21 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 92
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 92
I.
ugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia
benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga
ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia
menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa
orang itu samasekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah
suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain
panjangnya. Sesaat kemudian kain itu pun telah berputar dan
menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya.
“Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang
terus.
Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia
menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia
menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya.
Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun
demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan
beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar
kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah
dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang
dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat
banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka.
Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata
benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya.
Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja
segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur
anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh
tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka
di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah
menghemat tenaga mereka.
Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia
dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang
B
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 92
dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun
mereka tetap melawan dalam gelar yang baik.
Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu
mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita,
namun karena kerjasama mereka lebih rapi serta jumlah mereka
lebih banyak, maka mereka pun dapat memberikan perlawanan
yang cukup.
Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana
terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua
ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa
seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi
bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku.
Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang
cemerlang.
Tak seorang pun yang mengganggu perkelahian kedua orang
itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit.
Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi
aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung
Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, aku
pun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan
ternyata orang-orang Pamingit itu pun tidak membiarkan aku
terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel Kaliki mencoba
menyambar aku, orang-orang Pamingit itu pun selalu melindungi
aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya.
Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak
dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain
korban jatuh satu demi satu dari kedua belah pihak. Pertempuran
itu pun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun
keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan
mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir
orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang
Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 92
ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit samasekali. Namun
mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan.
Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung
perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke
dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk
menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah
tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri
mereka masing-masing. Orang dari golongan hitam, yang
biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itu pun
agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun
segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis
pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri
dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi
semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itu pun akhirnya
merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam
gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin
tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa
bahayanya menjadi semakin besar.
Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula.
Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka
masing-masing meninggalkan medan itu pula.
Demikianlah pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan
berakhir pula ceritaku. Malam itu aku mohon ijin untuk
meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang
Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun
demikian Ki Ageng berpesan, “Jaladri. Sampaikan apa yang kau
lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang
dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin
juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora
akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah
terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-
korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan
berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil
mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 92
buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-
sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar
Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan
mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus
bergabung pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
menurun, “Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu
dengan cucuku itu.” Jaladri mengakhiri ceritanya. Dari wajahnya
terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng
Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya.
Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing
duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam
dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh
suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber
Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya
Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah
dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas
dalam-dalam ia pun menjawab, “Aku tidak mengalami
pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan
sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang
Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya.
Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun
mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang
hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan
dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung
Penjawi. “Gila....” desis Wanamerta.
“Ya....” Penjawi meneruskan, “Karena itulah maka mereka
mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing
yang diceritakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber
Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 92
tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang
tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh
hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk
membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus
berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”
Ketika Penjawi berhenti bercerita, kembali pendapa itu
menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari
biasa, menjadi semakin terang.
Sesaat kemudian Penjawi meneruskan, “Korban berjatuhan.
Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan
hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itu pun
tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak
mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik
diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada.
Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin
banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu
jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak
menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan
ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi.
Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itu pun
terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga
ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan
terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu
pertolongan yang tiada taranya.
Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan
Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di
belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang
Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan.
Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak
kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu
Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu
Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 92
melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu
dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
Penjawi berhenti bercerita. Sekali lagi ia memandang wajah
Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya
tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali
digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri
menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka,
tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-
kali terngiang di telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban
berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan
bertambah-tambah.”
Dalam kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh
orang yang tak kau kenal itu?”
Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh tak
tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang
mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang
perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara
perempuan.”
“Titis Anganten....” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Orang sakti dari Banyuwangi.”
“Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka
hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”
“Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara,
“Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”
“Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.
Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut
dalam angan-angan mereka sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 92
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka,
“Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”
Tak seorang pun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam
kediaman yang beku.
Ketika tak seorang pun yang bersuara, bertanyalah Mahesa
Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling,
seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun
demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud
pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan
eyangnya kepada Jaladri, “Aku tidak tahu apakah kami akan
berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit,
dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu
dengan cucuku itu.” Maka kemudian ia pun berkata lantang, “Nah,
apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan
dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian
Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian
akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari
golongan hitam.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut
mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke
perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu
keganjilan di dalam dada mereka.
“Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak
akan berulang.”
Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu
perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya
Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih
berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan
muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 92
muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak
cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka.
Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang
cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang
pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia
mendengar cerita Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya
perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar
Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan
mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir
orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka
akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka,
namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang
Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam,
timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apa pun
yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimana pun
tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-
orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah
orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah
mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk
tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru, orang-
orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut
dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah
kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman
mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian,
apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir
didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-
luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena
pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam
diri.
Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan
tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa
Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang
tersirat di hatinya. Karena itu ia pun menjadi terharu. Tetapi ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 92
tidak berkata apa pun, selain beberapa kali mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman-
paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya
aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku
ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri,
sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada
kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian
merasa bahwa kalian tidak rela mendengar cerita bahwa saudara-
saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari
golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang
hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan
Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah
payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek
serta ayah-bunda kalian?”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung.
Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya
Salaka. Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti
terangnya matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman
sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan
pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya
ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah
kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita
dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh
pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu.
Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun
seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap
berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran,
bukan untuk melepaskan dendam kita.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan
kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan.
“Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman yang
perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam
pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 92
seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah
pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam
itu. Apakah kalian sependapat?”
”Pasti…!” teriak mereka
serentak. “Kami sependapat.
Dan kami segera akan
melaksanakannya.”
“Bagus,” potong Arya
Salaka. “Kita akan berangkat
segera setelah separo dari
laskar kita berkumpul di alun-
alun.”
Arya tidak perlu meng-
ulangi perintahnya kembali.
Para pemimpin itu segera
berdiri, dan berloncatan ke
halaman. Segera mereka
berada di atas punggung kuda
masing-masing, untuk kemu-
dian melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa
kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih
mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang-
orang Pamingit. Dan sekarang perasaan itu diungkapnya kembali.
Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih duduk selain Arya
Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri,
Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan
Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka
berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat
semuanya?”
“Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita harus berhati-hati.
Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih
berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 92
disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat
menduga lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat
bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai
Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar,
tinggal di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba.
Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula. Dan bagaimanakah
sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada
Kebo Kanigara.
“Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri
menyahut sebelum ayahnya menjawab.
“Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita
menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.”
“Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar Eyang
Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di
hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak
mengalami kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit
mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi
kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari
kekuatan lawan. Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti
sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan laskar Kakang
Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali. Lebih-
lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan
apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu
mengalahkan orang yang bernama Nagapasa, atau Sima Rodra
atau Sura Sarunggi?”
“Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya.
Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa tersenyum-
senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka
mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat
gambaran dari medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik.
Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun
agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan
berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 92
orang dari golongan hitam itu membenarkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang
melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-
nakuti kau dengan cara-cara yang tak wajar.”
“Aku tidak takut,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya
prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan
hitam.”
”Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri
“Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah
dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut
ayahnya.
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Beberapa orang
terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah
cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri
menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di
dalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa
sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap
waktu, maka ia pun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri
tidak ikut serta. Apalagi Rara Wilis pun tidak.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri
berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya
Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.”
Arya Salaka tersenyum.
Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal
bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?”
”Tentu,” jawab Wilis “kau menemani aku disini”.
“Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata
Yudha,” Rara Wilis meneruskan, “dan paman Wirasaba akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 92
meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari
bukan begitu paman?,”
“Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa.
“Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan, “sebenarnya
paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,”
“Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi
Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman Mahesa Jenar takut
kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan datang
menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik
kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.
“Tobat bibi aduuuuh.”
Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona
merah yang panas menjalar ke pipinya.
“Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya.
“Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan
terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.”
Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum. Memang WIduri
benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapa pun,
kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia
pun berbuatlah.
