26 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93
I
endengar teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa
sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga
kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul
Endang Widuri.
Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil
mengerutkan keningnya ia berpikir, “Aneh. Api itu terlalu besar.”
Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula.
Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara
seperti akan menggapai bintang-bintang di langit.
Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan.
Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum
lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara
kentongan di lereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.
“Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah
wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya
melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas
kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku
kembali?”
“Jangan berpikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan
Alas, “Ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan
kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”
Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin
memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu.
Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya
“Pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang terjadi.
Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena
kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora
dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93
Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya
mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “Aku mendahului
paman.”
“Perdilah kalian bersama-sama,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali
kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti
angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah
dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian
dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi
semakin gelap.
“Hati-hatilah Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan
Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga.
Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun
jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang
dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.
Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat.
Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi
cahayanya yang kuning lemah.
Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah
dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis
menyaput langit.
“Itulah mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di
muka perjalanannya.
Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan
Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak,
“Beri aku jalan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93
Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan
kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah
Sora berkata, “Api. Kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”
“Ya,” sahut Bantaran berteriak, “Kami mempercepat
perjalanan kami.”
Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah
Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa
mencari bela.”
Arya pun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan
Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping
mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara
telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula
ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang.
Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah
Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda
GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun
Banyu Biru.
Banyu Biru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja
membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak
segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing.
Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun
akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api.
Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan
diatasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan
dihutan-hutan peliharaan akan musnah.
Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus-
ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang
lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap
membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-
canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu,
mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93
ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu
mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.
Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta
yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda.
Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan
daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan
daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang!”
Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan
lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari-
lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata
tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-
batang ilalang.
Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti gabah dalam
tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk
menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi
petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.
“Jangan bingung!” terdengar suara Mantingan gemuruh,
“Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum
termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.”
Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah, yang sudah
bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan
menunggu api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke
daerah api itu.”
Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya.
Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti
menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar
dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih
mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat
Banyu Biru pun segera menggulung lengan baju mereka atau
melepas baju mereka samasekali. Dengan pedang, cangkul dan
apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat
antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93
sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat
ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang
panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing.
Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyu Biru sudah
mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya
Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka.
Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah
Paman kerjakan?”
Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak
didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali.
Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan
daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di
batasi.”
“Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.”
Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan
itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang
wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya
sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan
Banyu Biru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja
keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu.
Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat
Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan
pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan
anak-anak. Namun api itu menjalar terus.
Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu Biru yang lain.
Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak
sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga
mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang
pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu.
Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga,
namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah
Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Pecahkan tangki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93
yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan
mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya
segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”
Beberapa orang segera berlari-larian ketempat penyimpanan
air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas.
Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah
mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka
terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk
menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar,
meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk
memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa
mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus
menenaminya dengan palawija
saja. Namun apa yang harus
dilakukan sekarang ternyata
tak dapat lain dari mengalirkan
air itu ke daerah yang
terbakar.
Dengan cangkul, mereka
berusaha memecahkan tangki
batu itu. Satu-satu mereka
mendongkelnya dengan linggis
dan kapak. Alangkah lambat-
nya. Arya menjadi tidak tela-
ten. Segera ia pun berlari ke
tempat itu, sambil berteriak
nyaring ia meloncat di antara
mereka yang sedang sibuk
menyobek tangkis batu itu.
“Semua minggir. Cepat.”
Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa
harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu
itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya
Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93
diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang
tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang
menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan
kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju.
Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah
sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam
tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar
berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar
keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya
bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya
segera meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa
orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda
itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki
Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh
karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi
api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat
tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa
itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat
menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan
membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk
keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api.
Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya
meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur
untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang
sedang berkobar itu.
Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang
berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-
batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap
untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang
akan sekedar membantu mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula
membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan
mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa
Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93
yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak
mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo
Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari-
lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik, “Kakang,
aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak
atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak
pada tempatnya.”
“Aku berpikir demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara.
“Marilah kita lihat,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ikut!” tiba-tiba suara kecil menyahut dibelakang mereka.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri
tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-
ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.
“Tenaga kami tak seberapa membantu di sini, kakang,” kata
Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran
ini.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga tergesa-gesa ia
melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar,
Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat
dibelakangnya.
Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya.
Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu,
karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis
pemisah antara api dan tanah mereka.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri
segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala
itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.
“Dari tempat itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93
“Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat.
Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat.
Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang
makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati
jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus
menyusur jalan setapak di lereng bukit.
Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas. Di ujung
nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun
sudah semakin tipis.
Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri
bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya
agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu
membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang
redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian
dan dendam sebesar bukit.
Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil
bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh
memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu
terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang.
Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku
semula. Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas
hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”
Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara
itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda
mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga,
bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.
“Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau yang datang itu
cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku binasakan di
dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93
“Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar
masih berada di Pimingit.”
Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak. Perlahan-
lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun
meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan
siapa pun yang datang.”
Dan segera kudanya itu pun dilarikannya.
Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajamnya
melampaui mata burung alap-alap masih melihat bayangan itu
bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan
dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya
habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya
Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang
Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi
Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut
berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka
kejar pun kuda yang baik pula, sehingga jarak mereka tidak
menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo
Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.”
Kebo Kanigara terkejut. “Jangan!” jawabnya. Namun Widuri
telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang
mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia
mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun
sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan
gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan
anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu.
Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa
Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka
tidak mau buruannya kali ini terlepas.
Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil
memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93
panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja
dihadapan kuda buruannya.
Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia
berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu
telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat
berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik.
Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata
penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak
kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya
untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun sekali lagi ia
terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat
dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-
kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya
lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo
Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun
meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis.
Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia
sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh
selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu.
Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang
senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar.
Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api dikejauhan jatuh di
atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-
warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu
terdengar Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?”
Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik
senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?”
“Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93
Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan
musnah.”
“Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita
karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.
“Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”.
“Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.
“Ya. Semua yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka.
“Setan,” desis Widuri.
Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa pedulimu
terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku samasekali
tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah
menyaksikan pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan
anak-anak Banyu Biru menangis melolong-lolong ketakutan”.
Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah
yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng
bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.
“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.
“Perempuan dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan
melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang
bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk
menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang,
tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi
tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” katanya, “Perempuan dan
anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan
angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu
Biru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring,
jawabnya, “Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau
tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba
membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama
laskar Banyu Biru.”
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar
menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu
terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui,
ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa
Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari
Lodaya.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
“Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan
gadis ini?”
Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar
memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil
tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang
mencari aku, Wilis.”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar
karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa
pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi
Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang
berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata
memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa
saja sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi
Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu
dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93
keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah
indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari
Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila
padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat
Banyu Biru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis
yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu.
Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga
mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami
alami lagi.”
“Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang
tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”
“Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia
sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan
terlawan.
Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepan-
jangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis
marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah,
seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari
Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi
Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya
bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena
itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa
Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami ingin membawa
kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau
akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93
tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing
yang ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka,
senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami tak memiliki
tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat
kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan
yang baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa
Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-
baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila
tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk
menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah
maksud kalian?”
“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya kau tahu apa
yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah
putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak
ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain
kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka
Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal
kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan
berat. “Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku tantang kalian berempat. Atau
adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang
diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud
Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk
melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau
kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing
berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk
bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak
cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun
Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian,
akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian.
Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian
hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti.
Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum
merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi
maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang
paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka
menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab
dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah
satu di antara kami.”
Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar
gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih
mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo
Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia
mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah
Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat
hitamnya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri
sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan
sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain,
Kelabang Sayuta.
Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka
menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku
memilih lawanku.” Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung
kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil
mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata
bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,”
bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat
turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-
lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.”
Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam.
Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan
kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu
kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka
dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya
wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi
tegang.
“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki
ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah
Ular Laut yang gila itu.”
Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di
dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93
membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara
Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan?
Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana?
Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia
melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali
hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun
kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam
tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah
menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
“Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati
jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.”
“Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain?
Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”
Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas
punggung kudanya.
Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis, aku
akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur
hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi
istriku.”
“Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah
Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau
dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93
“Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai bunga yang betapapun
indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih
baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin
muak melihat wajah itu.
Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-
goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung
kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu
sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya
hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut
yang licik itu.
Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau
dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung
tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit
Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan
olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-
umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah
berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan
dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu.
II
Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di
atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93
Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut
senjata masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan
kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun
di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,
“Selamanya aku menghormati perempuan.”
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai
menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng
Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan
bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia
tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu
akan mengarah. Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang
pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan
itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang
dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan
dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya,
mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang
dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak.
Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga
beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya.
Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan
ketrampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru beberapa waktu
lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya
namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya.
Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir
saja menyentuh tubuhnya.
Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti
iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera
berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia
mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam
satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan
tersenyum, “Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya
mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat
daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi
gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak,
namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi
ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian
itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia
meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat
menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan
Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar
dengan sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci
kelemahan perasaan hati seorang gadis.
Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira.
Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis
cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya.
Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat
kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu
merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin
itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau
tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat
bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara
Wilis lah yang akan mencegahnya.
Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang
meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk
meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan
manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.
Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya
ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.”
Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya.
Jawabnya “Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah
indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang
bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93
Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis.
Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun
karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur
perasaan yang tak dapat dikendalikan.
“Kalau kau berbuat
curang, aku pun tidak akan
memperdulikan perjanjian kita
lagi” sahut Mahesa Jenar, “aku
akan terjun dalam pertem-
puran.”
“Bagus,” jawab Jaka Soka
“sejak semula aku telah
mempersilahkan. Ternyata du-
gaanku benar, bahwa ajaran
Pandan Alas tidak lebih dari
pelajaran tari menari yang
hanya dapat menumbuhkan
perasaan kagum pada pena-
rinya. Apalagi penari secantik
Rara Wilis.”
“Gila,” geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah.
Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis
ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri.
Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat
kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat
surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa
tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali-
kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur
mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali
membelit hati.
Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93
mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan-
sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.
Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat
keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk
menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung
atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji.
Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya.
Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat
hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir
saja ia lupa diri.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah
keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin pegunungan terdengar
suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut
membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan.
Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin
jelas.
Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia
tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang
yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar
lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara
hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal
suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam
berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh
Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyu Biru.
Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang
Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula
itu?”
Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman
Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar, “Orang tua itu tidak terikat pada
perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah
perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93
berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang
menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu
yang menari di sini.”
“Gila. Setan. Iblis,” tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-
habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?”
“Melihat muridnya menari,” tiba-tiba terdengar suara kecil.
Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang
setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan
gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula.
Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan
perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti
seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta
sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya
kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan
perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya.
Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar,
bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang
orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena
itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.
Dengan demikian, pertempuran pun menjadi berubah. Rara
Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali
pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang
berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan
pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi
setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-
kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun
karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak
berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan
Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu
harus dibinasakan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93
Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian
orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti
mengembik.”
Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak ada sangkut paut
antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan
persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang
untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan
dalam persoalan lain.”
“Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah,
“Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-
nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri,
“Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang meng-
gairahkan?”
Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca
inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang
dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja
mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan
kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-
jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari
pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil
menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya.
Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap
kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan
menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi
lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu,
namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya
maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Demikianlah
tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara
Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur
lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya
menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93
keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar,
maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah
menganga.
Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan
sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah
senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri
tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu
melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari
matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh.
Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba
melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari
sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang
cantik.”
Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan
sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya.
Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!”
Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar
dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju.
Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang
matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang
menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya.
Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara
Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia
berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu
masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya,
“Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.” Dan ketika
setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis
memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia
meloncat berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang
mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu
terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93
“Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan
suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis
berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari
mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar
memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah-
lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak
mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang
daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat
disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar
memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-
ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke
asalmu.”
“Wilis,” bisik Mahesa Jenar.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin
keras.
Mahesa Jenar sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang
disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak
dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba
menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar.”
Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia
tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-
laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan
dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya pecah
seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya
terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut.”
“Jangan takut Wilis.” Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air
sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan.
Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali
kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila
dibuatnya.”
“Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis,” jawab Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93
“Ia tidak mengejar aku?” bertanya Rara Wilis.
“Ular Laut itu telah mati,” jawab Mahesa Jenar.
“Mati?” ulang Rara Wilis. “Siapakah yang membunuhnya?”
“Kau. Pedangmu,,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh....” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat.
Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak
menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang
Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia
tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka.
Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya.
Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu
dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah
yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar
yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu
membayang di dalam angan-angannya.
Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa.
Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan
segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun
bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-
wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang
memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya
terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular
Laut dari Nusakambangan itu.
Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia
berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya
dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa
ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika
matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93
terdengar ia bergumam. “Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa,
namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”.
Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah
angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang
dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya
memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api
itu kakang?”
“Marilah kita kembali,” ajak Mahesa Jenar.
Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului
Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka.
Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri
berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula
seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas.
Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan
oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.
“Tidakkah kau mengalami sesuatu,” terdengar Ki Ageng
Pandan Alas bertanya kepada cucunya.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika
terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka
kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.
“Aku melihat semua yang terjadi di sini,” berkata Ki Ageng
Pandan Alas. “Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah
Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang
akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku
terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru
aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima
orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya
dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian
tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku
melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93
lawannya.Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang
Gula.”
“Suara eyang merdu sekali,” tiba-tiba Widuri menyela.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, “Lalu
bagaimana dengan api itu?”
Serentak mereka menoleh kearah api dilereng bukit. Api itu
masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan
dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat
langit.
“Api itu susut,” gumam Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu
Biru berhasil,” sahut Kebo Kanigara.
“Api itu tidak akan dapat menjalar terus,” sambung Widuri.
“Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh
Rakyat Banyu Biru itu,” sahut Mahesa Jenar.
“Marilah kita lihat,” berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan
mengambil kudaku.”
Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-
masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-
padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk
mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah
berpencar ke Banyu Biru.
Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba
berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.”
Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan
keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.”
“Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93
Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak
menjalar terus keatas. Dikejauhan masih terdengar campur baur
dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-
teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha menarik
garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api
dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-
hutan buah-buahan.
Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi
hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah
yang panas itu.
Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam
bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok
tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian
terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau
lihat orang itu?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat
bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun
akhirnya melihat pula.
“Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.
“Pasti bukan Jaka Soka,” sahut kakeknya.
Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri
diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau
api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu
pula. Namun agaknya api itu berhenti.
“Angin tidak bertiup lagi,” desis Mahesa Jenar.
“Batang-batang ilalang itu belum kering benar,” sahut Kebo
Kanigara.
Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-
sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil
berkata, “Akan aku dekati orang itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93
“Tetapi kalau api itu menjalar,” Wilis mencoba untuk
mencegahnya.
“Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api
itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pergi bersamamu,” sahut Kebo Kanigara.
“Kita pergi bersama-sama,” sambung Endang Widuri.
Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain
pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian
mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik
membasahi pakaian mereka.
“Air,” teriak Widuri.
Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air.
Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.”
Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan
mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang.
Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan
garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh
mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah
mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka.
Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus
berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka
Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu
apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang
marah.
Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika
mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka
terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan
dalam dan mengenakan jubah putih.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93
“Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu
bergumam.
“Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan.
Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah
mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api
itu memancarkan sebuah senyum.
“Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan.
Perlahan-lahan mereka
berlima berjalan mendekati
Panembahan Ismaya. Sambil
membungkuk hormat Kebo
Kanigara menyapanya, “Sela-
mat malam, Panembahan.”
Panembahan tua itu meng-
angguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Marilah Datanglah
kemari.”
