26 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

174 views

Category:

Art & Photos


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Page 2: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93

I

endengar teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa

sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga

kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul

Endang Widuri.

Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil

mengerutkan keningnya ia berpikir, “Aneh. Api itu terlalu besar.”

Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula.

Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara

seperti akan menggapai bintang-bintang di langit.

Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan.

Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum

lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara

kentongan di lereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.

“Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah

wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya

melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas

kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku

kembali?”

“Jangan berpikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan

Alas, “Ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan

kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”

Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin

memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu.

Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya

“Pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang terjadi.

Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena

kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora

dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”

M

Page 3: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93

Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya

mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “Aku mendahului

paman.”

“Perdilah kalian bersama-sama,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.

Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali

kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti

angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah

dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo

Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian

dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi

semakin gelap.

“Hati-hatilah Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan

Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga.

Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun

jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang

dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.

Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat.

Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi

cahayanya yang kuning lemah.

Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah

dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis

menyaput langit.

“Itulah mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di

muka perjalanannya.

Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan

Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak,

“Beri aku jalan.”

Page 4: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93

Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan

kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah

Sora berkata, “Api. Kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”

“Ya,” sahut Bantaran berteriak, “Kami mempercepat

perjalanan kami.”

Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah

Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa

mencari bela.”

Arya pun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan

Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping

mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara

telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula

ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang.

Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah

Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda

GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun

Banyu Biru.

Banyu Biru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja

membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak

segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing.

Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun

akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api.

Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan

diatasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan

dihutan-hutan peliharaan akan musnah.

Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus-

ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang

lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap

membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-

canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu,

mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang

Page 5: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93

ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu

mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.

Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta

yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda.

Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan

daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan

daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang!”

Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan

lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari-

lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata

tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-

batang ilalang.

Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti gabah dalam

tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk

menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi

petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.

“Jangan bingung!” terdengar suara Mantingan gemuruh,

“Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum

termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.”

Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah, yang sudah

bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan

menunggu api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke

daerah api itu.”

Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya.

Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti

menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar

dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih

mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat

Banyu Biru pun segera menggulung lengan baju mereka atau

melepas baju mereka samasekali. Dengan pedang, cangkul dan

apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat

antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu

Page 6: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93

sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat

ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang

panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing.

Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyu Biru sudah

mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya

Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka.

Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah

Paman kerjakan?”

Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak

didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali.

Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan

daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di

batasi.”

“Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.”

Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan

itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang

wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya

sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan

Banyu Biru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja

keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu.

Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat

Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan

pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan

anak-anak. Namun api itu menjalar terus.

Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu Biru yang lain.

Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak

sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga

mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang

pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu.

Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga,

namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah

Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Pecahkan tangki

Page 7: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93

yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan

mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya

segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”

Beberapa orang segera berlari-larian ketempat penyimpanan

air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas.

Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah

mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka

terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk

menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar,

meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk

memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa

mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus

menenaminya dengan palawija

saja. Namun apa yang harus

dilakukan sekarang ternyata

tak dapat lain dari mengalirkan

air itu ke daerah yang

terbakar.

Dengan cangkul, mereka

berusaha memecahkan tangki

batu itu. Satu-satu mereka

mendongkelnya dengan linggis

dan kapak. Alangkah lambat-

nya. Arya menjadi tidak tela-

ten. Segera ia pun berlari ke

tempat itu, sambil berteriak

nyaring ia meloncat di antara

mereka yang sedang sibuk

menyobek tangkis batu itu.

“Semua minggir. Cepat.”

Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa

harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu

itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya

Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain

Page 8: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93

diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang

tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang

menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan

kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju.

Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah

sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam

tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar

berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar

keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya

bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya

segera meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa

orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda

itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki

Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh

karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi

api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat

tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa

itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat

menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan

membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk

keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api.

Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya

meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur

untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang

sedang berkobar itu.

Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang

berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-

batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap

untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang

akan sekedar membantu mereka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula

membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan

mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa

Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap

Page 9: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93

yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak

mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo

Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari-

lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik, “Kakang,

aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak

atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak

pada tempatnya.”

“Aku berpikir demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara.

“Marilah kita lihat,” jawab Mahesa Jenar.

“Aku ikut!” tiba-tiba suara kecil menyahut dibelakang mereka.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri

tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis.

Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-

ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.

“Tenaga kami tak seberapa membantu di sini, kakang,” kata

Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran

ini.”

Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga tergesa-gesa ia

melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar,

Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat

dibelakangnya.

Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya.

Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu,

karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis

pemisah antara api dan tanah mereka.

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri

segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala

itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.

“Dari tempat itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.

Page 10: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93

“Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat.

Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat.

Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang

makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati

jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus

menyusur jalan setapak di lereng bukit.

Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas. Di ujung

nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun

sudah semakin tipis.

Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri

bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya

agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu

membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang

redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu

tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian

dan dendam sebesar bukit.

Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil

bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh

memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu

terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang.

Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku

semula. Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas

hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”

Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara

itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda

mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga,

bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.

“Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau yang datang itu

cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku binasakan di

dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?”

Page 11: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93

“Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar

masih berada di Pimingit.”

Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak. Perlahan-

lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun

meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan

siapa pun yang datang.”

Dan segera kudanya itu pun dilarikannya.

Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajamnya

melampaui mata burung alap-alap masih melihat bayangan itu

bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan

dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya

habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya

Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang

Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi

Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut

berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka

kejar pun kuda yang baik pula, sehingga jarak mereka tidak

menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo

Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.”

Kebo Kanigara terkejut. “Jangan!” jawabnya. Namun Widuri

telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang

mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia

mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun

sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan

gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan

anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu.

Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa

Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka

tidak mau buruannya kali ini terlepas.

Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil

memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan

Page 12: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93

panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja

dihadapan kuda buruannya.

Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia

berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu

telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat

berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik.

Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata

penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak

kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya

untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun sekali lagi ia

terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat

dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-

kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya

lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo

Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun

meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis.

Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia

sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh

selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu.

Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang

senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar.

Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api dikejauhan jatuh di

atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-

warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu

terdengar Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?”

Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik

senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?”

“Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa

Jenar.

Page 13: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93

Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan

musnah.”

“Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita

karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.

“Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”.

“Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.

“Ya. Semua yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka.

“Setan,” desis Widuri.

Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa pedulimu

terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku samasekali

tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah

menyaksikan pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan

anak-anak Banyu Biru menangis melolong-lolong ketakutan”.

Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah

yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng

bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.

“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.

“Perempuan dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan

melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang

bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk

menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”

Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang,

tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi

tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” katanya, “Perempuan dan

anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”

“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan

angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.

Sekali wajah itu menjadi tegang.

Page 14: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93

“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu

Biru,” kata Mahesa Jenar.

Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring,

jawabnya, “Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau

tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba

membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama

laskar Banyu Biru.”

Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar

menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu

terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui,

ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa

Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari

Lodaya.

Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,

“Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan

gadis ini?”

Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar

memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil

tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang

mencari aku, Wilis.”

“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar

karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa

pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi

Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang

berwajah tampan.”

Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata

memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa

saja sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi

Wilis, paman yang baik?”

Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu

dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar

Page 15: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93

keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah

indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari

Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila

padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat

Banyu Biru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis

yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu.

Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga

mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami

alami lagi.”

“Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah.

Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,

“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang

tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”

“Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia

sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan

terlawan.

Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepan-

jangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis

marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah,

seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari

Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi

Wilis yang mencari Paman?”

Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya

bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena

itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”

“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa

Jenar.

“Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.”

“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami ingin membawa

kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau

akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu,

Page 16: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93

tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing

yang ganas.”

“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka,

senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.

“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami tak memiliki

tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat

kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan

yang baik.”

“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa

Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-

baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila

tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk

menyimpan aku hidup-hidup.”

“Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.”

Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah

maksud kalian?”

“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.

“O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”

“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya kau tahu apa

yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah

putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak

ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain

kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”

“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka

Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal

kepala kalian satu demi satu.”

“Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”

“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.

Page 17: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93

“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan

berat. “Adakah itu keputusanmu?”

“Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku tantang kalian berempat. Atau

adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang

diri melawan aku untuk mewakili kalian?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud

Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk

melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau

kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing

berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk

bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak

cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”

Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun

Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian,

akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian.

Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian

hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti.

Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum

merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi

maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang

paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka

menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab

dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah

satu di antara kami.”

Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar

gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih

mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo

Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia

mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah

Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat

hitamnya?