Sementara itu para pemimpin Banyu Biru telah sampai ke
pasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar
mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang
didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba
mereka harus membantu Pamingit. Namun setelah mendapat
penjelasan dari para pemimpinnya, merekapun sadar akan tugas
itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap
gerombolan yang mengkhianati kemanusiaan. Mengkhianati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 92
ketentraman hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah
mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah mereka rintis.
Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan
tertinggi di Demak.
Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri
mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka, apakah
senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya.
Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru menjadi
kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan
pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka
mempunyai tugas yang penting pula di Banyubiru.
Demikianlah ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi
diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah
ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun. Kelompok demi
kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati mereka
setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas
tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang
mengetuk ngetuk dada mereka, meskipun terasa bahwa tanah
tercinta ini telah mengalami beberapa kemunduran. Tetapi telah
beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam masa-masa
yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka
dibumi tercinta ini kembali. Disekitar alun-alun itu pun kemudian
berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera putera
daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari
kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit.
Namun ternyata mereka sekarang datang kembali dengan senjata
di tangan.
Setelah pasukan itu semuanya memasuki alun-alun, maka
berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya
Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa
penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus
menempatkan diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana.
“Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, “ki Ageng Sora
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 92
Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas
Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak
daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang
berjuang melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar.
Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah
apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang
kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan
orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”.
Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng
Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”
“Terimakasih,” jawab Arya, “tentukan separo dari kalian akan
kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini untuk menjaga
kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian,
siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat
meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak
keluarga dan orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari
telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus
berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat
tengah malam kalian harus sudah berada di Pangrantunan,”
Ketika penjelasan Arya Salaka itu diberikankepada setiap
kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah mereka.
Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak
saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena
ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka
pikirkan. Arya tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada
didalam dada laskarnya. Sebab ia sendiri merasakan, betapa
rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang
berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini
orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan
ia tidak tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah
orang-orang dari golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba-
tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa
membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena
dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 92
perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya sebagai
seorang pemimpin.
Sesaat kemudian bubarlah barisan yang berada di alun-alun
itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran ke
segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak
mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir
seluruh keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin
juga berjalan jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang
timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga
ke rumah kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah
menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan laskar
Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini
selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak
lebih dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya
mampu membuat kacau dan bencana. Namun setelah mereka
mengetahui apa yang telah dilakukan laskar Banyubiru itu yang
dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah
seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah
laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk
kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah
berusaha dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain
atas mereka.
Sisa waktu mereka pergunakan untuk beristirahat. Di bawah
pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di tempat yang
sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai
waktu untuk beristirahat.
Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya.
Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya yang
tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan
dirinya.
Ketika matahari telah mulai condong ke barat, sibuklah kem-
bali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang singgah di rumah
keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 92
membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera
memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan
mereka tumbuh tepat sepanjang tubuh.
Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu telah riuh kembali,
Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada yang
bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya.
Suaranya terlempar dari tebing bukit Telamaya, merayap ke
segenap penjuru, melontarkan panggilan suci. Panggilan
kemanusiaan untuk menegakkan hukum-hukumnya, sebagai
suatu panggilan pengabdian yang luhur.
Sekali lagi Arja berdiri berhadapan dengan para pemimpin;
kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi. Sebagian dari,
mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke Pamingit.,
namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula,
mengamankan Banyu Biru.
Kali ini Arya berbicara singkat saja, memberi mereka petunjuk-
petunjuk kemana laskar itu harus pergi. “Kita langsung pergi ke
Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk membuat
garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana terdesak. Kita
semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya.
Perjuangan kali ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian
untuk mempertahankan Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang-
orang yang jauh lebih jahat dan biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu
goloiigan hitam. Tetapkanlah hati kalian. Tuhan bersama kita.”
Kemudian terdengar kembali sangkakala memecah udara
Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap hati
laskar yang sudah siap itu.
Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari para pemimpin
mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk ketiga
kalinya, maka ujung barisan itu pun mulai bergerak, diikuti oleh
barisan-barisan yang lain, sehingga akhirnya di alun-alun itu
tinggallah separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 92
itu pun, seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama-
sama dengan pasukan yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian
mereka sadar oleh suara Wanamerta, “Nah, kalian yang tinggal.
Jangan menghilangkan kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin
lusa kalian harus bertempur pula. Nah sekarang kalian dapat
membubarkan barisan ini. Kembalilah kedalam barak2 yang telah
ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiap
siagaan yang tertinggi.”
Ketika laskar yang separuh itu kemudian meninggalkan alun-
alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa untuk
duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar
Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu
Biru diletakkan, sepeninggal Arya Salaka
II
Di Perjalanan, tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya
Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara. Angan-angannya
lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib ibunya.
Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua
orang telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda
mendahuluinya. Mereka harus mengetahui, apakah laskar
Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora
Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak.
Untuk menghindari salah paham dengan laskar yang langsung
dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh jalan
melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju
ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus
Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara.
Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah menembus
hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa
saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah
mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 92
mereka temui diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat
menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal.
Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan
perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas
bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang lelap. Angin
malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon
perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup
terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan.
Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang
ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah
menunggu.
“Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka.
“Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke
Pangrantunan,” jawab orang itu.
“Sejak kapan?” tanya Arya Salaka.
“Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-
laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu.
“Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan
pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut.
“Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab
mereka.
“Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tak aku ketahui. Namun mereka belum sampai di
Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan
bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng
Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa
meninggalkan garis perang dalam keadaan tak teratur.”
Arya menarik nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan
hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu gabungan dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 92
sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok,
Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu
dari Lembah Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-
angannya, bahwa Pamingit benar-benar sedang dilanda oleh
taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang beberapa
saat yang lampau dapat bekerjasama dengan mereka, akhirnya
sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu,
karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu
Sora adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan
suatu kerjasama yang tulus.
Tetapi kini golongan hitam itu benar-benar salah hitung.
Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi
laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian
menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan
demikian, menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti
menggilas ranti, untuk kemudian menghantam hancur sisa-sisa
laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru.
Mereka samasekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan
ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus
dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka.
Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk
mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau,
apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang
telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di
dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima
Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang
rumah pamannya di Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di
rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan
perlindungan kepadanya.
Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati
Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat
beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu.
Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk
menghindari kesalahpahaman.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 92
Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku
menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?”
Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik Arya, sebab di
malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul
salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin samasekali tak akan
menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.”
Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan
kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal
menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para
pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke
manakah mulut gua menghadap?”
Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia
berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.”
“Dari golongan hitam?” bentak para pengawal itu, dan
bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera mengarah
ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari
golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?”
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para
pengawal itu.
“Dari Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.
Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan
dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat
berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk
selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan
itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 92
Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah
utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami
sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
berkata, “Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa
pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat
menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak
bermaksud jahat?”
Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau dapat
bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab
sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu
mengenai daerahnya.”
“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal
yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.
“Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan?
Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan
orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab
Mahesa Jenar.
“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk
Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.
“Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora
Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai
kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa
Jenar.
Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah
mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti,
berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang
seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya
bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang
bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah
Perdikan Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 92
Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia
mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau
kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini.
Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu
saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar
utusan Angger Arya Salaka.”
Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti
tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang
di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap
Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan berbuat hal-
hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini
bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat
memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat
kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan
selamat ke Banyubiru.”
Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak,
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke
Pangrantunan.
Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang,
tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat
yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah
itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu
berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya
seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga
orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
“Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui
namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang
mendengar laporan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 92
“Hanya seorang, yang dua orang samasekali tidak,” jawab
pengawal itu.
Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng
Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?”
“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.
Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu.
Ketika Ki Ageng Sora
Dipayana dan Wulungan meli-
hat Arya, merekapun menjadi
terkejut. Dengan serta merta
Ki Ageng Sora Dipayana
menyapanya, “Kau Arya.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara mengang-
guk hormat. “Ya, Eyang,”
jawab Arya.
