20 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

123 views

Category:

Art & Photos


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Page 2: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91

I

emudian kepada Wulungan ia berkata, “Memang. Maksudku

adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman

Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar

setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin

menghadap Eyang Sora Dipayana untuk menyampaikan baktiku

sebagai seorang cucu, serta mohon restu sebelum aku mulai

dengan tugas beratku ini.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya

mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu keras. Namun

mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan Wulungan,

pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada

Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak

merendahkan dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya

memang harus mempertegas maksudnya.

Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak

mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada orang itu,

timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya Salaka sejak

kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka

Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar

Arya Salaka yang dikenalnya pada masa kecilnya.

Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya untuk

bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-

lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang

berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki

Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak akan

dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang

dikatakan, mohon restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.

“Angger Arya Salaka....” jawab Wulungan, “Permintaan Angger

akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah

keputusan yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima

kehadiran Angger.”

K

Page 3: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta

menarik nafas panjang mendengar keputusan Wulungan.

Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata, “Terima kasih

Paman Wulungan.”

Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk

menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana,

terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.

Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara, “Agaknya

kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”

Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta,

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba Wulungan

terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh

dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun

dengan mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.

Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan

pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.

Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya,

“Apakah maksud Angger?”

“Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan

mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora,” katanya. “Apa

perintahku yang aku ulangi sore tadi?”

Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba nafasnya

terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap Sawung Sariti

sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang

sombong, keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini

berhati baja pula. Namun ia merasakan perbedaan sifat antara

kedua anak muda yang kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi

ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena

itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya,

“Angger memerintahkan, tak seorang pun boleh memasuki kota,

apalagi halaman rumah ini.”

Page 4: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91

“Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya. “Apa

yang akan Paman kerjakan?”

“Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki

Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.

“Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak

Sawung Sariti.

“Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan, namun ia

meneruskan, “Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar

ingin bertemu dengan kakeknya.”

“Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti.

Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa

membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-kata

yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata,

“Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima

bahu bagi mereka yang dapat menangkap anak muda yang

menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu telah datang

menyerahkan dirinya.”

Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya

samasekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang

berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap

seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian

bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan

datang tanpa pasukan untuk menyampaikan sujudnya kepada

kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat kekuasaan

lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan

tanggapannya itu. Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut

dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia sadar

bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk

menilai kembali setiap perbuatan yang pernah dilakukan.

Sebagai orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang

merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu. Namun ia tidak

Page 5: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91

dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah putra Ki Ageng

Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan

pangkat.

Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apa pun, selain

menundukkan kepala.

“Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung

Sariti.

“Sekarang Angger ada di sini,” jawab Wulungan, “Aku

menunggu perintah Angger.”

“Kalau aku tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.

Kembali Wulungan terdiam.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta,

yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung

pula. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang tahu adat.

Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia

berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya

menganggap bahwa sikap Wulungan adalah bijaksana. Karena itu

tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung

Sariti, katanya, “Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin

kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana.”

Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat

saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan. “Paman.

Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali.

Meskipun Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu

Sora yang sudah kenyang makan garam. Dengarlah Paman, tak

seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam

halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun.”

Wulungan masih menundukkan kepalanya.

“Kau dengar, Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.

Page 6: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91

“Ya, aku dengar,” jawab Wulungan.

“Nah. Laksanakan,” perintah Sawung Sariti.

Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya

Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya

dengan tenang, “Angger, Angger telah mendengar perintah Angger

Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini,

dengan alasan apapun.”

“Alangkah liciknya anak muda itu,” pikir Arya. Ia hanya

berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang hanya

dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba untuk

sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya, “Adi,

dapatkah Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin

sekadar menghadap Eyang Sora Dipayana.”

Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan

hati ia berkata kepada Wulungan, “Lakukan tugasmu baik-baik.

Aku akan naik ke pendapa.”

“Gila!” Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula.

Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-benar

merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, “Tak seorang pun

yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri.

Minggir kalian, atau aku harus membunuh kalian.”

Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan

kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang berdiri

di atas tanah.

Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun terkejut.

Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya dan

tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya

telah siap menyerangnya. Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong

kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya.

Dengan tenang gurunya itu berkata, “Tahan dirimu Arya.”

Page 7: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91

Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang

darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar seluruh

tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, “Apa yang dapat aku

lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku

harus mengalami penghinaan itu?”

“Sawung Sariti…!” teriaknya, “Jangan berperisai orang setua

Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus.”

Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya, “Turunlah.

Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka.”

Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa

Jenar tidak mencegahnya.

“Jangan Arya,” katanya, “Sawung Sariti bukanlah orang yang

harus memberi keputusan terakhir.”

Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya.

Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi ketika

kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. “Minggir semua.

Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga

daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang diperintahkan

kepada orang lain.”

Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.

“Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan

teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun

ke halaman dan akan memberikan kesempatan kepadamu.”

Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih

mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia

terpaksa menggigit bibirnya.

Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu

dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat mundur,

ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang dilihatnya

kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada

tengadah. Ia memandang Arya Salaka dengan pandangan

Page 8: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91

menghina seolah-olah Arya Salaka adalah seorang yang

samasekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas

punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan

diri. Sekali-kali terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya

memancar api kemarahan.

Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang, “Turunlah.

Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para

penyamun menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat

melarikan diri?”

Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri.

Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya dari

pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di atas tanah

dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang

bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan

panjang dalam genggaman jari-jarinya yang kokoh.

Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika Mahesa

Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah terlambat.

Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.

“Arya….” Terdengar Mahesa Jenar memanggil. Tetapi Arya

Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia

meloncat langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang

berputar-putar seperti baling-baling. Arya Salaka pun dengan

lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali melingkar

dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan

memancar berkilau-kilau memantulkan sinar-sinar obor yang

samar-samar sampai. Keduanya bertempur dengan kemarahan

yang menekan dada masing-masing.

Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung.

Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti bertempur.

Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki Ageng

Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya,

Sawung Sariti benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya,

Page 9: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91

ia mampu menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya,

seperti menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya

pedang itu. Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali

memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis mengerikan.

Betapa kuatnya tangan anak muda itu.

Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung

Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip seperti

burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya yang

tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba

ujung tombaknya sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan

tombak itu seperti menyerangnya dari segenap arah. Cahaya

kebiru-biruan yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak

melingkar-lingkar membingungkan.

Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan

sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan

dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata

masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti

dapat bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata

itu seperti terdapat biji-biji mata.

Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia

menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk menanti

kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Sedang Kebo

Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih

sempat melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri

dengan mulut ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti

patung, namun tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di

halaman itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata

masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk

bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo

Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang

dengan kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas,

apakah tanggapannya terhadap perkelahian yang terjadi itu.

Namun segera Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu

Sora.

Page 10: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91

Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun

kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak

buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka

erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka

tersangkut sebuah gendewa.

“Nyalakan obor,” perintah Wanamerta. “Obor akan dapat

menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu

dan anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”

Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka.

Yang seorang kemudian menyalakan obornya, yang seorang lagi

menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan bumbung

itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.

Di halaman itu pertem-

puran semakin bertambah

sengit. Sawung Sariti yang

bersenjata pedang, bertempur

dengan garangnya. Bahkan

kemudian tampaklah pedang-

nya seperti gulungan sinar

putih yang mengerikan menye-

rang Arya Salaka dari segala

arah. Namun di antara sinar

putih itu tampaklah cahaya

yang kebiru-biruan, sekali-kali

melingkar dan sekali-kali

meluncur dengan cepatnya

seperti anak panah yang lari

dari busurnya mengarah ke

tubuh lawannya.

Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia

mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah pendapa.

Dengan demikian ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng

Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk sekian lama,

Page 11: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91

orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar

tertarik melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin bahwa

Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang

membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa

anak yang bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya.

Dengan permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka

samasekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung Sariti.

Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang

mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya

setidak-tidaknya tidak melampaui kekuatan Arya.

Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya

membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi

sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari

tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu

yang terpental, tetapi pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti

membentur dinding besi. Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat

mundur untuk memperbaiki pegangannya atas pedangnya.

Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan

menegang nafas. Perkelahian yang sengit antara dua orang anak

muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh kemarahan

yang memuncak. Demikianlah maka pada malam yang gelap itu,

berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh

percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua

senjata itu. Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai

keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap

kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan

Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan

batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam

pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup

masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa

keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung

Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka

Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya

Page 12: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91

untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka

berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main,

meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main.

Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di

sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora

yang berdiri di pendapa. Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh

perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak,

maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka.

Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil

ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak

dapat menyalahkan Arya Salaka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika

mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-

lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar

obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia

mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan

nafasnya.

Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi

bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat

bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah

memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan

membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan

demikian keadaan menjadi semakin tegang.

Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang

tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling

perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia

berkata, “Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”

Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu.

Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah

kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka

dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati

Page 13: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91

sambil mengulangi kata-katanya, “Berhentilah Sawung Sariti,

berhentilah Arya Salaka.”

Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka

memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-

masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga

bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak

mereka. Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun

meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil

berkata, “Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”

Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya

Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang

tua itu, selain berloncatan mundur.

