21 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

92
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 92

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

99 views

Category:

Art & Photos


24 download

TRANSCRIPT

Page 1: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 92

Page 2: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 92

I.

ugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia

benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga

ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia

menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa

orang itu samasekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah

suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain

panjangnya. Sesaat kemudian kain itu pun telah berputar dan

menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya.

“Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang

terus.

Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia

menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia

menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya.

Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun

demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan

beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar

kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah

dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang

dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat

banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka.

Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata

benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya.

Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja

segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur

anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh

tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka

di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah

menghemat tenaga mereka.

Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia

dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang

B

Page 3: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 92

dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun

mereka tetap melawan dalam gelar yang baik.

Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu

mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita,

namun karena kerjasama mereka lebih rapi serta jumlah mereka

lebih banyak, maka mereka pun dapat memberikan perlawanan

yang cukup.

Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana

terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua

ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa

seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi

bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku.

Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang

cemerlang.

Tak seorang pun yang mengganggu perkelahian kedua orang

itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit.

Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi

aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku

menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung

Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, aku

pun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan

ternyata orang-orang Pamingit itu pun tidak membiarkan aku

terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba

menyambar aku, orang-orang Pamingit itu pun selalu melindungi

aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya.

Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak

dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain

korban jatuh satu demi satu dari kedua belah pihak. Pertempuran

itu pun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun

keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan

mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir

orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang

Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk

Page 4: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 92

ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit samasekali. Namun

mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan.

Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung

perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke

dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk

menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah

tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri

mereka masing-masing. Orang dari golongan hitam, yang

biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itu pun

agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun

segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis

pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri

dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi

semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itu pun akhirnya

merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam

gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin

tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa

bahayanya menjadi semakin besar.

Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula.

Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka

masing-masing meninggalkan medan itu pula.

Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan

berakhir pula ceritaku. Malam itu aku mohon ijin untuk

meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang

Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun

demikian Ki Ageng berpesan, “Jaladri. Sampaikan apa yang kau

lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang

dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin

juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora

akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah

terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-

korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan

berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil

mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku

Page 5: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 92

buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-

sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar

Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan

mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus

bergabung pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian

menurun, “Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu

dengan cucuku itu.” Jaladri mengakhiri ceritanya. Dari wajahnya

terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng

Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya.

Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing

duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam

dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh

suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber

Panas, Kakang Penjawi?”

Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya

Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah

dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas

dalam-dalam ia pun menjawab, “Aku tidak mengalami

pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan

sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang

Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya.

Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun

mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang

hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan

dan Sura Sarunggi.”

“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.

“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung

Penjawi. “Gila....” desis Wanamerta.

“Ya....” Penjawi meneruskan, “Karena itulah maka mereka

mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing

yang diceritakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber

Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk

Page 6: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 92

tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat

mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang

tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh

hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung

Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk

membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus

berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”

Ketika Penjawi berhenti bercerita, kembali pendapa itu

menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari

biasa, menjadi semakin terang.

Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, “Korban berjatuhan.

Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan

hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itu pun

tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak

mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik

diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada.

Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin

banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu

jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak

menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan

ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi.

Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itu pun

terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga

ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan

terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu

pertolongan yang tiada taranya.

Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan

Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di

belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang

Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan.

Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak

kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu

Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu

Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat

Page 7: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 92

melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu

dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”

Penjawi berhenti bercerita. Sekali lagi ia memandang wajah

Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya

tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali

digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri

menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka,

tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-

kali terngiang di telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban

berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan

bertambah-tambah.”

Dalam kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,

“Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh

orang yang tak kau kenal itu?”

Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh tak

tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang

mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang

perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara

perempuan.”

“Titis Anganten....” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.

“Orang sakti dari Banyuwangi.”

“Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka

hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar.

“Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”

“Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara,

“Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”

“Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.

Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut

dalam angan-angan mereka sendiri.

Page 8: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 92

Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka,

“Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”

Tak seorang pun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam

kediaman yang beku.

Ketika tak seorang pun yang bersuara, bertanyalah Mahesa

Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?”

Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling,

seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun

demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud

pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan

eyangnya kepada Jaladri, “Aku tidak tahu apakah kami akan

berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit,

dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu

dengan cucuku itu.” Maka kemudian ia pun berkata lantang, “Nah,

apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat

mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan

dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian

Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian

akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari

golongan hitam.”

Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut

mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke

perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu

keganjilan di dalam dada mereka.

“Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak

akan berulang.”

Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu

perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya

Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih

berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan

muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa

Page 9: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 92

muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak

cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka.

Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang

cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang

pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia

mendengar cerita Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya

perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar

Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan

mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir

orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka

akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka,

namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang

Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam,

timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apa pun

yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimana pun

tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-

orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah

orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah

mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk

tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang-

orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut

dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah

kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman

mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian,

apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir

didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-

luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena

pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam

diri.

Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan

tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa

Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang

tersirat di hatinya. Karena itu ia pun menjadi terharu. Tetapi ia

Page 10: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 92

tidak berkata apa pun, selain beberapa kali mengangguk-

anggukkan kepalanya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman-

paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya

aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku

ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri,

sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada

kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian

merasa bahwa kalian tidak rela mendengar cerita bahwa saudara-

saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari

golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang

hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan

Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah

payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek

serta ayah-bunda kalian?”

Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung.

Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya

Salaka. Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti

terangnya matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman

sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan

pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya

ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah

kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita

dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh

pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu.

Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun

seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap

berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran,

bukan untuk melepaskan dendam kita.”

Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan

kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan.

“Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman yang

perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam

pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari

Page 11: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 92

seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah

pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam

itu. Apakah kalian sependapat?”

”Pasti…!” teriak mereka

serentak. “Kami sependapat.

Dan kami segera akan

melaksanakannya.”

“Bagus,” potong Arya

Salaka. “Kita akan berangkat

segera setelah separo dari

laskar kita berkumpul di alun-

alun.”

Arya tidak perlu meng-

ulangi perintahnya kembali.

Para pemimpin itu segera

berdiri, dan berloncatan ke

halaman. Segera mereka

berada di atas punggung kuda

masing-masing, untuk kemu-

dian melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa

kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih

mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang-

orang Pamingit. Dan sekarang perasaan itu diungkapnya kembali.

Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih duduk selain Arya

Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri,

Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan

Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka

berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat

semuanya?”

“Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita harus berhati-hati.

Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih

berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja

Page 12: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 92

disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat

menduga lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat

bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai

Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar,

tinggal di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba.

Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula. Dan bagaimanakah

sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada

Kebo Kanigara.

“Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri

menyahut sebelum ayahnya menjawab.

“Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita

menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.”

“Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar Eyang

Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di

hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak

mengalami kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit

mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi

kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari

kekuatan lawan. Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti

sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan laskar Kakang

Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali. Lebih-

lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan

apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu

mengalahkan orang yang bernama Nagapasa, atau Sima Rodra

atau Sura Sarunggi?”

“Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya.

Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa tersenyum-

senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka

mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat

gambaran dari medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik.

Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun

agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan

berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-

Page 13: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 92

orang dari golongan hitam itu membenarkan segala cara untuk

mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang

melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-

nakuti kau dengan cara-cara yang tak wajar.”

“Aku tidak takut,” jawab Widuri.

Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya

prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan

hitam.”

”Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri

“Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah

dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut

ayahnya.

Endang Widuri mengerutkan keningnya. Beberapa orang

terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah

cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri

menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di

dalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa

sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap

waktu, maka ia pun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri

tidak ikut serta. Apalagi Rara Wilis pun tidak.

Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri

berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya

Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.”

Arya Salaka tersenyum.

Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal

bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?”

”Tentu,” jawab Wilis “kau menemani aku disini”.

“Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata

Yudha,” Rara Wilis meneruskan, “dan paman Wirasaba akan

Page 14: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 92

meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari

bukan begitu paman?,”

“Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa.

“Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan, “sebenarnya

paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,”

“Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar.

“Bukankah paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi

Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman Mahesa Jenar takut

kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan datang

menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik

kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.

“Tobat bibi aduuuuh.”

Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona

merah yang panas menjalar ke pipinya.

“Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya.

“Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan

terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.”

Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum. Memang WIduri

benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapa pun,

kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia

pun berbuatlah.

Sementara itu para pemimpin Banyu Biru telah sampai ke

pasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar

mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang

didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba

mereka harus membantu Pamingit. Namun setelah mendapat

penjelasan dari para pemimpinnya, merekapun sadar akan tugas

itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap

gerombolan yang mengkhianati kemanusiaan. Mengkhianati

Page 15: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 92

ketentraman hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah

mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah mereka rintis.

Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan

tertinggi di Demak.

Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri

mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka, apakah

senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya.

Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru menjadi

kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan

pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka

mempunyai tugas yang penting pula di Banyubiru.

Demikianlah ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi

diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah

ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun. Kelompok demi

kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati mereka

setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas

tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang

mengetuk ngetuk dada mereka, meskipun terasa bahwa tanah

tercinta ini telah mengalami beberapa kemunduran. Tetapi telah

beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam masa-masa

yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka

dibumi tercinta ini kembali. Disekitar alun-alun itu pun kemudian

berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera putera

daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari

kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit.

Namun ternyata mereka sekarang datang kembali dengan senjata

di tangan.

Setelah pasukan itu semuanya memasuki alun-alun, maka

berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya

Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa

penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus

menempatkan diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana.

“Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, “ki Ageng Sora

Page 16: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 92

Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas

Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak

daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang

berjuang melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar.

Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah

apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang

kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan

orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”.

Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng

Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”

“Terimakasih,” jawab Arya, “tentukan separo dari kalian akan

kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini untuk menjaga

kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian,

siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat

meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak

keluarga dan orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari

telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus

berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat

tengah malam kalian harus sudah berada di Pangrantunan,”

Ketika penjelasan Arya Salaka itu diberikankepada setiap

kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah mereka.

Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak

saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena

ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka

pikirkan. Arya tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada

didalam dada laskarnya. Sebab ia sendiri merasakan, betapa

rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang

berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini

orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan

ia tidak tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah

orang-orang dari golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba-

tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa

membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena

dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan

Page 17: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 92

perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya sebagai

seorang pemimpin.

Sesaat kemudian bubarlah barisan yang berada di alun-alun

itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran ke

segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak

mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir

seluruh keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin

juga berjalan jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang

timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga

ke rumah kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah

menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan laskar

Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini

selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak

lebih dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya

mampu membuat kacau dan bencana. Namun setelah mereka

mengetahui apa yang telah dilakukan laskar Banyubiru itu yang

dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah

seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah

laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk

kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah

berusaha dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain

atas mereka.

Sisa waktu mereka pergunakan untuk beristirahat. Di bawah

pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di tempat yang

sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai

waktu untuk beristirahat.

Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya.

Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya yang

tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan

dirinya.

Ketika matahari telah mulai condong ke barat, sibuklah kem-

bali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang singgah di rumah

keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya telah

Page 18: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 92

membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera

memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan

mereka tumbuh tepat sepanjang tubuh.

Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu telah riuh kembali,

Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada yang

bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya.

Suaranya terlempar dari tebing bukit Telamaya, merayap ke

segenap penjuru, melontarkan panggilan suci. Panggilan

kemanusiaan untuk menegakkan hukum-hukumnya, sebagai

suatu panggilan pengabdian yang luhur.

Sekali lagi Arja berdiri berhadapan dengan para pemimpin;

kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi. Sebagian dari,

mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke Pamingit.,

namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula,

mengamankan Banyu Biru.

Kali ini Arya berbicara singkat saja, memberi mereka petunjuk-

petunjuk kemana laskar itu harus pergi. “Kita langsung pergi ke

Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk membuat

garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana terdesak. Kita

semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya.

Perjuangan kali ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian

untuk mempertahankan Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang-

orang yang jauh lebih jahat dan biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu

goloiigan hitam. Tetapkanlah hati kalian. Tuhan bersama kita.”

Kemudian terdengar kembali sangkakala memecah udara

Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap hati

laskar yang sudah siap itu.

Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari para pemimpin

mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk ketiga

kalinya, maka ujung barisan itu pun mulai bergerak, diikuti oleh

barisan-barisan yang lain, sehingga akhirnya di alun-alun itu

tinggallah separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh

Page 19: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 92

itu pun, seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama-

sama dengan pasukan yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian

mereka sadar oleh suara Wanamerta, “Nah, kalian yang tinggal.

Jangan menghilangkan kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin

lusa kalian harus bertempur pula. Nah sekarang kalian dapat

membubarkan barisan ini. Kembalilah kedalam barak2 yang telah

ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiap

siagaan yang tertinggi.”

Ketika laskar yang separuh itu kemudian meninggalkan alun-

alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa untuk

duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar

Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu

Biru diletakkan, sepeninggal Arya Salaka

II

Di Perjalanan, tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya

Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara. Angan-angannya

lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib ibunya.

Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua

orang telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda

mendahuluinya. Mereka harus mengetahui, apakah laskar

Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora

Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak.

Untuk menghindari salah paham dengan laskar yang langsung

dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh jalan

melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju

ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus

Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara.

Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah menembus

hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa

saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah

mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang

Page 20: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 92

mereka temui diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat

menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal.

Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan

perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas

bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang lelap. Angin

malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon

perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup

terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan.

Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang

ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah

menunggu.

“Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka.

“Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke

Pangrantunan,” jawab orang itu.

“Sejak kapan?” tanya Arya Salaka.

“Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-

laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu.

“Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan

pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut.

“Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab

mereka.

“Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?”

“Tak aku ketahui. Namun mereka belum sampai di

Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan

bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng

Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa

meninggalkan garis perang dalam keadaan tak teratur.”

Arya menarik nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan

hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu gabungan dari

Page 21: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 92

sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok,

Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu

dari Lembah Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-

angannya, bahwa Pamingit benar-benar sedang dilanda oleh

taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang beberapa

saat yang lampau dapat bekerjasama dengan mereka, akhirnya

sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu,

karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu

Sora adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan

suatu kerjasama yang tulus.

Tetapi kini golongan hitam itu benar-benar salah hitung.

Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi

laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian

menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan

demikian, menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti

menggilas ranti, untuk kemudian menghantam hancur sisa-sisa

laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru.

Mereka samasekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan

ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus

dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka.

Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk

mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau,

apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang

telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di

dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima

Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang

rumah pamannya di Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di

rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan

perlindungan kepadanya.

Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati

Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat

beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu.

Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk

menghindari kesalahpahaman.

Page 22: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 92

Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku

menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?”

Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik Arya, sebab di

malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul

salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin samasekali tak akan

menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.”

Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan

kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal

menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para

pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke

manakah mulut gua menghadap?”

Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia

berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.”

“Dari golongan hitam?” bentak para pengawal itu, dan

bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera mengarah

ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari

golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?”

“Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para

pengawal itu.

“Dari Banyubiru,” jawab Arya.

“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.

Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan

dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat

berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk

selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan

itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?”

Page 23: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 92

Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah

utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami

sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”

Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka

berkata, “Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa

pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat

menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak

bermaksud jahat?”

Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau dapat

bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab

sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu

mengenai daerahnya.”

“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal

yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.

“Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan?

Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan

orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab

Mahesa Jenar.

“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk

Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.

“Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora

Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai

kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa

Jenar.

Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah

mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti,

berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang

seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya

bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang

bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah

Perdikan Banyubiru.

Page 24: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 92

Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia

mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau

kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini.

Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu

saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar

utusan Angger Arya Salaka.”

Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti

tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang

di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap

Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan berbuat hal-

hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini

bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat

memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”

“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat

kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan

selamat ke Banyubiru.”

Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak,

Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke

Pangrantunan.

Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang,

tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat

yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah

itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu

berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya

seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga

orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

“Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui

namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.

“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang

mendengar laporan itu.

Page 25: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 92

“Hanya seorang, yang dua orang samasekali tidak,” jawab

pengawal itu.

Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng

Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?”

“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.

Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu.