Dengan pertanyaan yang
melingkar-lingkar di dalam
rongga dada, orang tua itu
mempersilahkan tamunya ber-
tiga untuk duduk di atas tikar,
di bawah cahaya obor yang
samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu
bergolak.
“Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata
kakeknya perlahan-lahan. “Adakah kau mempunyai keperluan
yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-
orang dari golongan hitam itu selesai?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 92
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera
menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya
orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian
mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.
“Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya
Arya.
Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan
kepalanya, jawabnya, “aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau
seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai,
akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya.
Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir
dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan
kewajiban kami.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali
melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku
ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang
telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan
kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki
Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan
penuh dengan pengalaman hidup.
Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti
maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh
persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan
Arya?”
Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera
menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia
minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya
kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas,
karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan
perasaan dengan kata-kata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 92
Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya
ia menganggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh
diluar pondok itu.
“Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.
Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah
duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki
Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil
mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan
Sawung Sariti?”
“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya.
Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang
bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang
dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa
perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka.
Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya
Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan
itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?”
Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,”
jawabnya.
“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi
ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan
tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak
itu ke sini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 92
“Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah
kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun
mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.
“Aku sedang bertanya kepadanya.” Ki Ageng Sora Dipayana
berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang
dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya.
Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya,
namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu
kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.
Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar
sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki
Lembu Sora berkata, “Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat
di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi.
Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti
akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna
wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah
kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan
golongan hitam?”
Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar
mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar
mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa
kelam warna itu.
Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia
menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju
pendek sangat sederhana. “Hmm....” Terdengar ia menggeram.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo
Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki Ageng Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 92
Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami.
Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati.
Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa
sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng,
jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya
yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan
tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah?
Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek,
apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring.
Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh
hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.”
“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng
yang bagus.”
“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan
tidak sabarnya. “Menuntut balas? Menuntut supaya Lembu Sora
dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar dapat kembali
gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat
memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah
buat golongan hitam itu.”
Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi
sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun demikian
terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki
Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan
wajar. Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran
maupun curiga. Aku juga pernah mendengar sebuah cerita yang
menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji. Meskipun
Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari
orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning
maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah
mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan
kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurha-
kainya itu pun dimuliakannya pula.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 92
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat
ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga
maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud
kedatanganmu.”
Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa.
Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki Ageng, Arya Salaka
datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada
pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah
pimpinan Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.”
Pondok kecil itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata
itu. Mereka samasekali tidak menduga bahwa demikianlah maksud
kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu terdiam
seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam
rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia
sedang terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha
untuk meyakinkan pendengarannya.
Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan
wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya
sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari
matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas
pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana
telah mengalami kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia
tak pernah membiarkan perasaannya hanyut dan tenggelam dalam
kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri,
sehingga satu-satu jatuhlah air matanya.
Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya
nafas mereka yang saling memburu, terdengar sedemikian
jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir mudik
melakukan kewajibannya dengan tertib.
Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora
Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar,
supaya aku menjadi yakin karenanya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 92
“Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku
ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai
tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima
kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin terharu karenanya.
Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi anaknya,
Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.
“Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Lembu Sora seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia
menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula
memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin
menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya,
namun yang keluar dari mulutnya dengan suara yang bergetar
hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu
sekarang, Arya?”
“Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.”
Jawabnya.
“Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat
tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Baik, Eyang’” jawab Arya. Kemudian ia pun berdiri dan mohon
diri untuk membawa laskarnya masuk ke Pangrantunan. Sedang
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama dengan
eyangnya di pondok itu.
Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang
menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya
tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu
Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 92
Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan
antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai lawan yang
hampir saja menumpahkan darah.
Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima
kasih Paman Wulungan.” Jawabnya.
Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan dalam
keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam.
Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka
melihat Wulungan lewat di depan mereka.
Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka melihat laskar yang
berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka. Beberapa
orang yang luka masih belum terawat dengan baik.
“Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka.
“Ya,” jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?”
“Parah,” jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih
lebih baik.”
“Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita
akan mengalami keadaan yang sama.”
Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang samasekali tidak
sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan.
Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu kembali. Ia
pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan.
Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar
itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi
bernama Galunggung?”
“Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.
“Ia termasuk orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa
tahun. Namun karena sifatnya yang disukai oleh Angger Sawung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 92
Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang sekarang.
Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”
Kemudian kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin
malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara yang
sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya.
Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger....” Arya
Salaka menoleh, namun tidak menjawab.
“Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin
seperti Angger ini.” sambung Wulungan.
Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?”
“Sudah lama aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya
sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati Angger.
Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang
mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini,
sehingga dengan demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan
di dalam tubuh Angger. Orang setua aku inipun tak akan
membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang dengan
laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam
kesulitan ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-
sifat Angger Sawung Sariti.”
“Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.
“Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah
salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”
Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia samasekali tidak
membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan dikagumi
orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa
karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk
dan mendapat sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah
cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya, tentang dua orang
hamba seorang raja dan yang seorang adalah pemungut pajak
yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama menghadap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 92
raja, maka berkatalah penghulu istana, “Maha Raja yang
bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu.
Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada
mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian
segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha
Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah
orangnya yang paling pantas untuk menerimanya.”
Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki
Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, “Duh Maha Raja yang
bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di
kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya
karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat
di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang
bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan
menerima hukuman yang akan ditimpakan kepadaku atas
kelalaianku itu.”
Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu memberikan
hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak
menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah
bahwa pemungut pajak itu benar-benar bertobat dan membagi-
bagikan hadiahnya kepada mereka yang pernah dicederainya,
sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja, hanya
karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan
selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima
hadiah.
Demikianlah Arya Salaka menerapkan cerita itu dalam
hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya berkorban
bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta
kesetiaannya pada kewajibannya.
Beberapa langkah kemudian sampailah mereka di pusat
pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang lain
lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat
kepadanya sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 92
“Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?”
“Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu.
“Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula.
“Tidak Kakang,” jawab orang itu.
“Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar
Banyubiru,” sahut Wulungan.
“Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan
beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka
mendesak maju.
“Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah
yang kecemasan itu.
Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Berita
kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka seakan-akan bunyi
kentong pelayatan atas jenazah mereka.
Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan
menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu
kita.”
“He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita
atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan
jelas beberapa hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan
laskar Banyubiru itu dengan kesiapan-kesiapan tempur.
“Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita
menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan.
“Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin
pengawal itu.
“Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar
Banyubiru itu,” berkata Wulungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 92
“Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah
dia?” tanya beberapa orang bersama-sama.
“Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan.
Kembali mereka terkejut. Orang itulah yang tadi datang
bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan
bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda
yang membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka.
Ketika mereka masih keheranan, terdengarlah Arya Salaka
berkata, “Jangan berprasangka. Aku datang untuk membantu
kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari Banyubiru, adalah
pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?”
Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba
menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka hanya dapat
menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan
mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya
Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba
melonjaklah keharuan di dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya
pemimpin pengawal itu segera berjongkok di hadapan Arya sambil
berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang
akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama
Pangrantunan.”
“Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil
menarik lengan orang itu. “Berdirilah,” katanya.
Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh
ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam
kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya bersama-sama laskar
Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan sifat-sifat yang
lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda itu. Arya
Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk
dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba
seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan
diucapkan, namun tak sepatah katapun yang terlahir.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 92
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami
akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak
berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara
laskar Pamingit dan laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan
bersama-sama berjuang untuk tanah kami.”
“Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu.
Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian meneruskan
perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan
beberapa tonggak dari Pangrantunan.
III
Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru itu pun segera
tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang
bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di
dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang
setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah
berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka
kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa
di dalam laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh
seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki
Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh, yang mirip
dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun setidak-
tidaknya nasib mereka berbagi.
Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki Ageng Sora
Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana
untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat
memberikan bantuan yang berarti.
“Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,”
jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut,
sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 92
Mata Lembu Sora masih saja membayangkan kekeruhan
hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya
benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan
jujur. Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya.
Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau
terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah
kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora
berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.”
Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh
membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak
melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari
Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa.
Mereka semuanya kemudian melangkah keluar pondok itu dan
berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan datang
masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan
ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat
yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora
yang masih belum mendapat penampungan yang baik.
Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera
Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata,
“Bagaimana Angger?”
“Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan,
Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka.
Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi
yang segera dibalas oleh Wulungan.
“Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut
Wulungan dengan ramahnya.
“Terima kasih,” jawab Bantaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 92
Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah
ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya
yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan
makan malam buat kami?”
Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur
melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab
di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu
Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat
bagian.” Jaladri kemudian tertawa.
Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka
segera laskar itu pun berangkat memasuki desa Pangrantunan.
Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih
juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun
kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran,
Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada
keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka samasekali tidak
berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka
mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang
menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun
laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan
genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit
Merbabu itu.
Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan
segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun
yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit.
Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang
senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka
memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari
pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain-
lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan
kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.
Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang
mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 92
Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar,
yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini
tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam
dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada
tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha
Pencipta bagi mereka.
Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar
Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru
dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta,
mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar
Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru....”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru
lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh
tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini
terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat
merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan
dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa,
yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding.
Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah-
pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang
dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-
satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang
memalukan. Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk
meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang
menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya.
Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru
dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu.
Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan
berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke
pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu,
bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara
genderang laskar Banyubiru itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 92
Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan
hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata
kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati
hitam.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi
menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia
menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di
dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya
dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.
Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup
laskar Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya.
Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai
Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora
menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat
kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan
marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah
anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora
terbanting di tanah.
Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika
pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena
ia pun samasekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris
dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa
mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya,
sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang
berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya,
Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam
pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan
demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama
yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan
laskar Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan
Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi
iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin
laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia
melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 92
Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah
memalingkan mukanya.
“Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.
“Hem....” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu
Galunggung?”
“Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang
sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar
gabungan dari golongan hitam itu.”
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu
banyak. Apa yang dibanggakan?”
“Yang datang hanya separuh, Tuan.”
Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya
menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.
“Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti
“Dari pengawal,” jawab Srengga.
“Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang
dilapisi oleh kedengkian.
Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi
mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang
lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang
menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing.
Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka
akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin,
nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas
dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur
laskar Banyubiru masih perlu diuji.
Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah
ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga
sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 92
sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat
merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk
bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu
Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana
kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.
“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.”
Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang
harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu
Sora dengan laskar Pamingit.
“Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang
datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang
kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana,
“Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu
banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang
menyerang.”
Tak seorang pun yang mengajukan pendapatnya.
“Karena itu....” orang tua itu meneruskan, “Kita masih
mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang
mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil
daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau
gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit
Urang.” Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka
duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti
mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam
peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar. Karena itu
segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka ia pun
menjawab, “Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 92
untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan
terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka.
Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari
ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang
tak mau mengikat diri itu.”
“Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-
orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”
Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar
Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten.
Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis
Anganten itu?”
“Ia berkeliaran sepanjang
hari,” jawab Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Tapi ia hadir dalam setiap
pertempuran.”
”Kalau demikian, biarlah
Paman Titis Anganten kita
perhitungkan pula. Siapakah
para pemimpin golongan hitam
dari angkatan tua itu?” tanya
Mahesa Jenar.
“Bugel Kaliki, Sima Rodra,
Pasingsingan, Nagapasa dan
Sura Sarunggi,” jawab Sora
Dipayana.
“Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang
dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk
melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,”
sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 92
dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu,
orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar
sendiri merasa, bahwa ia pun sanggup untuk menyerahkan dirinya
dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk
menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah
suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah lima
orang dari kamu itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah
cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan.
Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku
untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua
eyangmu Titis Anganten.”
Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk
meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan
disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan
kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana
menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu,
Sariti.”
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu
satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman
Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang
Tumaritis itu?”
Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan
menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar
menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di
Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami
kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan
karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya
melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka.
Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia
Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan
mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng
Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 92
pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa
Mahesa Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang
menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam
kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud
anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung
dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan- lahan ia
menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti
berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana
menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan
bersedia untuk membantu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan
Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger Mahesa
Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus
melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang
lain. Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan
kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata
gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu
terbunuh.”
“Kalau demikian....” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah aku
berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang
Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”
Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain
menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak
kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap
Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.
Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan
pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang
Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang
payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora
Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan
sisa malam itu untuk beristirahat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 92
Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia
menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang
dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa
perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat
sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus
bekerja mati-matian.
Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali
pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok-
pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah
disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun
malam.
Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang.
Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu
bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling
tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat
kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan
hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh
golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang
berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari
kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti
seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah dimukanya
orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?”
Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan
enyambutnya, “Ya, Eyang.”
Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?”
“Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.
“Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis
Anganten pula.
Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak
perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 92
untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten
itu, “Pamanmu ada…?”
“Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman
Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.
“Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya.
“Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.”
Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis
Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.
“Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab
Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.”
Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan.
“Ya.”
“Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.
“Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan bercerita
tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.
Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera
mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya.
“Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten
mulai, “Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan
adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang
bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya
golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa
perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak
ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu
Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat
persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam.
Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta
ibumu itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 92
“Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.
“Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.
Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya
menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha
Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada
orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak
dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang
Titis Anganten.”
Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata
sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.
“Eyang....” Arya mencoba memanggil. Tetapi Titis Anganten
tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-
lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk.
Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”
Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana
ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah
menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian
hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia
mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang
golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun
segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya.
Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping
Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga.
Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak
peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia
malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar,
tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan
kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam
tidurnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 92
Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa
orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa
orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat,
dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar
dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.
Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang
Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian
sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah
beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa
dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan
bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan
mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat
dinikmatinya.
“Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam.
Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat
lehernya.
Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara
dibunyikan. Laskar Banyubiru itu pun segera bersiap, dan berbaris
menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan
tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh,
segera merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin
dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora
Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila
mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban
sia-sia.
Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam
keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga
raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan
laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu
oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di
belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya
Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 92
Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka
Banyubiru, Kyai Bancak.
Beberapa orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk
mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu
mempersiapkan diri. Biasanya mereka samasekali tidak membuat
garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana
saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas,
bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk
mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan
mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya
tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah
mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan
demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka
telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di
Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka
harapkan, bertempur satu sama lain.
Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra
berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar,
akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.”
Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itu pun
melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang
golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang-
orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka
memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar
Pamingit dan Banyubiru.
Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan
desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan
laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan
Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit
dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang
menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di
sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor
udang raksasa yang siap menerkam lawannya. Di pusat gelar yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 92
justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar
Pamingit dan dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-
masing Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten. Sedang
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar Banyubiru,
sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka.
Di hadapan mereka, berjajar rapat di tepi desa Kepandak,
orang-orang dari golongan hitam. Merekapun agaknya telah
mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka samasekali tidak
membentuk gelar apa pun, karena itu, mereka dapat menyerang
ke mana saja mereka inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari
golongan hitam itu melihat gelar lawannya, mau tidak mau
merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan bagian-
bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.
Ketika di timur cahaya matahari sudah semakin terang,
sebelum bola api itu muncul di wajah-wajah langit, kedua laskar
itu pun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur.
Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka
dapat melihat dengan jelas siapakah yang berada di pihak masing-
masing. Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri
beberapa orang pemimpin mereka, yang dengan tertawa-tawa
menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan
dengan jubah abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap
dengan kulit harimau hitamnya, namun ia tidak mengenakan
topengnya. Nagapasa, Naga dari Nusakambangan, Sura Sarunggi
dari Rawa Pening yang menyimpan dendam tiada taranya atas
kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening. Dan hantu
dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.