“Bagus,” kata orang tua itu kemudian. “Kalian berdua benar-

benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu

yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan,

betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian.

Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang,

sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali

yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.” Orang tua

itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada

kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun

demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar

kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah.

Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun

lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri

dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat

kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang

antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki

kakeknya serta mohon restu kepadanya. Karena itulah maka tiba-

tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada

waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri

Page 14: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91

pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang

tua itu.

“Eyang....” desisnya. Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang

seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya

banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan

disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah

yang dapat meluncur dari mulutnya.

Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar

lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun

hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.

Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata

suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak

itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu,

maka mata orang tua itu menjadi redup. Dibelainya kepala Arya

Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya.

Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.

“Berdirilah Arya,” katanya perlahan.

Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah.

ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya.

Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata:

“Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung

Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan

seperti kalian berdua.”

Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang

mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi

panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum

pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng

Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.

“Kakang Wanamerta,” gumamnya. Wanamerta mendekati Ki

Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah

perdikan ini puluhan tahun.

Page 15: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91

Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil

berkata: “Syukurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”

Wanamerta menggeleng, “Bukan aku,” jawabnya, “Tetapi tuan

berdua ini.”

Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya, “Tuan ternyata

luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari

cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat

caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku

teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun

karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa

anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: “Sekadar untuk

memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka

mempunyai bekal buat masa depannya.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya.

Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata: “Lembu Sora, kenapa

tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?”

Lembu Sora menggeram, tetapi ia tidak dapat berbuat lain.

Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk

naik.

Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora

Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung

Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi

segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.

Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang

tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan

suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih

semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang

luar biasa.

Page 16: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91

“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain

cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,”

berbisik Wulungan kepada anak buahnya. “Namun yang seorang

itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”

“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.

“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan

pula, “Tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut

dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar

memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak

lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin

muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?”

Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka.

Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.

Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya

untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan

ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang

telah lama berpisah darinya. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa

rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu

Arya kepada kakeknya.

Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah

puas, Sora Dwipayana berkata: “Tubuhmu mekar seperti ilalang di

musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras

derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi

batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang

bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang

bagaimanapun kencangnya.”

Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali

mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan

ditanyakan kepadanya, “Apakah kau terjatuh, sayang.”

Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian

itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta

Page 17: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91

putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat

menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada

ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang.

Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu.

Karena itu tidak melarangnya.

Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas

untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia

dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya,

didalam hati muridnya.

“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “aku telah

mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka

kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya.

Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan

bagi rakyatnya. Tetapi aku menyesal bahwa kehadirannya telah

ditandai oleh suatu perkelahian yang samasekali tak

dikehendakinya. Namun itu samasekali bukan salahnya.”

Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan

kepalanya. Jawabnya, “Aku tahu Angger. Memang Arya Salaka

tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun dari kudanya dan

langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda yang

pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua

ini.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, “Jadi Ki Ageng

melihat sejak awal kejadian itu?”

“Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku melihat sejak

semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku

membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah

keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya

Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan aku. Dan

sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang

mungkin harus dihadapi dengan tenaganya.”

Page 18: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91

“Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.

“Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku

lihat.” Ki Ageng Dipayana meneruskan, “Seperti pernah aku

katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus

menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan

terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku

tak mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan

hitam selalu mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat

kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil

memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang

menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan malam.

Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin belum

memenuhi tuntutan hatiku.

Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan Arya

Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari

cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah

ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera

kembali sebelum berhasil. Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku

pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya,

tetapi kemudian lenyap kembali.”

“Mangsa kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi

kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo Kanigara dan Arya

Salaka sendiri. Masa itu adalah masa pembajaan yang mahaberat.

Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di

bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan

Panembahan Ismaya.

“Aku terlalu tergesa-gesa...” Ki Ageng Sora Dipayana

meneruskan, “Karena aku tidak sampai hati meninggalkan

Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat terakhir,

sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah tertanam

di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih selamat.”

Page 19: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91

Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,

lalu sambungnya, “Tetapi aku belum tahu, apakah yang telah

didapat anak itu selama perjalanannya di bawah asuhan Angger

Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang

samasekali membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi

anak muda yang luar biasa.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan

karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia berbangga karena

eyangnya merasa bangga kepadanya.

Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Semuanya

adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang

mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah

sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil

tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan kagum

dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar

dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka

sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan Mahesa Jenar

itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa Jenar itu,

beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam

tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah

dicapainya selama ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat

memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu

meninggal dunia.

“Ki Ageng....” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya

mendengar Mahesa Jenar berkata. “Barangkali Ki Ageng telah

mengetahui maksud kedatangan kami. Karena itu kami serahkan

persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud

kami telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang

pertama?”

“Ya,” jawab Ki Ageng. “Aku sudah mengetahuinya. Dan aku

menjadi berdebar-debar karenanya.”

Page 20: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91

“Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan

kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar. “Bagi kami, pertumpahan

darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”

“Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula. “Namun apakah yang

dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba

perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”

“Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.

“Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng

Sora Dipayana. “Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan

dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam, atau usaha yang lain.

Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora

dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”

“Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa

Jenar. “Bukankah golongan hitam telah mulai bertindak sendiri?

Bahkan mereka telah mencoba untuk memaksa Lembu Sora

menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang

mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”

“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Tetapi

Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak

Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru

dengan para bangsawan yang tidak puas atas pemerintahan

Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya

disingkirkan oleh Sultan?”

“Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.

“Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki

Ageng Sora Dipayana.

“Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa

Jenar pula dengan cemas.

Page 21: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91

Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya

berkerut. “Untunglah....” jawabnya, “Belum terlalu jauh. Karena

itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”

Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini

menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya Arya

Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang

mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar

yakin, selama Sultan Trenggana masih memegang pimpinan

pemerintahan, perpecahan itu akan dapat dibatasi. Tetapi

bagaimanakah kemudian…?

Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah

persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam

kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka menunggu sampai

tengah malam atau sampai mereka melihat tanda panah api naik

ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu

banyak.

“Ki Ageng....” kata Mahesa Jenar, “Laskar Arya Salaka telah

siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah

malam.”

Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.

Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang

sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.

“Berilah aku waktu sampai besok,” jawabnya.

“Sayang, Ki Ageng....” jawab Mahesa Jenar, “Kalau tengah

malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum

menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya

Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu menghadapi

persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang dapat

dilakukannya?

Page 22: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91

“Angger....” Tiba-tiba orang tua itu berkata, “Marilah kita

usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar

besok pagi.”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha

ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau mungkin untuk

seterusnya. Tetapi bagaimana?

“Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora

dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini.” Orang tua itu

meneruskan, “Dan aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak

sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh kemarahan melihat

anaknya tak dapat menguasai lawannya.” Ia berhenti sejenak.

“Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu

kembali ke pasukanmu.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada

Arya, “Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu

menunggumu sampai besok.”

“Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya

Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan kakeknya.

Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar

pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan dirinya,

sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia

mengharap laskarnya akan mentaatinya.

“Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora

Dipayana.

Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta

pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Tidakkah laskar

Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”

“Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya

menunda sampai lusa,” jawab orang tua itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian

kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, kau dapat memerintahkan

Page 23: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91

dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan

perjalanannya.”

“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali harapannya

untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa pertumpahan darah.

Maka iapun kemudian berkata, “Kalau kau sependapat Arya, kau

dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”

Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia

mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya perintahnya,

singkat namun jelas. “Tunggu aku kembali, jangan bergerak

sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara

kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap

pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”

Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang semula

membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki Ageng Sora

Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka. Dengan

nada seorang ayah ia berkata, “Lembu Sora. Aku minta orangmu

untuk mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya

dengan membawa pesan dari kemenakanmu itu.”

Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang. “Apakah

pesan itu?” terdengarlah ia bertanya.

Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya

menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora

dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin menolak

permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba mendapat pikiran lain.

“Apakah maksud penundaan itu?” Ia mencoba menegaskan.

“Aku minta kepadanya,” jawab ayahnya. “Sebab ada yang

ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka.”

“Tak ada yang dapat dibicarakan,” potong Lembu Sora.

Page 24: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91

“Ada,” sahut ayahnya singkat.

“Tidak ada persoalan,” ulang Lembu Sora.

“Ada!” kembali ayahnya menyahut.

Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati. Adakah

ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya? Ia tidak

akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup banyak.

Meskipun seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-

orang yang sakti, namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran

akan turut serta mengambil peranan. Dalam penilaiannya, di

dalam laskar Arya Salaka, tidak ada seorang pun yang harus

disegani. Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang datang

bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang samasekali tidak

menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah

mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran.

Namun, Lembu Sora tidak cemas menghadapinya.

Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di

hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah

memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-orangnya.

Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan oleh ayahnya itu

akan menguntungkannya pula. Malam nanti ia dapat

memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali

dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan

demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan

Arya Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia

berkata, “Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu

untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu

memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”

Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata

pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar

menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang

terucapkan. Mahesa Jenar pun samasekali tak memberi tanggapan

apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.

Page 25: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91

“Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Berilah aku dua orang

itu.”

Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika

dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.

Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di

bawah tangga pendapa. “Ada perintah Ki Ageng?” ia bertanya

“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke

induk pasukannya,” perintah Lembu Sora.

Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya,

“Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”

Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah

yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil dua orang

dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka,

melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak

mendapat gangguan apapun.

II

Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan

kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan

pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora

Dipayana berkata dengan tertawa, “Jangan kita berbicara

mengenai persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta

karena aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang.”

Kepada Lembu Sora ia berkata, “Lembu Sora, marilah kita lupakan

sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan yang

ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus

menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan

meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan

mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan

anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”

Page 26: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91

Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu.

Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan

bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama

dengan tamu-tamu yang samasekali tak dikehendaki

kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan

Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk

ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala lauk

pauknya di atas tikar pandan yang bersih.

Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian

terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang

lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang ia

duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk

bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba

saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya

semula hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung

Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-

kepentingan lain.

Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya

berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah

ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk

di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum

juga nampak. Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya.

Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya,

“Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui

ibuku?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu.

Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan wajah yang

berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut pula.

Karena itu ia mendesak, “Eyang, apakah Ibu selamat?”

Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya, Arya,

Ibumu selamat.”

Page 27: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91

Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali,

“Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau

akulah yang harus menghadap?”

Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada

Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Lembu Sora,

jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”

Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya.

Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak

lagi, “Di mana Ibu, Paman?”

Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia

berkata, meskipun samasekali tidak memandang wajah Arya

Salaka. “Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu

Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan ketenteraman

sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat

menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan

ketenangan.”

Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya

benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun

demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat,

meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan

demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia

akan dapat membawanya kembali ke Banyubiru. Arya menarik

nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata: “Eyang, betapa

rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih

aku simpan didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat

menemuinya.

“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat. Yang

kemudian disambungnya dengan cepat,” tapi jangan lupakan

permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala

persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”

Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana

mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik

Page 28: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91

sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat.

Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar. Meskipun

demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah

benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk makan sebaik-

baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-

kenyang. Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan

perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia

merasakan detak jantungnya semakin cepat.

“Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,”

ayahnya memuji.

Lembu Sora samasekali tidak menaruh minat pada pujian itu.

Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang sama. Tetapi

sore tadi ayahnya samasekali tidak memujinya.

“Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu

meneruskan. “Makan bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya.

Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak hanya

sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua

anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”

Tak seorang pun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang

tua itu meneruskan, “Memang agak berbedalah hidup diantara

dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi

aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini.

Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin

selalu dapat menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun

lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak mereka,

menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan

mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan

bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi

kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar

satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah

yang pasti akan kehilangan. Siapa pun yang kalah dan siapa pun

yang menang.”

Page 29: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91

Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan

kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia menyusulnya

dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia

tak berkata sepatah kata pun.

Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul

dengan kata katanya:” Alangkah pendeknya hidup bagi orang tua.

Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan dunia ini. Tetapi

bagi naka muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh gairah.”

Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap

yang angkuh ia meneruskan: “bagi orang orang tua, sisa hidup

mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian

seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak

anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang

cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil

mengangguk angguk, ia menyahut: “Sawung Sariti benar,

seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka.

Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa

menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung

jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya

dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu,

pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena itulah maka pencapaian cita-cita betapapun indahnya,

harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh

hukum hukumnya.”

Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorang pun

yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-mulut

mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan-tangan

mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat merasakan lagi, betapa

asinnya garam, dan betapa manisnya gula.

Sawung Sariti tidak senang mendengar kata-kata kakeknya

meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah melakukan

Page 30: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91

beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran.

Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya.

Meskipun Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk

memusnahkan golongan hitam, namun tanpa disengajanya, ia

telah melakukan hal-hal yang serupa, sebagaimana pernah

dilakukan oleh golongan hitam.

Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa

bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan

pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada.

Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran di dinding hati

anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti.

Siapa yang menentang arus harus disingkirkan.

Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana

berkata, “Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di

sini. Beristirahatlah dengan tenang. Sebab tak akan terjadi apapun

malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu Sora?”

Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan

sengaja.

“Bagus....” kata orang tua itu pula. “Sebelum kau lupa Lembu

Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai

besok.”

Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.

“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?”

tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

“Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan

dengan dagunya.

Sikap itu memang samasekali tidak menyenangkan, namun

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka

menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka samasekali tidak

memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda

terima kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas

Page 31: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91

usahanya, memecahkan persoalan antara kedua cabang aliran

darahnya.

“Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.

“Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta

Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta

sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”

Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan

mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti

pula tanpa berkata sepatah kata pun.

Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang

mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian

dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta

rombongannya akan beristirahat.

“Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali.

“Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora

bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan bersama.

Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku

sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya

tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”

“Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,”

sahut Mahesa Jenar, “Apalagi darah.”

“Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam. Kemudian

setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng

Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.

Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan

mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka

percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi

sesuatu malam ini sampai besok.

Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada

laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka. Ada

sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk

Page 32: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91

menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang

dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.

Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula

untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam, laskar cadangan

dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru, langsung

menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan

laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar,

lewat sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari

utara. Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam

kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan

kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-

sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini

akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan

Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang

samasekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik.

Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang

dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan

oleh kedua orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu

mengerahkan segenap kekuatannya? Tetapi kemudian Lembu

Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau

ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya

Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan

kedua orang yang menyertainya itu.

Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya

Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki

Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa

dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan

Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut

Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan

Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara

dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan

laskar yang telah ditempa lahir dan batin.

Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai

perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia

Page 33: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91

sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan

antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah

nama yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan

Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi yang kokoh kuat,

namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya

sendiri.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa

Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta

segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya.

Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di

halaman.

Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian

dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok,

untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan

keributan itu.

Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras:

“adakah kau sudah sampai di Pamingit?”

“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu

ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi

kendali kudanya.

“Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.

“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia

melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.

“Benarkah laporan itu?”

“Benar, Ki Ageng”

Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah

Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung

Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng

Soradipanaya dengan wajah suram.

Page 34: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91

“Aku sudah menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian

kepada ayahnya ia berkata: “ bukankah apa yang aku katakan itu

benar benar terjadi?”

”Apa yang pernah kau katakan kepadaku?” bertanya Ki Ageng

Sora Dipayana.

“Bukankah ini permainan

kotor?” sahut Lembu Sora.

“Aku tak akan dapat dikelabuhi

lagi. Persekutuan yang me-

muakkan dari orang gila.”

Ki Ageng Sora Dipayana

menggangguk angguk. Agak-

nya ia dapat menebak

perasaan yang berkobar di

dalam dada anaknya. Karena

itu ia berkata: “Jangan ter-

gesa-gesa Lembu Sora. Aku

mempunyai sangkaan lain,”

ayahnya menyoba untuk me-

nyabarkannya.

“Tak akan salah lagi,”

bantah Lembu Sora.

“Jangan tergesa-gesa Lembu Sora” ayahnya mencoba untuk

menyabarkannya.

“Wulungan!” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.

Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang

tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh

tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan

pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.

“Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak

Lembu Sora.

Page 35: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91

“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Ketika kemudian Wulungan

memandang kearah gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa

Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.

“Apakah yang sudah terjadi?” pikir mereka. Tetapi melihat

Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu gandok itu.

“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa

mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar

tongkatnya yang tersandar didinding. “Apakah yang akan mereka

lakukan?” bisiknya.

“Entahlah,” jawab gurunya.

“Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami

tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.

“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa, “bukankah

demikian paman Wanamerta?”

“Ya,” jawab Wanamerta, “panah itu masih ada padaku”.

Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri

dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata, “Angger

Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”

Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu.

“Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”

“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan “Baiklah

kami segera akan datang,” jawab Arya

Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian

masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari luar pintu:

“marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”

Arya segera keluar kembali dengan tombak di tangannya.

Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut

bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah

berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur

Page 36: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91

yang besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya.

Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan

sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang

pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah

Arya, busur itu dimintanya.

Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-masing

menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan

Kanigara.

Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang

yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren

tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian

mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang

disampaikan apabila terjadi sesuatu.

Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir naik

ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak, “Aku tidak

mengharap kau naik!”

Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu

persoalan apa yang membuat pamannya bersikap demikian.

Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara

memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu ia pun

berhenti pula.

Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala.

Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak; “Aku kira

kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan

kepadaku apa yang sedang kau lakukan sekarang?”

Arya menjadi bingung, ia menjawab; “aku tidak tahu maksud

paman.”

Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke

lantai; “kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru.

Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”

Page 37: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91

Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang

meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara

dan Wanamerta sampai bergeser maju selangkah.

“Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.

“Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.

“Bohong,” bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas.

Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati

itu.

“Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang

itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari, bahwa laskar di

perbatasan yang samasekali tak berarti itu ternyata hanya suatu

cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.

“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya.

Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di

kerongkongan.

“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora, “Apa sebabnya

kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu

atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan

kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu

lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar

itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa

kalian benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau

tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit

menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”

“Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di

kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang

pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah. Karena

itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya

berkata, “Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti

menuduh pencuri. Kami bukan sebangsa pengecut yang tidak

percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga

Page 38: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91

diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan

terkutuk sampai seribu keturunan.”

Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk

melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi. Kemudian

dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,

“Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba

mencuci tangan. Namun orang itu menyaksikan dengan mata

kepala sendiri, orang-orang golongan hitam menduduki Pamingit.

Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar

dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-

orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian

mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh

Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang

berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan menghilang di

cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang berjalan ke

perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, “Gila.

Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan

kesempatan ini.” Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, “Kau

terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang

golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di dalam

kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu

menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang

tidak memungkinkan golongan hitam itu mengambil kesempatan.

Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini dengan

pasukannya.”

“Kau samasekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah

Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi keteguhan

tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa tidak

mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke

dalam tubuh golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih

mencoba menahannya. Katanya, “Kami adalah orang-orang yang

Page 39: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91

menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap

bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”

Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan

kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan

tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti

guruh, “Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu.

Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah pernah memperingatkan

bahwa orang Pandanaran ini, kenapa demikian mengikat diri di

Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat

mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang dari

mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”

Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan

itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia melangkah

selangkah maju.

Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi sangat

cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah

berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki

Ageng Lembu Sora, “Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada-

ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam

untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah

mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda

atas tanah Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan

orang-orangnya untuk mencegat pasukan dari Demak, pada saat

Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan perselisihan yang

ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan

senang hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah

Rawa Pening? Siapa? Mahesa Jenarkah itu…?”

“Diam…!” bentak Lembu Sora.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,

sambungnya, “Kau takut melihat kenyataan itu.”

Page 40: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91

“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak

Lembu Sora, “Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan

kenyataan yang kau hadapi kini.”

”Huh,” Mahesa Jenar menyahut, “Katakan kepadaku Lembu

Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa

pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat

manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira.

Sayang. Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara

yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh

sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng

Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa

Banyubiru?”

Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar

tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang

mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar,

bahwa Sima Rodra suami-isteri dan sepasang Uling Rawa Pening

telah terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh

golongan hitam. Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar

maupun di Rawa Pening seolah-olah samasekali belum padam.

Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu. Dalam keragu-

raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan, “Ketahuilah

Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda.

Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau

ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih dan Uling Kuning?

Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu

sendiri.”

Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora,

Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar Arya Salaka

telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi

mereka tidak bertanya.

Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,

“Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang golongan hitam

mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan

Page 41: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91

kemudian keinginan mereka menelan Pamingit dan Banyubiru,

selalu dikejar-kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan

yang kemudian tampil ke depan melawan mereka. Itukah yang kau

tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”

Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar

seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia berteriak

keras-keras, “Cukup. Cukup…! Kebohongan yang teratur memang

kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-

peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat

kau kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua

yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku

tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk

menumpas kalian di sini sekarang juga. Baru aku akan tenang

kembali ke Pamingit untuk memusnahkan orang-orang dari

golongan hitam itu.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan

kepada Lembu Sora bahwa ia samasekali tidak mengadakan

hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu

mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian

melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan

mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka.

Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri

sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan

terjadi.

III

Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah

maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari pertengkaran

antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian,

“Lembu Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting

sekarang adalah menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau

buang waktu dan tenagamu di sini, maka aku kira keadaan

tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”

Page 42: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91

“Apakah yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?”

bantah Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, “Empat orang ini adalah

orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi

di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan

kota.”

“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora

dengan sombongnya.

“Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi

waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang tersimpan di

dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat

menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau

dengan apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka

telah mampu membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena

itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan

oleh Angger Mahesa Jenar.”

“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.

“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya. Tetapi Ki Ageng

Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol

terdengar suara ribut.

“Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras. “Laskar di

perbatasan mulai bergerak?”

Seseorang berlari-lari datang kepadanya. Dengan hormatnya

ia berkata, “Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari

perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”

“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?”

bentak Lembu Sora.

“Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu. “Mereka mencoba untuk

memasuki halaman.”

Page 43: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91

“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.

“Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.

“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang

tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu

menambah kepalanya menjadi pening. “Bunuh mereka yang

memaksa.”

“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan. “Kau jangan

menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu

selama kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya.

Selama ini tak pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam

hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau katakan.

Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku

menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke

Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai

kedaulatanmu.” Kemudian kepada Arya Salaka, kakeknya itu

berkata, “Arya, aku minta kepadamu, tundalah persoalanmu.

Sebab setiap pertengkaran di antara kita hanya akan memberi

kesempatan kepada golongan hitam untuk melumpuhkan kita. Kau

mau?”

Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu pilihan

yang sulit. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi meredakan

kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang bertanya

kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan yang lebih jauh, Arya merasa tidak berkeberatan.

Meskipun demikian ia memandang juga kepada gurunya. Ketika

gurunya mengangguk, Arya pun menjawab, “Aku akan bersedia

dengan sepenuh hati, Eyang.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira. Sambil

tersenyum ia berkata, “Bagus. Aku memang sudah menduga

bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu.”

Page 44: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91

Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu.

Dengan lantangnya ia berkata, “Ayah terlalu memberi hati

kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia samasekali tak cukup bernilai

untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”

“Eyang....” sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya

kembali, “Biarlah paman memilih.”

“Jangan, jangan….” potong Sora Dipayana cemas. Suaranya

terputus oleh keributan yang semakin menjadi-jadi di luar regol.

Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu berteriak-teriak, “Berilah

kami jalan. Biarlah kami melihat Arya Salaka.”

Para penjaga menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri

dengan senjata terhunus untuk menahan arus rakyat yang

sedemikian lama semakin banyak.

“Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?”

tanya Sora Dipayana kepada salah seorang pengawal.

“Entah Ki Ageng,” jawabnya.

“Lembu Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada

anaknya, “Kesetiaan mereka kepada kampung halamannya harus

kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi lunak, namun dapat

menjadi liar melampaui serigala.”

Lembu Sora terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri

menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan ganasnya telah

melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang

mabuk berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.

“Arya....” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Hanya kau yang

mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka, dan

berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan sampai pamanmu

dengan orang-orang golongan hitam itu selesai.”

Page 45: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91

Kembali Arya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya

menganggukkan kepalanya. Maka Arya pun menjawab,”Baiklah

Eyang.”

“Aku percaya kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu

kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Apalagi kepada Angger Mahesa

Jenar sebagai penerus perguruan Pengging yang terkenal. Aku

percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap kata

yang diucapkan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”

Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu samasekali bukanlah

pujian, tapi baginya, Ki Ageng Sora Dipayana menyatakan

permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat

mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab,

“Mudah-mudahan aku dapat menjunjung kepercayaan itu.”

Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, “Kau dapat pergi

dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di Banyubiru

sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan demikian kau dapat

mencurahkan segenap perhatianmu kepada tanahmu.”

Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama saja

akibatnya. Dalam keadaan payah, ia masih harus menghadapi

lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap, agar Arya

menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya

kembali.

Ketika di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak

membelah langit, maka sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berkata

kepada Arya, “Arya, tenangkan mereka. Syukurlah kalau mereka

mau kau minta pulang ke rumah masing-masing, supaya tidak

menambah beban pembicaraan kita di sini. Sementara itu biarlah

pamanmu dan adikmu Sawung Sariti mempersiapkan

keberangkatannya.”

Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol

halaman diikuti oleh Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara.

Page 46: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91

Demikian ia sampai di depan regol, terdengarlah suara rakyat

Banyubiru itu. “Itukah Arya Salaka? Itukah…?” Kemudian suara itu

menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka, “Arya

Salaka…! Arya Salaka….!”

Kemudian Arya berdiri di atas sebuah dingklik kayu. Mula-mula

yang menyentuh perasaannya adalah keharuan yang mendalam.

Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah katapun. Seolah-olah

lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata, “Berbahagialah

aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka

dengan rakyat Banyubiru yang setia.”

Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah

berpindah sarang.

Arya Salaka mengangkat

tangannya. Suara itupun

menjadi semakin berkurang,

dan akhirnya hilang sama-

sekali. Para pengawal masih

saja berdiri rapat dengan

ujung senjata yang rapat pula.

“Aku datang kembali ke

Banyubiru, karena rinduku

kepada kampung halaman dan

kepada kalian,” sambung Arya

Salaka. Suaranya terputus

oleh tepuk tangan gemuruh.

“Tetapi....” sambung Arya

Salaka, “Maafkanlah bahwa

aku belum mempunyai banyak

waktu untuk menyambut

kalian dengan tanggapan yang lebih baik. Karena itu aku janjikan,

lain kali aku akan menerima kalian, seluruh rakyat Banyubiru di

alun-alun ini. Sekarang, setelah terpenuhi permintaan kalian,

berhadapan muka dengan aku, aku harap kalian sudi

Page 47: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91

meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-

masing.”

Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin mendengar

kabar, apakah yang telah terjadi di dalam lingkaran dinding rumah

itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki Ageng Lembu Sora masih

akan tetap menguasai Banyubiru. Namun sekali lagi Arya minta

mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan

memberikan kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan

demikian, meskipun hati mereka belum lapang seperti harapan

mereka, namun setidak- tidaknya mereka telah bertemu dengan

anak muda yang mereka rindukan. Yang telah mereka dengar

kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar kedatangan

Arya Salaka.

Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan semakin

lama semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta putranya

Sawung Sariti. Beberapa orang berkuda telah disebar untuk

menarik pasukan Pamingit dari perbatasan. Penarikan itu disambut

dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.

