22 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

113 views

Category:

Art & Photos


24 download

TRANSCRIPT

Page 1: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Page 2: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91

I

emuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk

mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata

kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau

gila, secepat petir menyambar.

Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten

dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya

Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang

menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa.

Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada

mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam,

namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka

melihat apa yang terjadi kemudian.

Ternyata Kebo Kanigara samasekali tidak berusaha untuk

menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia

membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di

lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan

melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan

dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu

kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan

yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi

apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada

mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan

disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut.

Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat

dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar

pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap

tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-

lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit

pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus

terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua

S

Page 3: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91

kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo

Kanigara, orang yang samasekali tak dikenal, baik oleh golongan

hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit.

Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali

ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati.

Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan

peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti

tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya

kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng

runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja,

laskar Banyubiru berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa

mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati....”

Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya.

Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua

dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu

mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih

mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke

segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita

itu sangat meragukan.

Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan

Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun,

meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama

lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka

dengan penuh kekaguman dan keheranan.

“Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana.

Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan

mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri,

serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama

Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar

pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun samasekali tak

diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan

Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya

sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu

Page 4: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91

adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka.

Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata,

sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam

suatu benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu

kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra

Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang

perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada

di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri

melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa

ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai

membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun

ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra

telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya

Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya

sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah

suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat

yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.

“Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan

dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten.

Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian

tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar.

Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa

punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam

perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang

beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun

kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia

dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar

itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya

Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira

yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin

kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam

Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar

tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa

Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia

Page 5: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91

selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu

sikap yang jarang ditemuinya.

Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru,

kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru

menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di

laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara

mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar

mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel

Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya.

Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya

dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo

Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat?

Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah.

Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang

sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini,

mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia

ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan

ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang

menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan.

Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima

Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru

mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka

memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi

gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah

tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang

terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan

golongan hitam pun samasekali tak berarti baginya. Sebab

kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan

atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat

mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh

sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi

itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi

kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu,

Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia

Page 6: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91

kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia

memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia

menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena

keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan

lain yang semakin menyulitkan kedudukannya.

Dalam pada itu, matahari

beredar terus. Ketika tokoh-

tokoh sakti dari keduabelah

pihak terlibat kembali dalam

pertempuran, warna-warna

yang kelam mewarnai lembah-

lembah yang cekung. Perla-

han-lahan warna itu merayapi

tebing semakin tinggi. Angin

pegunungan yang sejuk terasa

silirnya mengusap tubuh.

Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara yang telah kehi-

langan lawannya tidak segera

berbuat sesuatu. Mereka masih

diam dan tegak di tempat

masing-masing. Namun di

daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-

orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari

kedua orang yang luar biasa itu.

Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi

semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan

pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah

sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora

Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan

Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan

peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-

kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang

dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam

Page 7: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91

itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian

mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka

tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya,

namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan

dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.

Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga

mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu

sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang

baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah

rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk

tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka

meninggalkan medan. Satu-Dua orang mencoba menolong kawan-

kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan

dari mereka samasekali tidak ambil pusing kepada mereka yang

terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir

merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan

parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun samasekali

tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka,

laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan

untuk kepentingan rahasia mereka, samasekali mereka tidak

segan membunuh kawan sendiri.

Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera

mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin-

pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar

mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk

gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang

mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang

terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas

tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada

kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat

pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.

Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi.

Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas

mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib

Page 8: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91

kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus

mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok

mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan

mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan

pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah

dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng

Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai,

segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu,

tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Mereka pun

segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki

Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora

Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan

Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah

kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar

dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger

telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya

karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain

yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa

Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami

orang-orang tua yang tak tahu diri.”

Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat

sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu.

Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab.

Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada

kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-

Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang

ditunjuknya.”

Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara

itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat

beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan

mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.

Page 9: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91

Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan

pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib.

Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka

yang terluka.

Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului

kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di

sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti

itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka

bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan

mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu

kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui

kesaktian mereka sendiri.

Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana

mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan

mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang

mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap

gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka

lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat

dengan tertib.

Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama

dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil

air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya

mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.

Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora

Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya

bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu.

Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus

dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar?

Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah

menerangi hatinya.”

Page 10: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91

Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia,

“Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam.

Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang

mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada

Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa

samasekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah

menemukan jalannya. Tetapi....” kata-kata orang tua itu terputus

oleh tarikan nafasnya.

“Tetapi....” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi

kata itu.

Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar

dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit

hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng

Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya.

Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja

langkah orang tua itu sambil berdiam diri.

Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora

Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?”

Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,

“Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?”

Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,

“Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman

Lembu Sora.”

“Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa

petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta

orang tua itu.

“Baiklah Eyang,” jawab Arya.

Page 11: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91

Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi

pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.

“Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa

Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa

keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam

Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar

mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan

nasib cucunya, Sawung Sariti.

Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut

masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti

pagi tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka

terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan

yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar

mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri.

Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan

beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat

berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat

laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat.

Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas

anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil

memeluk senjata masing-masing.

Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai

oleh mimpi yang segar.

Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan

dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati

mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang

kepada mereka.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil

mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.”

Page 12: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91

Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda

dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula

didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.

“Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati....” Ki Ageng

Lembu Sora mulai, “Aku memerlukan datang kepada kalian berdua

untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku

lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku

masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal

pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah

kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku

lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-

lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar

pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora

memandang kepada diri sendiri.

Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang

dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa

nyamannya.

Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan,

“Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami

sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat

pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”

Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah

menyumbat kerongkongan. “Tetapi Kakang, apabila besok aku

terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang

menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora

kelak.”

“Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut

Mahesa Jenar. “Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku

tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra.

Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan

ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”

Page 13: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91

“Ya....” Lembu Sora menjawab, “Aku tahu itu. Aku sadar

betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-

kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas.

Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau

meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak

mengetahui samasekali persoalan di antara kami. Syukurlah

bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan

itu.”

“Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah

Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa

miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.”

“Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?”

Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian

bodohnya.

“Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun hidup dan mati

berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan

menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di

pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka

bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan

melimpahkan rahmat-Nya.”

Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi api

yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di

dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa

kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan,

kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat

yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana

Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk

Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng

Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah

bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana

dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-

citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya

Page 14: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91

diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk

lesu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa

penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa

ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh.

Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.

Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi

semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas

dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka

terletak tanggung jawab atas keselamatan perkemahan

Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu

menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang

nyenyak tertidur.

Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka

matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama

dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera

bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat

di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan

tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu

seperti masa anak-anak dahulu.

“Arya....” desisnya, “Maafkan pamanmu.”

Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-

kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah

terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha

melupakannya, Paman.”

Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi

panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar.

Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki

Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.

Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan

kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam

Page 15: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91

hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah

membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa.

Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap

dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di

manakah adikmu?”

Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang

serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku tidak tahu,

Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira

Adi bersama-sama dengan Paman.”

Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti

anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang samasekali tidak

mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan

manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada

diri sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah

membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat

mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak

itulah yang didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh

tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri.

“Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku

sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya

sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, adikmu

telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat

melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun

demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke

jalan yang benar?”

“Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak

tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu

sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya

itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha.

Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran

ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih

Page 16: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91

enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan

yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas?

Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka

Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun

kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya

kepada Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar

laporan para pengawas?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,”

jawabnya. “Laporan tentang apa?”

“Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora

Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana

pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya

Salaka,” sambung Wulungan.

“Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.

“Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau

demikian....” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.”

II

Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa.

Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam

hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang

pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan

berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu,

Tuan.”

Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama.

Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?”

Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu

Sora ia berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas

untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah

Page 17: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91

melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan

Kakang Galunggung.”

Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik

nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar

atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan

keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan

anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan,

penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara

berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu

memang kau didik demikian.”

“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu

Sora menggeram.

“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari

rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.

“Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak.

Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, “He,

apa kerjanya di sana?”

Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik

dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah

perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang

dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-

kotornya di Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis.

Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub

yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi

terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang

melanggar tata kesopanan dan kepribadian.

Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa

yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan

demikian ia tetap berdiam diri.

Page 18: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91

Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus, jangan

kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak

itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku

sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati

dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah

laporan itu?”

“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya

pengawas itu.

Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.”

“Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu

yang lalu.”

“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.

“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda

meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,”

jawabnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak

maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?”

“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,”

jawabnya.

“He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?”

“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku

yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede,

mereka membelok ke timur.”

“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.

“Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi aku tidak dapat

mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti,

akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku.

Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula

meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga

Page 19: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91

aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu

penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku

itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu

kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”

“Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung

tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana

atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”

“Wulungan....” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil

mereka!”

Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera

bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di

dalam gelap.

“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.

“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah

seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”

“Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba

meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata

apapun juga ia berlari kencang-kencang.

“Arya....” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya.

Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian

berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi,

tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami

mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”

Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati

melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau

di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura

Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri

mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun

ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun

Page 20: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91

bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar,

aku pergi bersamamu.”

“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar

akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan

muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.

Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat

telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan-

tuan?”

“Aku akan pergi sebentar,

Bantaran. Jagalah laskar baik-

baik. Tempatkan dirimu

langsung di bawah perintah Ki

Ageng Sora Dipayana apabila

besok pagi-pagi aku belum

kembali,” kata Mahesa Jenar

dengan tergesa-gesa. Ia tidak

sempat memberi banyak

penjelasan. “Aku titipkan

laskar Banyubiru kepadamu Ki

Ageng,” katanya kepada

Lembu Sora.

“Baik Adi,” jawab Lembu

Sora. “Tetapi tidakkah Adi

perlu membawa pasukan?”

“Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo

laskar Arya Salaka.”

Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat

berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan

tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi.

Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi

ke tempat kuda-kuda dipersiapkan.

Page 21: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91

Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti

angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera

meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup

baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.

Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil

seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka

melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-

masing kuda dengan tergesa-gesa.

“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.

“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih

berpacu kuda.”

Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun

demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya

berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang

mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka

tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi.

Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-

senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi

di perkemahan itu.

Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat

peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung

Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah

membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang

mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang

Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya

dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa

yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan

laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah

yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak

tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada

Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar

Page 22: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91

Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan

yang akan timbul.

Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora

Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di

sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil

menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?”

Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum

pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang

demikian kepadanya.

“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya.

Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti

hendak menelannya hidup-hidup.

“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung

Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”

Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan

matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram

Lembu Sora.

“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora

Dipayana.

“Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi

sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”

“Sabarlah,” potong ayahnya, “Apakah yang sebenarnya

terjadi?”

“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti

bertanya.

“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan

perkemahan mereka,” jawab ayahnya.

“Ke mana?” desak Lembu Sora.

Page 23: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91

“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.

Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung. Agaknya Ki

Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak

mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika

Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah

kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu

hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi

semakin jelek?”

Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya

bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin

menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih

kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.

Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak

kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah.

Aku baru menyampaikan sebagian.”

“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan

laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?”

bentak ayahnya.

“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah

anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang

kepadaku.”

Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya.

Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan

perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi

kau belum lama menghadap eyangmu?”

Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia

menjawab, “Ya ayah.”

“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.

Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata kepada

ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia

Page 24: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91

tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya,

Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa

disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta

supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu.

Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia

menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”

“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.

Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng Lembu

Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah

mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba-

tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya

berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti

mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu.

Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-

benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan

yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba

berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang

mengatakan?”

Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong

Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”

“Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat

melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora

meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung

sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu

kotor untuk mengucapkannya.”

Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau

tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak

kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah

merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam

dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.

Page 25: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91

“Lembu Sora....” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,

“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”

Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk

pula di samping ayahnya. Sawung Sariti samasekali tidak berani

menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar

bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba

merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya

waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang

golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di

dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya

dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”

Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap

darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya,

terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah

Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba.

Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari

masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang

cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu,

bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka.

Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi

anak semuda cucuku Sawung Sariti.”

Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar

pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-

mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung

Sariti....” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau

katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”

Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera

tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan

suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah

melaporkan keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi

ke Banyubiru, Eyang.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.

Page 26: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91

“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan

yang didengarnya dari pengawas itu.

“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora

Dipayana.

“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.

“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?”

bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung

pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati,

“Mati kau pengawas gila.”

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada

Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.”

Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah

Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama

dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka

keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan

tangan bersilang dada.

Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau

lihat Kakang Arya?”

Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.”

Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-

gesa. Galunggung samasekali tidak mengucapkan sepatah

katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di

belakang mereka.

Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan

dijumpai Arya di sini.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil

menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?”

“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu

Sora.

Page 27: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91

“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?”

“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang

Jati,” sahut Lembu Sora.

“Mengapa?” tanya ayahnya pula.

“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya

perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu

mendengar?”

“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora.

Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu,

serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana

Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan

tombaknya dalam genggaman.

“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.

“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke

Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar

dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka

segera menyusul.”

Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa

Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.

“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam

Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka orang-orang yang memiliki

firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini.

Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya

di antara kita.”

“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak

terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan segala sesuatu

tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan

Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan

Page 28: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91

karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus

mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”

“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa

Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya

dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang

harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat

pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya

lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak

pula.”

“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian

iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun

kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak.

Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar,

kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut.

Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan

merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar

mendong.

Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-

mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin

dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya

tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain.

Sawung Sariti dan Galunggung samasekali tidak menyesalkan

perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu.

Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar

batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur,

Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian

dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu

sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”

Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.

“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung

Sariti.

Page 29: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91

“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu

kecemasan.

“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku

telah bebas dari tugasku itu.”

“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara

aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.

Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu.

Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti

agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata

sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng

Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,

“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan

apa yang aku lihat demi kewajibanku.”