Mereka berlima melangkah
lebih dekat lagi. Dan sekali lagi
mereka menekan gelora di
dalam dada mereka, ketika
mereka melihat bahwa
Panembahan Ismaya meme-
gang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan
demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja
ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-
keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga
tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di
sini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93
Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan
terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha
membantu rakyat Banyu Biru.”
“Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah
karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku tidak tahu
kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi,
apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah
daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang
mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris
ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah
berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak
membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup
mereka.”
Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka.
Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris
itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan
kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan
Yang Maha Kuasa telah memenuhinya.
“Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya
berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai
dan menjadi padam.”
“Mudah-mudahan,” sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti
demikian saja meloncat dari bibirnya.
Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya
berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera
selesai.”
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya
api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api
telah hampir padam samasekali. Hanya merah-merah baranya
yang masih tampak memecah kepekatan malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93
Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun
tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin
suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru berteriak-
teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain
meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan
berhenti sebelum padam samasekali.”
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di
tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menya-
rungkannya di warangkanya masing-masing.
Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan
kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke
udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun
kemudian kembali surut.
Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya
menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya.
Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu
menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api
itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan,
Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan
Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan
Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya
Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau
seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih
harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93
Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga
dengan senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar,
pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-
mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini
kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah
Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa
Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan
Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?”
tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan
keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang
waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan
merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun
aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah
ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah
kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu
yang nakal itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo
Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan
kesalahan di istana.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab
Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana
permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.
Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,”
jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang
merahasiakan sesuatu.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar
adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru
yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas
sebelum mereka melihat api itu padam samasekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak
untuk seterusnya. Banyu Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah
berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini
kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi
korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah
kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati,
hati yang setia dan teguh pada janji.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia
mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-
debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis
itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.
“Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya
bersungguh- sungguh, “Sungguh aku tak mengenal kesopanan,
namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak
sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di
dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului
segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia
mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk
melamar cucu Ki Ageng.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah
Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam.
Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu
berkata, “Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku
akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-
tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar
Penambahan berkata, “Setiap saat kau dapat datang kepadaku
bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat
mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu.
Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan
Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang
untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh
perasaan, “Terima kasih Panembahan.”
Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak
sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas
sambil tertawa.
Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan
meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan
kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah
abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang
Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-
batang ilalang dan batu-batu yang terendam air.
Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti
dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain
mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau bercerita
tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93
usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali
bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di
tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa
dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain
kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang
boleh mendengarnya.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”
Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia
meneruskan perjalanannya kembali.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja
berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya.
Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang
lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum
mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan
terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan.
Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati.
Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa
Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu
pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan
Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah
seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan
orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke
Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyu Biru.
Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab,
pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan
Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk
mengantarkannya.
“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,
“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93
“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian
kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih
mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara.
“Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan
Panembahan” sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku
belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti
kemarin.”
“Besok kita kembali ke Banyu Biru,” desak ayahnya.
“Emoh,” Widuri menggeleng lebih keras, “Aku mau tinggal di
Banyu Biru”
“Apa kepentinganmu di sini?” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu
Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini.
Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng
raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan
cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan
bintang-bintang dimalam hari?
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan
tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh
menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia
bahwa ayahnya sedang menggodanya. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-
keras
“Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang
sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93
mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula,
“apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?” desak Wilis.
“Jaka Soka,” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula
meskipun Widuri masih bersungut-sungut.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah
Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang
mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah
Sora.”
Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali
memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian
merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat
ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun
demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.
Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan
bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris
itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah
pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan
Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan
bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang
mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar
dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.
Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan
pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti
akan mengatakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke
lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi
untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak
mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93
yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke
selatan menghantam bukit.
“Api telah padam,” desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan
hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api
itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing
bukit.
Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah
mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah
mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta
mengalirkan parit ke lereng bukit.
Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar
tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata
berhasil.”
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat turun
dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu,
berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.”
“He,” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He,” sekali lagi Wanamerta keheranan.
“Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar, “Di mana kakang
Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Di sana,” jawab Wanamerta, “Di sebelah timur”.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93
“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil
melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?”
“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu
bergumam, “O.....” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat
kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-
cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi,
bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta.
Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya.
Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur.
Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah
kembali.”
Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit tidak
terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka
suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan
itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti
arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu Biru
yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka.
Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di
samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah
Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di
antara kami.” Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu
telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk
anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali. Gajah
Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah
melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93
itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis.
Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku telah
melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku,
maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di
Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa
yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya
Angger akan kembali.”
“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora.
Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian
Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba
yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit
getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita
mereka, setia pada tanah mereka.
Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit
dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu Biru dan
gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang
sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh
kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini
mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit
pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga
mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang
terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka.
Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan
diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur
dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama,
rasa cinta kasih kepada Tuhannya.
Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja.
Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng
bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu
akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93
Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan
cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening,
sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing.
Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka
yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menye-
lenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-
Nya kepada rakyat Banyu Biru.
Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu Biru,
berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang,
berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang
lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra
Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia
melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan
mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur
kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar.
Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis
duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah
secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah
ia pergi menemui gadis itu.
“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.
Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian
wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia
menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka.
Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah
perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak
pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku
menunggu Ayah.”
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu
perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93
mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah
mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku
datang kembali.” Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah
pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah.
Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang.
Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak
cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu
lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas.
Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceritakan beberapa
persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil
mengangguk- anggukkan kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi
jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa
pekerjaanmu sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir
selesai”
“Pada suatu saat, Anakmas....” kata Ki Ageng pula, “Aku ingin
juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan
kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti
yang Anakmas ceritakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat
wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa
lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru
sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga
masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan
Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar
hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil
melangkah keluar.
Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun
terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian
terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir.
Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke
Gunung Kidul?”
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai
beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk
sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang
Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak
bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga.
Tenang dan tentram.”
Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka
terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena
mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati
mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama
berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas
mereka.
Mahesa Jenar samasekali tak mengharapkan bahwa kelak
namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau
dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93
mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya.
Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah
kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah
tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus
dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan
dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan
pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa
Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyu
Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya.
Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara
masih harus menemui Mas Karebet.
Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang
cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang
cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi
Arya Salaka dan Endang Widuri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu
terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap
meninggalkan usia mereka.
Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan
dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba
harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus
kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.
“Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri
dari Banyu Biru, “Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti
apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan
sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku
mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan
Kakang? Aku akan membawakan cerita yang paling menarik, Parta
Krama.”
Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata
Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93
kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam
hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada
saatnya.
Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian
meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.
Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun
kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya
yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk
tanah perdikan mereka.
Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai-
nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang.
Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya
tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang
dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras
hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling
bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting
tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun
kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.
III
Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru, maka
Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan
kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang
didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut
Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari
depan yang gemilang buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu
ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-
pelanggaran yang telah dibuatnya.
Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan
menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka
bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit
Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93
dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang
mendengarnya.
Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan
muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang
Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-
akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang
dirinya.
“Karebet,” kata Kebo Kanigara perlahan.
Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian
ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya,
Paman.”
“AKU telah mendengar beberapa cerita tentang dirimu
diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya.
Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah
membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan
sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat
membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah,
sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?”
Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya
berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
“Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara.
Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, “Bukan
semata-mata salahku paman”
Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara
mendesaknya, “Apa yang terjadi?”
“Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet
terbata-bata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93
“Lalu?”
“Aku pun bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet
“Hanya itu?”
Karebet mengangguk, “Ya.”
Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya
itu?”
“Oh. Tidak Paman,” sahut Karebet cepat-cepat.
“Lalu?”
“Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula-
mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan
kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan
tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih
dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.”
“Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”
Karebet mengangguk.
“Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?”
Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara
mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya. Tetapi bukan
maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali
kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang
tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang
dilakukan di luar keputren.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mempercayai sebagai cerita kemenakannya. Namun ia tahu pula
sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata
pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami
itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku
dipindahkannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93
“Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada
Sultan?”
“Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga
yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Tumenggung Prabasemi.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Apakah kepentingannya?”
Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam
suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab
pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceritakannya apa saja
yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya.
Bahkan cerita itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan
hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.
“Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat
sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik-
baik?”
“Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang
Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia
cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang
perwira Tamtama yang gagah perkasa.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa-
peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi
peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.
Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum
diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan
getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93
masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu
kedalam lingkaran pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada
suatu saat bertemu dengan puteri Sultan yang cantik itu.
Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang paling
menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang masih
sangat muda itu, seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.
“Karebet,” kata Tumenggung Prabasemi, “Kau adalah anak
muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah
seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang
bertebaran disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga
dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar
dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah
salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung
dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah
mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata
peraturan para tamtama.”
Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang akan
dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia menunggu
saja sampai Tumenggung itu berkata, “Karebet. Adalah aneh,
kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat
wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah
melihatnya. Namun sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan
kemudian mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang
wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi
silau karenanya.”
Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang
puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun apabila pujian itu
keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas Karebet itu
terasa seakan-akan meronta.
Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula,
“Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93
benar ingin mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk dapat
memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku dapat
memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri
Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”
Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu,
“Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?”
Dengan kaku Karebet
menganggukkan kepalanya,
jawabnya, “Ya Ki Tumeng-
gung. Aku pernah melihatnya.”
Tumenggung Prabasemi
mengangguk sambil
tersenyum, “Bagaimana
menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan apa pun
padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu tertawa.
Katanya, “Alangkah bodohnya
kau Karebet. Tetapi tak
apalah. Mungkin tangkapanmu
lebih baik daripada aku. Atau
aku memang sudah betul-betul
gila.” Kemudian setelah diam sesaat ia berkata, “Apakah kau dapat
menolong aku?”
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang
harus aku lakukan?”
“Karebet....” kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu, “Kalau
sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di
muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93
katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah
sujudnya untuk putri.”
Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun
kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya,
“Hanya itu saja?”
“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung
Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”
Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian
jawabnya, “Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya,
apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia
tertawa, “Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui
keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika
kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu
kepadaku.”
Mas Karebet tersenyum. Katanya, “Aku memang bodoh. Tetapi
aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu
maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”
Prabasemi tersenyum, “Itulah. Mungkin aku benar-benar
sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang
Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah
Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang
keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu
menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman
putri itu?”
“Mudah-mudahan,” jawab Karebet, “Dan Tumenggung akan
mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya.
Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan ia
mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari
Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93
sakti. Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin
melihat wajah perwira yang sakti itu?.
Tetapi, ternyata yang dipesannya adalah seorang anak muda
yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu menuruti
perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh. Demikianlah
beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet,
“Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”
Mas Karebet tersenyum, jawabnya, “Sudah, Ki Tumenggung.”
“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?”
sahut Karebet.
“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi.
“Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?”
Karebet mengangguk. “Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
“Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”
“Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa, “Kenapa?”
“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet, “Putri itu
hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah
yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.
“Lembu, kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93
Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang
kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata,
“Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”
“Memijit?” bertanya Prabasemi.
“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” berkata
Karebet.
“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan
itu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka
putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata
putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren
bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan pesan itu?”
Karebet menggeleng. “Tidak, Ki Tumenggung.”
“Gila!” teriaknya, “Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet?
Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”
Karebet hanya tersenyum saja. Katanya, “Apakah Ki
Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu
mendengar?”
“Jangan. Jangan,” potongnya.
“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet, “Lain kali akan aku
coba.”
Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi
dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya. Maka
dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata, “Bagaimanakah dengan
pesan itu Karebet?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-
lahan ia berkata, “Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar
dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut Prabasemi, “Kau sampaikan pesan itu?”
“Ya,” jawab Karebet.
“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi
kenapa kau bersedih?”
“Aku ditamparnya,” sahut Karebet.
“Siapa yang menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah, “Kau berkata
sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku hampir saja membalasnya.”
“He?” teriak Prabasemi, “Kau benar-benar gila. Apakah dengan
demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan
hukuman mati?”
“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku
sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku
sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.”
“He?” Prabasemi semakin terkejut, “Putri minta maaf
kepadamu?”
“Ya,” sahut Karebet, “Dan putri memberikan pesan pula untuk
Ki Tumenggung.”
“Jadi putri kenal aku?” tanya Prabasemi.
Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.
“Oh,” katanya, “Apakah putri belum pernah mendengar nama
Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?”
Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya, “Putri menyangka
bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara
Manggala yang gemuk bulat.”
“Setan!” desis Prabasemi, Katanya, “perwira itu bernama
Gajah Alit.”
“Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana?
Tanya putri itu.” Karebet berkata seterusnya.
“Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?”
“Mungkin,” sahut Karebet.
“Apakah kau tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari
kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau Manggala
Sraja atau yang lain-lain?”
“Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah mengatakannya. Dan
putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya. Melupakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93
putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan menginjak masa
perkawinannya?”
“Bohong!” bentak Tumenggung itu, “Putri itu bohong, atau kau
yang bohong?”
“Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar pernah
menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak percaya, inilah,
aku dapat membuktikannya.”
Ki Tumenggung Prabasemi menarik keningnya. Ia melihat
Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Kemudian
ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan Karebet
yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang
pahit. Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan
hampir saja jiwanya menjadi korban pula karenanya.
Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan Karebet
tergenggam sekuntum bunga yang telah layu.
Tumenggung itu segera mengetahui maksud mas Karebet. Ia
tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu pasti bahwa Karebet
mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih
daripada setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu
menjadi marah. Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan
giginya gemeretak.
Karebet terkejut melihat akibat permainannya. Ia memang
ingin bermain-main dengan Tumenggung itu. Tetapi ia tidak
menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian parahnya.
Tumenggung yang marah itu dengan serta merta menarik
bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat karenanya.
Dengan gemetar Prabasemi berkata, “Kau menghina aku
Karebet?”
“Tidak Ki, tidak,” sahut Karebet.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93
Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah,
semerah darah. Katanya pula, “Aku sangka kau adalah bawahanku
yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang pertama-tama
menghina aku.”
“Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin
memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu terlalu
jauh jangkauannya” jawab Karebet.
“Persetan dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku.
Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda dari
umurku. Jangan menggurui aku.”
Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau membuat Tumenggung
itu menjadi semakin marah. Seandainya ia menjawab satu patah
kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar oleh
Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan
membalasnya. Namun untunglah bahwa Karebet berhasil
menguasai dirinya.
Sejak saat itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi.
Seandainya Karebet bukan seorang yang langsung diambil oleh
Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan kekesatuannya,
maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah
dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan
memerlukan anak itu.
Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia ingin
membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil menemui puteri
Sultan itu dan berhasil memikatnya. Tumenggung bukan pangkat
yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia telah berhak untuk
memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan
ia yakin kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya.
Juga akan dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan
menaruh perhatian akan dirinya atau tidak.
Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira yang
pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93
yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit
tak kurang saktinya. Seorang lain dari panglima pasukan Demak
yang berada di Bergota. Arya Palindih, adalah orang yang sakti.
“Tetapi apakah kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?”
katanya dalam hati
Tetapi sebagai seorang perwira yang masih muda, ia hampir
tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi bersama-sama
dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan
Demak. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum
pernah mendapat kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan
kesaktiannya masing-masing angkatan sebelumnya dan dirinya
sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan Prabasemi haus pada
kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan lapangan
permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak
pernah diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak
pernah terpikirkan olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin
namanya akan semakin menanjak keatas, merayap kesamping
nama-nama yang pernah didengar sebelumnya.
Dengan demikian Prabasemi merupakan Perwira yang
namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setia persoalan
yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan
daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan
kekerasan. Dengan dalih yang dibuat-buat, Prabasemi selalu
mengakhiri tugasnya dengan pertumpahan darah di wilayah yang
sangat kecil pun.
Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu, namun ada
yang membencinya. Karebet termasuk orang yang muak dengan
perbuatan itu. tetapi sebagai seorang yang patuh pada ketetapan
yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak
yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara
Prabasemi mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan
semua tugas yang diserahkannya pasti dapat diselesaikannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93
Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang cukup
tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan masih
belum juga surut.
Bahkan kini ia terdorong dalam satu persoalan yang lebih gila
lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah dilupakannya. Dan ia
bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis itu. Apa yang
dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang
semakin gelap.
Tetapi sementara itu
Karebet pun menjadi semakin
gila. Seperti Prabasemi yang
tersinggung oleh pokal
Karebet, maka Karebet pun
tidak mau melepaskan kesem-
patan yang telah didapatnya.
Sejak ia tahu Prabasemi
kasmaran kepada puteri
Sultan, sejak itu ia bertambah
jauh tenggelam dalam
permainan yang berbahaya.
Sebenarnya ia mengatakan
apa yang diketahuinya tentang
Prabasemi kepada puteri itu.
Namun puteri berkata kepa-
danya “Terserah kepadamu
Karebet.”
“Apakah artinya aku ini puteri,” kata Karebet. “Aku tidak lebih
dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung
sakti dari kesatuan yang sama.”
Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu
tersenyum sambil berkata, “Kalau kau mau Karebet, aku tidak
hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku akan
mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93
Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar, “Kenapa
puteri tidak mau?”
“Apakah kau menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.
“Ah,” desah Karebet. “Aku sedang berfikir, bagaimana cara
sebaik-baiknya untuk bunuh diri.”
“Kenapa bunuh diri?”
“Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin
dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan Tumenggung
Prabasemi.”
“Jangan mengigau Karebet,” potong puteri itu.
Karebet tersenyum. Kemudian katanya, “lalu bagaimana aku
harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu?”
“Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan
kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya.”
Demikianlah Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak akan
dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi segala macam
nafsu itu.
Tetapi Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa.
Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang, pakaian
dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan
beberapa pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung
itupun sia-sia. Puteri Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan
pesan itu. Dan bahkan puteri selalu berpura-pura belum pernah
mendengar nama Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi
semakin prihatin. Kadang apbila pikiran jernih datang dan bekerja
di benaknya, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya adalah
laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah itu, maka
pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya. Dan kembali
Tumenggung itu memutar otaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93
Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa tak disangka-sangka
oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang emban yang telah
disuapnya berlari kepadanya.
“Ada apa?” bertanya Prabasemi terges-gesa, “Apakah puteri
memanggil aku?”
Emban itu menggeleng, dan Tumenggung itu pun menjadi
kecewa.
“Ki Tumenggung,” berkata emban itu terengah-engah, “Aku
tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil”
Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya sambil
bertanya menyentak, “Apa katamu?”
“Ki Tumenggung,” sahut emban itu, “seseorang telah
mendahului menyentuh hati tuan puteri....”
“He,” Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat, “Apa
katamu?”
“Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung.”
“Bohong,” teriaknya, “Aku juga pernah dibohongi demikian”
“Aku tidak bohong,” sahut emban.
“Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah
mendahului aku?”
“Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku
melihatnya sendiri.”
“Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua?”
“Anak muda itu selalu datang ke istana. Baginda sering
memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu
melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.”
“Siapa dia?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93
“Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti
Ki Tumenggung.”
“Gila, siapa dia? He, siapa?” wajah Tumenggung itu menjadi
merah padam. Ia percaya kata-kata emban itu. Karena itu maka
dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak bersama-sama
di dalamnya.
Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu siapakah
nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa Baginda
sering memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-
kadang anak muda itu diajak bermain panah, membidik sasaran-
sasaran yang aneh-aneh. Dan bahkan bermain kecerdasan.
Macanan atau mul-mulan dengan asyiknya.
Mendengar keterangan emban itu, menggigillah tubuh
Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya,
“Apakah anak muda itu masih sangat muda ?”
“Ya,” jawab emban itu.
“Bertubuh tegap, berdada bidang?”
“Ya.”
“Selalu tersenyum?”
“Ya.”
“Gila. Setan itu bernama Karebet? Kau dengar?” bentak
Prabasemi. Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya.
Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia akan
berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban itu.
Emban yang menggigil ketakutan.
“Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren?”
“Ya.” Emban itu mengangguk.
“Aku akan ke sana. Aku bunuh anak itu,” teriak Prabasemi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93
“Jangan Tuan,” pinta emban itu.
“Kenapa?”
“Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara
Manggala seperti anak muda itu?”
Prabasemi menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang apa
pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti Karebet. Kalau
ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara Manggala.
Sedang kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap
kaputren beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan
diri. Dan apabila tidak ditemui bukti, maka Baginda pasti akan
murka.
Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu itu seolah-olah
sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah
mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya
bisa menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan
gemetar ia berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil
mengumpat, “Setan, Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.”
Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti mondar-
mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan tiba-tiba
Tumenggung Prabasemi tersenyum.
Emban yang ketakutan itu pun terkejut melihat perubahan
sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia tidak berani bertanya
sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah ketika kemudian
Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang
duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Emban....” katanya, “Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu
menuruti kehendak sendiri.”
Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat
wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung
pertanyaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93
“Namun putri itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak akan
dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu Emban, apakah tidak
sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri apabila kau
melihat anak muda itu datang kembali?”
Emban menggeleng, “Aku tidak berani tuan. Dan dengan
demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin putri akan
dihukum didalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat
dihukum mati.”
Prabasemi tertawa. Katanya, “Bukankah itu hukuman yang
wajar?”
“Putri akan berduka.”
Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya, “Jadi apakah
sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan
demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua
anak-anak muda itu terdorong kedalam keadaan yang makin
parah?”
Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang benar.
Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam perbuatan yang lebih
sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat hukuman pula beserta
seluruh emban yang lain.
Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban itu terkejut ketika
dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang berkilat-kilat.
Dengan mulut ternganga ia menengadahkan wajahnya menatap
wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya,
“Pakailah, supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak
lupa nasehatku. Sebaiknya kau laporkan peristiwa-peristiwa
semacam itu. Bukankah tugasmu momong Gusti Putri? Dan bagiku
Gustri Putri itu samasekali sudah tidak menarik lagi sejak aku
melihat kau.”
“Ah,” desis emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga akan
kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93
untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu. Sehingga
sambil mengerling emban itu berkata, “Tuan jangan berolok-olok.”
Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Kenapa aku berolok-olok. Aku
baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah melihat kau
dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena kau sering
datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada
padamu. Tingkah lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.”
“Ah,” wajah emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia
menjadi semakin berbangga.
“Nah, lakukanlah pesanku itu,” berkata Prabasemi kemudian
perlahan-lahan, “kau akan mendapat hadiah daripadaku. Lebih
banyak dari yang sudah aku berikan. Biarlah seandainya putri itu
mendapat pingitan yang lebih keras dari ibunda. Aku tidak peduli
lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit pula.”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji
untuk melakukannya, “Ya Ki Tumenggung, akan aku beritahukan
kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang kembali.”
“Bagus, bagus,” sahut Prabasemi, “Jangan tanggung-tanggung
Rumah ini masih kosong.”
Dan emban itu pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia
memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah
Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat
rumah tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir,
geledek-geledek berukir dan tirai-tirai sutera di muka sentong
tengah dan kedua sentong samping. Bahkan tiang-tiangnya pun
diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna sungging yang
indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.
Prabasemi membiarkan emban itu berangan-angan. Namun
hati Tumenggung itu mengumpat, “Gila pula agaknya emban ini
seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi
menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93
sebuah senyum. Dan senyumnya itu telah mendebarkan hati
emban yang mabuk kesenangan.
IV
Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih tersenyum-senyum
sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa cincinnya itu
memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan itu,” Prabasemi
bergumam sendiri, “Maka umur Karebet itu menjadi amat
pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila daripadaku.”
Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa
darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia selalu
dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada Karebet seakan-
akan menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke mana-
mana. Dibawanya Karebet itu ke tempat-tempat yang disukainya.
