, dan orang yang menjadi mitra
wicara secara jelas kesemuannya bukanlah bahasa. Sedangkan teknik dasar
penelitian ini menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik (PUP).
Adapun alatnya ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh
penelitinya. Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-
pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur. Dasar pembagian atau pemilahan
sudah disesuaikan dengan sifat atau watak unsur penentu itu masing-masing.
Dilanjutkan dengan menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik Hubung Banding
Menyamakan hal Pokok (HBSP). Teknik ini digunakan untuk menemukan fungsi
atau maksud dalam tuturan guru dan siswa di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon
Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
3.6 Triangulasi
Moloeng (dalam Andi,2014: 269) menjelaskan bahwa triangulasi merupakan
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
tersebut. Menurut Moloeng (2005: 178) terdapat empat macam triangulasi yaitu
triangulasi dengan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini,
triangulasi data menggunakan peran penyidik. Penyidik berperan sebagai
pengecek maupun evaluator terkait kajian objek penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, peneliti akan menyajikan hasil dan pembahasan dari data yang
peneliti peroleh dari proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon
Progo. Peneliti membahas wujud alih kode dan maksud dari alih kode, adapun
uraianya sebagai berikut:
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian ini berupa tuturan yang mengandung alih kode dalam
pertuturan guru – siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah,
Kulon Progo yang diperoleh selama semester ganjil 2018. Dari penelitian dapat
dikatakan bahwa kode bahasa yang paling sering digunakan dalam proses belajar
mengajar adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan kedua
bahasa itu relatif lebih dikuasai baik dari penutur maupun mitra tutur.
Dari penelitian didapatkan 35 analisis data yang ditabulasikan. Data tersebut
meliputi 30 data berupa alih kode berwujud alih bahasa dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Jawa dan 5 data alih kode berwujud alih bahasa dari bahasa Jawa ke
dalam bahasa Indonesia. Berikutnya adalah data berupa maksud alih kode dalam
pertuturan guru-siswa kelas V SD Negeri 1 Lendah, yakni memfokuskan perhatian
siswa, menciptakan rasa humor, melakukan klarifikasi, meningkatkan pemahaman
siswa, mempermudah penyampaian materi pelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Dari hasil penelitian didapatkan beberapa wujud kode diantaranya kode yang
berwujud bahasa, kode tingkat tutur, kode dialek, dan kode ragam. Adapun kode yang
berwujud bahasa meliputi bahasa Jawa dan bahasa Jawa non-jawa, kode yang
berwujud bahasa non-Jawa yakni bahasa Indonesia. Kode yang berwujud tingkat tutur
dibedakan menjadi tiga yakni tingkat tutur ngkoko, madya, krama. Kode yang
berwujud dialek dibedakan menjadi dua yakni dialek bahasa Jawa standar dan dialek
bahasa Jawa nonstandar. Selanjutnya kode yang berwujud ragam dibedakan menjadi
dua yakni ragam ilmiah dan ragam usaha. Dari penelitian didapatkan bahwa
penggunaan kode dalam bahasa Jawa lebih sedikit dibandingkan kode dalam bahasa
Indonesia, hal ini dikarenakan dalam setiap pelajaran guru selalu menggunakan kode
bahasa Indonesia dalam penyampaian pelajaran untuk melatih keterampilan
berbahasa Indonesia para siswa. Selanjutnya kode berwujud tingkat tutur paling
banyak ditemukan pada tingkat tutur ngoko sedangkan kode dalam tingkat tutur
karma ditemukan hanya beberapa saja, dan kode dalam tingkat tutur madya sangat
sulit ditemukan dalam pertuturan guru-siswa di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon
Progo. Kemudian penggunaan kode yang berwujud dialek hanya ditemukan kode
dalam dialek bahasa Jawa standar sedangkan kode dalam dialek bahasa Jawa non-
standar sama sekali tidak ditemukan dalam penelitian. Hal ini dikarenakan guru dan
siswa kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, sama-sama berasal dari masyarakat
Jawa. Dari penelitian juga didapatkan bahwa penggunaan kode berwujud ragam
usaha lebih banyak digunakan oleh guru ketika mengajar di kelas. Hal ini
dikarenakan ragam usaha merupakan ragam bahasa yang lazim digunakan dan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
yang paling operasional. Selain itu ragam ini biasanya digunakan dalam pembicaraan
biasa di sekolah, perusahaan, rapat usaha, atau suatu pembicaraan yang berorientasi
pada sebuah hasil atau produksi.
Dari penelitian didapatkan pula 35 data meliputi 30 data alih kode yang
berwujud alih bahasa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan 5 data alih
kode yang berwujud alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Penggunaan dua bahasa tersebut terlihat sangat dominan dalam pembelajaran, hal ini
dikarenakan kedua bahasa tersebut sangat dikuasai dengan baik dari guru maupun
siswa. Selain wujud alih kode tersebut didapatkan pula 5 maksud alih kode yang
meliputi 12 data alih kode dengan maksud memfokuskan perhatian siswa, 4 data alih
kode dengan maksud menciptakan rasa humor, 5 data alih kode dengan maksud
melakukan klarifikasi, 11 data alih kode dengan maksud meningkatkan pemahaman
siswa, dan 3 data alih kode dengan maksud mempermudah penyampaian materi
pelajaran.
4.2 Hasil Penelitian
Analisis data dalam penelitian ini meliputi wujud kode dan alih kode beserta
dengan maksud alih kode. Dalam analisis ini peneliti menggunakan teori dari
beberapa ahli untuk mempertajam analisis. Sebelum masuk dalam pembahasan
tentang wujud dan maksud alih kode akan dipaparkan terlebih dahulu mengenai
wujud kode yang terdapat pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Dari hasil penelitian didapatkan beberapa wujud kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
diantaranya kode yang berwujud bahasa, kode tingkat tutur, kode dialek, dan kode
ragam. Adapun kode yang berwujud bahasa meliputi bahasa Jawa dan bahasa non-
Jawa, kode yang berwujud bahasa non-Jawa yakni bahasa Indonesia. Kode yang
berwujud tingkat tutur dibedakan menjadi tiga yakni tingkat tutur ngkoko, madya,
karma. Kode yang berwujud dialek dibedakan menjadi dua yakni dialek bahasa Jawa
standar dan dialek bahasa Jawa nonstandar. Dan kode yang berwujud ragam
dibedakan menjadi dua yakni ragam ilmiah dan ragam usaha. Kemudian wujud alih
kode yang ditemukan hanya berupa alih kode berwujud alih bahasa, sedangkan alih
ragam, alih tingkat tutur, dan alih dialek sangat sulit ditemukan dalam penelitian, oleh
karena itu ketiga wujud alih kode tersebut tidak dipaparkan dalam tulisan ini.
Kemudian maksud alih kode yang didapatkan yakni, memfokuskan perhatian siswa,
menciptakan rasa humor, melakukan klarifikasi, meningkatkan pemahaman siswa,
mempermudah penyampaian materi pelajaran.
4.2.1 Kode Berwujud Bahasa
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penggunaan kode berwujud bahasa
sangat dominan penggunaannya dalam proses belajar mengajar dikelas V SD Negeri
1 Lendah. Kode bahasa yang dominan digunakan adalah bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia. Hal ini dikarenakan kedua bahasa tersebut dikuasai dengan baik antara
kedua belah pihak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
4.2.1.1 Kode Berwujud Bahasa Jawa
Meskipun penggunaan kode bahasa Jawa lebih sedikit dibandingkan dengan
kode bahasa Indonesia, namun dari penelitian didapatkan penggunaan kode bahasa
Jawa cukup sering digunakan oleh guru. Adapun cuplikan percakapan berikut yang
terdapat kode bahasa Jawa.
(1)Dt 1
P1 : Kui kreseke sopo?
(Itu plastik siapa?)
P2 : Udu gonku.
(Bukan punya saya)
P1 : Diambil, buang ketempat sampah!
Cuplikan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur merupakan siswa yang berjenis kelamin
laki-laki berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal
ketika guru menyuruh siswa untuk membuang sampah yang ada di lantai.
Dari cuplikan percakapan di atas terlihat bahwa adanya penggunaan kode
bahasa Jawa dalam komunikasi antara guru dengan siswa yakni ‘ Kui kreseke sopo?’
yang bermakna ‘Itu plastik siapa?’ dan ‘Udu gonku.’ yang bermakna ‘Bukan punya
saya’, penggunaan kode bahasa Jawa tersebut karena penutur dan mitra tutur sama-
sama berasal dari masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam
komunikasi sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjosoedarmo (1982:30)
yang menyatakan bahwa kode merupakan suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
tutur, dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu terdapat unsur bahasa seperti
kalimat, kata, morfem, dan fonem.
Selanjutnya, data (2) merupakan cuplikan percakapan dalam pembelajaran di
kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan siswa yang berjenis
kelamin laki-laki berumur 12 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah guru kelas V yang
berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal. Tuturan terjadi ketika siswa menanyakan letak kota Makah. Berikut
cuplikan percakapan tersebut.
(2)Dt 8
P2 : Bu nek Mekah ki nandi?
(Bu Makah itu dimana?)
P1 : Makah itu di Arab Saudi.
Mekah ki kota sek ono nang Arab Saudi.
(Makah itu kota yang ada di Arab Saudi.)