“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata

hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna

hijau.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus

dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung

melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,

“Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki

Ageng Lembu Sora.”

Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang

kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak

seorangpun yang berani mencampurinya.

Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.”

“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.

“Ikuti aku!” bentak Galunggung.

Page 30: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91

Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di

belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti.

Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan

atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang

diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia

perlu mendapat hukuman.

Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka

menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa.

Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping

desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika

ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam,

tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.

Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung

mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,

“Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku

kubur hidup-hidup.”

“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya aku

berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati

dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan

pekerjaanku sebaik-baiknya.”

“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung

Sariti, “Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di

Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus

dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana,

tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”

Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia

tidak mengerti kenapa kebenaran samasekali tidak menjadi

pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran

dari seginya sendiri.

Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.

“Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk

menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah

Page 31: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91

diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka

beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil

membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”

Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di

dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang

sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat

mempengaruhi keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat

menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan

membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat

memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan

itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk

menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”

“Kau tak usah terlalu

banyak bicara,” potong

Galunggung. “Nikmatilah uda-

ra terakhir ini sebaik-baiknya.

Sesudah itu, kau tak akan

mengenalnya lagi.”

Pengawas itu menjadi

semakin gemetar. Namun ia

berkata, “Kalau ada akibat

yang kurang baik bagi kalian

berdua, bukankah itu bukan

salahku. Kalau kalian tidak

sengaja memperlambat berita

itu, maka segala sesuatu akan

menjadi baik.”

“Tutup mulutmu!” bentak

Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”

Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada

pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah

pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang

Page 32: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91

kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas

kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan

ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya

sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri

di hadapan dua orang yang samasekali di atas kemampuannya

untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan

seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau

perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan

sedapat-dapatnya.

Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi

kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju

sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau melawan

berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang

terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”

Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia

meloncat mundur sambil menarik kerisnya.

Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.

“Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia

melangkah maju.

Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang

samasekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh

pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat

kebenaran diinjak-injak.”

Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti

mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya

Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya

tergantung di lambung kirinya.

Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil

melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani

mengganggu pekerjaanku?”

“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.

Page 33: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91

“Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu apa yang Paman

kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu

bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid

Sora Dipayana?”

“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora

Dipayana,” jawab Wulungan.

“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua

dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.

“Ya.”

“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan

Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”

“Ya.”

“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung

Sariti sambil mengangkat dadanya.

“Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku tidak akan melawan

Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya.

Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”

“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung

Sariti.

“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku

yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan

Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk

mengulangi laporannya.”

“Hem....” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua

sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh

sekalian?”

“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan

masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak

Sawung Sariti.

Page 34: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91

“Tidak,” jawab Wulungan. “Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan

Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat

dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku,

maupun kini.”

“Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.”

“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.

“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib

menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran

ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat,

bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora

Dipayana…?”

“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya.

Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk

menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki Sanak,

baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung

melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa

pembicaraan lain.”

Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan

benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama

itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-

duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat

melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-

serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila

terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.

“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-

mukul dadanya.

Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak

ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”

Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di

dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun

demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan

Page 35: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91

perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan

menjawab, “Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu

Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger

memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”

“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.

“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa

pengendalian,” jawab Wulungan.

Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu

memang harus dipenggal.”

Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-

katanya, “Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku

berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang

terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka

mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan

berkata, “Begitu kan…?”

Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya

bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.

Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa

jaminanmu?”

“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.

“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.

“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.

“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan

diantara keluarga sendiri.”

Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,

“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau

memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan

cara untuk membunuhmu.”

“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.

Page 36: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91

Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia

melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya

dibelakang.

“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu.

Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya

bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua

berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan

demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan

dilakukan seandainya orang itu akan mencoba

menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan

terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah

merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau

Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian

Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.

Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap

mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya

Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan

dengan Banyubiru.”

“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang

Arya?” tanya Galunggung.

“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak

dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung

pun segera pergi.

III

Malam berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam.

Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.

Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke

Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang

dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa

langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di

belakangnya adalah Kebo Kanigara.

Page 37: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91

Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah

mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu

kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada

Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah

mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera

ditemuinya.

Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang

di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya.

Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai.

Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya.

Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara.

Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi

keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di

antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan.

Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya

Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau

kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan

nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas?

Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau

Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang

pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-

orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan

rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya

kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang

Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.

Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian

ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya

untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib

gadis nakal yang aneh itu.

Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu

kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang

menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan

tebing-tebing yang curam.

Page 38: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91

Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,

disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya

Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan,

mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan

Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.

Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-

tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang

karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-

jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang

sedang bermalas-malas.

Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin

gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah

berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu-

batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut

ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih

cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di

serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya,

memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti

seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai

perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi

senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-

abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-

tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa

Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang

sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu

berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung

jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru.

Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta

ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari

Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan

Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”

“Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu

telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit

nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa

Page 39: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91

suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi.

Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi

bertambah sepi.

Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai

permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit,

Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga

Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya

malam.

Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi.

Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana.

Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib

suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang

di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya

malam.

Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih

tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan

malasnya dibelai angin malam.

Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol

halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata

yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa

bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.

“Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah.

“Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.

“Ya,” sahut Mantingan.

“Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.

Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya

terlempar ke halaman, menembus kelam.

Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.

Page 40: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91

“Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya

Wanamerta.

“Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai

berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca,

Pergiwa dan Pergiwati.”

Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar

kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin.

Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya

malam.

“Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.

“Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.

Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-

gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi,

namun penuh kemesraan hati manusia.

“Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.

“Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab

Mantingan.

Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di

hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah

hari bertambah tajam.

Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman

bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.

Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang

dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.

“Aneh,” gumam Wanamerta.

“Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.

“Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun

sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.

Page 41: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91

Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya

berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya.

Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya

menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah.

Namun betapa merdunya suara seruling itu.

Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan

mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya.

“Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba

kedinginan.”

Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman.

Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah.

Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di

halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman,

pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak

hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.

Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke

pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan

malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang

Parapat yang telah hampir sembuh.

Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….”

gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?”

“Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.

“Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar

langkah hantu,” jawab Wanamerta.

Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi

perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya,

sedang tangannya menggenggam kapaknya.

Page 42: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91

Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo

yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya

menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu

tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena

itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu

bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di

tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata

lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?”

Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut

ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum

tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka

mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat

bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.

Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari

pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para

penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan

terpaksa menghentikan langkahnya.

“Lawa Ijo,” gumamnya.

Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun

dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi

besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat

orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya.

Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah

dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…?

Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba

menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.”

Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang

perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?”

“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.

“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.

Page 43: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91

Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini

pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-

sama dengan 20 orang kawannya.”

Sementara itu Wadas

Gunung telah berjalan bebe-

rapa langkah maju. Sambil

tertawa pendek ia berkata,

“Nah, kau orang berkapak

yang membantu Mahesa Jenar

di Pliridan dahulu? Kau masih

mengenal aku dengan baik.”

Wirasaba juga maju. “Kau

datang pula ke Gedong Songo

beberapa hari yang lalu,”

katanya. Dan kapaknya tiba-

tiba bergetar di tangannya.