Ke pasar dan ke warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli
kain baru untuk dirinya, maka dibelikannya pula Mas Karebet.
Namun otak Mas Karebet bukan otak yang tumpul. Ia
merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mula-mula
Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap itu
berubah. Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya
dengan pasti, apakah maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan
ternyata Mas Karebet meraba ke arah yang tidak tepat. Ia
menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang menyuapnya supaya
ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti Putri.
Karena itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya, bahwa
seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren, sepasang
mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri bungsu itu tak
pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu,
apalagi Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan
bersembunyi-sembunyi.
Akhirnya datang pula saat itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93
Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan bintang-
bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam pelukan
awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di
langit yang gelap, disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin
yang dingin bertiup semakin lama semakin kencang.
Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke pintu
gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang sedang
bertugas menyapanya, “He, berhenti. Siapa?”
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia
menjawab, “Kaki Baginda terkilir.”
“Oh, kau Karebet?” tanya prajurit itu.
Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki pintu
gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.
“Karebet,” gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya,
“Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti
putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya. Ada-ada saja.”
“Kenapa bukan aku?” kelakar orang bertombak itu.
“Aku juga sedang belajar, meloncat mundur sambil
berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu berbuat
demikian di halaman masjid, maka Karebet itu dipungutnya?”
“Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang
lain, “Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.”
Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga-jaga di gardu itu
pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang memegang dadu
melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya, “Alangkah
dinginnya.”
“Tidurlah,” sahut yang lain, “Giliranmu adalah seperempat
malam terakhir.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93
Orang itu tidak menjawab, namun ia merangkak kesudut. Dan
kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang lain yang
sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas yang akan
mendapat giliran pada perempat malam terakhir.
Karebet pun kemudian memasuki halaman dalam istana.
Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis kebilik Baginda. Namun
ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur nyenyak dimalam
yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun kemudian
seakan-akan lenyap dibawah bayang-bayang pepohonan. Tak
seorang pun yang melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di
antara tananam di pertamanan itu menuju ke sisi halaman yang
lain. Kaputren.
Angin malam masih bertiup menggoyangkan daun-daunan dan
menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering. Lamat-lamat di
antara desir angin terdengarlah suara burung bence. Perlahan-
lahan dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya.
Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri.
Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu kaputren. Sesaat
kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang berkerudung kain
menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke samping dinding
kaputren itu.
“Ah kau,” desis gadis itu.
Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah Tuan Putri sudah tidur?”
“Belum,” jawab putri itu, “Aku menunggumu.”
Putri itu pun kemudian duduk di tanah di samping Karebet, di
balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat masih menyambar
di langit dan guruh masih menggelegar satu-satu. Namun kedua
anak-anak muda itu samasekali telah tenggelam dalam keasyikan,
sehingga tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh
Guntur.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93
Di sudut lain, emban yang mengenakan cincin emas di jari-
jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding, tampak
tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin
menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang
lebih buruk. Namun kemudian ia bahkan mengharap keadaan
akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap Sultan menjadi
sangat murka kepada putrinya, dan kemudian mengenakan
pingitan yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki
Tumenggung Prabasemi pasti akan melupakannya. Melupakan
putri itu. Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya
menjadi lebih luas lagi? Istri Tumenggung adalah impian yang
sangat menyenangkan. Selagi kawan-kawannya masih tetap
menjadi emban, dan satu dua akan diambil oleh jajar atau
setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah menjadi
seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama.
Kini kesempatan itu terbuka baginya. Karena itu, dengan
tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian dengan
tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju bilik
Permaisuri.
Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi ragu-
ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah akibatnya
tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun
kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi, “Apakah
dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila
kedua anak-anak muda itu terdorong ke dalam keadaan yang
semakin parah?”
Ketika emban itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut bukan
buatan ketika terasa seseorang menggapit pundaknya. Ketika ia
menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri seorang emban
Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya, “He, kenapa
kau malam-malam, berada di sini?”
“Oh,” jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas
tergagap. “Tidak apa-apa.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93
“Tidak apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran.
Emban bercincin emas itu diam sesaat. Dicobanya untuk
mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan oleh
benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri
itu mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya, “Ah.
Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kenapa? Apakah Putri sakit?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak,” katanya.
“Lalu kenapa?”
“Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri.”
Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau
sampaikah hari ini?”
“Ya. Sedemikian pentingnya.”
“Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” jawabnya,
“Persoalannya sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan
ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang emban bercincin emas
itu mengikutinya.
“Belum lama Permaisuri tidur,” kata emban itu, “Baru saja
Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang
penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri.”
“Soal ini pun tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin
emas.
Akhirnya emban Permaisuri itu pun mengetuk pintu perlahan-
lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun apabila
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93
persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan
murka.
Sesaat kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu,
“Siapa?”
“Hamba, Gusti.”
“Emban?”
“Hamba, Gusti.”
“Kau mengetuk pintu?”
“Hamba, Gusti.”
“Ada sesuatu?”
“Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap.”
“Oh.”
Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu.
Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan Permaisuri
itu telah berdiri di ambang pintu.
“Siapakah yang ingin menghadap?”
Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata,
“Hamba Gusti.” Namun terasa suaranya bergetar.
“Ada apakah? Apakah Putri sakit?”
“Tidak Gusti,” sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin
gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata, “Gusti, Putri tidak
sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan
tersumbat di kerongkongan.
“Sedang apa?” desak permaisuri.
Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban yang
bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar ketika
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93
Permaisuri bertanya, “Apakah persoalan ini sangat penting
sehingga kau harus menghadap malam ini?”
“Hamba, Gusti,” jawab emban itu.
“Membawa pesan Putri?”
Emban itu menggeleng, “Tidak Gusti.”
Permaisuri menjadi heran. Katanya, “Lalu apakah
keperluanmu?”
“Gusti....” jawab emban itu tergagap. Sedang emban
permaisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah kawannya ini?
Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan? Dan
terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-
kata yang patah-patah. “Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi
sesungguhnyalah bahwa hamba mengatakannya yang
sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendu.”
Emban itu berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin
terengah-engah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin
heran.
“Tuanku,” kata emban itu pula, “Ampunkanlah hamba.
Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas
Tuan Putri di kaputeren.”
“Apa yang akan kau katakan, Emban,” tanya Permaisuri.
“Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk
mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”
“Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”
“Oh.” Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur
perasaannya, baru kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Gusti, di
keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”
Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu.
Maka katanya, “Menerima tamu, katamu? Siapakah tamunya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93
“Itulah yang menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu,
“Tamunya adalah seorang pria.”
Kali ini Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala.
Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan tubuhnyalah yang
menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya tiang-tiang
pintu bilik itu.
Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata, “Emban,
apakah katamu benar?”
“Ya, Gusti.”
“Kau pernah melihat sendiri?”
“Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu
hamba segera menghadap kemari.”
Putri itu kini mengigil seperti orang yang sedang sakit.
Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk ke dalam
biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya.
Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya, “Emban,
aku akan menghadap Baginda.”
Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu tak
diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan perlahan-lahan ia
berbisik, “Apakah kau benar-benar melihatnya?”
Emban bercincin emas itu mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Emban Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak pernah
terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan mengalami masa-masa
yang demikian mengerikan. Apakah kata Baginda nanti? Emban
Permaisuri itu menjadi semakin menggigil karenanya. Sekali lagi
ia berbisik, “Apakah kau pernah memperingatkannya, atau
setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Belum, aku tidak
berani.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93
“Kenapa?” desak emban Permaisuri, “Bukankah kau
pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi
peringatan kepada Putri apabila pada suatu saat Putri mengalami
kegoncangan keseimbangan. Sebab bagaimanapun juga Putri itu
pun manusia yang sering khilaf seperti kita.”
Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban
permaisuri itu berkata, “Sekarang persoalan itu akan menjadikan
seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak orang yang
mengetahuinya.”
Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian
kepalanya ditundukkannya.
Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-
gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan kemudian berkata,
“Kalian berdua ikut aku.”
Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti
Permaisuri ke bilik raja.