Page 18: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93

Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri

sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan

sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain,

Kelabang Sayuta.

Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka

menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku

memilih lawanku.” Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung

kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil

mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.”

“Gila!” teriak Widuri lantang.

“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata

bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,”

bantah Widuri.

“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.

“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat

turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.”

“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-

lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.”

Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam.

Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan

kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu

kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka

dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya

wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi

tegang.

“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki

ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah

Ular Laut yang gila itu.”

Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di

dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan

Page 19: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93

membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara

Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan?

Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana?

Apakah kalian akan bertempur bersama?”

“Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”

“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia

melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali

hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun

kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam

tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah

menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.

“Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati

jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”

“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.”

“Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain?

Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”

Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas

punggung kudanya.

Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis, aku

akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur

hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi

istriku.”

“Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah

Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”

“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau

dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”

“Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.”

Page 20: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93

“Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai bunga yang betapapun

indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih

baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”

“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin

muak melihat wajah itu.

Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-

goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung

kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”

Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu

sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya

hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut

yang licik itu.

Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau

dapat menolak pilihan itu.”

“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung

tinggi nama perguruan Pandan Alas.”

“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,

“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit

Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”

“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan

olehnya,” jawab Wilis.

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-

umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah

berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan

dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu.

II

Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis,

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di

atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun.

Page 21: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93

Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut

senjata masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan

kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun

di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.

“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,

“Selamanya aku menghormati perempuan.”

Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai

menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng

Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan

bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia

tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu

akan mengarah. Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang

pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan

itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang

dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan

dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya,

mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang

dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak.

Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga

beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya.

Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan

ketrampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru beberapa waktu

lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya

namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya.

Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir

saja menyentuh tubuhnya.

Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti

iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera

berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia

mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam

satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan

tersenyum, “Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”

Page 22: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93

Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya

mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat

daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi

gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak,

namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi

ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian

itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia

meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat

menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan

Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar

dengan sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci

kelemahan perasaan hati seorang gadis.

Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira.

Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis

cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya.

Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat

kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu

merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin

itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau

tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat

bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara

Wilis lah yang akan mencegahnya.

Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang

meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk

meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan

manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.

Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya

ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.”

Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya.

Jawabnya “Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah

indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang

bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”

Page 23: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93

Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis.

Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun

karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur

perasaan yang tak dapat dikendalikan.

“Kalau kau berbuat

curang, aku pun tidak akan

memperdulikan perjanjian kita

lagi” sahut Mahesa Jenar, “aku

akan terjun dalam pertem-

puran.”

“Bagus,” jawab Jaka Soka

“sejak semula aku telah

mempersilahkan. Ternyata du-

gaanku benar, bahwa ajaran

Pandan Alas tidak lebih dari

pelajaran tari menari yang

hanya dapat menumbuhkan

perasaan kagum pada pena-

rinya. Apalagi penari secantik

Rara Wilis.”

“Gila,” geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah.

Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis

ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri.

Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat

kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat

surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa

tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali-

kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur

mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali

membelit hati.

Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia

mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk

Page 24: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93

mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan-

sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.

Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat

keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk

menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung

atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji.

Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya.

Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat

hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir

saja ia lupa diri.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah

keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin pegunungan terdengar

suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut

membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan.

Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin

jelas.

Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia

tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang

yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar

lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara

hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal

suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam

berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh

Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyu Biru.

Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang

Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula

itu?”

Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman

Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”

“Bagus,” sahut Mahesa Jenar, “Orang tua itu tidak terikat pada

perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah

perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak

Page 25: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93

berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang

menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu

yang menari di sini.”

“Gila. Setan. Iblis,” tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-

habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?”

“Melihat muridnya menari,” tiba-tiba terdengar suara kecil.

Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang

setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan

gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula.

Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan

perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti

seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta

sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya

kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan

perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya.

Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar,

bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang

orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena

itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.

Dengan demikian, pertempuran pun menjadi berubah. Rara

Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali

pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang

berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan

pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi

setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-

kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun

karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak

berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan

Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu

harus dibinasakan.

Page 26: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93

Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian

orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti

mengembik.”

Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak ada sangkut paut

antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan

persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang

untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan

dalam persoalan lain.”

“Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah,

“Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-

nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”

“Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri,

“Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang meng-

gairahkan?”

Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca

inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang

dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja

mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan

kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-

jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari

pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil

menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya.

Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap

kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan

menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi

lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu,

namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya

maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Demikianlah

tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara

Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur

lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya

menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah

Page 27: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93

keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar,

maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah

menganga.

Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan

sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah

senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri

tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu

melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari

matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh.

Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba

melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari

sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang

cantik.”

Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan

sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya.

Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!”

Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar

dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju.

Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang

matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang

menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya.

Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara

Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia

berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu

masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya,

“Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.” Dan ketika

setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis

memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia

meloncat berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang

mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu

terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.

Page 28: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93

“Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan

suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis

berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari

mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar

memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah-

lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak

mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang

daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat

disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar

memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-

ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke

asalmu.”

“Wilis,” bisik Mahesa Jenar.

“Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin

keras.

Mahesa Jenar sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang

disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak

dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba

menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar.”

Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia

tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-

laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan

dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya pecah

seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya

terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut.”

“Jangan takut Wilis.” Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air

sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan.

Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali

kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila

dibuatnya.”

“Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis,” jawab Mahesa

Jenar.

Page 29: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93

“Ia tidak mengejar aku?” bertanya Rara Wilis.

“Ular Laut itu telah mati,” jawab Mahesa Jenar.

“Mati?” ulang Rara Wilis. “Siapakah yang membunuhnya?”

“Kau. Pedangmu,,” jawab Mahesa Jenar.

“Oh....” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat.

Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak

menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang

Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia

tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka.

Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya.

Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu

dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah

yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar

yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu

membayang di dalam angan-angannya.

Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa.

Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan

segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun

bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-

wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang

memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya

terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular

Laut dari Nusakambangan itu.

Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia

berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya

dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa

ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika

matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu,

Page 30: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93

terdengar ia bergumam. “Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa,

namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”.

Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah

angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang

dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya

memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api

itu kakang?”

“Marilah kita kembali,” ajak Mahesa Jenar.

Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului

Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka.

Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri

berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula

seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas.

Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan

oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.

“Tidakkah kau mengalami sesuatu,” terdengar Ki Ageng

Pandan Alas bertanya kepada cucunya.

Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika

terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka

kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.

“Aku melihat semua yang terjadi di sini,” berkata Ki Ageng

Pandan Alas. “Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah

Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang

akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku

terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru

aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima

orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya

dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian

tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku

melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan

Page 31: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93

lawannya.Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang

Gula.”

“Suara eyang merdu sekali,” tiba-tiba Widuri menyela.

Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, “Lalu

bagaimana dengan api itu?”

Serentak mereka menoleh kearah api dilereng bukit. Api itu

masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan

dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat

langit.

“Api itu susut,” gumam Mahesa Jenar.

“Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu

Biru berhasil,” sahut Kebo Kanigara.

“Api itu tidak akan dapat menjalar terus,” sambung Widuri.

“Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh

Rakyat Banyu Biru itu,” sahut Mahesa Jenar.

“Marilah kita lihat,” berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan

mengambil kudaku.”

Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-

masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-

padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk

mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah

berpencar ke Banyu Biru.

Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba

berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.”

Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan

keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.”

“Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.

Page 32: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93

Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak

menjalar terus keatas. Dikejauhan masih terdengar campur baur

dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-

teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha menarik

garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api

dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-

hutan buah-buahan.

Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi

hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah

yang panas itu.

Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam

bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok

tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian

terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau

lihat orang itu?”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat

bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun

akhirnya melihat pula.

“Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.

“Pasti bukan Jaka Soka,” sahut kakeknya.

Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri

diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau

api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu

pula. Namun agaknya api itu berhenti.

“Angin tidak bertiup lagi,” desis Mahesa Jenar.

“Batang-batang ilalang itu belum kering benar,” sahut Kebo

Kanigara.

Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-

sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil

berkata, “Akan aku dekati orang itu.”

Page 33: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93

“Tetapi kalau api itu menjalar,” Wilis mencoba untuk

mencegahnya.

“Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api

itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya,” jawab Mahesa Jenar.

“Aku pergi bersamamu,” sahut Kebo Kanigara.

“Kita pergi bersama-sama,” sambung Endang Widuri.

Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain

pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian

mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik

membasahi pakaian mereka.

“Air,” teriak Widuri.

Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air.

Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.”

Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan

mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang.

Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan

garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh

mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah

mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka.

Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus

berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka

Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu

apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang

marah.

Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika

mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka

terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan

dalam dan mengenakan jubah putih.

Page 34: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93

“Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu

bergumam.

“Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan.

Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah

mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api

itu memancarkan sebuah senyum.

“Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan.

Perlahan-lahan mereka

berlima berjalan mendekati

Panembahan Ismaya. Sambil

membungkuk hormat Kebo

Kanigara menyapanya, “Sela-

mat malam, Panembahan.”

Panembahan tua itu meng-

angguk-anggukkan kepalanya.

Katanya, “Marilah Datanglah

kemari.”

Mereka berlima melangkah

lebih dekat lagi. Dan sekali lagi

mereka menekan gelora di

dalam dada mereka, ketika

mereka melihat bahwa

Panembahan Ismaya meme-

gang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan

demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja

ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-

keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga

tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di

sini.”

Page 35: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93

Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan

terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha

membantu rakyat Banyu Biru.”

“Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah

karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku tidak tahu

kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi,

apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah

daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang

mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris

ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah

berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak

membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup

mereka.”

Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka.

Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris

itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan

kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan

Yang Maha Kuasa telah memenuhinya.

“Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya

berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai

dan menjadi padam.”

“Mudah-mudahan,” sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti

demikian saja meloncat dari bibirnya.

Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya

berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera

selesai.”

Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya

api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api

telah hampir padam samasekali. Hanya merah-merah baranya

yang masih tampak memecah kepekatan malam.

Page 36: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93

Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun

tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin

suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru berteriak-

teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain

meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan

berhenti sebelum padam samasekali.”

Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di

tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menya-

rungkannya di warangkanya masing-masing.

Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan

kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke

udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun

kemudian kembali surut.

Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya

menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya.

Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu

menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api

itu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya

sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan,

Panembahan.”

“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan

Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan

Rangga Tohjaya.”

“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya

Mahesa Jenar.

“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,

“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau

seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih

harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya

Page 37: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93

Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga

dengan senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar,

pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-

mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini

kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah

Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.

“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa

Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan

Ismaya.

“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?”

tanya Mahesa Jenar pula.

“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.

“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan

keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang

waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan

merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun

aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah

ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah

kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu

yang nakal itu.”

“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.

“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.

“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo

Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan

kesalahan di istana.”

Page 38: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93

“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab

Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana

permainan yang mengasyikkan.”

“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.

Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,”

jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang

merahasiakan sesuatu.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar

adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru

yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas

sebelum mereka melihat api itu padam samasekali.

Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,

“Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak

untuk seterusnya. Banyu Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah

berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini

kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi

korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah

kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati,

hati yang setia dan teguh pada janji.”

Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia

mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-

debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis

itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.

“Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya

bersungguh- sungguh, “Sungguh aku tak mengenal kesopanan,

namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak

sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di

dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului

segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia

mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk

melamar cucu Ki Ageng.”

Page 39: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93

“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,

“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”

Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah

Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam.

Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu

berkata, “Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku

akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-

tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar

Penambahan berkata, “Setiap saat kau dapat datang kepadaku

bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat

mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu.

Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan

Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang

untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”

Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh

perasaan, “Terima kasih Panembahan.”

Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,

“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak

sekarang. Kami akan segera datang.”

“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas

sambil tertawa.

Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan

meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan

kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah

abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang

Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-

batang ilalang dan batu-batu yang terendam air.

Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti

dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain

mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau bercerita

tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak

Page 40: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93

usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali

bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di

tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa

dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain

kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang

boleh mendengarnya.”

Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,

“Baik Panembahan.”

“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”

Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia

meneruskan perjalanannya kembali.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja

berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya.

Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang

lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum

mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan

terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan.

Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati.

Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa

Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu

pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan

Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah

seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan

orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke

Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyu Biru.

Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab,

pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan

Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk

mengantarkannya.

“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,

“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”

Page 41: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93

“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian

kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih

mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.”

Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?”

“Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara.

“Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng.

“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan

Panembahan” sambung ayahnya.

Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku

belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti

kemarin.”

“Besok kita kembali ke Banyu Biru,” desak ayahnya.

“Emoh,” Widuri menggeleng lebih keras, “Aku mau tinggal di

Banyu Biru”

“Apa kepentinganmu di sini?” bertanya ayahnya.

Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu

Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini.

Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng

raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan

cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan

bintang-bintang dimalam hari?

Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan

tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh

menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia

bahwa ayahnya sedang menggodanya. Tiba-tiba wajahnya

menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-

keras

“Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang

sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun

Page 42: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93

mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula,

“apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”.

“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.

“Siapa?” desak Wilis.

“Jaka Soka,” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula

meskipun Widuri masih bersungut-sungut.

Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah

Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang

mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah

Sora.”

Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali

memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian

merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat

ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun

demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.

Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan

bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris

itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah

pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan

Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora

segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan

bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang

mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar

dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.

Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan

pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti

akan mengatakannya.

Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke

lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi

untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak

mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam

Page 43: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93

yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke

selatan menghantam bukit.

“Api telah padam,” desisnya.

Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan

hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api

itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing

bukit.

Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah

mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah

mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta

mengalirkan parit ke lereng bukit.

Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar

tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata

berhasil.”

Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,

“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”

“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.”

“Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya.

Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat turun

dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu,

berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.”

“He,” Wanamerta heran.

“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”

“He,” sekali lagi Wanamerta keheranan.

“Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar, “Di mana kakang

Gajah Sora dan Arya Salaka?”

“Di sana,” jawab Wanamerta, “Di sebelah timur”.

Page 44: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93

“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil

melangkah.

“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?”

“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.

“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu

bergumam, “O.....” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat

kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-

cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi,

bukankah Ki Ageng berada di Demak?”

“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.

“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta.

Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya.

Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur.

Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah

kembali.”

Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit tidak

terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka

suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan

itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.

Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti

arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu Biru

yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka.

Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di

samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah

Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di

antara kami.” Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu

telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk

anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali. Gajah

Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah

melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua

Page 45: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93

itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis.

Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku telah

melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku,

maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di

Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa

yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya

Angger akan kembali.”

“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora.

Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian

Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba

yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit

getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita

mereka, setia pada tanah mereka.

Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit

dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu Biru dan

gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang

sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh

kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini

mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit

pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga

mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang

terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka.

Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan

diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur

dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama,

rasa cinta kasih kepada Tuhannya.

Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja.

Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng

bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu

akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah

pula.

Page 46: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93

Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan

cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening,

sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing.

Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka

yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menye-

lenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan

Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-

Nya kepada rakyat Banyu Biru.

Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu Biru,

berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang,

berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang

lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra

Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia

melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan

mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur

kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar.

Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis

duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah

secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah

ia pergi menemui gadis itu.

“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.

Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian

wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia

menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”

“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka.

Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah

perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak

pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku

menunggu Ayah.”

Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu

perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak

Page 47: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93

mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah

mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku

datang kembali.” Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah

pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah.

Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang.

Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak

cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu

lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas.

Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceritakan beberapa

persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil

mengangguk- anggukkan kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi

jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa

pekerjaanmu sudah hampir selesai.”

“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir

selesai”

“Pada suatu saat, Anakmas....” kata Ki Ageng pula, “Aku ingin

juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan

kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti

yang Anakmas ceritakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat

wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa

lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru

sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga

masa.”

“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan

Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”

Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar

hiruk-pikuk di halaman.

“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.

Page 48: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93

“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil

melangkah keluar.

Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar.

Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun

terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian

terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir.

Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak,

terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke

Gunung Kidul?”

Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai

beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”

“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.”

“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.

“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk

sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang

Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak

bersama-sama Jaka Tingkir?”

“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga.

Tenang dan tentram.”

Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka

terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena

mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati

mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama

berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas

mereka.

Mahesa Jenar samasekali tak mengharapkan bahwa kelak

namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau

dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya

Page 49: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93

mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya.

Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah

kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah

tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus

dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan

dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan

pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa

Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.

Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyu

Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya.

Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara

masih harus menemui Mas Karebet.

Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang

cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang

cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi

Arya Salaka dan Endang Widuri.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu

terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap

meninggalkan usia mereka.

Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan

dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba

harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus

kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.

“Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri

dari Banyu Biru, “Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti

apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan

sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku

mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan

Kakang? Aku akan membawakan cerita yang paling menarik, Parta

Krama.”

Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata

Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang

Page 50: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93

kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam

hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada

saatnya.

Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian

meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.

Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun

kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya

yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk

tanah perdikan mereka.

Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai-

nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang.

Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya

tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang

dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras

hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling

bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting

tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun

kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.

III

Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru, maka

Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan

kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang

didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut

Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari

depan yang gemilang buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu

ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-

pelanggaran yang telah dibuatnya.

Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan

menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka

bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit

Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan

Page 51: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93

dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang

mendengarnya.

Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan

muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang

Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-

akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang

dirinya.

“Karebet,” kata Kebo Kanigara perlahan.

Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian

ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya,

Paman.”

“AKU telah mendengar beberapa cerita tentang dirimu

diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya.

Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah

membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan

sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat

membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah,

sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?”

Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya

berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian

mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.

“Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara.

Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan

hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, “Bukan

semata-mata salahku paman”

Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara

mendesaknya, “Apa yang terjadi?”

“Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet

terbata-bata.

Page 52: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93

“Lalu?”

“Aku pun bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet

“Hanya itu?”

Karebet mengangguk, “Ya.”

Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya

itu?”

“Oh. Tidak Paman,” sahut Karebet cepat-cepat.

“Lalu?”

“Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula-

mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan

kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan

tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih

dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.”

“Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”

Karebet mengangguk.

“Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?”

Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara

mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya. Tetapi bukan

maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali

kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang

tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang

dilakukan di luar keputren.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia

mempercayai sebagai cerita kemenakannya. Namun ia tahu pula

sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata

pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami

itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku

dipindahkannya.”

Page 53: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93

“Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada

Sultan?”

“Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga

yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?”

“Tumenggung Prabasemi.”

Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya.

Katanya, “Apakah kepentingannya?”

Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam

suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab

pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceritakannya apa saja

yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya.

Bahkan cerita itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan

hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.

“Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat

sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik-

baik?”

“Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang

Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia

cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang

perwira Tamtama yang gagah perkasa.”

“Apa yang sudah dilakukannya?”

Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat

peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa-

peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi

peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.

Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum

diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan

getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,

Page 54: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93

masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu

kedalam lingkaran pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada

suatu saat bertemu dengan puteri Sultan yang cantik itu.

Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang paling

menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang masih

sangat muda itu, seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.

“Karebet,” kata Tumenggung Prabasemi, “Kau adalah anak

muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah

seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang

bertebaran disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga

dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar

dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah

salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung

dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah

mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata

peraturan para tamtama.”

Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang akan

dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia menunggu

saja sampai Tumenggung itu berkata, “Karebet. Adalah aneh,

kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat

wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah

melihatnya. Namun sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan

kemudian mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi.

Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang

wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi

silau karenanya.”

Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang

puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun apabila pujian itu

keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas Karebet itu

terasa seakan-akan meronta.

Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula,

“Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-

Page 55: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93

benar ingin mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk dapat

memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku dapat

memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri

Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”

Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak

menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu,

“Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?”

Dengan kaku Karebet

menganggukkan kepalanya,

jawabnya, “Ya Ki Tumeng-

gung. Aku pernah melihatnya.”

Tumenggung Prabasemi

mengangguk sambil

tersenyum, “Bagaimana

menurut pendapatmu?”

“Tak ada kesan apa pun

padaku, Ki Tumenggung.”

Tumenggung itu tertawa.

Katanya, “Alangkah bodohnya

kau Karebet. Tetapi tak

apalah. Mungkin tangkapanmu

lebih baik daripada aku. Atau

aku memang sudah betul-betul

gila.” Kemudian setelah diam sesaat ia berkata, “Apakah kau dapat

menolong aku?”

Karebet mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang

harus aku lakukan?”

“Karebet....” kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu, “Kalau

sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di

muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka

Page 56: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93

katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah

sujudnya untuk putri.”

Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun

kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya,

“Hanya itu saja?”

“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung

Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”

Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian

jawabnya, “Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya,

apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia

tertawa, “Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui

keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika

kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu

kepadaku.”

Mas Karebet tersenyum. Katanya, “Aku memang bodoh. Tetapi

aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu

maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”

Prabasemi tersenyum, “Itulah. Mungkin aku benar-benar

sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang

Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah

Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang

keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu

menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman

putri itu?”

“Mudah-mudahan,” jawab Karebet, “Dan Tumenggung akan

mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”

Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya.

Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan ia

mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari

Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang

Page 57: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93

sakti. Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin

melihat wajah perwira yang sakti itu?.

Tetapi, ternyata yang dipesannya adalah seorang anak muda

yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu menuruti

perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh. Demikianlah

beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet,

“Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”

Mas Karebet tersenyum, jawabnya, “Sudah, Ki Tumenggung.”

“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.

“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.

“Untuk apa?”

“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?”

sahut Karebet.

“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi.

“Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?”

Karebet mengangguk. “Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet.

“Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”

“Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa, “Kenapa?”

“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet, “Putri itu

hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,

“Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah

yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”

“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.

“Lembu, kerbau, uang atau apa?”

“Baik. Baik Ki Tumenggung,” jawab Karebet.

Page 58: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93

Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang

kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata,

“Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”

“Memijit?” bertanya Prabasemi.

“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” berkata

Karebet.

“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan

itu?”

“Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka

putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata

putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren

bersama dua orang embannya.”

“Kau sampaikan pesan itu?”

Karebet menggeleng. “Tidak, Ki Tumenggung.”

“Gila!” teriaknya, “Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet?

Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”

Karebet hanya tersenyum saja. Katanya, “Apakah Ki

Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu

mendengar?”

“Jangan. Jangan,” potongnya.

“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet, “Lain kali akan aku

coba.”

Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi

dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya. Maka

dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata, “Bagaimanakah dengan

pesan itu Karebet?”

Page 59: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93

Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-

lahan ia berkata, “Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar

dapat bertemu dengan putri.”

“Ha?” sahut Prabasemi, “Kau sampaikan pesan itu?”

“Ya,” jawab Karebet.

“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi

kenapa kau bersedih?”

“Aku ditamparnya,” sahut Karebet.

“Siapa yang menampar?”

“Putri.”

“Benar?”

“Ya.”

“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah, “Kau berkata

sebenarnya?”

“Ya.”

“Lalu apa yang kau lakukan?”

“Aku hampir saja membalasnya.”

“He?” teriak Prabasemi, “Kau benar-benar gila. Apakah dengan

demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan

hukuman mati?”

“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”

“Lalu apa yang kau lakukan?”

“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku

sampaikan itu.”

“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.

Page 60: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93

“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku

sampaikan itu.”

“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.

“Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.”

“He?” Prabasemi semakin terkejut, “Putri minta maaf

kepadamu?”

“Ya,” sahut Karebet, “Dan putri memberikan pesan pula untuk

Ki Tumenggung.”

“Jadi putri kenal aku?” tanya Prabasemi.

Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.

“Oh,” katanya, “Apakah putri belum pernah mendengar nama

Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?”

Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya, “Putri menyangka

bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara

Manggala yang gemuk bulat.”

“Setan!” desis Prabasemi, Katanya, “perwira itu bernama

Gajah Alit.”

“Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana?

Tanya putri itu.” Karebet berkata seterusnya.

“Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?”

“Mungkin,” sahut Karebet.

“Apakah kau tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari

kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau Manggala

Sraja atau yang lain-lain?”

“Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah mengatakannya. Dan

putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya. Melupakan

Page 61: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93

putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan menginjak masa

perkawinannya?”

“Bohong!” bentak Tumenggung itu, “Putri itu bohong, atau kau

yang bohong?”

“Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar pernah

menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak percaya, inilah,

aku dapat membuktikannya.”

Ki Tumenggung Prabasemi menarik keningnya. Ia melihat

Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Kemudian

ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan Karebet

yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang

pahit. Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan

hampir saja jiwanya menjadi korban pula karenanya.

Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan Karebet

tergenggam sekuntum bunga yang telah layu.

Tumenggung itu segera mengetahui maksud mas Karebet. Ia

tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu pasti bahwa Karebet

mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih

daripada setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu

menjadi marah. Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan

giginya gemeretak.

Karebet terkejut melihat akibat permainannya. Ia memang

ingin bermain-main dengan Tumenggung itu. Tetapi ia tidak

menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian parahnya.

Tumenggung yang marah itu dengan serta merta menarik

bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat karenanya.

Dengan gemetar Prabasemi berkata, “Kau menghina aku

Karebet?”

“Tidak Ki, tidak,” sahut Karebet.

Page 62: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93

Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah,

semerah darah. Katanya pula, “Aku sangka kau adalah bawahanku

yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang pertama-tama

menghina aku.”

“Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin

memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu terlalu

jauh jangkauannya” jawab Karebet.

“Persetan dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku.

Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda dari

umurku. Jangan menggurui aku.”

Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau membuat Tumenggung

itu menjadi semakin marah. Seandainya ia menjawab satu patah

kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar oleh

Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan

membalasnya. Namun untunglah bahwa Karebet berhasil

menguasai dirinya.

Sejak saat itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi.

Seandainya Karebet bukan seorang yang langsung diambil oleh

Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan kekesatuannya,

maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah

dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan

memerlukan anak itu.

Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia ingin

membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil menemui puteri

Sultan itu dan berhasil memikatnya. Tumenggung bukan pangkat

yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia telah berhak untuk

memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan

ia yakin kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya.

Juga akan dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan

menaruh perhatian akan dirinya atau tidak.

Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira yang

pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan

Page 63: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93

yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit

tak kurang saktinya. Seorang lain dari panglima pasukan Demak

yang berada di Bergota. Arya Palindih, adalah orang yang sakti.

“Tetapi apakah kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?”

katanya dalam hati

Tetapi sebagai seorang perwira yang masih muda, ia hampir

tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi bersama-sama

dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan

Demak. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum

pernah mendapat kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan

kesaktiannya masing-masing angkatan sebelumnya dan dirinya

sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan Prabasemi haus pada

kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan lapangan

permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak

pernah diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak

pernah terpikirkan olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin

namanya akan semakin menanjak keatas, merayap kesamping

nama-nama yang pernah didengar sebelumnya.

Dengan demikian Prabasemi merupakan Perwira yang

namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setia persoalan

yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan

daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan

kekerasan. Dengan dalih yang dibuat-buat, Prabasemi selalu

mengakhiri tugasnya dengan pertumpahan darah di wilayah yang

sangat kecil pun.

Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu, namun ada

yang membencinya. Karebet termasuk orang yang muak dengan

perbuatan itu. tetapi sebagai seorang yang patuh pada ketetapan

yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak

yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara

Prabasemi mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan

semua tugas yang diserahkannya pasti dapat diselesaikannya.

Page 64: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93

Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang cukup

tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan masih

belum juga surut.

Bahkan kini ia terdorong dalam satu persoalan yang lebih gila

lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah dilupakannya. Dan ia

bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis itu. Apa yang

dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang

semakin gelap.

Tetapi sementara itu

Karebet pun menjadi semakin

gila. Seperti Prabasemi yang

tersinggung oleh pokal

Karebet, maka Karebet pun

tidak mau melepaskan kesem-

patan yang telah didapatnya.

Sejak ia tahu Prabasemi

kasmaran kepada puteri

Sultan, sejak itu ia bertambah

jauh tenggelam dalam

permainan yang berbahaya.

Sebenarnya ia mengatakan

apa yang diketahuinya tentang

Prabasemi kepada puteri itu.

Namun puteri berkata kepa-

danya “Terserah kepadamu

Karebet.”

“Apakah artinya aku ini puteri,” kata Karebet. “Aku tidak lebih

dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung

sakti dari kesatuan yang sama.”

Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu

tersenyum sambil berkata, “Kalau kau mau Karebet, aku tidak

hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku akan

mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”

Page 65: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93

Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar, “Kenapa

puteri tidak mau?”

“Apakah kau menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.

“Ah,” desah Karebet. “Aku sedang berfikir, bagaimana cara

sebaik-baiknya untuk bunuh diri.”

“Kenapa bunuh diri?”

“Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin

dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan Tumenggung

Prabasemi.”

“Jangan mengigau Karebet,” potong puteri itu.

Karebet tersenyum. Kemudian katanya, “lalu bagaimana aku

harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu?”

“Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan

kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya.”

Demikianlah Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak akan

dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi segala macam

nafsu itu.

Tetapi Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa.

Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang, pakaian

dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan

beberapa pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung

itupun sia-sia. Puteri Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan

pesan itu. Dan bahkan puteri selalu berpura-pura belum pernah

mendengar nama Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi

semakin prihatin. Kadang apbila pikiran jernih datang dan bekerja

di benaknya, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya adalah

laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah itu, maka

pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya. Dan kembali

Tumenggung itu memutar otaknya.

Page 66: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93

Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa tak disangka-sangka

oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang emban yang telah

disuapnya berlari kepadanya.

“Ada apa?” bertanya Prabasemi terges-gesa, “Apakah puteri

memanggil aku?”

Emban itu menggeleng, dan Tumenggung itu pun menjadi

kecewa.

“Ki Tumenggung,” berkata emban itu terengah-engah, “Aku

tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil”

Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya sambil

bertanya menyentak, “Apa katamu?”

“Ki Tumenggung,” sahut emban itu, “seseorang telah

mendahului menyentuh hati tuan puteri....”

“He,” Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat, “Apa

katamu?”

“Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung.”

“Bohong,” teriaknya, “Aku juga pernah dibohongi demikian”

“Aku tidak bohong,” sahut emban.

“Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah

mendahului aku?”

“Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku

melihatnya sendiri.”

“Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua?”

“Anak muda itu selalu datang ke istana. Baginda sering

memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu

melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.”

“Siapa dia?”

Page 67: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93

“Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti

Ki Tumenggung.”

“Gila, siapa dia? He, siapa?” wajah Tumenggung itu menjadi

merah padam. Ia percaya kata-kata emban itu. Karena itu maka

dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak bersama-sama

di dalamnya.

Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu siapakah

nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa Baginda

sering memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-

kadang anak muda itu diajak bermain panah, membidik sasaran-

sasaran yang aneh-aneh. Dan bahkan bermain kecerdasan.

Macanan atau mul-mulan dengan asyiknya.

Mendengar keterangan emban itu, menggigillah tubuh

Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya,

“Apakah anak muda itu masih sangat muda ?”

“Ya,” jawab emban itu.

“Bertubuh tegap, berdada bidang?”

“Ya.”

“Selalu tersenyum?”

“Ya.”

“Gila. Setan itu bernama Karebet? Kau dengar?” bentak

Prabasemi. Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya.

Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia akan

berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban itu.

Emban yang menggigil ketakutan.

“Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren?”

“Ya.” Emban itu mengangguk.

“Aku akan ke sana. Aku bunuh anak itu,” teriak Prabasemi.

Page 68: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93

“Jangan Tuan,” pinta emban itu.

“Kenapa?”

“Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara

Manggala seperti anak muda itu?”

Prabasemi menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang apa

pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti Karebet. Kalau

ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara Manggala.

Sedang kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap

kaputren beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan

diri. Dan apabila tidak ditemui bukti, maka Baginda pasti akan

murka.

Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu itu seolah-olah

sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah

mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya

bisa menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan

gemetar ia berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil

mengumpat, “Setan, Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.”

Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti mondar-

mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan tiba-tiba

Tumenggung Prabasemi tersenyum.

Emban yang ketakutan itu pun terkejut melihat perubahan

sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia tidak berani bertanya

sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah ketika kemudian

Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang

duduk sambil menundukkan wajahnya.

“Emban....” katanya, “Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu

menuruti kehendak sendiri.”

Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat

wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung

pertanyaan.

Page 69: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93

“Namun putri itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak akan

dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu Emban, apakah tidak

sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri apabila kau

melihat anak muda itu datang kembali?”

Emban menggeleng, “Aku tidak berani tuan. Dan dengan

demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin putri akan

dihukum didalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat

dihukum mati.”

Prabasemi tertawa. Katanya, “Bukankah itu hukuman yang

wajar?”

“Putri akan berduka.”

Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya, “Jadi apakah

sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan

demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua

anak-anak muda itu terdorong kedalam keadaan yang makin

parah?”

Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang benar.

Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam perbuatan yang lebih

sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat hukuman pula beserta

seluruh emban yang lain.

Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban itu terkejut ketika

dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang berkilat-kilat.

Dengan mulut ternganga ia menengadahkan wajahnya menatap

wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya,

“Pakailah, supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak

lupa nasehatku. Sebaiknya kau laporkan peristiwa-peristiwa

semacam itu. Bukankah tugasmu momong Gusti Putri? Dan bagiku

Gustri Putri itu samasekali sudah tidak menarik lagi sejak aku

melihat kau.”

“Ah,” desis emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga akan

kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginan

Page 70: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93

untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu. Sehingga

sambil mengerling emban itu berkata, “Tuan jangan berolok-olok.”

Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Kenapa aku berolok-olok. Aku

baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah melihat kau

dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena kau sering

datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada

padamu. Tingkah lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.”

“Ah,” wajah emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia

menjadi semakin berbangga.