Ketika ia hampir meloncat

menyerbu, terdengar Wana-

merta yang tua itu berbisik,

“Hati-hatilah Angger. Ia pasti

tidak datang sendiri.”

Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara

kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis

Wanamerta.

Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran.

Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”

Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera

menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika

ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa,

muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia

belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan,

Page 44: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91

berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam

sebuah tongkat warna hitam.

“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.

Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,

“Jangan risaukan siapa aku.”

Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat

banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,

“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”

Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi

sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat

memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-

tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat

terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa

suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar

halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera

bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut

pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan

tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu

dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun

kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu

telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap

penjuru Banyubiru.

Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun

dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah

mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir

yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu.

Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa

mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang

singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa

bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun

Page 45: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91

segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu

segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran.

Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya

ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan

keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan

berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.”

Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik

pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang

itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di

belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”

Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera

menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.

Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia

menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut

seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia

merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila

karena dirinya.

Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia

masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu

terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum

yang aneh.

Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi

dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan

laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-

luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya,

sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu

dengan gadis ini.

Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan

pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh

bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa,

bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan

rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.

Page 46: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91

Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka,

apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah

selesai…?”

Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang

dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan

gadis manis yang menyapanya, “Hem, agaknya kau mendapat

pekerjaan baru di sini Jaka Soka.”

Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan, Wadas Gunung.

Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya

beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.”

Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan

pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri

Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang

di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka

Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari

lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang.

Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat

diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari

dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian

disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama

semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya

bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.

Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka.

Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih

mengharapkan gadis itu?”

“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka.

Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara Wilis

menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab

adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman

Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda

kami menjadi kekurangan rumput.”

Page 47: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91

Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang

berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram. Tetapi Lawa Ijo

tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar. Apa yang

dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya

kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”

Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada

saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah

mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis

itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang

samasekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi.

Aku benar-benar akan membunuhmu.”

Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa,

sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut,

“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata

sebenarnya.”

Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia

memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa

meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau

saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak

perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara

Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung

di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh

istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di

tempatnya.

Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia

tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar

dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di

lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main

dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di

ujungnya.

Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak

lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-

Page 48: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91

benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta

pedang yang terselip di dalamnya.

Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh

dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika

penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya,

mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para

penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi mereka terpaku di

tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang

seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh

tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan

dan Sura Sarunggi.

Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi

kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa Ijo. Permainan

apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi

kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah

memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari

orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat

kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”

Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di

Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka

menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan

apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”

“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka

masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku

akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-

benar masih ada di sini.”

Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia

sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula,

bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk

memancing laskar Banyubiru.

Page 49: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91

Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-

apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan

seenaknya.

Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi

pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka

memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan

trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang

Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun

tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak

berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia

telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu

bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu

ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.

Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis

yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada

Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan

sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera mema-

suki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan

itu.

Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu,

mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata,

“Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak

terlalu banyak.”

Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju,

dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat yang

bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar

bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya

meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambak-

baya. Tetapi sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan

senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh

lawannya itu.

Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya

meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu

Page 50: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91

berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun

menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua

belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang.

Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kedua-

duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa.

Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba

kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-

benar pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa

Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian

pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan

senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam.

Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara,

memercik berhamburan.

Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah

berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu. Yang masih

berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat

dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban

Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang

Lawa Ijo. Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di

tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan

tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka

sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian

yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera

dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat

dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah

lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam

pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang

dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya

bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari

segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di

Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.

Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang

Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang

tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka

Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan berhasil.

Page 51: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91

Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah

mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah

terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta.

Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia

pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga,

meskipun tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit.

Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari

kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan

orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang mati-

matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling

Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai

seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke

tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah

memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya,

penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan

demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-

masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas

Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan

ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang

melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu

seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang

membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya

samasekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.

Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping

pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan

dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-

matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan

bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun

dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena

itu hatinyapun menjadi tegang.

Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia

masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia

memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung

menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan

Page 52: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91

seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang

Mantingan. Sebagai seorang yang cukup berilmu, segera Jaka

Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak

perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk

melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum.

Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya.

Karena itu untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis,

lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan

terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang

terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui pula, bahwa

ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun

demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab

apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya

menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu,

ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah

mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas

Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak

begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak

menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang

sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan

pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia

sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih

banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau

Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk

merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian Sarayuda

tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih

harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari

perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk

menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya,

meskipun ia samasekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa

Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru

mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti

halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk

Inten, samasekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang

Page 53: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91

akan diharapkan. Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa

pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada

kemanusiaan. Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di

tangan golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia,

akan musnahlah sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap

pulalah kesempatan untuk menjalankan ibadah mereka,

memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu

negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah yang kuat,

merekalah yang berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum

yang ada.

Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali Arya

Salaka pada tempatnya, samasekali adalah perjuangan tanpa

pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia

yang melihat kebenaran terinjak-injak.

Dengan demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan

dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis

samasekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya,

bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti apa yang

dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak

pertemuannya yang pertama.

Tetapi ia menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil

menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti

yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas

kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, jangan-jangan

ia akan membantu Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya.

Namun karena itu, ia berkeputusan untuk melawan mati-

matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.

Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya

mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, “Jaka Soka, jangan

menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang

ketakutan melihat senyum yang aneh serta matamu yang redup.

Page 54: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91

Nah, marilah kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku

yang mati karenanya.”

Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata

sungguh-sungguh.

“Cabutlah pedangmu,” desis Rara Wilis, “Supaya aku tidak

membunuh orang yang tidak bersenjata.”

Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke arah leher Jaka

Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur.

“Wilis....” katanya, “Aku tidak akan melukai kulitmu. Apakah

yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan kembali

kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit.”

Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang

kembali. Katanya, “Siapakah yang telah membunuhnya?”

“Paman Pasingsingan,” jawab Jaka Soka.

Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras.

Katanya, “Pasingsingan tak akan mampu melawan Paman Mahesa

Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali kau perlu mempelajari

keadaan sebelum kau mencoba berbohong.”

Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak

tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung yang

menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena

Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat yang lain, Jaka

Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik

keadaannya. Meskipun demikian Ki Dalang Mantingan berjuang

dengan gigihnya.

Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang

dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di tangan kanan,

digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan

kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah tongkat yang

berwarna hitam.

Page 55: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91

Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke

depan dengan tangan terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada

lawannya.

jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya.

Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki pengalaman yang luas.

Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia

memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari

dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan

senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya

telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam

pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu

mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur

membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan

perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari

segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali

ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang

yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa

Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu

mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun

ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama

ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada

menekuni ilmunya.