Ketika Ki Ageng Sora

Dipayana dan Wulungan meli-

hat Arya, merekapun menjadi

terkejut. Dengan serta merta

Ki Ageng Sora Dipayana

menyapanya, “Kau Arya.”

Arya Salaka, Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara mengang-

guk hormat. “Ya, Eyang,”

jawab Arya.

Dengan pertanyaan yang

melingkar-lingkar di dalam

rongga dada, orang tua itu

mempersilahkan tamunya ber-

tiga untuk duduk di atas tikar,

di bawah cahaya obor yang

samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu

bergolak.

“Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata

kakeknya perlahan-lahan. “Adakah kau mempunyai keperluan

yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-

orang dari golongan hitam itu selesai?”

Page 26: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 92

Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera

menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya

orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian

mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.

“Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya

Arya.

Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan

kepalanya, jawabnya, “aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau

seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai,

akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya.

Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir

dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan

kewajiban kami.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali

melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku

ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang

telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan

kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki

Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan

penuh dengan pengalaman hidup.

Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti

maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh

persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan

Arya?”

Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera

menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia

minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya

kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas,

karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan

perasaan dengan kata-kata.

Page 27: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 92

Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya

ia menganggukkan kepalanya.

Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh

diluar pondok itu.

“Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.

Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah

duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki

Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”

Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil

mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan

Sawung Sariti?”

“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.

“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.

Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya.

Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang

bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang

dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa

perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka.

Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya

Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan

itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora

Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?”

Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,”

jawabnya.

“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.

“Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi

ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan

tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak

itu ke sini?”

Page 28: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 92

“Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah

kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”

Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun

mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.

“Aku sedang bertanya kepadanya.” Ki Ageng Sora Dipayana

berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.

“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang

dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya.

Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya,

namun ia tidak menjawab.

“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu

kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.

Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar

sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya.

Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki

Lembu Sora berkata, “Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat

di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi.

Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti

akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna

wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah

kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan

golongan hitam?”

Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar

mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar

mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa

kelam warna itu.

Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia

menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju

pendek sangat sederhana. “Hmm....” Terdengar ia menggeram.

Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo

Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki Ageng Lembu Sora.

Page 29: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 92

Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami.

Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati.

Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa

sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng,

jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya

yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan

tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah?

Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek,

apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”

Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring.

Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh

hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.”

“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng

yang bagus.”

“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan

tidak sabarnya. “Menuntut balas? Menuntut supaya Lembu Sora

dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar dapat kembali

gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat

memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah

buat golongan hitam itu.”

Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi

sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun demikian

terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki

Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan

wajar. Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran

maupun curiga. Aku juga pernah mendengar sebuah cerita yang

menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji. Meskipun

Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari

orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning

maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah

mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan

kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurha-

kainya itu pun dimuliakannya pula.”

Page 30: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 92

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat

ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga

maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud

kedatanganmu.”

Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa.

Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki Ageng, Arya Salaka

datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada

pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah

pimpinan Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.”

Pondok kecil itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata

itu. Mereka samasekali tidak menduga bahwa demikianlah maksud

kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu terdiam

seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam

rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia

sedang terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha

untuk meyakinkan pendengarannya.

Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan

wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya

sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari

matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas

pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana

telah mengalami kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia

tak pernah membiarkan perasaannya hanyut dan tenggelam dalam

kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri,

sehingga satu-satu jatuhlah air matanya.

Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya

nafas mereka yang saling memburu, terdengar sedemikian

jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir mudik

melakukan kewajibannya dengan tertib.

Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora

Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar,

supaya aku menjadi yakin karenanya.”

Page 31: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 92

“Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku

ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai

tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima

kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.”

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin terharu karenanya.

Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi anaknya,

Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.

“Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

Lembu Sora seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia

menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula

memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin

menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya,

namun yang keluar dari mulutnya dengan suara yang bergetar

hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu

sekarang, Arya?”

“Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.”

Jawabnya.

“Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat

tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora

Dipayana.

“Baik, Eyang’” jawab Arya. Kemudian ia pun berdiri dan mohon

diri untuk membawa laskarnya masuk ke Pangrantunan. Sedang

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama dengan

eyangnya di pondok itu.

Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang

menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya

tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu

Sora.”

Page 32: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 92

Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan

antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai lawan yang

hampir saja menumpahkan darah.

Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima

kasih Paman Wulungan.” Jawabnya.

Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan dalam

keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam.

Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka

melihat Wulungan lewat di depan mereka.

Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka melihat laskar yang

berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka. Beberapa

orang yang luka masih belum terawat dengan baik.

“Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?”

“Parah,” jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih

lebih baik.”

“Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita

akan mengalami keadaan yang sama.”

Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang samasekali tidak

sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan.

Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu kembali. Ia

pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan.

Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar

itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi

bernama Galunggung?”

“Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.

“Ia termasuk orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa

tahun. Namun karena sifatnya yang disukai oleh Angger Sawung

Page 33: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 92

Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang sekarang.

Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”

Kemudian kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin

malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara yang

sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya.

Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger....” Arya

Salaka menoleh, namun tidak menjawab.

“Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin

seperti Angger ini.” sambung Wulungan.

Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?”

“Sudah lama aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya

sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati Angger.

Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang

mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini,

sehingga dengan demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan

di dalam tubuh Angger. Orang setua aku inipun tak akan

membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang dengan

laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam

kesulitan ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-

sifat Angger Sawung Sariti.”

“Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.

“Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah

salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”

Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia samasekali tidak

membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan dikagumi

orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa

karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk

dan mendapat sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah

cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya, tentang dua orang

hamba seorang raja dan yang seorang adalah pemungut pajak

yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama menghadap

Page 34: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 92

raja, maka berkatalah penghulu istana, “Maha Raja yang

bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu.

Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada

mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian

segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha

Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah

orangnya yang paling pantas untuk menerimanya.”

Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki

Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, “Duh Maha Raja yang

bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di

kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya

karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat

di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang

bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan

menerima hukuman yang akan ditimpakan kepadaku atas

kelalaianku itu.”

Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu memberikan

hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak

menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah

bahwa pemungut pajak itu benar-benar bertobat dan membagi-

bagikan hadiahnya kepada mereka yang pernah dicederainya,

sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja, hanya

karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan

selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima

hadiah.

Demikianlah Arya Salaka menerapkan cerita itu dalam

hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya berkorban

bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta

kesetiaannya pada kewajibannya.

Beberapa langkah kemudian sampailah mereka di pusat

pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang lain

lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat

kepadanya sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”

Page 35: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 92

“Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?”

“Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu.

“Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula.

“Tidak Kakang,” jawab orang itu.

“Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar

Banyubiru,” sahut Wulungan.

“Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan

beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka

mendesak maju.

“Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah

yang kecemasan itu.

Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Berita

kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka seakan-akan bunyi

kentong pelayatan atas jenazah mereka.

Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan

menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu

kita.”

“He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita

atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan

jelas beberapa hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan

laskar Banyubiru itu dengan kesiapan-kesiapan tempur.

“Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita

menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan.

“Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin

pengawal itu.

“Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar

Banyubiru itu,” berkata Wulungan.

Page 36: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 92

“Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah

dia?” tanya beberapa orang bersama-sama.

“Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan.

Kembali mereka terkejut. Orang itulah yang tadi datang

bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan

bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda

yang membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka.

Ketika mereka masih keheranan, terdengarlah Arya Salaka

berkata, “Jangan berprasangka. Aku datang untuk membantu

kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari Banyubiru, adalah

pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?”

Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba

menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka hanya dapat

menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan

mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya

Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba

melonjaklah keharuan di dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya

pemimpin pengawal itu segera berjongkok di hadapan Arya sambil

berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang

akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama

Pangrantunan.”

“Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil

menarik lengan orang itu. “Berdirilah,” katanya.

Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh

ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam

kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya bersama-sama laskar

Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan sifat-sifat yang

lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda itu. Arya

Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk

dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba

seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan

diucapkan, namun tak sepatah katapun yang terlahir.

Page 37: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 92

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami

akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak

berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara

laskar Pamingit dan laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan

bersama-sama berjuang untuk tanah kami.”

“Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu.

Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian meneruskan

perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan

beberapa tonggak dari Pangrantunan.