“Nah, lakukanlah pesanku itu,” berkata Prabasemi kemudian

perlahan-lahan, “kau akan mendapat hadiah daripadaku. Lebih

banyak dari yang sudah aku berikan. Biarlah seandainya putri itu

mendapat pingitan yang lebih keras dari ibunda. Aku tidak peduli

lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit pula.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji

untuk melakukannya, “Ya Ki Tumenggung, akan aku beritahukan

kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang kembali.”

“Bagus, bagus,” sahut Prabasemi, “Jangan tanggung-tanggung

Rumah ini masih kosong.”

Dan emban itu pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia

memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah

Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat

rumah tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir,

geledek-geledek berukir dan tirai-tirai sutera di muka sentong

tengah dan kedua sentong samping. Bahkan tiang-tiangnya pun

diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna sungging yang

indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.

Prabasemi membiarkan emban itu berangan-angan. Namun

hati Tumenggung itu mengumpat, “Gila pula agaknya emban ini

seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi

menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan

Page 71: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93

sebuah senyum. Dan senyumnya itu telah mendebarkan hati

emban yang mabuk kesenangan.

IV

Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih tersenyum-senyum

sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa cincinnya itu

memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan itu,” Prabasemi

bergumam sendiri, “Maka umur Karebet itu menjadi amat

pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila daripadaku.”

Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa

darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia selalu

dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada Karebet seakan-

akan menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke mana-

mana. Dibawanya Karebet itu ke tempat-tempat yang disukainya.

Ke pasar dan ke warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli

kain baru untuk dirinya, maka dibelikannya pula Mas Karebet.

Namun otak Mas Karebet bukan otak yang tumpul. Ia

merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mula-mula

Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap itu

berubah. Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya

dengan pasti, apakah maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan

ternyata Mas Karebet meraba ke arah yang tidak tepat. Ia

menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang menyuapnya supaya

ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti Putri.

Karena itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya, bahwa

seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren, sepasang

mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri bungsu itu tak

pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu,

apalagi Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan

bersembunyi-sembunyi.

Akhirnya datang pula saat itu.

Page 72: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93

Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan bintang-

bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam pelukan

awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di

langit yang gelap, disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin

yang dingin bertiup semakin lama semakin kencang.

Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke pintu

gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang sedang

bertugas menyapanya, “He, berhenti. Siapa?”

Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia

menjawab, “Kaki Baginda terkilir.”

“Oh, kau Karebet?” tanya prajurit itu.

Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki pintu

gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.

“Karebet,” gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya,

“Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti

putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya. Ada-ada saja.”

“Kenapa bukan aku?” kelakar orang bertombak itu.

“Aku juga sedang belajar, meloncat mundur sambil

berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu berbuat

demikian di halaman masjid, maka Karebet itu dipungutnya?”

“Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang

lain, “Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.”

Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga-jaga di gardu itu

pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang memegang dadu

melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya, “Alangkah

dinginnya.”

“Tidurlah,” sahut yang lain, “Giliranmu adalah seperempat

malam terakhir.”

Page 73: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93

Orang itu tidak menjawab, namun ia merangkak kesudut. Dan

kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang lain yang

sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas yang akan

mendapat giliran pada perempat malam terakhir.

Karebet pun kemudian memasuki halaman dalam istana.

Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis kebilik Baginda. Namun

ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur nyenyak dimalam

yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun kemudian

seakan-akan lenyap dibawah bayang-bayang pepohonan. Tak

seorang pun yang melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di

antara tananam di pertamanan itu menuju ke sisi halaman yang

lain. Kaputren.

Angin malam masih bertiup menggoyangkan daun-daunan dan

menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering. Lamat-lamat di

antara desir angin terdengarlah suara burung bence. Perlahan-

lahan dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya.

Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri.

Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu kaputren. Sesaat

kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang berkerudung kain

menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke samping dinding

kaputren itu.

“Ah kau,” desis gadis itu.

Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah Tuan Putri sudah tidur?”

“Belum,” jawab putri itu, “Aku menunggumu.”

Putri itu pun kemudian duduk di tanah di samping Karebet, di

balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat masih menyambar

di langit dan guruh masih menggelegar satu-satu. Namun kedua

anak-anak muda itu samasekali telah tenggelam dalam keasyikan,

sehingga tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh

Guntur.

Page 74: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93

Di sudut lain, emban yang mengenakan cincin emas di jari-

jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding, tampak

tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin

menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang

lebih buruk. Namun kemudian ia bahkan mengharap keadaan

akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap Sultan menjadi

sangat murka kepada putrinya, dan kemudian mengenakan

pingitan yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki

Tumenggung Prabasemi pasti akan melupakannya. Melupakan

putri itu. Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya

menjadi lebih luas lagi? Istri Tumenggung adalah impian yang

sangat menyenangkan. Selagi kawan-kawannya masih tetap

menjadi emban, dan satu dua akan diambil oleh jajar atau

setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah menjadi

seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama.

Kini kesempatan itu terbuka baginya. Karena itu, dengan

tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian dengan

tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju bilik

Permaisuri.

Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi ragu-

ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah akibatnya

tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun

kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi, “Apakah

dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila

kedua anak-anak muda itu terdorong ke dalam keadaan yang

semakin parah?”

Ketika emban itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut bukan

buatan ketika terasa seseorang menggapit pundaknya. Ketika ia

menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri seorang emban

Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya, “He, kenapa

kau malam-malam, berada di sini?”

“Oh,” jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas

tergagap. “Tidak apa-apa.”

Page 75: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93

“Tidak apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran.

Emban bercincin emas itu diam sesaat. Dicobanya untuk

mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan oleh

benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri

itu mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya, “Ah.

Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.”

Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya,

“Kenapa? Apakah Putri sakit?”

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak,” katanya.

“Lalu kenapa?”

“Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri.”

Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya,

“Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau

sampaikah hari ini?”

“Ya. Sedemikian pentingnya.”

“Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?”

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” jawabnya,

“Persoalannya sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”

Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan

ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang emban bercincin emas

itu mengikutinya.

“Belum lama Permaisuri tidur,” kata emban itu, “Baru saja

Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang

penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri.”

“Soal ini pun tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin

emas.

Akhirnya emban Permaisuri itu pun mengetuk pintu perlahan-

lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun apabila

Page 76: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93

persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan

murka.

Sesaat kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu,

“Siapa?”

“Hamba, Gusti.”

“Emban?”

“Hamba, Gusti.”

“Kau mengetuk pintu?”

“Hamba, Gusti.”

“Ada sesuatu?”

“Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap.”

“Oh.”

Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu.

Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan Permaisuri

itu telah berdiri di ambang pintu.

“Siapakah yang ingin menghadap?”

Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata,

“Hamba Gusti.” Namun terasa suaranya bergetar.

“Ada apakah? Apakah Putri sakit?”

“Tidak Gusti,” sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin

gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata, “Gusti, Putri tidak

sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan

tersumbat di kerongkongan.

“Sedang apa?” desak permaisuri.

Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban yang

bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar ketika

Page 77: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93

Permaisuri bertanya, “Apakah persoalan ini sangat penting

sehingga kau harus menghadap malam ini?”

“Hamba, Gusti,” jawab emban itu.

“Membawa pesan Putri?”

Emban itu menggeleng, “Tidak Gusti.”

Permaisuri menjadi heran. Katanya, “Lalu apakah

keperluanmu?”

“Gusti....” jawab emban itu tergagap. Sedang emban

permaisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah kawannya ini?

Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan? Dan

terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-

kata yang patah-patah. “Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi

sesungguhnyalah bahwa hamba mengatakannya yang

sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendu.”

Emban itu berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin

terengah-engah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin

heran.

“Tuanku,” kata emban itu pula, “Ampunkanlah hamba.

Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas

Tuan Putri di kaputeren.”

“Apa yang akan kau katakan, Emban,” tanya Permaisuri.

“Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk

mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”

“Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”

“Oh.” Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur

perasaannya, baru kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Gusti, di

keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”

Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu.

Maka katanya, “Menerima tamu, katamu? Siapakah tamunya?”

Page 78: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93

“Itulah yang menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu,

“Tamunya adalah seorang pria.”

Kali ini Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala.

Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan tubuhnyalah yang

menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya tiang-tiang

pintu bilik itu.

Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata, “Emban,

apakah katamu benar?”

“Ya, Gusti.”

“Kau pernah melihat sendiri?”

“Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu

hamba segera menghadap kemari.”

Putri itu kini mengigil seperti orang yang sedang sakit.

Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk ke dalam

biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya.

Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya, “Emban,

aku akan menghadap Baginda.”

Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu tak

diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan perlahan-lahan ia

berbisik, “Apakah kau benar-benar melihatnya?”

Emban bercincin emas itu mengangguk. “Ya,” jawabnya.

