03 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 88
Nagasasra dan Sabuk Inten Karya S.H. Mintardja
Jilid 3
I
etapi sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh
suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak
pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari
kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang
Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah samasekali
tidak masuk akal.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya
telah pulih kembali, segera dengan kecepatan gerak laksana kilat
menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri
dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam,
seperti melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka
seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena
pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah dibebaskan dari daerah
mati.
Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga, bahwa
lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah menerima
anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh
segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang
kepada Lawa Ijo.
Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri
dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai, bukanlah
benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung, Lawa Ijo
samasekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala
masalah.
T
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 88
Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara.
Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak. Terhadap
orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap yang manis.
Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar tidak
lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum Lawa Ijo sadar
terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah mengangkat satu
kakinya yang ditekuk ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas
dadanya, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Secepat kilat Mahesa Jenar meloncat maju, dan dengan sedikit
merendahkan diri ia menghantam lambung lawannya dengan
ilmunya yang terkenal, Sasra Birawa.
Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik lawannya seperti dalam
mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya Mahesa Jenar
meloncat dekat sekali di hadapannya, dan tangannya melayang ke
arah lambungnya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat.
Terkena pukulan sisi telapak tangan Mahesa Jenar yang dilambari
ilmu Sasra Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung
yang runtuh bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan
kedahsyatan Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan
derasnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya
mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh
kuat bagai benteng baja.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung.
Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang berkecamuk di
kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab
kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan
bisa terjadi.
Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu
peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula.
Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga
pingsan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 88
Tubuh Lawa Ijo yang
melayang demikian derasnya dan
hampir-hampir membentur
sebatang pohon raksasa itu, tahu-
tahu sudah berada dalam
dukungan seorang yang berjubah
abu-abu. Tak seorang pun tahu
dari mana dan kapan ia datang.
Wajah orang itu samasekali tidak
tampak, karena ia mengenakan
topeng yang buatannya kasar dan
jelek.
Semua orang memandang
orang berjubah itu dengan tubuh
gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba
Jaka Soka segera melangkah maju
dan dengan hormatnya ia berkata,
“Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi-
tingginya!”
Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga
Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah datang
untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau hatinya tercekam
pula. Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan
sekarang, ia telah berhadap – hadapan dengan orang itu dalam
keadaan yang tak menguntungkan.
“Rangga Tohjaya....” Tiba-tiba terdengar Pasingsingan
berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya berat,
dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam perutnya,
karena pengaruh topeng yang dipakainya itu. “Untunglah Lawa Ijo
bukan sembarang orang,” sambungnya, ”Sehingga meskipun ia
terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup.”
Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik
topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. “Hal
itu adalah karena pertolonganku.” Pasingsingan melanjutkan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 88
”Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu,
kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku”.
Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti kata-
kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat kepada
almarhum kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama
dengan Pasingsingan itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti
mereka tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan sendiri.
Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya. Sebagai seorang
prajurit pastilah Mahesa Jenar tidak selalu menggantungkan
dirinya kepada orang lain.
Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak
seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka segera
kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan pernafasannya
dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya,
meskipun ia belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat
hidungnya, “Hem…, kalau Sasra Birawa itu gurumu yang
mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana
menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan mencobakan
pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri
sebelum aku membunuhmu!”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau hati
Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati. Tetapi
kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi
suatu rombongan yang akan binasa, adalah sayang sekali. Tetapi
apa boleh buat.
Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia
selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa
meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
“Tohjaya,” katanya, ”Kau adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya Sasra
Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati dengan tangan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 88
merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang disembelih,”.
Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada
mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu
lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun
bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya.
Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan acuh tak acuh saja
seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.
Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti orang
linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka sudah
terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun ada
diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah
memandang Mahesa Jenar dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi
mereka tidak mengerti tentang apa yang dilihatnya. Mereka tidak
lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan
dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang
dapat merintanginya.
Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara
berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan
baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh
berturut-turut.
Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi
sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak dapat lagi
menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba, sehingga di
dalam hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang
demikian, tidaklah biasa seseorang menebang pohon.
Apalagi di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang
mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan, tidak
akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian lebatnya.
Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi
pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo.
Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak nyaring.
Mustahil kalau suara-suara itu tak didengarnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 88
Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin
lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak
begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara berdentangnya
pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang
mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu.
Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya dan
tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama. Dalam
keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara
berdentangnya pohon ditebang itu menjadi bertambah jelas
seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya bersahut-
sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui
dengan pasti sumber suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan
semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah
dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak
mungkin terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh
suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu, menggemalah
sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah suara
yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua
orang yang mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya
kecuali lagu itu sendiri. Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang
yang cukup masak. Tetapi meskipun demikian tampak juga bahwa
mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh.
Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata
dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari tembang itu
adalah:
Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 88
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan
atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang itu tertutup oleh
kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia samasekali tidak senang
mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang
merdu dan syairnya mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana
seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan
banyak memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang
cinta manusia untuk memberantas kejahatan. Serta dengan
mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik dan
buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia
mendengar lagu itu diulang kembali.
Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan
dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat
mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar
meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar
dan Jaka Soka.
”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah.
Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu.
Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak sedang
membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!”
kata Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu
Pasingsingan telah lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa
Ijo. Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian
Mahesa Jenar dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka setelah
mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke utara, kearah
mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga, bahwa dari
sanalah sumber suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 88
Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat wajah orang aneh
itu. Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka
temui hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa.
Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah
cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran
mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas menebang pohon itu
hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya
adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih
dari empat pemeluk, ternyata telah luka hampir separonya.
Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah
hampir sebesar kepala anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi
ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah
sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan
basah sebagai pegangannya.
”Luar biasa,” desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku tidak dapat
mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu, sehingga
ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir
keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil
keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan
maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik
Ki Ageng Pandan Alas. Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar,
”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu
baiklah kali ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku
menculik gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak
mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan
disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku. Kalau demikian halnya,
maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga benar apa yang
dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada
di segala tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain
kali.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya
Jaka Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang
bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 88
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya dipenuhi
oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi yang penting adalah
mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian membicarakan
kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut. Ketika Mahesa Jenar
sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang
telah tampak mulai agak tenang kembali. Terutama para
pengawal. Malahan ada diantaranya yang sudah dapat mengatur
barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak
ketakutan. Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun
yang disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih terkejut juga.
Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah Mahesa
Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-
lari menyambut dan langsung berjongkok dan menyembahnya.
Terutama sepasang suami-istri yang telah minta kepadanya untuk
membawa bebannya. Kedua orang itu menyembah sambil
menangis minta diampuni. Segera Mahesa Jenar pun
menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal
menyalakan api.
Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan
kayu, serta apipun segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi
api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di
atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapai-gapai
kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan
serta dedaunan nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam
kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang
malam.
Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa
cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di
hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat dan kejadian-
kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti peristiwa-
peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 88
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi
sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya bersalah
sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan hampir
dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa
yang melindunginya. Karena itu ia masih saja belum berani
memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya.
Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar
yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan itu. Katanya,
“Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya
malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira
kalian sehari penuh masih belum juga makan. Sekarang
kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak seperti
tadi malam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak
diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan. Segera
diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak sedikit
diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar
lagi. Juga sesudah itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan
para pengawal, tentang bagaimana baiknya rombongan tersebut.
Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan itu
tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah
pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun
akan tidak menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak
menguntungkan adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia
tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah
gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu
seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai mereka
mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan
tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya
rombongan itu besok pagi berangkat kembali ke tempat semula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 88
Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak
pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah dihinggapi
perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu
datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti
sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik
yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada Mahesa Jenar,
“Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk
kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali.
Tetapi aku juga tidak dapat memaksa rombongan ini berjalan
terus. Karena itu, baiklah kalau rombongan ini berjalan kembali
dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan
perjalanan ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta
kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku bertemu
seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah
kalau aku bunuh diri.”
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu
diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak berhak lagi
berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah
merasa berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan
keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara mereka
yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan
yang demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.
GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya
yang bulat, nampak mengambang air mata yang ditahan sekuat-
kuatnya.
”Tak ada jalan buat kembali,” ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang
menyelubungi diri gadis itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 88
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak lagi
tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih belum dikenal
namanya.
”Siapakah sebenarnya kau ini?” tanya Mahesa Jenar kemudian,
”Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?.”
Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, ”Tuan,
sebenarnya aku samasekali tidak mengenal siapakah Ki Ageng
Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan hubungkan
dengan nama Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku
menerima keris itu dari almarhum ibuku, sedangkan ibu
menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang sedang
merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum
ibuku, kakek itu tinggal di daerah Pliridan. Dan samasekali tak
bernama Pandan Alas, tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku
sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis.”