III

Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru itu pun segera

tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang

bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di

dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang

setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah

berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka

kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa

di dalam laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh

seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki

Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh, yang mirip

dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun setidak-

tidaknya nasib mereka berbagi.

Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki Ageng Sora

Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana

untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat

memberikan bantuan yang berarti.

“Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,”

jawab Mahesa Jenar.

Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut,

sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?”

Page 38: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 92

Mata Lembu Sora masih saja membayangkan kekeruhan

hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya

benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan

jujur. Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya.

Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau

terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah

kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.”

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora

berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.”

Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh

membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak

melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari

Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa.

Mereka semuanya kemudian melangkah keluar pondok itu dan

berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan datang

masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan

ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat

yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora

yang masih belum mendapat penampungan yang baik.

Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera

Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata,

“Bagaimana Angger?”

“Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan,

Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka.

Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi

yang segera dibalas oleh Wulungan.

“Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut

Wulungan dengan ramahnya.

“Terima kasih,” jawab Bantaran.

Page 39: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 92

Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah

ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya

yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan

makan malam buat kami?”

Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur

melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab

di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu

Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat

bagian.” Jaladri kemudian tertawa.

Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka

segera laskar itu pun berangkat memasuki desa Pangrantunan.

Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih

juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun

kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran,

Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada

keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka samasekali tidak

berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka

mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang

menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun

laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan

genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit

Merbabu itu.

Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan

segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun

yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit.

Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang

senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka

memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari

pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain-

lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan

kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.

Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang

mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya

Page 40: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 92

Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar,

yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini

tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam

dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada

tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha

Pencipta bagi mereka.

Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar

Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru

dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta,

mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar

Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru....”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru

lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh

tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini

terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat

merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan

dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa,

yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding.

Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah-

pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang

dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-

satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang

memalukan. Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk

meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang

menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya.

Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru

dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu.

Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan

berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke

pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu,

bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara

genderang laskar Banyubiru itu.

Page 41: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 92

Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan

hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata

kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati

hitam.”

Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi

menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia

menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di

dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya

dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.

Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup

laskar Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya.

Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai

Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora

menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat

kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan

marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah

anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora

terbanting di tanah.

Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika

pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena

ia pun samasekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris

dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa

mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya,

sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang

berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya,

Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam

pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan

demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama

yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan

laskar Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan

Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi

iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin

laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia

melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih.

Page 42: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 92

Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah

memalingkan mukanya.

“Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.

“Hem....” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu

Galunggung?”

“Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang

sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar

gabungan dari golongan hitam itu.”

Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu

banyak. Apa yang dibanggakan?”

“Yang datang hanya separuh, Tuan.”

Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya

menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.

“Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti

“Dari pengawal,” jawab Srengga.

“Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang

dilapisi oleh kedengkian.

Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi

mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang

lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang

menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing.

Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka

akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin,

nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas

dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur

laskar Banyubiru masih perlu diuji.

Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah

ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga

sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di

Page 43: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 92

sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat

merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk

bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu

Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana

kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.

“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya.

“Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.”

Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang

harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu

Sora dengan laskar Pamingit.

“Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang

datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang

kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana,

“Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu

banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang

menyerang.”

Tak seorang pun yang mengajukan pendapatnya.

“Karena itu....” orang tua itu meneruskan, “Kita masih

mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang

mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil

daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau

gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit

Urang.” Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka

duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti

mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam

peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar. Karena itu

segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka ia pun

menjawab, “Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan,

Page 44: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 92

untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan

terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka.

Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari

ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang

tak mau mengikat diri itu.”

“Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-

orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”

Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar

Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten.

Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis

Anganten itu?”

“Ia berkeliaran sepanjang

hari,” jawab Ki Ageng Sora

Dipayana.

“Tapi ia hadir dalam setiap

pertempuran.”

”Kalau demikian, biarlah

Paman Titis Anganten kita

perhitungkan pula. Siapakah

para pemimpin golongan hitam

dari angkatan tua itu?” tanya

Mahesa Jenar.

“Bugel Kaliki, Sima Rodra,

Pasingsingan, Nagapasa dan

Sura Sarunggi,” jawab Sora

Dipayana.

“Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang

dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk

melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,”

sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-

anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin

Page 45: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 92

dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu,

orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar

sendiri merasa, bahwa ia pun sanggup untuk menyerahkan dirinya

dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk

menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah

suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah lima

orang dari kamu itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah

cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan.

Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku

untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua

eyangmu Titis Anganten.”

Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk

meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan

disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan

kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana

menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu,

Sariti.”

Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu

satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman

Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang

Tumaritis itu?”

Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan

menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar

menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di

Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami

kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan

karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya

melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka.

Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia

Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan

mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng

Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar

Page 46: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 92

pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa

Mahesa Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang

menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam

kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud

anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung

dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan- lahan ia

menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti

berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana

menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan

bersedia untuk membantu.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan

Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger Mahesa

Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus

melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang

lain. Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan

kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata

gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu

terbunuh.”

“Kalau demikian....” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah aku

berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang

Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”

Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain

menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak

kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap

Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.

Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan

pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka,

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang

Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang

payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora

Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan

sisa malam itu untuk beristirahat.

Page 47: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 92

Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia

menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang

dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa

perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat

sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus

bekerja mati-matian.

Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali

pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok-

pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah

disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun

malam.

Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang.

Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu

bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling

tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat

kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan

hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh

golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang

berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari

kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti

seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah dimukanya

orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?”

Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan

enyambutnya, “Ya, Eyang.”

Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?”

“Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.

“Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis

Anganten pula.

Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak

perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga

Page 48: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 92

untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten

itu, “Pamanmu ada…?”

“Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman

Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.

“Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya.

“Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.”

Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis

Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.

“Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab

Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.”

Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan.

“Ya.”

“Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.

“Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan bercerita

tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.

Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera

mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya.

“Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten

mulai, “Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan

adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang

bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya

golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa

perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak

ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu

Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat

kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat

persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam.

Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta

ibumu itu.”

Page 49: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 92

“Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.

“Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.

Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya

menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha

Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada

orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak

dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang

Titis Anganten.”

Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata

sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.

“Eyang....” Arya mencoba memanggil. Tetapi Titis Anganten

tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-

lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk.

Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”

Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana

ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah

menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian

hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia

mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang

golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit.

Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun

segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya.

Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping

Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga.

Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak

peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia

malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar,

tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan

kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam

tidurnya.

Page 50: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 92

Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa

orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa

orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat,

dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar

dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.

Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang

Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian

sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah

beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa

dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan

bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan

mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat

dinikmatinya.

“Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam.

Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat

lehernya.

Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara

dibunyikan. Laskar Banyubiru itu pun segera bersiap, dan berbaris

menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan

tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh,

segera merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin

dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora

Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila

mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban

sia-sia.

Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam

keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga

raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan

laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu

oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di

belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya

Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang

Page 51: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 92

Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka

Banyubiru, Kyai Bancak.

Beberapa orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk

mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu

mempersiapkan diri. Biasanya mereka samasekali tidak membuat

garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana

saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas,

bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk

mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan

mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya

tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah

mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan

demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka

telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di

Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka

harapkan, bertempur satu sama lain.

Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra

berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar,

akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.”

Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itu pun

melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang

golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang-

orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka

memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar

Pamingit dan Banyubiru.

Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan

desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan

laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan

Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit

dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang

menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di

sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor

udang raksasa yang siap menerkam lawannya. Di pusat gelar yang

Page 52: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 92

justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar

Pamingit dan dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-

masing Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten. Sedang

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar Banyubiru,

sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka.

Di hadapan mereka, berjajar rapat di tepi desa Kepandak,

orang-orang dari golongan hitam. Merekapun agaknya telah

mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka samasekali tidak

membentuk gelar apa pun, karena itu, mereka dapat menyerang

ke mana saja mereka inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari

golongan hitam itu melihat gelar lawannya, mau tidak mau

merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan bagian-

bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.

Ketika di timur cahaya matahari sudah semakin terang,

sebelum bola api itu muncul di wajah-wajah langit, kedua laskar

itu pun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur.

Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka

dapat melihat dengan jelas siapakah yang berada di pihak masing-

masing. Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri

beberapa orang pemimpin mereka, yang dengan tertawa-tawa

menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan

dengan jubah abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap

dengan kulit harimau hitamnya, namun ia tidak mengenakan

topengnya. Nagapasa, Naga dari Nusakambangan, Sura Sarunggi

dari Rawa Pening yang menyimpan dendam tiada taranya atas

kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening. Dan hantu

dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.

“Adakah laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada

Pasingsingan.

“Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa

menghadapi laskar kita,” jawab Pasingsingan. “Namun yang harus

mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”

Page 53: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 92

Sima Rodra tertawa. “Biarlah aku selesaikan,” katanya.

Pasingsingan mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia

ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di mana tingkat kemajuan

yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia berdiam

diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.

“Sekarang mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru

itu. Sungguh suatu perbuatan yang tak dapat aku mengerti.

Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya kembali.

Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.

“Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan. “Sedang

perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita

tunda serangan kita dengan satu hari, keadaannya akan lain.

Laskar Banyubiru dan Pamingit pasti sudah bertempur. Tetapi

bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan

kedua-duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar

Banyubiru itu akan mempercepat penyelesaian.”

Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti

desis seekor naga. “Siapakah yang harus dilawan dari mereka?”

“Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan. “Sora Dipayana,

Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar.

Tetapi agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”

Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat

seseorang yang dengan serta merta, menerobos masuk dalam

laskar Pamingit.

“He…!” seru Bugel Kaliki, “Orang gila itu datang pula.”

Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di

dalam barisan Pamingit itu benar-benar diperhitungkan.

Demikianlah, Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas

kehadiran seorang sahabat lamanya. Namun terbersitlah

kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit

Page 54: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 92

banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah

pihak. Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan

orang itu dengan penuh gairah. “Selamat datang Danyang Gunung

Kidul.”

“Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya. “Agaknya orang

Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”

Titis Anganten tertawa. “Kau terlalu malas,” jawabnya. “Aku,

yang berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”

Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa.

Sahutnya, “Kerjamu tidak ada lain kecuali berjalan dari satu

tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus menunggu jagung

tua.”

“Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau

dunia ini akan meledak, kau masih saja menunggui jagungmu?”

sela Ki Ageng Sora Dipayana.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula

di samping Sora Dipayana. “Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.

“Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.

“Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar

atau yang mana?”

“Mana saja yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya.

Tetapi meskipun demikian, dalam waktu yang cepat ia telah

berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut ketika ia

melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri. Namun ia agak

tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula

Kebo Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng

Pengging Sepuh di bukit Karang Tumaritis. Ia berdoa di dalam

hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat menempatkan

diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan

cidera. Juga ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat

membawa dirinya di antara laskarnya.

Page 55: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 92

IV

Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang

menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-

orang laskar itu berteriak nyaring, sambil berloncatan menyerbu.

Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera menggerakkan

tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar

sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur.

Tanda itu segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan

Galunggung. Merekapun memutar pedang masing-masing di

udara, sebagai perintah untuk bertempur.

Di sayap kiri, tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan

Arya Salaka. Dengan tekad yang bulat, ia telah menyerahkan

dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam hati,

“Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”

Ketika ia mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah

pedang Bantaran, Penjawi dan tombak bermata dua ditangan

Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka kepada

laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit

Urang.

Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya

mendesak maju. Mereka melingkar untuk kemudian menyerang

dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu tidak

mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun

menghambur menyerang laskar Bantaran dari arah yang mereka

sukai. Meskipun demikian, Bantaran tidak menjadi bingung. Ia

tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya yang bersenjata

pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti banteng-

banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian

tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak

inipun bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka

sadar, betapa orang-orang dari golongan hitam itu harus

dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal, akan dapat

Page 56: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 92

merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi

berada dekat dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri,

laskarnya bertempur tanpa mengenal takut, meskipun mereka

sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu dapat berbuat

hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena

itulah maka mereka harus dimusnahkan.

Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua

pihak yang sudah terlibat dalam pertempuran itu. Ia melihat

keadaan di sekelilingnya, kemudian pandangannya menebar ke

segenap penjuru pertempuran.

Di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh, ia melihat Ki Ageng

Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran untuk

mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu,

apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya

dahulu. Ia masih ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah

bertempur dengan Pasingsingan itu. Meskipun Pasingsingan itu

mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri khususnya, namun ia

tetap meragukannya. Demikianlah, supaya kedatangannya di

Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia benar-benar dapat

mengetahui, siapakah yang bersembunyi di balik topeng yang jelek

itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan tergesa-gesa

berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang

kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang

menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan,

tidak diajak serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan

dapat membantu memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan

Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula adalah persoalan yang

lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.

Di arah yang lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil

tersenyum-senyum. Orang itu pun agaknya sedang menikmati

kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja, siapakah yang

akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak

menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang

menyangka bahwa Titis Anganten itu dapat dikenainya dengan

Page 57: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 92

mudah. Para penyerang itu menjadi kecewa setelah mereka sadar,

bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Titis Anganten. Karena

itu segera mereka mencari sasaran lain, dan menyerahkan Titis

Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat

kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat

maju menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan

berkepala besar. Sura Sarunggi dari Rawa Pening.

Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki,

Si Bongkok dari Gunung Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora

Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus bertempur melawan hantu

bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar bahwa

Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas

tubuh lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan

terkelupas. Namun Bugel Kaliki itu pun sadar. Sentuhan tangan Ki

Ageng Sora Dipayana dapat merontokkan isi dada, dan dapat

menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji Lebur Sakethi

sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud

kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat dikenainya.

Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut lawannya, ia

mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir ketika

ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam

Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar

menyambutnya seorang diri, tidak dengan perlindungan laskarnya

samasekali. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain

berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera menempatkan

dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib

sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia

dengan sengaja menempatkan diri di garis lintas Naga dari

Nusakambangan. Nagapasa itu benar-benar orang yang dapat

berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya dapat

dipergunakannya untuk bertempur.

Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di

hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata, “Selamat

pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan

Page 58: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 92

nasib orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat

di tangan Harimau Tua dari Lodaya.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata

Bugel Kaliki memperhatikannya, dan mencoba mempengaruhi

perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya untuk

melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab,

“Buat apa aku risaukan orang yang bernama Mahesa Jenar itu? Ia

bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga

dirinya sendiri.”

Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian

ia berkata, “Bagus. Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu

yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia melawan Jaka Soka? Dan

cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas

Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi

sedang dilibat oleh aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”

Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi memandang berkeliling.

Daerah pertempuran itu sudah semakin ribut. Masing-masing

berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap Lembu Sora,

Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir

bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan

mudah. Apalagi Lembu Sora berada di dalam barisan Pamingit

yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang membantu. Juga

Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid

Pasingsingan yang tidak banyak mendapat perhatian dari gurunya.

Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada Lawa Ijo.

Terhadap Arya Salaka, ia perlu menimbang-nimbang. Ia tahu

bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki ketangkasan dan

ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia harus

berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih

dahsyat dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki

Ageng Sora Dipayana memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar

Sapit Urang-nya. Ia bangga atas kesempurnaan gelar itu. Ia

melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang menganga

Page 59: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 92

dan menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya. Namun

sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap itu

berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama

dengan Lawa Ijo.

Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu, sebab sekali

lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke

sayap kirimu yang mulai rusak…?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, “Aku sedang menilai

pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu telah

berubah samasekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang

seperti taufan melanda laskarmu?”

Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya,

“Buat apa aku ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku

datang kemari seorang diri. Tak peduli apakah laskarmu atau

laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”

“Dan kau sendiri…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

“Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat

sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.

“Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora

Dipayana.

“Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku

akan membantu laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.

“Buat apa?” tanya Ki Ageng.

Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya, “Buat apa kau sembunyikan

keris itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana samasekali tidak perlu memberikan

keterangan, sebab ia yakin bahwa kata-katanya akan dipercaya.

Karena itu ia menjawab seenaknya, “Mungkin suatu waktu perlu

untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”

Page 60: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 92

Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang. “Kalau begitu kedua

keris itu benar-benar masih kau simpan?”

“Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.

“Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku

sudah tua, namun mati karena tanganmu, sungguh tak

menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana.