Dari cuplikan percakapan di atas terlihat bahwa adanya penggunaan kode
bahasa Jawa dalam komunikasi antara guru dengan siswa yakni ‘Bu nek Mekah ki
nandi?’ yang bermakna ‘Bu Makah itu dimana?’ dan ‘Mekah ki kota sek ono nang
Arab Saudi.’ yang bermakna ‘Makah itu kota yang ada di Arab Saudi.’, penggunaan
kode bahasa Jawa tersebut karena penutur dan mitra tutur sama-sama berasal dari
masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Hal
ini sesuai dengan pendapat Wardhaugh (1986) (dalam Suandi 2014) yang
menyebutkan bahwa kode sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk
berkomunikasi antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa
tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
4.2.1.2 Kode Berwujud Bahasa Indonesia
Kode bahasa Indonesia didapatkan cukup dominan penggunaannya dalam
pertuturan guru - siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah,
Kulon Progo. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia digunakan untuk pembelajaran
disetiap sekolah. Cuplikan percakapan berikut diharapkan dapat menjadi contoh
adanya kode berwujud bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar di kelas V SD
Negeri 1 Lendah.
(3)Dt 10
P1 : Sekarang belajar saja dulu!.
Tak kei wektu go sinau.
(Saya beri waktu untuk belajar.)
P2 : Kan kuisnya buka buku bu?
P1 : Ya biar cepat carinya.
P2 : Ya buu.
Percakapan di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin laki-laki yang berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal ketika guru menyuruh siswa belajar untuk persiapan kuis.
Menurut Kridalaksana (1984:102) kode diartikan sebagai (1) lambang suatu
sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (2) sistem
bahasa dalam suatu masyarakat, (3) suatu varian tertentu dalam satu bahasa.
Berdasarkan penjelasan dari Kridalaksana dapat dilihat bahwa percakapan diatas
terdapat kode dalam bahasa Indonesia. Penutur maupun mitra tutur sama-sama
berasal dari masyarakat Indonesia dimana bahasa Indonesia menjadi suatu sistem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
ungkapan yang banyak digunakan dalam komunikasi terutama di sekolah-sekolah.
Kode dalam bahasa Indonesia digunakan karena baik dari guru maupun siswa
menguasai dengan baik bahasa tersebut.
Adapun contoh lain dari kode yang berwujud bahasa Indonesia terdapat pada
data (4), berikut adalah cuplikan percakapan tersebut.
(4)Dt 22
P1 : Kalau pembagian, jika yang bawah dicoret dua yang atas juga
harus dicoret dua. Raoleh bedo mengko ndak meri. (Tidak boleh beda
karena nanti bisa iri)
P2 : Jadi coretnya harus sama bu?
P1 : Iya.
Cuplikan di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan
guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur
merupakan siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah berjenis kelamin laki-laki berumur
12 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru
menjelaskan kepada siswa tentang pembagian.
Pada suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,seseorang
yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan
bicaranya (Pateda 1990:83). Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan harus
dimengerti oleh kedua belah pihak. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat bahwa
percakapan diatas guru maupun siswa menggunakan kode dalam bahasa Indonesia
dalam komunikasi. Penutur maupun mitra tutur sama-sama berasal dari masyarakat
Indonesia dimana bahasa Indonesia menjadi suatu sistem ungkapan yang banyak
digunakan dalam komunikasi terutama di sekolah-sekolah. Kode dalam bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Indonesia digunakan karena baik dari guru maupun siswa menguasai dengan baik
bahasa tersebut.
4.2.2 Kode Berwujud Tingkat Tutur
Dalam proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, terlihat
adanya penggunaan kode yang berwujud tingkat tutur. Biasanya penggunaan kode
berwujud tingkat tutur terlihat antara tingkat tutur ngoko dan krama sedangkan
tingkat tutur madya tidak ditemukan pada komunikasi guru dengan siswa.
4.2.2.1 Kode Berwujud Tingkat Tutur Ngoko
Penggunaan kode berwujud tingkat tutur ngoko dalam proses belajar mengajar
di kelas cukup banyak ditemukan. Penggunaan kode berwujud tingkat tutur ngoko
banyak dilakukan oleh guru, hal ini dipengaruhi oleh faktor usia. Adapun contoh
percakapan yang terdapat kode berwujud tingkat tutur ngoko adalah sebagai berikut:
(5)Dt 9
P1 : Sekarang kita kuis!.
Jajal mau do nggatekke ora?
(Coba semuanya tadi memperhatikan tidak?)
P2 : Ya bu.
Cuplikan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V. Tuturan terjadi
saat siang hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan kesiapan siswa untuk
mengikuti kuis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Dari cuplikan percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang
berwujud tingkat tutur ngoko, yakni pada kalimat ‘Jajal mau do nggatekke ora?’
yang bermakna ‘Coba semuanya tadi memperhatikan tidak?’. Seperti dijelaskan oleh
Rahardi, (2001: 59) yang dimaksud dengan tingkat tutur ngoko adalah tingkat tutur
yang memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama atau penutur dengan
orang kedua atau mitra tutur. Dengan perkataan lain hubungan antara keduanya tidak
dibatasi oleh semacam rasa segan atau “pekewuh”. Penggunaan kode berwujud
tingkat tutur ngoko oleh guru karena usia guru lebih tua dari siswa.
Selanjutnya, data (6) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
mitra tutur merupakan para siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah. Tuturan terjadi saat
pagi hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang nama
burung. Berikut cuplikan percakapan tersebut.
(6)Dt 4
P1 : Siapa yang tau burung Pelikan?
P2 : Tidak bu.
P1 : Kae lho manuk sek nang film Nemo.
(Itu burung yang ada di film Nemo)
P2 : Ohhh
Dari cuplikan di atas dapat dilihat terdapat kode yang berwujud tingkat tutur
ngoko, yakni pada kalimat ‘Kae lho manuk sek nang film Nemo.’ yang bermakna
‘Itu burung yang ada di film Nemo’. Menurut Sasangka (2004: 95) tingkat tutur
ngoko yaitu unggah ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko. Ragam
ngoko dapat digunakan oleh mereka yangsudah akrab dan oleh mereka yang merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara. Dari teori tersebut dapat
dilihat bahwa penggunaan kode berwujud tingkat tutur ngoko oleh guru karena usia
guru lebih tua dari siswa.
4.2.2.2 Kode Berwujud Tingkat Tutur Krama
Penggunaan kode berwujud tingkat tutur krama dalam proses belajar
mengajar di kelas hanya sedikit ditemukan. Penggunaan kode berwujud tingkat tutur
krama banyak dilakukan oleh siswa, hal ini dipengaruhi oleh faktor usia. Adapun
contoh percakapan yang terdapat kode berwujud tingkat tutur ngoko adalah sebagai
berikut:
(7)Dt 14
P1 : PR bahasa Indonesianya selesai belum?
P2 : Sampun bu.
(Sudah bu)
P1 : Ditumpok wae yo!
(Ayo dikumpulkan!)
ayo PRnya dikumpulkan!
P2 : Ya bu.
Cuplikan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V. Tuturan terjadi
saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru menyuruh para siswa untuk
mengumpulkan pekerjaan rumah.
Dari cuplikan percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang
berwujud tingkat tutur krama, yakni pada kalimat ‘Sampun bu.’ yang bermakna
‘Sudah bu’. Seperti yang dijelaskan oleh Poedjasoedarma, (1979: 3), tingkat tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
adalah variasi bahasa yang perbedaan antar tingkat satu dengan yang lain ditentukan
oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap mitra tutur. Dari percakapan di atas siswa
menggunakan bahasa Jawa krama untuk menunjukkan kesopan terhadap guru.
Selanjutnya, data (8) merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri
1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V. Tuturan terjadi
saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru menyuruh para siswa untuk
membuka buku pelajaran.
(8)Dt 26
P1 : Sekarang buka buku IPSnya !.
Nek iseh arep omongan nang ngarep kene !
(Kalau masih mau bicara didepan sini !)
P2 : Mboten Bu.
(Tidak Bu)
Menurut Sasangka (2004: 95) yang dimaksud dengan ragam krama adalah
bentuk unggah ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang
menjadi unsur inti di dalam ragam krama, bukan leksikon lain. Berdasarkan teori
tersebut dapat dilihat dari percakapan di atas terdapat kode yang berwujud tingkat
tutur krama, yakni pada kata ‘Mboten Bu.’ yang bermakna ‘Tidak Bu’ dan kata
tersebut berintikan pada leksikon krama.. Dari percakapan di atas siswa
menggunakan bahasa Jawa krama untuk menunjukkan kesopan terhadap guru.
4.2.3 Kode Berwujud Dialek
Dari penelitian didapatkan bahwa penggunaan kode berwujud dialek banyak
digunakan dalam proses belajar mengajar dikelas. Dialek yang dimaksud adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
dialek bahasa Jawa yang dibedakan atas dialek bahasa Jawa standard dan dialek
bahasa Jawa non-standar. Dari hasil penelitian hanya didapatkan kode yang berwujud
dialek bahasa Jawa standar, sedangkan kode berwujud dialek bahasa Jawa non-
standard amat sulit ditemukan. Oleh karena itu disini tidak dipaparkan kode berwujud
dialek bahasa Jawa non-standar.
4.2.3.1 Kode Berwujud Dialek Bahasa Jawa Standar
Penggunaan kode berwujud dialek bahasa Jawa standar banyak ditemukan
dalam proses belajar mengajar dikelas. Baik dari guru maupun siswa yang sama-sama
berasal dari masyarakat Jawa akan menggunakan dialek bahasa Jawa standar. Berikut
adalah cuplikan percakapan yang terdapat kode berwujud dialek bahasa Jawa standar.
(9)Dt 4
P1 : Siapa yang tau burung Pelikan?
P2 : Tidak bu.
P1 : Kae lho manuk sek nang film Nemo.
(Itu burung yang ada di film Nemo)
P2 : Ohhh
Cuplikan di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan
guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur
merupakan para siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah. Tuturan terjadi saat pagi hari
dengan suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang nama burung.