“Adakah laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada
Pasingsingan.
“Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa
menghadapi laskar kita,” jawab Pasingsingan. “Namun yang harus
mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 92
Sima Rodra tertawa. “Biarlah aku selesaikan,” katanya.
Pasingsingan mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia
ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di mana tingkat kemajuan
yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia berdiam
diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.
“Sekarang mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru
itu. Sungguh suatu perbuatan yang tak dapat aku mengerti.
Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya kembali.
Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.
“Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan. “Sedang
perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita
tunda serangan kita dengan satu hari, keadaannya akan lain.
Laskar Banyubiru dan Pamingit pasti sudah bertempur. Tetapi
bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan
kedua-duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar
Banyubiru itu akan mempercepat penyelesaian.”
Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti
desis seekor naga. “Siapakah yang harus dilawan dari mereka?”
“Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan. “Sora Dipayana,
Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar.
Tetapi agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”
Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat
seseorang yang dengan serta merta, menerobos masuk dalam
laskar Pamingit.
“He…!” seru Bugel Kaliki, “Orang gila itu datang pula.”
Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di
dalam barisan Pamingit itu benar-benar diperhitungkan.
Demikianlah, Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas
kehadiran seorang sahabat lamanya. Namun terbersitlah
kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 92
banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah
pihak. Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan
orang itu dengan penuh gairah. “Selamat datang Danyang Gunung
Kidul.”
“Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya. “Agaknya orang
Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”
Titis Anganten tertawa. “Kau terlalu malas,” jawabnya. “Aku,
yang berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”
Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa.
Sahutnya, “Kerjamu tidak ada lain kecuali berjalan dari satu
tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus menunggu jagung
tua.”
“Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau
dunia ini akan meledak, kau masih saja menunggui jagungmu?”
sela Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula
di samping Sora Dipayana. “Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.
“Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.
“Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar
atau yang mana?”
“Mana saja yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya.
Tetapi meskipun demikian, dalam waktu yang cepat ia telah
berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut ketika ia
melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri. Namun ia agak
tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula
Kebo Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng
Pengging Sepuh di bukit Karang Tumaritis. Ia berdoa di dalam
hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat menempatkan
diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan
cidera. Juga ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat
membawa dirinya di antara laskarnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 92
IV
Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang
menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-
orang laskar itu berteriak nyaring, sambil berloncatan menyerbu.
Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera menggerakkan
tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar
sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur.
Tanda itu segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan
Galunggung. Merekapun memutar pedang masing-masing di
udara, sebagai perintah untuk bertempur.
Di sayap kiri, tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan
Arya Salaka. Dengan tekad yang bulat, ia telah menyerahkan
dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam hati,
“Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”
Ketika ia mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah
pedang Bantaran, Penjawi dan tombak bermata dua ditangan
Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka kepada
laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit
Urang.
Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya
mendesak maju. Mereka melingkar untuk kemudian menyerang
dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu tidak
mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun
menghambur menyerang laskar Bantaran dari arah yang mereka
sukai. Meskipun demikian, Bantaran tidak menjadi bingung. Ia
tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya yang bersenjata
pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti banteng-
banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian
tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak
inipun bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka
sadar, betapa orang-orang dari golongan hitam itu harus
dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal, akan dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 92
merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi
berada dekat dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri,
laskarnya bertempur tanpa mengenal takut, meskipun mereka
sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu dapat berbuat
hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena
itulah maka mereka harus dimusnahkan.
Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua
pihak yang sudah terlibat dalam pertempuran itu. Ia melihat
keadaan di sekelilingnya, kemudian pandangannya menebar ke
segenap penjuru pertempuran.
Di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh, ia melihat Ki Ageng
Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran untuk
mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu,
apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya
dahulu. Ia masih ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah
bertempur dengan Pasingsingan itu. Meskipun Pasingsingan itu
mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri khususnya, namun ia
tetap meragukannya. Demikianlah, supaya kedatangannya di
Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia benar-benar dapat
mengetahui, siapakah yang bersembunyi di balik topeng yang jelek
itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan tergesa-gesa
berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang
kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang
menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan,
tidak diajak serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan
dapat membantu memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan
Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula adalah persoalan yang
lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.
Di arah yang lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil
tersenyum-senyum. Orang itu pun agaknya sedang menikmati
kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja, siapakah yang
akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak
menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang
menyangka bahwa Titis Anganten itu dapat dikenainya dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 92
mudah. Para penyerang itu menjadi kecewa setelah mereka sadar,
bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Titis Anganten. Karena
itu segera mereka mencari sasaran lain, dan menyerahkan Titis
Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat
kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat
maju menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan
berkepala besar. Sura Sarunggi dari Rawa Pening.
Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki,
Si Bongkok dari Gunung Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus bertempur melawan hantu
bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar bahwa
Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas
tubuh lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan
terkelupas. Namun Bugel Kaliki itu pun sadar. Sentuhan tangan Ki
Ageng Sora Dipayana dapat merontokkan isi dada, dan dapat
menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji Lebur Sakethi
sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud
kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat dikenainya.
Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut lawannya, ia
mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir ketika
ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam
Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar
menyambutnya seorang diri, tidak dengan perlindungan laskarnya
samasekali. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain
berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera menempatkan
dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib
sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia
dengan sengaja menempatkan diri di garis lintas Naga dari
Nusakambangan. Nagapasa itu benar-benar orang yang dapat
berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya dapat
dipergunakannya untuk bertempur.
Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di
hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata, “Selamat
pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 92
nasib orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat
di tangan Harimau Tua dari Lodaya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata
Bugel Kaliki memperhatikannya, dan mencoba mempengaruhi
perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya untuk
melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab,
“Buat apa aku risaukan orang yang bernama Mahesa Jenar itu? Ia
bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga
dirinya sendiri.”
Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian
ia berkata, “Bagus. Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu
yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia melawan Jaka Soka? Dan
cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas
Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi
sedang dilibat oleh aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”
Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi memandang berkeliling.
Daerah pertempuran itu sudah semakin ribut. Masing-masing
berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap Lembu Sora,
Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir
bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan
mudah. Apalagi Lembu Sora berada di dalam barisan Pamingit
yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang membantu. Juga
Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid
Pasingsingan yang tidak banyak mendapat perhatian dari gurunya.
Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada Lawa Ijo.
Terhadap Arya Salaka, ia perlu menimbang-nimbang. Ia tahu
bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki ketangkasan dan
ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia harus
berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih
dahsyat dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki
Ageng Sora Dipayana memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar
Sapit Urang-nya. Ia bangga atas kesempurnaan gelar itu. Ia
melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang menganga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 92
dan menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya. Namun
sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap itu
berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama
dengan Lawa Ijo.
Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu, sebab sekali
lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke
sayap kirimu yang mulai rusak…?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, “Aku sedang menilai
pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu telah
berubah samasekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang
seperti taufan melanda laskarmu?”
Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya,
“Buat apa aku ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku
datang kemari seorang diri. Tak peduli apakah laskarmu atau
laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”
“Dan kau sendiri…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat
sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.
“Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora
Dipayana.
“Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku
akan membantu laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.
“Buat apa?” tanya Ki Ageng.
Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya, “Buat apa kau sembunyikan
keris itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana samasekali tidak perlu memberikan
keterangan, sebab ia yakin bahwa kata-katanya akan dipercaya.
Karena itu ia menjawab seenaknya, “Mungkin suatu waktu perlu
untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 92
Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang. “Kalau begitu kedua
keris itu benar-benar masih kau simpan?”
“Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.
“Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku
sudah tua, namun mati karena tanganmu, sungguh tak
menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana.
Bugel Kaliki tak mau
berbicara lagi. Setelah
memandangi pertempuran itu
sekali lagi, tiba-tiba ia
meloncat sambil berteriak
tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana
pun telah bersedia pula.