Bugel Kaliki tak mau

berbicara lagi. Setelah

memandangi pertempuran itu

sekali lagi, tiba-tiba ia

meloncat sambil berteriak

tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana

pun telah bersedia pula.

Karena itu segera ia

menghindar untuk segera

meloncat dengan tangkasnya

menyerang kembali. Demiki-

anlah, kedua orang itu

kemudian bertempur dengan

dahsyatnya di antara hiruk

pikuk pertempuran. Ki Ageng

Sora Dipayana benar-benar

harus memusatkan segenap

perhatiannya untuk melawan

hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak

mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun

demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru

bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit

demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju.

Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena

bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat

meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam.

Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat berloncatan

Page 61: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 92

seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala.

Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup

makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya,

ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan

lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya

bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung

branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu

mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf. Inilah yang

mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan

bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi

oleh lawannya. Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk

melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada

ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang

dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian

itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya,

yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara.

Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan

pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga

setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri.

Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar

golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan

keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah

seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika

mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam

pertempuran yang sengit.

Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di

langit yang bersih. Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa

untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk

kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa

manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah

berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh

mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya.

Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena

mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan

Page 62: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 92

mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang

mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta

itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan

pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah

mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung

zaman.

Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar

dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan

tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga

dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya

kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan.

Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di

lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh. Berdentanglah

bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri

kesakitan.

Di pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani

Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan berkepala besar.

Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi

menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera

melihat Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang

bertubuh kecil dan samasekali tak segagah lawannya itu dapat

bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah

dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang

tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi

seperti perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh lawannya,

maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar

biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang

lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran

tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan.

Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka

mereka bersama-sama akan tergetar surut.

Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati,

Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika

Page 63: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 92

Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu,

berkatalah Ki Ageng Pandan Alas, “Apakah aku aneh?”

Pasingsingan menggeram, jawabnya, “Kenapa kau hadir juga

di sini?”

“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki

Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan.

Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan

Alas.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram. “Jangan banyak ribut.

Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan

segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau

lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Kenapa aku harus pergi. Atas

hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”

“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati

tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat

kau campuri,” sahut Pasingsingan.

“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng

Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?”

kata Pandan Alas.

Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-

lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya

ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki

berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura

Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten. Di ujung lain ia

melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang

menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan

keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat

melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat

Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya

kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain,

Page 64: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 92

Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan

Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan

pekerjaannya. Dengan demikian, kelebihan yang seorang itu, akan

mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa dapat membantu salah

seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan

mereka satu demi satu dengan cepat.

“Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.

“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan. “Aku sedang

berbangga.”

“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.

“Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan

menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan

menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Jangan mimpi. Kau kira Demak

itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang

bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat

mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka

Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari

Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi

kesulitan mereka. Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?”

Pasingsingan menjadi marah. Jawabnya, “Lihat, sebagian dari

laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan

di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”

“Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit

saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat

berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat

melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan

teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan

tubuhmu,” sahut Pandan Alas.

“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke

asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.

Page 65: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 92

Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga.

Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan

garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam

satu loncatan ia menerkam lawannya.

Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping

sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan

menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin

yang keras. Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar

tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung

Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan

sikunya ia melindungi dirinya.

Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian

pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai

kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-

kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya.

Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat,

namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang

mengerikan. Kedua orang itu berjuang dengan segenap kekuatan

dan tenaga, dengan segenap kepandaian dan kemampuan. Ketika

keringat mereka mulai mengalir membasahi pakaian-pakaian

mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan

kemudian yang tampak seakan-akan seperti gulungan asap yang

berputar-putar dengan cepatnya, seperti gulungan awan mendung

di langit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti ledakan

guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itu pun

menjadi kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar

menaburi kedua orang yang sedang berjuang di antara hidup dan

mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam lingkaran debu itu

tak dapat diamati lagi.

Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara

Pamingit dan Banyubiru itu pun terjadi pertempuran yang dahsyat.

Laskar golongan hitam bertempur membabi buta. Siapa pun dan

apa pun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya.

Namun mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka

Page 66: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 92

membentur laskar Banyubiru. Bantaran di ujung sapit, Jaladri di

tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-

benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus banjir

dari orang-orang golongan hitam itu.

Di antara mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang

mengaum-ngaum dengan kerasnya. Betapa ia mencurahkan

dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu.

Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan

tawanan anaknya di bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata

bahwa Rara Wilis, yang dalam pengertian Sima Rodra

diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah yang

membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan

beban yang selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa

Jenar. Tetapi sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar

Mahesa Jenar tertawa. Tidak terlalu keras, namun nadanya hampir

memecahkan dadanya.

“Gila…!” teriaknya. “Apa yang kau tertawakan?”

“Bukan apa-apa,” jawab Mahesa Jenar. “Aku hanya

menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.”

“Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama

nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram harimau dari Lodaya

itu.

“Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa

hatiku sekecil hati kelinci dan selunak hati kucing yang dihadapi

daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,” teriak harimau

itu dengan garangnya.

“Aku sudah tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama.

Sejak kau mencegat aku di jalan silang ke Bergota dari Gunung

Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di Gedangan kita

bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo

Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan

Wilis. Karena itu Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi

Page 67: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 92

kesalahanmu. Di Karang Tumiritis kau telah menghinakan kami.

Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku, cucu

Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu

membunuh anakku.”

Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa.

Ia mencoba tertawa seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya,

“Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa Jenar.”

Kembali dada Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian

itu pulalah yang didengarnya pada saat itu di bukit Karang

Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa Jenar tiba-

tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil

berkata, “Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging.”

“Gila. Jangan kau berbangga atas kemenanganmu saat itu.

Kau memang mempunyai kelebihan dari kami dalam hal melarikan

diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra. “Tetapi marilah kita

sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersem-

bunyi.”

“Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku

kini berdiri di antara laskar yang sedang bertempur. Karena itu

akupun harus bertempur seperti mereka. Menang atau kalah,

marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku

yakin, kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan,” jawab

Mahesa Jenar.

“Huh, pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan.

Bagiku menang atau kalah tergantung kepada kita sendiri. Dan

bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh kejahatan dan di

atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut

seleraku,” bantah Sima Rodra.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan

membangun kebenaran di atas bangkai-bangkai dan kejahatan.

Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung. Kebenaran

baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri. Akhirnya ia

Page 68: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 92

menjawab, “Semakin banyak orang seperti kau di dunia ini,

semakin parahlah tata kehidupan manusia. Peradaban yang kau

bina, seperti yang dilakukan oleh anak menantumu di Gunung

Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di seribu

tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas

antara manusia dan binatang, antara manusia dan setan.

Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan pada

kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu

pemujaan yang kau buat, dengan mengalirkan darahnya.”

“Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong

Sima Rodra. “Hidupku dan hidupmu tidak akan lebih dari kisaran

satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang pendek itu?”

Tiba-Tiba tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan

perasaannya. Ia melihat orang yang berdiri di hadapannya dengan

baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur baur dari

segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti

kepada diri sendiri, “Aku harus menghentikannya sebelum ia

menjadi berkembang.”

Sima Rodra tertawa. Keras sekali. “Apa yang akan kau

hentikan?”

“Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu

menjadi besar,” sahut Mahesa Jenar.

“Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk

menjadi seorang pembunuh,” kata Sima Rodra.

“Ada bedanya? Membunuh kau sama artinya dengan

menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin memperkosa

kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak

adamu,” jawab Mahesa Jenar.

“Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra. “Yang aku ketahui,

kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.”

Page 69: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 92

“Otakmu terlalu beku. Atau samasekali diselimuti oleh noda-

noda hitam dalam hidupmu…?” Mahesa Jenar menyela.

“Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan

membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima Rodra.

“Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.

“Hem, kalau begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan,

dan membiarkan kau mati perlahan-lahan,” geram Sima Rodra

dengan marahnya.

“Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.

Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa orang

di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan hitam

sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang

bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman

yang mengerikan itu. Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas

harimau lapar, Sima Rodra menyerang langsung kepada Mahesa

Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar

agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-

akan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan diri

menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar, tetapi ia

ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di

mana kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu.

Kalau hal itu terjadi beberapa tahun lalu, maka Mahesa Jenar

pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena Sima Rodra

dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya. Tetapi yang

terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan

yang tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit

Karang Tumaritis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah

benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan

terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar

dan kemudian terdorong selangkah surut.