Mula-mula, mereka yang menyandang senjata karena

gemerincingnya uang, merasa berbahagia sekali ketika mereka

mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis pertempuran.

Sebab mereka memang samasekali tidak mengharapkan darah

mereka menetes, menyiram tanah yang tak memberikan harapan

apa-apa bagi mereka. Dengan demikian mereka mengharap untuk

dapat segera bertemu dengan anak isterinya atau dengan

kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan

meletakkan harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi ketika

mereka mendengar kabar, bahwa mereka harus berhadapan

dengan golongan hitam lebih dahulu, mereka menjadi kecewa.

Bagi mereka, orang-orang golongan hitam pasti akan jauh lebih

buas dan biadab daripada orang-orang Banyubiru. Tetapi ketika

mereka teringat anak-isteri mereka, sawah dan ladang dimana

mereka meletakkan harapan mereka untuk memberi anak-anak

mereka makan, maka tiba-tiba timbullah semangat mereka.

Page 48: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91

Terasalah perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas

berkorban apabila mereka mempertahankan sawah ladang

mereka, daripada mereka harus merampas sawah ladang orang

lain.

Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan

mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Rakyat Pamingit yang

berani…. Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu menempa

tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini.

Karena itu pertahankan tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari

tanah perdikan yang semula bernama Pangrantunan, pasti akan

tetap berdarah jantan. Orang-orang golongan hitam bukanlah

hantu yang harus kita takuti, tetapi mereka adalah setan-setan

yang harus kita musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di

dalam genggaman kalian.”

Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi teguh.

Kalau ada di antara orang-orang laskar Pamingit itu orang

Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa tahun

yang lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang

menarik tanda panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat

berbuat sesuatu, sebab tanah itu telah digadaikan oleh Lembu

Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora terbunuh, berbedalah

keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan perhubungan

antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal

Sima Rodra muda suami-isteri, sehingga gadai tanah itu dicabut.

Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal

dendam yang ada di dalam dada mereka telah menyalakan

semangat mereka untuk menumpas golongan hitam itu habis-

habisan, meskipun ada di antara laskar Pamingit itu yang pernah

mengalami suatu masa, dimana mereka harus bekerja bersama

dengan laskar hitam itu.

Ketika matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki langit,

terdengarlah bunyi sangkalala. Seperti air mengalir laskar Pamingit

itu bergerak, meninggalkan Alun-alun Banyubiru kembali ke

kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari

Page 49: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91

terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran

hitam yang berhati kelam.

Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda masing-

masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan

dengan tekad yang bulat, pemimpin pengawal kepala daerah

perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan, yang

tergabung dalam laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris

membujur ke belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.

Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang

pilihan yang dapat membantunya, menghadapi tokoh-tokoh hitam.

Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit itu terdapat orang-

orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon, Sampir,

dan beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas untuk

mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah

mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada

merekalah Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya.

Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki Ageng

Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh berbagai

persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya,

melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut

serta di dalam laskar yang menduduki Pamingit itu? Yang sudah

jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa

bencinya ia kepada bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada

gerombolan lain yang membantunya, maka ia yakin bahwa Jaka

Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin bahwa

jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular

Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta. Nama Nagapasa adalah

nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah lama

tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah

murid dari bajak tua yang terkenal dengan nama ilmunya yang

mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain

ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka

pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak

seorangpun yang akan dapat berhadapan seorang lawan seorang

Page 50: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91

dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu ada, ia sendiri harus

menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang

bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari

limapuluh orang, sedang yang separonya pasti akan binasa.

Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil

kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah Sora, ada.

Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya. Kalau saja Arya

Salaka….

“Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.

Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya. “Apa

yang ayah maksud?”

Lembu Sora menggeleng. “Tak apa-apa.”

Meskipun jawaban itu samasekali tidak memuaskannya,

namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk berangan-

angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti. Sekali-kali ia

menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya.

Dengan tersenyum ia berkata dalam hatinya, “Betapa kuatnya

orang perorang dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni

mayat laskar Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti

akan ngeri juga.” Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari

laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir juga.

“Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti,

dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?” Ia pun menjadi

bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia

tahu benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia

sadar bahwa kalau selama ini mereka berdiam diri, bahkan dalam

berbagai hal mereka membantunya, itu karena mereka

mempunyai beberapa persamaan kepentingan.

Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, “Ah, jumlah

laskar anak itu tak akan seberapa kuat.”

Page 51: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91

Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap

kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo, apalagi

Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel

Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyem-

bunyikan perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk

membanggakan jumlah laskarnya.

“Satu seratus,” bisiknya di dalam hati. “Laskarku pasti masih

akan mempunyai banyak kelebihan.”

Dengan demikian Sawung Sariti menjadi sedikit tenang.

Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan yang

putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih

dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah

Arya Salaka. Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya.

Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan

kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala

melampui nyala api. Mahesa Jenar. Lalu apakah yang dapat

dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu berada

bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah

menggemparkan laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah

lapang, tempat orang-orang Banyubiru menyelenggarakan tayub.

Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa

kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di

punggung dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan

yang putih itu telah menjalar semakin jauh, muncullah segumpal

awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah memandangnya

dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya bernama Rara

Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti

kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini

pernah diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan

melawan laskarnya. Yang muncul kemudian adalah wajah yang

manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia melihat gadis

ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di

Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas. Namun, dalam

pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah suatu perhatian yang

Page 52: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91

aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di dalam laskar Arya

Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan senjata.

Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan, awan

yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang

pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut

Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada

suatu saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya. Apakah

pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan

hitam?

“Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam

hatinya. “Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara

hatinya membantah sendiri, “Mereka agaknya masih tetap

menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak

akan dapat diabaikan.”

“Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat. “Semua harus

aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka.

Pamingit dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan

aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai ke Bergoto. Apalagi

kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di tanganku.”

Sawung Sariti tersenyum sendiri. “Eyang akan tahu nanti,

bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu

mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh

mengumandangnya derap langkah laskarnya.

Di Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora

Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul

dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun, namun

hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan

menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar

golongan hitam. Setelah ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik

tukungan, barulah ia beranjak dari tempatnya, dan sambil

menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Aku mengharap, bahwa

Page 53: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91

peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari

keadaannya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.

“Marilah Angger....” ajak Ki Ageng Sora Dipayana, “Kita

kembali ke pendapa.”

“Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil

kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk

kembali di pendapa Banyubiru.

“Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora

Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu tidaklah

sulit.

“Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar, “Karena itu

aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”

Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya.

Tetapi anak itu menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar

Mahesa Jenar meneruskan, “Namun darah yang mengalir di dalam

tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan

darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering

mendidih.”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun

tersenyum pula.

Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa yang selama ini

dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran gerombolan

Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya

menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya

Salaka mendekati Banyubiru, kemarin.

“Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran

sudah berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang Lembu Sora

melawan laskar Arya Salaka.” Mahesa Jenar mengakhiri

keterangannya.

Page 54: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91

“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Untunglah

bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”

“Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya.

Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan

golongan hitam,” desis Mahesa Jenar. “Andaikata pertempuran

telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan Banyubiru

akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan

golongan hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan

mereka telan habis.”

Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah

di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya berusaha mati-

matian untuk menunda pertentangan yang mungkin terjadi antara

laskarnya dengan laskar pamannya.

Arya kini dapat menyadari sepenuhnya, bahaya apakah yang

akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia benar-benar

terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya

berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut

kebesaran nama Tuhan yang telah menunda pertempuran itu.

Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta

rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah.

Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng

Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa

golongan hitam itu mempunyai orang-orang yang tak akan dapat

dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah berusaha untuk menempa

anak serta cucunya siang dan malam.

Hal ini ternyata kemudian ketika orang tua itu akhirnya

berkata, “Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk menunda

persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta

kepadamu untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada

orang-orang yang akan mengambil kesempatan, mempergunakan

kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri.

Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas

Page 55: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91

nama pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-

mudahan tak perlu mempergunakan kekerasan.”

Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus

menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama pamannya.

Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau mengecewakan

kakeknya. Karena itu ia menjawab, “Baiklah Eyang. Aku akan

menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman

Lembu Sora, tetapi atas nama ayah Gajah Sora.”

Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana

tersenyum. “Baiklah....” katanya, “Jagalah keselamatannya. Aku

terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian dari laskarmu ke

dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong,

kota yang samasekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau

ada hal-hal yang gawat. Sebab golongan hitam itupun mempunyai

otak-otak yang cukup berbahaya.”

“Baiklah Eyang,” jawab Arya, “Akupun akan segera kembali ke

tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku akan

menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman

Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini. Aku akan

tetap berada di antara anak buahku.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia

benar-benar menjadi kagum kepada Arya, yang telah meluluhkan

diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang pemimpin yang merasa

dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi

terkejut karenanya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan?

Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”

“Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya. “Biarlah aku

melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai.

Namun demikian aku juga berjanji bahwa aku akan

menyelenggarakan keamanannya sampai paman selesai.”

“Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang

memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut

Page 56: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91

Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus

memegang kedua-duanya “

“Tetapi aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya

Salaka.