Di halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda Nara
Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di tangan,
terdengar ia menyapa, “Siapa?”
Emban Permaisuri menjawab, “Permaisuri.”
“Oh!” Peronda itu pun kemudian membungkukkan badannya
dalam-dalam. Namun dari sorot matanya terpancar pula beberapa
pertanyaan di dalam dadanya. Kenapa Permaisuri memerlukan
menghadap Baginda di malam yang dingin ini?
Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan
pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan
Baginda.
Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut bukan buatan. Berita
itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya. Namun Baginda
adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi bermacam-
macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93
mengkhawatirkan. Karena itu Baginda dapat lebih cepat
menguasai perasaannya. Maka dengan tenang Baginda itu
bertanya, “Kau melihatnya sendiri, Emban?”
“Hamba, Tuanku.”
Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Aku ingin membuktikannya.”
Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah
Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk
menangkap mereka?”
Baginda menggeleng lemah, katanya, “Tidak. Aku ingin
menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut serta
menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di
seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan dapat melindungi
nama Putri itu?”
“Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.
“Aku sendiri akan melihatnya.”
“Sendiri?” Permaisuri itu terkejut.
Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya. Kalau aku
dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi
sangat terbatas.”
“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Putri.
“Hanya terhadap para penjahat aku akan menyerahkan
persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini sangat
berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya pula.”
“Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti para
penjahat?”
Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin. Karena itu aku bersenjata.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi. Baginda
tidak bersedia memanggil, meskipun hanya seorang perwira Nara
Manggala yang sedang bertugas malam itu. “Aku tidak dapat
membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari
mereka mengetahui peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini
segera akan tersebar.”
“Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk
merahasiakannya.”
“Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka rahasia
itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang emban ini sudah cukup
banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini sekuat-
kuatnya.”
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda itu
kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk keris
terselip di pinggangnya. Kemudian katanya sambil tersenyum
untuk menenangkan hati Permaisuri, “Aku adalah seorang
Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya
keadaan memaksa?”
Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.
“Aku melalui pintu butulan,” desis Baginda. “Kalian bertiga
tetap di sini.”
Baginda itu pun kemudian keluar dari bilik peraduannya lewat
pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian kerajaan. Dengan
hati-hati Baginda menyelinap di antara batang-batang perdu di
petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah
mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu
berada.
Sebenarnya Baginda bukan seorang raja yang hanya dapat
duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benar-benar seorang
Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di garis paling
depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93
Karena itu, Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-
perintah untuk bertempur, namun Baginda sendiri selalu
mengalaminya.
Demikianlah malam itu Baginda pun mampu melakukan
pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati
tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang
laki-laki. Ketika Baginda mendengar suara laki-laki itu meskipun
perlahan-lahan, maka bergetarlah dada Baginda.
“Gila, anak itu,” desahnya di dalam hati. Langsung Baginda
dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang bercakap-cakap
dengan putrinya itu.
Karena itu maka segera Baginda mendekati mereka. Setapak
demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi telinga Karebet
adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dan
tiba-tiba pula ia berbisik, “Seseorang mendekati kami.”
Putri yang belum mendengar sesuatu itu menjadi heran.
Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak ada yang
dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun menjadi
gelisah. Desisnya, “Kau berkata sebenarnya?”
Karebet mengangguk.
Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari telinga
Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan jelas, meskipun
betapa lirihnya Karebet berbisik.
Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah
mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan didalam hatinya,
“Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.” Dan
sejalan dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang
dihadapinya adalah seorang anak muda yang sejak dilihatnya
untuk pertama kali, telah sangat menarik perhatiannya.
Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik, “Masuklah
ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93
Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar
seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya. Dan tiba-
tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia berkata,
“Karebet, apakah benar kau mendengar seseorang mendekat
kami?”
Karebet mengangguk.
“Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?”
“Tidak Putri,” sahut Karebet, “Masuklah. Aku akan pergi ke bilik
Sultan.”
“Untuk apa?”
“Aku akan keluar dari arah itu.”
“Aku takut, Karebet” desah Putri itu.
“Jangan takut,” hibur Karebet, “Biarlah aku sendiri berusaha
menyelesaikannya.”
Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan. “Aku takut,
Karebet.”
“Jangan Putri,” desak Karebet, “Sekarang masuklah. Biarlah
aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan Putri masih
di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi
Karebet itu mendesaknya, “Pergilah Putri.”
Putri itu pun kemudian beringsut dan perlahan-lahan berdiri.
Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam biliknya. Tetapi
alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah
meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di hadapannya,
sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil.
Karebet pun tidak kalah terkejutnya. Dengan serta merta ia
meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba mengamat-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93
amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya dengan
Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap,
bertolak pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar
menutupi sebagian wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap
itu Karebet tidak segera dapat mengatahuinya, siapakah yang
telah mengganggunya itu.
Orang itu masih berdiri bertolak pinggang ketika Karebet
melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu tertawa
sambil berkata parau, “Apakah yang telah kalian lakukan di sini?”
Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet
melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?”
Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab,
“Apakah perlumu mengenal namaku?”
Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak
ia maju sambil berkata “jangan berbuat gila. Kutanya siapa engkau
dan apa maksudmu?”
Sekali lagi Karebet mendengar orang itu tertawa lirih. Dari
balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu Karebet
mendengar jawabannya, “Katakanlah juga kepadaku, apakah
keperluanmu datang kemari.”
Karebet benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap
orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian Karebet samasekali
tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya Karebet harus menghapuskan
kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman, kemudian
apabila orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat
mengingkarinya. Tetapi dihalaman itu apabila ada orang lain lagi
yang mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu maka sudah
tentu ia tidak akan dapat mengingkari lagi.
Karena itu Karebet pun menggeram, “Jangan membuat
persoalan di sini. Ikuti aku supaya kau selamat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93
“Aneh,” desisi orang itu, “Kalau aku selamat dengan menuruti
perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur saja aku
dirumah. Aku datang kemari, karena kau ada disini. Sekarang
katakan kepadaku, apa yang kau lakukan di sini.”
Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia
maju. Dengan geram ia berkata, “Ikuti aku.”
Namun jawab orang itu mengejutkan pula, “Tundukkan
kepalamu dan berjongkok di hadapanku. Aku akan menang-
kapmu.”
“Persetan,” desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang yang
datang itu benar-benar berbahaya baginya. Sudah tentu ia bukan
orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia menyangka bahwa orang
itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin benar,
namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang
didadanya menyala segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak
dapat berbuat lain kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang
dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya lagi. Dengan marahnya
Kareber berkata, “Bagus kalau kau berkeras menangkap aku,
cobalah.”
Sekali lagi orang itu berkata, “Jangan melawan. Sia-sia.”
“Mulailah,” potong Karebet. “Aku akan mempertahankan
diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”
“Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi
nyawanya sendiri. Menyerahlah.”
“Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan
melemparmu keluar dinding halaman.”
“Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau
dapat keluar dari halaman istana.”
Kini Karebet tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia
menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93
hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan bintang-bintang
di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali lagi maju melangkah
sambil menggeram, “Benar-benar kau menghendaki kekerasan.”
Orang itu mengangguk, katanya, “Ya dengan kekerasan aku
ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”
Karebet tidak menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat
menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan
serangannya yang pertama supaya ia segera dapat menyingkir.
namun Karebet menjadi kecewa. Dengan tangkasnya orang itu
menghindari serangan Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak
terduga orang itu menggeliat dan kaki kirinya berputar setengah
lingkaran menyambar lambungnya.
Karebet samasekali tidak menyangka, bahwa orang itu mampu
bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia samasekali tak dapat
menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan kaki itu.
Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi, maka
Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu
masih saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian
meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak
dilautan, menyentuh pantai.
Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut bukan
kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu memiliki
ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka dugaannya bahwa orang
itu adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat
Tumenggung bertempur. Ia pernah menilai ilmu Tumenggungnya.
Dan sudah pasti Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat
demikian.
Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa kali.
Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir melanda
dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri
pertempuran, maka segera ia mengetrapkan ilemu tersembunyi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93
didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh siapapun, apalagi
oleh Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.
