akhlaki dan non akhlaki

16
BAB I PENDAHULUAN Perbuatan manusi a mer upakan sebuah gambara n dari dal am dir iny a, karena perbuatannya itu orang tahu bagaimana sikap, watak dan perangainya. Kita sering melihat orang disekitar kita melakukan sesuatu kebaikan maka kita langsung menilai bahwa orang itu merupakan orang yang baik. Sama halnya dengan orang yang melakukan perbutan jahat kita juga menilai bahwa orang itu sangat buruk perangainya. 1 Akhlak merupakan cerminan dalam diri seseorang, bila ahklaknya baik maka ia akan disegani dan dihormati oleh masyarakat dan akan banyak teman sejawat disekitarnya senang bertemu dengannya. Begitu juga dengan orang yang  berakhlak buruk dia akan di benci dan di jauhi oleh masyarakatnya dan orang disek itar nya. Sangat banya k contoh yang dapat kita lihat disekelil ing kita, orang yang berakhlak mulia itu sangat harum namanya dikalangan masyarakat. Kita ambil contoh Rasulullah SA sangat dikenal oleh ummatnya biarpun ummatnya tidak ber jumpa lagi deng an dia , itu dikare nakan ole h akhl akny a yan g sangat mulia. Seda ngkan kedu duka n akhlak dal am kehidupan man usi a me nempati tempat yang penting sebagai indi!idu maupun masyarakat dan bangsa, sebab  jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Kejayaan seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membu at seseorang menjadi aman, tenang, dan tidak ada perbuatan yang tercela. "engan demiki an akhlak mer upa kan si# at bat hin man usi a, gambar an bent uk lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. BAB II 1 Sayid Sabi$, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam %&akarta' P( )ntermasa, 1*+1, hlm. -1 1

Upload: kewin-harahap

Post on 19-Oct-2015

771 views

Category:

Documents


67 download

TRANSCRIPT

BAB I

BAB I

PENDAHULUANPerbuatan manusia merupakan sebuah gambaran dari dalam dirinya, karena perbuatannya itu orang tahu bagaimana sikap, watak dan perangainya. Kita sering melihat orang disekitar kita melakukan sesuatu kebaikan maka kita langsung menilai bahwa orang itu merupakan orang yang baik. Sama halnya dengan orang yang melakukan perbutan jahat kita juga menilai bahwa orang itu sangat buruk perangainya.

Akhlak merupakan cerminan dalam diri seseorang, bila ahklaknya baik maka ia akan disegani dan dihormati oleh masyarakat dan akan banyak teman sejawat disekitarnya senang bertemu dengannya. Begitu juga dengan orang yang berakhlak buruk dia akan di benci dan di jauhi oleh masyarakatnya dan orang disekitarnya. Sangat banyak contoh yang dapat kita lihat disekeliling kita, orang yang berakhlak mulia itu sangat harum namanya dikalangan masyarakat. Kita ambil contoh Rasulullah SAW sangat dikenal oleh ummatnya biarpun ummatnya tidak berjumpa lagi dengan dia, itu dikarenakan oleh akhlaknya yang sangat mulia.

Sedangkan kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Kejayaan seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang, dan tidak ada perbuatan yang tercela. Dengan demikian akhlak merupakan sifat bathin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian AkhlakPerkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelediki asal usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Dalam kepustakaan akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk.

Soegarda Poerbakawatja dalam bukunya Ensiklopedi Pendidikan, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Kholiknya dan terhadap sesama manusia.

Asmaran dalam buku Pengantar Studi Akhlak, menjelaskan pengertian akhlak sebagai Kondisi atau sifat yag telah meresap dan terpatri dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi ada timbul kelakuan baik dan terpuji menurut pandangan syariat dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.

Sejalan dengan pengertian yang disebutkan di atas, Abuddin Nata menjelaskan bahwa ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.

3. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau bersandiwara.

5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (kususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa akhlak adalah sifat, watak, etika, moral seseorang yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