Emban Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak pernah

terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan mengalami masa-masa

yang demikian mengerikan. Apakah kata Baginda nanti? Emban

Permaisuri itu menjadi semakin menggigil karenanya. Sekali lagi

ia berbisik, “Apakah kau pernah memperingatkannya, atau

setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?”

Emban bercincin emas itu menggeleng. “Belum, aku tidak

berani.”

Page 79: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93

“Kenapa?” desak emban Permaisuri, “Bukankah kau

pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi

peringatan kepada Putri apabila pada suatu saat Putri mengalami

kegoncangan keseimbangan. Sebab bagaimanapun juga Putri itu

pun manusia yang sering khilaf seperti kita.”

Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban

permaisuri itu berkata, “Sekarang persoalan itu akan menjadikan

seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak orang yang

mengetahuinya.”

Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian

kepalanya ditundukkannya.

Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-

gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan kemudian berkata,

“Kalian berdua ikut aku.”

Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti

Permaisuri ke bilik raja.

Di halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda Nara

Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di tangan,

terdengar ia menyapa, “Siapa?”

Emban Permaisuri menjawab, “Permaisuri.”

“Oh!” Peronda itu pun kemudian membungkukkan badannya

dalam-dalam. Namun dari sorot matanya terpancar pula beberapa

pertanyaan di dalam dadanya. Kenapa Permaisuri memerlukan

menghadap Baginda di malam yang dingin ini?

Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan

pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan

Baginda.

Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut bukan buatan. Berita

itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya. Namun Baginda

adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi bermacam-

macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan

Page 80: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93

mengkhawatirkan. Karena itu Baginda dapat lebih cepat

menguasai perasaannya. Maka dengan tenang Baginda itu

bertanya, “Kau melihatnya sendiri, Emban?”

“Hamba, Tuanku.”

Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kemudian katanya, “Aku ingin membuktikannya.”

Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah

Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk

menangkap mereka?”

Baginda menggeleng lemah, katanya, “Tidak. Aku ingin

menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut serta

menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di

seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan dapat melindungi

nama Putri itu?”

“Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.

“Aku sendiri akan melihatnya.”

“Sendiri?” Permaisuri itu terkejut.

Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya. Kalau aku

dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi

sangat terbatas.”

“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Putri.

“Hanya terhadap para penjahat aku akan menyerahkan

persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini sangat

berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya pula.”

“Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti para

penjahat?”

Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,

“Mungkin. Karena itu aku bersenjata.”

Page 81: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93

Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi. Baginda

tidak bersedia memanggil, meskipun hanya seorang perwira Nara

Manggala yang sedang bertugas malam itu. “Aku tidak dapat

membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari

mereka mengetahui peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini

segera akan tersebar.”

“Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk

merahasiakannya.”

“Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka rahasia

itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang emban ini sudah cukup

banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini sekuat-

kuatnya.”

Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda itu

kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk keris

terselip di pinggangnya. Kemudian katanya sambil tersenyum

untuk menenangkan hati Permaisuri, “Aku adalah seorang

Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya

keadaan memaksa?”

Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.

“Aku melalui pintu butulan,” desis Baginda. “Kalian bertiga

tetap di sini.”

Baginda itu pun kemudian keluar dari bilik peraduannya lewat

pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian kerajaan. Dengan

hati-hati Baginda menyelinap di antara batang-batang perdu di

petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah

mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu

berada.

Sebenarnya Baginda bukan seorang raja yang hanya dapat

duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benar-benar seorang

Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di garis paling

depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya.

Page 82: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93

Karena itu, Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-

perintah untuk bertempur, namun Baginda sendiri selalu

mengalaminya.

Demikianlah malam itu Baginda pun mampu melakukan

pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati

tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang

laki-laki. Ketika Baginda mendengar suara laki-laki itu meskipun

perlahan-lahan, maka bergetarlah dada Baginda.

“Gila, anak itu,” desahnya di dalam hati. Langsung Baginda

dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang bercakap-cakap

dengan putrinya itu.

Karena itu maka segera Baginda mendekati mereka. Setapak

demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi telinga Karebet

adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dan

tiba-tiba pula ia berbisik, “Seseorang mendekati kami.”

Putri yang belum mendengar sesuatu itu menjadi heran.

Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak ada yang

dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun menjadi

gelisah. Desisnya, “Kau berkata sebenarnya?”

Karebet mengangguk.

Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari telinga

Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan jelas, meskipun

betapa lirihnya Karebet berbisik.

Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah

mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan didalam hatinya,

“Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.” Dan

sejalan dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang

dihadapinya adalah seorang anak muda yang sejak dilihatnya

untuk pertama kali, telah sangat menarik perhatiannya.

Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik, “Masuklah

ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”

Page 83: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93

Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar

seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya. Dan tiba-

tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia berkata,

“Karebet, apakah benar kau mendengar seseorang mendekat

kami?”

Karebet mengangguk.

“Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?”

“Tidak Putri,” sahut Karebet, “Masuklah. Aku akan pergi ke bilik

Sultan.”

“Untuk apa?”

“Aku akan keluar dari arah itu.”

“Aku takut, Karebet” desah Putri itu.

“Jangan takut,” hibur Karebet, “Biarlah aku sendiri berusaha

menyelesaikannya.”

Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan. “Aku takut,

Karebet.”

“Jangan Putri,” desak Karebet, “Sekarang masuklah. Biarlah

aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan Putri masih

di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”

Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi

Karebet itu mendesaknya, “Pergilah Putri.”

Putri itu pun kemudian beringsut dan perlahan-lahan berdiri.

Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam biliknya. Tetapi

alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah

meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di hadapannya,

sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil.

Karebet pun tidak kalah terkejutnya. Dengan serta merta ia

meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba mengamat-

Page 84: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93

amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya dengan

Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap,

bertolak pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar

menutupi sebagian wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap

itu Karebet tidak segera dapat mengatahuinya, siapakah yang

telah mengganggunya itu.

Orang itu masih berdiri bertolak pinggang ketika Karebet

melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu tertawa

sambil berkata parau, “Apakah yang telah kalian lakukan di sini?”

Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet

melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?”

Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab,

“Apakah perlumu mengenal namaku?”

Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak

ia maju sambil berkata “jangan berbuat gila. Kutanya siapa engkau

dan apa maksudmu?”

Sekali lagi Karebet mendengar orang itu tertawa lirih. Dari

balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu Karebet

mendengar jawabannya, “Katakanlah juga kepadaku, apakah

keperluanmu datang kemari.”

Karebet benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap

orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian Karebet samasekali

tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya Karebet harus menghapuskan

kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman, kemudian

apabila orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat

mengingkarinya. Tetapi dihalaman itu apabila ada orang lain lagi

yang mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu maka sudah

tentu ia tidak akan dapat mengingkari lagi.

Karena itu Karebet pun menggeram, “Jangan membuat

persoalan di sini. Ikuti aku supaya kau selamat.”

Page 85: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93

“Aneh,” desisi orang itu, “Kalau aku selamat dengan menuruti

perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur saja aku

dirumah. Aku datang kemari, karena kau ada disini. Sekarang

katakan kepadaku, apa yang kau lakukan di sini.”

Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia

maju. Dengan geram ia berkata, “Ikuti aku.”

Namun jawab orang itu mengejutkan pula, “Tundukkan

kepalamu dan berjongkok di hadapanku. Aku akan menang-

kapmu.”

“Persetan,” desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang yang

datang itu benar-benar berbahaya baginya. Sudah tentu ia bukan

orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia menyangka bahwa orang

itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin benar,

namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang

didadanya menyala segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak

dapat berbuat lain kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang

dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya lagi. Dengan marahnya

Kareber berkata, “Bagus kalau kau berkeras menangkap aku,

cobalah.”

Sekali lagi orang itu berkata, “Jangan melawan. Sia-sia.”

“Mulailah,” potong Karebet. “Aku akan mempertahankan

diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”

“Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi

nyawanya sendiri. Menyerahlah.”

“Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan

melemparmu keluar dinding halaman.”

“Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau

dapat keluar dari halaman istana.”

Kini Karebet tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia

menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya

Page 86: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93

hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan bintang-bintang

di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali lagi maju melangkah

sambil menggeram, “Benar-benar kau menghendaki kekerasan.”

Orang itu mengangguk, katanya, “Ya dengan kekerasan aku

ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”

Karebet tidak menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat

menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan

serangannya yang pertama supaya ia segera dapat menyingkir.

namun Karebet menjadi kecewa. Dengan tangkasnya orang itu

menghindari serangan Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak

terduga orang itu menggeliat dan kaki kirinya berputar setengah

lingkaran menyambar lambungnya.

Karebet samasekali tidak menyangka, bahwa orang itu mampu

bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia samasekali tak dapat

menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan kaki itu.

Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi, maka

Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu

masih saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian

meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak

dilautan, menyentuh pantai.

Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut bukan

kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu memiliki

ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka dugaannya bahwa orang

itu adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat

Tumenggung bertempur. Ia pernah menilai ilmu Tumenggungnya.

Dan sudah pasti Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat

demikian.

Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa kali.

Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir melanda

dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri

pertempuran, maka segera ia mengetrapkan ilemu tersembunyi

Page 87: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93

didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh siapapun, apalagi

oleh Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.

Ketika serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka

Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin menundukkan

lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia memiliki

ilmu yang dahsyat itu.

Demikianlah maka berturut-turut beberapa serangan

lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan telah

menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak

berdaya melumpuhkannya.

Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar mundur.

Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan tajamnya.

Terdengar ia berdesis, “Lembu Sekilan?”

Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri

bungsu yang menggigil ketakutan, “Masuklah Putri, orang ini tidak

akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan tanpa

sepengetahuan Putri.”

Putri itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya. Terasa

seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka seakan-akan

kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga kemudian

terdengar Karebet itu mengulangi, “Masuklah Tuan Putri.”

Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya

yang telah memuncak. Dilihatnya lawan Karebet itu masih berdiri

di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi ragu-ragu untuk

bergerak.

Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah Putri

Sultan. Karebet membentaknya, “Jangan menakut-nakuti. Kaulah

yang harus berjongkok dan menyerah.”

Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa.

Katanya, “Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku sebagai

tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”

Page 88: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93

“Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,” jawabnya,

“Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat

dicari di tepi-tepi parit.”

Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan

adalah ilmu yang jarang- jarang dimiliki oleh siapa pun. Bahkan

orang-orang dari Karang Tumaritis pernah mengagumi ilmu itu,

pada saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang Gunungkidul.

Tetapi tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya.

Karena itu, maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap

pengekangan dirinya. Dengan segenap ilmu yang ada padanya,

dengan kemarahan yang memuncak, maka disergapnya orang

yang telah menghinanya.

Kini sekali lagi pertempuran seorang lawan seorang itu

berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka Mas

Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya.

Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya,

karena lambaran ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun

lincah bukan buatan. Betapa pun Karebet mengerahkan segenap

kemampuannya, namun orang itu pun sangat sukar untuk

dikenainya.

Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah. Namun

kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di hatinya.

Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat

mereka, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari mala

petaka. Karena itu selagi sempat ia berkata sambil bertempur,

“Tuan Putri masuklah. Tinggalkan tempat ini.”

Namun suaranya itu disahut oleh lawannya, “Tuan Putri

apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai

pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa

pesan sebelum ia mengakhiri hidupnya.”

“Jangan mengigau,” potong Karebet dengan marahnya. Dan

darahnya serasa mendidih ketika didengarnya orang itu tertawa

Page 89: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93

berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya. Karena

itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya.

Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-

gulung seperti angin prahara dipadang-padang rumput.

Namun lawannya benar-benar selincah sikatan, selicin belut.

Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun sentuhan

sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat menyakiti tubuh

lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh

lawannya itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet

berhasil menangkap tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak

dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya itu dengan mudah,

meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam.

Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu

menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan tenaganya

melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari

tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin. Karena itu

dengan geramnya ia mendesis, “Aji Welut Putih.”

Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apa-

apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat. Keduanya

seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya. Dengan

demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan

berakhir.

Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia berusaha

memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan,

kekuatan dan segenap tenaganya. Namun orang itupun selalu

mengimbanginya.

Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana sendiri

sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang dipungutnya

dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan yang dahsyat.

Baginda itu menjadis angat terkejut ketika menyadari Karebet

memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu

yang sudah jarang diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat,

Page 90: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93

bahwa ilmu itu tersembunyi didalam tubuh anak itu. Karena itu

Baginda menjadi sangat menyesal atas peristiwa itu. Seandainya,

Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum

diijinkannya, maka kesempatan anak itu didalam jabatan

keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri perkelahian

dengan Karebet, Baginda segera menilai kemampuannya.

Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau

Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan

datang sangatlah luas bagi Karebet. Namun sayang bahwa anak

muda itu kini ditemukan di keputren.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing

mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang

mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari

orang kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi

semakin cemas. Sehingga akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu

mengalahkannya, meskipun ia menyangka, bahwa dalam keadaan

demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula.

Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan

lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin lincah,

dan keringatnya semakin banyak, sehingga tubuhnya menjadi

semakin licin pula.

Sebenarnyalah Bagindapun sedang berusaha untuk

mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang

mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya,

sebagaimanapun ia harus memiliki berbagai macam bekal dalam

perjalanannya sebagai seorang raja dan sekaligus Senapati

Perang.

Demikianlah akhirnya, maka Karebet merasakan tekanan

lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan

didadanyapun semakin melonjak. Ia menajdi heran, bahwa tiba-

tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang mampu

menghadapi ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun Karebet

mencoba mengingat nama semua yang pernah dikenalnya. Para

Page 91: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93

Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama dan

beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron,

Danapati, Palindih dan yang lain-lain. Namun seandainya mereka,

apakah dengan mudahnya melawanLembu Sekilan, tanpa

melepaskan ilmu-ilmu mereka yang lain? Ternyata orang ini

mampu. Bukan saja dengan ilmu Welut Putih, namun serangan

tanpa dilambari ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan Bahkan

kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk

dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun

Karebet merasa, ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan

ilmunya.

Karena itupun Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti orang

luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba mencari nama

orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan hitam hampir

semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah

seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?,

atau mungkin justru pamannya yang sedang mencoba

mengujinya? Paman Kebo Kanigara? Namun akhirnya Karebetpun

pasti bahwa orang itu bukan Kebo Kanigara.

Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya. Ia

tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak punya

pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu. Kemudian

menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang

masuk akal, tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat

kepala. Meskipun seandainya orang itu adalah perwira Nara

Manggala sekalipun namun ia tidak dalam kelengkapan pakaian

Nara Manggala.

Karena itu Karebet yang sudah kehabisan akal itu dengan serta

merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia mempersiapkan diri

dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dipelajari dalam

suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang gurupun. Dan

dinamainya sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang

ditemukan dalam daerah penggembalaan, apabila para gembala

sedang berebut asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut

Page 92: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93

dahulu mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu

menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya, sehingga

hampir segenap buahnya rontok karenanya. Meskipun demikian

belum pernah seorang temanpun melihat perbuatannya. Mereka

hanya menyangka bahwa angin pusaran telah merontokkan pohon

asam itu.

Ilmu itu pun pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan

kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja mendasarkan pada

kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu

meremas tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya

sehingga tulamg belakangnya patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-

Rog Asem. Ilmu dari seorang anak gembala yang aneh bernama

Mas Karebet.

Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain. Betapa pun

licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa Rog-Rog Asem akan

dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu apabila

tersentuh Aji Rog-Rog Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan

lumpuh.

Sultan yang telah merasakan tekanan tekanannya berhasil,

menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia melihat anak

itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan

garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang,

menekuk kedua lututnya, siap melontarkan sebuah serangan.

Baginda yang telah kenyang makan garam perkelahian dan

pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu telah

siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas.

Ia belum dapat menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki

Karebet itu. Kalau kemudian baginda melawan ilmu itu dengan

ilmunya yang didasari dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-

kira yang akan terjadi? Seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan

ilmu Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka

terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin

membunuhnya. Membunuh anak sangat menarik perhatiannya itu.

Page 93: 26 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93

Karena itu Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya yang

dahsyat yang dinamainya Bajra Geni. Tetapi Baginda segera mateg

ilmunya yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut perhitungan

Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik

usianya, serta kemungkinan-kemungkinan yang lain sesuai

dengan tingkat ilmu Lembu Sekilan yang dimilikinya, maka ilmu

itupun belum pasti akan berhasil meruntuhkan oertahanan ilmu

Tameng Waja.

Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet

meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem, justru

baginda berdiri tegak bertolak pinggang. Dengan wajahnya yang

tegang, Baginda mengetrapkan ilmunya Aji Tameng Waja dalam

puncak kekuatannya.

Sesaat kemudian terjadilah benturan dahsyat. Benturan dari

ilmu Mas Karebet yang disebutnya Rog-Rog-Asem menghantam

benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja.

Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman dan pengetahuan

dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut mengalami hantaman Aji

Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang anak muda yang

pantas menjadi anaknya. Terasa didada Baginda sebuah benturan

yang seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu dengan

mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong beberapa

langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak

dapat menguasai keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung

akhirnya Baginda berhasil tegak dalam keadaan keseimbangan

yang mantap.