Sendang Parapat berdiri seperti patung melihat lingkaran-

lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang Mantingan

berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo. Wirasaba dengan

garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis

dengan lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan

demikian, ia merasa bahwa tenaganya tak akan berguna

samasekali seandainya ia mencoba untuk membantu salah

seorang di antaranya. Malahan mungkin ia akan mengganggu

kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi

pening. Mereka tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-

tokoh itu. Apalagi lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolah-olah

telah menjadi sedemikian sulitnya untuk dipisah-pisahkan lagi di

antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata mereka adalah

Page 56: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91

bayangan yang melontar berputar-putar dengan cepatnya. Karena

itu, perhatian mereka segera tertuju kepada kawan-kawan mereka

yang luka. Empat orang.

Hanya Endang Widuri-lah yang dapat mengerti betapa suasana

maut telah melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini gadis yang

nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat lagi bergurau

dalam keadaan yang demikian, sehingga senyumnya samasekali

telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening itupun menjadi

tajam, setajam gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa

Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas

Gunung. Bahkan pengembala itupun dapat bertempur dengan

kasar pula. Kapaknya mendesing-desing mengerikan. Sekali

terayun ke dada Wadas Gunung, namun kemudian tangkainya

mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua pisau belati panjang

di tangan Wadas Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula.

Mematuk-matuk ke segenap tubuh Wirasaba, sehingga kemudian

yang tampak hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.

Rara Wilis pun dengan lincahnya menggerakkan pedangnya

dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang tipis itu selalu

bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat

bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar untuk kemudian

meloncat, mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis

berhasil melawannya seperti seekor sikatan yang dengan

lincahnya menari-nari dengan sayap-sayapnya yang cepat

cekatan. Demikian ia meloncat-loncat seperti anak-anak yang

menari-nari riang namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya,

cepat-cepat ia meloncat melenting, untuk kemudian dengan

lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya.

Dengan demikian, maka keringat yang dingin segera mengalir

membasahi pakaian Jaka Soka yang gemebyar karena tretes intan

pada timang dan anak kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu.

Seandainya gadis itu benar-benar dapat dibawanya ke

Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk

menjadi isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul

Page 57: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91

perselisihan antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka

apakah ia mampu untuk mengatasinya. Karena itu kemudian yang

menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan seorang laki-

laki terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang lampau.

Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam, maka yang ada

di dada Jaka Soka kemudian adalah kemarahan yang menyala-

nyala. Dengan setinggi gunung atas kematian gurunya, Nagapasa.

Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya.

Juga gadis yang garang ini harus dibinasakan.

Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah kehilangan

kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis cantik

yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang

berbahaya bagi jiwanya.

Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara Wilis bertambah

marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah pertempuran

yang menentukan. Kalau ia terbunuh, biarlah ia mengorbankan

dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan laki-laki itu, maka

ia akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang mengejar-

ngejarnya sepanjang umurnya.

Tetapi berbeda dengan mereka berdua. Mantingan benar-

benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah melawan Lawa

Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo benar-benar

memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu dapat ilmu

yang paling licik disamping ilmunya yang memang dahsyat dan

bertempur dengan segala macam cara. Yang paling kasar, sampai

yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak

terus. Hanya karena ketabahan dan kepercayaannya pada

Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih mampu bertahan dalam

ketenangan.

Melihat keadaan itu, Widuri menjadi cemas. Ia telah

kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya yang

benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan

penuh tekad dan keberanian, mendidihlah darah Pengging Sepuh

Page 58: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91

di dalam tubuhnya. Ketika Widuri melihat Mantingan terdesak,

maka ia tidak mau membiarkannya. Dengan lincahnya ia meloncat

sambil berkata nyaring di antara desing rantainya yang berputar

seperti baling-baling, “Paman Mantingan, biarlah aku ikut serta.”

Mantingan memandang dalam sekejap, gadis itu melontarkan

diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan dilihatnya Lawa Ijo

menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari Mentaok itu

meloncat beberapa langkah surut. Dengan liarnya matanya

memandang kepada Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai

pada saat terakhir itu, namun kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi

suram ketika memandang Widuri yang sudah berdiri dihadapannya

dengan senjatanya yang berbahaya itu. Tiba-tiba terdengar suara

Lawa Ijo itu perlahan-lahan, “Ngger, jangan ikut campur dengan

persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua menyelesaikan

masalah kami dengan cara yang kami senangi.”

Widuri melihat mata yang suram itu. Namun ia tidak mau

terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu. Maka

jawabnya, “Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan membawa

senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu. Bukankah kau

telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh…? Marilah, kami telah

bersedia untuk melawannya. Kami bukan sebangsa cacing yang

membiarkan diri kami terbunuh tanpa perlawanan. Karena kami

sadar bahwa saat ini adalah saat-saat kami terakhir. Sebab

seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan berhasil

membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada

didalam rumah inipun segera akan menangkap kami dan

membunuh kami bersama. Terhadap mereka, kami tak akan dapat

berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah kami melawan selagi kami

masih sempat. Nah, lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan

ujung-ujung belatimu itu.”

Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram

itu menjadi menyala. Katanya, “Aku sudah berusaha untuk

mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras

kepala.”

Page 59: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91

Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil

menjawab, “Kenapa kau mencegah aku? Bukankah kau datang

untuk melepaskan nafsumu? Membunuh dan kemudian kau sangka

akan kau temukan keris-keris itu di sini…?”

Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada longgar. Karena itu

ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia mencoba

memperingatkan, “Kalau kau mau menyingkir, aku akan

membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah aku

membunuh Ki Dalang yang masyhur ini.”

Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab, “Kami

mempunyai pendirian yang berbeda dengan golonganmu. Kami

memiliki kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan

kemanusiaan. Bunuhlah Paman Mantingan bersama kami semua.”

Lawa Ijo menggeram, “Sekehendakmulah,” desisnya. Lalu ia

mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang

Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga ia

masih sempat untuk menghindarkan dirinya.

Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan serangannya yang

dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar cepat seperti

baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali

cakranya mengarah ke leher. Mendapat lawan baru yang lincah

disamping lawan lamanya, Lawa Ijo merasakan, bahwa keadaan

pertempuran itu menjadi jauh berubah. Kembali ia mengagumi

gadis itu. Betapa berbahayanya permainan rantai yang berputar-

putar, disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk

dalam ilmu gerak Pacar Wutah.

Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil memusatkan

segenap tenaganya ia mencoba untuk mengatasi desakan lawan.

Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu bertempur. Kedua pisau

belatinya seakan-akan merupakan kuku yang panjang diujung

sayap-sayapnya yang mengembang dan bergerak gerak dengan

Page 60: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91

cepatnya. Namun untuk menghadapi dua orang sekaligus terasa

betapa beratnya.

Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya memiliki bekal

yang berbeda, namun meeka berusaha untuk menyesuaikan

dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan

Mantingan. Dengan gerak-gerak yang tangguh Endang Widuri

berjuang dengan berani. Darah Ki Ageng Pengging Sepuh yang

mengalir didalam tubuhnya telah membekalinya dengan api yang

menyala nyala didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan

semangat berjuang dan keteguhan hati.

Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya. Ia pernah

bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan muridnya

yang bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis

yang bernama Endang Widuri. Namun gadis ini memiliki tatanan

berkelahi sama hebatnya dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri

ini juga muridnya Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak sempat

menemukan jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin

mendesaknya kedalam bahaya.

Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widuri dapat merasakan

bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai keadaan. Karena

itu Endang Widuri dan Mantingan berjuang semakin sengit untuk

segera dapat mengakhiri pertempuran. Dengan demikian mereka

akan mendapat kesempatan untuk memusnahkan orang lain yang

telah mencoba untuk menghancurkan Banyubiru, sebelaum tokoh-

tokoh sakti yang sedang mengaduk seluruh isi rumah itu tanpa

dapat dicegah selesai dengan pekerjaan mereka. Sebab apabila

mungkin mereka harus berusaha untuk menyelematkan diri

mereka atau mereka harus berusaha untuk berada di antara laskar

Banyu Biru.

Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar biasa. Tentu saja ia

tidak mau untuk dengan demikian saja menerima kekalahan.

Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya, iapun berjuang

semakin keras. Bahkan, akhirnya ia melompat mundur beberapa

Page 61: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91

langkah. Kemudian terdengarlah ia menggeram dengan keras.

Dengan gerak yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian

sekali lagi ia menggeram keras.

Yang kemudian terasa, betapa udara yang hangat mengalir

perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh Mantingan

dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya

jadi panas. Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam

Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya

yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah

mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang

Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan

kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata

betapa maut telah mengancam jiwanya.

Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk memper-

tahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat

berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil

memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat

menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa

berusaha menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang

sangat berbahaya. Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri

telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara

disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas. Udara yang

panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum

mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri

terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi

lawannya. Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi.

Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan

meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran

aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa

seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat

meloncat lagi.Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti

Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas

telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir

itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat trisulanya

Page 62: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91

menanti saat-saat terakhir yang mengerikan. Widuri yang

meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut

menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi

tegang dan dadanya bergolak hebat.

Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan

itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu

untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu. Sebab

demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah

terbakar hangus.

Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang

mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa

petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam

kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia

tidak boleh berputus asa. Meskipun keputusan terakhir berada

dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan

berusaha. Berusaha sampai kemungkinan terakhir.

Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang

dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu. Ketika ia

melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti

serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah

cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga,

sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari

Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus.

Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang

memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan. Kepada

Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia

meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke arahnya,

sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.

Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat.

Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya

mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya

terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke

samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian

Page 63: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91

kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata

yang luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang

tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang

kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa

kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi

semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi

semakin keras.

Dalang Mantingan untuk

sesaat tertegun. Ia melihat

hantu itu kesakitan. Namun

karena tekanan yang tajam

pada saat yang mengerikan,

yang hampir saja merampas

nyawanya, Mantingan menjadi

seperti orang yang kebi-

ngungan. Tetapi cepat ia

menguasai kesadarannya kem-

bali. Ia merasa bahwa Kekua-

saan Tertinggi dengan Tangan-

tangannya yang Adil telah

membebaskannya. Karena itu,

ketika ia melihat kesempatan

terbuka di hadapannya, de-

ngan sisa-sisa tenaganya yang

terakhir, ia mengangkat trisu-

lanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari

pandai besi. Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng

Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa.

Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan

Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang

telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu

meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa

dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu

berteriak tinggi. Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan

akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya.

Page 64: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91

Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian.

Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah menggetarkan udara

Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang

ranting-ranting yang kering berpatahan.

Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia

tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya. Namun tiba-

tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu

ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa

disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun

jatuh tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya

obor yang remang-remang.

Wadas Gunung juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik

yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama mendengar

Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan

kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu

Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian

yang terdengar adalah jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun

berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah

yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang

gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan

pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi

pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat

yang menentukan. Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan

sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian

dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas

Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba

melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama,

dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek itu banyak

mempunyai arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret sinar yang

menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong

beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia

berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia

tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia

memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya,

Page 65: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91

dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu,

Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai

kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini

tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah

keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung

berusaha menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah.

Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung

Wadas Gunung. Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah

teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak

akan bangun kembali.

Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi. Jaka Soka telah

melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena

pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihin-

darinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang

terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti

berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan

telah jatuh dalam pertempuran itu.

Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya

sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo

dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti

atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang

demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang

berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat

memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibang-

ga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya

terbunuh pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa

menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya.

Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu.

Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya

yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri

pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai

seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula. Untunglah bahwa

ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri

Ular Laut yang menggelisahkan.

Page 66: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91

IV

Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang

berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang berkepala

besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling.

Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah.

Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo,

yang masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.

“Lawa Ijo....” desis Pasingsingan itu.

Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali

Pasingsingan memanggilnya, “Lawa Ijo….”

“Hem....” Lawa Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata orang

itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun darahnya telah

mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih

dapat membuka matanya. Pasingsingan kemudian tegak berdiri di

samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan

tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba

kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang

kaku di tempat masing-masing itu samasekali tak diperhitungkan.

“Aku tidak menyangka....” Hantu bertopeng itu menggeram.

“Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar

ia memekik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu.

Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti terluka. Ternyata

mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.”

Kemudian tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan

menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mula-

mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri,

Wirasaba dan Rara Wilis. “Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah

sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan

di hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila.

Karena itu kalian harus mati dengan cara yang paling

menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku tidak mau

dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami ikat di

Page 67: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91

belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke

Pamingit. Besok sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat

kalian yang sudah terkelupas seperti pisang.”

Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar.

Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara yang

demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata

di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar

bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu

mengelakkan diri. Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau

satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan

dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin

ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka

Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan

mengenai dirinya.

Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar,

“Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?”

Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-

isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang

berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping

muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun

mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.

“Apakah permintaamu?” jawab Pasingsingan.

“Pertama....” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar.

Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya. “Nyawa

Dalang Mantingan.”

“Hem....” Pasingsingan menggeram sambil memandang

Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamat-lamat ia

mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia

sudah tidak terkejut.

“Kedua....” Lawa Ijo meneruskan, “Jangan bunuh gadis nakal

itu.”

Page 68: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91

Pasingsingan menarik nafas. “Kenapa…?” Ia bertanya.

Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan

dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang

pendapa.

“Guru....” desis Lawa Ijo, “Dapatkah aku melihat senjata itu?”

Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang

mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya.

Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya. Lawa IJo

dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu. “Luar

biasa,” desisnya. “Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata

yang ampuh ini,” katanya pula.

Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu,

namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih

ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar

menelan beberapa rumah yang samasekali tak bersalah.

“Widuri, kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil.

Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya

pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu

memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam?

Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati,

terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras, “Widuri,

kemarilah.”

Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak

tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada suaranya,

Lawa Ijo samasekali tak bermaksud jahat.

Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali

lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, “Guru, panggilkan gadis itu.

Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta jangan

ganggu dia.”

Page 69: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91

Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk

memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata,

“Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu.”

Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi

cemas. Katanya, “Jangan, Widuri.”