Sumarsono (2012:21) menyebutkan dialek adalah bahasa sekelompok
masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Berdasarkan pendapat Sumarsono
tersebut, percakapan di atas dilakukan oleh guru dan siswa yang berasal dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
masyarakat Jawa, dimana dalam keseharian masyarakat Jawa berkomunikasi dengan
bahasa Jawa. Dari percakapan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat kode yang
berwujud dialek bahasa Jawa standar yakni pada kalimat ‘Kae lho manuk sek nang
film Nemo.’ yang bermakna ‘Itu burung yang ada di film Nemo.’ Sesuai dengan
penjelasan Rahardi, (2001: 102) bahwa kata-kata seperti kok, lho, lho nggih, mbok yo,
to, to yo, dan sebagainya merupakan salah satu ciri penggunaan bahasa Jawa dialek
standar.
Selanjutnya, data (10) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
mitra tutur merupakan siswa berjenis kelamin laki-laki berumur 12 tahun. Tuturan
terjadi saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru mencocokkan pekerjaan
rumah para siswa. Berikut adalah cuplikan percakapan tersebut:
(10)Dt 28
P1 : Imam nomor 4 apa jawabannya ?
P2 : Tidak merendahkan bangsa lain.
P1 : Nomer papat lho!
(Yang nomor empat!)
P2 : Haah
(Iya)
P1 : Salah
Menurut Chaer dan Agustina (1995: 62) menyatakan bahwa dialek adalah
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada
suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, percakapan
di atas dilakukan oleh guru dan siswa yang berasal dari masyarakat Jawa, dimana
dalam keseharian masyarakat Jawa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang berwujud dialek bahasa
Jawa standar yakni pada kalimat ‘Nomer papat lho!’ yang bermakna ‘Yang nomor
empat!’ Sesuai dengan penjelasan Rahardi, (2001: 102) bahwa kata-kata seperti kok,
lho, lho nggih, mbok yo, to, to yo, dan sebagainya merupakan salah satu ciri
penggunaan bahasa Jawa dialek standar.
4.2.4 Kode Berwujud Ragam
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya penggunaan kode berwujud
ragam dalam proses belajar mengajar dikelas, ragam yang dimaksud disini adalah
ragam ilmiah dan ragam usaha.
4.2.4.1 Kode Berwujud Ragam Ilmiah
Kode berwujud ragam ilmiah cukup banyak ditemukan dalam proses belajar
mengajar dikelas. Penggunaan kode berwujud ragam ilmiah digunakan oleh guru
untuk memperjelas materi pelajaran. Adapun contoh percakapan yang terdapat kode
berwujud ragam ilmiah adalah sebagai berikut:
(11)Dt 22
P1 : Kalau pembagian, jika yang bawah dicoret dua yang atas juga
harus dicoret dua. Raoleh bedo mengko ndak meri. (Tidak boleh
beda karena nanti bisa iri)
P2 : Jadi coretnya harus sama bu ?
P1 : Iya.
Cuplikan di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan
guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur
merupakan siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah berjenis kelamin laki-laki berumur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
12 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru
menjelaskan kepada siswa tentang pembagian.
Dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang berwujud
ragam ilmiah yakni pada kalimat ‘Kalau pembagian, jika yang bawah dicoret dua
yang atas juga harus dicoret dua.’ Hal ini sesuai dengan teori Chaer dan Agustina,
(2010: 69) yang menyatakan bahwa ragam bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri lugas,
jelas, dan bebas dari keambiguan, serta segala macam metafora dan idiom.
Contoh lain adalah data (12) yang merupakan percakapan antara guru dan
siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo.
Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun.
Sedangkan mitra tutur merupakan siswa yang berjenis kelamin perempuan berumur
11 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan suasana formal ketika guru
menjelaskan tentang bahaya lalat hijau. Berikut merupakan percakapan yang terdapat
kode berwujud ragam ilmiah.
(12)Dt 7
P1 : Nek laler ijo ki bahaya.
(Kalau lalat hijau itu berbahaya)
Soalnya ketika hinggap terkadang juga bertelur. P2 : Ohh, seperti itu ya bu ?
P1 : Iya
Dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang berwujud
ragam ilmiah yakni pada kalimat ‘Soalnya ketika hinggap terkadang juga
bertelur.’. Hal ini sesuai dengan teori Moeliono (1989) yang mengatakan bahwa
bahasa ilmiah itu lugas dan menghindari kesamaran dalam pengungkapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Berdasarkan teori tersebut terlihat bahwa guru menggunakan bahasa yang jelas dalam
memberi pelajaran kepada siswa.
4.2.4.2 Kode Berwujud Ragam Usaha
Penggunaan kode berwujud ragam usaha ditemukan sangat dominan dalam
proses belajar mengajar di kelas. Hal ini dikarenakan ragam ini merupakan ragam
bahasa yang lazim digunakan dan bahasa yang paling operasional (Chaer dan
Agustina, 2010:71). Adapun contoh percakapan yang terdapat kode berwujud ragam
usaha adalah sebagai berikut:
(13)Dt 10
P1 : Sekarang belajar saja dulu!.
Tak kei wektu go sinau.
(Saya beri waktu untuk belajar.)
P2 : Kan kuisnya buka buku bu?
P1 : Ya biar cepat carinya.
P2 : Ya buu.
Data di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses belajar
mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut berjenis
kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis kelamin laki-
laki yang berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan suasana formal
ketika guru menyuruh siswa belajar untuk persiapan kuis.
Ragam usaha merupakan ragam bahasa yang lazim digunakan dan bahasa
yang paling operasional (Chaer dan Agustina, 2010:71). Berdasarkan pengertian
tersebut dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa terdapat kode yang berwujud
ragam usaha yakni pada kalimat ‘Sekarang belajar saja dulu!.’ Hal ini sesuai
dengan pendapat Aslinda (2010:20) yang mengungkapkan bahwa ragam ini berada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
antara ragam bahasa formal dan ragam bahasa santai. Contohnya adalah Saudara
boleh mengambil buku-buku ini yang Saudara sukai!.
Selanjutnya, data (14) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin laki-laki yang berumur 12 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal ketika guru menyuruh siswa mencocokkan pekerjaan rumah. Berikut
adalah cuplikan percakapan tersebut.
(14)Dt 27
P1 : Sekarang kita bahas PR yang kemarin!
P2 : Baik bu
P1 : Ayo Fajar jawabannya nomer 1 apa?
P2 : Agar tercipta keharmonisan.
P1 : Sek sero!(Yang keras!)
Menurut Mrtin Joss (dalam Chaer dan Agustina, 2004:70) ragam usaha
merupakan ragam bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa disekolah,
rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dilihat bahwa percakapan di atas terdapat kode yang
berwujud ragam usaha yakni pada kalimat ‘Sekarang kita bahas PR yang
kemarin!’ Hal ini karena ragam tersebut paling banyak digunakan di sekolah-sekolah
dan sesuai dengan pendapat Aslinda (2010:20) yang mengungkapkan bahwa ragam
ini berada di antara ragam bahasa formal dan ragam bahasa santai. Contohnya
adalah Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang Saudara sukai!.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
4.2.5 Alih Kode Berwujud Alih Bahasa
Alih kode yang berwujud alih bahasa cukup banyak terjadi dalam proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Alih kode tesebut
dapat berupa alih bahasa yang meliputi peralihan bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Jawa, dapat pula dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
4.2.5.1 Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa
Nababan (dalam Suandi, 2014: 133) mengatakan bahwa alih kode merupakan
penggantian peralihan pemakaian bahasa atau ragam fungsiolek ke dalam ragam yang
lain. Alih kode yang berupa peralihan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa
cukup banyak ditemukan dalam proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur menguasai kedua
bahasa ini dengan baik. Berikut ini penggalan percakapan yang mengandung alih
kode yang dipakai oleh guru terhadap siswa.
(15)Dt 2
P1 :Siapa yang tau burung elang?
P2 : saya bu
P1 : Paruh burung elang seperti apa? (siswa diam seperti tidak tahu).
Cucuke manuk elang koyo ngopo?, cucuk e elang ki lincip dingo
mangan daging.
(Paruh burung elang seperti apa? Paruh elang tajam buat makan daging)
Percakapan tersebut merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin perempuan yang berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang bagian-bagian tubuh
binatang.
Dell Hymes (dalam Suandi, 2014: 133) mengungkapkan bahwa pengertian
alih kode merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk menyatakan
pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu
bahasa atau bahkan beberapa ragam dari satu gaya. Dengan demikian dalam
percakapan tersebut dapat dilihat adanya alih kode yang dilakukan oleh guru. Semula
ia menggunakan kode dalam bahasa Indonesia ketika bertutur dengan siswa, namun
akhirnya ia berubah menggunakan kode dalam bahasa Jawa di akhir tuturan yakni
yang berbunyi ‘Cucuke manuk elang koyo ngopo?, Cucuk e elang ki lincip dinggo
mangan daging’ yang maknanya ‘Paruh burung elang seperti apa? Paruh elang tajam
buat makan daging’. Ini dilakukan karena guru melihat siswa merasa kebingungan
dengan tuturan yang diucapakan guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arah
alih kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa.
Adapun kasus yang sama dengan percakapan di atas yakni, data (16)
merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses belajar mengajar di kelas V
SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut berjenis kelamin perempuan yang
berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis kelamin laki-laki yang berumur 12
tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan
kepada siswa tentang bagian-bagian tubuh binatang.
(16)Dt 3
P1 : Paruh burung hantu seperti apa?
P2 : Aku ngerti bu ! paruhnya melengkung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
(Aku tau bu ! paruhnya melengkung)
P1 : Hooh betul, cucuke mlengkung
(Iya benar, paruhnya melengkung)
Menurut Suandi (2014: 132) alih kode merupakan peralihan atau pergantian
(perpindahan) dari suatu varian bahasa ke bahasa yang lain. Sesuai dengan pendapat
Suandi tersebut dalam percakapan di atas dapat dilihat adanya alih kode yang
dilakukan oleh guru. Semula ia menggunakan kode dalam bahasa Indonesia ketika
bertutur dengan siswa, namun akhirnya ia berubah menggunakan kode dalam bahasa
Jawa di akhir tuturan yakni yang berbunyi ‘Hooh betul, cucuke mlengkung’ yang
maknanya ‘Iya benar, paruhnya melengkung’. Ini dilakukan karena guru ingin para
siswa lebih mudah memahami penjelasan guru. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa arah alih kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa.
