23 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

89
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 89

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

149 views

Category:

Art & Photos


64 download

TRANSCRIPT

Page 1: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 89

Page 2: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 89

I

iba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,

“Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik

Kelabang Sayuta, aku pun akan membuktikan pula bahwa

sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang lengkap seperti

katamu.”

Mendengar jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia

meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar. Namun katanya

kemudian, “Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo.

Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang

Widuri.”

“Hem...” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Kau

sedang mengarang sebuah cerita.”

“Bertanyalah kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu

menegaskan.

Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada

Endang Widuri. Kemudian ia berkata, “Ciri Pasingsingan hanya

melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain,

apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih

dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada

padaku.”

Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya.

Sambil berteriak ia memaki-maki, “Setan, iblis, thethekan. Tetapi

akik Kelabang Sayuta itu milikku.”

“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,”

bantah Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi akik itu

sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada

Pasingsingan yang seorang itu lagi.”

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek,

katanya, “Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan,

T

Page 3: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 89

yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di

antara kita kini.”

“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Aku beri kau

waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri

urusanku.”

“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut

Pasingsingan di samping Mantingan, “Kalau kau yakin dapat

membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian,

maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu,

bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap

manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu

kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”

“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi.

Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia

melanjutkan, “Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu

untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”

“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura

Sarunggi. “Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik

daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita.

Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang

tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan

dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak

akan dapat menikmati ketenangan.”

“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok. “Aku adalah

laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh.

Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya,

setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”

“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan, “Kita

masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan

mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita

berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa

tabir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari

Page 4: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 89

dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya

noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok

itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan

diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya

telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa

ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih

mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka

katanya, “Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari

hati ke hati?”

Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya,

“Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia.

Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita

memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-

hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam

kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan

perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”

Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan

kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata, “Persetan

dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami

dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia

berkata, “Sudahkah senjatamu itu siap?”

Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat.

Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti

dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia

masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain

mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta

kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam

dadanya berteriak nyaring, “Hai Umbaran, yang berdiri di

hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan

Anggara.”

Page 5: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 89

Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah

letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura

Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat

pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang

yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata

Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan

oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa

Pening.

Pasingsingan, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain.

Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah

yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat

terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari

ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan

yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah

didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada

masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya,

namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah

Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya

ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu.

Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-

getaran di jantungnya, “Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang

telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan

hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram

sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian

wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir pada ibu pertiwi.

Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan

mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”

Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-

dalam. Gumamnya, “Senjata bukanlah alat terakhir untuk

menemukan kesepakatan.”

“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi, “Kita

berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama

dalam satu naungan langit yang luas ini.”

Page 6: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 89

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih

mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping

Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, “Tidak adakah jalan

lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang

menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri

di pihak Pasingsingan yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami

menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”

“Tunggu....” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba

untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik

lantang Sura Sarunggi. “Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah

siapkah kau?”

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak

kalah lantangnya, “Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi

kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku

elakkan, silahkanlah.”

Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,

“Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai

guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka

kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”

“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan

diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu. “Kepada-

Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas

hukum-hukum-Nya.”

Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat

kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-

lereng bukit. “Hai, langit yang muram, angin yang kencang.

Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.” Sura Sarunggi

menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan.

Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran

melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya

Pasingsingan itu.

Page 7: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 89

Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan

garangnya. Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui

kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun

Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-

abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati

panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-

remang. Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian

yang dahsyat. Sura Sarunggi,

iblis dari Rawa Pening itu

bertempur seperti angin topan.

Ia meloncat-loncat dengan

dahsyatnya mengelilingi lawan-

nya, dan menyerangnya dari

segenap penjuru. Namun

Pasingsingan itupun tidak

membiarkan dirinya tersekat

dalam lingkaran cemeti

lawannya. Dengan tangkasnya

ia melontarkan dirinya, sekali-

kali memotong serangan

lawannya. Dan bahkan kadang-

kadang ia tegak menghadapi

topan seperti bukit Telamaya

yang tak tergoyahkan oleh

angin dan badai.

Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang

perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu

mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian

sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata

mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar

seperti angin pusaran.

Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan

berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan

keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari

Page 8: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 89

kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila

Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran,

serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah

berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya,

maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin

menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.

Jaka Soka tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan

hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung

Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih

mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.

Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah memper-

siapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat

dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia

menggeram dengan marahnya, “Lihatlah betapa orang yang berani

menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti

Sura Sarunggi.”

Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih

berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan

seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan

segera mulai bertempur.

Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi

semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata, “Hai

orang yang sombong, yang berani mengaku bernama

Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”

“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,

“Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”

“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.

“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata

Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi jangan terlalu lama

mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”

Page 9: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 89

Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat

kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-

benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak, “Jangan

mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”

“Umbaran....” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak

suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar nama itu,

darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-

tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang

diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila

orang menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu

tiba-tiba ia menjadi bingung. Dalam kebingungan itulah ia

berteriak, “Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku,

Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”

“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,

“Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih

ada jalan kembali.”

“Diam!” bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-

tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap dari

percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah

ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya.

Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-

bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata, “Jangan marah

Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih

mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita

yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”

“Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras. “Sayang,

bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu

menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga

terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan

kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau

memilih jalanmu sendiri.”

Page 10: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 89

“Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo, “Apakah kau selama

ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih

dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita

kepadamu?”

“Tidak, Umbaran,” jawab orang itu. “Aku merasa, betapa

kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk

mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalah-

an-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan

sukmaku.”

“Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang.

Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya” kata

guru Lawa Ijo.

“Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa

depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan

orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.” Meskipun kata-

kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru

Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang

sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh

nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah

menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia

berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,

“Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau

menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan mengorbankan

orang lain pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan

kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?”

“Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping

Mantingan. “Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”

“Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang

melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran yang

bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana

perempuan itu? Mana…?”

“Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.

Page 11: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 89

“Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo.

“Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan

kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi.

Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati....”

“Cukup!” potong orang itu keras-keras. Namun kemudian ia

menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan

diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.

Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai

tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk

memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan

lawannya ia berkata, “Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara,

penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”

Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab.

Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik

seperguruannya yang sedang bertempur. Mereka berputar-putar

dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang

sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan

senjata masing-masing. Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak

mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya

menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung

cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke

mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti

mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah

manapun juga.

Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat.

Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis, sedang

Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.

Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi

menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur dengan

gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya.

Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah

beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-

Page 12: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 89

benar Pasingsingan…? “Tidak mungkin!” Pertanyaan itu

dibantahnya sendiri.

Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-

ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa

dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang

bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya

supaya menjadi jelas bagi lawannya.

Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan

yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura

Sarunggi dan Anggara.

“Jangan membeku seperti batu,” tegur Umbaran, “Sekarang

apa katamu?”

Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke

arah Umbaran, jawabnya, “Marilah kita lupakan masa lampau.

Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”

“Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan

mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua

binasa.” Umbaran meneruskan, “Jangan mimpi aku berlutut di

bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua

kalinya.”

“Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak.

Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka

karena perempuan, kini terungkap kembali.

“Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali

akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut

Umbaran.

“Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah

kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang

kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite.

“Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang

terkutuk.”

Page 13: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 89

“Kau iri hati” kata Umbaran.

“Tidak,” jawab Radite, “Aku mempunyai kepentingan sendiri.

Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi

karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan

kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari

persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis

Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu

sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.”

“Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab

Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite.

Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.

Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu

adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya, karena itu

setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia

kehilangan kesabaran.

“Umbaran....” kata Radite dengan lantang, “Kesabaran

seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”

Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar

akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan lain. Sura

Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.

Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih

berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi

berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat. Ia tidak

segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya.

Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-

raguannya itulah ia masih berdiri tegak.

Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-

masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang

dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.

“Setan,” desis Pasingsingan, “Mereka datang.”

Page 14: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 89

Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar

kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena itu,

ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.

Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo

menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan kejernihan

dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu

mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa

Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia

menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun tak ada kesempatan

pula.

Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya

sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher

Radite. Radite terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu.

Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu

mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi

Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat

berbuat lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua

Pasingsingan itupun telah bertempur pula. Masing-masing

memegang pisau belati panjang di tangannya. Umbaran dan Radite

adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru

yang sama. Karena itu mereka pun bertempur dengan ilmu yang

sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami

beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.

Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar,

keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran

yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran

telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.

Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka.

Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka

yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-

nyambar mengerikan.

Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang

bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu yang

Page 15: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 89

ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut.

Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang

dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap

bagian-bagian tubuh Radite.

Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu,

terdengar Umbaran berteriak, “Kalau kau masih belum mampu

melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap

keluar dari halaman ini dengan ragamu.”

Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya

dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga

bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah

terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar

pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang

bernama Umbaran itu akan banyak menimbulkan bencana. Kalau

benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap

Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya

untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri

sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu. Dengan landasan

kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya,

beserta kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas

kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk

Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan

mendapatkan pengikut-pengikutnya.

Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain.

Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan bencana.

Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah.

Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia

menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak

kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan

Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri

keris-keris itu kembali.

Page 16: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 89

Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit.

Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran.

Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun

Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki

kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya

Umbaran berguru lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh. Tetapi

karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya,

maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu

yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang

sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.

Selain mereka yang bertempur, tak seorang pun yang

menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin

memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada

pertempuran itu.

Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka.

Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan

dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan

celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia

berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang

baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan

tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api

baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka

Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian

menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di

antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang

dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak

peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan

mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan.

Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya

bekerja bersama-sama, namun mereka samasekali tak memiliki

kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur pada

kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya

tidak berlaku.

Page 17: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 89

Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin

topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya perjalanan

itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali

ia terpaksa mencambuknya.

Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar

giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka

Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal,

bahwa ia terlambat.

Di belakangnya berpacu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu

menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada

mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan

hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

memacu kuda mereka dengan darah yang bergolak.

Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam

di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup

pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah

mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka

semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha

Kuasa melindungi mereka dari bencana.

Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman

ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak

memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak

begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian

terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-

orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati

kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat

memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka

akan semakin habis.

Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-

nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, “Terus ke rumahmu,

Arya.”

Page 18: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 89

Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda

itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.

“Api,” jawab Arya.

Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah

berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara

Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, “Itu adalah suatu

cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu.”

Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan

cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya.

Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang

sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan.

Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada

merekapun semakin berdebar-debar pula.

Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan

keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya, “Bagaimana

dengan api itu paman?”

Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat

dibelakangnya, “Jangan perdulikan,” jawabnya “mereka hanya

ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah

tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah

berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”

“Ya,” sahut Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang

sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.

II

Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka

semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah

yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-

mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi

guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan.

Page 19: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 89

Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat

sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta.

Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang

mencurigakan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang

telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari Arya Salaka.

Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka

halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan

penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia

langsung melampaui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas

kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.

“Arya!” teriak Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar tak mampu

menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu

masuk ke halaman.

Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura

Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite.

Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka.

Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia sadar

sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka

akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam

kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus

bertindak cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan

untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang

Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu,

kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun

kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh

salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan,

meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu

harus dipergunakan sebaik-baiknya.

Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung

memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah,

kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan

Page 20: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 89

pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya

Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang

kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk mengelak.

Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-

kilat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan

kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga

mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras, “Arya,

bungkukkan badanmu.”

Arya Salaka telah kehilangan keseimbangan perhitungannya.

Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan. Ia mencoba

membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu telah

dekat sekali. Tetapi tak sempat dilihatnya adalah sambaran pisau

yang kedua. Pisau belati panjang yang seakan-akan mengejar

pisau yang pertama. Pisau inipun tak kalah cepatnya, meluncur

dari arah yang lebih rendah dari pisau yang pertama, sehingga

kedua pisau itupun seperti kilat di langit yang sambar menyambar.

Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Demikianlah pisau

itu pun tak terlepas dari pengaruh tangan Nya.

Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh Pasingsingan

yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda serta lebih

rendah dari arah pisau yang pertama, berhasil mengenai pisau

yang pertama. Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-

pisau itu. Sehingga dengan demikian, selisih arah yang hanya

setebal jari mengukit arah yang pertama, telah menyelamatkan

Arya Salaka. Meskipun ia belum berhasil merapatkan tubuhnya

sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya.

Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar dan terbawa oleh

pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya Salaka

berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit bibirnya. Maut

serasa telah hinggap diujung rambutnya. Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara terpekik kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju,

namun kemudian mereka melihat Arya Salaka masih duduk di atas

punggung kudanya yang meluncur cepat di halaman itu, yang

kemudian melingkar memutar di samping gandok.

Page 21: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 89

“Bagaimana kau Arya?” teriak Mahesa Jenar.

Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur. Dadanya

berdebar cepat dan jantungnya seperti berdentang-dentang.

Namun ia sempat menjawab terbata-bata, “Baik paman.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang.

Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka ditegangkan

kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di halaman. Dalam

remang-remang cahaya obor di pendapa, mereka melihat

Mantingan, Wilis, Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu

kelompok hampir berhimpitan dengan kaku, di pendapa mereka

melihat Wanamerta duduk lemas seperti orang yang kehilangan

akal, sedang Sendang Parapat pun duduk bersandar tiang.

Tangannya memegang senjatanya, namun senjata itu terkulai di

lantai. Sedang beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah,

dan mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan

bergerak. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menjadi

semakin terkejut ketika mereka melihat dua lingkaran

pertempuran. Dan hampir-hampir dada mereka meledak ketika

mereka melihat tiga orang yang memakai jubah abu-abu dan

bertopeng kasar.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi,” gumam Mahesa

Jenar.

Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya berkerut-kerut.

Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan membabi buta,

ketika ia tidak berhasil membunuh Arya Salaka. Pada saat itu, ia

telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-

anak yang dapat dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa

loncatan ia telah berhasil menahan Pasingsingan yang menghantui

Demak pada saat itu.

Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh pekik kecil. Widuri tiba-

tiba berhasil menguasai kesadarannya, ketika dilihatnya ayahnya

memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju. Mula-mula ia

Page 22: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 89

seperti melihat malaikat hadir di halaman itu. Maka ketika ayahnya

berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya,

“Ayah,” panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang,

Widuri bersembunyi di balik sayap-sayap induknya. Kebo Kanigara

pun menjadi terharu karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan

perhatiannya kepada keadaan sekelilingnya, namun dipeluknya

anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun menjadi bertambah

tenang, sebab mereka masih dapat mengharap perlindungan dari

orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah ketegangan yang

mencekik leher orang-orang di halaman itu menjadi semakin

terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka

benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan

karena mereka cemas dan takut bahwa mereka akan terbunuh,

namun mereka cemas dan takut bahwa mereka tidak dapat

mempertahankan pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena

itulah kini mereka yakin bahwa Banyubiru akan dapat

diselamatkan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih berdiri tegak tak

bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang beredar

dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa

Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis berdesirlah

hatinya. Rara Wilis kemudian menundukkan wajahnya, namun

hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu, Mahesa Jenar dapat

melihat ketegangan yang selama itu mencekam hatinya.

Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-

lahan, “Widuri, apakah yang terjadi? Bukankah kalian selamat?”

Widuri tidak senakal dan semanja biasanya. Kini benar-benar

ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia menjawab perlahan-

lahan, “Tiga hantu bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi,

yang datang bersama salah seorang dari hantu-hantu itu.”

Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah yang

harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun bersyukur kepada

Page 23: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 89

Yang Maha Agung bahwa anak serta sahabat-sahabatnya telah

diselamatkan.

Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah memiliki beberapa

pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara. Ia telah

mengenal lebih dalam mengenai Pasingsingan. Karena itu cepat

otaknya bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang

dihadapinya. Teringatlah ia kepada ketiga murid Pasingsingan

yang bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Teringatlah ia

kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba di

Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa Jenar segera mengetahui

bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara mereka adalah

Radite dan Anggara, sedang yang lain adalah Umbaran. Mahesa

Jenar juga memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura

Sarunggi itu adalah salah seorang dari kedua petani dari Pundak

Pungkur itu, sedang yang bertempur di antara dua orang yang

berpakaian mirip itu adalah Umbaran melawan salah seorang

saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara

keduanya yang bernama Radite dan yang manakah yang

Umbaran?

Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo

Kanigara, “Kakang, ingatkah Kakang kepada dua orang petani di

Pudak Pungkuran?”

“Ya,” sahut Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun mulai

merayap kepada kedua orang petani itu. Karena itu, pertanyaan

Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu kepastian

tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.

“Tuhan Maha Besar,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mereka

datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah seorang dari

mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat diselamatkan.”

“Ya,” jawab Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau belati

panjang yang berwarna kuning terbang ke arah Arya Salaka. Baik

Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat salah seorang dari

Page 24: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 89

mereka berjongkok. Orang itulah yang telah menolong Arya dari

usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang

itulah pasti salah seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika

kemudian keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang

riuh, maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang manakah di

antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena itu mereka

tidak dapat segera berbuat sesuatu, sebelum memperhitungkan

kemungkinan-kemungkinan sebaik-baiknya.

Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia yakin

bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan pekerjaan

mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan Pasingsingan tak

mampu melawan kedua orang itu pula, sedangkan pada saat itu

Radite dan Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus

dari perguruan Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak

dengan leluasa tanpa pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-

takut bahwa mereka akan dikenal, sebab agaknya kehadiran

mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan mereka, adalah

karena Radite dan Anggara telah menemukan suatu cara

pemecahan.

Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari kudanya. Kini

jantungnya telah tidak berdentang-dentang lagi. Ia berdiri tidak

jauh dari gurunya, sambil memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak

mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan

bertopeng. Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.

Pertempuran di halaman itu semakin sengit, Sura Sarunggi

mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara benar-

benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat sendiri apa

yang telah dialami oleh Sima Rodra dan Nagapasa. Kedua orang

itu pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-

tiba ada setan, gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang

berjubah itu benar-benar mengacaukan rencana. Kalau tak ada

mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran ketika

didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi sekarang tak ada

Page 25: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 89

kesempatan untuk meninggalkan halaman itu. Tetapi justru karena

itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai nama yang

besar di antara mereka, yang tahu akibat-akibat dari

perbuatannya, menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-

ledak seperti guruh di langit. Menyambar, melingkar, mematuk

mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak saja dari

muka atau dari samping, tetapi ujungnya tiba-tiba dapat mematuk

pula dari arah punggung lawannya. Untunglah yang melawannya

adalah Anggara yang memiliki kelincahan melampaui ujung cemeti

itu. Setiap kali ia meloncat-loncat menghindari dari ujung senjata

lawannya itu, selincah sikatan menyambar belalang di rerumputan.

Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan, seolah-

olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan pisau yang

bergerak bersama-sama.

Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan apa

yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada dibenaknya adalah

bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang telah

berani merusak rencananya itu. Sesudah itu, apakah ia harus

mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan

bernasib baik, tidaklah menjadi soal baginya.

Demikianlah pertempuran antara Sura Sarunggi dengan

Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan. Ketika

Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun

segera memusatkan segela kemampuannya. Sehingga lambat

laun, tampaklah bahwa petani miskin dari Pudak Pungkuran itu

dapat mendesak lawannya. Sambil menggeram marah, Sura

Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala kesaktiannya. Namun

ternyata Anggara memiliki beberapa kelebihan daripadanya.

Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain daripada

melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan. Ilmu yang

luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah

ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya keampuhan yang

nggegirisi. Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan

lawannya menjadi nyeri dan panas, seperti tersentuh oleh ulat

Page 26: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 89

yang paling berbahaya berlipat seperti tersentuh oleh bisa ulat

yang paling berbahaya berlipat seribu. Dengan berteriak nyaring,

Sura Sarunggi melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya

dengan tangannya yang mengembang. Sedang tangannya yang

lain masih juga mempermainkan cambuknya yang meledak-ledak

mengerikan.

Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya, segara

mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah

melepaskan ilmu terakhirnya. Karena itu, iapun melontar mundur

beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sebab, sudah pasti,

untuk melawan ilmu sakti itu, ia pun harus mempergunakan

rangkapan pula.

Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar seperti Ular

Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya. Ia

melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan

loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia menyerang

dengan telapak tangannya. Disusul dengan ledakan cambuknya

memecah desir angin malam.

Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan lain. Dalam

sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan

rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama dengan

kakak seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu yang

diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah ampuhnya, yang

dinamai Naga Angkasa. Tiba-tiba Anggara dalam pakaian

Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor

burung garuda. Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang

selalu bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia

menanti lawannya menyerangnya kembali.

Demikianlah kedua orang itu bertempur dalam tingkatan

terakhir. Sura Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini

tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau Alas Kobar, tetapi ia lebih

senang melawan ilmunya dengan ilmu gerak pula. Namun Naga

Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah

Page 27: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 89

mempengaruhi kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas

Alas Kobar, namun pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga

dengan demikian, terasa bahwa ilmunya sendiri, Uler Kilan menjadi

susut daya kemampuannya. Meskipun demikian, Sura Sarunggi

bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore. Berpuluh-puluh tahun

ia menekuni ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu itu sampai tapis.

Dengan demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah

sengit.

Namun kembali kepada sumber kekuatan, yang kasat mata

maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun setan dan iblis

berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun

akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang akan menang. Dan akan

mulailah kerajaan Sorga yang abadi.

Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang

dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang dinamainya

Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang kasar dan bengis

itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk dan luar biasa. Apalagi

kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang

lain, yang disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya

dengan keringatnya, sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian

Anggara terpaksa untuk kedua kalinya melepaskan ilmunya yang

lain, ilmu yang benar-benar diterima dari gurunya secara murni,

Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan lawannya dari

pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar akan memancar ke

segala arah, sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak untuk

membebaskan orang-orang lain dari pengaruhnya.

Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun benar-

benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak mengerti

kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak mau berpikir

lebih banyak lagi. Ketika terasa udara panas menyerangnya, iapun

segera membentengi diri, untuk membebaskan panas yang

melibatnya. Namun dengan demikian, terasa bahwa ilmunya

menjadi semakin susut. Kemampuannya tidak sedahsyat mula-

Page 28: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 89

mula. Naga Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar

menjadikannya cemas.

Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai kesempatan untuk

melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus mengurai

segenap kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah

putus asa, dan bertempurlah ia membabi buta.

Dalam keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura Sarunggi

benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika Anggara menyerang-

nya dengan dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri dengan

melenting tinggi. Uler Kilan itu benar-benar telah membe-

baskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya

dengan cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu

gerak Naga Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura

Sarunggi. Direnggutkannya cambuk itu kuat-kuat, namun Sura

Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya. Memang hal itu telah

diperhitungkan oleh Anggara. Dengan demikian, karena Anggara

merasa bahwa Naga Angkasa dapat melampaui, setidak-tidaknya

menyamai kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu.

Sura Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu

telah menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur maju, pada

saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati

panjangnya bergerak dengan cepatnya menyambar leher

lawannya. Tetapi Sura Sarunggi tak mau mati. Dengan gerak

naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya dan membung-

kukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi

untuk kedua kalinya Anggara menyerang dengan tangannya

mengenai tengkuk lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar

mengagumkan. Meskipun saat itu Sura Sarunggi dalam lambaran

ilmunya, namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan tangan

Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang menghantam

dari langit.

Demikianlah maka pertempuran itu sampai pada akhirnya.

Sura Sarunggi, seorang yang selama ini menjadi tempat

berlindung beberapa orang dari golongan hitam di Rawa Pening,

Page 29: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 89

dan yang telah melahirkan dua orang kakak-beradik Uling Putih

dan Uling Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak

dapat menghindarkan diri dari terkaman maut. Karena pukulan

tangan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka

terdengar gemeretak tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan

melenting tinggi, kemudian ia

terjatuh beberapa langkah dari

lawannya. Meskipun demikian

ia masih berusaha berdiri dan

dengan mata yang merah

menyala-nyala ia mengumpat

dalam bahasa kasar, “Setan

belang, iblis laknat. Terkutuklah

kau oleh jin dan peri....”

Kemudian Sura Sarunggi

kehilangan segenap kekuat-

annya. Ia tak dapat meng-

umpat-umpat lagi, bahkan

akhirnya ia terhuyung-huyung

dan kemudian jatuh diam. Maut

telah merenggutnya dari kehi-

dupannya yang penuh dengan

noda-noda hitam.

Suaranya yang kasar dan keras itu telah mempengaruhi

suasana di halaman itu. Semua orang menoleh kepadanya. Agak

jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu berdiri

tegak. Beberapa langkah di hadapannya terkapar lawannya.

Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa itu seperti

peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang

mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan perasaan

yang kosong, setelah hatinya terampas oleh ketegangan yang

terus-menerus. Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam

dada mereka. Ketika melihat Sura Sarunggi jatuh tersungkur,

menyalalah kelegaan di dada mereka. Sedang Rara Wilis dan

Page 30: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 89

Endang Widuri kini telah benar-benar menjadi tenang. Mereka

telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat

meyakinkan diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan

yang datang bersama hantu Rawa Pening itu pasti akan dapat

dikalahkan. Kehadiran Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat

menjadi kunci penyelesaian apabila kedua orang berjubah yang

lain tak mampu memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua

orang bertopeng yang tak mereka kenal itu, akhirnya akan

mengambil alih perbuatan-perbuatan kedua orang yang lain itu.

Apalagi kemudian mereka melihat bahwa salah seorang dari dua

orang yang mengguncangkan hati mereka telah dapat dikalahkan.

Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya

mendengar sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu loncatan

panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping untuk mendapat

waktu melihat apa yang terjadi atas Sura Sarunggi. Lawannya pun

tidak melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur di

tanah, untuk kemudian tidak bangun kembali.

Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya bergulung-

gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian terdengarlah

ia berteriak putus asa, “Ayo, majulah bersama-sama. Radite,

Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Bersama-sama mati

pulalah Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri.

Inilah Umbaran, tak akan mundur setapak.” Suaranya

menggelegar seperti suara guruh yang mengumandang di lembah

yang berawa itu. Namun di balik suara yang garang itu, terasa

betapa kecemasan dan keputusasaan menguasainya.

Anggara masih berdiri di tempatnya, namun ia telah memutar

tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak seperti

patung, dan Radite yang langsung berhadapan dengan Umbaran

itupun belum juga bergerak. Bahkan kemudian terdengar Radite

itu berkata, “Umbaran, Anggara terpaksa membunuhnya.”

“Persetan dengan Sura Sarunggi,” jawab Umbaran.

Page 31: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 89

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.

Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur dengan

Umbaran adalah Radite. Dan kini mereka telah dapat

membedakan, yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran.

Meskipun demikian, mereka tak akan mengganggu dua orang yang

kakak-beradik seperguruan itu menyelesaikan masalah mereka.

“Umbaran....” kata Radite, “Pergunakanlah saat-saat terakhir

ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan menjadi

lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian

bertobatlah.”

“Kenapa aku harus bertobat?” teriak Pasingsingan, “Aku telah

menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan, yang telah

membentuk diriku menjadi seorang yang bercita-cita. Aku sadar

dan tahu akibat-akibat dari perjuanganku. Aku tahu bahwa suatu

kali aku harus memilih, mukyi atau mati”

”Hem” Radite mengeluh, “jangan begitu. Tak ada di dunia ini

manusia yang bebas dari kesalahan. Kau, aku, Anggara, Anakmas

Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun memiliki dosa

masing-masing. Karena itu terhadap orang yang telah bertobat,

tak seharusnya dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun

bernoda. Kami akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita.

Hanya orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak

menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke

dalam lingkungan kebenaran. Dan orang yang demikian itu tidak

ada di dunia ini. Karena itu apabila kau benar-benar bertobat,

pasrah diri dengan tulus dan jujur, tak akan ada orang yang

mendendammu.”

“Bah!” jawab Umbaran, “Akan kau pikat aku dengan mulutmu.

Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan membujuk dan

menikam aku dari belakang.”

“Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh

senjata,” sahut Radite, “Tetapi ditentukan oleh caranya

Page 32: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 89

menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta atas

sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.”

“Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah

kita mulai,” kata Umbaran dengan lantang. “Aku telah bertekad

untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki kuda.

Kalau kau akan berbuat demikian atasku, ayolah, majulah

bersama-sama.”

“Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran....” kata

Radite, “Maka dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami tahu

bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa dan bertentangan

dengan perikemanusiaan. Dan dengan demikian, tak akan ada

bedanya, siapakah yang dapat menikmati cinta abadi, dan

manakah yang masih hidup dalam kegelapan.”

Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu

tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar mengumandang.

Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia tahu,

bahwa tidak akan ada gunanya. Tetapi ia tertawa karena berbagai

perasaan bergulat di dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan

putus asa. Pada saat yang demikian, seakan-akan berdatangan

kenangan masa lampaunya. Sejak masa kanak-kanaknya yang

kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia

adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam tak

pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh

kawan bermainnya hanya karena uang seduwit, apalagi dalam

persoalan-persoalan yang lebih besar. Sebagai lazimnya penjudi,

ayahnya adalah seorang yang mabuk pada nafsu-nafsu

keduniawian yang lain, makan, minum tuak dan perempuan.