Page 70: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 92

Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia tidak

mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa Jenar

masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu sekali lagi ia

menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini Mahesa Jenar telah

menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga ia dengan

sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang

seharusnya. Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri,

dengan meloncat ke samping. Namun harimau yang hampir gila

itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah,

kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi

Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong kebelakang.

Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan

tendangan ganda.

Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan

dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan

demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki

Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada

bagian bawah lututnya. Namun Harimau Lodaya itu pun tangkas

pula. Ia tidak mau membiarkan hal itu terjadi. Ketika tangan

Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga

dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa

Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia mendorong

tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang

lain di arah lambung. Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan

Mahesa Jenar bersama-sama jatuh terguling. Tetapi dengan

demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan lawannya,

bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa

Jenar pun telah berdiri pula.

Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian.

Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai

kelebihan dari orang lain. Sima Rodra dengan penuh nafsu

kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa orang-

orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak

lain, Mahesa Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan

Page 71: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 92

kewajibannya sebagai manusia yang mengabdikan diri pada

kemanusiaan. Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar

Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia,

setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia

bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau

Gila itu. Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia

berhasil, maka telah diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu

yang akan membentuk bangunan kemanusiaan.

Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra

dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang dengan buasnya.

Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap, tetapi

kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau.

Jari-jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap

saat dapat menembus daging lawannya. Dalam pertempuran yang

hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam

di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan.

Namun lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu.

Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor

Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas

lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi

kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di

antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan

lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang

melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang

jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan.

Pertempuran di antara mereka yang berjalan di jalan Allah,

melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha

Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta

menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus,

maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.

Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru

pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh

darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah

pula oleh siraman darah yang merah segar.

Page 72: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 92

Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin

buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam

peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi

mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan

hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan

kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan.

Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang

mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala

kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk

diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk

diperlakukan dengan sekehendak hati mereka.

Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang

lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan

kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat

Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri

yang cantik-cantik.

Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas

keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk

menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan

tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan

untuk mereka.

Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-

matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan

mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang

ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.

Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah

beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora

Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin

pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti

beradunya angin prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten

melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam

dalam kabut yang gelap. Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur

Page 73: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 92

melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur dilangit

yang saling sambar menyambar.

Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan

hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang

bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya

untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-

kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah

berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-

benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah

pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada

pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil

bergumam, “Tikus yang sombong.” Kemudian ia melangkah pergi

di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam

kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya

bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang

sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar. Orang itu pun menjadi

heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi

Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki

Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran.

Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari,

dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan.

Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan.

Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang

dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya

itu pun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri.

Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan

seperti tikus itu pun tak akan berarti. Sebagai seorang tokoh yang

ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga

untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti

itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan.

Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas.

Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora

sekalipun.

Page 74: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 92

Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh.

Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh

siapa pun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri.

Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau.

Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya

Nagapasa itu pun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada

berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat

memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam.

Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia

bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia

memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan

kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi

tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia

mendengar seseorang menyapanya, “Alangkah dahsyatnya Tuan.”

Nagapasa menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar

berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena

itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang

hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu

sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari

lawan yang tak bertangan hantu.

Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh

kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak

melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari

laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu

untuk membunuh orang itu. “Mungkin ia belum mengenal aku.

Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan

baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat

bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.

Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke

dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk

menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi

orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-

akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa

Page 75: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 92

tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat

melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher

seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-

jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya.

Ketika seseorang bertempur di dekatnya, ia pun segera

meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik

leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu.

Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan.

Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia

mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun

suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak

menyenangkan. Kemudian terdengar ia berkata, “Tidak tanggung-

tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”

Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara

tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu

dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah

dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang

kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.

“He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.

Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Laskar

Banyubiru.”

“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah. “Namamu dan

jabatanmu?”

“Kebo Kanigara,” jawabnya. “Laskar biasa.” Nagapasa

menggeram.

Nagapasa menggeram. Nama itu benar-benar belum pernah

dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.

“Sudahkah kau mengenal aku?” bertanya Nagapasa

Page 76: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 92

“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara. “Bukankah Tuan yang

menamakan diri Nagapasa?”

Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah

mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.

“Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut. “Kalau demikian kau

kenal juga dari mana Nagapasa datang?”

“Ya,” jawab Kanigara pula. “Nagapasa berasal dari

Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka.

Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan

Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”

Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi

semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu

mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa

seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?

“Kalau demikian....” Nagapasa berkata pula, “Apa maksudmu

mengikuti aku?”

“He....” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa

yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu, “Bukankah kita berada

di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan

dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”

Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu,

katanya, “Kau akan melawan aku?”

“Apakah aku harus memilih lawan” sahut Kanigara. “Siapa

yang ada di hadapanku adalah lawanku.”

“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa. “Lihat betapa

orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan

berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”

“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.

Page 77: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 92

“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak

Nagapasa semakin keras.

“Tidak,” jawab Kanigara.

Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak. “Lalu apa

maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.

“Kita berperang. Mauku

bertempur melawan Tuan,”

sahut Kanigara.

”Orang ini agaknya orang

gila,” pikir Nagapasa. Dengan

demikian ia kehilangan nafsu

untuk berbuat sesuatu. Mela-

wan orang gila baginya hanya

akan membuang-buang waktu

saja. Kembali Nagapasa

berpaling kepada orang yang

dicekiknya. Kepada orang itu ia

akan menumpahkan kejeng-

kelannya. Dengan menggeram

ia berkata, “Nasibmu tak

begitu baik, tikus yang malang.

Berdoalah sebelum kepalamu

aku pecahkan.”

Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari

Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah

kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah

Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati,

bertempur di dekat orang bertangan maut itu. Namun akhirnya ia

memejamkan matanya pasrah diri. Dalam perjuangan maut adalah

tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia menelannya. Namun

ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan kebenaran.

Page 78: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 92

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga.

Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan kepala orang

yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu benturan yang keras.

Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa bahwa

tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi samasekali bukan

kepala orang yang dicekiknya. Dan kepala itu samasekali tidak

dipecahkannya, malahan tangannya sendiri merasa

tergetar. Belum lagi ia sadar akan peristiwa itu, kembali terasa

sebuah pukulan yang dahsyat mengenai tangannya yang lain, yang

sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian

kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang

yang dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh

berguling-guling.

Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh

tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan

pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman yang tak

terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar,

bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berada di luar

perhitungan. Ketika ia sadar memandang berkeliling, yang

dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo Kanigara itu, selain

beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan masing-

masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa

Kebo Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur

tangannya.

Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya tiba-tiba menjadi

merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup rapat, namun

terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang

bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan

gemetar, “Kau…?”

Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia

menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya, “Ya.”

Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu

bukan orang gila seperti yang disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara

Page 79: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 92

benar-benar orang perkasa, yang telah menempatkan diri sebagai

lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran.

Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih.

Karena itu ia sudah tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya.

Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk

lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah Kebo Kanigara.

Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut melihat ular

sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk

menghadapi setiap kemungkinan.

Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa,

samasekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo

Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan

Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan

dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut

lawannya, dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa

terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa pun cukup mempunyai

bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula

terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai

dirinya kembali. Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah

mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan

baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi ketika ia

berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara

pun telah siap pula tegak seperti bukit karang yang tak

tergoyahkan oleh badai yang betapa pun dahsyatnya.

Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan

kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali

Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun penuh gairah.

Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-orang seperti

Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat

manusia. Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang

perkasa itu segara menjadi semakin dahsyat. Nagapasa bertempur

seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan

dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan

menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa menguasai

Page 80: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 92

tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah menjadi

senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut

dan jari kakinya, tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat

meluncur dengan cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air

yang menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari

lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya.

Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga benar-benar

mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang

digelorakan oleh ombak yang dahsyat.

Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang telah

memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang, yang bahkan

almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa

sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo

Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan

dahsyatnya. Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari

semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging

Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-

benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur selincah

anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang seperti

singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti

seekor garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja

namun trengginas seperti sikatan. Seperti Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar tangguh

sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan

berkulit tembaga, bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah

membasahi punggungnya, tandangnya menjadi semakin garang,

seperti banteng ketaton.