“Hem....” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan

nafasnya sudah terputus di dadanya, “Sebelum aku mati..”,

mintanya.

Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah

kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya.

Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut

dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat

tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir. Kini ia tidak

tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat

tentang Widuri.

“Guru....” tiba-tiba Lawa Ijo berkata, “Silahkan guru

meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”

“Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?”

tanya Pasingsingan.

“Gadis itu.” jawabnya, “Aku sedang mengenangkan almarhum

anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama

kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat

wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya,

mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia

masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula.

Setangkas anak itu,”

Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa

Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan cengeng.

Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir

berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-

Page 70: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91

lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil

berkata kasar, “Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.”

Lawa Ijo yang lemah itu kemudian berusaha untuk

melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini

menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya

dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.

Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang

berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang

mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu.

Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara

Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata, “Widuri.”

Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara

Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak oleh

ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai

pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis

kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata, “Aku adalah manusia

seperti kalian, meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak

ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami,

sesudah aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku

tidak akan menambah dosa.”

Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang

gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri

memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga

Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati

hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu.

“Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah

aku kenal,” desis Lawa Ijo.

“Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini

di lingkaran bergerigi itu.” Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak

di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta

cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu.

Page 71: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91

Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan

mata akik yang berwarna merah menyala.

“Lawa Ijo…!” Pasingsingan berkata lantang. “Apakah yang kau

berikan itu?”

“Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.

“Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan. “Akik

Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku

pinjamkan kepadamu.”

“Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah

Lawa Ijo dengan suara gemetar.

Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati

muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa

dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh

Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat

pemecahan yang mengerikan. “Biarlah akik itu diberikan, namun

gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya.”

Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo

menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu.

Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja

tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara

Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri

seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun

mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.

“Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.”

Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. “Mudah-mudahan aku dapat

mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima

cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-

hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut,

kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil

membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan

hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia

Page 72: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91

dapat menolongmu.” Lawa Ijo berhenti. Nafasnya menjadi

semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh.

Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba

berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras

dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.

“Widuri....” bisiknya. “Bukankah namamu Widuri?” Widuri

mengangguk. “Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja.

Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki

lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula istriku.

Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih

kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi

buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai

anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu

kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke

sungai.”

Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak

teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian berbisik

kembali perlahan-lahan. “Tetapi ternyata aku salah sangka.”

Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka

matanya, lalu meneruskan, “Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi

lelaki itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas

perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu

kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi

menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula.

Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor

binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada

perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya

ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus

asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya,

pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya,

anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku

Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”

Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar

penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya

Page 73: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91

Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam.

Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya

yang mendidih. “Matilah segera Lawa Ijo,” kata hatinya.

Pasingsingan sudah tidak mempunyai harapan untuk

menyembuhkan luka-luka muridnya. “Sesudah itu aku akan

membunuh setiap orang di sini. Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis

dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di

matanya untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka

di belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit untuk meruntuhkan

keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru.”

Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya

satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat

kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu,

dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.

Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh

kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan

masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat

kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi

berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk

puncaknya. Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo.

Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata

mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-

amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik

yang merah menyala. Kelabang Sayuta. Tetapi ia menjadi terkejut

ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti

bergulung-gulung di dalam perutnya. “Widuri, agaknya kau telah

berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena

kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada

almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga

ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku.

Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak

mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi.

Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku

Page 74: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91

akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan

mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”

Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu

menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari

mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo,

mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing.

Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka

berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok.

Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih

trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah

berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan

masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali.

Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri.

Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di

jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya

kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak

akan lari karenanya.

Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga

segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan

kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan

orang yang bernama Pasingsingan itu.

Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi,

disamping gelaknya yang riuh. “Aku menjadi geli melihat kelinci-

kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu

apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga

kekuatanmu, Pasingsingan?”

Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka

Soka, “Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”

Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang

kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab, “Perempuan

itu sangat berbahaya, Paman.”

Page 75: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91

Pasingsingan tertawa. “Lalu…?” ia bertanya pula. Jaka Soka

menggeleng, jawabnya, “Selama ia masih seperti sekarang, aku

tidak memerlukan lagi.”

“Bagus,” sahut Pasingsingan, “Perempuan itulah yang

pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama

dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan

memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”

Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, “Sayang.”

Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.

Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi

satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir

adalah mayat muridnya. “Ia mati di luar lingkungan kami”

desisnya.

“Ya,” sahut Sura Sarunggi. “Ia mati setelah menanggalkan

kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua

muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa

Pening.”

“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak. “Aku

tidak punya banyak waktu.”

Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi

Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera

berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang

siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak

raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara.

Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat

dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan

kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan, senjata-

senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun

berhati-hati pula.

Page 76: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91

“Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi, “Mungkin orang-

orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan

utama kita belum selesai?”

“Ya,” jawab Pasingsingan. “Aku menduga kalau keris-keris itu

disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai

orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita.

Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-

tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di

sana.”

“Tetapi jangan membuang-buang waktu.” sahut Sura

Sarunggi.

“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.

Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, “Kau benar-

benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun

demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau

akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh

kuda-kuda kita.”

“Bagus,” kata Pasingsingan pula. “Aku akan dengan mudah

membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui

kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya

pekerjaanku segera selesai.”

Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat

orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung.

Pasingsingan pun melangkah dari arah lain.

Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh

ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik

nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan

Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka

lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di

belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.

Page 77: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91

“Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima

kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi” desis Pasingsingan.

“Hadiah yang tak ternilai” jawab Sura Sarunggi.

Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang

tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat

wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.

“Hem….” geram Pasingsingan, “Apakah ini?”

Mata Sura Sarunggi menjadi liar.

Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan

harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-

bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu

mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat

apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung

mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang

gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang

kelabu. Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras.

Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.

Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak

dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran.

Apakah yang ditunggu lagi?

Tak seorang pun yang akan dapat menghalang-halangi

mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?

Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para

penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun

Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata

dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar,

bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu

melawan.

Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang.

Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata, “Jangan

Page 78: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91

bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis

Anganten atau Sura Dipayana?”

Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru.

Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil,

“Ayah barangkali?”

Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan

kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan

Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya

yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-

orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau

sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan

segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan

tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberi-

tahukan kehadiran mereka.

“Tetapi siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam

hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu

dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa

Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta

empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua

orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika

Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di

halaman itu.

Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan

dahsyatnya. Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.

“Akulah yang datang.”

“Siapa?” teriak Pasingsingan.

“Pasingsingan,” jawab suara itu.

Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu.

Pasingsingan…? “Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir

mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti

suara Pasingsingan.

Page 79: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91

Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di

halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang

terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang

hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah

abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.

Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.

Terdengar ia berteriak nyaring, “Siapakah kau? Apakah kau sudah

bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus

Pasingsingan?”

“Aku Pasingsingan” jawab suara itu.

“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.

“Aku satu-satunya.”

“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. “Aku

juga Pasingsingan.” Ketika semua orang menoleh ke arah suara

itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi

yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di

wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.

Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan

topeng kasar di wajah mereka.

Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-

tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia

mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-

ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, “Apakah kalian

tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”

Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu

tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah

mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan

kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang

pandang dengan Sura Sarunggi.

Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa.

Katanya, “Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi

Page 80: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91

dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu,

bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan

mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan

memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau

barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh,

maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”

“Kau benar,” sahut Pasingsingan. “Aku muak melihat mereka

dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus

mati.”

“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”

Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab. “Tetapi

terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat

meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu

adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan

untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga

menamakan dirinya Pasingsingan.”

Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti

rintihan hantu.

Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah

dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka

terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan

kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga

telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh

benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya,

sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri

pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk

pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat.

Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang

sedang hanyut menjelang tidur.

Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih

dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu

punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-

Page 81: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91

matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak

tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing

menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang

lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama.

Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi

mereka.

Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya.

Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah

kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang

terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi

terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih.

Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi

semakin lemah. Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah

melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka

sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan

gemetar.

Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya.

Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji

sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Gelap

Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu

berbuat demikian?”

Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab.

Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya.

Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu.

Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah.

Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat

tangan di dadanya.

Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu

merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan

Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru

di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh

aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi

Page 82: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91

berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka

membawakan ketenangan dalam diri.

Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki

pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak

mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi

di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hati-

nya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik, “Alangkah dahsyatnya.

Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.”

Widuri, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu

mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka

pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di

tengahnya.

“Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak. “Aku

merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap

Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya.

Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain

seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah.

Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan.

Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”

Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti

ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah

membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi

semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang

yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada

itu, ia berkata, “Setan. Agaknya kau mampu mengimbangi aji

Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak

menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja

mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau

menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji

Gelap Ngampar?”

Page 83: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91

“Hem....” geram orang berjubah yang menyilangkan

tangannya. “Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama

Pasingsingan.”

“Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan.

Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap

Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan

hampir berteriak.

Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di

samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat

wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia

menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.

“Kau juga bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan

suara yang dalam.

“Akulah Pasingsingan itu” jawab orang itu.

Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, “Aku

tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan

Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri

Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum

kau terbunuh olehku.”

Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu

berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar,

sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci

seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi

Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti

orang yang tak tahu keadaan diri.

“Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang

berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu.

“Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji

yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar,

dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab

Page 84: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91

demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang

terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.”

“Jangan mencoba mengajari aku” bentak Pasingsingan guru

Lawa Ijo, “apapun yang terjadi, namun Gelap Ngampar benar-

benar ditakuti orang”.

Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan itu tertawa,

“Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau

lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan

membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap

Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-

orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita

yang kasar.”

Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. “Jangan

banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan

tentang Pasingsingan.”

Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu

bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya,

“Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan?

Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan.

Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan

dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari

kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan

nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata

pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan

kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”

“Huh....” potong Pasingsingan, “Tak ada orang yang berbuat

sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk

kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita

sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya

sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala

kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang

menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang

Page 85: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91

akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah

kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh

seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang

berusaha.”

“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang

berdiri di samping Mantingan.

“Jangan berpura-pura” jawab Pasingsingan.

“Hem....” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.

“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten?”

“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong

Pasingsingan.

“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang

berdiri di samping Mantingan. “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten?

Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu

yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak

menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud

merajai Demak?”

“Apa pedulimu?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu,

guru Lawa Ijo.

Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,

“Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal

yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”

“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab

Pasingsingan.

“Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan

Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha

untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya

Pasingsingan di samping Mantingan.

Page 86: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91

“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,

“Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”

“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti

bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran

itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah,

urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.

“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan. “Kita

berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau

berhak bernama Pasingsingan.”

Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. “Kalian berbicara

tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil

kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku

harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan

yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua

Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya

mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan

segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”

“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di

samping Mantingan. “Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap

Ngampar?” Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia

berkata, “Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”

Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-

debar. Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap

Ngampar seperti dirinya? Dalam kegelisahannya, ia menebak-

nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu

salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya,

pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.

Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis,

Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka Soka pun

menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi

pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.

Page 87: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91

Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan

tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat

dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat

yang tepat baginya.

Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat

wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap

orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan

kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga

yang sudah kehilangan kesadaran mereka. “Hem....” desahnya,

“Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi

semakin parah.”

Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.

“Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”

“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu. “Tetapi kalau aku ingin

memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa

maksud.”

“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak

berarti?” jawab guru Lawa Ijo.

Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang

berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia

menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping

Sura Sarunggi, ia berkata, “Kalau kau ingin mencoba menjajarkan

diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku

lakukan.”

“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu

melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi

itu.

“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun

hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu

berbuat demikian?

Page 88: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91

“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi. “Marilah kita bertempur,

Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Yang

mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan

satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”

Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba

Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan,

namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang

menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-

olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke

seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira

dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu

berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya.

Suara Pasingsingan itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo

yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja,

seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung

kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang

mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.

Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada

Mantingan, berdesislah ia, “Aji Gelap Ngampar.” Dan berusahalah

ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri

dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya

untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada

mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh

mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.

Tetapi, Mantingan dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka

pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai

bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari

persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan

pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu

mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di

dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang

dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga

Page 89: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91

dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang

berguguran di halaman itu.

Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap

Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka.

Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak

sekasar tenaga yang pertama.

Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin

basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam

tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan

namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap

Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan

itupun terhenti pula.

“Hem....” geramnya, “Kau mampu melawan aji Gelap

Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping

Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya sambil

menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada.

Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi

tertawa, “Permainan yang mengasyikkan” katanya. “Jangan

bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu

yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua

adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan

Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar.

Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber

dari mata air yang sama.”

Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil

menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar.

Dengan suara yang berat ia berkata pula, “Gila. Kalian memiliki aji

gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan

mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa

menamakan diri Pasingsingan.”

“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya

Pasingsingan di samping Mantingan. “Mungkin kau mampu pula,

Page 90: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91

menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu.

Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan.

Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya

Pasingsingan dengan pasti.

Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan

Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang

kehilangan mangsanya. “Gila, darimana kau dapatkan benda itu?”

Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura

Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang

yang bercahaya kuning menyilaukan. “Inikah yang kau maksud?”

katanya.

“Hem....” desis Pasingsingan di samping Mantingan. “Kalian

mau bermain-main dengan senjata.” Ia tidak berkata lebih lanjut,

namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip

benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.

Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya

serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa

disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya.

Sebuah belati panjang yang berkilau.

Kini ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu

masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata

yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar

biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada

duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang

yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri

kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang

kuning berkilauan.

Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, “Setan.

Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini.

Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat

oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan

Page 91: 22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91

oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang

berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”

Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah

semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi

bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar

di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema

diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di

udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat

dilangit. Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di

langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular

Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi

dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata

Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena

ketamakannya.

Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang

berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo

dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di

pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam

pendirian masing-masing.

Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata

sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha

apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada

Pasingsingan?”