“Baiklah Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar

perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Arya

Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili pamannya,

sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada

orang lain. “Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu

Sora Wanamerta.” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan. “Hanya

untuk beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali.

Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.”

Kemudian, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada

Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya ke Pamingit.

Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menemui

tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka

segera akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya,

“Eyang Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang

kemudian dengan membawa beberapa orang yang akan

membantu Paman di sini.”

Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan.

IV

Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana,

menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri. Sebagai seorang

yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang

harus dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-

sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, juga

meninggalkan kota dengan kuda masing-masing. Hanya

Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa

Banyubiru dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti,

orang-orang Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam barisan

Page 57: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91

Lembu Sora. Tetapi mereka samasekali belum pandai memegang

tangkai pedang.

Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu,

dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya,

“Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”

Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka

serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan

Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di

tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-

orang Banyubiru akan balas dendam kepada mereka. Tetapi

agaknya wajah Wanamerta samasekali tidak menakutkan. Karena

itu salah seorang darinya datang mendekat dengan sangat

hormatnya. “Ada perintah, Kiai…?” ia bertanya.

“Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta.

Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan duduk

di depan Wanamerta.

“Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta.

“Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap

jalan masuk,” jawabnya.

“Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.

“Kerta Pitu,” jawab orang itu.

Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya,

“Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan

yang perlu kepadaku.”

Orang itu mengangguk hormat. “Baik Kiai,” jawabnya.

“Nah, kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya.

Orang itu pun segera kembali ke tempatnya. Seorang yang lain

telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu untuk

Page 58: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91

diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di

setiap gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi

penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting. Meskipun

sebenarnya Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh

pengawal yang belum mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru

adalah kekuatan yang samasekali tak berarti. Beberapa orang

yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar Lembu

Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian

Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di

perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka

yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan

Arya Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa

orang laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah

ini dari segala yang mungkin akan mengancam. Tetapi ia harus

menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti,

mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat

tidak akan terjadi sesuatu.

Ketika Wanamerta telah selesai memberikan beberapa

petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu untuk

melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah kepala

daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang

berada di dalam rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih

berada di rumah itu pula, sedang beberapa orang lain adalah

orang-orang baru. Namun demikian, apa yang dilihatnya kini,

adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu

ia berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri.

Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir segenap sudut-

sudutnya. Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada,

tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi. Tetapi kini rumah itu

menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang labah-

labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan

hampir di setiap lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari

lampu-lampu minyak, membekas mengotori dinding dan tiang-

tiangnya.

Page 59: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91

Melihat perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan

rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan seluruh tanah

perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat. Tetapi ia tidak

mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak

mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong

desa lainnya. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan

peraturan-peraturan baru atau perubahan-perubahan apapun.

Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin

sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora

telah selesai dengan pekerjaannya, besok mereka pasti akan

datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan mungkin harus

bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat dilakukan

adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia

hanya dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam

batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora

memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas orang-

orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih banyak lagi.

Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti

membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud untuk

beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di bale-bale

bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal

naik ke pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata,

“Kiai, seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”

“Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.

“Sontani,” jawab orang itu.

“Sontani…?” ulang Wanamerta, “Apakah keperluannya?”

“Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada

Kiai. Ia ingin berbicara langsung,” jawab pengawal itu.

Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan dilakukan?

Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia

terpaksa menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.

Page 60: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91

“Sendiri...?” tanya Wanamerta pula.

“Tidak Kiai,” jawab orang itu, “Dengan anak-isterinya.”

“He…?” Wanamerta terkejut. “Dengan anak-isterinya?”

Orang itu mengangguk. “Ya.”

“Baiklah, aku datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun

demikian ia masih ragu. Apakah maksud kedatangan orang itu.

Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa anak-

isterinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan

kewaspadaan. Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.

Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-

benar dengan isteri dan seorang anaknya duduk di pendapa.

Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia berlari

terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu,

sambil berkata meratap, “Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku

merasa bahwa aku telah bersalah terhadap Kiai, terhadap

Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya

itu adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya samasekali tak ingin

untuk sesuatu kedudukan apa pun. Dan sekarang aku

menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah aku terima dari

Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas

ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu

tak akan berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan

kesetiaanku kepada kampung halaman ini. Biarlah Ki Bakung

kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang. Dengan demikian

Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora

mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau mati

dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening,

atau….” Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta,

“Jangan salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati

orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka. Putra Ki

Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”

Page 61: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91

Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia

bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang masih berdiri dipintu.

Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau mengutuk Lembu

Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru?

Karena itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.

Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang

sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika untuk

beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani

dengan suara gemetar. “Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu

Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”

“Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya

segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-

citanya itu. Meskipun jalan yang ditempuhnya tidak benar,

malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat dihormati

karena keberaniannya,” jawab Wanamerta. Kemudian ia

melanjutkan, “Sedang ada orang lain yang mencoba untuk

mendapatkan keuntungan dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia

bersujud di bawah kakinya selagi kesempatan memungkinkan.

Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba

untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan

keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna hitam

kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau ia

hinggap di atas daun-daun yang segar.”

Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia

menoleh kepada isteri dan anaknya, yang memandangi dengan

cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa. Ketika

Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya

terik matahari yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba

Sontani berkata, “Kiai, entahlah apa yang dibawa oleh isteriku.

Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati,

sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri

kepada Kiai.”

Page 62: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91

Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan

terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari pendapa.

Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah

bungkusan yang besar.

“Kiai....” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan

Wanamerta, “Terimalah tanda kesetiaanku ini.”

Wanamerta memandang Sontani dengan pandangan yang

kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan bahwa di

Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang yang

berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora,

kepada Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk

mencapai tempat yang setinggi-tingginya buat dirinya sendiri,

meskipun berdosalah mereka yang mengorbankan orang lain

untuk kepentingan dan kesenangan diri.

Wanamerta masih belum berkata apapun ketika Sontani

membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau

Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya

Salaka. Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman,

bahkan mungkin ia akan tetap berada pada kedudukan yang

sekarang, Bahu di Lemah Abang.

Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat

beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai

sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah pendok keris dari

emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.

“Kiai,” Sontani meminta, “Adalah suatu karunia yang tiada

taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang samasekali

tak berarti ini.”

Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman

hatinya itu terbayang di wajahnya.

Page 63: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91

Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat

cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir.

Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan berlian.

“Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”,

berkata Wanamerta.

Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah

artinya barang- barang itu dibanding dengan nyawanya?

“Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya

untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai”,

jawab Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.

“Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak

akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu,”

sahut Wanamerta.

“Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan

barang-barang yang tak bernilai lainnya”, jawabnya. Ia mengharap

Wanamerta membungkuk dan membuka lipatan-lipatan kain,

mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan berlian itu.

Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang-

tiang pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi

bingung. Bajunya telah basah oleh keringat yang mengalir semakin

deras.

Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika

Wanamerta berkata, “Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-

barang itu?”

“Aku telah bekerja keras selama ini Kiai,” jawab Sontani

terbata-bata.

“Aku juga bekerja keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi,

Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain. Tetapi mereka tidak

dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian kecilpun tak

dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung. Ia

tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu

Page 64: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91

terdengarlah Wanamerta berkata, “Sontani, aku mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”,

Wanamerta berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan

wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan, “Namun sayang, aku

tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu kembali

kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu

karena kau menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras

rakyat Lemah Abang untuk kepentinganmu dan kepentingan

Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu karena

rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus

kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan barang-

barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak kepadaku. Tidak

kepada cucu Arya Salaka.”

Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya kini benar-benar

terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya dengan

gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.

“Sontani”, terdengar kembali suara Wanamerta, “ada seribu

jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali barang-

barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan alat-alat

pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang

lebih baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak.”

Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa

membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir. Tetapi nafasnya

satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang hidungnya. Betapa

panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya

jauh lebih panas dari panasnya udara.

Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora didalam

dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai

memerlukan barang-barang ini?”

Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Sontani.”

Dalam kebingungan Sontani mendesak, “Kiai, bukankah Kiai

sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki barang-

Page 65: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91

barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting

tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk

mengantarkannya kepada Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini

akan jauh lebih berharga daripada hampir seumur hidup Kiai?”

Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia

menjawab, “Sontani, kau dan aku mempunyai perbedaan

kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa berbahagia

karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu.

Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan.

Miskin akan benda-benda duniawi, tetapi aku merindukan

kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu,

tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

menentukan akan datangnya masa, dimana manusia bertanggung

jawab kepada-Nya.

Sedangkan kau agaknya telah terjerumus ke dalam kekuasaan

nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia

karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang

Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya,

manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing.

Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang

dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin

dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda

serupa itu.”

Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan

yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat

jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam

jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang,

bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.

Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta.

Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani,

yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang

pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu,

tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya

Page 66: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91

ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya

untuk menyuap Wanamerta.

Wanamerta sadar bahwa

kata-katanya tepat menyen-

tuh perasaan Sontani, maka ia

meneruskan, “Sontani. Pu-

langlah. Bawalah benda-benda

yang samasekali tidak berarti

bagiku itu. Kembalikan mere-

ka kepada yang berhak

dengan bijaksana. Cepatlah

sebelum Arya Salaka datang

dan melihat caramu yang

samasekali tidak disukainya

itu. Ia masih terlalu muda

untuk dapat berbuat seperti

aku.”