Selanjutnya, data (17) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
mitra tutur merupakan para siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah. Tuturan terjadi saat
pagi hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang nama
burung. Berikut merupakan percakapan yang terdapat alih kode berwujud alih bahasa.
(17)Dt 4
P1 : Siapa yang tau burung Pelikan?
P2 : Tidak bu.
P1 : Kae lho manuk sek nang film Nemo.
(Itu burung yang ada di film Nemo)
P2 : Ohhh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Suwito (dalam Wijana dan Rohmandi, 2006: 171) mengatakan alih kode
adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke kode lain. Berdasarkan teori tersebut
dalam percakapan di atas terdapat alih kode yang berwujud alih bahasa dimana guru
semula menggunakan kode dalam bahasa Indonesia ketika bertutur dengan siswa,
namun akhirnya ia berubah menggunakan kode dalam bahasa Jawa di akhir tuturan
yakni yang berbunyi ‘Kae lho manuk sek nang film Nemo’ yang bermakna ‘Itu
burung yang ada di film Nemo’. Ini dilakukan karena guru ingin para siswa lebih
mudah memahami penjelasan guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arah
alih kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa.
4.2.5.2 Alih Kode dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia
Alih kode yang berupa alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia ditemukan tidak terlalu sering dilakukan karena dalam pembelajaran di
kelas guru lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam tuturannya kepada
siswa. Adapun cuplikan-cuplikan percakapan yang mengandung alih kode yang
berupa alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
(18)Dt 1
P1 : Kui kreseke sopo?
(itu plastik siapa?)
P2 : Udu gonku.
(bukan punya saya)
P1 : Diambil, buang ketempat sampah!
Cuplikan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur merupakan siswa yang berjenis kelamin
laki-laki berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal
ketika guru menyuruh siswa untuk membuang sampah yang ada di lantai.
Suwito (dalam Wijana dan Rohmandi, 2006: 171) mengatakan alih kode
adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke kode lain. Berdasarkan teori tersebut
dalam percakapan di atas dapat dilihat adanya alih kode, dari awal percakapan guru
menggunakan kode dalam bahasa Jawa untuk mengawali percakapan ‘Kui kreseke
sopo?’ yang bermakna ‘itu plastik siapa’, kemudian di akhir percakapan guru beralih
kode dalam bahasa Indonesia ‘Diambil, buang ketempat sampah !’. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa arah alih kode dalam percakapan tersebut adalah
dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Data selanjutnya, data (19) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
mitra tutur merupakan siswa yang berjenis kelamin perempuan berumur 11 tahun.
Tuturan terjadi saat siang hari dengan suasana formal ketika guru menjelaskan
tentang bahaya lalat hijau. Berikut merupakan percakapan yang terdapat alih kode
berwujud alih bahasa.
(19)Dt 7
P1 : Nek laler ijo ki bahaya.
(Kalau lalat hijau itu berbahaya)
Soalnya ketika hinggap terkadang juga bertelur. P2 : Ohh, seperti itu ya bu ?
P1 : Iya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Nababan (dalam Suandi, 2014: 133) mengatakan bahwa alih kode merupakan
penggantian peralihan pemakaian bahasa atau ragam fungsiolek ke dalam ragam yang
lain. Berdasarkan teori tersebut dari cuplikan diatas dapat dilihat adanya alih kode
yang berwujud alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Di awal
percakapan guru memulai dengan kode dalam bahasa Jawa ‘Nek laler ijo ki bahaya’
yang bermakna ‘Kalau lalat hijau itu berbahaya’. Kemudian guru beralih kode dalam
bahasa Indonesia yang berbunyi ‘Soalnya ketika hinggap terkadang juga
bertelur’, dalam tuturan tersebut guru beralih kode dengan alasan yang sangat
tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arah alih kode dari cuplikan
percakapan tersebut adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Alih kode yang berwujud alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia juga terjadi dalam data (20), data tersebut merupakan percakapan antara
guru dan siswa pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon
Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun.
Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V. Tuturan terjadi saat pagi hari
dengan suasana formal ketika guru menegur para siswa yang ramai. Berikut adalah
cuplikan percakapan tersebut:
(20)Data 11
P1 : Iki sopo sek omongan wae ik ?
( Ini siapa yang bicara terus?)
Ngomongin apa? P2 : Tidak bu.
Menurut Suandi (2014: 132) alih kode merupakan peralihan atau pergantian
(perpindahan) dari suatu varian bahasa ke bahasa yang lain. Berdasarkan teori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
tersebut dari cuplikan diatas dapat dilihat adanya alih kode yang berwujud alih bahasa
dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Di awal percakapan guru memulai
dengan kode dalam bahasa Jawa ‘Iki sopo sek omongan wae iki?’ yang bermakna ‘Ini
siapa yang bicara terus?’. Kemudian guru beralih kode dalam bahasa Indonesia yang
berbunyi ‘Ngomongin apa?’, dalam tuturan tersebut guru beralih kode dengan alasan
yang sangat tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arah alih kode dari
cuplikan percakapan tersebut adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
4.2.6 Maksud Guru Beralih Kode
Pada bagaian awal sudah diuraikan tentang wujud alih kode –alih kode yang
terjadi pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Dari penelitian
didapatkan bahawa ternyata guru beralih kode dari kode yang satu ke dalam kode
yang lain memanglah memiliki maksud.
4.2.6.1 Memfokuskan Perhatian Siswa
Seorang guru akan beralih kode jika dia ingin memfokuskan perhatian para
siswa pada intruksi yang diberikannya. Guru beralih kode dari bahasa Jawa ke dalam
bahasa Indonesia begitupun sebaliknya jika dia mengharapkan siswa memperhatikan
intruksinya terutama hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan kelas. Berikut
adalah cuplikan percakapan yang terdapat alih kode dengan maksud untuk
pengelolaan kelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
(21)Dt 9
P1 : Sekarang kita kuis!.
Jajal mau do nggatekke ora?
(Coba semuanya tadi memperhatikan tidak?)
P2 : Ya bu.
Cuplikan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan
berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V. Tuturan terjadi
saat siang hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan kesiapan siswa untuk
mengikuti kuis.
Menurut Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2001: 37) faktor maksud dapat pula
berpengaruh terhadap kode bahasa yang dipilih seseorang dalam bertutur. Seorang
anak yang biasanya berbicara dengan bahasa Jawa ngoko kepada ibunya, sekejap
dapat berubah berbahasa dengan menggunakan variasi bahasa dalam tingkat krama
karena maksud-maksud tertentu yang penentuan hasilnya adalah pada pihak sang Ibu.
Pada saat anak minta dibelikan pakaian baru oleh ibunya, anak itu akan mengubah
kodenya supaya maksudnya tercapai. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
perubahan kode berkaitan pula dengan maksud tuturan. Supaya maksud tuturan dapat
dipahami oleh lawan bicara, seorang penutur harus menggunakan kode tertentu yang
mendukung maksud. Berdasarkan teori tersebut pada cuplikan percakapan di atas
dapat dilihat bahwa guru beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa memiliki
maksud untuk memfokuskan perhatian siswa pada intruksi yang diberikan guru.
Ketika guru menggunakan bahasa Indonesia ‘Sekarang kita kuis !’ siswa belum
tanggap akan intruksi guru, tetapi dengan adanya intruksi dalam kode bahasa Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
‘Jajal mau do nggatekke ora?’ yang bermakna ‘Coba semuanya tadi memperhatikan
tidak?’, siswa langsung melakukan intruksi yang diberikan guru. Pada tuturan ini
guru ingin menyuruh siswa mempersiapkan diri untuk mengikuti kuis. Dengan
adanya intruksi dalam bahasa Jawa, para siswa dengan sigap mengambil kertas dan
alat tulis untuk mengikuti kuis yang diberikan guru.
Contoh lain dari alih kode dengan maksud pengelolaan kelas dapat dilihat
pada data (22), data tersebut merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin laki-laki yang berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal ketika guru menyuruh siswa belajar untuk persiapan kuis. Berikut
adalah cuplikan percakapan tersebut.
(22)Dt 10
P1 : Sekarang belajar saja dulu!.
Tak kei wektu go sinau. (Saya beri waktu untuk belajar.)
P2 : Kan kuisnya buka buku bu?
P1 : Ya biar cepat carinya.
P2 : Ya buu.
Menurut Suwito (1985, 72 – 74) beberapa faktor penyebab alih kode antara
lain penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok pembicaraan, untuk
membangkitkan rasa humor dan sekedar untuk bergengsi. Berdasarkan teori tersebut
dapat dilihat pada cuplikan percakapan di atas guru beralih dari bahasa Indonesia
yang berbunyi ‘Sekarang belajar saja dulu!’ ke bahasa Jawa yakni ‘Tak kei wektu go
sinau’ yang bermakna ‘Saya beri waktu untuk belajar’ dengan maksud untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
memfokuskan perhatian siswa pada intruksi yang diberikan guru. Pada tuturan ini
guru beralih kode ke bahasa Jawa ketika menyuruh siswa belajar untuk persiapan
kuis. Sebelum ada intruksi dalam bahasa Jawa, ada beberapa siswa yang sibuk
menyiapakan buku dan alat tulis, setelah guru mengintruksi dengan bahasa Jawa para
siswa yang sibuk menyiapakan alat tulis, langsung mengambil buku pelajaran dan
mulai belajar untuk persiapan kuis.