Karena itu segera ia
menghindar untuk segera
meloncat dengan tangkasnya
menyerang kembali. Demiki-
anlah, kedua orang itu
kemudian bertempur dengan
dahsyatnya di antara hiruk
pikuk pertempuran. Ki Ageng
Sora Dipayana benar-benar
harus memusatkan segenap
perhatiannya untuk melawan
hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak
mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun
demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru
bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit
demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju.
Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena
bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat
meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam.
Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat berloncatan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 92
seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup
makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya,
ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan
lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya
bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung
branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu
mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf. Inilah yang
mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan
bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi
oleh lawannya. Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk
melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada
ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang
dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian
itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya,
yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan
pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga
setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri.
Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar
golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan
keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah
seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika
mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam
pertempuran yang sengit.
Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di
langit yang bersih. Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa
untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk
kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa
manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah
berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh
mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya.
Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena
mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 92
mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang
mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta
itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan
pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah
mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung
zaman.
Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar
dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan
tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga
dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya
kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan.
Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di
lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh. Berdentanglah
bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri
kesakitan.
Di pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani
Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan berkepala besar.
Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi
menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera
melihat Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang
bertubuh kecil dan samasekali tak segagah lawannya itu dapat
bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah
dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang
tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi
seperti perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh lawannya,
maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar
biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang
lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran
tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan.
Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka
mereka bersama-sama akan tergetar surut.
Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati,
Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 92
Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu,
berkatalah Ki Ageng Pandan Alas, “Apakah aku aneh?”
Pasingsingan menggeram, jawabnya, “Kenapa kau hadir juga
di sini?”
“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki
Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan.
Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan
Alas.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram. “Jangan banyak ribut.
Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan
segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau
lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Kenapa aku harus pergi. Atas
hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”
“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati
tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat
kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng
Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?”
kata Pandan Alas.
Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-
lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya
ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki
berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura
Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten. Di ujung lain ia
melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang
menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan
keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat
melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat
Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya
kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 92
Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan
Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan
pekerjaannya. Dengan demikian, kelebihan yang seorang itu, akan
mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa dapat membantu salah
seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan
mereka satu demi satu dengan cepat.
“Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.
“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan. “Aku sedang
berbangga.”
“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan
menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan
menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Jangan mimpi. Kau kira Demak
itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang
bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat
mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka
Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari
Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi
kesulitan mereka. Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?”
Pasingsingan menjadi marah. Jawabnya, “Lihat, sebagian dari
laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan
di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit
saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat
berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat
melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan
teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan
tubuhmu,” sahut Pandan Alas.
“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke
asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 92
Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga.
Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan
garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam
satu loncatan ia menerkam lawannya.
Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping
sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan
menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin
yang keras. Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar
tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung
Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan
sikunya ia melindungi dirinya.
Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian
pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai
kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-
kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya.
Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat,
namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang
mengerikan. Kedua orang itu berjuang dengan segenap kekuatan
dan tenaga, dengan segenap kepandaian dan kemampuan. Ketika
keringat mereka mulai mengalir membasahi pakaian-pakaian
mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan
kemudian yang tampak seakan-akan seperti gulungan asap yang
berputar-putar dengan cepatnya, seperti gulungan awan mendung
di langit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti ledakan
guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itu pun
menjadi kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar
menaburi kedua orang yang sedang berjuang di antara hidup dan
mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam lingkaran debu itu
tak dapat diamati lagi.
Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara
Pamingit dan Banyubiru itu pun terjadi pertempuran yang dahsyat.
Laskar golongan hitam bertempur membabi buta. Siapa pun dan
apa pun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya.
Namun mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 92
membentur laskar Banyubiru. Bantaran di ujung sapit, Jaladri di
tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-
benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus banjir
dari orang-orang golongan hitam itu.
Di antara mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang
mengaum-ngaum dengan kerasnya. Betapa ia mencurahkan
dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu.
Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan
tawanan anaknya di bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata
bahwa Rara Wilis, yang dalam pengertian Sima Rodra
diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah yang
membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan
beban yang selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa
Jenar. Tetapi sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar
Mahesa Jenar tertawa. Tidak terlalu keras, namun nadanya hampir
memecahkan dadanya.
“Gila…!” teriaknya. “Apa yang kau tertawakan?”
“Bukan apa-apa,” jawab Mahesa Jenar. “Aku hanya
menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.”
“Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama
nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram harimau dari Lodaya
itu.
“Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa
hatiku sekecil hati kelinci dan selunak hati kucing yang dihadapi
daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,” teriak harimau
itu dengan garangnya.
“Aku sudah tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama.
Sejak kau mencegat aku di jalan silang ke Bergota dari Gunung
Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di Gedangan kita
bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo
Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan
Wilis. Karena itu Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 92
kesalahanmu. Di Karang Tumiritis kau telah menghinakan kami.
Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku, cucu
Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu
membunuh anakku.”
Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa.
Ia mencoba tertawa seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya,
“Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa Jenar.”
Kembali dada Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian
itu pulalah yang didengarnya pada saat itu di bukit Karang
Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa Jenar tiba-
tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil
berkata, “Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging.”
“Gila. Jangan kau berbangga atas kemenanganmu saat itu.
Kau memang mempunyai kelebihan dari kami dalam hal melarikan
diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra. “Tetapi marilah kita
sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersem-
bunyi.”
“Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku
kini berdiri di antara laskar yang sedang bertempur. Karena itu
akupun harus bertempur seperti mereka. Menang atau kalah,
marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku
yakin, kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan,” jawab
Mahesa Jenar.
“Huh, pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan.
Bagiku menang atau kalah tergantung kepada kita sendiri. Dan
bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh kejahatan dan di
atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut
seleraku,” bantah Sima Rodra.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan
membangun kebenaran di atas bangkai-bangkai dan kejahatan.
Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung. Kebenaran
baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri. Akhirnya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 92
menjawab, “Semakin banyak orang seperti kau di dunia ini,
semakin parahlah tata kehidupan manusia. Peradaban yang kau
bina, seperti yang dilakukan oleh anak menantumu di Gunung
Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di seribu
tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas
antara manusia dan binatang, antara manusia dan setan.
Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan pada
kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu
pemujaan yang kau buat, dengan mengalirkan darahnya.”
“Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong
Sima Rodra. “Hidupku dan hidupmu tidak akan lebih dari kisaran
satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang pendek itu?”
Tiba-Tiba tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan
perasaannya. Ia melihat orang yang berdiri di hadapannya dengan
baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur baur dari
segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti
kepada diri sendiri, “Aku harus menghentikannya sebelum ia
menjadi berkembang.”
Sima Rodra tertawa. Keras sekali. “Apa yang akan kau
hentikan?”
“Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu
menjadi besar,” sahut Mahesa Jenar.
“Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk
menjadi seorang pembunuh,” kata Sima Rodra.
“Ada bedanya? Membunuh kau sama artinya dengan
menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin memperkosa
kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak
adamu,” jawab Mahesa Jenar.
“Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra. “Yang aku ketahui,
kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 92
“Otakmu terlalu beku. Atau samasekali diselimuti oleh noda-
noda hitam dalam hidupmu…?” Mahesa Jenar menyela.
“Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan
membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima Rodra.
“Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.
“Hem, kalau begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan,
dan membiarkan kau mati perlahan-lahan,” geram Sima Rodra
dengan marahnya.
“Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.
Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa orang
di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan hitam
sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang
bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman
yang mengerikan itu. Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas
harimau lapar, Sima Rodra menyerang langsung kepada Mahesa
Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar
agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-
akan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan diri
menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar, tetapi ia
ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di
mana kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu.