Meskipun ayahnya tidak termasuk dalam lingkungan penjahat,

namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis

daripada para penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati.

Dengan sedih ia berusaha hidup dan menghidupi anaknya,

Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan itupun hanyut dalam

arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang dan

menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini

Page 33: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 89

kepada suaminya dan kesulitan yang disandangnya. Laki-laki

datang dengan berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu.

Maka berulang kalilah hal yang demikian itu terjadi. Laki-laki itu

datang untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya.

Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya sebagai

anak-anak yang memerlukan cinta kasih orang tuanya. Ayahnya

sibuk dengan dadu dan warna-warna di meja judi, sedang ibunya

sibuk melayani laki-laki yang datang mengisi kekosongan hatinya

selama itu.

Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi yang kelam.

Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci laki-laki yang

datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci kepada

ayahnya yang hampir menguras habis segala kekayaan dan harta

benda yang pernah dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya.

Akhirnya ia menerima keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya.

Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia

menganggap bahwa saat yang pendek dalam dunia ini harus

diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa menghiraukan masa-

masa mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi yang

akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia. Pada

saat manusia harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan

peristiwa yang bagaimanapun kecil dan gelapnya. Sebab

pengadilan Tuhan mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat,

meskipun hanya setetes darah yang pernah ditumpahkan,

selembar rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri.

Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang pernah

memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak seorangpun

yang pernah bercerita kepadanya tentang kehadiran nabi-nabi di

dunia.

Umbaran tak pernah mendengar semuanya itu. Ketika

akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras batu.

Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun nafsunya

yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya sejak kanak-kanaknya,

telah mendesak cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya.

Page 34: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 89

Sehingga kemudian ia telah bertekad untuk menutup pintu

serapat-rapatnya dari segenap pekabaran tentang kerajaan Allah

yang Abadi. Kalau terasa padanya, adanya kekuatan-kekuatan di

luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia, maka ia mencoba

untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada pohon-

pohon beringin tua, pada relung-relung goa. Kepada kerajaan

setan, ia mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-

kekuatan ajaib. Namun kekuatan-kekuatan yang dilambari oleh

kekuatan hitam, yang arahnyapun untuk membuat malapetaka

dan bencana bagi umat manusia.

Karena itulah ketika hatinya menjadi gelap, maka gelaplah

seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang dapat

memberinya arah. Ketika ia harus berhadapan dengan Radite

itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi suatu jurang yang

dalam dan kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke

dalamnya. Ia tidak tahu apakah di dalamnya akan dijumpainya

istana gading yang indah, atau di sana akan dijumpainya kandang

serigala lapar yang siap untuk menyobek-nyobek kulit dagingnya.

Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah kuyup di tengah-tengah

arus sungai yang deras. Tak ada jalan kembali.

Dengan tanpa berkata sepatah kata pun, akhirnya Umbaran

membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya. Ketika

kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar

dari benaknya, suara tertawanya pun menjadi surut, dan akhirnya

terdiam. Demikian mulutnya terkatup, dengan serta merta

direnggutnya topeng yang selama ini menutupi wajah aslinya. Dan

tampaklah wajah tampan seorang yang telah melampaui setengah

abad. Matanya yang bulat bersinar-sinar penuh nafsu, hidungnya

yang mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram topeng itu

dibantingnya, dan terdengarlah ia berkata, “Radite, tak ada artinya

lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran berhadapan

dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.”

Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati

melihat kekerasan hati Umbaran. Namun perlahan-lahan

Page 35: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 89

tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya,

“Marilah kita tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita

orang-orang aneh yang hanya mengalutkan orang lain yang

melihat kita. Marilah kita kembali kepada diri kita, manusia yang

kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan

diri kita untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran,

berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-

persoalan lain pun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun

akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan dicapainya

selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”

Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar

mengerikan, katanya, “Jangan mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”

Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya

kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu kemarahan ia

mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang

kehilangan akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan

menjadi semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya

mampu berpikir, “Marilah kita mati bersama-sama.”

III

Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk

mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan kembali.

Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau

seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka

pintu seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan

kejahatan. Pada saat ia menyerahkan ciri-ciri kekhususan

Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun

pada saat itu, ia samasekali tidak menduga, bahwa saudara

seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang

bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di

dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.

Demikianlah pertempuran itu kembali berlangsung dengan

sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti gelombang

Page 36: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 89

laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada

di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung

rajawali, yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara,

menghindari ancaman gelombang yang bagaimanapun dah-

syatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang

tajam dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak

seorang pun yang berani mencampuri pertempuran itu. Apalagi

Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari

tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju

ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah

pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung.

Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat

itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan pertempuran

itu dengan tegang pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya

adalah persoalan yang samasekali berbeda dengan persoalan yang

sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak

bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka

berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena

mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk menuju ke

singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur dengan nafsu yang

meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal

surut, maka Radite bertempur dengan harapan untuk mengurangi

kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan

kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran. Radite sendiri

samasekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai

Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua

para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana

Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah haknya. Setiap orang

yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton

padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa,

maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan

kehancuran, apabila mereka tidak segera menyadari

kesalahannya.

Page 37: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 89

Demikianlah pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa

gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-

luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka.

Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan mereka

melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka

telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan

mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka

samasekali tak mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar

maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu

hanya akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih

mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan

ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang meskipun

sekejap.

Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari

lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaran-sambaran tatit di

langit yang kadang-kadang menyobek gelap malam menjadi

semakin sering, dan guruh pun menggelegar tak henti-

hentinya. Sesaat kemudian, meledaklah petir di udara, yang

kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari

langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di

genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh

mereka yang dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan

yang seperti tertuang dari langit yang pecah itu samasekali tak

mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir bandang

tak mereka dengar, sebab perhatian mereka sedang terpaku pada

pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang

bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian

bergerak dari tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk

berteduh. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati titik

pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya sedang

mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air yang sama.

Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap

mengalirkan air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran

yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar

Page 38: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 89

telah mengalirkan air yang keruh. Anggara pun kemudian telah

melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan

topeng lagi. Ia samasekali tak merasa perlu mempergunakannya.

Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air

hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang memekakkan

telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh

kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi

semakin liar dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk

melayaninya habis-habisan. Meskipun sekali-kali timbul juga

penyesalan di hatinya. Seandainya, ya seandainya dirinya pada

saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah menjadikannya seolah-

olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas

Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah terjadi. Yang

harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah

berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat.

Terngiang kembali kata adik seperguruannya, “Kakang, agaknya

Kakang telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan

yang ganas dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan

menjadi sangat berat.” Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan

Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah ilmunya

dengan segala macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah

kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan

dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram.

Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya. Selama

ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran

bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami

ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin. Meskipun mereka

menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan para sakti,

namun firasat mereka tetap menuntut untuk menjagai

kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih

harus menampakkan diri.

Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh

Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun dengan

tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok

Page 39: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 89

itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran lambat laun harus

merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.

Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari.

Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu. Mereka

adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka

adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui

kesaktian golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil

membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan sejak di

Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut

yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru saja

membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.

Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia

merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja dan

seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang

sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar

dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau

mendengarkan panggilan terakhir dari saudara seperguruannya

itu.

Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin terdesak.

Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia setapak demi

setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk

menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat

hujan yang tercurah dari langit, namun Radite tak ubahnya seperti

batu karang yang tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin

yang bagaimanapun kencangnya.

Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-angsur

gelap malam menjadi berkurang. Api di ujung kota telah lama

padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di

atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

Lamat-lamat namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi.

Sesaat kemudian terdengarlah suara riuh di luar halaman.

Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir orang-

Page 40: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 89

orang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan

banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala daerahnya.

Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan yang

berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah gelisah.

Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar

sangat menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama

semakin dekat.

Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari

pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang sejadi-jadinya.

Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang

lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah

maka Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas

Kobar.

Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi

lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara setidak-

tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri.

Dengan demikian, udara yang panas kembali menyala di

halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati tempat-

tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya

Salaka.

Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu.

Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan

yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar tubuh

mereka di antara air hujan yang dingin.

Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia

melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan batinnya untuk

melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula, seperti apa

yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Alas

Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka,

kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah

disalurkan oleh kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di

dalam dada mereka, yang getaran demi getaran merayap

Page 41: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 89

sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh. Namun

mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian,

sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap

tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan

sekitarnya. Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki

kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan

kekuatan ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti

pancaran aji Alas Kobar itu sendiri.

Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas.

Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam

perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia

menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orang-

orang yang berdiri di halaman itu. Karena itu, dalam saat yang

pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain.

Ia harus mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar

halaman itu. Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran

pada saat yang pendek. Pada saat itu pulalah maka terpencarlah

ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari bandingnya.

Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di langit, Radite

menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil

memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian

dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf tertinggi dari ilmunya

Naga Angkasa.

Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran

kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah

menentukan segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat

telah menghantam dadanya. Sambaran aji Naga Angkasa.

Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu

terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh

sambil berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak

kembali. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung.

Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak

mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian Umbaran itu roboh

Page 42: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 89

kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah

dari langit.

Namun Umbaran tidak mau

mengerti akan keadaannya.

Dengan sekuat tenaga ia

berusaha untuk berdiri. Tetapi

karena kemampuannya terba-

tas, maka ia hanya dapat

berguling-guling dan meronta-

ronta di atas tanah yang becek

penuh lumpur.

Tergetarlah setiap hati

yang melihat peristiwa itu.