Data selanjutnya, data (23) merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin
perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah para siswa kelas V.
Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal ketika guru menyuruh para
siswa untuk mengumpulkan pekerjaan rumah. Berikut adalah cuplikan percakapan
tersebut.
(23)Dt 14
P1 : PR bahasa Indonesianya selesai belum?
P2 : Sampun bu.
(sudah bu)
P1 : Ditumpok wae yo!
(Ayo dikumpulkan!)
Ayo PRnya dikumpulkan!
P2 : Ya bu.
Nababan (1984: 7) menyatakan bahwa unsur-unsur yang menyebabkan alih
kode ada beberapa macam, yaitu pemeran serta, topik, situasi, tujuan, jalur dan ragam
bahasa. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat pada cuplikan percakapan di atas
guru beralih dari bahasa Indonesia ‘PR bahasa Indonesianya selesai belum?’ ke
bahasa Jawa ‘Ditumpok wae yo!’ yang bermakna ‘ayo dikumpulkan!’ dengan
maksud untuk memfokuskan perhatian siswa pada intruksi yang diberikan guru. Guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
melihat kelas merasa terganggu dengan kegaduhan karena siswa sibuk bicara dengan
teman dan menyiapkan buku pelajaran. Sebelum ada intruksi dalam bahasa Jawa,
siswa masih sibuk berbicara sendiri, setelah guru beralih kode dalam bahasa Jawa
siswa yang berbicara itu langsung diam dan segera mengumpulkan pekerjaan rumah
meraka.
4.2.6.2 Menciptakan Rasa Humor
Humor dan selingan sering dimasukkan guru di sela-sela urutan kegiatan
pembelajaran di kelas dengan maksud agar para siswa tetap terfokus dan tertarik
untuk mengikuti urutan kegiatan pembelajaran dengan baik. Dalam proses
pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo nampaknya guru
cenderung untuk beralih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa jika ia
sedang berusaha memasukkan selingan atau humor pada bagian-bagian tertentu dari
pengajarannya. Digunakannya bahasa Jawa karena bahsa tersebut sangat dimengerti
dan dikuasai dengan baik oleh para siswa yang mayoritas berasal dari masyarakat
Jawa. Berikut adalah cuplikan percakapan yang terdapat alih kode dengan maksud
menciptakan rasa humor.
(24)Dt 15
P2 : Bu Istu, segini boleh tidak?
(sambil menunjukkan tugas seni kepada guru)
P1 : Kurang besar, keciliken kui
(kekecilan itu)
Cuplikan percakapan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan siswa yang berjenis kelamin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
perempuan berumur 14 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah guru yang berjenis
kelamin perempuan berumur 23 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan suasana
formal ketika siswa menanyakan tentang tugas seni yang ia buat kepada guru.
Anwar (1990: 44) menyatakan perpindahan kode atau alih kode dapat
menimbulkan hal yang lucu, menggelikan lawan bicara, dan kesan yang lain. Alih
kode biasa digunakan dalam situasi formal kepada kode yang biasa dipakai situasi
informal dapat menimbulkan bahwa si pembicara ingin mencapai tujuan bicaranya
meyakinkan lawan bicaranya. Berdasarkan teori tersebut pada cuplikan percakapan di
atas terlihat bahwa guru dengan sadar beralih kode dari bahasa Indonesia ‘Kurang
besar’ ke dalam bahasa Jawa ‘keciliken kui’ yang bermakna ‘kekecilan itu’ dengan
maksud ingin bergurau atau menciptakan rasa humor. Dan ternyata cara ini berhasil
membuat para siswa tertawa karena bahasa yang digunakan sangat dimengerti oleh
siswa. Sebelum guru menciptakan humor, kelas terasa gaduh karena banyak siswa
yang berkumpul dan berbicara sendiri dengan temannya. Dengan adanya humor,
setelah para siswa tertawa, mereka kembali terfokus pada urutan kegiatan
pembelajaran dan mengikuti dengan baik.
Selanjutnya, data (25) merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin
perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah siswa kelas V yang
berjenis kelamin laki-laki berumur 12 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal ketika guru memberi penjelasan tentang cara menjahit tugas kesenian.
Berikut adalah cuplikan percakapan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
(25)Dt 17
P1 : Menjahitnya diberi jarak yang sama!, biar rapi.
Ojo nyelot gede. (jangan tambah lebar)
(semua siswa tertawa)
P2 : Jadi jahitnya deket-deket ya bu?
P1 : Iya
Suwito (1985, 72 – 74) menyatakan ada beberapa faktor penyebab alih kode
antara lain penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok pembicaraan, untuk
membangkitkan rasa humor dan sekedar untuk bergengsi. Berdasarkan teori tersebut
dari percakapan di atas terlihat bahwa guru mengalihkan kode dari bahasa Indonesia
‘Menjahitnya diberi jarak yang sama, biar rapi’ ke dalam bahasa Jawa ‘Ojo nyelot
gede’ yang bermakna ‘Jangan tambah lebar’ secara sadar dengan maksud untuk
menciptakan rasa humor. Dengan cara ini ternyata guru berhasil membuat seluruh
kelas tertawa karena bahasa yang digunakan oleh guru ketika ingin menciptakan
humor sangat dimengerti oleh para siswa. Sebelum guru menciptakan humor ada
beberapa siswa yang tidak memperhatikan penjelasan yang diberikan guru, setelah
ada humor dan para siswa tertawa, mereka kembali terfokus pada penjelasan yang
diberikan guru tentang cara menjahit tugas kesenian yang benar dan mereka mulai
mengikuti urutan-urutan kegiatan pembelajaran dengan baik.
Data selanjutnya yaitu data (26), data tersebut merupakan kegiatan
pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru
yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah
siswa kelas V yang berjenis kelamin laki-laki berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
siang hari dengan suasana formal ketika guru memberi pembenaran cara mengerjakan
tugas kesenian. Adapun cuplikan percakapannya sebagai berikut:
(26)Dt 18
P1 : Wah salah ini!
P2 : Terus diapain ini bu?
P1 : Diuculi kabeh jahitane!
(Dilepas semua jahitannya!)
P2 : Teneh gawe meneh ?
(harus buat lagi ini?)
(Semua tertawa)
Menurut Suandi (2014: 136) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih kode diantaranya yaitu penutur dan pribadi penutur,
perubahan situasi tutur, kehadiran orang ketiga, peralihan pokok pembicaraan,
membangkitkan rasa humor, ragam dan tingkat tutur bahasa, untuk sekedar bergengsi.
Berdasarkan teori tersebut dari percakapan di atas terlihat bahwa guru mengalihkan
kode dari bahasa Indonesia ‘Wah salah ini!’ ke dalam bahasa Jawa ‘Diuculi kabeh
jahitane!’ yang bermakna ‘Dilepas semua jahitannya!’ secara sadar dengan maksud
untuk membangkitkan rasa humor. Dengan cara ini ternyata guru berhasil membuat
seluruh kelas tertawa karena bahasa yang digunakan oleh guru ketika ingin
menciptakan humor sangat dimengerti oleh para siswa. Sebelum guru menciptakan
humor ada beberapa siswa yang hanya berbicara dengan temannya dan tidak
mengerjakan tugas kesenian, setelah ada humor dan para siswa tertawa, mereka
kembali terfokus pada penjelasan yang diberikan guru tentang cara mengerjakan
tugas kesenian yang benar dan mereka mulai mengerjakan tugas keseniannya dengan
baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
4.2.6.3 Melakukan Klarifikasi
Pada alih kode jenis ini guru beralih ke kode lain untuk mengklarifikasi
penjelasanya yang dirasa telah membuat para siswa menjadi kebingungan. Dengan
adanya klarifikasi tersebut siswa mendapat kejelasan tentang apa yang dimaksudkan
oleh guru. Dalam proses pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah, nampaknya
guru sering melakukan peralihan kode ketika dirasa para siswa kebingungan dalam
memahami penjelasan yang telah diberikan oleh guru. Adapun cuplikan percakapan
yang terdapat alih kode dengan maksud melakukan klarifikasi dijelaskan sebagai
berikut:
(27)Dt 6
P1 : Berikutnya adalah lalat. Siapa yang pernah dihinggapi lalat?
(siswa masih diam)
Sopo sek wes tau diencloki laler?
(Siapa yang pernah dihinggapi lalat?)
P2 : Saya bu.
Cuplikan percakapan di atas merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin
perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah siswa kelas V yang
berjenis kelamin laki-laki berumur 12 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal.
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 108) alih kode dapat terjadi karena
beberapa faktor, yakni pembicara atau penutur, pendengar atau mitra tutur, perubahan
situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Yang dimaksud disini adalah faktor
pembicara atau penutur, seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
kode untuk memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih
kode biasnaya dilakukan penutur dalam keadaan sadar. Berdasarkan teori tersebut
pada tuturan tersebut terlihat bahwa siswa bingung dengan pertanyaan yang diberikan
guru. Oleh sebab itu guru secara sadar melakukan klarifikasi dengan menggunakan
bahasa yang dimengerti siswa. Pada tuturan ini guru melakukan klarifikasi dengan
beralih kode dari bahasa Indonesia ‘Siapa yang pernah dihinggapi lalat?’ ke dalam
bahasa Jawa ‘Sopo sek wes tau diencloki laler?’. Sebelum adanya klarifikasi dalam
bahasa Jawa, para siswa terlihat kebingungan memahami pertanyaan guru namun
setelah adanya klarifikasi para siswa dengan sigap menjawab dan mengangkat tangan.
Terbukti bahwa dengan adanya klarifikasi dalam bahasa yang sangat dimengerti
siswa penjelasan guru menjadi lebih mudah dimengerti.