Kalau hal itu terjadi beberapa tahun lalu, maka Mahesa Jenar
pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena Sima Rodra
dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya. Tetapi yang
terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan
yang tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit
Karang Tumaritis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah
benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan
terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar
dan kemudian terdorong selangkah surut.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 92
Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia tidak
mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa Jenar
masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu sekali lagi ia
menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini Mahesa Jenar telah
menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga ia dengan
sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang
seharusnya. Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri,
dengan meloncat ke samping. Namun harimau yang hampir gila
itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah,
kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi
Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong kebelakang.
Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan
tendangan ganda.
Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan
dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan
demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki
Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada
bagian bawah lututnya. Namun Harimau Lodaya itu pun tangkas
pula. Ia tidak mau membiarkan hal itu terjadi. Ketika tangan
Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga
dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa
Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia mendorong
tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang
lain di arah lambung. Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan
Mahesa Jenar bersama-sama jatuh terguling. Tetapi dengan
demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan lawannya,
bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa
Jenar pun telah berdiri pula.
Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian.
Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai
kelebihan dari orang lain. Sima Rodra dengan penuh nafsu
kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa orang-
orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak
lain, Mahesa Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 92
kewajibannya sebagai manusia yang mengabdikan diri pada
kemanusiaan. Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar
Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia,
setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia
bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau
Gila itu. Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia
berhasil, maka telah diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu
yang akan membentuk bangunan kemanusiaan.
Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra
dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang dengan buasnya.
Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap, tetapi
kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau.
Jari-jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap
saat dapat menembus daging lawannya. Dalam pertempuran yang
hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam
di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan.
Namun lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu.
Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor
Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas
lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi
kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di
antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan
lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang
melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang
jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan.
Pertempuran di antara mereka yang berjalan di jalan Allah,
melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha
Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta
menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus,
maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.
Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru
pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh
darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah
pula oleh siraman darah yang merah segar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 92
Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin
buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam
peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi
mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan
hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan
kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan.
Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang
mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala
kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk
diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk
diperlakukan dengan sekehendak hati mereka.
Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang
lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan
kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat
Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri
yang cantik-cantik.
Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas
keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk
menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan
tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan
untuk mereka.
Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-
matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan
mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang
ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.
Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah
beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora
Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin
pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti
beradunya angin prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten
melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam
dalam kabut yang gelap. Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 92
melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur dilangit
yang saling sambar menyambar.
Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan
hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang
bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya
untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-
kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah
berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-
benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah
pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada
pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil
bergumam, “Tikus yang sombong.” Kemudian ia melangkah pergi
di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam
kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya
bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang
sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar. Orang itu pun menjadi
heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi
Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki
Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran.
Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari,
dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan.
Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan.
Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang
dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya
itu pun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri.
Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan
seperti tikus itu pun tak akan berarti. Sebagai seorang tokoh yang
ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga
untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti
itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan.
Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas.
Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora
sekalipun.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 92
Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh.
Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh
siapa pun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri.
Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau.
Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya
Nagapasa itu pun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada
berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat
memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam.
Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia
bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia
memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan
kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi
tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia
mendengar seseorang menyapanya, “Alangkah dahsyatnya Tuan.”
Nagapasa menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar
berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena
itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang
hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu
sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari
lawan yang tak bertangan hantu.
Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh
kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak
melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari
laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu
untuk membunuh orang itu. “Mungkin ia belum mengenal aku.
Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan
baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat
bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke
dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk
menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi
orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-
akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 92
tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat
melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher
seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-
jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya.
Ketika seseorang bertempur di dekatnya, ia pun segera
meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik
leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu.
Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan.
Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia
mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun
suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak
menyenangkan. Kemudian terdengar ia berkata, “Tidak tanggung-
tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”
Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara
tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu
dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah
dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang
kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
“He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Laskar
Banyubiru.”
“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah. “Namamu dan
jabatanmu?”
“Kebo Kanigara,” jawabnya. “Laskar biasa.” Nagapasa
menggeram.
Nagapasa menggeram. Nama itu benar-benar belum pernah
dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.
“Sudahkah kau mengenal aku?” bertanya Nagapasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 92
“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara. “Bukankah Tuan yang
menamakan diri Nagapasa?”
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah
mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.
“Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut. “Kalau demikian kau
kenal juga dari mana Nagapasa datang?”
“Ya,” jawab Kanigara pula. “Nagapasa berasal dari
Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka.
Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan
Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi
semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu
mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa
seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
“Kalau demikian....” Nagapasa berkata pula, “Apa maksudmu
mengikuti aku?”
“He....” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa
yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu, “Bukankah kita berada
di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan
dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu,
katanya, “Kau akan melawan aku?”
“Apakah aku harus memilih lawan” sahut Kanigara. “Siapa
yang ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa. “Lihat betapa
orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 92
“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak
Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab Kanigara.
Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak. “Lalu apa
maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita berperang. Mauku
bertempur melawan Tuan,”
sahut Kanigara.
”Orang ini agaknya orang
gila,” pikir Nagapasa. Dengan
demikian ia kehilangan nafsu
untuk berbuat sesuatu. Mela-
wan orang gila baginya hanya
akan membuang-buang waktu
saja. Kembali Nagapasa
berpaling kepada orang yang
dicekiknya. Kepada orang itu ia
akan menumpahkan kejeng-
kelannya. Dengan menggeram
ia berkata, “Nasibmu tak
begitu baik, tikus yang malang.
Berdoalah sebelum kepalamu
aku pecahkan.”
Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari
Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah
kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah
Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati,
bertempur di dekat orang bertangan maut itu. Namun akhirnya ia
memejamkan matanya pasrah diri. Dalam perjuangan maut adalah
tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia menelannya. Namun
ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan kebenaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 92
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga.
Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan kepala orang
yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu benturan yang keras.
Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa bahwa
tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi samasekali bukan
kepala orang yang dicekiknya. Dan kepala itu samasekali tidak
dipecahkannya, malahan tangannya sendiri merasa
tergetar. Belum lagi ia sadar akan peristiwa itu, kembali terasa
sebuah pukulan yang dahsyat mengenai tangannya yang lain, yang
sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian
kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang
yang dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh
berguling-guling.
Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh
tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan
pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman yang tak
terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar,
bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berada di luar
perhitungan. Ketika ia sadar memandang berkeliling, yang
dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo Kanigara itu, selain
beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan masing-
masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Kebo Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur
tangannya.
Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya tiba-tiba menjadi
merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup rapat, namun
terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang
bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan
gemetar, “Kau…?”
Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia
menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya, “Ya.”
Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu
bukan orang gila seperti yang disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 92
benar-benar orang perkasa, yang telah menempatkan diri sebagai
lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran.
Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih.
Karena itu ia sudah tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya.
Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk
lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah Kebo Kanigara.
Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut melihat ular
sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa,
samasekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo
Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan
Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan
dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut
lawannya, dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa
terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa pun cukup mempunyai
bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula
terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai
dirinya kembali. Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah
mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan
baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi ketika ia
berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara
pun telah siap pula tegak seperti bukit karang yang tak
tergoyahkan oleh badai yang betapa pun dahsyatnya.
Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan
kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali
Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun penuh gairah.
Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-orang seperti
Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat
manusia. Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang
perkasa itu segara menjadi semakin dahsyat. Nagapasa bertempur
seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan
dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan
menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa menguasai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 92
tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah menjadi
senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut
dan jari kakinya, tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat
meluncur dengan cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air
yang menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari
lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya.
Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga benar-benar
mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang
digelorakan oleh ombak yang dahsyat.
Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang telah
memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang, yang bahkan
almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa
sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo
Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan
dahsyatnya. Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari
semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging
Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-
benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur selincah
anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang seperti
singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti
seekor garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja
namun trengginas seperti sikatan. Seperti Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar tangguh
sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan
berkulit tembaga, bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah
membasahi punggungnya, tandangnya menjadi semakin garang,
seperti banteng ketaton.
Demikianlah, ketika matahari memanjat langit semakin tinggi,
pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kebo Kanigara dan
Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa
pun menjadi heran. Apakah ia sebenarnya sedang bertempur
melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja ada malaikat
yang menjelma dan melawannya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 92
“Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat
seandainya ia benar-benar ada.” Nagapasa mengumpat di dalam
hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia mengeluh,
“Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”
Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya
adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang memiliki
kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo
Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit,
akhirnya ia berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu
lawannya, tetapi juga segi kelemahan-kelemahannya. Suatu hal
yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo Kanigara memiliki
daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan.
Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang,
dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang
lain, ia dapat melakukannya.
Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu pun menjadi
semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi
tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua belah pihak
berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila
seseorang telah berada di tengah-tengah api peperangan.
Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap, seperti
kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.
Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel
Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak, serang-
menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa kesaktian
mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora
Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan
pandangannya ke bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti
juga apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Alas dan
Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali
mereka pun ingin mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-
bagian yang lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora
Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 92
dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora
Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia
menjadi heran. Mereka telah cukup lama bertempur, namun
agaknya Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan gigihnya.
“Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar
selama ini?” pikirnya. Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itu
pun terkejut pula. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo
Kanigara itu?” Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia
menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara
dapat bertempur melawan Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau
orang-orang seangkatannya. Bahkan karena darah yang jauh lebih
muda daripada darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo
Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.
“Hem....” desisnya, “Siapakah sebenarnya orang itu?”
Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas
berdesis, “Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.”
Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam, “Aneh. Belum pernah
aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”
Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang
keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara, namun
orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat
tandangnya.
Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo
Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di
antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan
bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur tumbuh di dalam
tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang
dengan rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat
menguasai ilmunya. Tidak saja Mahesa Jenar itu telah dapat
mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya, namun dalam
penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah
melampauinya. Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 92
menempa Mahesa Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula.
Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam
suatu perjuangan yang menentukan.
Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat
bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda
itu pun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan
kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu
menyambar-nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama,
melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat
ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh
menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan
lawannya, dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan
dan kekasaran Lawa Ijo samasekali tak mempengaruhi
langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan
segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah
menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil
menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana
seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari
terkaman serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu,
bagaimana seekor banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan
yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau yang
justru menyerangnya dengan garang.
Melihat pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia
menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia hampir
pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil
membunuh anak muda itu.
Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu
bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta
kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka
bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa
bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan kemungkaran.
Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di
bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 92
kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang
memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah
dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-
ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang
berputar di udara, “Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak
yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu.
Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora
menggeram. “Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke
dalam tindakan-tindakan yang hina.”
Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut
mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia ia
pun tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora,
jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”
Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada
Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung kerisnya
sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada
saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa
Gajah Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa
pada suatu saat ia harus dapat membunuh Jaka Soka dengan
tangannya. Tetapi Jaka Soka itu pun bukanlah anak-anak yang
baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas.
Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang
menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan
dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang
gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di
hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang
yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka
mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun
menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam dada
Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 92
sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu
gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam
pertempuran itu, Nagapasa.
Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak
langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat. Angin
pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di
ujung-ujung senjata.
Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk
memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-
masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun
tak seorang pun dari mereka yang dengan senang hati
menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu
bertambah-tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang
melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang meleleh dari
luka, samasekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih
yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata samasekali
tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan
senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk
bermanja-manja. Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena
darah yang terperas hilanglah harapan mereka untuk dapat
melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan
diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan.
Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja
di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan
diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat
memapahnya dan menyingkirkannya.
Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid
Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula penuh nafsu
dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo.
Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid
Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-
tiba seorang yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang
menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan
senjata-senjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang bertangkai.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 92
Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya
bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara
kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung.
Namun, pedang Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata.
Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah, terdengarlah
dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung Sariti
dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas
Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang
berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti
dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang
cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya,
berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang
daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang
Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu
mematahkan besi gligen.
Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi
seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga
bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-
saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itu pun
lenyap tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur
berpasangan. Maju bersama-sama dari arah yang berbeda. Tetapi
pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang
melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung
jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.
Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti
seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan pedangnya
menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun
tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti
Wulungan. Dengan tangkasnya ia meloncat kesana kemari,
menggerakkan pedangnya dengan lincahnya, mematuk-matuk
seperti lidah api yang dihembus angin.
Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya.
Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 92
memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus
berhadapan sebagai lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar
dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan Galunggung.
Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari
Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu.
Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti
seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun
seperti seekor serigala lapar.
Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan
sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa
terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga. Sri Gunting dari
Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar
Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding
baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk
memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang
bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas. Jaladri,
yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan
gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa
Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati. Setelah
sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang
Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan
beberapa pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya.
Menumpas golongan hitam.
Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia
berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan lawannya yang
mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari samping
dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam
usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian
melawan Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka.
Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk
dapat menyelamatkan dirinya.
Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur
dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 92
kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian.
Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya.
Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah
yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap,
yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang runcing
tajam.
Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja
lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang
Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu
bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah
kiranya seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa
bertempur melawan laskar Banyubiru itu? Laskar yang semula
mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda yang hanya
pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau
merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung
hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada
di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar pejuang
yang mengabdikan diri pada cita-citanya.
Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih
tampak berarak-arak di wajah langit yang biru. Burung gagak
berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang
menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di
udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
Betapa segarnya darah yang mengalir dari luka. Mereka harus
mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar dan
serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu
masih ribut. Dan burung-burung itu pun menjadi semakin tidak
sabar dan berteriak-teriak tinggi.
Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak
laskar golongan hitam, namun pergeseran garis pertempuran itu
tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa kekuatan
mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak
yang akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu
mempunyai kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 92
Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya.
Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia
melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya
mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk
sembilu. Tiba-Tiba Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan
pertempuran itu segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo
Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun
mereka samasekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka
belum berhasil untuk berbuat sesuatu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban
yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari
luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun
lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan
segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana.
Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis
Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka.
Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi
mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan
mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika
Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang
mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah
gelap. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka
saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning
gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu. Ia
menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu
andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar, atau kedua-duanya.
Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai
cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil
ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan
masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai
kulit Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan
tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan
Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika pisau yang gemerlapan
itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 92
menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang
tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara
keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki,
menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan
hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan
demikian, seolah-olah bagi mereka sengaja disediakan tempat
yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.
Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-
sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan daerah yang
samasekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada
bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian
memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena
pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya maka
hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai
gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka
berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul
tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata
di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang
lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa
di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga
sehingga tak seorang pun yang berani mendekati.
Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora
Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan
pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali
perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan
korban akan berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-
hari, seperti ia sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki.
Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan
betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut.
Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas tertinggi
dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha untuk
membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu.
Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 92
Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda.
Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang
dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa
Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum
kecil. Memang pada saat itu pun Mahesa Jenar dihinggapi oleh
perasaan yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam
dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan
Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka,
seperti mereka pula, mencemaskan betapa korban akan
berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila
keseimbangan pertempuran tidak segera berubah. Karena itu,
ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-
lahan. Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima
Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil mengaum
mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji
perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak
perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah
kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa
puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya
yang aneh-aneh?
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra
pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil suatu
kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan
permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi
bertambah liar. Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan.
Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta
menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang yang menggigil
kedinginan. Mahesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang
demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa
pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga
kekuatan aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat
dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak memerlukan
pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan,
segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 92
segenap pancaindra dan pikirannya. Diangkatnya satu kakinya,
satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai la-
ngit. Demikianlah, pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir
Mahesa Jenar bergumam, “Dengan Nama Allah yang Maha
Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada kekuatan
kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.” Pada saat
itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan
kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha
untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung
itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian
dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima
Rodra yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya,
dengan kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya
tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong selangkah ke
depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar
lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau
yang telah menjadi gila itu.