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama
Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya, bahwa ia
samasekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik
perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya,
suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi
gadis itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar, ”Bapak-bapak para
pengawal, serta saudara-saudara seperjalanan. Barangkali aku
mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak kalian.
Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal, mungkin tak
akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang
berkeras hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya,
biarlah aku antarkan saja. Sebab perjalanan ke Pliridan bukanlah
suatu pekerjaan yang ringan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah
kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang berkaca-
kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali
perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya
jadi kemerah-merahan, serta kembali ia menundukkan mukanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 88
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis.
Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang. Sebaliknya
beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan
Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab
bersama sama dengan Mahesa Jenar, mereka semua merasa
bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan para
pengawal, serta memberi petunjuk mengenai beberapa
kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan,
bahwa mereka semuanya akan kembali dengan para pengawal,
sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan mengantar Rara Wilis
sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun dapat
tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan batin, seakan-
akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan. Berbeda
dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian
cepatnya, malam itu rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang
malam, serta desiran angin rimba terasa sangat menjemukan dan
menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas
berakhir. Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan
tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa,
terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan. Dari celah-
celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna
merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-
barangnya dan menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang
berlawanan dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis
yang setelah menerima kembali kerisnya akan melanjutkan
perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar sendiri.
II
Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal
dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali lagi mengucapkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 88
terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka berangkat
kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata
di tangan. Baru setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan,
Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan
perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan, kecuali
apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk memberitahukan
tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang berbisa.
Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju,
karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan yang besar.
Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti pemimpin
rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis
apabila jalan sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan.
Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali
mereka menjumpai rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal
lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun melewati daerah
hutan yang tak kalah liarnya dengan yang ditempuh kemarin,
tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah lebih dari
setengah hari ia berjalan, sama-sekali tak terasa lelah olehnya,
haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah tamasya,
diantara kehijauan ladang serta keindahan taman. Gemerisik daun
kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdunya.
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya
menjadi sedemikian bening dan cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika
malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang
cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu
dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan
Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 88
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang
terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri, segera
perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi. Maka
pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar menempuh
perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.
Demikianlah, ketika matahari telah miring ke barat, hutan
Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis. Pepohonan
tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara
itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah
lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang,
ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan
hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang
tidak begitu berarti.
“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada
dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di
depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur aduk di
otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya
setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu ke mana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya
yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan hatinya.
Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis. Katanya,
“Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-
kira kakekmu tinggal?”
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia samasekali
tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar,
bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 88
Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi agak berbimbang
pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini.
Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak
perubahan.
“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku
samasekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan
daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan
adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang.
Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi
oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis.
Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau bayangkan
itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan itu
berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah
ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba
mencarinya.”
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan
hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi
suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui
kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-
menerus menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis,
Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu ia mencoba
menghiburnya. “Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih
mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang.
Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau
pulang ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang
diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut sekali
ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata.
Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia
merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah mengalami
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 88
suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu
pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu
juga ia menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus
dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa
sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya. Karena
itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak
menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka
terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah
menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat
pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit.
Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya. “Rara Wilis, aku
telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru
akibatnya adalah sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku
menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali
ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya duduk di rumput-
rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesan-tetesan
airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-
kata yang tersekat-sekat. “Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa
aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik hati
seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan
terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal
Tuan …, bahwa kalau aku tak dapat menemukan kakekku, aku tak
dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong
orang yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang
keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang
menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan
yang sedemikian berbahayanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 88
“Rara Wilis,” tanyanya kemudian, “Aku bukanlah ingin terlalu
banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah
seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan
tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu
rahasia.” Matanya yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa
Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus
dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas
rumput-rumput liar.
“Tuan,” Rara Wilis mulai dengan ceritanya, ”Ayahku adalah
seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan
Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku
mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia
digolongkan orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang
yang miskin. Kakekku semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul,
tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang
sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak
mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek
yang merasa kehidupannya semakin hari semakin sulit, terpaksa
pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun
kakek adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh
kehidupannya yang sulit, sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu
pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk
beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak
kembali pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku, apabila
kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi.
Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku.
Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir
ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai
itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah
seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti
lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami
banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 88
Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi
pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu.
Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak
diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan beberapa pendekar
ternama di daerah kami.” Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya
tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-
peristiwa yang pernah berlaku.
“Tuan….” sambungnya beberapa saat kemudian. “Keanehan
perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada
tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar
seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-
kadang ia menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang
wanita.
Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah
memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab ternyata
hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin
rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di
dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan
perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat
memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku
sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati
laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan
perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal
itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga
menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih
daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun
kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum
minuman keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah
menjadi semakin jauh pula.
Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga
sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada
pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat memelukku
dan menangisi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 88
Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain pada
suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu
adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-
sebabnya, mereka bertempur melawan ayahku serta perempuan
pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan
dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun
ayah dan perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi
perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat
lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang
dapur rumah kami.
Akhirnya …, bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan
pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan
pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak
jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan
pendatang itu, dan tidak pernah kembali.
Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak
terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik
sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap
manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu
berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku.
Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta
membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis, “beberapa tahun
kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi.
Ibuku sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah
sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati. Ternak kami
yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung
arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-
gulung menghantam tebing-tebing kehidupan ibuku. Maka setelah
beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup
mata, serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin
itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah keturunan Ki
Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi samasekali bukan Ki Ageng
Pandan Alas dari Wanasaba.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 88
Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat hidup
tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat
warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi
hidupku yang kering.” Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan
sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan
penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang
mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya,
mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta
serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka
kembali ke kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam
suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya
merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun
ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik
itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia
berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan
perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang
masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-
punggung bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan
gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang tiada
habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat
melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak
dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan
gadisnya serta hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak
tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya untuk
berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih
mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 88
Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan.
Mereka hampir tidak pernah menemui rintangan-rintangan yang
berarti.
Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa Jenar
berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan tajamnya,
dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu
berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis terkejut bercampur
heran melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari
dan ikut serta mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat
sesuatu. Karena itu dengan herannya ia bertanya, “Tuan, adakah
Tuan melihat sesuatu? “
“Rara Wilis …. Lihat rumput-rumput ini,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar
itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak melihat sesuatu.
“Ada apa dengan rumput-rumput itu?” tanyanya.
“Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di
tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga di sebelah sana dan
sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang tanahnya agak
gembur ini.”
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia
berteriak menebak. “Telapak kaki manusia …?”
”Ya,” sahut Mahesa Jenar. ’Telapak kaki yang masih agak baru.
Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini. Mungkin ia adalah
penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin....” Mahesa Jenar tidak
melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap
kelanjutannya.
”Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang
sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita” katanya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak. Otaknya bekerja
keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira yang
meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu. Menurut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 88
pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat,
Jaka Soka, Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam
ia membandingkan telapak kaki itu dengan telapak kakinya sendiri.
Ternyata telapak kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya,
pastilah orang itu adalah orang yang gemuk sekali, atau orang
yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam
benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling
dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya kembali ke
Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka. Dan tidaklah
mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai
dengan arah jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin
menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab, ”Tidaklah
begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan.”
Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup
cerdas, karena itu ia menjawab, “Kalau Tuan sampai menganggap
perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang
sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah
menebak-nebak.”
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan
segala sesuatu yang berkecamuk di dalam otaknya. Rara Wilis pun
sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan untuk
mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan
setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka membelok ke
arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke arah
pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah
itu terdapat mata air, atau tempat yang aman untuk bermalam,
atau sukurlah kalau didiami orang.
Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga ditinggali
manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata air yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 88
mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah telaga
yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala.
Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir gelapnya
malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan
bumi.
Mehesa Jenar pun segera mengadakan persiapan untuk
bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan Mahesa
Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa
Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar
bekas kaki Pasingsingan, pastilah ia tidak sengaja akan
menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila
dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan jejak sedemikian
jelasnya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap waspada.
Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat, berbaring di atas tikar
yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang Mahesa Jenar
sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di
sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang
remaja menghiasi langit diantara taburan bintang-bintang.
Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus
dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.
Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus
keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan yang
mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting
ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya.
Dengan demikian jantungnya berdesir cepat tanpa sesadar.
Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan
bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan
seorang yang menurut pendapatnya memiliki kecantikan yang
sempurna, yaitu Nyai Wirasaba. Tetapi tidaklah pernah ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 88
merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada
malam itu. Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang
terbaring seperti sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya,
tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak
dibelai angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia
biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang membayangkan suatu
rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa
Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih
dari seorang perantau yang akan menjelajahi desa demi desa,
hutan demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu,
maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala
perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya terhadap gadis cantik
itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari
tubuh Rara Wilis, dan segera dilemparkan kembali ke arah bayang-
bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak,
seolah-olah sedang mengganggunya.