Selanjutnya, data (28) merupakan cuplikan percakapan dalam pembelajaran di
kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan siswa yang berjenis
kelamin laki-laki berumur 12 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah guru kelas V yang
berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal. Tuturan terjadi ketika siswa menanyakan letak kota Makah. Berikut
cuplikan percakapan tersebut.
(28)Dt 8
P2 : Bu nek Mekah ki nandi?
P1 : Makah itu di Arab Saudi.
Mekah ki kota sek ono nang Arab Saudi.
(Makah itu kota yang ada di Arab Saudi.)
Appel (dalam Pateda, 1987: 86) berpendapat ada faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya alih kode antara lain, (1) siapa pembicara dan pendengar,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
(2) pokok pembicaraan, (3) konteks verbal, (4) bagaimana bahasa yang dihasilkan,
dan (5) lokasi. Yang dimaksud disini adalah faktor siapa pembicara dan pendengar.
seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih kode untuk memperoleh
keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih kode biasnaya dilakukan
penutur dalam keadaan sadar. Berdasarkan teori tersebut dari cuplikan percakapan di
atas terlihat bahwa guru secara sadar beralih kode dari bahasa Indonesia ‘Makah itu
di Arab Saudi. ’ ke dalam bahasa Jawa ‘Mekah ki kota sek ono nang Arab Saudi.’
yang bermakna ‘Makah itu kota yang ada di Arab Saudi.’. Sebelum adanya klarifikasi
dalam bahasa Jawa, para siswa terlihat kebingungan memahami penjelasan guru
namun setelah adanya klarifikasi, para siswa langsung memahami apa yang
dijelaskan oleh guru sebelumnya. Terbukti bahwa dengan adanya klarifikasi dalam
bahasa yang sangat dimengerti siswa penjelasan guru menjadi lebih mudah dipahami.
Contoh lain dari alih kode dengan maksud melakukan klarifikasi juga terdapat
pada data (29). Data tersebut merupakan kegiatan pembelajaran di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan guru yang berjenis kelamin
perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur adalah siswa kelas V yang
berjenis kelamin perempuan berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat siang hari dengan
suasana formal. Berikut adalah cuplikan percakapan tersebut.
(29)Dt 12
P1 : Hewan yang mengais untuk mencari makan itu hewan apa?
P2 : Mengais itu apa bu?
P1 : Sopo sek ra ngerti nyekeri?
(Siapa yang tidak tahu nyekeri/mengais?)
P2 : Oalah nyekeri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Menurut Hymes (1964) (dalam Suandi, 2014: 135) faktor-faktor dalam suatu
imteraksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi makna, yaitu: siapa pembicara atau
bagaimana pribadi pembicara, dimana atau kapan pembicaraan itu berlangsung, apa
modus yang digunakan, apa topic atau subtopic yang dibicarakan, apa fungsi dan
tujuan pembicaraan, apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan. Yang
dimaksud disini adalah faktor pembicara atau penutur, seorang pembicara atau
penutur sering kali melakukan alih kode untuk memperoleh keuntungan atau manfaat
dari tindakannya tersebut. Alih kode biasnaya dilakukan penutur dalam keadaan
sadar. Berdasarkan teori tersebut dari cuplikan percakapan di atas terlihat bahwa guru
secara sadar beralih kode dari bahasa Indonesia ‘Hewan yang mengais untuk mencari
makan itu hewan apa?’ ke dalam bahasa Jawa ‘Sopo sek ra ngerti nyekeri?’ yang
bermakna ‘Siapa yang tidak tahu nyekeri/mengais?’. Sebelum adanya klarifikasi
dalam bahasa Jawa, para siswa terlihat kebingungan memahami pertanyaan guru
namun setelah adanya klarifikasi, para siswa langsung memahami apa yang
ditanyakan oleh guru sebelumnya. Terbukti bahwa dengan adanya klarifikasi dalam
bahasa yang sangat dimengerti siswa penjelasan guru menjadi lebih mudah dipahami.
4.2.6.4 Meningkatkan Pemahaman Siswa
Alih kode dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa rupanya cukup
sering dilakukan guru dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Dengan strategi penerjemahan sebagian kalimat atau seluruh
kalimat dan ditambah dengan adanya perulangan baik dalam kode yang sama atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
kode yang beda akan sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam
belajar. Adapun cuplikan percakapan yang terdapat alih kode dengan maksud
meningkatkan pemahaman siswa dijelaskan sebagai berikut:
(30)Dt 2
P1 :Siapa yang tau burung elang?
P2 : saya bu
P1 : Paruh burung elang seperti apa? (siswa diam seperti tidak tahu).
Cucuke manuk elang koyo ngopo?, cucuk e elang ki lincip dingo
mangan daging.
(Paruh burung elang seperti apa? Paruh elang tajam buat makan
daging)
Percakapan tersebut merupakan percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin perempuan yang berumur 11 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan
suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang bagian-bagian tubuh
binatang.
Chaer dan Agustina (2010: 108) menyatakan bahwa alih kode dapat terjadi
karena beberapa faktor, yakni pembicara atau penutur, pendengar atau mitra tutur,
perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal
atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Yang dimaksud disini adalah
faktor pendengar atau mitra tutur, faktor pendengar atau lawan tutur dapat
menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi
kemampuan berbahasa lawan tutur. Biasanya hal ini terjadi karena kemampuan
berbahasa mitra tutur kurang atau karena memang bukan bahasa pertamanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat pada percakapan di atas adanya alih kode
yang dilakukan oleh guru karena melihat lawan tutur atau siswa memiliki
kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang baik sehingga guru ingin mengimbangi
kemampuan berbahasa siswa dengan melakukan alih kode dalam bahasa Jawa.
Semula guru menggunakan kode dalam bahasa Indonesia ‘Paruh burung elang seperti
apa?’ ketika bertutur dengan siswa, namun tuturan tersebut dirasa telah membuat
siswa kebingungan, kemudian guru menerjemahkan tuturanya ke dalam bahasa Jawa
yang berbunyi ‘Cucuke manuk elang koyo ngopo?, Cucuk e elang ki lincip dinggo
mangan daging’ yang maknanya ‘Paruh burung elang seperti apa? Paruh elang tajam
buat makan daging’. Dengan penerjemahan dalam bahasa yang sangat dimengerti
siswa ternnyata dapat meningkatkan pemahaman siswa, yang semula siswa
kebingungan untuk memahami penjelasan guru, setelah adanya penerjemahan para
siswa lebih memahami penjelasan yang guru berikan sebelumnya.
Selanjutnya, data (31) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin laki-laki yang berumur 12 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan
suasana formal ketika guru memberi penjelasan saat pelajaran Matematika. Adapun
cuplikan percakapannya sebagai berikut:
(31)Dt 20
P1 : Sekarang ibu mau tanya.
P2 : Ya bu.
P1 : Kilometer dijadikan ke meter, nol e nambah piro?(angka nol tambah
berapa?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
P2 : Tiga bu.
Fishman (dalam Chaer. 2014: 49) ada beberapa faktor yang menyebabkan alih
kode diantaranya siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan
dengan tujuan apa. Yang dimaksud disini adalah faktor mitra tutur atau pendengar,
faktor pendengar atau mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya
karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur. Biasanya
hal ini terjadi karena kemampuan berbahasa mitra tutur kurang atau karena memang
bukan bahasa pertamanya. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat pada percakapan
di atas adanya alih kode yang dilakukan oleh guru karena melihat lawan tutur atau
siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang baik sehingga guru
ingin mengimbangi kemampuan berbahasa siswa dengan melakukan alih kode dalam
bahasa Jawa. Dalam percakapan tersebut dapat dilihat adanya alih kode yang
dilakukan oleh guru dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa tentang
penjelasan yang diberikan. Semula guru menggunakan kode dalam bahasa Indonesia
di awal tuturan, kemudian guru beralih kode dalam bahasa Jawa di akhir yang
berbunyi ‘nol e nambah piro?’ yang bermakna ‘angka nol tambah berapa?’. Dengan
peralihan kode ke dalam bahasa yang sangat dimengerti siswa ternyata dapat
meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang dijelaskan guru.
Kemudian, data (32) merupakan percakapan antara guru dan siswa pada
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Guru tersebut
berjenis kelamin perempuan yang berumur 23 tahun. Sedangkan siswa berjenis
kelamin laki-laki yang berumur 12 tahun. Tuturan terjadi saat pagi hari dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
suasana formal ketika guru memberi penjelasan saat pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam. Adapun cuplikan percakapannya sebagai berikut:
(32)Dt 35
P2 : Bu yang ini bagaimana ?
P1 : Kamu mau mencari apa?
P2 : Kecepatan Bu.
P1 : Nek golekki kecepatan rakyo S diporo T.
(Kalau mencari kecepatan itu ya S dibagi T.)
Appel (dalam Pateda, 1987: 86) berpendapat ada faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya alih kode antara lain, (1) siapa pembicara dan pendengar,
(2) pokok pembicaraan, (3) konteks verbal, (4) bagaimana bahasa yang dihasilkan,
dan (5) lokasi. Yang dimaksud disini adalah faktor siapa pembicara dan pendengar.
Yang dimaksud disini adalah faktor pembicara dan pendengar atau mitra tutur, faktor
pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena
si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur. Biasanya hal ini
terjadi karena kemampuan berbahasa mitra tutur kurang atau karena memang bukan
bahasa pertamanya. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat pada percakapan di atas
adanya alih kode yang dilakukan oleh guru karena melihat lawan tutur atau siswa
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang baik sehingga guru ingin
mengimbangi kemampuan berbahasa siswa dengan melakukan alih kode dalam
bahasa Jawa.Dari cuplikan percakapan di atas dapat dilihat bahwa guru mengalihkan
kode ke dalam bahasa yang sangat dimengerti siswa dengan tujuan agar siswa lebih
mudah memahami penjelasan yang diberikan oleh guru. Pada tuturan ini guru
mengalihkan kode ke dalam bahasa Jawa ‘Nek golekki kecepatan rakyo S diporo
T’yang bermakna ‘Kalau mencari kecepatan itu ya S dibagi T’. Dengan adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
peralihan kode dalam bahsa Jawa ternyata dapat membantu meningkatkan
pemahaman siswa tentang penjelasan guru, hal ini dikarenakan bahsa yang digunakan
oleh guru sangat dimengerti dan dikuasai dengan baik oleh para siswa.