B. Seputar Istilah Akhlak, Etika dan MoralSebagaimana diuraikan diatas bahwa istilah akhlak di satu sisi menunjuk perbuatan dan di sisi lain sebagai ilmu. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sehari-hari dikenal pula istilah etika dan moral. Apa maksud dua istilah yang disebutkan belakangan itu, dan bagaimana pula kaitan dan perbaningannya dengan akhlakIstilah Etika secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: adat, watak atau kesusilaan. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Menurut Pujowijatno, makna utama dari etika, yang terambil dari kata Yunani ethos, adalah tingkah laku. Sehubungan dengan ini, Mahjuddin mengartikan kata etika, yang secara bahasa berasal dari Yunani ethos, sebagai adat, watak atau kesusilaan. Dengan demikian di kalangan ahli memang telah ada kesepakatan perihal asal kata etika yakni berasal dari bahasa Yunani ethos. Dan meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada lingkaran di seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku, kesusilaan dan semisalnya. Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat. Dalam bahasa Indonesia, kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika. Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafaat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori. Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika. Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek kajian daripada etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa. Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersimber dari wahyu yakni al-Quran dan al-Hadis. Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan ilmu akhlak, namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Barangkali kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu, sangat boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikiandalam batas tertentudapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu.Selanjutnya adalah menyengkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat dalam kontksnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk pada yang dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.C. Perbuatan Akhlaki dan Perbuatan Non Akhlaki.Perbuatan akhlaki dan non-akhlaki merupakan dua istilah yang digunakan dalam suatu perbuatan yang dilakukan seseorang baik secara disadari maupun tidak disadari atau spontan. Perbuatan akhlaki adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran secara rasio, atau suatu perbuatan yang dilakukan dengan secara sadar dan tidak dengan paksaan.

Ada sejumlah perbuatan manusia yang dinamakan perbuatan akhlaki atau etis. Pertanyaan ini meski tampak sederhana tetapi bernilai penting, karena ternyata tidak semua perbuatan manusia bisa dinamakan perbuatan akhlaki; diantara perbuatan manusia ada yang dinamakan biasa atau alami, bukan akhlaki. Oleh karena itu di sini mesti dikatakan, bagaimana kita bisa menetukan etis atau tidaknya suatu perbuatan? Atau, apa sebenarnya yang dimaksud dengan perbuatan akhlaki atau etis? Dalam konteks ini ada sejumlah pandangan dan madhab dalam filsafat etika, misalnya pandangan Plato, Aristoteles, Epicurus atau al-Ghazali. Berkaitan dengan hal ini pula, maka ditemukan adanya sejumlah definisi mengenai perbuatan akhlaki, di mana masing-masing definisi mempunyai titik tekan yang berlainan.Satu hal yang mesti ditekankan di sini adalah bahwa perbuatan akhlaki atau etis pada umumnya diperbandingkan dengan perbuatan alami. Diantara pendapat yang ada menyebutkan bahwa perbuatan akhlaki bercirikan pada nilai, maksudnya perbuatan etis atau akhlaki layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia secara umum mengakui akan nilai agung dari perbuatan etis itu; tentu saja ini berlainan dengan perbuatan alami yang tidak menjadikan pelakunya layak dipuji, dan perbuatan semacam ini juga ada pada spesies hewan. Lebih jauh dapat dikatakan, bahwa intuisi setiap manusia mengakui akan ketainggian dan keagungan dari suatu perbuatan etis. Oleh karena perbuatan akhlaki mengandung nilai keagungan, maka subjek pelakunya layak untuk dipuji, dan tentu juga dicela bila terjadi sebaliknya. Tentu saja nilai yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan upah. Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia, dan nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau barang. Diantara pendapat ada yang menyebut perbuatan akhlaki adalah segala perbuatan yang dilakukan untuk orang lain. Di sini berarti perbuatan akhlaki didefinisikan dari sisi tujuan, yang dalam ilmu logika dikategorikan sebagai definisi melalui sebab-sebab eksternal yakni dari sebab akhir (final cause), sehingga perbuatan akhlaki dirumuskan sebagai perbuatan yang tujuannya untuk orang lain. Oleh karena itu semua perbuatan yang hanya diperuntukkan untuk diri sang pelaku maka perbuatan itu tidak bisa dinamakan perbuatan akhlaki, dan hanya perbuatan yang diperuntukkan untuk orang lain atau dengan kata lain tujuan dari perbuatan itu untuk orang lain, maka perbuatan itu adalah perbuatan akhlaki. Jadi perbuatan akhlaki dapat dirumuskan dengan perbuatan yang tujuannya untuk orang lain. Berbeda tetapi mirip dengan itu, adalah definisi yang melihat perbuatan akhlaki dari sisi sumbernya yakni rasa cinta. Atas dasar ini dirumuskan bahwa perbuatan akhlaki adalah segala perbuatan yang bermuara dari rasa mencintai sesama. Menurut pandangan ini, manusia memiliki sejumlah perasaan dalam jiwanya, dan jika akar perbuatan adalah perasaan mencintai sesama maka perbuatan itu dinamakan perbuatan akhlaki. Dari segi simpulan, sebenarnya definisi ini sangat mirip, dan bahkan identik, dengan yang pertama, hanya saja kalau definisi yang pertama ditarik dari tujuan (ghayah), maka rumusan definisi yang kedua ini ditarik dari final causa; karena, perbuatan perbuatan yang dilakukan untuk orang lain itu tidak akan pernah terewujud apabila manusia tidak memiliki perasaan cinta sesama. Dengan kata lain, dua pandangan tersebut sangat dekat dan mirip, karena segala perbuatan yang bersumber dari perasaan cinta sesama sudah tentu tujuannya adalah untuk orang lain.Sebagaimana menurut Ahmad Amin ia mengatakan: Akhlak itu ialah membiasakan kehendak. Maksud kata dari pernyataan di atas adalah bahwa perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang, mengerjakannya dengan syarat:

1. Ada kecenderungan hari padanya.

2. Ada pengulangan yang cukup banyak, sehingga mudah mengerjakannya tanpa melakukan pikiran lagi.

Contoh: Seseorang yang ingin membangun rumah di mana saja sudah ada terlintas dipikirannya bagaimana bentuk rumah atau model rumah yang akan dibangun tadi. Akhlak itu tidak terlepas dari akidah syariah. Oleh karena itu akhlak merupakan pola tingkah laku yang menggambarkan dalam perilaku yang mengakumulasikan aspek keyakinan dan ketaatan sehingga menggambarkan dalam perilaku.

Akhlak merupakan perilaku yang tampak terlihat dengan jelas, baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh dorongan karena Allah. Namun demikian, banyak pula aspek yang berkaitan dengan sifat batin ataupun pikiran seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan berbagai aspek yaitu pola perilaku kepada Allah, sesama manusia, dan pola perilaku kepada alam.

Sedangkan perbuatan non-akhlaki adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara tidak disadari dan tidak dinilai baik/buruknya perbuatan manusia atau dilakukan secara reflek dan hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Contoh: Seorang yang dalam keadaan lapar, dimana terlihat raut wajahnya yang cemberut atau muram.

Ada sejumlah perbuatan manusia yang dinamakan perbuatan akhlaki atau etis. Pernyataan ini meski tampak sederhana tetapi bernilai penting, karena ternyata tidak semua perbuatan manusia bisa dinamakan perbuatan akhlaki; diantara perbuatan manusia ada yang dinamakan perbuatan alami, bukan akhlaki.Merujuk pada penjelasan penjelasan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang dapat disebut akhlak, atau meminjam istilah Murtadla Muthahhari sebagai perbuatan akhlaki, harus memenuhi dua persyaratan:

1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali, tentu dalam bentuk yang sama, sehingga keberadaannya menjadi sebuah kebiasaan. Karena itu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja maka belum bisa dikatakan akhlaki.

2. Perbuatan itu dilakukan secara sengaja yang diusahakan oleh seorang manusia, didasarkan pada kehendak yang kuat ( azimah ) tanpa adanya paksaan dari luar. Perbuatan yang lahir karena reflek dan paksaan, maka juga tidak bisa dinamakan perbuatan akhlaki.

Satu hal yang mesti ditekankan di sini adalah bahwa perbuatan akhlaki atau etis pada umumnya diperbandingkan dengan perbuatan alami. Diantara pendapat yang ada menyebutkan bahwa perbuatan akhlaki bercirikan pada nilai, maksudnya perbuatan etis atau akhlaki layak untuk dipuji dan disanjung. Lebih jauh dapat dikatakan, bahwa intuisi setiap manusia mengakui akan ketinggian dan keagungan dari suatu perbuatan etis. Oleh karena perbuatan akhlaki mengandung nilai keagungan, maka subjek pelakunya layak untuk dipuji dan tentu juga dicela bila terjadi sebaliknya.Nilai akhlak atau dalam bahasa Misbah Yazdi adalah Nilai moral ,terdiri dari beberapa unsur:

1. Kepentingan2. Pilih3. Kepentingan Insani4. Pilihan penuh sadar dan pertimbangan rasional.

Apakah segala macam tindakan yang dilakukan manusiadengan plihan bebasnya dan dengan kepentingan apapun di dalamnya niscaya akhlaki?. Tidak, karena jelas bahwa segala tindakan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan alamiahnya adalah bukan tindakan akhlaki, walaupun memang ada kepentingan didalamnya.Seseorang yang makan dan minum untuk pemuasan insting lapar dan haus, atau bahkan seorang ibu yang menimang, menyusui, dan membelai kasih bayinya adalah hanya karena dorongan insting keibuannya, ia tidak akan disanjung.Maka kepentingan suatu tindakan akhlaki bukan hanya karena dorongan pemenuhan insting, namun kepentingan yang diperoleh jiwa manusia lewat tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh suprainsting hewani manusia.Berdasarkan syarat ini, perbuatan dianggap sebagai perbuatan alami apabila tindakan tersebut didasari oleh pemenuhan insting-insting hewani manusia semata.

D. Objek dan Modus Ilmu Akhlak

Tujuan mempelajari akhlak di antaranya adalah mengindari pemisahan antara akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah menghindari pemisahan agama dengan dunia. Selanjutnya tujuan mempelajari ilmu akhlak adalah Bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.

Sasaran dari pada ilmu akhlak ini adalah tercapainya hubungan yang harmonis antara Khalik dan makhluk. Oleh karena itu akhlak bukan saja untuk melakukan hubungan kepada sesama manusia, akan tetapi kepada Khalikpun kita harus berakhlak. Tujuan diciptakan manusia adalah untuk menyembah Allah.

1. Perasaan akhlak.

Perasaan akhlak ialah kekuatan seseorang dapat mengetahui sesuatu perilaku, sesuaikah ia dengan akhlak baik atau tidak. Perilaku atau tindakan itu pada suatu waktu dianggap tepat dan baik, tetapi pada waktu dan situasi lain bisa dianggap tidak tepat. Seperti seseorang yang berlari-lari ke jalan raya demi menyelamatkan atau menolong anak-anak yang ingin melintasi jalan raya, itu berarti perilaku tersebut adalah termasuk berakhlak baik.

2. Pendorong akhlak.

Pendorong (stimulant), yaitu kekuatan yang menjadi sumber kelakuan akhlak (moral action). Sumber perbuatan manusia ada dua, yaitu nafsu (gharizah) dan akal. Kedua elemen ini saling mempengaruhi dan mendominasi satu sama lainnya. Pendorong akhlak dapat berupa kebaikan, kebenaran, tingkah laku mulia, dan sifat-sifat terpuji. Pendorong akhlak ini perlu ditumbuh kembangkan kepada segenap manusia dalam melakukan aktifitas hidupnya.3. Ukuran akhlak.

Ukuran berarti alat ukur atau standarisasi menyeluruh di seluruh dunia. Ukuran akhlak oleh sebagian ahli diletakkan sebagai alat penimbang perbuatan baik-buruk pada faktor yang ada dalam diri manusia. Al-Ghazali menggabungkan antara pendirian ahli Sunnah dengan Mutazilah, maka menurutnya alat pengukur akhlak ialah:

a. Al-Quran.

b. Sunnah Rasul.

c. Akal (ijtihad).

Akal yang sehat, suara hati yang steril, nafsu yang terbimbing dapat mengetahui akhlak yang baik dan yang buruk.

4. Tujuan Akhlak.

Tujuan akhlak ialah melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, yang dikenal dengan istilah al-Ghayah, dalam Bahasa Indonesia lazim disebut dengan ketinggian akhlak. Ketinggian akhlak diartikan sebagai meletakkan kebahagiaan pada pemuasan nafsu makan, minum, syahwat (seks) dengan cara yang halal. Ada pula yang meletakkan ketinggian akhlak itu pada kedudukan (prestise) dan dindakan ke arah pemikiran atau kebijakan (wisdom) atau hikmah.5. Pokok-pokok ilmu akhlak.

Pokok pembahasan ilmu akhlak ialah tingkah laku manusia untuk menetapkan nilainya, baik atau buruk. J.H. Muirhead menyebutkan bahwa pokok pembahasan ilmu akhlak ialah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Dilihat dari seluruh aspek kehidupan manusia, maka perbuatan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

a. Perbuatan yang lahir dengan kehendak dan disengaja.

b. Perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tidak sengaja.

6. Menerangkan mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk menurut ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.

7. Menggunakan cara-cara yang perlu ditempuh dan meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan.

E. Tujuan akhlak

Tujuan akhlak dalam agama Islam adalah sebagai berikut:

1. Mendapat ridha Allah Swt.

Jika ridha Allah sudah tertanam pada diri manusia dan sudah menjadi hiasan indah dalam kehidupan, maka semua perbuatan dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu ridha Allah merupakan kunci kebahagiaan yang kekal dunia akhirat.

2. Untuk membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia.

Seorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku yang terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah Swt, dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.

3. Terhindarnya perbuatan yang hina atau tercela.

Dengan bimbingan akhlak mahmudah, manusia akan terhindar dari perbuatan hina atau tercela. Tanpa akhlak mahmudah, orang mudah melakukan perbuatan terlarang. Karena perbuatan terlarang didukung oleh setan. Oleh sebab itu, perbuatan terlarang, baik berupa pencurian, korupsi, pembunuhan dan sebagainya sering dilakukan oleh banyak orang yang bodoh saja, akan tetapi juga dilakukan oleh orang yang pandai, bahkan orang yang mengerti bahwa perbuatan yang ia lakukan itu terlarang.

4. Terwujudnya perbuatan yang mulia.

Tindakan yang dilakukan seseorang baik tindakan batin ataupun tindakan lahir merupakan lapangan yang diatur oleh akhlak dalam pergaulan sehari-hari, seseorang yang berakhlak akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik dan mulia.

BAB III

PENUTUP

Dari beberapa penjelasan di atas maka di ambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yyang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Misalnya, jika kita mengatakan si A sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sifat dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan dimana skapnya itu dibawahnya sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa melakukan pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melekukan suatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan atau gila. Pada saat yang bersangkutan suatu perbuatan itu ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar.

3. Perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena keinginan dipuji orang atau kerana ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak4. Perbuatan akhlaki adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran secara rasio, atau suatu perbuatan yang dilakukan dengan secara sadar dan tidak dengan paksaan.

5. Sumber perbuatan manusia ada dua, yaitu nafsu (gharizah) dan akal. Kedua elemen ini saling mempengaruhi dan mendominasi satu sama lainnya. Pendorong akhlak dapat berupa kebaikan, kebenaran, tingkah laku mulia, dan sifat-sifat terpuji. Pendorong akhlak ini perlu ditumbuh kembangkan kepada segenap manusia dalam melakukan aktifitas hidupnya.DAFTAR KEPUSTAKAANAbdullah, M. Amin. Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Persfektif al-Quran, Jakarta: Amzah, 2007. Achmad, Mudlor. Etika dalam Islam, Surabaya: al-Ikhlash, t.th. Alfat, Masan dkk. Akidah Akhlak, Semarang: Karya Toha Putra, 1994. Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Asmaran. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Basyir, Damanhuri. Ilmu Tasawuf, Banda Aceh: Pena, 2005. Djatmika, Rachmat. Sistem Etika Akhlak Islam, Jakarta: Panji Mas, 1992. Hidayat, Komarudin. Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah, diedit oleh Budhy Munawar-Rachman, Jakarta: Paramadina, 1996.Mahjuddin. Kuliah Akhlaq-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulian, 1994. Mishbah Yazdi, M.T. Meniru Tuhan, Jakarta: Al-Huda, tt. Musthafa, A. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Mutahhari, Murtadla. Falsafah Akhlak, diterjemahkan oleh Faruq bin Diya, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.Muthahhari, Murtadla.Falsafah Akhlak,diterjemahkan oleh Faruq bin Dliya, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.

Pudjowijatno. Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Sabiq, Sayid. Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, Jakarta: PT Intermasa, 1981.

Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004. Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam (Jakarta: PT Intermasa, 1981), hlm. 41

Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 348

Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm. 3

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 3

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 5-7

Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 32.

Pudjowijatno, Etika, Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 14.

Mahjuddin, Kuliah Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulian, 1994), hlm. 7.

Ibid., hlm. 33.

Komarudin Hidayat, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah, diedit oleh Budhy Munawar-Rachman, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 509.

Suwito, Op.cit., hlm. 32.

Mudlor Achmad, Etika dalam Islam, (Surabaya: al-Ikhlash, t.th.), hlm. 15.

Murtadla Mutahhari, Falsafah Akhlak, diterjemahkan oleh Faruq bin Diya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 29-31.

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 146-147.

Rachmat Djatmika, Sistem Etika Akhlak Islam, (Jakarta: Panji Mas, 1992), hlm. 27.

Murtadla Mutahhari, Op.cit., hlm. 12-14.

Ibid., hlm. 32.

Rachmat Djatmika, Op.cit.,

Ibid., 27.

Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, (Banda Aceh: Pena, 2005), hlm. 56.

A. Musthafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 53.

Murtadla Muthahhari,Falsafah Akhlak,diterjemahkan oleh Faruq bin Dliya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 12-14.

M.T MishbahYazdi, Meniru Tuhan, (Jakarta: Al-Huda, tt), hlm. 134.

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Persfektif al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 7.

Ibid., hlm. 8.

Ibid., hlm. 11

Masan Alfat dkk, Akidah Akhlak, (Semarang: Karya Toha Putra, 1994), hlm. 65.

PAGE 16