Sedang angin malam yang berdesir di dedaunan masih saja
menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan
ringkik kuda liar yang terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing
hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting
kembali ke dalam suasana yang kini sedang dihadapi. Suatu
daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan.
Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di
sekelilingnya dengan saksama. Sebagai seorang yang mempunyai
pengalaman yang luas, Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat,
bahwa ada sesuatu yang mencurigakan. Mendadak telinganya
yang tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi
Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa seseorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 88
datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah orang yang
mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta
pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik. Karena itu
sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang
itu datang. Tetapi ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa.
Ia ingin mengetahui lebih dahulu, apakah kira-kira maksud orang
itu mengintainya. Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta
bersikap seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan
yang demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta
suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada jarak
tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru
mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu
mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu
tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja. Hal
yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang
lebih besar. Karena itu segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan
beberapa loncatan saja ia sudah berdiri di samping orang yang
mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui
kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Karena itu
tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan demikian ia
menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali
mendahului menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya,
dan dengan sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut
pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai
pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 88
Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa
Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga orang asing itu.
Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya, segera
Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke
samping. Dengan demikian
golok yang tak mengenai
sasarannya itu terayun deras
sekali, sehingga oran gyang
memegangnya agak kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan
yang demikian Mahesa Jenar
segera meloncat maju dan
menangkap pergelangan
tangan orang itu, langsung
diputarnya ke belakang.
Dengan sekali dorong, orang itu
telah jatuh tertelungkup dan
tidak dapat bergerak lagi,
kecuali berdesis menahan sakit.
“Kau siapa?” tanya Mahesa
Jenar geram. Tetapi orang itu
tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar mengulangi
pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi jengkel
dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar
tangan yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu
mengaduh kesakitan.
“Kalau kau tidak menjawab,” desak Mahesa Jenar, ”Tanganmu
akan aku patahkan,”
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan
sehingga dengan terpaksa menjawab, “Aku adalah Sagotra.”
“Apa maksudmu mengintai kami? “ desak Mahesa Jenar lebih
lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar menjadi
semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 88
sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula. “Jawablah! Atau
tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram.
“Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak
lagi,” jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya
betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu. “Keadaanku
sudah pasti,” sambungny, ”Berkata atau tidak berkata, aku akan
menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan
menggenggam rahasia.”
Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu,
sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk mendapat
keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik. Maka
setelah mendapat suatu cara ia berkata, “Baiklah, kalau kau tidak
mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah
tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau
pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat
Ngangrang Salaka…? “
Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka,
tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup
hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah
sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya.
Binatang apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti
hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat sarang di bawah
pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah
10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak
terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya
yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai
akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, “Kalau
kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan
dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku
patahkan dulu supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai
mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan
tangan orang itu. Tetapi segera pula menangkap kaki dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 88
melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan pada lipatan lutut
kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap mematahkan
pergelangan kaki kanan orang itu. “Jangan…, jangan…!” teriak
orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku
jangan kau siksa di sarang semut Salaka”
“Itu adalah urusanku.” jawab Mahesa Jenar seenak-
nya, ”Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya
membunuhmu.”
Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan
ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak,
“Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.”
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah
berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya
tidak takut menghadapi segala macam bahaya.”
“Aku samasekali tidak takut mati.” teriak orang itu, ”Tetapi
cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan
aku dan biarlah aku bunuh diri”.
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi
keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya,
”Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih
jalan kematian.”
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi
pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar
menekan pergelangan kakinya ia berteriak, ”Baiklah aku berkata
asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.”
”Baiklah….” jawab Mahesa Jenar, ”berkatalah.” Lalu
dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu
langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu
ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang
dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 88
untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai
Mahesa Jenar menegurnya, ”Duduklah dan berkatalah.”
Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar.
Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang
yang menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir
tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya.
Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah
seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat
di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang
samasekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan.
Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya,
pastilah ia tidak bersikap sedemikian lunak. Mungkin ia sudah
diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu dibantingnya ke
tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau
mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai
berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin
orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang dilakukannya
itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan.
Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri.
Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.
“Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih dari itu
tidak.”
Sagotra samasekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar.
Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh berkurang.
Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa Jenar
bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi
malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk
melakukan tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja.
Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang
mempunyai sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata
pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 88
kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali,
yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia
yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta
betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan
mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha
Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra
hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat
hanyalah berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka
yang tidak mentaati peraturan.