4.2.6.5 Mempermudah Penyampaian Materi Pelajaran
Topik pelajaran yang baru memang merupakan suatu yang sulit disajikan
langsung dalam bahasa kedua karena siswa akan menghadapi dua kesulitan pada saat
yang bersamaan yaitu kesulitan tentang isi pelajaran dan bahasa yang digunkan oleh
guru ketika menyajikan isi pelajaran. Untuk itu mungkin guru secara sadar atau tidak
beralih ke dalam kode bahasa Jawa sewaktu memperkenalkan isi pelajaran. Adapun
cuplikan percakapan yang terdapat alih kode dengan maksud menyajikan isi pelajaran
dijelaskan sebagai berikut:
(33)Dt 4
P1 : Siapa yang tau burung Pelikan?
P2 : Tidak bu.
P1 : Kae lho manuk sek nang film Nemo.
(Itu burung yang ada di film Nemo)
P2 : Ohhh
Cuplikan percakapan di atas merupakan percakapan antara guru dan siswa
pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
mitra tutur merupakan para siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah. Tuturan terjadi saat
pagi hari dengan suasana formal ketika guru menanyakan kepada siswa tentang nama
burung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Menurut Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2001: 37) faktor maksud dapat pula
berpengaruh terhadap kode bahasa yang dipilih seseorang dalam bertutur. Seorang
anak yang biasanya berbicara dengan bahasa Jawa ngoko kepada ibunya, sekejap
dapat berubah berbahasa dengan menggunakan variasi bahasa dalam tingkat krama
karena maksud-maksud tertentu yang penentuan hasilnya adalah pada pihak sang Ibu.
Pada saat anak minta dibelikan pakaian baru oleh ibunya, anak itu akan mengubah
kodenya supaya maksudnya tercapai. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
perubahan kode berkaitan pula dengan maksud tuturan. Supaya maksud tuturan dapat
dipahami oleh lawan bicara, seorang penutur harus menggunakan kode tertentu yang
mendukung maksud.
Terlihat dari percakapan tersebut, nampaknya guru dengan sengaja beralih
kode dari bahsa Indonesia ‘Siapa yang tau burung Pelikan?’ ke dalam bahasa Jawa
‘Kae lho manuk sek nang film Nemo’ yang bermakna ‘Itu burung yang ada di film
Nemo’ dengan maksud mempermudah penyampaian materi pelajaran. Hal ini
dilakukan oleh guru karena melihat para siswa kesulitan dalam memahami topik
pelajaran yang baru. Dengan adanya peralihan kode tersebut para siswa lebih mudah
memahami topik pelajaran baru yang disampaikan oleh guru.
Contoh lain dari alih kode dengan maksud untuk menyajikan isi pelajaran
terjadi pada data (34). Data tersebut merupakan percakapan antara guru dan siswa
pada proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur
merupakan guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
mitra tutur merupakan para siswa kelas V di SD Negeri 1 Lendah. Tuturan terjadi saat
pagi hari dengan suasana formal. Berikut adalah cuplikan percakapan tersebut.
(34)Dt 5
P1 : Bertengger, kalian tau apa itu bertengger?
P2 : Tidak bu
P1 : Bertengger ki menclok kae.
(Bertengger itu hinggap)
Nababan (1984 : 7) menyatakan bahwa unsur-unsur yang menyebabkan alih
kode ada beberapa macam, yaitu pemeran serta, topik, situasi, tujuan, jalur dan ragam
bahasa. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat pada cuplikan percakapan di atas,
nampaknya guru dengan sengaja beralih kode dari bahsa Indonesia ‘Bertengger,
kalian tau apa itu bertengger?’ ke dalam bahasa Jawa ‘Bertengger ki menclok kae’
yang bermakna ‘Bertengger itu hinggap’ dengan maksud mempermudah
penyampaian materi pelajaran. Hal ini dilakukan oleh guru karena melihat para siswa
kesulitan dalam memahami pertanyaan tentang topik pelajaran yang baru. Dengan
adanya peralihan kode tersebut para siswa lebih mudah memahami pertanyaan
mengenai topik pelajaran baru yang disampaikan oleh guru.
Selanjutnya, data (35) adalah percakapan antara guru dan siswa pada proses
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo. Penutur merupakan
guru yang berjenis kelamin perempuan berumur 23 tahun. Sedangkan mitra tutur
merupakan siswa kelas V yang berjenis kelamin perempuan berumur 11 tahun.
Tuturan terjadi saat pagi hari dengan suasana formal. Adapun cuplikan
percakapannya sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
(35)Dt 29
P1 : Ada yang ditanyakan ?
P2 : Bu bedanya patrilineal dan matrilineal apa bu?
P1 : Le ngeling-ngeling ki ngene ki lho, nek miturut keturunan bapak
ki patrilineal, nek ibu ki matrilineal.
(Cara mengingatnya itu seperti ini, kalau menurut ayah patrilineal,
kalau menurut ibu matrilineal)
P2 : Oohhhh
Menurut Suwito (1985, 72 – 74) beberapa faktor penyebab alih kode antara
lain penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok pembicaraan, untuk
membangkitkan rasa humor dan sekedar untuk bergengsi. Berdasarkan teori tersebut
dapat dilihat pada cuplikan percakapan di atas, sepertinya guru dengan sengaja
beralih kode ke dalam bahasa Jawa dengan maksud mempermudah penyampaian
materi pelajaran karena melihat para siswa kesulitan untuk memahami tentang topik
pelajaran yang baru. Dalam hal ini guru beralih kode ke dalam bahasa jawa karena
bahasa tersebut sangat dimengerti dan dikuasai dengan baik oleh para siswa. Dengan
adanya peralihan kode dalam bahasa Jawa ternyata sangat membantu para siswa
dalam memahami topik pelajaran baru yang disampaikan oleh guru sebelumnya.
4.3 Pembahasan
Pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan temuan data-data hasil penelitian
yang secara keseluruhan diambil dari proses analisis data sebelumnya. Penjelasan
dalam sub bab ini berhubungan dengan temuan data-data hasil penelitian yang sudah
sesuai dengan teori-teori yang dipaparkan peneliti. Kesesuaian teori dengan temuan
data-data hasil penelitian tersebut berhubungan dengan pengertian kode menurut
Poedjosoedarmo (1982:30) yang menyatakan bahwa kode merupakan suatu sistem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar
belakang penutur dengan lawan tutur, dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu
terdapat unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem. Selanjutnya
pengertian alih kode menurut Hymes (dalam Suandi, 2014: 133) yang menyatakan
bahwa pengertian alih kode merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk
menyatakan pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi
dari satu bahasa atau bahkan beberapa ragam dari satu gaya kemudian wujud alih
kode menurut Rahardi, (2001: 105) yang menyatakan bahwa pemerian wujud alih
kode itu akan mencakup dua hal, yakni peralihan dari kode yang berstatus tinggi
(vous) ke dalam kode yang berstatus rendah (tu) dan sebaliknya dari kode yang
berstatus rendah (tu) ke dalam kode yang berstatus tinggi (vous). Serta maksud alih
kode yang sudah dijelaskan oleh peneliti di depan.
Teori yang digunakan oleh peneliti pada sub bab pembahasan ini adalah
wujud alih kode menurut Rahardi (2001) yang membedakan wujud alih kode
menjadi empat yakni alih tingkat tutur, alih bahasa, alih ragam, dan alih dialek.
Namun dalam penelitian ini hanya didapatkan alih kode yang berwujud alih bahasa
saja, sedangkan alih kode berwujud alih tingkat tutur, alih ragam dan alih dialek
tidak ditemukan dalam penelitian.
Selanjutnya, pembahasan akan didasarkan pada dua pokok rumusan masalah
yang diangkat dalam penelitian ini untuk melihat kesesuaian teori yang sudah
dipaparkan di atas dengan hasil temuan data-data hasil penelitian. Kedua rumusan
masalah tersebut meliputi wujud alih kode pertuturan guru - siswa dalam proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo dan maksud alih
kode pertuturan guru - siswa dalam proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Pembahasan kedua rumusan tersebut dalam setiap kategori
adalah sebagai berikut.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa wujud alih kode dibedakan menjadi
dua yakni alih tingkat tutur dan alih bahsa. Namun disini hanya akan dijelaskan
mengenai alih kode yang berwujud alih bahasa sesuai dengan temuan di lapangan.
Dari hasil penelitian didapatkan adanya alih kode berwujud alih bahasa, yakni alih
bahasa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan alih bahasa dari bahasa Jawa
ke dalam bahasa Indonesia. Rahardi (2001: 119) menyatakan bahwa fungsi bahasa
dari kedua bahasa itupun sering dapat saling menggantikan. Maksudnya adalah
bahwa dalam suatu kesempatan bahasa Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa yang
berstatus tinggi (vous) dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang berstatus
rendah (tu) begitupun sebaliknya.