Melihat Umbaran yang sama-

sekali tidak ikhlas menerima

kenyataan pada dirinya.

Radite yang berdiri bebe-

rapa langkah darinya, berdiri

tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat maju,

namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan

oleh air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati

Radite berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian

dengan hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar

oleh nafsunya itu. Katanya, “Umbaran, tenanglah.”

Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri.

Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan dadanya

menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu

ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas tangannya.

Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya

menyentak-nyentak. Sekali lagi terdengar Radite berkata,

“Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.”

Page 43: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 89

“Setan!” terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya

memancar merah seperti mata harimau. “Kau kira bahwa kau

dapat mengalahkan aku?”

“Tidak, Umbaran,” jawab Radite, “Aku tidak dapat

mengalahkan kau.”

“Kalau begitu....” kata Umbaran tersengkal-sengkal, “Kalau

begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf

kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki

kuda.”

“Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite.

Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi

kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia

menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun

orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba

meludahi muka Radite. Radite terkejut. Itu adalah suatu

penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas dalam-

dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan lengan

bajunya.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian

melangkah mendekati Radite yang berjongkok di samping

Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan.

Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula.

Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang

Endang Widuri memalingkan wajahnya. Mereka tidak sampai hati

untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu.

Kemudian terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-

putus, “Kalian mau mengeroyok aku?”

“Tidak, tidak… Umbaran,” jawab Anggara. “Ayo majulah

bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu.

Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama.

Page 44: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 89

Meskipun kulit kalian berlapis baja dan nyawa kalian berangkap

lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.”

“Tidak, Umbaran....” sahut Radite, “Aku dan Anggara adalah

saudaramu seperguruan.”

“Hem....” Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin

cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta mulutnya.

Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan

benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran keluruhan budi

yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya samasekali

tak mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah

menyulitkannya. Karena Umbaran lah maka Radite menjadi

seorang yang merasa rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik

bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul dengan

orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban

tugas-tugas kemanusiaan.

Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit.

Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai oleh

suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman berdirilah

laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki

halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka

melihat halaman Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang

mendirikan bulu roma. Mereka masih sempat melihat dua orang

berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang darinya

terbanting jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa

orang laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju,

pemimpin laskar itu berteriak, “Berdiri di tempatmu!”

Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu

hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat

kemudian kembali perhatiannya beralih kepada Umbaran.

“Paman....” bisik Kebo Kanigara kepada Radite, “Bukankah

lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?”

Page 45: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 89

Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar

Umbaran berteriak, “Apa? Apa yang akan kalian lakuan. Menipu

aku lalu menusuk dari belakang?”

“Tidak, tidak Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat. “Marilah

kita naik ke pendapa.”

“Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon

pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang

pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh

tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat

kandel dari kraton.” Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia

benar-benar telah mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi

semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan,

meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.

“Umbaran....” bisik Radite, “Berdoalah, supaya maksudmu

tercapai.”

“Ha…?” jawab Umbaran, “Kelinci yang bodoh. Hanya orang

yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.”

“Tuhan menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula, “Kalau

kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa

yang kau kehendaki.”

Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah,

dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan terengah-engah.

Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air hujan yang

jatuh di mulutnya.

Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-kadang ia

masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari kekuasaan

maut yang sudah merabanya.

“Di mana Lawa Ijo…?” Tiba-tiba Umbaran berteriak.

“Lawa Ijo telah meninggalkan kau,” jawab Radite.

Page 46: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 89

“Mati…?” teriak Umbaran. “Sura Sarunggi…?”

“Orang itu mati pula,” jawab Radite seterusnya.

“Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak

akan mati. Aku akan merajai Nusantara.” Umbaran masih

mengigau.

“Berdoalah,” bisik Radite.

“Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya

Umbaran yang semakin payah.

“Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan

Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada kerajaan yang

kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak mengenal dendam dan

benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan” jawab Radite.

“Aku akan menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam

desahan nafas yang semakin lambat.

“Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai

nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit dilakukan di dunia ini.

Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Jauh lebih sulit

daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-

juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya” bisik

Radite.

Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata,

“Aku akan berdoa.”

“Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di

dalam daerah kerajaan-Nya,” desak Radite.

Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-

gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi tenang. Ia

tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan

berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia untuk

mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar,

Page 47: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 89

demikian juga orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak

tahu apa yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka

mengharap agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya.

Terdengarlah Radite berbisik, “Mudah-mudahan ia berdoa.”

Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran.

Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di tangan Radite itu

kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya yang

selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan jelek.

Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad

ia tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-lonjak.

Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya, telah

memancar dengan ungkapan yang mengerikan.

Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta

membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa ia telah

ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan

oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi ia tidak

tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam,

sehitam malam yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun

yang tahu, bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya

mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai

muridnya.

Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan

sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di timur telah

merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai disingkirkan.

Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya.

Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati.

Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam kegelapan. Tetapi

ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah

pelukan tangan Yang Maha Pengasih.

Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin itu ke

pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di atas tikar

Page 48: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 89

pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan,

Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas dari

suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya. Mereka kemudian

bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di

belakang mereka yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite,

Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka

yang melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin laskarnya

yang akan memberikan laporan kepadanya.

“Terima kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai.

“Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan.

Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap jalan masuk. Rawat

kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke perkemahanmu.”

Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu, kembali

ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun demikian

senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab

setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.

Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding

halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke pendapa,

dan duduk di belakang gurunya.

Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan cahaya

terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang terletak di

lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai memancarkan

cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit

perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari

pegunungan.

Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada

gurunya, “Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis

pertempuran di Pangrantunan?”

Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab,

“Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu

berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik

kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut perhitunganku, tokoh-

Page 49: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 89

tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian besar lenyap,

Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan Umbaran telah tak ada

lagi. Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka.”

Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikian juga Kebo

Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan

kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi. Sehingga terloncat

dari mulut Endang Widuri, “Paman, Jaka Soka tadi malam telah

datang menjemput Bibi.” Agaknya gadis itu telah mulai dengan

kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi lebih tenang

dan tidak menegangkan hati.

“Ah....” desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi,

sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja.

Tetapi Radite dan Anggara masih dalam keadaan seperti

semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni

mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-

masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak

pernah mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun

terasa bahwa mereka bersama-sama telah meneguk air dari

sumber yang sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka,

bahwa tak seorang manusia pun yang sempurna. Pasingsingan

sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir

dan batin. Namun ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil

daan kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia

yang pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka

Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu

berkhianat. Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau,

noda itu akan terpercik kepada saudara-saudara seperguruannya,

Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya

pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya

menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya

dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti

ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab belumlah pasti bahwa orang lain

akan mampu membunuhnya.

Page 50: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 89

Melihat mereka, Radite dan Anggara masih tenggelam dalam

kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri sambil

menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa

itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar

Mahesa Jenar berkata, “Arya, suruhlah beberapa orang merawat

mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di

tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-

nodanya.”

Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang di

gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah meskipun

mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka

yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada

mereka, Arya memerintahkan untuk memanggil beberapa orang

lain, untuk bersama-sama menyelenggarakan penguburan mayat

Sura Sarunggi dan kawan-kawannya.

Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite

berkata, “Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan,

biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.”

Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-

angguk kecil ia bertanya, “Kenapa mesti di bawa ke Pudak

Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan

penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”

“Anakmas....” sahut Radite, “Umbaran adalah saudara

seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas segala-

galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku

dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru

datang bertanya kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti,

guru pasti sudah mendengar berita tentang kematian

Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk

menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh

Pasingsingan pula.”

Page 51: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 89

“Kalau demikian....” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada

Paman.”

“Terimakasih Anakmas,” jawab Radite, “Mudah-mudahan

dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada

perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.”

“Paman....” jawab Mahesa Jenar, “Setiap orang akan

mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang bersalah,

juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran,

manusia yang bernama Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah

menerima hukumannya.”

Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali

Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan beberapa

orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara

kembali ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.

Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka

Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya, “Anakmas,

barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas

kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting daripada menemui aku di

sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran

dengan mayat Umbaran.”

Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera

merekapun berangkat beserta beberapa orang yang menyertainya

mengusung Umbaran.

“Lain kali aku datang lagi,” kata Radite, “Dalam kesempatan

yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan

bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana.

Tetapi orang tua itu pasti tak akan mengenal aku, sebab yang

dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek itu.”

“Baiklah Eyang,” sahut Arya Salaka, “Aku akan sampaikan

kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal

akan menemuinya.”

Page 52: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 89

Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan

Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah timur.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain

mengantar mereka sampai beberapa langkah ke luar alun-alun

Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan,

maka mereka kembali ke pendapa duduk melingkar di atas tikar

pandan.

Mantingan menceritakan apa yang dilihatnya, sejak awal

sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang,

muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian

Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua

orang yang menyerupai Pasingsingan pula.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan

cerita itu dengan hati yang berdebar-debar. Akhirnya mereka

mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan

orang-orang yang berada di pendapa itu.

IV

Sehari itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu

mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana masih ada Ki Ageng

Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan laskar

yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah condong dan

panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan,

mereka baru akan berangkat ke Pangrantunan.

Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang Widuri

seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang selalu

mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar

pun merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan

mereka yang masih dibayangi oleh kecemasan itu duduk sendiri

dengan gelisah. Widuri, seperti anak-anak yang takut ditinggal

pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya ke mana ayahnya pergi.

Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat

merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian

Page 53: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 89

dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil

tertawa ia berkata, “Widuri, kenapa kau membayangi aku terus-

menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?”

“Ah....” Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih

terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya

semalam.

“Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna

hijau seperti yang kau impi-impikan?” tanya ayahnya pula.

“Ah....” Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang

manja justru ia berkata, “Tentu. Tentu ayah menyembunyikan kain

sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup membelikan buat

aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.”

Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri

pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu membeli kain sutera

berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka

mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya

suatu janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan

tegalannya di Banyubiru seperti masa-masa lampau, maka

hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera berwarna hijau.

Meskipun ia tidak tahu, apakah Widuri akan menerimanya,

seandainya ia nanti memberikannya.

“Gila!” hatinya membantah sendiri, “Kenapa aku ribut-ribut

tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang kita

sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?”

“Apa salahnya…?” Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain.

Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan

yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk melenyapkan

perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang duduk di

hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang

berpakaian mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah

mengenal mereka dengan baik.”

Page 54: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 89

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. “Ya, aku telah mengenal

mereka” jawab Mahesa Jenar. “Mereka adalah saudara-saudara

seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya

bernama Umbaran.” Seterusnya Mahesa Jenar menceritakan

beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri yang

mendengar segera berlari-lari ikut serta mendengarkan cerita itu.

Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang

Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.

“Mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” desis Arya

Salaka, ”Mereka berhasil mengalahkan dan bahkan membunuh

Sura Sarunggi dan Pasingsingan”

”Ya, merekaadalah orang-orang yang luar biasa, yang selama

ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka menyembunyikan

diri mereka di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran,

ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu

kesalahan.”

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam

hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang bernama

Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu tak

dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan

kemudian ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga

Kebo Kanigara berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian

Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa setidak-tidaknya

gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan

Anggara. Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum

mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-benar

pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara pernah bertempur melawan Radite dan

Anggara pada saat mereka mencoba untuk menemukan jawaban

tentang Pasingsingan sepuh di Pudak Pungkuran. Pada saat itu

ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan masing-

masing.

Page 55: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 89

Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru.

Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali

ke Pangrantunan. Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi,

sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat

mereka hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan

oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar

ingin melihat apa yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo

Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam

rombongan itu. Karena kemudian Rara Wilis tak mempunyai kawan

lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut

serta di dalam rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng

Pandan Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan

dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga yang

masih ada.

Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta beserta Sendang

Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka mendapat

pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke

Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka

Soka tak akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak

memiliki kekuatan lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya

pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang

berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut.

Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan datang.

Agaknya orang bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah

kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan Sabuk Inten.

Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya

kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan

dengan leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten. Sementara itu golongan hitam telah kehilangan

pemimpin-pemimpin mereka.

“Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari....” kata Mahesa Jenar

kemudian, “Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya

Page 56: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 89

memerlukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah

mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan apa-apa.”

Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik.

Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat.

Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka

bahwa cahaya yang cerah telah mulai memancar di atas tanah

perdikan Banyubiru. Awan yang kelam perlahan-lahan hanyut

dibawa oleh angin yang berhembus tak henti-hentinya. Mantingan

jadi teringat pada cerita-cerita pewayangan yang sering

dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar

putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya

kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah

pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.

Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke

punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda, sedang Widuri

karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan setiap

laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas

punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang

berbahaya. Tetapi ia tertawa saja apabila ayahnya

memperingatkannya.

Demikianlah maka setelah sekali lagi mereka mohon diri

kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta beserta

Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-

kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir

sampai di muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudanya,

sehingga kuda itupun berhenti.

“Ada apa Arya?” tanya gurunya, dan semua mata pun

memandang ke arahnya.

“Pisau,” jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang

tumbuh di samping regol.

Page 57: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 89

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah

pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning

kemilau.

“Kyai Suluh,” desis Mahesa Jenar, “Ambillah Arya.”

Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia

memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian diambilnya

kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama lain,

sehingga Arya tak mampu membedakannya.

“Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.

Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah”

jawabnya.

“Cobalah Arya” pinta Kebo Kanigara.

Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan

pun kemudian berdiri pula di samping Kebo Kanigara. Sebagai

seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai batu-batuan

dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga perasaannya

yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran

yang memancar dari besi-besi aji. Kanigara pun agaknya memiliki

pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata, “Inilah

yang asli.”

Mantingan mengangguk. “Kakang benar. Aku juga menyangka

demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun

keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip

dengan aslinya.”

“Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan

yang luar biasa.” Kanigara meneruskan, “Pengaruhnya atas

ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang,

pengaruh itu pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku

kagum akan ketabahan hati serta keberanian Umbaran, namun

aku menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.”

Page 58: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 89

Tak seorang pun yang menyahut. Semua membenarkan kata-

kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan yang

tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.

“Mahesa Jenar....” kata Kebo Kanigara, “Siapakah yang berhak

menerima pisau-pisau ini?”

“Paman Radite dan Anggara,” jawab Mahesa Jenar.

“Mereka tak memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara,

“Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di

halaman Banyubiru. Bukankan maksudnya untuk menyerahkan

pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?”

“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar. “Setidak-tidaknya

pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan,

biarlah keduanya dikembalikan.”

“Baiklah,” kata Kebo Kanigara, “Agaknya Arya Salaka yang

wajib menyimpannya.”

Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua

langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah kehitam-

hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan,

di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan.

Namun dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta

kejujuran dan penderitaan murni. Anak yang hidup di tengah-

tengah badai kesulitan dan penderitaan itu benar-benar memiliki

kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas.

Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut

bergembira, segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu

adalah pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya,

meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk

seterusnya.

“Arya...” terdengar Kebo Kanigara meneruskan, “Simpanlah

pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan

serta keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa

Page 59: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 89

yang telah terjadi dapatlah menjadi peringatan bagimu. Umbaran

telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam

perjalanannya yang sesat.”

Dada Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan

dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh dari tangan

Kebo Kanigara, yang berkata

pula, “Kau telah memiliki salah

satu dari kebesaran-

kebesaran yang pernah

dimiliki oleh Pasingsingan.”

“Aku akan selalu

mengingatnya, Paman” jawab

Arya Salaka. “Apa yang telah

terjadi dengan Umbaran.”

Tiba-tiba terdengar Widuri

menyela, “Ayah, aku juga

punya cincin yang bermata

merah menyala.”

Kebo Kaniara menoleh

kepada putrinya, “Apakah

itu?”

Widuri menunjukkan jarinya yang dilingkari oleh sebuah cincin

yang bermata merah menyala.

“Kelabang Sayuta....” desis Mahesa Jenar.

“Ya,” jawab Widuri, “Lawa Ijo menamakannya demikian.”

“Dari manakah kau mendapat cincin itu?” tanya ayahnya.

“Lawa Ijo,” sahut Widuri. Kemudian ia pun menceritakan

tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang mati dan

tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.

Page 60: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 89

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun

mendengarkan cerita itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo telah

menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban

keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan

sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain mereka masih ada

lagi berpuluh-puluh, malahan beratus-ratus orang yang menjadi

korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan dengan sahabat-

sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam

rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang

sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang

baik diperlukan penilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak

masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan

tempat mereka menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.

Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan

bergumam, “Takdir telah menentukan atas kedua pusaka itu.”

Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang

bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak meneruskan

kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan

Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata

yang terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan,

sehingga dengan demikian Mantingan sendiri agak menyesal

karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa

Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai

Wanamerta berkata perlahan-lahan, “Kami orang-orang tua hanya

berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”

Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka maksudkan.

Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka bahwa

Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan

orang-orang dari golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah,

Kebo Kanigara berpikir, “Apakah kedua pusaka, yang masing-

masing berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan menjadi

perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”

Page 61: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 89

Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata

apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat kepada

perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian

kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan

itu.

Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di

pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih menggenggam

tombak Banyubiru. Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di

bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak

memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya

untuk menyimpan pusaka itu.

Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk dapat

menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu. Seperti juga

Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai

pengaruh yang jelas kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat

mempengaruhi keuletan dan keterampilan berpikir.

Demikianlah rombongan itu berjalan dengan kecepatan

sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam,

kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang menjajarinya. Di

belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara. Mereka kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan

mereka yang terberat sudah selesai. Golongan hitam telah 8 dari

10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling

membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki

Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang

pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan

untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali kepada

kesadaran diri atas segala ketamakan dan keserakahannya.

Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan

kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di sebelah barat.

Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke

wajah langit dan ke wajah bumi. Daun-daun yang hijau menjadi

semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama

Page 62: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 89

semakin pudar. Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun

hijau di lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik

pegunungan.

Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu.

Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung lagi. Bintang-bintang

berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain. Awan yang

kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian seakan-

akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu

kemudian menjadi semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung

di langit yang luas.

Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka

takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat malam mereka

membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat. Kini

mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di

samping perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus

menempuh perjalanan di hujan yang dingin.

Beberapa saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang

menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak Pamingit

atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari

semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak

seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan.

Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar

terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-

orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar

Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu?

Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari

desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka

berhenti.

“Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya.

Page 63: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 89

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan

seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-

orang Pamingit atau Banyubiru…?”

“Entahlah,” jawab Arya.

Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang

dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping

perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan.

Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga

ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda

datang ke dekat mereka.

Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju.

Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan

tombak yang tunduk.

“Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka.

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-

orang itu menjadi semakin dekat.

“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah

seorang dari mereka.

Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan

pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan

dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut, “Mahesa Jenar

bersama Arya Salaka dan rombongan.”

“O.....” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin

tunduk.

“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

“Pamingit,” jawab orang itu, “Kami mendapat tugas untuk

menanti kedatangan Tuan.”

Page 64: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 89

Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia

memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.

“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.

“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas

untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk

pasukan,” jawab orang itu. Namun nampaknya orang itu

sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara mendapat kesan yang baik.

Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti

orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang

semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi

memegang pimpinan pertempuran.

Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di

muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata,

“Silahkan Tuan-tuan.”

Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu,

Wulungan. Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan

tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari

kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu,

duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.

“Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan.

“Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu,

ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki

Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan

tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki

Ageng Sora Dipayana sendiri.”