Sontani perlahan-lahan

bangkit dan duduk bersila di

hadapan orang tua itu. Anak-isterinya yang gelisah, me-

mandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya.

Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali,

maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi

kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk

menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu

tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus

digantung di tengah-tengah beringin kurung.

“Kiai...” katanya kemudian, “Aku akan pulang ke Lemah

Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta.

Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak.

Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan

menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan

membela diri. Apa pun yang akan ditimpakan atasku, akan aku

Page 67: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91

jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum

mati.”

Wanamerta menggeleng. Jawabnya, “Percayalah Sontani.

Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan

dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang

yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada

pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali.

Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”

Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi

Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata, “Jangan

bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan isterimu, aku

akan duduk bersama-sama dengan kalian.”

Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu

sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh

Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri

beserta anak-isterinya yang samasekali tidak mengerti persoalan

yang bergolak di dada suaminya.

Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan

dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir

dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari

sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin

masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.

Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia

terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke

pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan

kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal

meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-

gesa pengawal itu berkata, “Kiai, laskar di perbatasan bergerak

mendekati kota.”

Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar

Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu

ia bertanya, “Semua…?”

Page 68: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91

“Tidak Kiai,” jawab orang itu. “Hanya sebagian.”

“Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.

“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.

“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata

Wanamerta kemudian.

Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera

berangkat melakukan perintah itu.

Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti

pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota. Apakah

yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan

atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam

kelaskaran Lembu Sora…?

Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang

bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu

bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka,

karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian

pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya

berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu

telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di

gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.

Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti

sejenak. Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata, “Gardu kedua

telah kosong.”

“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu. “Kenapa?”

“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.

“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.

“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan

mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.

Page 69: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91

Tiba-Tiba salah seorang dari mereka berempat itu tertawa.

Dengan lantang ia berkata, “Jangan takut. Mereka tidak akan

berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan

Arya Salaka.”

“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.

“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang

Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu. Pimpinan gardu

ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka

dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia

akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah

memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.”

Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-

ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak

lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga

terdengar Ira menjelaskan, “Aku menjadi jaminan bagi kalian.

Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu

mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang

gantungan.”

Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin

lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya

masih gelisah. “Baiklah....” katanya, “Mudah-mudahan katamu

benar.”

Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu

putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih

pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan.

Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang

mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya

telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya.

Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang

berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya

dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.

Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang.

Page 70: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91

Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin

dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi

sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam

senjata.

Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas

punggung kuda mengangkat tangannya pula.

Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia tidak

salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian

ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya

seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia

melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi

gelisah. Orang itu adalah Bantaran.

Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia

turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan

dirinya.

Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun

mengangguk pula.

“Tuan....” kata pengawal itu dengan hormatnya, “Aku

menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan,

dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”

Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Haruskah aku

pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya, “Tidak

Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”

“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di

Banyubiru?” tanya Arya.

“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia

menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.

”Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu

Sora,” jawab Arya.

Page 71: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91

Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar,

rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan

cepatnya ia membetulkan kata-katanya, “Tuan benar. Kiai

Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”

“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.

Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah

karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap

bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal

itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari

punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang

berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk

dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka

iapun menjawab, “Ya, Tuan.” Suaranya gemetar. Kini ia tinggal

menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau

oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan

itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai

mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan

menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak

berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama

akan naik ke tiang gantungan.

Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia

menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri

pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat

mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.

Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang

mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya. “Marilah. Naiklah

ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.”

Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia

memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya

dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa

berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.

Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya.

Page 72: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91

Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil

duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia

memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya.

Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya

mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya

berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas

keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka

tidak melarikan diri.

Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat

sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum

ia berkata, “Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke

Pamingit?”

Ira membungkuk hormat, jawabnya, “Tidak Tuan. Aku lebih

senang menunggu kedatangan tuan di sini.”

“Terima kasih,” jawab Arya, “Agaknya Paman Lembu Sora

memang tak memerlukan kau.”

“Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.

“Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin

atau lusa,” sahut Arya Salaka.

Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan

demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya. Sungguh

lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-apa ketika Arya

menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu

seorang yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-

mudahan Bantaran pun tidak mendendamnya.

Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah kepala

perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka dengan

perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi.

Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di

samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah, putri Kebo

Page 73: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91

Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk

mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru.

Kemudian Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka

mengadakan pembicaraan singkat, segera Bantaran membagi

pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang itu. Mereka

disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah

mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-

nakuti. Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu

Sora, mereka harus bersikap baik. Dengan demikian mereka harus

memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar

memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan

damai.

“Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk

membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman tanah ini.

Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai

tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan

bahwa jiwa kalian berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu

Sora sendiri. Junjung tinggi namamu dan nama pemimpinmu.”

Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya.

Ketika laskar itu mulai berpencaran, terdengarlah suara riuh

hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat Banyubiru

menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang

bergelora. Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-

kelompok kecil itu sebagai pelindung mereka.

V

Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang

dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan

Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat

tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan

hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang terjadi

antara laskar Lembu Sora dan laskar hitam, dan kemudian kembali

kepada Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya.

Page 74: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91

Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah Arya

yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat

diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat

menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang

yang akan mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun

ia sendiri terpukul dan pingsan karenanya. Ia dapat menunjukkan

pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang

oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil

membunuh salah seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya.

Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya. Widuri

mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi

terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani

oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih sangat muda.

“Kalau malam ini mereka datang kembali....” kata Arya Salaka,

“Aku tak perlu berlari-lari lagi.”

“Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan?” sahut Widuri.

“Tidak,” jawab Arya. “Sebab sekarang ada kau. Bukankah

kalungmu itu menakutkan orang?”

Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang

duduk bersama mereka, “Apakah Eyang takut juga kepada

kalungku ini?”

Wanamerta tertawa. Jawabnya, “Aku tidak. Sebab aku tak

bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”

“Ah....” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu

apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya.

Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di kejauhan

gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng

pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan

membawa udara yang sejuk.

Page 75: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91

“Cucu Widuri....” kata Wanamerta kepada gadis lincah itu,

“Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan

Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.”

Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun

berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia samasekali tidak

takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka, Wanamerta dan

Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang

yang mengawal.

Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,

Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang

lain sedang sibuk menyalakan api untuk mematangkan kijang hasil

buruan mereka.

Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas

rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan. Sekali-

kali angan-angannya itu membumbung tinggi, membelit di antara

bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali

ke dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di

antara laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok,

entah lusa. Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia

masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit…? Atau

kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya,

apakah ia masih dapat bertemu dengan Mahesa Jenar…?

Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya sendiri.

Tidak sengaja ia memandang ke perapian. Dilihatnya di antara

mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi laki-laki

itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati

daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang

riang. Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup

jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya.

Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis ia

kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-

tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang

Page 76: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91

rumput ke padang rumput yang lain? Dari satu perkelahian ke

perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…? Tidakkah pada suatu

saat ia akan dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya

dijalani oleh setiap wanita…? Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin

melepaskan pedang dari pinggangnya dan menggantinya dengan

pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin

melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana

pedangnya selalu menggantung, dan menggantinya dengan

selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan

masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan

nyawanya, tetapi bermain-main dengan anaknya.

Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia hanya

dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi,

mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan

menikmati hidup ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita biasa.

Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih melihat

mereka yang duduk melingkari perapian itu bersenda-gurau.

Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira itu.

Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan

berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.

Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis

edarnya. Sedang mega putih yang membayang di selatan, sebagai

selimut yang putih, menaburi punggung bukit Telamaya.

Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik

yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak di

perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan, namun

mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya.

Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari

laskar Lembu Sora maupun dari laskar golongan hitam. Sebab

mereka selambat-lambatnya petang tadi, pasti sudah saling

berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar mereka

sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan.

Page 77: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91

Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi

sampai matahari muncul di timur, diantar oleh kicauan burung-

burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon perdu.

Lereng bukit itu seolah-olah disiram oleh kesejukan cahaya

pagi yang segar yang merayap turun dari ujung-ujung pepohonan,

dan jatuh berserakan di tanah merah.

Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah beberapa

saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia terkejut melihat

sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya. Dalam keremangan

cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan

nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar

menggelombang dalam tarikan nafas pagi.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia

melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia menjadi

heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah

padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna

menurut selera hatinya.

Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya,

Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu mendengar

desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang Mahesa

Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.

“Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar

dalam nada yang rendah.

Rara Wilis tersenyum. “Tetapi matahari telah meninggalkan

peraduannya.”

Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang

matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum

pula ia berkata, “Ia akan datang pada saat ia harus datang.”

“Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.

Page 78: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91

“Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan

apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.

“Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.

“Matahari…?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.

“Ya,” jawab Wilis

“Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula.

Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang dapat

merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing.

Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak

bukit.

“Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis

kemudian.

“Pergilah. Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih

tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan

itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara Wilis

mendapatkan mata air yang kecil.

Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang

penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk

ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang

Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di

Banyubiru.

Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja.

Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan

Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan

yang mereka perlukan.

Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah

orang yang mereka harap-harapkan itu.