Demikianlah, ketika matahari memanjat langit semakin tinggi,

pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kebo Kanigara dan

Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Namun disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa

pun menjadi heran. Apakah ia sebenarnya sedang bertempur

melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja ada malaikat

yang menjelma dan melawannya?

Page 81: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 92

“Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat

seandainya ia benar-benar ada.” Nagapasa mengumpat di dalam

hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia mengeluh,

“Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”

Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya

adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang memiliki

kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo

Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit,

akhirnya ia berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu

lawannya, tetapi juga segi kelemahan-kelemahannya. Suatu hal

yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo Kanigara memiliki

daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan.

Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang,

dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang

lain, ia dapat melakukannya.

Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu pun menjadi

semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi

tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua belah pihak

berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila

seseorang telah berada di tengah-tengah api peperangan.

Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap, seperti

kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.

Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel

Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak, serang-

menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa kesaktian

mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora

Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan

pandangannya ke bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti

juga apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Alas dan

Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali

mereka pun ingin mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-

bagian yang lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora

Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru

Page 82: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 92

dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora

Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia

menjadi heran. Mereka telah cukup lama bertempur, namun

agaknya Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan gigihnya.

“Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar

selama ini?” pikirnya. Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itu

pun terkejut pula. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo

Kanigara itu?” Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia

menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara

dapat bertempur melawan Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau

orang-orang seangkatannya. Bahkan karena darah yang jauh lebih

muda daripada darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo

Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.

“Hem....” desisnya, “Siapakah sebenarnya orang itu?”

Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas

berdesis, “Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.”

Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam, “Aneh. Belum pernah

aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”

Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang

keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara, namun

orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat

tandangnya.

Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo

Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di

antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan

bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur tumbuh di dalam

tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang

dengan rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat

menguasai ilmunya. Tidak saja Mahesa Jenar itu telah dapat

mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya, namun dalam

penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah

melampauinya. Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah

Page 83: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 92

menempa Mahesa Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula.

Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam

suatu perjuangan yang menentukan.

Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat

bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda

itu pun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan

kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu

menyambar-nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama,

melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat

ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh

menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan

lawannya, dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan

dan kekasaran Lawa Ijo samasekali tak mempengaruhi

langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan

segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah

menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil

menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana

seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari

terkaman serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu,

bagaimana seekor banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan

yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau yang

justru menyerangnya dengan garang.

Melihat pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia

menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia hampir

pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil

membunuh anak muda itu.

Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu

bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta

kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka

bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa

bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan kemungkaran.

Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di

bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta

Page 84: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 92

kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang

memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah

dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-

ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang

berputar di udara, “Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki

kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak

yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu.

Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora

menggeram. “Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke

dalam tindakan-tindakan yang hina.”

Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut

mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia ia

pun tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora,

jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”

Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada

Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung kerisnya

sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada

saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa

Gajah Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa

pada suatu saat ia harus dapat membunuh Jaka Soka dengan

tangannya. Tetapi Jaka Soka itu pun bukanlah anak-anak yang

baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas.

Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang

menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan

dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang

gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di

hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang

yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka

mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun

menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam dada

Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga,

Page 85: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 92

sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu

gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam

pertempuran itu, Nagapasa.

Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak

langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat. Angin

pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di

ujung-ujung senjata.

Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk

memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-

masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun

tak seorang pun dari mereka yang dengan senang hati

menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu

bertambah-tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang

melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang meleleh dari

luka, samasekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih

yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata samasekali

tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan

senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk

bermanja-manja. Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena

darah yang terperas hilanglah harapan mereka untuk dapat

melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan

diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan.

Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja

di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan

diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat

memapahnya dan menyingkirkannya.

Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid

Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula penuh nafsu

dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo.

Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid

Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-

tiba seorang yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang

menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan

senjata-senjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang bertangkai.

Page 86: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 92

Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya

bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara

kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung.

Namun, pedang Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata.

Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah, terdengarlah

dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung Sariti

dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas

Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang

berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti

dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang

cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya,

berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang

daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang

Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu

mematahkan besi gligen.

Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi

seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga

bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-

saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itu pun

lenyap tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur

berpasangan. Maju bersama-sama dari arah yang berbeda. Tetapi

pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang

melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung

jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.

Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti

seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan pedangnya

menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun

tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti

Wulungan. Dengan tangkasnya ia meloncat kesana kemari,

menggerakkan pedangnya dengan lincahnya, mematuk-matuk

seperti lidah api yang dihembus angin.

Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya.

Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka

Page 87: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 92

memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus

berhadapan sebagai lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar

dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan Galunggung.

Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari

Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu.

Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti

seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun

seperti seekor serigala lapar.

Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan

sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa

terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga. Sri Gunting dari

Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar

Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding

baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk

memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang

bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas. Jaladri,

yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan

gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa

Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati. Setelah

sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang

Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan

beberapa pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya.

Menumpas golongan hitam.

Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia

berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan lawannya yang

mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari samping

dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam

usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian

melawan Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka.

Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk

dapat menyelamatkan dirinya.

Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur

dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati di dalam

Page 88: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 92

kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian.

Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya.

Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah

yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap,

yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang runcing

tajam.

Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja

lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang

Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu

bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah

kiranya seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa

bertempur melawan laskar Banyubiru itu? Laskar yang semula

mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda yang hanya

pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau

merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung

hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada

di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar pejuang

yang mengabdikan diri pada cita-citanya.

Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih

tampak berarak-arak di wajah langit yang biru. Burung gagak

berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang

menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di

udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi.

Betapa segarnya darah yang mengalir dari luka. Mereka harus

mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar dan

serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu

masih ribut. Dan burung-burung itu pun menjadi semakin tidak

sabar dan berteriak-teriak tinggi.

Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak

laskar golongan hitam, namun pergeseran garis pertempuran itu

tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa kekuatan

mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak

yang akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu

mempunyai kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata.

Page 89: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 92

Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya.

Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia

melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya

mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk

sembilu. Tiba-Tiba Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan

pertempuran itu segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo

Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun

mereka samasekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka

belum berhasil untuk berbuat sesuatu.

Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban

yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari

luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun

lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan

segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana.

Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis

Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka.

Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi

mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan

mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika

Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang

mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah

gelap. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka

saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning

gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu. Ia

menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu

andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar, atau kedua-duanya.

Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai

cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil

ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan

masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai

kulit Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan

tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan

Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika pisau yang gemerlapan

itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya ia

Page 90: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 92

menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang

tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara

keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki,

menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan

hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan

demikian, seolah-olah bagi mereka sengaja disediakan tempat

yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.

Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-

sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan daerah yang

samasekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada

bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian

memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena

pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya maka

hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai

gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka

berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul

tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata

di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang

lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa

di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga

sehingga tak seorang pun yang berani mendekati.

Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora

Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan

pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali

perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan

korban akan berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-

hari, seperti ia sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki.

Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan

betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut.

Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas tertinggi

dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha untuk

membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu.

Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten.

Page 91: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 92

Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda.

Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang

dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa

Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum

kecil. Memang pada saat itu pun Mahesa Jenar dihinggapi oleh

perasaan yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam

dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan

Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka,

seperti mereka pula, mencemaskan betapa korban akan

berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila

keseimbangan pertempuran tidak segera berubah. Karena itu,

ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-

lahan. Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima

Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil mengaum

mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji

perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak

perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah

kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa

puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya

yang aneh-aneh?

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra

pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil suatu

kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan

permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi

bertambah liar. Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan.

Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta

menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang yang menggigil

kedinginan. Mahesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang

demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai

Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa

pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga

kekuatan aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat

dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak memerlukan

pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan,

segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan

Page 92: 21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 92

segenap pancaindra dan pikirannya. Diangkatnya satu kakinya,

satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain

diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai la-

ngit. Demikianlah, pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir

Mahesa Jenar bergumam, “Dengan Nama Allah yang Maha

Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada kekuatan

kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.” Pada saat

itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan

kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha

untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung

itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian

dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima

Rodra yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya,

dengan kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya

tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong selangkah ke

depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar

lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau

yang telah menjadi gila itu.