Ketika serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka
Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin menundukkan
lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia memiliki
ilmu yang dahsyat itu.
Demikianlah maka berturut-turut beberapa serangan
lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan telah
menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak
berdaya melumpuhkannya.
Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar mundur.
Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan tajamnya.
Terdengar ia berdesis, “Lembu Sekilan?”
Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri
bungsu yang menggigil ketakutan, “Masuklah Putri, orang ini tidak
akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan tanpa
sepengetahuan Putri.”
Putri itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya. Terasa
seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka seakan-akan
kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga kemudian
terdengar Karebet itu mengulangi, “Masuklah Tuan Putri.”
Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya
yang telah memuncak. Dilihatnya lawan Karebet itu masih berdiri
di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi ragu-ragu untuk
bergerak.
Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah Putri
Sultan. Karebet membentaknya, “Jangan menakut-nakuti. Kaulah
yang harus berjongkok dan menyerah.”
Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa.
Katanya, “Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku sebagai
tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93
“Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,” jawabnya,
“Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat
dicari di tepi-tepi parit.”
Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan
adalah ilmu yang jarang- jarang dimiliki oleh siapa pun. Bahkan
orang-orang dari Karang Tumaritis pernah mengagumi ilmu itu,
pada saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang Gunungkidul.
Tetapi tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya.
Karena itu, maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap
pengekangan dirinya. Dengan segenap ilmu yang ada padanya,
dengan kemarahan yang memuncak, maka disergapnya orang
yang telah menghinanya.
Kini sekali lagi pertempuran seorang lawan seorang itu
berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka Mas
Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya.
Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya,
karena lambaran ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun
lincah bukan buatan. Betapa pun Karebet mengerahkan segenap
kemampuannya, namun orang itu pun sangat sukar untuk
dikenainya.
Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah. Namun
kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di hatinya.
Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat
mereka, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari mala
petaka. Karena itu selagi sempat ia berkata sambil bertempur,
“Tuan Putri masuklah. Tinggalkan tempat ini.”
Namun suaranya itu disahut oleh lawannya, “Tuan Putri
apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai
pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa
pesan sebelum ia mengakhiri hidupnya.”
“Jangan mengigau,” potong Karebet dengan marahnya. Dan
darahnya serasa mendidih ketika didengarnya orang itu tertawa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93
berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya. Karena
itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya.
Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-
gulung seperti angin prahara dipadang-padang rumput.
Namun lawannya benar-benar selincah sikatan, selicin belut.
Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun sentuhan
sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat menyakiti tubuh
lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh
lawannya itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet
berhasil menangkap tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak
dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya itu dengan mudah,
meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam.
Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu
menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan tenaganya
melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari
tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin. Karena itu
dengan geramnya ia mendesis, “Aji Welut Putih.”
Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apa-
apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat. Keduanya
seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya. Dengan
demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan
berakhir.
Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia berusaha
memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan,
kekuatan dan segenap tenaganya. Namun orang itupun selalu
mengimbanginya.
Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana sendiri
sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang dipungutnya
dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan yang dahsyat.
Baginda itu menjadis angat terkejut ketika menyadari Karebet
memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu
yang sudah jarang diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93
bahwa ilmu itu tersembunyi didalam tubuh anak itu. Karena itu
Baginda menjadi sangat menyesal atas peristiwa itu. Seandainya,
Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum
diijinkannya, maka kesempatan anak itu didalam jabatan
keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri perkelahian
dengan Karebet, Baginda segera menilai kemampuannya.
Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau
Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan
datang sangatlah luas bagi Karebet. Namun sayang bahwa anak
muda itu kini ditemukan di keputren.
Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing
mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang
mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari
orang kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi
semakin cemas. Sehingga akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu
mengalahkannya, meskipun ia menyangka, bahwa dalam keadaan
demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula.
Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan
lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin lincah,
dan keringatnya semakin banyak, sehingga tubuhnya menjadi
semakin licin pula.
Sebenarnyalah Bagindapun sedang berusaha untuk
mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang
mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya,
sebagaimanapun ia harus memiliki berbagai macam bekal dalam
perjalanannya sebagai seorang raja dan sekaligus Senapati
Perang.
Demikianlah akhirnya, maka Karebet merasakan tekanan
lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan
didadanyapun semakin melonjak. Ia menajdi heran, bahwa tiba-
tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang mampu
menghadapi ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun Karebet
mencoba mengingat nama semua yang pernah dikenalnya. Para
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93
Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama dan
beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron,
Danapati, Palindih dan yang lain-lain. Namun seandainya mereka,
apakah dengan mudahnya melawanLembu Sekilan, tanpa
melepaskan ilmu-ilmu mereka yang lain? Ternyata orang ini
mampu. Bukan saja dengan ilmu Welut Putih, namun serangan
tanpa dilambari ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan Bahkan
kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk
dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun
Karebet merasa, ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan
ilmunya.
Karena itupun Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti orang
luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba mencari nama
orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan hitam hampir
semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah
seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?,
atau mungkin justru pamannya yang sedang mencoba
mengujinya? Paman Kebo Kanigara? Namun akhirnya Karebetpun
pasti bahwa orang itu bukan Kebo Kanigara.
Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya. Ia
tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak punya
pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu. Kemudian
menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang
masuk akal, tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat
kepala. Meskipun seandainya orang itu adalah perwira Nara
Manggala sekalipun namun ia tidak dalam kelengkapan pakaian
Nara Manggala.
Karena itu Karebet yang sudah kehabisan akal itu dengan serta
merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia mempersiapkan diri
dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dipelajari dalam
suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang gurupun. Dan
dinamainya sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang
ditemukan dalam daerah penggembalaan, apabila para gembala
sedang berebut asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93
dahulu mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu
menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya, sehingga
hampir segenap buahnya rontok karenanya. Meskipun demikian
belum pernah seorang temanpun melihat perbuatannya. Mereka
hanya menyangka bahwa angin pusaran telah merontokkan pohon
asam itu.
Ilmu itu pun pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan
kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja mendasarkan pada
kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu
meremas tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya
sehingga tulamg belakangnya patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-
Rog Asem. Ilmu dari seorang anak gembala yang aneh bernama
Mas Karebet.
Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain. Betapa pun
licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa Rog-Rog Asem akan
dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu apabila
tersentuh Aji Rog-Rog Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan
lumpuh.
Sultan yang telah merasakan tekanan tekanannya berhasil,
menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia melihat anak
itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan
garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang,
menekuk kedua lututnya, siap melontarkan sebuah serangan.
Baginda yang telah kenyang makan garam perkelahian dan
pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu telah
siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas.
Ia belum dapat menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki
Karebet itu. Kalau kemudian baginda melawan ilmu itu dengan
ilmunya yang didasari dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-
kira yang akan terjadi? Seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan
ilmu Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka
terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin
membunuhnya. Membunuh anak sangat menarik perhatiannya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93
Karena itu Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya yang
dahsyat yang dinamainya Bajra Geni. Tetapi Baginda segera mateg
ilmunya yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut perhitungan
Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik
usianya, serta kemungkinan-kemungkinan yang lain sesuai
dengan tingkat ilmu Lembu Sekilan yang dimilikinya, maka ilmu
itupun belum pasti akan berhasil meruntuhkan oertahanan ilmu
Tameng Waja.
Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet
meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem, justru
baginda berdiri tegak bertolak pinggang. Dengan wajahnya yang
tegang, Baginda mengetrapkan ilmunya Aji Tameng Waja dalam
puncak kekuatannya.
Sesaat kemudian terjadilah benturan dahsyat. Benturan dari
ilmu Mas Karebet yang disebutnya Rog-Rog-Asem menghantam
benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja.
Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman dan pengetahuan
dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut mengalami hantaman Aji
Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang anak muda yang
pantas menjadi anaknya. Terasa didada Baginda sebuah benturan
yang seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu dengan
mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong beberapa
langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak
dapat menguasai keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung
akhirnya Baginda berhasil tegak dalam keadaan keseimbangan
yang mantap.