Page 79: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91

Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-

mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah

perdikan Banyubiru.

Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu

mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan

Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka

biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki

kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan

pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para

pengawal itu. Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan

Jaladri…?

Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar

derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari

pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-

orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga

Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera

bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan

terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka

melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman.

Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah

mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-

wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka

usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang

mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka

membayang di bibir mereka.

Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh.

Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan,

Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum

yang hangat.

“Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya

yang mengalir cepat.

“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.

Page 80: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91

“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Syukurlah,” sambung Wanamerta.

Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya

Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan

Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa

Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah

menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian

menanyakan keselamatan kedua orang itu.

“Perjalanan yang menyenangkan.” Namun terdengarlah suara

itu amat perlahan-lahan.

Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil

menyebut, “Cemasnya yang tak terduga-duga.”

Yang mendengar ikut tersenyum pula.

“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.

“Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena

itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu.

Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang

lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman

Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan

senang pula mendengar ceriteramu.”

“Baiklah,” jawab Penjawi. “Kami akan mandi dahulu, makan

pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu

banyak tertinggal.”

Jaladri tertawa, sambungnya, “Urutan yang bijaksana,”

Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren,

Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu.

Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk

mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh

debu tebal. Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah

memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar

Page 81: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91

Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan

Wirasaba.

Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa

Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar

Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan

langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah,

di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat.

Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka.

Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

“Nah....” kata Arya Salaka kemudian, “Mulailah dengan kisah

cemasmu.”

Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas

ia berkata, “Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi

baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada

kalian.”

Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah

yang telah terjadi di Pamingit.

“Lusa,” Penjawi mulai, “aku dan Adi Jaladri berangkat ke

Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana

meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat

mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah

paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng

Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang memiliki

ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa

beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu

Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih

tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat

dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di

Sumber Panas.

Page 82: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91

Ini adalah suatu keadaan yang samasekali tak diduga oleh

golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat

didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka

mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi

Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di

Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di

rumah Paman Darpa, setelah kami mendapat gambaran dari kedua

garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit,

sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah

bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang

berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang

mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi

Jaladri agak lebih sulit.”

Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri,

katanya, “Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi

sendiri. Nah ceriterakanlah.”

Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata, “Bukan

lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.” Ia berhenti sebentar

lalu meneruskan, “Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari

tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam

kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku

mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba

terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku

menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri

yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan

wajah yang mengerikan.”

“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.

“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri. “Dengan mata yang

mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia

tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang.

Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi

gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba

terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk

Page 83: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91

menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam

raga ini.”

“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu?” bertanya Sendang Papat

tidak sabar.

“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri. “Dan aku benar-benar

takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula –

Kenalkah kau kepadaku?”

“Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak

mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya,

segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah

telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”

“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.

“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri, “Bukan karena aku

sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat

melepaskan diri dari tangannya.”

“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,

“Apakah kau dibiarkan pergi?”

Jaladri tertawa. “Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan

ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat

aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada

padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel

Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam

kepalaku, terdengar suara di belakangku. “Jangan Kaliki. Jangan

mengganggu anak-anak.”

Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat

hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku

mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat

menyelamatkan aku.”

“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.

Page 84: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91

“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.

“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir

berbareng. “Jangan teka-teki.”

“He....” jawab Jaladri, “Siapa yang berteka-teki? Aku benar-

benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”

Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut.

Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.

“Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian.

Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan, “Bugel Kaliki

terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk

memecahkan kepalaku. Tetapi

segera ia bersiaga untuk

menghadapi musuh barunya.

“Jangan ganggu aku” ia

berdesis. Tetapi orang yang

datang itu tertawa. Suaranya

nyaring. “Aku mengembara

dari satu tempat ke tempat lain

tanpa tujuan. Karena itu

akupun kadang-kadang mela-

kukan pekerjaan-pekerjaan

tanpa tujuan. Antara lain

mengganggumu.”

Bugel Kaliki benar-benar

marah. Terdengar suaranya

menggeram seperti serigala.

Namun orang asing itu masih

tertawa-tawa saja. Demikian-

lah akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-

kata lain. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai

pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya.

Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang

Page 85: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91

beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor

elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti

Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa

bongkoknya itu samasekali tidak mengganggu. Melihat perkelahian

itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi

seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu.

Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai

pertempuran itu berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa,

biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku

sempat mengucapkan terima kasih kepadanya.

Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat

bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan

kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki berteriak nyaring,

untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam

keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya samasekali

tidak mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang

datang terakhir. Namun agaknya mereka tidak akan bertempur.

Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang

baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-

masing.”

“Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya

Wanamerta.

Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa. “Kiai....” jawab Jaladri,

“Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan

kalian juga mengenalnya.”

“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.”

Sendang Parapat semakin tidak sabar.

“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.

“Oh….” Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam.

Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas

dari ancaman maut.

Page 86: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91

Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,

“Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang

tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya

sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, “Apa

kerjamu di sini Jaladri?”

Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora

Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang

sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu

tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora

Dipayana berkata, “Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi

pertempuran akan dimulai.”

Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke

pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di

dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh

Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk

pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki

Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya

mendengar orang asing itu berkata, “Kau biarkan anakmu sendiri?”

“Tak ada pilihan lain” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Kalau

aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu

datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu,

maka laskar ini akan habis ludas.”

“Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka

untuk melawan anakmu?” jawab orang asing itu.

“Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan

untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi

mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai

panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-

baiknya.”

“Belum cukup” jawab orang asing itu.

Page 87: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91

“Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku

percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit

ia akan dapat mengatasi keadaan” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

Ternyata ia kemudian meneruskan, “Soalnya terserah kepada

nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-

kesalahannya.”

“Kalau begitu....” orang asing itu menjawab, “biarlah aku ikut

serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama

dengan anakmu.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti.

“Kau….” terdengar suaranya dalam.

Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum

Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan

dirinya sambil berkata, “Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak

terlambat.”

Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan

kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, “Terima kasih,

terima kasih.”

Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara

kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu

telah mempersiapkan diri mereka.

“Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal

perikemanusiaan itu.”

Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar

Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan

gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang

panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris.

Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia

membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah

perubahan di wajahnya.

Page 88: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91

Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, “Jangan

hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan

mengganggu kalian.”

Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat.

Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah

semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun

seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak

dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya

mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari

golongan hitam itu, kelompok demi kelompok.

Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya

selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Ageng

pun samasekali tidak keberatan. Bahkan akhirnya Ki Ageng itu

memberi aku sebatang tombak sambil berkata, “Kalau kau

terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini.

Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka,

atau kalau kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki.”

Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar

Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok

mereka. Aku bagaimana?”

Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku,

karena itu terdengar kata-katanya, “Kau pun harus membentuk

kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk

dalam kelompok kecilmu.”

Aku menundukkan kepalaku, karena malu.

Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan

dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang

bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh

suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa

bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar

biasa seperti tokoh- tokoh golongan hitam.

Page 89: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91

Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan

kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu kedalam

pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam

yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar

golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan.

Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi,

aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama

Nagapasa.

“Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.

“Ya,” sahut Jaladri. “Melihat mereka berdua Ki Ageng Sora

Dipayana memanggil Wulungan, katanya, “Wulungan, lawanlah

Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu.

Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan

jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga.

Orang itu mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang

sama, bahkan berhari-hari.”

Wulungan mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Ageng,

akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku. Yang lain

akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu.”

“Bagus” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku

Ki Ageng itu berkata, “Jaladri. Aku harus melayani musuh yang tak

dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak, tetapi ia

dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk

memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh

Wulungan melawan musuhmu pagi tadi.”

Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa

Wulungan agak bimbang menerima titipan itu.

Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju kekelompok

pertama, aku berkata kepadanya, “Jangan curigai aku. Aku tak

akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di

dalam kerjasama antara kita dan laskarmu.”

Page 90: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91

Wulungan tersenyum. Jawabnya, “Aku mempercayaimu. Aku

kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti

pimpinan mereka.”

Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji,

ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak

sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa

orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok

kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang

lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan

seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita.

Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan

mereka. Mereka samasekali tidak mempergunakan gelar perang,

atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun

tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-

masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan

keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka

lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah tampaklah goresan-

goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang berpuluh-

puluh jumlahnya.

Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran. Namun

kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku berjalan

orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-

cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui

apakah mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh

mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan

kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini,

namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada

kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan,

kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa.

Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat

sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku,

“Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah persawahan.

Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur terinjak-injak

Page 91: 20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91

oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan

memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah

inilah kami sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-

batang padi ini akan hancur, namun besok di atasnya akan dapat

kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih

segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah

putra-putra terbaik dari tanah ini.”

Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya

terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk

tanahnya.

Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri.

Orang-orang hitam itu berloncatan sambil memekik-mekik.

Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada saat

yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak- anak

Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah

bertebaran diudara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu

memutar senjata mereka menjadi gulungan perisai yang sangat

rapat.

Demikianlah akhirnya pertempuran tak dapat dihindari. Orang-

orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan

menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian,

riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik

yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu. Wulungan

dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan

memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak

dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak

melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja,

mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya

marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram,

kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar

Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka

menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan,

namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari

Gunung Cerme itu.