“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa

Jenar, kemudian ia bertanya, “Kami terkejut ketika kami melihat

daerah ini sedemikian sepi.”

“Semuanya sudah selesai,” jawab Wulungan.

Page 65: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 89

“Selesai…?” ulang Arya Salaka.

“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan

hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka

menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju

ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang

pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka

meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa

mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas.

Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya, “Jadi aku

sudah terlambat?”

“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.

“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.

“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.

”Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu

bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu,”

jawab Widuri.

“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya, “Kau akan ngeri melihat

pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang

mengerang kesakitan karena terluka.”

“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan

Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum,

Mahesa Jenar pun tersenyum. “Tetapi bukankah kau masih utuh?”

sambung ayahnya.

Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat

berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.

“Nah, Tuan-tuan....” Wulungan memecah kesepian,

“Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke

Page 66: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 89

Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan

tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.”

“Siapakah tamu-tamu itu?” tanya Arya.

“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten,”

jawab Wulungan.

Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat.

Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi

udara terasa betapa panasnya.

Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas

itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di

luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di

halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya

laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan

tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk

dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka

sedang merebus jagung.

Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur

jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di

pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu

telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja

seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa.

Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang

mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun

lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan

bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa

itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang

yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka

mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.

Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama

menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang

Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan.

Page 67: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 89

Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar

terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun

didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit

itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi.

Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara

itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan

seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan

mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran

mereka.

Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun

menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya

dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya,

gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-

lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu

pula. Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula

mengikutinya.

Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia

mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu

akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang

itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin

dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu

hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan

berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar

dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka.

Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang

mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau

menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan

pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara

dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang

menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat

tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki

bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing

Page 68: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 89

orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia

memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.

Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia

menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun

dada Arya Salaka berdesir pula. Di hadapannya kini berdiri

seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng

kulit kayu kasar.

“Pasingsingan,” desis Arya.

Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya,

“Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”

Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-

tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan

kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain.

Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu

yang sangat sederhana.

“Siapa kau?” tanya Arya Salaka.

“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut

mega” jawabnya.

“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja

menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.

“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.

Arya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya, maka

ia pun menjawab dengan jujur, “Ya, aku Arya Salaka.”

Orang itu tertawa. “Jadi kaulah yang mengaku anak kepala

daerah perdikan Banyubiru?”

“Kenapa kau sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka.

“Aku tidak akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan

kepala daerah perdikan Banyubiru.”

Page 69: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 89

Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati.

Katanya “Di mana ayahmu sekarang?”

Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka.

Karena itu ia menjawab, “Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?”

“Ikut aku,” kata orang itu.

“Lalu…?” sela Arya.

“Jangan bertanya,” jawab orang itu.

“Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan”

kata Arya.

“Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang

itu pula.

Arya masih mencoba menyabarkan diri, meskipun hatinya

bergelora. Meskipun demikian ia menjawab, ”Jangan memaksa”

”Jawab pertanyaanku. Mau atau tidak?” berkata ora itu pula.

“Tidak,” jawab Arya tegas.

“Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan.

Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi mayat”

kata orang itu.

Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia dari

golongan hitam atau dari golongan lain yang tak menyukainya.

Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai

satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru?

Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama.

Sebab orang itu membentaknya, “Bersiaplah!”

Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur

dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun telah

bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan

bahkan dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya.

Page 70: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 89

Demikianlah maka segera terjadi perkelahian di antara mereka.

Arya Salaka mula-mula masih meragukan lawannya. Namun ketika

lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak

mempunyai pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat

tenaganya.

Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak

bergerak, namun serangan-serangannya yang datang tak ubahnya

seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun

berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan

cepat dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap

serangan yang datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang

seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang

demi gelombang.

Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin seru.

Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk mengalahkan

lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap,

tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti

seekor gajah yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya.

Demikianlah pertempuran itu berjalan semakin sengit. Arya

Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat

mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu

waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan kanan jalan.

Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya

seorang. Ia pasti mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus

selalu waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat

muncul dan menyerangnya bersama-sama.

V

Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang

yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi curiga.

Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar

kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang

berkata, “Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari

Page 71: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 89

persembunyianmu. Kalau kalian akan bertempur bersama-sama,

majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.”

Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang

bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata dengan

marah, ia pun menyahut, “Jangan sombong, kau kira bahwa di

dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama Arya

Salaka…?”

“Aku tak berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur.

“Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil

kesempatan yang licik.”

“Aku bukan betina,” kata orang bertopeng sederhana itu.

Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras. Seperti

angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi

bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun

telah kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah

memuncak. Arya tidak tahu dengan siapa ia berhadapan, namun

agaknya lawannya benar-benar bertempur antara hidup dan mati.

Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi

korban dalam persoalan yang gelap.

Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama. Namun

tak seorang pun yang tampak akan dapat memenangkan

perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap

tenaga yang mereka miliki, namun perlawanan merekapun

menjadi semakin bertambah sengit.

Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh pada

lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal gerak-gerak yang

demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi

yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya

mendesak terus, lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan

tata gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga

akhirnya lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa

Page 72: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 89

mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya

dimilikinya.

Arya Salaka mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan

lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan tangannya di bawah

dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar

sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya. Serangan-

serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan

yang mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung

jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah

leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku

dalam jarak-jarak yang pendek. Kaki Arya pun dengan lincahnya

bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di

tanah seperti tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-

kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung.

Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun

kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat.

Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan

lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu menyambar

dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya

meloncat maju. Dengan kaki yang lain, orang bertopeng itu

menyapu kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat

sehingga Arya tak sempat mengelak. Karena sapuan itu, Aya

kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup

terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya dengan

baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.

Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan

menyambar dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia hanya

sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan pukulan

lawannya, namun wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit

seperti menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut.

Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya

ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau menjadi sasaran

terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali lagi Arya

meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar

Page 73: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 89

tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar

lawannya mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke

arah dada. Sekali lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan Arya

mengejarnya terus.

Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan berbahaya.

Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian

perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba

dari orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar.

Meskipun demikian Arya tak dapat dikalahkan dengan segera.

Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya

dalam keseimbangan yang setingkat.

Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia mengingatnya.

Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu pernah dirasakan

di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian mirip

dengan ilmu saudara sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu

Sawung Sariti? Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu,

dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan

berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung

Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang kehitam-

hitaman, sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya

dengan jelas.

Meskipun dapat masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung Sariti

menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka demikian.

Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu. Ketika ia teringat

pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini eyangnya

yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti

itu diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar

itu. Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa?

Apakah pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin. “Tidak,”

hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”

Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun

pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang, namun ia

tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya

Page 74: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 89

tidak setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi

sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya

hanyalah pamannya dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan

pengawal Sawung Sariti yang berwajah bengis dan bernama

Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu

sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa orang

itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu

mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu. Apakah

Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur.

Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-

kesalahan sendiri.

“Siapa…? Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala

Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang bersembunyi

di balik pagar.

Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor orang-

orang Pamingit yang bertugas menunggunya di Pangarantunan

sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu

mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di

pondok penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah

orang Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam

yang gelap itu. Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka

sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat

mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan

yang merapat di pagar bambu yang telah rusak. Pikirannya yang

cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti akan menghadang

orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin

dekat. Arya Salaka menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu

tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu

mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia

mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah

jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi,

sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.

Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang

menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-

Page 75: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 89

hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai

nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak, “Hai,

siapa yang membawa obor itu?”

“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.

“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat.

Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa

memperdulikan kata-kata orang bertopeng.

“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.

Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang

yang membawa obor, “Ada apa di situ?”

“Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus. Obor

itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar

orang di balik pagar berdesis, “Curang. Kau tidak memberi

kesempatan aku bertempur.”

“Siapa kau?” tanya Arya.

“Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat

obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian

tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang

membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.

Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan,

Arya berkata, “Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak

tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah

kalian?”

Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi

serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya

menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun

datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing.

Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap.

Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia

mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal

Page 76: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 89

inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa

melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia

berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya

Salaka yang muda itu.

Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk

membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing.

Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar

yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya

bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap

waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat

yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan

dengan laki-laki yang tinggi hati?

Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur

sambil berteka-teki.

Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia

bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan

Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai,

ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika

ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang

nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata, “Ki Sanak, ada

bahaya di jalan ini.”

Laskar itu pun bertanya, “Dari mana kau tahu?”

“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar

seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.

Kedua orang itu mengangguk-angguk. “Marilah kita bawa

Kakang Wulungan.”

“Ayolah,” jawab yang pertama.

Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain

menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan

berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Page 77: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 89

Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,

“Apa yang terjadi?”

Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.

“Nah, itulah....” sahut Mahesa Jenar, “Kami juga mendengar

seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”

“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan, “Kau

tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau

perlukan kami.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi.

Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati

keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa

orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil

merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar

mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-

hal yang tak mereka kehendaki.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat

yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan

desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar

bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih

kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-

baiknya.

Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun

lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada

nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak

orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus

berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping keme-

nangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus

memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila

orang-orang di balik pagar itu datang membantu.

Page 78: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 89

Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang

di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam.

Seorang, lalu disusul seorang lagi.

Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum

pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat,

yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya

mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka. “Setidak-tidaknya

mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya, “Kalau demikian aku akan

mengalami kesulitan untuk melawannya.”

Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-

wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus

bertempur pula. Karena itu ia samasekali tidak mendapat kesan

apa-apa mengenai wajah kedua orang itu.

Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari

lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir. “Ki

Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah

kalian dan apakah maksud kalian?”

Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, “Tutup mulutmu.”

“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya

meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu.

“Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.

“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah

itu akan aku miliki,” jawab orang bertopeng itu.

“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur.

Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”

Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan

dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang

membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?

“Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu,”

bentak orang bertopeng itu. Sedang dalam pada itu kedua kawan-

kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu.

Page 79: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 89

Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun

yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar

akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela

dirinya mati-matian. Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh

Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun

iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk

tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya

dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya.

Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan

menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda. Adiknya licin

dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula.

Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika

dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai

pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua

orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak

lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya

samasekali tak ada hubungan perguruan.

Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu

mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap

tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia

melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala

daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut

saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.

Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat

dimengertinya. Ketiga orang itu samasekali tak mengejarnya.

Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak, “Arya, jangan.

Jangan.”

Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia

mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh

perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa

mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke

sisi telapak tangan kanannya.

Page 80: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 89

Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar

suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran

di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”

Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada

menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya,

diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya

yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya

untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di

dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor

kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.

Arya Salaka melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di

bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di sampingnya. Mereka

adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya samasekali

tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia

bertempur melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan

perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk pundaknya sambil berkata,

“Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.”

Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut.

Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah

pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak

seperti patung.

Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya, yang

seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini. Dirasanya dalam

malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya

yang mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar

menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan

yang menyenangkan.

Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya.

Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur

melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu

pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang

yang tak berarti apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.

Page 81: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 89

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya, siapakah

lawanmu itu?”

“Aku tidak tahu, Paman,” jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh

kepada orang bertopeng kulit kayu yang sederhana itu, yang

seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika kayu yang

dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada kepalanya

dengan tali dan ikat kepalanya.

“Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk

melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.

“Ya, aku mengenal Paman,” jawab Arya.

“Nah, ilmu siapakah itu?” desak gurunya.

“Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan,” jawab Arya.

“Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki

ilmu itu.”

Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan

Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab, namum

kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, “Ada dua, Paman.

Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.”

“Siapakah di antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat orang

bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki sampai

kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya

dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu.

Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua orang

kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar

di tepi jalan. Akhirnya Arya menebak saja sekenanya. “Paman,

orang itu bukan adi Sawung Sariti.”

“Jadi…?” desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap

menjawab, “Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.”

Page 82: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 89

“Apakah kau pasti?” tanya Mahesa Jenar.

Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa

bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun juga bertubuh

tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak berbeda.

Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata,

“Agaknya kau tidak pasti Arya.”

Arya mengangguk.

“Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu

keturunan dari Pangrantunan?”

Terdengar orang bertopeng itu menggeram.

“Tak ada,” jawab Arya.

Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar

dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang

itu, “Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat

akan melekat di leher kalian.”

“Hem....” kedua orang itupun menggeram.

“Arya...” kata Mahesa Jenar, „Adakah kau pernah menerima

dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?”

Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-

kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata gerak dari

perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab,

“Pernah, Paman.”

“Siapakah yang memberimu pelajaran?”

Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang

memiliki ilmu itu, jawabnya, “Ada orang yang memiliki ilmu itu,

Paman, tetapi....” kata-kata Arya terputus. Orang itu adalah

ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya

kata-kata ayahnya pada saat ia meninggalkannya di hadapan

laskar Banyubiru yang siap dalam gelar Dirada. Katanya pada saat

Page 83: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 89

itu, “Arya, aku akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan

akan kembali.”

Tiba-Tiba tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah

sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja tangannya bergerak

merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak dapat lagi

menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya,

berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki

ilmu perguruan Pangrantunan.”

Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara

runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali, dan

jantungnya bergelora seperti akan meledak.

Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir

berteriak, “Ayah!”

“Ya,” jawab orang ber-

topeng itu, “Aku adalah

ayahmu.”

Sesaat Arya mengamat-

amati wajah itu. Meskipun di

dalam gelapnya malam, namun

wajah ayahnya telah tercetak di

dalam hatinya. Sehingga, de-

ngan segera ia dapat mengenal

kembali, meskipun hanya garis

lekuk-lekuk wajah itu. Hampir

tak ada perubahan sejak kira-

kira lima enam-tahun yang

lampau. Karena itu tiba-tiba

darahnya seperti melonjak-

lonjak. Dan tanpa sesadarnya

Arya melompat maju, menja-

tuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar. “Ayah,

betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”

Page 84: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 89

Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan

tidak mengandung nada permusuhan, “Kau masih mengenal aku

dengan baik bukan, Arya?”

Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-

kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya segera

tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar

keluar hanyalah sepatah kata, “Ya.”

Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian

anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia memandang

kepada Mahesa Jenar, “Hampir aku tak percaya, bahwa anak inilah

yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang lampau.”

Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju.

Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh Gajah

Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu

dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa

tangan itu gemetar.

Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir

bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan yang

sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-

saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu berdiri di hadapannya.

Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang

berdiri merapat pagar. “Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?”

Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya

menjawab, “Permainanmu ternyata lebih baik daripada permainan

Kakang Gajah Sora, Kakang.”

Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, “Hampir aku tidak tahan

bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan main.

Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya

menjadi semakin bingung.”

Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang

bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir. Keduanya

Page 85: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 89

ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit

yang datang dari Demak.

Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut

oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu diperkenalkan

pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah

mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan

dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.

“Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah

Sora” ajak Mahesa Jenar, “Barangkali Kakang Gajah Sora dapat

menceritakan sesuatu kepada kami, suatu cerita yang menarik.”

Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah

kedua prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal

Gajah Sora. Namun ia berkata, “Mari Adi Gajah Alit dan Adi

Paningron. Aku mempersilahkan kalian.”

Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata

Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit itupun

mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, “Marilah, aku pun tidak

tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-

besar.”

“Tidak Adi,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi barangkali Adi tidak

biasa digigit nyamuk.”

“Ah....” desis Gajah Alit, “Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi

juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?”

Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar

sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak.

Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika

mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih

berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di

dalam gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa Jenar, segera iapun

melangkah menyambutnya, “Apakah yang terjadi?” ia bertanya.

Page 86: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 89

“Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa

Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya meneruskan,

“Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?”

Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka rumah

itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah Sora itupun

dapat dilihatnya.

Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang, meskipun

agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya. Kumisnya

lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora. Tiba-

tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat

sambil berkata, “Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan

Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki

Ageng.”

“Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini,

Wulungan?” tanya Gajah Sora.

“Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup segar

meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada perubahan

sejak aku melihat untuk yang terakhir kali” jawab Wulungan.

Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian merekapun

melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di bale-bale

besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah siap

merebus air dan jagung muda.

Sambil menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa

Jenar, “Kedatangan Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan kami.

Apalagi bersama-sama dengan Kakang, ikut serta adi Gajah Alit

dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?”

Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali wajahnya beredar

di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah Arya Salaka.

Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, “Adi Mahesa Jenar. Anakku

ini benar-benar mengejutkan hatiku. Sebelum aku bercerita,

seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada

Page 87: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 89

Adi. Agaknya Adi Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku,

mengasuh anak nakal ini, bahkan melampaui harapan yang aku

khayalkan tentang dirinya.”

Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, “Bukanlah aku yang telah

menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga dirinya,

tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya

merupakan modal yang tak ternilai harganya.”

Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan

ayah serta gurunya sedang menilai dirinya.

“Modal yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan

berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya,” jawab Gajah

Sora pula. Kemudian ia meneruskan, “Aku pernah bertempur

dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi betapa

dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian

terpisah dari Adi lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku

mencoba untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu

keturunan dari Pengging, aku merasa bahwa seakan-akan aku

mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya Salaka benar-

benar telah memiliki ilmu seperti yang Adi miliki pada saat itu. Dan

ternyata bahwa Arya telah benar-benar mencerminkan Adi Mahesa

Jenar sewaktu adi bertempur di Gunung Tidar itu.”

Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia

mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat

anaknya.

Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar,

bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di Gunung Tidar

melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan

aji pemungkasnya, Sasra Birawa. Pada saat itu Gajah Sora tidak

dapat berbuat lain daripada menyelamatkan dirinya dengan aji

andalan perguruan Pangrantunan, Lebur Saketi.

Mahesa Jenar menjadi geli sendiri mengenangkan peristiwa

itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Tetapi

Page 88: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 89

sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan disapu angin.

Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak saja pernah berbenturan di

atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun

kedua aji itupun pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing

dilontarkan oleh Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari Pengging,

melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti, yang memiliki ilmu

keturunan dari Pangrantunan. Tetapi benturan itu samasekali

bukan karena salahpaham, namun benar-benar karena kemarahan

yang tak tertahankan. Kesengajaan karena nafsu kedengkian,

ketamakan dan keserakahan.

Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh

suara Gajah Sora. “Adi, mungkin Arya Salaka tidak akan menjadi

anak seperti sekarang ini, seandainya aku sendiri yang

mengasuhnya.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia

tidak menjawab.

Kemudian Gajah Sora meneruskan, “Selain kekagumanku atas

kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun menjadi

heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan.”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tentu saja

kami menjadi gembira atas pertemuan ini.”

“Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini?”

sela Gajah Alit sambil tersenyum.

Mahesa Jenarpun tertawa. “Ya,” jawabnya, “Kenapa kalian

datang pula?”

“Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada kami,

Kakang,” kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron tersenyum.

Memang ia tidak begitu banyak berbicara. Ia lebih senang

mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada berbicara sendiri.

Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang gemuk

ini. Karena itu ia pun menjawab, “Agaknya kau bertugas mengawal

Page 89: 23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 89

Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah Sora akan

melarikan diri seandainya Kakang mendapat kesempatan sehari

dua hari menengok tanah perdikannya?”

Gajah Alit tertawa. Jawabnya, “Tidak, aku tidak bertugas

mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas menangkap

Kakang Mahesa Jenar.”

“Kalau begitu,” sahut Mahesa Jenar, “Aku akan membantumu.”

Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya

Salaka pun tertawa pula.

“Nah, bagaimanakah yang sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar

kemudian.