3. bab i,ii,iii, lampiran dan daftar pustaka

82
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras) yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/medula spinalis (Muttaqin, 2008). Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medulla oblongata yang menjulur ke arah kaudal melalui foramen magnum, selanjutnya berakhir diantara vertebra lumbal pertama dan kedua. Fungsi medulla spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta bergerak refleks. Cedera medulla spinalis dapat diartikan sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomlplet. Pembagian ini penting untuk menentukan prognosis dan penanganan selanjutnya (Brunner dan Suddarth, 2002). 1

Upload: rola-mesrani-simbolon

Post on 27-Oct-2015

168 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis, dan

lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,

kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka

tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras) yang mengenai tulang belakang.

Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang,

yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/medula

spinalis (Muttaqin, 2008).

Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medulla oblongata yang menjulur

ke arah kaudal melalui foramen magnum, selanjutnya berakhir diantara vertebra lumbal

pertama dan kedua. Fungsi medulla spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak

dan semua bagian tubuh serta bergerak refleks. Cedera medulla spinalis dapat diartikan

sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah

medulla spinalis. Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah

lesi, cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomlplet. Pembagian

ini penting untuk menentukan prognosis dan penanganan selanjutnya (Brunner dan

Suddarth, 2002).

Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,

sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan

kecacatan permanent pada usia produktif. Quadriplegia sedikit lebih umum daripada

paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-laki (82%) dari

pada wanita (18%). Penyebab paling umum adalah kecelakaan kendaraan

bermotor (39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan olahraga 7% (Morton,

2005).

Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data

Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya

di Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per

100.000 penduduk(Pinzon, 2007).

1

Page 2: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Oleh karena cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) merupakan salah satu

penyebab gangguan fungsi saraf yang sering terjadi, maka sebagai seorang perawat

hendaknya mengetahui dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien

dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis).

B. Rumusan Masalah

a. Apa definisi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?

b. Bagaimana etiologi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?

c. Apa manifestasi klinis cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?

d. Apa evaluasi diagnostik cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?

e. Bagaimana patofisiologi atau WOC cedera tulang belakang (cedera medula

spinalis)?

f. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada cedera tulang

belakang (cedera medula spinalis)?

g. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan cedera tulang belakang

(cedera medula spinalis)?

h. Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi cedera tulang

belakang (cedera medula spinalis)?

i. Apa pendidikan kesehatan (penkes) yang perlu diberikan pada klien dengan

cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah KK IX.

Meningkatkatkan pengetahuan penulis serta pembaca dalam asuhan keperawatan

terutama pada klien dengan cedera medula spinalis sehingga mampu memahami dan

mengaplikasikannya dalam praktik profesional keperawatan secara holistik.

2

Page 3: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi dan Fisiologi

Tulang belakang bekerja sebagai penunjang utama bagi sumsum tulang belakang

dan jalur saraf yang membawa informasi dari lengan, kaki, dan seluruh tubuh, dan

membawa sinyal dari otak ke tubuh.

Punggung tersusun dari 33 tulang yang disebut vertebra, 31 pasang saraf, 40 otot

dan banyak tendon dan ligament yang menghubungkan mulai dari dasar tengkorak

hingga sepanjang tulang ekor. Diantara tulang belakang terdapat serat, tulang rawan

elastis yang disebut cakram, yang berfungsi untuk mempertahankan agar tulang

punggung fleksibel dan sebagai bantalan tulang belakang keras saat bergerak.

(Sumber: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/images/ency/fullsize/9561.jpg)

Columna Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :

a. Cervical spine (Vertebra servikal)

Ada tujuh tulang servikal. Tulang servikal dirancang untuk memungkinkan

fleksi, ekstensi, membungkuk, dan memutar kepala. Tulang ini lebih kecil dari

tulang belakang lainnya, yang memungkinkan sejumlah besar gerakan. Setiap

vertebra servikalis terdiri dari dua bagian, tubuh dan lengkungan pelindung bagi

sumsum tulang belakang disebut lengkungan saraf. 

3

Page 4: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

b. Thoracic Spine (Vertebra torakal)

Di daerah dada, tulang belakang torakal menempel pada tulang rusuk. Ada 12

tulang torakal. Kanal tulang belakang di daerah torakal relatif lebih kecil dari

daerah servikal atau lumbal. Hal ini membuat tulang belakang torakal memiliki

risiko lebih besar jika ada patah tulang.

Gerak yang terjadi pada tulang belakang torakal sebagian besar

rotasi. Adanya tulang rusuk mencegah menekuk ke samping. Sejumlah kecil

gerakan tulang belakang torakal yang terjadi yaitu membungkuk ke depan dan ke

belakang.

c. Lumbar Spine (Vertebra lumbar)

Tulang belakang lumbar berukuran besar, lebar, dan tebal. Ada lima tulang

belakang lumbar. Vertebra lumbar terendah (L5) berartikulasi dengan sakrum.

Sakrum menempel pada panggul. Gerakan utama dari daerah lumbal yaitu

membungkuk ke depan dan membentang kebelakang, serta menekuk ke samping

juga terjadi.

d. Os. Sacrum

Sacrum terdiri dari 5 vertebra yang menyatu. Tulang sacrum disebut pula

dengan tulang kelangkang.

e. Os. Coccygis

Tulang kecil berbentuk segitiga, disebut juga tulang ekor. Terdiri dari 4

tulang yang bergabung menjadi satu. Tulang ini berartikulasi dengan sacrum dan

membentuk sebagian dinding posterior pelvis.

4

Page 5: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

(Sumber: http://www.spinalinjury.net/assets/images/anatomy2.jpg)

Sama halnya seperti tulang belakang yang dibagi menjadi daerah servikal,

thoraks, dan lumbar, begitu pula sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Setiap

bagian dari sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmen neurologis spesifik.

Sumsum tulang belakang servikal dibagi menjadi delapan pasang saraf. Setiap

tingkat memberikan kontribusi untuk fungsi yang berbeda di leher dan lengan.

Sensasi dari tubuh sama-sama diangkut dari kulit dan area lain dari tubuh dari leher,

bahu, dan lengan hingga ke otak.

5

Page 6: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Pada daerah torakal, terdiri dari 12 pasang saraf. Saraf dari sumsum tulang

belakang menyuplai otot-otot dada yang membantu dalam bernafas dan

batuk .Wilayah ini juga berisi saraf dalam sistem saraf simpatik.

Sumsum tulang belakang lumbosakral dan saraf menyuplai kaki, panggul, usus

dan kandung kemih. Sensasi dari kaki, tungkai, panggul, dan perut bagian bawah

ditransmisi melalui saraf lumbosakral dan sumsum tulang belakang untuk segmen

yang lebih tinggi dan akhirnya otak.

Isyarat-isyarat sensoris dihantarkan melalui syaraf spinalis ke dalam tiap segmen

medula spinalis, dan saraf ini dapat menyebabkan reaksi motorik setempat di dalam

segmen tubuh dari mana informasi sensoris diterima atau didalam segmen-segmen

yang berdekatan.

Pada dasarnya semua reaksi motorik medula spinalis bersifat otomatis dan

terjadi hampir segera sebagai reaksi terhadap isyarat sensoris. Di samping itu,

mereka terjadi dalam pola reaksi khusus yang disebut refleks (Guyton, 2000).

Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :

1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel

dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada

karnu pasterior mendula spinalis.

3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung

menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.

4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan

mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik.

5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf

motorik.

6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada

daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis

beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua

anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

6

Page 7: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Saraf-saraf spinal

a. Motorik Otot (asal inervasi) Fungsi

M. deltoideus dan biceps brachii (C5) Abduksi bahu dan fleksi sikuM. extensor carpi radialis longus dan brevis (C6)

Ekstensi pergelangan tangan

M. flexor carpi radialis (C7) Fleksi pergelangan tangan M. flexor digitorum superfisialis dan profunda (C8) Fleksi jari-jari tangan M. interosseus palmaris (T1) Abduksi jari-jari tangan M. illiopsoas (L2) Fleksi panggul M. quadricep femoris (L3) Ekstensi lutut M. tibialis anterior (L4) Dorsofleksi kaki M. extensor hallucis longus (L5) Ekstensi ibu jari kakiM. gastrocnemius-soleus (S1) Plantarfleksi kaki

b. Sensoris protopatik Asal inervasi Dermatom

C2-C4 Dermatom occiput sampai bagian belakang leher

C5-T1 Lengan sampai jari-jari T2-T12 Bagian dada dan axilla, beberapa titik

penting : T4 papila mamae, T10 umbilicus, T12 groin

L1-L5 TungkaiS1-S5 Tumit, bagian belakang tungkai,

regio perinea

c. Saraf otonomSaraf-saraf yang bekerjanya tidk dapat disadari dan bekerja secara otomatis.

Organ Rangsangan simpatis Rangsangan parasimpatis

Jantung Denyut dipercepat Denyut diperlambatArteri koronari Dilatasi Kontriksi Pembuluh darah perifer Vasokontriksi VasodilatasiTekanan darah Naik TurunBronkus Dilatasi KontriksiKelenjar ludah Sekresi berkurang Sekresi bertambahKelenjar lakrimalis Sekresi berkurang Seekresi bertambahPupil mata Dilatasi KontriksiSistem pencernaan makanan (SPM)

Peristaltik berkurang Peristaltik bertambah

Kelenjar-kelenjar SPM Sekresi berkurang Sekresi bertambahKelenjar keringat Ekskresi bertambah Eksresi berkurang

7

Page 8: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

B. Cedera tulang belakang (Cedera Medula Spinalis)

a. Definisi

Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis,

vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti

jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda

keras) yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat

mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang

belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/spinal cord (Muttaqin, 2008).

Medula spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang

terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke

bagian atas region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari

trauma ekstensial fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak

sampai yang meyebabkan tramseksi lengkap dari medula spinalis dengan

quadriplegia (Batticaca, 2008).

Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang

disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. Cidera medulla spinalis

adalah kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem

persyarafan didalam tubuh manusia (Brunner & Suddarth, 2002).

Cedera medula spinalis bagian servikalis yang letaknya tinggi berkaitan

dengan berbagi masalah. Perawatan awal trauma, termasuk imobilisasi vertebta

servikalis dan penanganan jalan napas telah berperan dalam meningkatkan

kemampuan bertahan hidup akibat cedera serius ini. Cedera pada vertebra

servikalis pertama (C1) merupakan 3% hingga 13% dari semua fraktur vertebra

servikalis. Defisit berat pada C1 biasanya berakibat fatal. Diagnosis fraktur

servikalis yang letaknya tinggi sulit ditegakkan dan cedera jenis ini seringkali

berkaitan dengan cedera yang terjadi bersamaan, termasuk cedera arteria

vertebralis. Pasien-pasien ini memiliki kontrol motorik pada kepala, sehingga

bergantung pada ventilator.

8

Page 9: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Penderita cedera pada tingkat C2 atau C3 masih dapat sedikit

mengendalikan lehernya penderita sedikit banyak masih bisa menegakkan

kepala. Persarafan otot-otot pernapasan tambahan (otot sternokleido mastoideus

dan skalenus) sebagian masih dapat dipertahankan sehingga penderita tetap

akan bergantung pada ventilator tetapi kadang kadang mampu tidak memakai

ventilator untuk beberapa saat. Penderita semacam ini disebut Quadriplegia

respiratorius. Quadriplegia adalah kelumpuhan dapat berupa sebagian atau

lengkap. Quadriplagia, juga dikenal sebagai tetraplagia.

Pada pernapasan medula spinalis terutama terletak pada tingkat C4. Radiks

saraf frenikus harus utuh bila penderita ingin dapat melakukan pengendalian

volunter terhadap ventilasi. Kapasitas ventilasi pada penderita ini tidak akan

normal karena tergantung pada beberapa faktor lain, mereka dapat mencapai

hidup tanpa ventilator yang menawarkan tindakan pengendalian dan kebebasan.

Penderita cedera C5 dapat mengendalikan kepala, leher, bahu, diagfagma

dan kadang-kadang dapat sedikit mengendalikan siku. Pada cedera dengan

setinggi C6 pengendalian pergerakan tangan masih dapat dipertahankan

sebagian, pada cedera setinggi C7, penderita dapat melakukan ekstensi siku

dengan sempurna, fleksi pergelangan tangan, dan dapat mengendalikan sebagian

jari tangan. Penderita yang mendapat cedera setinggi C8 sampai T1 dapat

mengendalikan jari tangannya dengan cukup baik, sehingga dapat hidup bebas

dan melakukan berbagai aktivitas sehari-hari (Price dan Wilson, 2006).

Saraf sumsum tulang

belakang

Kontrol Sinyal

Saraf servikal (C1-C8) Belakang kepala, leher dan bahu, lengan dan tangan, dan

diafragma.

Saraf thorakal (T1-T12) Otot dada, beberapa otot-otot punggung, dan bagian perut.

Saraf lumbar (L1-L5) Bagian bawah perut dan punggung, pantat, beberapa bagian

organ genital eksternal, dan bagian kaki.

Saraf sacrum (S1-S5) Paha dan bagian bawah kaki, kaki, sebagian besar organ

genital eksternal, dan daerah sekitar anus.

Saraf coccygeal tunggal Membawa informasi sensori dari kulit punggung bawah.

9

Page 10: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

b. Etiologi

Penyebab terjadinya cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) (cedera

medula spinalis), antara lain:

1. Kecelakaan di jalan raya

2. Olahraga

3. Menyelam pada air yang dangkal

4. Luka tembak atau luka tekan

5. Cedera medulla spinalis dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada

vertebra, misalnya arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan

fraktur patologik, infeksi, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.

Cedera medula spinalis traumatik lebih sering terjadi di daerah servikal.

c. Klasifikasi

Trauma cedera medula spinalis diklasifikasikan kedalam 5 kategori oleh

The American Spinal Cord Injury Classification System (modifikasi dari

klasifikasi Frankel) (Dawodu, 2008):

1. A - komplet adalah tidak ada fungsi sensori atau motorik.

Mempertahankan segmen sacral S4-S5.

2. B - Inkomplet adalah sensori, tidak motorik, fungsinya mempertahankan

dibawah level neurologi dan meluas pada segmen sacral S4-S5.

3. C - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah mempertahankan dibawah

level neurologi, dan paling penting otot dibawah level neurology

mempunyai tingkatan lebih kecil dari 3.

4. D - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah menjaga dibawah level

neurology, dan paling penting dibawah level neurology mempunyai

tingkatan lebih dari atau sama dengan 3.

5. E – Normal adalah fungsi sensori dan motorik adalah normal.

Sedangkan menurut American Spinal Injury Association:

1) Grade A: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah

tingkat lesi.

2) Grade B: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik

di bawah tingkat lesi.

10

Page 11: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

3) Grade C: Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3.

4) Grade D: Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau

sama dengan 3.

5) Grade E: Fungsi motorik dan sensorik normal.

Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi lesi cedera medula spinalis dapat

dibagi menjadi komplet dan tidak komplet yaitu:

a) Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)

b) Inkomplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik)

Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut

American Spinal Cord Injury Associatio yaitu:

1. Central Cord Syndrome, kerusakan medula spinalis pada bagian sentral.

a) Disebabkan hiperekstensi spinal servikal.

b) Gejala khas paralisis pada lengan dan tangan, tidak dengan deficit

pada kaki atau kandung kemih.

c) Adanya indikasi edema

2. Anterior Cord Syndrome, kerusakan pada bagian anterior dari medula

spinalis.

a) Disebabkan trauma hiperfleksi.

b) Mengalami paralisis motorik komplet dibawah batas luka atau

trauma (bagian kortikospinal).

c) Kehilangan sensasi nyeri, dan suhu dibawah batas  luka (bagian

spinotalamik).

d) Sensasi posisi, sentuhan dan popriosepsi masih baik (kolumna

posterior).

3. Brown Sequard Syndrome, kerusakan pada salah satu sisi dari medula

spinalis.

a) Terjadi  akibat trauma pada bagian anterior dan posterior pada satu

sisi

b) Terdapat hemiparesis

c) Ipsilateral  paralisis dibawah trauma

d) Ipsilateral  hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption dibawah

trauma

e) Kontralateral  hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah  lesi

11

Page 12: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

4. Posterior Cord Syndrome, kerusakan pada bagian posterior dari medula

spinalis.

a) Sangat jarang terjadi dan disebabkan trauma hiperekstensi

b) Gangguan traktus desenden ringan

5. Cauda equina syndrom, luka pada serabut saraf lumbosacral dikanal

spinal sehingga menyebabkan disfungsi kandung kemih, bowel.

Tabel 1. Komparasi Karakteristik Klinik Sindrom Cedera Medula Spinalis

Karakteristik Klinik

Central Cord Syndrome

Anterior CordSyndrome

Brown SequardSyndrome

Posterior Cord Syndrome

Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat jarang

Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi

Motorik Gangguan bervariasi danjarang paralisiskomplet

Sering paralisiskomplet (gangguan tractusdesenden) dan biasanya bilateral

Kelemahan anggotagerak ipsilateral lesi dan gangguan traktus desenden (+)

Gangguan bervariasi dan gangguan tractus desendenringan

Protopatik Gangguan bervariasi tidak khas

Sering hilang total (gangguan tractus ascenden) dan bilateral

Sering hilang total (gangguan tractus ascenden) dan kontralateral

Gangguan bervariasi dan biasanya ringan

Propioseptik

Jarang sekali terganggu

Biasanya utuh Hilang total ipsilateral;ggn tractus ascenden

Terganggu

Perbaikan Sering nyata dan cepat, serta khas kelemahan tangan dan jari menetap

Paling buruk diantara lainnya

Fungsi buruk, namun independensi paling baik

NA

12

Page 13: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Tabel 2. Tabulasi perbandingan klinik lesi komplet dan inkomplet

Karakteristik Lesi Komplet Lesi Inkomplet

Motorik Hilang di bawah lesi Sering (+)

Protopatik (nyeri dan suhu) Hilang di bawah lesi Sering (+)

Propioseptik (joint position dan vibrasi)

Hilang di bawah lesi Sering (+)

Sacral sparing Negatif positif

Ro. vertebra Sering fraktur, luksasi, atau listesis Sering normal

MRI (Ramon, 1997) data 55 pasien cedera medula spinalis, 28 komplet dan 27 inkomplet)

Hemoragi (54%), Kompresi (25%), Kontusi (11%)

Edema (62%), Kontusi (26%), normal (15%)

(Pinzon, 2007)

(Sumber: http://www.asia-spinalinjury.org/publications/59544_sc_Exam_Sheet_r4.pdf)

13

Page 14: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

d. Manifestasi Klinik

Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang

menyebabkan kelemahan dan kehilangan sensori pada dan di bawah titik

cedera. Tingkat keparahan gejala tergantung pada apakah kabel seluruh terluka

parah (lengkap) atau hanya sebagian yang terluka (tidak lengkap).

a) Cedera Servikal

Ketika cedera tulang belakang terjadi di daerah servikal, gejala dapat

mempengaruhi lengan, kaki, dan tengah tubuh. Gejala dapat terjadi pada satu

atau kedua sisi tubuh. Gejala dapat termasuk:

1. Kesulitan pernapasan (dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera

yang tinggi di leher)

2. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kontrol kandung kemih

(mungkin termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih)

3. Kebas (numbness)

4. Perubahan sensory

5. Nyeri

6. Spasticity (tonus otot meningkat)

7. Kelemahan (Quadriparese) / kelumpuhan (Quadriplegia)

b) Cedera Torakal

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada tingkat torakal, gejala dapat

terjadi pada kaki (ekstremitas bawah). Gejala lain termasuk:

1. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kandung kemih (mungkin

termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih).

2. Kebas (numbness)

3. Perubahan sensory

4. Nyeri

5. Spasticity (tonus otot meningkat)

6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia).

7. Adanya masalah tekanan darah, keringat abnormal, dan kesulitan

mempertahankan suhu tubuh normal.

14

Page 15: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

c) Cedera Lumbar Sacral

Ketika cedera tulang belakang terjadi pada tingkat punggung bawah,

berbagai tingkat gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-

otot yang mengontrol usus dan kandung kemih. Gejala lain berupa:

1. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kandung kemih (mungkin

termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih).

2. Kebas (numbness)

3. Perubahan sensory

4. Nyeri

5. Spasticity (tonus otot meningkat)

6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia).

e. Evaluasi Diagnostik

Pemeriksaan neurologis lengkap juga diperlukan. Pada setiap trauma tulang

belakang harus dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap trauma yang

mungkin menyertainya seperti trauma pada kepala, toraks, rongga perut serta

panggul. Pemeriksaan diagnostik mencakup kegiatan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Rontgen

Foto Rontgen sering kali digunakan untuk mengidentifikasi adanya

fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya, terutama dalam

penatalaksaan trauma akut.

Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medulla spinalis

mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relative tidak

menimbulkan sakit. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan

peralatan yang digunakan selama prosedur dan selalu waspada terhadap

komplikasi yang berhubungan dengan posisi klien dan lamanya prosedur.

2. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan

CT scan merupakan suatu teknik diagnostik dengan menggunakan

sinar. Pemeriksaan terutama untuk melihat fragmentasi, pergeseran fraktur

dalam kanal spinal. Juga dapat menentukan tempat luka / jejas,

mengevaluasi ganggaun struktural.

15

Page 16: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

(Sumber: http://www.sci-recovery.org/images/ctscan.jpg)

3. Mielografi

Myelography adalah teknik pencitraan yang melibatkan suntikan

intratekal media kontras dan menunjukkan bagian dalam ruang

subarachnoid lumbar atau servikal sekitar saraf tulang belakang dan akar

saraf. Myelography menggunakan bentuk real-time dari sinar-X disebut

fluoroskopi. Media kontras adalah larut dalam air diformulasikan khusus

bahan yang mengandung yodium.

CT myelography: CT scan dilakukan setelah myelography.

Menggabungkan CT scan dengan myelography memberikan pandangan

yang lebih baik dari sumsum tulang belakang dan akar dalam ruang

subarachnoid.

Myelography dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan sumsum

tulang belakang, kanal tulang belakang dan akar saraf tulang

belakang. Myelography juga dapat mendiagnosis stenosis tulang belakang

dan herniasi dari disk intervertebralis ke dalam kanal tulang belakang.

4. Pemeriksaan MRI (Magnetic resonance imaging )

Terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis

dan ligamen flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang serta

mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.

16

Page 17: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

(Sumber: http://www.sci-recovery.org/images/incomplete.jpg)

5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, dan volume tidal)

Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan

trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan

pada saraf frenikus atau otot interkostal).

6. GDA

Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi (Marilyn

E. Doengoes, 2000).

17

Page 18: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

f. Web Of Caution (WOC) Secara Teoritis

18

Kelumpuhan otot pernafasan

Iskemia dan hipoksemia

1. Gangguan pola napas

Hipoventilasi

Gagal napas

Kematian

koma

Perdarahan mikroskopik

Trauma mengenai tulang belakang

Cedera volumna vertebralis, cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipatetik desending Blok saraf parasimpatis

Terputus jaringan saraf medula spinalis

Paralisis dan paraplegi

7. Hambatan mobilitas fisik

Penekanan jaringan setempat

Dekubitus

10. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit

Kehilangan kontrol tonus vasomotor persarafan simpatis ke jantung

Refleks spinal

Aktivasi sistem saraf simpatis

Kontriksi pembuluh darah

Kelemahan fisik umum

Risiko infark pada miokard

2.Risiko ketidak-bersihan jalan napas

Kemampuan batuk menurun, kurang mobilitas fisik

9. Defisit perawatan diri

Asupan nutrisi tidak adekuat

5. Ketidak-seimbangan nutrisi

Disfungsi persepsi spasial dan kehilangan sensori

11. Perubahan persepsi sensorik

12. Koping individu tidak efektif13. Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan

Edema pembengkakanSyok spinal

Penekanan saraf dan pembuluh darah

Reaksi anestetik

Ileus paralitik, gangguan fungsi rektum, dan kandung kemih

6. Gangguan elimnasi uri dan alvi

4.Nyeri

Respon nyeri hebat dan akut

3. Penurunan perfusi jaringan

Penurunan tingkat kesadaran

8. Risiko trauma (cedera)

14. Gangguan psikologis

15. Perubahan proses keluarga

16. Kecemasan klien dan keluarga

17. Risiko penurunan pelaksanaan ibadah spiritual

Reaksi peradangan

Page 19: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

g. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Keperwatan

Tujuan/Kriteria hasil

Intervensi Rasional

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan resiko tinggi terhadap kerusakan persarafan dari diafragma (lesi pada atau di atas C-5).

TJ: Mempertahankan ventilasi yang adekuat.

KH: - Tidak adanya

distres pernapasan

- GDA dalam batas yang dapat diterima.

1. Pertahankan jalan napas: posisi kepala dalam posisi netral, tinggikan sedikit kepala tempat tidur jika dapat ditoleransi pasien. Gunakan tambahan/beri jalan napas buatan jika ada indikasi.

2. Lakukan penghisapan bila perlu. Cata jumlah, jenis, dan karakteristik sekresi.

3. Kaji fungsi pernapasan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan napas dalam. Catat adanya/tidak ada pernapasan spontan, contoh pernapasan labored, menggunakan otot aksesori.

4. Auskultasi suara napas. Catat bagian-bagian paru yang bunyinya menurun atau tidak adanya suara napas adventisius (ronki, mengi, dan krekels).

5. Catat kemampuan (kekuatan) dan keefektifan dari fungsi batuk.

6. Bantu pasien untuk batuk (jika diperlukan) dengan meletakkan tangan

1. Pasien dengan trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah/batuk akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/mempertahankan jalan napas.

2. Jika batuk tidak efektif, prnghisapan dibutuhkan untuk mengeuarkan sekret, meingkatkan distribusi udara, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan. Catatan: Penghisapan yang utin dapat meningkatkan resiko terjadinya hipoksia, bradikardi (karena repon vagal), trauma jaringan oleh karenanya kebutuhan penghisapan didasarkan pada adanya ketidak mampuan untuk mengeluarkan sekret.

3. Trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara menyeluruh. Trauma C4-C5 mengakibatkan hilangnya fungsi pernapasan yang bervariasi tergantung pada terkenanyan saraf frenikus dan fungsi diafragma tetapi biasanya menurunkan kapasitas vital dan selalu melakukan upaya ekstra ntuk bernapas. Trauma dibawah C6-C7 fungsi otot pernapasan tidak terganggu tetapi kelemahan oto intercostal mengganggu aktivitas batuk yang efektif, napas panjang dan kemampuan napas dalam.

4. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasis atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi).

19

Page 20: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

dibawah diafragma dan mendorong keatas sewaktu pasien melakukan ekpirasi.

7. Observasi warna kulit: adanya sianosis, keabu-abuan.

8. Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot.

9. Ubah posisi/balik secara teratur, hindari/batasi posisi telungkup jika diperlukan.

10. Anjurkan pasien untuk minum (minimal 2000 ml/hari).

11. Pantau/batasi pengunjung jika dipelukan.

12. Gali/pertanyakan mengenai alat-alat ventilasi mekanik . berikan jawaban yang jujur.

13. Bantu pasien untuk “mengontrol” pernapasan jika diperlukan. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam, fokuskan perhatian pada prnapasan.

14. Pantau gerakan diafragma jika alat pacu frenik telah dipasang.

Kolaborasi:

1. Lakukan

5. Letak trauma menentukan fungsi otot-otot interkostal atau kemampuan untuk batuk pontan/mengeluarkan sekret.

6. “Quad coughing” dilakukan untuk menambah volume batuk atau untuk memfasilitasi pengenceran sekret agar sekret tersebut mengalir keatas sehingga mudah dihisap. Catatan: Prosedur ini biasanya dilakukan pada pasien yang stabil setelah fase trauma akut.

7. Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan evaluasi dan intervensi medis dengan segera.

8. perasaan penuh pada abdomen dapat menggambarkan kelainan pada diafragma, penurunan ekspansi paru, dan penurunan ekspansi paru lebih lanjut.

9. Meningkatkan ventilasi semua bagian paru, mobilisasi sekret, mengurangi resiko komplikasi, contoh atelektasis dan pneumonia. Catatan: Posisi telungkkup mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya gagal napas.

10. Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai ekspektoran.

11. Kelemahan secara umum dan gangguan pernapasan membuat resiko tinggi bagi pasien mendapatkan infeksi saluran pernapasan atas.

12. Menyatakan keadaan/situasi yang ada /nyata. bantuan/fungsi pernapasan selanjutnya tidak akan diketahui sampai syok spinal

20

Page 21: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

pengukuran/buat grafik terhadap; Kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan.

2. Analisa gas darah arteri dan nadi oksimetri.

3. Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen, masker, intubasi dan sebagainya.

4. Rujuk/konsultasikan pada ahli terapi pernapasan dan fisik.

5. Bantu dengan fisioterapi dada (seperti perkusi dada) dan gunakan alat-alat bantu pernapasan (seperti spirometri, botol tiup, dan sebagainya).

tersebut sembuh dan fase rehabiliatasi akut selesai. Jika napas bantuan masih diperlukan alat-alat mekanik/alat-alat alternatif lain dapat digunakan untuk meningkatkan mobilisasi dan meningkatkan kemandirian.

13. Bernapas mungkin bukan hanya aktivitas volunter tetapi membutuhkan usaha secara sadar tergantung pada lokasi trauma yang berhubungan dengan otot-otot pernapasan.

14. Stimulasi pada saraf frenikus meningkatkan usaha pernapsan, mengurangi ketergantungan pada ventilator mekanik.

1. Menentukan fungsi otot pernapasan. Pengkajian yang terus menerus daat dilakukan untuk memperkirakan terjadinya gagal napas (trauma akut) atau menetukn keadaan fungsi tubuh setelah fase syok spinal dan setelah proses penyapihan ventilator.

2. Menyatakan keadaan ventilasi atau oksigenasi. Mengidentifikasi masalah pernapasan. Contoh: Hiperventilasi (PaO2 rendah/PaCO2

menigkatkan) atau adanya kompilkasi paru.

3. Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot pernapsan yang sembuh setelah fase syok spinal.

4. Membantu dalam mengidentifikasi latihan-latihan yang tepat untuk menstimulasi dan menguatkan oto-otot pernapasan/tenaga.

21

Page 22: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

5. Mencegah sekret tertahan dan perlu untuk memaksimalkan difusi udara dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia.

2. Resiko tinggi terhadap cedera spinal tambahan berhubungan dengan ketidakstabilan kolumna spinalis.

TJ: Mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal tanpa cedera medula spinalis lanjut.

KH:

1. Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi seperti traksi, halo brace,kollar leher, bantal pasir dan sebagainya.

2. Periksa alat traksi skeletal untuk meyakinkan bahwa kerangkanya aman, katrolnya lurus, pemberat tergantung bebas.

3. Periksa pemberat untuk menark traksi (iasanya 10-20 pon).

4. Tinggikan bagian atas dari kerangka traksi atau tempat tidur jika diperlukan.

5. Ganti posisi, gunakan alat bantu untuk miring dan menahan, seperti alat pemutar, selimut tergulung, bantal dan sebagainya. Minta bantuan perawat lain sewaktu memiringkan pasien. Ikuti instruksi khusus untuk peraatan traksi halo.

Kolaborasi:

1. Pertahankan traksi skeletal dengan tang/jepitan, jangka lengkung, atau halo jika diperlukan.

2. Siapkan pasien untuk tindakan operasi, seperti laminektomi spinal atau fusi spinal jika

1. Menjaga kestabilan dari kolumna vertebra dan membantu proses penyembuhan.

2. Sangat diperlukan untuk pemeliharaan traksi untuk reduksi dan stabilitas dari kolumna vertebra dan mencegah trauma saraf spinal.

3. Pemberat tergantung pada berat pasien dan besarnya reduksi yang diperlukan untuk mempertahankan posisi kolumna vertebralis.

4. Membuat keseimbangan untuk mempertahankan posisi pasien dan tarikan traksi.

5. Mempertahankan posisi kolumna spninalis yang tepat sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya trauma. Catatan: menyentuh brace/traksi halo sewaktu memiringkan atau mengubah posisi pasien dapat mengakibatkan trauma.

1. Mengurangi fraktur/dislokasi vertebra.

22

Page 23: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

diperlukan.

2. Operasi mungkin diperlukan pada kompresi spinal atau adanyapemindahan fragmen-fragmen tulang yang fraktur.

3. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.

TJ:Mempertahankan posisi fungsi tubuh.

KH: - Tidak adanya

kontraktur.- Footdrop.- Meningkatkan

kekuatan bagian tubuh yang sakit/kompensasi.

- Mendemonstrasikan teknik /perilakuyang memungkinkan

- Melakukan kembali aktivitas.

1. Kaji secara teratur fungsi motorik (jika timbul suatu keadaaan syok/edema yang berubah) dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan seperti mengangkat bahu, meregangkan jari-jari, menggenggam tangan pemeriksa atau melepas genggaman pemeriksa.

2. Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan, seperti bel atau lampu pemanggil.

3. Bantu/lakukan latihan room pada semua ekstermitas dan lembut. Lakukan hiperekstensi pada paha secara teratu (periodik).

4. Letakkan tangan dalam posisi (melipat) ke dalam menuju pusaran 90 derajat dengan teratur.

5. Pertahankan sendi pada 90 derajat terhadap papan kaki, sepatu dengan hak yang tinggi dan sebagainya, gunakan rol trokhanter di bawah bokong selama brbaring di tempat tidur.

6. Tinggikan ekstermitas bawah beberapa saat sewaktu duduk atau angkat kaki/bagian bawah tempat tidur jika diinginkan pada

1. Mengevaluasi keadaan secara khusus (gangguan sensori motorik dapat bermacam-macam dan tidak jelas). Pada beberapa lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi.

2. Membuat pasien memiliki rasa aman, dapat mengatur diri dan mengurangi ketakutan karena ditinggal sendiri. Catatan: pasien quadriplegia dengan memakai ventilator memerlukan observasi ynag teratur dalam perawatan diri.

3. Meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan moblisasi sendi dan mencegah kontraktur dan atrofi otot.

4. Mencegah kotraktur pada daerah bahu.

5. Mencegah footdrop dan rotasi eksternal pada paha.

6. Hilangnya tonus pembuluh darah dan gerakan otot mengakibatkan bendungan darah dan vena akan menjadi stastis dibgian bawah abdomen, ekstermitas bawah, meningkatnya resiko terjadinya

23

Page 24: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

keadaan tertentu. Kaji adanya edema pada kaki/pegelangan tangan.

7. Buat rencana aktivitas untuk pasien sehingga pasien dapat beristirahat tanpa terganggu. Anjurkan pasien untuk erperan serta dalam aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien/sesua dengan toleransi.

8. Ukur/pantau tekanan darah sebelum dan sesudah meakukan aktivitas dalam fase akut atau sampai keadaan pasien stabil ganti posisi dengan perlahan. Gunakan “tempat tidur kardiak” atau meja atau tempat tidur sirkoelektrik (dapat berputar). Jika ingin meningkatkan pola aktivitas.

9. Gantilah posisi secara periodik walaupun dalam fase akut atau sampai keadaan duduk. Ajarkan pasien untuk menggunakan teknik “memindahkan berat badan”.

10. Persiapkan pasien

pada saat akan melakukan aktivitas membebani tubuh, misalnya gunakan “meja pengangkat” untuk posisi tegak lurus, latihan untuk menguatkan/mengkondisikan bagian bagian tubuh yang normal.

11. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.

12. Inspeksi kulit setiap hari. Obserpasi adanya daerah yang tertekan dan lakukan perawatan

hipotensi dan pembentukan trombus.

7. Mecegah kelelahan, memberikan kesempatan untuk berperan serta/melakukan uapaya yang maksimal.

8. Hipotensi ortostatik dpat terjadi sebagai akibat dari bendungan vena (sekunder akibat hilangnya tonus otot vaskuler). Memiringkan/meninggikan kepala dapat menyebabkan hipotensi dan bahkan pingsan.

9. Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan sirkulasi perifer.

10. Latihan berat badan sendiri dapat mengurangi terjadinya osteoporosis pada tulang panjang dan mengurangi terjadinya infeksi saluran kemih dan batu ginjal.

11. Mengurangi ketegangan otot/kelelahan dapat membantu mngurangi nyeri, spasme otot, spastisitas/kejang.

12. Gangguan sirkulasi, hilangnya sensasi atau kelumpuhan merupakan resiko tinggi terjadinya luka karena tekanan.

24

Page 25: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

kulit dengan benar.

13. Ajarkan pasien untuk menginspeksi keadaan kulitnya dan gunakan cermin untuk melihat bagian yang sulit dilihat.

14. Bantu/anjurkan untuk melakukan “bersihan paru” misalnya; napas dalam, batuk efektif, dan penghisapan.

15. Kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak, dan ketegangan otot jari.

16. Amati adanya dispnea tiba-tiba,sianosis dan tanda-tanda lain dari distres pernapasan.

Kolaborasi:

1. Tempatkan pasien pada tempat tidur kinetik jika diperlukan.

2. Gunakan kaos kaki/stoking antiembolik, alat SCD (sequential compression device) pada kaki.

3. Konsultasi dengan ahli terapi fisik/terapi kerja dari tim rehabilitasi.

4. Berikan relaksan otot sesuai kebutuhan dan diazepam (valium), baklopen (lioresal), serta kantrolen (dantrium).

13. Pertimbangan untuk seumur hidup.

14. Imobilisasi/tirah baring meingkatan resiko terjadinya infeksi paru.

15. Banyak sekali pasien dengan trauma saraf srevikal mengalami pembentukan trombus karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi dan kelumpuhan flaksid.

16. Perkembangan emboli paru terjai perlahan karena persepsi nyeri terganggu dan trombus vena bagiam dalam tidak diketahui.

1. Imobilisasi yang efektif dari kolumna spinal dapat menstabilkan kolumna spinal dan meningkatkan sirkulasi sitemik, yang dapat mengurangi komplikasi karena imobilisasi.

2. Membatasi bendungan darah pada ekstermitas bawah atau abdomen, selanjutnya meningkatkan tonus vasomotor dan mengurangi pembentukan trombus dan emboli paru.

3. Membantu dalam merencanakan dan melaksanakan latihan secara individual dan mengidentifikasi/mengembangkan alat-alat bantu untuk mempertahankan fungsi, mobilisasi dan kemandirian pasien.

4. Berguna untuk mengatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas (kejang).

25

Page 26: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

4. Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera psikis

TJ:Rasa nyeri dan ketidaknyamanan menurun.KH:

1. Kaji terhadap adanya rasa nyeri. Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya; lokasi, tipe nyeri, dan intensitas nyeri pada skala 0-10.

2. Evaluasi peningkatan iritabiltas, tegangan otot, gelisah, dan perubahan tanda vital yang tidak dapat dijelaskan.

3. Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor pencetus.

4. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya; perubahan posisi, masase, kompres hangat/dingin, sesuai indikasi.

5. Dorong penggunaan tekhnik relaksasi, misalnya: pedoman imajinasi, visualisasi, dan latihan napas dalam. Berikan aktivitasi hiburan, misalnya: televisi, radio, telepon, dan kunjungan tidak terbatas.

Kolaborasi:

1. Berikan obat sesuai indikasi: relaksan otot, misalnya; dantren (dantrium), analgesik dan antiansietas, misalnya; diazepam (valium).

1. Pasien biasanya meloporkan nyeri diatas tingkat cedera. Misalnya dada/punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabiliser. Setelah fase syok spinal, pasien melaporkan spasme otot dan nyeri fantom di bawah tingkat cedera.

2. Petunjuk nonverbal dari nyeri/ketidaknyamanan memerlukan intervensi.

3. Nyeri terbakar dan spasme otot dicetuskan/diperberat oleh banyak faktor, misalnya; ansietas, tegangan suhu eksternal eksterm, duduk lama, dan distensi kandung kemih.

4. Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosional, selain menurunkan kebutuhan obat nyeri/efek tidak diinginkan pada fungsi pernapasan.

5. Memfouskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

1. Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat.

26

Page 27: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

5. Perubahan pola eliminasi urinarius b.d gangguan dalam persarafan kandung kemih, atoni kandung kemih.

K.H:a.Mengungkapkan

pemahaman tentang kondisi.

b.Mempertahankan keseimbangan masukan/haluaran dengan urin jernih, bebas bau .

c.Mengungkapkan/mendemonstrasikan perilaku dan teknik untuk mencegah retensi/infeksi urinarius.

1. Kaji pola berkemih, seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingkan haluaran urin dan masukan cairan dan catat berat jenis urin.

2. Palpasi adanya distensi kandung kemih dan observasi pengeluaran urin.

3. Anjurkan pasien untuk minum/masukan cairan (2-4 l/hari) termasuk juice yang mengandung asam arkorbat (contoh: krenberi).

4. Observasi adanya urin seperti awan atau berdarah, bau yang tidak enak.

5. Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering, lakukan perawatan kateter bila perlu.

Kolaborasi:6. Jangan biarkan

kandung kemih penuh. Jika awalnya memakai kateter mulai melakukan program katerisasi secara intermitten jika diperlukan.

7. Pantau BUN, kreatinin, SDP.

8. Berikan pengobatan sesuai indikasi,

1. Mengidentifikasi fungsi kandung kemih (mis. Pengosongan kandung kemih, fungsi ginjal dan keseimbangan cairan).

2. Disfungsi kandung kemih bervariasi, ketidakmampuan berhubungan dengan hilangnya kontraksi kandung kemih untuk merilekskan sfingter urinarius (retensi/refluks).

3. Membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan pembentukan batu. Catatan: cairan dibatasi hanya untuk beberapa saat selama fase awal kateterisasi intermitten.

4. Tanda-tanda infeksi saluran perkemihan atau ginjal dapat menyebabkan sepsis.

5. Menurunkan risiko terjadinya iritasi kulit/ kerusakan kulit atau infeksi keatas menuju ginjal.

6. Kateter Volley digunakan selama fase akut untuk mencegah retensi urin dan memantau haluaran. Kateter intermitten digunakan untuk mengurangi komplikasi yang biasanya berhubungan dengan penggunaan kateter yang lama, kateter suprapubik dapat digunakan dalam jangka waktu lama.

7. Menggambarkan fungsi ginjal, dan mengidentifikasikan komplikasi.

27

Page 28: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

seperti vitamin dan atau antiseptik urinarius, contohnya methenamin mandelete (Mandelamine)

8. Mempertahankan lingkungan asam dan menghambat pertumbuhan bakteri (kuman).

6. Disrefleksia, resiko tinggi terhadap perubahan fungsi saraf (cedera medulla spinalis pada T6 dan diatasnya)

KH: a. Mengenal tanda-tanda/gejala-gejala sindrom.

b.Mengidentifikasikan tindakan pencegahan/ korektif

c. Tidak mengalami episode disrefleksia.

1. Identifikasi/monitor faktor-faktor resiko/faktor pencetus, seperti distensi kandung kemih/usus, spasme otot kandung kemih, batu kandung kemih, infeksi kandung kemih, daerah kulit/ jaringan yang tertekan, posisi duduk yang lama, suhu ekstrem.

2. Observasi adanya tanda-tanda/gejala-gejala sindrom, seperti perubahan tanda-tanda vital, hipertensi paroksismal, takikardia atau bradikardia, respons autonom, berkeringat, rasa terbakar dibawah daerah trauma, menggigil, hidung tersumbat, sakit kepala yang menyebar. Catat hal-hal yang berhubungan dengan keluhan/tanda atau gejala yang berhubungan dengan sakit dada, pandangan kabur, mual, rasa metalik, sindrom Horner.

3. Dampingi terus pasien selama fase seperti ini.

1. Distensi viseral biasanya disebabkan oleh disrefleksia autonom yang dianggap suatu masalah gawat. Pengobatan pada fase akut harus dilakukan segera (untuk mengurangi stimulasi, mengobati gejala-gejala yang tidak pernah hilang) kemudian intervensi dan tindakan harus diarahkan pada upaya pencegahan.

2. Deteksi dini dan intervensi segera sangat penting untuk mencegah masalah yang mungkin muncul atau komplikasi yang serius.

3. Masa seperti ini sangat potensial untuk terjadinya komplikasi yang fatal. Pemantauan/intervensi yang

28

Page 29: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

4. Pantau tekanan darah sesering mungkin (3-5menit) selama fase disrefleksia autonomik akut dan kurangi stimulasi. Lanjutkan untuk melakukan pemantauan tekanan darah setelah gejala-gejala tersebut reda.

5. Tinggikan bagian kepala tempat tidur sampai 45 derajat atau sampai posisi duduk.

Kolaborasi:6. Berikan pengobatan

sesuai indikasi dan pantau respons:

- Penyakit ganglion, contohnya: trimtafan kamsilat (Arfonad)

- Atropin sulfat

- Diazoksid (Hyperstat); hidralazin (Apresoline)

- Nifedipin (Procardia)

- Penyekat adrenergik seperti metisergid maleat (Sansert).

- Antihipertensi, contoh: prazosin (Minipress), fenoksibenzamin

terus menerus dapat mengurangi kecemasan pasien.

4. Terapi/pengurangan terhadap stimulus yang berlebihan dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat mengakibatkan krisis hipotensi, terutama pada pasien yang tekanan darahnya rendah. Disrefleksia autonom dapat terjadi terutam jika stimulus tidak hilang.

5. Tekanan darah yang rendah dapat mencegah perdarahan intrakranial, kejang, atau bahkan meninggal. Catatan: Menempatkan pasien quadriplegia pada posisi duduk secara otomatis dapat menurunkan tekanan darah.

- Menghambat transmisi saraf autonom yang berlebihan.

- Meningkatkan frekuensi jantung jika terjadi bradikardi.

- Menurunkan TD yang berlebihan/mempertahankan terjadinya hipertensi.

- Pemberian sublingual mungkin efektif jika tidak ada Hyperstat yang dimasukkan lewat IV.

- Dapat digunakan sebagai profilaksis jika terjadi masalah yang berlanjut.

- Penggunaan jangka waktu yang lama dapat merilekskan leher kandung kemih/

29

Page 30: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

(Dibenzyline) meningkatkan pengosongan kandung kemih, menghilangkan penyebab yang paling umum disrefleksia autonomik kronik.

7. Resiko gangguan integritas kulit b.d ketidakadekuatan sirkulasi perifer immobilisasi

Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit

Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dariinfeksi pada lokasi yang tertekan.

a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit

b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam.

c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)

d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis

e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.

f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar.

g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein.

h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari.

a. Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.

b. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.

c. Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas.

d. Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.

e. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan Kulit

f. Meningkatkan sirkulasi darah

g. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

h. Mempercepat proses penyembuhan

h. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan (Batticaca, 2008) :

1. Cidera pada cervikal

- Immobilisasi sederhana

- Traksi skeletal

30

Page 31: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

- Pembedahan untuk spinaldekompresi

2. Cidera pada thoracal dan lumbal

- Immobilisasi pada lokasi fraktur

- Hiperekstensi dan branching

- Bed-rest

3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema

medulla spinalis.

a) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih

ada, memaksimalkan pemulihan neurologist, tindakan atas cedera lain

yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan

neural lebih lanjut. Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada

sendi disalah satu tulang) untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan

imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral.

b) operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal,

atau debridemen luka terbuka.

c) fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang

belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang

progesif, cedera yang tak dapat direabduksi, dan fraktur non-union.

4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki alirn darah koral

spiral. Dosis tertinggi etil prednisolon atau bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti

5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam

pertama cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida

mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.

5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi

sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progesif atau

asenden.

6. Mempertahankan fungsi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak

keadaan dekompensasi.

7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji

dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses transversus, spinosus, dan

lainnya. Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),

31

Page 32: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara

bertahap.

8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur

memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.

a. Metode reabduksi antara lain:

1) Traksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang pada tengkorak.

Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai

sekitar 2,5 kg pada fraktur C1.

2) Manipulasi dengan anestesi umum.

3) Reabduksi terbuka melalui operasi.

b. Metode imobilisasi antara lain:

1) Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester.

2) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera

yang sudah direabduksi.

3) Plester paris dan splin eksternal lain.

4) Operasi

9. Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi fraktur stabil,

kerusakan neurologis disebabkan oleh:

a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan

trauma langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.

b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya

seperti spondiliosis servikal.

c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spinal.

Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologia yang

tampak pada saat pertama kali diperiksa:

1) Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif.

2) Cedera didaerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit

(kapiler) dan diberi metil prednisolon.

3) Pemeriksaan penunjang MRI.

4) Cedera neurologis tak lengkap konservatif.

5) Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal,

traksi tengkorak, dan metil pednisolon.

32

Page 33: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

6) Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.

7) Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk

maka lakukan mielografi.

8) Cedera tulang tak stabil.

9) Bila lesi total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.

Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan

paraplegia.

10) Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti

imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.

11) Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat

yang sama.

12) Cedera yang menyertai dan komplikasi:

a) Cedera mayor berupa cedera kepala aatau otak, toraks,

berhubungan dengan ominal, dan vaakular.

b) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi, dan

syok.

Pengelolaan cedera

1. Pengelolaan hemodinamika

a) Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik

akibat hilangnya aliran adrenergik dari sistem saraf simpatis pada

jantung dan vaskuler perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi

hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik lebih

mengganggu distribusi volume intravaskular daripada menyebabkan

hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian terapi atropin,

dopamin, atau fenilefrin jika penggantian volume intravaskular tidak

bereaksi.

b) Pada fase akut setelah cedera, dipasang beberapa jalur intravena perifer

(No.16) dan pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan

resusitasi cairan dimulai

c) Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian transfusi, lakukan

kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan ke perbedaan

mekanisme hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.

33

Page 34: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

2. Pengelolaan sistem pernapasan

a) Ganti posisi tubuh berulang

b) Perangsangan batuk

c) Pernapasan dalam

d) Spirometri intensif

e) Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker

adalah cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual

fungsional

f) Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi

3. Pengelolaan nutrisional dan sistem percernaan

a) Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi

peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubungan dengan

ominal

b) Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian

elektrolit dan pengamatan status cairan

c) Terapi nutisional awal harus dimetabolisme (50-100% diatas normal)

d) Bila ada hiperalimentasi internal elemental. Pasang Duoclenol yang

fleksibel melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus)

e) Pencegahan ulkus dengan antagonis hz (simetidin, ranitidin) atau antasid

f) Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT)

g) Bila difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT

untuk mencegah diare

h) Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax.

4. Pengelolaan gangguan koagulasi

a) Untuk mencegah terjadinya trombosis vena dan emboli paru beri heparin

dosis minimal (500 untuk subkutan, 2-3 x sehari)

b) Ranjang yang berosilasi

c) Ekspansi volume

d) Stoking elastis setinggi paha

e) Stoking prenmatis anti emboli

f) Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan

5. Pengelolaan genitourinaria

a) Pasang kateter Dower (dower catheter- DC)

b) Amati urine output (UO)

34

Page 35: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

6. Pengelolaan ulkus dekubitus

a) Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan,dan

berkurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga

tonjolan tulang

b) Putar atau ganti posisi tubuh berulang

c) Perawatan kulit yang baik

d) Gunakan ranjang berosilasi

7. Pengelolaan klien paraplegia

a) Respirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta

perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi

b) Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam

c) Kandung kemih

1) Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih

secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dam

dribbling.

2) Kateterisasi intermitten

3) Katerisasi indwelling

4) Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal.

d) Buang air besar (BAB)

Untuk mendapatkan pengosongan rektum mendadak dilakukan dengan

cara:

1) Tambahkan diet serat

2) Gunakan laksatif

3) Pemberian supositoria

4) Enema untuk BAB atau pengosongan rektum teratur tanpa

inkontinensia mendadak.

e) Anggota gerak

1) Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot

berlawanan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah

pemisahan tendo tertentu

2) Nutrisi umum tinggi kalori.

Rehabilitasi Klien yang Mengalami Paraplegia

1. Rehabilitasi fisik

35

Page 36: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

a. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas

dan tubuh bagian bawah

b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga

c. Perlengkapan splint dan kapiler

d. Transplantasi tendon

2. Perbaikan mobilisasi

a. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk klien cedera tulang belakang

(cedera medula spinalis) bawah

b. Latihan kursi roda untuk klien dengan otot tulang belakang dan tungkai

yang tak berfungsi

c. Kendaraan khusus untuk di jalan raya

d. Rehabilitasi psikologis

e. Penerimaan di rumah.

BAB III

KASUS

A. Uraian Kasus

Nn. GA usia 24 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya

tidak bisa digerakkan (Quadriparese). Klien sebelumnya lompat ke kolam renang

yang dikira dalam ternyata dangkal. Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas pada

tulang belakang tepatnya pada servikalis 5. Saat ini klien mengalami hiperventilasi

RR 35x/menit, TD: 130/80 mmHg, N: 98 x/menit, S: 37,3o C. Klien koma dan

terjadi robekan pada medula spinalis.

B.Pengkajian

1. Anamnesa

a) Identitas Klien

Nama: Nn. GA

Umur: 24 tahun

36

Page 37: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

b) Alasan Masuk

Klien masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya tidak bisa

digerakkan. Klien sebelumnya lompat ke kolam renang yang dikira dalam

ternyata dangkal.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Tingkat kesadaran : Koma

b. TTV:

- TD: 130/80 mmHg

- RR: 35 x/menit

- HR: 98 x/menit

- S: 37,3 0C

3. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas tulang belakang tepatnya pada C-5.

C. Analisa Data

No Data EtiologiMasalah

Keperawatan

1 DS : -

DO :

a. TTV

- RR: 35 x/menit

(hiperventilasi)

- N: 98 x/menit

- TD: 130/80 x/menit

- S: 37,3 0C

b. Pasien dalam keadaan koma

Trauma mengenai tulang

belakang

Cedera volumna vertebralis,

cedera medula spinalis

Blok saraf parasimpatis

Kelumpuhan otot persarafan

Pola napas tidak

efektif

37

Page 38: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Iskemik dan hipoksia

Pola nafas tidak efektif

2 DS:

a. Klien masuk rumah sakit dengan

keluhan tangan dan kakinya

tidak bisa digerakkan

(Quadriparese)

DO:

c. TTV

- RR: 35 x/menit

- N: 98 x/menit

- TD: 130/80 x/menit

- S: 37,3 0C

d. Pasien dalam keadaan koma

e. Terdapat jejas pada tulang

belakang tepatnya pada C5

f. Terdapat robekan ada medula

spinalis

Trauma mengenai tulang

belakang

Cedera volumna vertebralis,

cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipstetik

desending dipending

Terputus jaringan saraf medula

spinalis

Paralis dan paraplegia

Gangguan atau kerusakan

mobilitas fisik

Gangguan atau

kerusakan mobilitas

fisik

3 DS: -

DO:

a. Pasien dalam keadaan koma

b. TTV:

RR: 35x/menit

N: 98x/menit

TD: 130/80 x/mnt

S: 37,3 0C

c. Terdapat jejas pada tulang

belakang tepatnya pada C5

Trauma mengenai tulang

belakang

Cedera volumna vertebralis,

cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipstetik

desending dipending

Resiko terhadap

kerusakan integritas

kulit

38

Page 39: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

d. Terdapat robekan ada medua

spinalis

Terputus jaringan saraf medula

spinalis

Paralis dan paraplegia

Kelemahan fisik umum

Penekanan jaringan setempat

Dekubitus

Resiko terhadap kerusakan

integritas kulit

D. Pohon Masalah (WOC)

39

hipoventilasi

Trauma mengenai tulang belakang

Cedera volumna vertebralis, cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipatetik desendingPerdarahan mikroskopik Blok saraf parasimpatis

Terputus jaringan saraf medula spinalis

Paralis dan paraplagia

MK: Hambatan mobilitas fisik

Kelemahan fisik umum

Penekanan jaringan setempat

Reaksi peradangan

Syok spinal

Penurunan tingkat kesadaran

Kelumpuhan otot persarafan

Iskemik dan hipoksia

MK: pola nafas tidak efektif

Page 40: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

E. Asuhan Keperawatan

NoDiagnosa

Keperawatan

Tujuan/

Kriteria HasilIntervensi Rasional

1. Pola napas tidak

efektif

berhubungan

dengan resiko

tinggi terhadap

kerusakan

persarafan dari

diafragma (lesi

pada atau di atas

C-5).

Dimanifestasikan

oleh:

- Pasien dalam

keadaan koma

- Pasien

mengalami

hiperventilasi

dengan RR

35x/menit

TJ:

Mempertahankan

ventilasi yang

adekuat

KH:

- Pernapasan

kembali

normal (16-

24 x/mnt)

1. Pertahankan jalan

napas: posisi kepala

dalam posisi netral,

tinggikan sedikit

kepala tempat tidur

jika dapat ditoleransi

pasien. Gunakan

tambahan/beri jalan

napas buatan jika ada

indikasi.

2. Lakukan penghisapan

bila perlu. Catat

jumlah, jenis, dan

karakteristik sekresi.

1. Pasien dengan trauma

servikal bagian atas

dan gangguan

muntah/batuk akan

membutuhkan bantuan

untuk mencegah

aspirasi/mempertahan

kan jalan napas.

2. Jika batuk tidak

efektif, prnghisapan

dibutuhkan untuk

mengeuarkan sekret,

meingkatkan distribusi

udara, dan mengurangi

resiko infeksi

pernapasan. Catatan:

Penghisapan yang utin

dapat meningkatkan

resiko terjadinya

hipoksia, bradikardi

(karena repon vagal),

trauma jaringan oleh

karenanya kebutuhan

penghisapan

didasarkan pada

adanya ketidak

40

Gagal nafas

Kematian

dekubitus

MK:Resiko terhadap kerusakan integritas kulit

koma

Page 41: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

3. Auskultasi suara

napas. Catat bagian-

bagian paru yang

bunyinya menurun

atau tidak adanya

suara napas

adventisius (ronki,

mengi, dan krekels)

4. Observasi warna

kulit: adanya

sianosis, keabu-

abuan.

5. Kaji adanya distensi

abdomen dan spasme

otot.

6. Pantau/batasi

pengunjung jika

dipelukan.

Kolaborasi

1. Lakukan

pengukuran/buat

grafik terhadap:

Kapasitas vital,

volume tidal, dan

kekuatan pernapasan

mampuan untuk

mengeluarkan sekret.

3. Hipoventilasi biasanya

terjadi atau

menyebabkan

akumulasi/atelektasis

atau pneumonia

(komplikasi yang

sering terjadi).

4. Menggambarkan akan

terjadinya gagal napas

yang memerlukan

evaluasi dan intervensi

medis dengan segera.

5. perasaan penuh pada

abdomen dapat

menggambarkan

kelainan pada

diafragma, penurunan

ekspansi paru, dan

penurunan ekspansi

paru lebih lanjut.

6. Kelemahan secara

umum dan gangguan

pernapasan membuat

resiko tinggi bagi

pasien mendapatkan

infeksi saluran

pernapasan atas.

1. Menentukan fungsi

otot pernapasan.

Pengkajian yang terus

menerus daat

dilakukan untuk

41

Page 42: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

2. Analisa gas darah

arteri dan nadi

oksimetri

3. Berikan oksigen

dengan cara yang

tepat seperti dengan

kanul oksigen,

masker, intubasi dan

sebagainya.

4. Rujuk/konsultasikan

pada ahli terapi

pernapasan dan fisik.

memperkirakan

terjadinya gagal napas

(trauma akut) atau

menetukn keadaan

fungsi tubuh setelah

fase syok spinal dan

setelah proses

penyapihan ventilator.

2. Menyatakan keadaan

ventilasi atau

oksigenasi.

Mengidentifikasi

masalah pernapasan.

Contoh: Hiperventilasi

(PaO2 rendah/PaCO2

menigkatkan) atau

adanya kompilkasi

paru.

3. Metode yang akan

dipilih tergantung dari

lokasi trauma, keadaan

insufisiensi

pernapasan, dan

banyaknya fungsi otot

pernapsan yang

sembuh setelah fase

syok spinal.

4. Membantu dalam

mengidentifikasi

latihan-latihan yang

tepat untuk

menstimulasi dan

menguatkan oto-otot

pernapasan/tenaga

2. Gangguan atau

kerusakan

TJ:

Mempertahankan

1. Bantu/lakukan latihan

room pada semua

1.Catatan: pasien

quadriplegia dengan

42

Page 43: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

mobilitas fisik

berhubungan

dengan kerusakan

neuromuscular.

Dimanifestasikan

oleh:

- Pasien dalam

keadaan koma

- Terdapat jejas

pada tulang

belakang

tepatnya pada

C5

- Terdapat

robekan pada

medula spinalis

posisi fungsi

tubuh.

KH:

- Tidak adanya

kontraktur.

- Footdrop.

- Meningkatkan

kekuatan

bagian tubuh

yang

sakit/kompens

asi.

- Mendemonstra

sikan teknik

/perilakuyang

memungkinka

n

- Melakukan

kembali

aktivitas.

ekstermitas dan

lembut. Lakukan

hiperekstensi pada

paha secara teratu

(periodik).

2. Letakkan tangan

dalam posisi (melipat)

ke dalam menuju

pusaran 90 derajat

dengan teratur.

3. Pertahankan sendi

pada 90 derajat

terhadap papan kaki,

sepatu dengan hak

yang tinggi dan

sebagainya, gunakan

rol trokhanter di

bawah bokong selama

brbaring di tempat

tidur.

4. Tinggikan ekstermitas

bawah beberapa saat

sewaktu duduk atau

angkat kaki/bagian

bawah tempat tidur

jika diinginkan pada

keadaan tertentu. Kaji

adanya edema pada

kaki/pegelangan

tangan.

5. Inspeksi kulit setiap

hari. Obserpasi

adanya daerah yang

tertekan dan lakukan

memakai ventilator

memerlukan observasi

ynag teratur dalam

perawatan diri.

2. Meningkatkan

sirkulasi,

mempertahankan tonus

otot dan moblisasi

sendi dan mencegah

kontraktur dan atrofi

otot.

3. Mencegah kotraktur

pada daerah bahu.

4.Mencegah footdrop

dan rotasi eksternal

pada paha.

5. Mengurangi

ketegangan

otot/kelelahan dapat

membantu mngurangi

nyeri, spasme otot,

spastisitas/kejang.

6. Imobilisasi/tirah

43

Page 44: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

perawatan kulit

dengan benar.

6. Kaji rasa nyeri,

kemerahan, bengkak,

dan ketegangan otot

jari.

7. Amati adanya

dispnea tiba-

tiba,sianosis dan

tanda-tanda lain dari

distres pernapasan.

Kolaborasi:

1. Tempatkan pasien

pada tempat tidur

kinetik jika

diperlukan.

2. Gunakan kaos

kaki/stoking

antiembolik, alat SCD

(sequential

compression device)

pada kaki.

3. Konsultasi dengan

ahli terapi fisik/terapi

kerja dari tim

rehabilitasi.

baring meingkatan

resiko terjadinya

infeksi paru.

7. Banyak sekali pasien

dengan trauma saraf

srevikal mengalami

pembentukan

trombus karena

gangguan sirkulasi

perifer, imobilisasi

dan kelumpuhan

flaksid.

1. Imobilisasi yang

efektif dari kolumna

spinal dapat

menstabilkan kolumna

spinal dan

meningkatkan sirkulasi

sitemik, yang dapat

mengurangi

komplikasi karena

imobilisasi.

2. Membatasi bendungan

darah pada ekstermitas

bawah atau abdomen,

selanjutnya

meningkatkan tonus

vasomotor dan

mengurangi

pembentukan trombus

dan emboli paru.

3. Membantu dalam

merencanakan dan

melaksanakan latihan

secara individual dan

mengidentifikasi/meng

embangkan alat-alat

44

Page 45: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

4. Berikan relaksan otot

sesuai kebutuhan dan

diazepam (valium),

baklopen (lioresal),

serta kantrolen

(dantrium).

bantu untuk

mempertahankan

fungsi, mobilisasi dan

kemandirian pasien.

4. Berguna untuk

mengatasi dan

mengurangi nyeri yang

berhubungan dengan

spastisitas (kejang).

3. Resiko

gangguan

integritas kulit

b.d

ketidakadekuata

n sirkulasi

perifer

immobilisasi

Tujuan :

Mempertahanka

n Intergritas

kulit

Kriteria Hasil :

Keadaan kulit

pasien utuh,

bebas dari

kemerahan,

bebas dari

infeksi pada

lokasi yang

tertekan.

1. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit

2. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam.

3. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)

4. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis

5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.

6. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar.

7. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan

1.Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.

2.Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.

3. Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas.

4. Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.

5. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan Kulit

6. Meningkatkan sirkulasi darah

7. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

45

Page 46: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

tinggi protein.

8. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari.

8. Mempercepat proses penyembuhan

F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-farmakoogi

a) Farmakologi

Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan

mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis

komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis

komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung

menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung

memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawahlesi masih ada,

maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera

medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health

di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera

medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan

sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan

bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik

yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan

sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.4

Dosis metilprednisolon 30 mg/kgBB diberikan secara bolus IV dalam 8 jam

setelah cedera, di ikuti dengan dosis maintenace 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam

kemudian. Metilprenidsolon menghambat lipid peroxidase dan hidrolisis yang

menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membransel mencapai puncaknya

kira-kira 8 jam dan alasan inilah mengapa harus diberikan dalam waktu

tersebut. Lipidperoksidasi mengacu pada degradasi oksidatif lipid . Ini adalah proses

di mana radikal bebas "mencuri" elektron dari lipid pada membran sel ,

mengakibatkan kerusakan sel.

b) Non-Farmakologi

46

Page 47: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan

pasien cedera medula spinalis. Beberapa tindakan non-farmakologi yang dapat

dilakukan adalah:

a. Memakai penyangga eksternal untuk mengontrol posisi tulang belakang,

menerapkan korektif forces, menstabilkan tulang belakang ketika jaringan

lunak (misalnya, ligamen) tidak bisa dan membatasi gerakan.

b. Karena luka trauma pada sumsum tulang belakang biasanya melibatkan

cedera pada tulang dan ligamen tulang belakang, operasi dapat

dilakukan. Tujuan dari beberapa operasi adalah untuk menghilangkan tulang

(ini disebut "dekompresi") yang menekan pada atau ke sumsum tulang

belakang. 

c. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki

fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-

hari/ activities of daily living (ADL).

d. Fisioterapi. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM

(Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi

otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome/ CSS biasanya

mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga

dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. CCS adalah salah satu tipe

acute cervical spinal cord injury (SCI) yang terjadi akibat injuri inkomplit

pada medula spinalis segmen servikal dan ditandai oleh kelemahan motorik

yang lebih parah pada ekstremitas atas dibandingkan pada ekstremias bawah,

disfungsi kandung kemih dan gangguan sensori yang bervariasi di bawah

level lesi.

G. Health Education ( Pendidikan Kesehatan )

a) Pencegahan

Mengikuti saran ini dapat mengurangi resiko dari cedera tulang belakang:

- Mengemudi dengan aman. Kecelakaan mobil adalah salah satu penyebab paling

umum dari cedera tulang belakang. Kenakan sabuk pengaman setiap kali Anda

mengemudi atau naik di dalam mobil. Pastikan bahwa anak-anak Anda mengenakan

sabuk pengaman atau menggunakan usia dan berat badan yang sesuai kursi

keselamatan anak. 

47

Page 48: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

- Periksa kedalaman air sebelum menyelam. Untuk memastikan Anda tidak menyelam

ke dalam air dangkal, tidak menyelam ke dalam kolam kecuali jika 9 kaki atau lebih

dalam, jangan menyelam ke dalam kolam di atas tanah, dan tidak menyelam ke

dalam setiap air yang anda tidak tahu kedalaman.

- Mencegah jatuh. Mis. gunakan bangku/alat bantu untuk menjangkau benda-benda di

tempat tinggi. Tambahkan pegangan tangan di sepanjang tangga.

- Berhati-hati saat bermain olahraga. Selalu memakai peralatan keselamatan yang

direkomendasikan. 

b) Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)

ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera

sekunder. Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan

memanfaatkan alas yang keras. pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa

menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus

diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera didaerah servikal harus

diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan

bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan. Perawatan penderita

memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.

Perawatan ditujukan pada pencegahan :

1. Perawatan kulit: agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.

Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu

dengan cara miring kanan, kiri, telentang dan telungkup

2. Anggota gerak: agar tidak timbul kontraktur. Karena kelainan saraf maka

timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot. Pencegahan

ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan

fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam

posisi netral.

BAB IV

PENUTUP

48

Page 49: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

A. Kesimpulan

Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula

spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke

lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh

disitus intervertebralis.

Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan

sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal

pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong dan apabila saraf

frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan

mekanik dapat digunakan.

B. Saran

Mahasiswa diharapakan mampu mengasah kemampuannya dan pengetahuannya

melalui media diskusi yang telah direncanakan dalam mata kuliah ini. Bagi para

dosen agar dapat memberikan bimbingan yang lebih intensif agar mahasiswa lebih

faham mengenai asuhan keperawatan terutama pada klien dengan cidera medula

spinalis.

LAMPIRAN

TELEMONITORING PADA CEDERA MEDULA SPINALIS

49

Page 50: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Monica Saptiningsih, NPM 1006748715

Program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2011

Abstrak

Telemonitoring merupakan salah satu teknologi informasi jarak jauh yang dapat digunakan

dalam memberikan pelayanan keperawatan pada kondisi kronis, seperti cedera medula

spinalis. Berbagai komplikasi yang terjadi dan disabilitas akibat cedera medula spinalis

menyebabkan pasien sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Pencarian literatur tahun 2000

sampai 2011 menggunakan kata kunci “spinal cord injury”, “telemonitoring”, “telehealth”,

“telehomecare.” Review dilakukan terhadap penelitian tentang telemonitoring dan

telemedicine didukung referensi terkait. Dilaporkan telemonitoring memiliki manfaat

terhadap biaya kesehatan, menurunkan komplikasi dan meningkatkan kemandirian pasien.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan dampak dan evaluasi manfaat

telemonitoring pada pasien penyakit kronis yang membutuhkan perawatan jangka panjang.

Kata kunci : cedera medula spinalis, telemonitoring

Simpulan dan Rekomendasi

Telemonitoring sangat efektif digunakan pada situasi wilayah atau daerah yang jauh dari

jangkauan pelayanan kesehatan dan pada kondisi kronis yang membutuhkan perawatan

jangka panjang, seperti pada cedera medula spinalis.

Penerapan penggunaan telemonitoring pada awalnya tentu membutuhkan biaya

peralatan yang besar, teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang kompeten.

Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari beberapa pihak, antara lain pihak pemerintah dan

swasta untuk mengintegrasikan teknologi telemonitoring dalam pelayanan kesehatan

tradisional.

Pengaruh latihan aerobik terhadap kapasitas kardiorespirasi

penderita cedera medula spinalis

50

Page 51: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Maria Regina Rachmawati

J Kedokter Trisakti- Januari-Maret 2004, Vol. 23 No.1

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek program latihan aerobik terhadap kapasitas

fungsional kardiorespirasi pada penderita cedera medula spinalis (CMS), dan hubungannya

dengan tingkat CMS serta lama awitan. Untuk menilai kapasitas fungsional kardiorespirasi

pada penelitian ini digunakan 2 parameter yaitu VO2 maks (kapasitas aerobik maksimal)

dan VE (ventilasi menit). Studi pra dan pasca perlakuan dengan kelompok tunggal

dilakukan pada 27 penyandang cacat. Sampel yang memenuhi kritera inklusi dilakukan uji

kerja fisik awal untuk menilai VO2 maks awal, kemudian menjalani program latihan 3 kali

seminggu dengan durasi minimal 25 menit selama 6 minggu. Setelah itu dilakukan uji kerja

fisik akhir untuk menilai VO2 maks akhir dan pemeriksaan spirometri untuk menilai VE

pasca latihan. Empat penderita drop out karena tidak memenuhi absensi latihan. Akhirnya

didapatkan 23 sampel yang mengikuti penelitian sampai selesai yang terdiri dari 4

perempuan dan 19 laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan, setelah dilakukan latihan terjadi

peningkatan VO2 maks yang bermakna pada perempuan 21,64 ± 2,94 ml.kg-1.mn-1 (p=

0,0001), pada laki-laki 25,20 ± 4,88 ml.kg1.mn-1 (p = 0,0001) dengan rerata 24,43 ± 4,84

ml.kg-1.mn-1, dan VE meningkat secara bermakna menjadi 10,17 ± 4,08 L.mn–1 (p =

0,0001). Tidak terdapat korelasi bermakna antara lama awitan dan tingkat CMS dengan

nilai VO2 maks dan nilai VE. Nilai VO2 maks turun pada penderita CMS, dan terjadi

peningkatan yang bermakna setelah melakukan latihan aerobik.

Kata kunci : Aerobik, latihan, kardiorespirasi, cedera, medula spinalis

KESIMPULAN

Setelah diberi latihan aerobik terjadi peningkatan VO2 maks dan VE yang bermakna

dibandingkan pra latihan, tetapi nilai VO2 maks tidak mencapai kriteria sedang. Nilai VO2

maks dan VE pra dan pasca latihan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan

lama awitan. Nilai VO2 maks dan VE pra dan pasca latihan tidak mempunyai hubungan

yang bermakna dengan tingkat CMS. Penderita paraplegi yang tidak terlatih memiliki VO2

maks yang rendah, sehingga dapat diprediksi mempunyai risiko tinggi untuk menderita PJI.

PERTANYAAN KUIS

51

Page 52: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

1. Paraplegia merupakan kehilangan kekuatan otot pada ekstremitas bawah akibat

cedera medula spinalis yang terjadi pada area...

1. Lumbar

2. Sacrum

3. Torakal

4. Servikal

2. Dibawah ini merupakan penyebab trauma pada tulang belakang, kecuali...

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Jatuh dari pohon

c. Kecelakaan olahraga

d. Kejang

e. Luka tusuk

3. Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan pada pasien dengan cedera tulang

belakang antara lain,,kecuali..

a. Rontgen

b. AGD

c. CT scan

d. MRI

e. Mielografi

4. Salah satu Manifestasi klinis yang dapat terlihat pada klien dengan cedera medula

spinalis adalah....

a. Sakit tenggorokan

b. Muntah

c. Gatal-gatal

d. Kaku kuduk

e. Paraplegia

5. Diagnosa utama pada klien dengan cedera medula spinalis servikalis adalah,,

a. Resiko tinggi terhadap disrefleksia b.d perubahan fungsi saraf

b. Pola nafas tidak efektif b.d resiko tinggi terhadap kerusakan persarafan dari

diafragma

c. Gangguan atau kerusakan mobilisasi fisik b.d kerusakan neuromuskular

d. Nyeri (akut) b.d cedera psikis

e. Perubahan pola eliminasi urinarius b.d gangguan dalam persarafan kandung kemih,

atoni kandung kemih

52

Page 53: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

6. Terapi farmakologi yang paling umum digunakan untuk pasien cedera medula spinalis

adalah....

a. metil prednisolon

b. betaseron

c. baklofen

d. manitol

e. penisillin

7. Saraf thorakal tulang belakang (T1-T12) memiliki kontrol sinyal ke area...

1. Otot dada

2. Beberapa otot punggung

3. Bagian perut

4. Diafragma

8. Cedera medula spinalis pada bagian L2 dapat menyebabkan kehilangan kemampuan...

a. Ekstremitas bagian bawah

b. Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha

c. ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha

d. ekstremitas atas

e. kehilangan sensorik bagian lipat paha dan bagian dari bokong

9. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera medula spinalis

adalah,,kecuali...

a. Pemeriksaan fungsi serebral

b. Pemeriksaan fungsi saraf kranial

c. Pemeriksaan fungsi motorik

d. Pemeriksaan fungsi refleks

e. Pemeriksan status mental

10. Berikut adalah penatalaksanaan non-farmakologis yang mungkin dilakukan pada klien

dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) yaitu...

1. Imobilisasi sederhana

2. Pemasangan penyangga eksternal/ traksi skeletal

3. Pembedahan untuk spinal dekompresi

4. Pemberian kortikosteroid

DAFTAR PUSTAKA

53

Page 54: 3. BAB I,II,III, Lampiran Dan Daftar Pustaka

Batticaca, Fransisca B.(2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Brunner & Suddarth.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .

Jakarta :EGC.

Dawodu, S, et all.(2008). Spinal cord injury-definition, epidemiology, pathophysiology.

Diambil pada tangal 26 Februari 2012 dari

http://emedicine.medscape.com/article/322480-overview

Doenges, Marilynn E.(2000). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.Jakarta: EGC.

Isselbacher, Kurt J.(2002). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume 5 edisi

13.Jakarta: EGC.

Kee, Joyce Lefever. (2008). Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik edisi

6.Jakarta: EGC.

Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna.(2004). Neurologi klinis dasar.Jakarta: Dian

Rakyat.

Muttaqin, Arif.(2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif.(2008). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Patel, Pradip R.(2007). Lecture notes: Radiologi edisi 2.Jakarta: Erlangga.

Pearce, Evelyn C.(2007). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.

Pinzon.(2007). Mielopati servikal traumatika diambil tanggal 25 Februari 2012 dari

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/154_13_Mielopatiservikaltraumatika.pdf/

154_13_Mielopatiservikaltraumatika002.png

Price & Wilson.(2006). Patofisiologi. Jakarta : EGC

Smeltzer & Bare.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah volume 3 edisi

8.Jakarta: EGC.

54