Penjelasan tentang wujud alih kode di atas menjadi dasar peneliti dalam
mengklasifikasikan data tuturan. Selanjutnya dalam analisis, peneliti
mengklasifikasikan data tuturan berjumlah tiga puluh lima(35) ke dalam dua wujud
alih kode yakni alih kode berwujud alih bahasa dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa dan alih kode berwujud alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia. Selain itu peneliti juga mengklasifikasi data tersebut ke dalam lima
maksud alih kode, faktor maksud sesuai pendapat Poedjosoedarmo dalam Rahardi
(2001: 37) faktor maksud dapat pula berpengaruh terhadap kode bahasa yang dipilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
seseorang dalam bertutur. Seorang anak yang biasanya berbicara dengan bahasa Jawa
ngoko kepada ibunya, sekejap dapat berubah berbahasa dengan menggunakan variasi
bahasa dalam tingkat krama karena maksud-maksud tertentu yang penentuan hasilnya
adalah pada pihak sang Ibu. Pada saat anak minta dibelikan pakaian baru oleh ibunya,
anak itu akan mengubah kodenya supaya maksudnya tercapai. Adapun maksud
tersebut yakni memfokuskan perhatian siswa, menciptakan rasa humor,
mempermudah penyampaian materi pelajaran, meningkatkan pemahaman siswa dan
melakukan klarifikasi. Adapun uraian tentang maksud pertuturan guru - siswa dalam
proses belajar mengajar di kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo sebagai
berikut:
(1)Memfokuskan perhatian siswa, seorang guru akan beralih kode jika dia ingin
memfokuskan perhatian para siswa pada intruksi yang diberikannya. Guru beralih
kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia begitupun sebaliknya jika dia
mengharapkan siswa memperhatikan intruksinya terutama hal-hal yang berkaitan
dengan pengelolaan kelas. (2)Menciptakan rasa humor, humor dan selingan sering
dimasukkan guru di sela-sela urutan kegiatan pembelajaran di kelas dengan maksud
agar para siswa tetap terfokus dan tertarik untuk mengikuti urutan kegiatan
pembelajaran dengan baik. Dalam proses pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo nampaknya guru cenderung untuk beralih kode dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa jika ia sedang berusaha memasukkan selingan atau
humor pada bagian-bagian tertentu dari pengajarannya. (3)Melakukan klarifikasi,
pada alih kode jenis ini guru beralih ke kode lain untuk mengklarifikasi penjelasanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
yang dirasa telah membuat para siswa menjadi kebingungan. Dengan adanya
klarifikasi tersebut siswa mendapat kejelasan tentang apa yang dimaksudkan oleh
guru. Dalam proses pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Lendah, nampaknya guru
sering melakukan peralihan kode ketika dirasa para siswa kebingungan dalam
memahami penjelasan yang telah diberikan oleh guru. (4)Meningkatkan pemahaman
siswa, alih kode dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa rupanya cukup
sering dilakukan guru dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Dengan strategi penerjemahan sebagian kalimat atau seluruh
kalimat dan ditambah dengan adanya perulangan baik dalam kode yang sama atau
kode yang beda akan sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam
belajar. (5)Mempermudah penyampaian materi pelajaran, topik pelajaran yang baru
memang merupakan suatu yang sulit disajikan langsung dalam bahasa kedua karena
siswa akan menghadapi dua kesulitan pada saat yang bersamaan yaitu kesulitan
tentang isi pelajaran dan bahasa yang digunkan oleh guru ketika menyajikan isi
pelajaran.
Adapun kode yang berwujud bahasa meliputi bahasa Jawa dan bahasa Jawa
non-jawa, kode yang berwujud bahasa non-Jawa yakni bahasa Indonesia. Kode yang
berwujud tingkat tutur dibedakan menjadi tiga yakni tingkat tutur ngkoko, madya,
krama. Kode yang berwujud dialek dibedakan menjadi dua yakni dialek bahasa Jawa
standar dan dialek bahasa Jawa nonstandar. Selanjutnya kode yang berwujud ragam
dibedakan menjadi dua yakni ragam ilmiah dan ragam usaha. Dari penelitian
didapatkan bahwa penggunaan kode dalam bahasa Jawa lebih sedikit dibandingkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
kode dalam bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan dalam setiap pelajaran guru selalu
menggunakan kode bahasa Indonesia dalam penyampaian pelajaran untuk melatih
keterampilan berbahasa Indonesia para siswa. Selanjutnya kode berwujud tingkat
tutur paling banyak ditemukan pada tingkat tutur ngoko sedangkan kode dalam
tingkat tutur karma ditemukan hanya beberapa saja, dan kode dalam tingkat tutur
madya sangat sulit ditemukan dalam pertuturan guru-siswa di kelas V SD Negeri 1
Lendah, Kulon Progo. Kemudian penggunaan kode yang berwujud dialek hanya
ditemukan kode dalam dialek bahasa Jawa standar sedangkan kode dalam dialek
bahasa Jawa non-standar sama sekali tidak ditemukan dalam penelitian. Hal ini
dikarenakan guru dan siswa kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, sama-sama
berasal dari masyarakat Jawa. Dari penelitian juga didapatkan bahwa penggunaan
kode berwujud ragam usaha lebih banyak digunakan oleh guru ketika mengajar di
kelas. Hal ini dikarenakan ragam usaha merupakan ragam bahasa yang lazim
digunakan dan bahasa yang paling operasional. Selain itu ragam ini biasanya
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, rapat usaha, atau suatu
pembicaraan yang berorientasi pada sebuah hasil atau produksi.
Dari kelima klasifikasi tersebut didapatkan 12 data alih kode dengan maksud
Memfokuskan perhatian siswa, 4 data alih kode dengan maksud menciptakan rasa
humor, 5 data alih kode dengan maksud melakukan klarifikasi, 3 data alih kode
dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa, dan 11 data alih kode dengan
maksud Mempermudah penyampaian materi pelajaran. Kelima maksud tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
terdapat pada pertuturan guru - siswa dalam proses belajar mengajar di kelas V SD
Negeri 1 Lendah, Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua pokok, yaitu simpulan dan saran, simpulan berisi
mengenai inti dari penelitian ini. Saran berisi tentang hal-hal relevan yang perlu
diperhatikan untuk penelitian selanjutnya, baik dari kalangan mahasiswa Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia, peneliti lain maupun pihak yang lain. Berikut pemaparan
dari kedua hal tersebut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian bab IV yang sudah dianalisis dan dibahas oleh peneliti
mengenai alih kode dalam pertuturan guru – siswa pada proses belajar mengajar di
kelas V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, peneliti menemukan wujud kode dan alih
kode beserta maksud dari alih kode tersebut. Simpulannya adalah sebagai berikut:
Peneliti menemukan wujud kode yang digunakan dalam pembelajaran di kelas
V SD Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, diantaranya kode berwujud bahasa meliputi
bahasa Jawa dan bahasa non-Jawa, yang dimaksud bahasa non-Jawa adalah bahasa
Indonesia. Kode berwujud tingkat tutur hanya ditemukan dalam tingkatan ngoko dan
krama. Kemudian kode berwujud dialek ditemukan hanya dialek bahasa Jawa
standar. Selanjutnya kode berwujud ragam didapatkan berupa ragam ilmiah dan
ragam usaha. Selain itu didapatkan pula alih kode berwujud alih bahasa yakni alih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
kode berwujud alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan alih kode berwujud
alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Adapun maksud guru beralih kode dalam pembelajaran yaitu: (1) alih kode
dengan maksud memfokuskan perhatian siswa, (2) alih kode dengan maksud
menciptakan rasa humor, (3) alih kode dengan maksud melakukan klarifikasi, (4) alih
kode dengan maksud meningkatkan pemahaman siswa, (5) alih kode dengan maksud
mempermudah penyampaian materi pelajaran.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang sudah dipaparkan di atas, ada beberapa saran
yang peneliti berikan yaitu:
1. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti lain dapat meneliti maupun mengembangkan penelitian ke ranah dan
subjek penelitian yang lain ataupun menindak lanjuti penelitian alih kode dengan
ruang lingkup yang lebih sempit sehingga kedalaman analisis masalah yang lebih
mendasar dapat diketahui.
2. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memahami wujud dan maksud
alih kode yang ada di masyarakat sehingga pembaca dapat mengetahui maksud
seseorang beralih kode dalam komunikasi sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
3. Bagi pendidik
Semoga para pendidik semakin meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam setiap pembelajaran untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia para
siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Daftar Pustaka
Adi Nugroho.2011.Alih Kode dan Campur Kode Pada Komunikasi Antara Guru-
Siswa Di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten di https://eprints.uny.ac.id
(diakses Agustus 2018)
Beardsmore, Hugo Baetens. 1982. Bilingualisme: Basic Principles.
Chaer Abdul, Agustina Leoni. 2010. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Djadjasudarma, T . Fatimah, dkk. 1994. Akulturasi Bahasa Sunda dan Non Sunda
di Daerah Parawisata.
Has’ad Rahman Attamimi.2013. Analisis Tindak Bahasa Campur Kode di Pasar
Labuhan Sumbawa Pendekatan Sosiolinguistik di https://www.scribd.com
(diakses Agustus 2018)
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Jendra, M.I.I. 2001. Sosiolinguistics. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kamaruddin. (1989). Panduan Pengajar Buku Kedwibahasaan dan Pendidikan
Dwibahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kridalaksana, Kristen. 1986. The Linguistics Encyclopedia. PP. Giolooli (Ed).
Mahsun .2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Moleong, J. Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muhammad. 2014. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolingustik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sumarsono, 2010. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwito. 1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Hanary Offset.
Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso.
1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
BIOGRAFI PENULIS
Wishnu Herbowo Murty lahir di Kulon Progo pada tanggal 26
Agustus 1994. Ia pada tahun ajaran 2006/2007 menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Muhammadiyah Bedoyo, Kulon Progo.
Kemudianpada tahun 2009/2010 menyelesaikan pendidikan
menengah pertama di SMP Negeri 1 Lendah, Kulon Progo, dan pada tahun ajaran
2012/2013 menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMK Negeri 1 Panjatan,
Kulon Progo. Tahun 2013 peneliti melanjutkan studi di Program Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa PBSI, penulis aktif mengikuti dan
terlibat dalam berbagai kegiatan baik di dalam maupun di luar prodi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI