5- bab iii tinjauan pustaka
DESCRIPTION
wfdshdjdfdfhdhTRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Depresi
3.1.1 Definisi
Depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan
kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam.1 Depresi merupakan kondisi
emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat mendalam,
perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain dan tidak dapat
tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat serta kesenangan dalam
aktivitas yang biasa dilakukan.2 Depresi merupakan gangguan suasana hati atau
mood yang dalam edisi DSM (Dignostic and Statistical Manual of Mental
Disorders) yang dikenal sebagai gangguan afektif.3 Depresif adalah salah satu
bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood disorder), yang
diatandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidak gairahan hidup, perasaan tidak
berguna, dan putus asa.4
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di atas tentang pengertian
depresi dapat disimpulkan bahwa depresi adalah suasana perasaan sedih dan
cemas yang menetap pada diri seseorang sehingga dapat mempengaruhi perilaku
dan persepsi seseorang. Depresi terjadi karena adanya perubahan antara
norepinefrin dan serotonin yang merupakan bagian dari neurotransmitter.
Keadaan depresi dapat mengakibatkan tubuh seseorang tidak dapat memproduksi
hormon adrenalin, sehingga tubuh kurang siap dalam mempertahankan diri.5,7
3.1.2 Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia. Dengan perkiraan terjadi pada 340 juta jiwa, dengan perbandingan satu
dari dua puluh orang di dunia.5 Rata-rata usia awitan adalah akhir dekade kedua,
meskipun sebenarnya depresi dapat dijumpai pada semua kelompok usia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering diderita
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1. Prevalensi selama kehidupan
pada perempuan 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%.6 Walaupun depresi lebih
sering terjadi pada perempuan, kejadian bunuh diri lebih sering terjadi pada laki-
laki terutama usia muda dan tua.5
Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-4 kali lipat,
dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Hal ini berhubungan dengan tingkat
kecemasan pada wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas,
atau persoalan sosial budaya yang berhubungan dengan perkembangan
kedewasaan pada wanita.7 Tidak ditemukan hubungan bermakna antara depresi
dengan faktor ras dan umumnya lebih sering terjadi di daerah pedesaan. Laki-laki
lebih mungkin untuk menderita episode berulang dan angka kejadian bunuh diri
meningkat.5
3.1.3 Etiologi
Dalam Kaplan & Sadock (2010) menyebutkan bahwa faktor penyebab
dapat dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Berikut
faktor penyebab depresi meliputi:2
3.1.3.1 Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik
seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA) dan 3-
metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) di dalam darah, urine dan cairan
serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten
dengan hipotesis bahwa gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen
amin biogenik.2,8
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling
berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Respon temporal perubahan
reseptor tersebut pada model binatang adalah berkorelasi dengan keterlambatan
perbaikan klinis selama satu atau tiga minggu yang biasanya ditemukan pada
pasien. Disamping norepinefrin, serotonin, dan dopamin, bukti-bukti
mengarahkan pada disregulasi asetil- kolin dalam gangguan mood.8
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien
yang bunuh diri memiliki kosentrasi metabolit serotonim didalam cairan
serebrospinalis yang rendah dan kosentrasi tempat ambilan serotonin, generasi
antidepresan di masa depan mungkin memiliki efek lain pada sistem serotonin.2,8
3.1.3.2 Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik
terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Tidak hanya menyingkirkan pengaruh
psikososial tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki peranan kausatif didalam
timbulnya gangguan mood pada beberapa orang. Komponen genetik memiliki
peranan yang bermakna didalam gangguan bipolar I daripada gangguan depresi
berat.2,9
Penelitain keluarga juga menemukan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali
lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subjek. Penelitian keluarga
telah menemukan bahwa kemungkinan menderita suatu gangguan mood
menurun. Penelitian adopsi juga telah menemukan bahwa anak biologis dari
orang tua yang menderita suatu gangguan mood, bahkan jika mereka dibesarkan
oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan.2,8
Penelitian adopsi juga telah menunjukkan bahwa orang tua biologis dari
anak adopsi dengan gangguan mood mempunyai suatu prevalensi gangguan
mood yang tidak diadopsi. Prevalensi gangguan mood pada orang tua angkat
adalah mirip dengan prevalensi dasar pada populasi umum.2
3.1.3.3 Faktor Psikososial
Perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi
signal intrneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan
sinaptik. Hasil akhirnya dari perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang
berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood
selanjutnya, bahkan adanya stressor.8
Peristiwa hidup dan penuh tekanan lebih sering timbul mendahului
episode gangguan mood yang megikuti. Hubungan ini telah dilaporkan untuk
pasien gangguan depresif berat dan gangguan depresif I. sebuah teori yang
diajukan untuk menerangkan pengamatan ini adalah bahwa stress yang menyertai
episode pertama mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi
otak.perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan system pemberian sinyal interaneuron,
perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak
sinaps yang berlebihan. Akibatnya seseorang memiliki resiko tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal.6,8
Sejumlah klinis bahwa peristiwa hidup memegang peranan utama dalam
depresi. Klinisi lain menunjukkan bahwa peristiwa hidup hanya memegang
peranan terbatas dalam awitan dan waktu depresi. Data yang paling meyakinkan
menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling sering menyebabkan timbulnya
depresi dikemudian hari pada seseorang adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 11 tahun. Stresor lingkungan yang paling sering menyebabkan timbulnya
awitan depresi adalah kematian pasangan. Faktor resiko lain adalah PHK-
seseorang yang keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung
memberikan laporan gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja.3
3.1.4 Diagnosis
Depresi dapat didiagnosis dengan beberapa instrument, seperti Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi keempat/DSM-IV dan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi ke III/
PPDGJ III. Di Indonesia, diagnosis dan derajat depresi cenderung berdasarkan
kriteria PPDGJ III yakni:2,8
Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
hipoaktivitas.
Gejala Lainnya:
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Padangan masa depan yang suram dan pesimis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan depresi diperlukan masa
sekurang-kurangnya dua minggu untuk penegakkan diagnosis, namun periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa berat dan berlangsung
cepat.
F32.0 Episode Depresif Ringan:
Sedikitnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
Lamanya episode berlangsung sedikitnya 2 minggu
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
dilakukannya.
Karakter kelima: F32.00 = Tanpa gejala somatik
F32.01 = Dengan gejala somatik
F32.1 Episode Depresif Sedang:
Sedikitnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
Ditambah sedikitnya 3-4 dari gejala lainnya
Lamanya episode berlangsung sedikitnya 2 minggu
Kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga.
Karakter kelima: F32.10 = Tanpa gejala somatik
F32.11 = Dengan gejala somatik
F.32.2 dan F32.3 Episode Depresif Berat:
Semua 3 gejala utama depresi harus ada
Ditambah sedikitnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
Bila ada gejala (misalnya agitasi atau retardasi psikomotorik) yang
mencolok, pasien mungkin tidak mampu melaporkan banyak gejalanya
secara rinci. Episode depresif berat masih bisa dibenarkan
Lama sedikitnya 2 minggu. Jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
masih dibenarkan menegakkan diagnosis kurang dari 2 minggu
Sangat tidak mungkin mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Menurut DSM-IV-TR Kriteria untuk episode mayor depresif:2,3
a. Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah ada selama dua minggu dan
menggambarkan perubahan dari fungsi dari yang sebelumnya, setidaknya
salah satu gejala dari (1) depresi suasana hati atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan.
Catatan: Apakah catatan termasuk gejala yang jelas akibat kondisi medis
umum, atau tidak sesuai suasana hati delusi atau halusinasi.
1. Depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, seperti dilihat pada
laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong) atau observasi
yang dibuat oleh orang lain (misalnya, tampak berurai air mata).
Catatan: Pada anak-anak dan remaja, dapat mudah tersinggung.
2. Minat atau kesenangan dalam semua hal sangat berkurang pada kegiatan
hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti dilihat pada laporan
subjektif atau observasi oleh orang lain)
3. Penurunan berat badan yang signifikan atau peningkatan berat badan
(misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan), atau
penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
Catatan: Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk meningkatkan
berat badan.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (diamati oleh orang
lain, bukan hanya perasaan subjektif kegelisahan atau menjadi melambat)
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak
tepat (yang mungkin khayalan) hampir setiap hari (bukan hanya
menyalahkan diri sendiri atau merasa bersalah sehingga menjadi sakit)
8. Kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi menurun, atau ragu-ragu,
hampir setiap hari (dari subjektif atau dari yang diamati oleh orang lain)
9. Memikirkan tentang kematian secara berulang-ulang (tidak hanya takut
mati), ide bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh
diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
b. Gejala-gejala yang tidak memenuhi kriteria untuk Episode Campuran
c. Gejala-gejala klinis yang signifikan menyebabkan stres atau tekanan sosial,
pekerjaan, atau fungsi bidang-bidang penting lainnya
d. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi medis umum (misalnya,
hipotiroidisme)
e. Gejala lain yang terdapat pada rasa kehilangan, yaitu, setelah kehilangan
orang yang dicintai, yang gejalanya menetap selama lebih dari dua bulan atau
ditandai oleh gangguan fungsional, perasaan tidak berharga, ide untuk bunuh
diri, gejala psikotik, atau keterbelakangan psikomotorik
3.1.4.1 Beck Suicide Intent Scale (BSIS)
Beck Suicide Intent Scale merupakan alat ukur yang digunakan untuk
menilai niat/gagasan dan percobaan bunuh diri yang dikembangkan oleh Aaron
T. Beck dan kawan – kawannya di University of Pennsylvania.8 Beck Suicide
Intent Scale ( BSIS) terdiri dari 15 pertanyaan setiap nomor diberi nilai 0 sampai
2. Total semua nilai adalah antara 0 sampai 30. Pertanyaan dibagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama 9 pertanyaan berhubungan dengan ”keadaan” dan
keinginan pasien untuk menyakiti diri sendiri. Bagian kedua 6 pertanyaan
berikutnya adalah laporan diri yang berdasarkan gambaran, pikiran, perasaan saat
mereka akan bertindak melakukan bunuh diri. Bila total skor < 4 risiko rendah,
bila skor 4-10 risiko sedang dan skor >10 adalah risiko tinggi untuk usaha
melakukan tindakan bunuh diri.9
3.1.5 Tatalaksana
Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer.
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik (misalnya
imipramin, amitriptilin, dothiepin dan lofepramin).
No Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
1 Trisiklik (TCA) Amitriptilin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari
Imipramin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari
2 SSRI Sentralin Tablet 50 mg 50-150 mg/hari
Fluvoxamin Tablet 50 mg 50-100 mg/hari
Fluoxetin Kapsul 20 mg,
Kaplet 20 mg
20-40 mg/hari
Paroxetin Tablet 20 mg 20-40 mg/hari
3 MAOI Moclobemide Tab 150 mg 300-600 mg/
hari
4 Atypical Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari
Trazodon Tab 50 mg, 100 mg 75-150 mg/hari
dosis terbagi
Maprotilin Tab 10, 25, 50, 75 mg 75-150 mg/hari
dosis terbagi
Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin
yang menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin.
MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan
mirtazapin memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari
antidepresan melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon
elektrofisiologis. Cara Penggunaan Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa
diberikan sekali sehari dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar.
Respon anti-depresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu Untuk
sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3: golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase
Inhibitor) reversibel.
Indikasi Obat
Antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga pada
penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi.
Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan
kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi
SSRI : nausea, sakit kepala
MAOI : interaksi tiramin Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul
atropine toxic syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi,
konvulsi, delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mengatasinya:
• Gastric lavage
• Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvuls
• Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat diulangi
setiap 30-40 menit hingga gejala mereda.
• Monitoring EKG Kontraindikasi
• Penyakit jantung koroner
• Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat, gangguan fungsi hati, epilepsy
3.1.6 Prognosis
Depresi berat cenderung bersifat kronis sehingga pasien cenderung untuk
relaps, akan tetapi pasien yang dirawat di Rumah Sakit untuk episode pertama
memiliki 50% kemungkinan untuk pulih pada tahun pertama. Insidensi relaps
berkurang pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmaka sebagai profilaksis
dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode saja.
Prognosis baik Prognosis buruk
Episode ringan
Tanpa gejala psikotik
Waktu perawatan singkat
Riwayat persahabatan erat
Keluarga yang stabil
Lingkungan social yang baik
Riwayat premorbid
Gangguan kepribadian
Lebih dari satu kali episode
depresi berat
Onset usia muda
Gangguan distimik
Riwayat penggunaan alkohol
dan zat lain
Gangguan cemas
3.2 Depresi Pasca-Stroke
3.2.1 Definisi
Depresi pasca-stroke merupakan kelainan neuropsikologis yang paling
sering dijumpai setelah suatu serangan stroke. Beratnya depresi yang terjadi
mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak dan depresi memberi dampak
negatif terhadap penyembuhan stroke. Gangguan depresi mungkin merupakan
gangguan emosional yang paling sering dihubungkan dengan penyakit
serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami depresi setelah
serangan stroke.9 Depresi pasca stroke sama dengan gejala depresi fungsional
seperti adanya rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga, sulit
konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido, gangguan tidur pada
malam hari dan adanya ide-ide bunuh diri. Duapuluh enam persen depresi pasca-
stroke adalah penderita dengan sindrom depresi berat sedang sisanya adalah
dengan sindrom depresi ringan.11
3.2.2 Epidemiologi
Selama 10 tahun terakhir sejumlah besar penelitian mengenai prevalensi
depresi pasca-strokebtelah dilakukan.11 Dibandingkan dengan prevalensi depresi
yang terdapat pada populasi umumnya, prevalensi depresi pasca-stroke secara
bermakna jauh lebih tinggi. Prevalensi depresi pasca-stroke berkisar antara 11-
68%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria diagnostik yang digunakan dan
lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya setelah terjadinya serangan
stroke.12 Prevalensi ini semakin meningkat dengan meningkatnya umur penderita.
Ini menunjukkan adanya korelasi positif antara umur dan depresi.12 Prevalensi
yang paling tinggi terdapat sekitar 3-6 bulan pasca-stroke dan tetap tinggi sampai
1-3 tahun kemudian, tetapi umumnya prevalensi akan menurun sampai
setengahnya setelah 1 tahun terjadinya stroke.
Jenis kelamin juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan lebih panjang maka pada
suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yang mengalami serangan stroke
lebih banyak dari laki-laki.13 Angka prevalensi depresi pasca-stroke adalah 10-
25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-laki.
3.2.3 Etiologi
Walaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak diketahui namun beberapa
penelitian mengatakan lokasi jejas pada otak memegang peranan penting.
Penelitian melaporkan sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi
otak dengan kejadian depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri. Penelitian
tersebut juga menunjukkan adanya tingkat keparahan depresi dengan jauhnya
batas anterior lobus frontalis, walaupun demikian tidak semua lesi pada hemisfer
kiri menyebabkan depresi pasca-stroke.11
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan depresi
mempunyai riwayat gangguan psikiatrik atau adanya keluarga yang menderita
gangguan psikiatrik. Sebagai tambahan, hubungan depresi dengan
ketidakmampuan fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua penelitian,
sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik tidak ada hubungannya
dengan keparahan depresi.13 Depresi lebih sering terjadi pada pasien afasia non
fluent dibanding yang afasia fluent, walaupun secara sebab akibat tidak ada
hubungan antara depresi dengan afasia. Adanya hubungan antara afasia non
fluent dengan depresi pasca-stroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak
yang menyebabkan afasia non fluent juga mungkin menyebabkan depresi.12
3.2.4 Tatalaksana
3.2.4.1 PsikofarmakoterapiPenderita depresi pasca-stroke dapat diberikan antidepresi. Penderita
dianjurkan untuk mulai terapi dengan dosis kecil terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan efek samping. Perlu diingat penggunaan
subterapeutik tidak dianjurkan. Tidak ada satupun jenis antidepresan yang khusus
untuk pengobatan depresi pasca-stroke.14 Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin
berguna juga untuk menghilangkan gejala pseudobulbar yaitu tertawa dan
menangis patologis yang dikaitkan dengan stroke. Penggunaan golongan trisklik
yang juga mempunyai efek antiaritmia menyebabkan obat antiaritmia lain dapat
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Fluolestine merupakan SSRI dengan efek
antikolinergik ringan. Dikatakan fluolestine efektif untuk pasien depresi pasca-
stroke. Karena kurang menimbulkan kenaikan berat badan, obat-obat ini dapat
dipakai oleh pasien depresi yang gemuk atau ada riwayat penambahan berat
badan selama pemakaian trisiklik.15 Perlu diperhatikan obat yang diminum
penderita sebelum terkena stroke seperti obat anti hipertensi misalnya beta-
blocker atau metildopa karena obat-obatan tersebut dapat menimbulkan depresi.16
Penderita stroke yang mengalami depresi harus diberikan antidepresan agar tidak
terjadi peningkatan mortalitas akibat stroke ataupun depresi pasca-strokenya.
Terjadi peningkatan mortalitas pada pasien stroke iskemik yang mengalami
depresi. Penggunaan antidepresan telah terbukti dapat menurunkan angka
mortalitas pasien depresi pasca-stroke.16 Keuntungan pemakaian antidepresan
tetap siginifikan di atas keadaan lain yang menyertai keadaan stroke seperti usia,
tipe stroke, adanya penyerta diabetes melitus dan kekerapan gangguan depresif.11
3.2.4.2 Psikoterapi
Psikoterapi Individu
Adanya gangguan kognitif, perjalanan penyakit yang kronis, dan
perawatan di rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional
sehingga pasien memerlukan ventilasi, dukungan, perbaikan mekanisme dan
mentolerir terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Terapis dapat
memberikan terapi suportif seperti mengangkat kembali harga diri pasien yang
menurun.
Psikoterapi Keluarga
Adanya hubungan antara fungsi keluarga dengan kesembuhan dari
gangguan emosional pasca-stroke. Kritikan lingkungan atau lingkungan yang
sangat terlibat dapat memperlambat penyembuhan. Perbaikan atau pengurangan
perawatan di rumah sakit tergantung dari kemampuan keluarga untuk
menurunkan ekspresi emosinya. Terapi keluarga merupakan komponen
perencanaan terapi yang komprehensif pada pasien gangguan emosional pasca-
stroke. Tujuan terapi keluarga adalah untuk mengurangi disfungsi tingkah laku
pada anggota keluarga dalam berhubungan dengan pasien.
3.2.4.3 Terapi Kelompok
Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi, mendorong
hubungan interpersonal. Terapi dapat memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah
laku, pemecahan masalah, mengurangi depresi dan ansietas. Suatu terapi
kelompok yang efektif ditandai dengan terbentuknya lingkungan terapeutik yang
kohesif dan berkembangnya hubungan yang saling mendukung, sehingga dapat
memberikan kesempatan perbaikan adaptasi terhadap disabilitas yang sebenarnya
dapat menimbulkan gangguan emosi.11