“Tuan,” katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama
Rangga Tohjaya?”
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
“Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya.
Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya,
“Sekarang aku sudah kau ketemukan.”
“Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan
jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh dapat
melihat kedatanganku.”
“Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau
temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?”
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, “Memang,
aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan.
Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa
untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang
tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.”
“Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa
Jenar kemudian.
Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama
gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan baginya.
Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang samasekali tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 88
memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.
Meski dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, “Tuan,
sebenarnya aku samasekali tidak berani menyebut nama
gerombolanku, sebab aku tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan
yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun demikian, karena
sikap Tuan yang tak pernah aku temui dalam gerombolan kami,
menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan mempunyai
kepribadian lain daripada orang-orang kami.” Orang itu berhenti
sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu
sambungnya, “Tuan… kami adalah gerombolan Lawa Ijo.”
Pengakuan itu samasekali tidak mengejutkan hati Mahesa
Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa kemungkinan
terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo atas perintah
Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang
mengagumkan.
“Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar
gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?”
“Benar, Tuan.” Jawab Sagotra, ”Tetapi meskipun demikian,
kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami. Sedang orang lain
yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara
meninggalkan sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan
anggota inti di bawah pimpinan Wadas Gunung, saudara muda
seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk setiap saat
bertindak.”
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat
kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan juga merupakan
saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia
bertanya, ”Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?”
“Ya, pastilah aku kenal.” jawab Sagotra, ”Ia adalah saudara
kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara seperguruan
Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki
Pasingsingan, bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 88
sedang mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu
pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas Gunung
sendiri sedang mencari Tuan.”
Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa
Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang mencarinya. Sementara
itu Sagotra melanjutkan, “Tetapi anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki
Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum pernah terjadi.
Kami telah mendapat petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu
tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini
menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata
perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain
menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk menjebak
Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari
Tuan.”
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan
penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, “Kapankah Pasingsingan
sampai ke sarang gerombolanmu? “
“Kemarin lusa, “ jawab Sagotra.
“Kemarin lusa?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit
baginya untuk membayangkan kecepatan berjalan Pasingsingan.
Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki yang masih tampak
baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi bertambah
heran lagi. Sampai kemudian ia bertanya, “Adakah orang lain yang
kau temui lewat jalan yang seharusnya aku lalui?”
“Tidak Tuan, tidak ada.” Jawab sagotra, ”Kalau ada, pastilah
orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu kami sangka Tuan,
karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah
Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki
Pasingsingan.”
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Adakah pihak ketiga
yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya mengambil jalan
lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai sekian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 88
lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya
kemungkinan yang membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah
Ki Ageng Pandan Alas.
Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka
melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang di udara.
Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera Mahesa
Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang
bersiap menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan
mereka itu.
“Sagotra....” kata Mahesa Jenar kemudian. “Kawan-
kawanmukah yang menyalakan api itu? “
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang
mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan. Lalu
jawabnya, “Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka
menghadang Tuan tidak di arah itu.”
“Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api
itu?”
Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab,
“Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak kurang waras,
yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini.”
“Satu-satunya?” sahut Mahesa Jenar agak terkejut. “Jadi di
daerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua itu?”
Sagotra menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan.” katanya
kemudian, ”Memang daerah ini sekarang samasekali kosong,
kecuali seorang itu”
”Sagotra,” Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih
banyak, ”beberapa tahun yang lalu, aku pernah menempuh
perjalanan melewati daerah ini. Di sini banyak aku ketemukan
perkampungan-perkampungan yang dilingkungi oleh sawah serta
ladang. Tetapi, sekarang aku samasekali tidak lagi melihat sebuah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 88
desa pun di sini. Bahkan seperti yang kau katakan bahwa di sini
tidak lagi ditinggali manusia kecuali seorang itu saja.”
”Benar Tuan,” jawab Sagotra, ”Beberapa tahun yang lalu
memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai. Tetapi,
sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah ini menjadi
daerah yang paling banyak mengalami keributan. Penjahat-
penjahat kecil yang mula-mula samasekali tidak berani melakukan
kegiatannya di wilayah ini, seolah-olah mendapat kesempatan
untuk berbuat sekehendaknya tanpa ada pengekangan. Pada saat
Lawa Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini merupakan salah
satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan kami, yang
secara teratur harus menyerahkan semacam pajak. Tetapi, di
samping itu daerah ini mendapatkan perlindungan langsung dari
gerombolan kami, sehingga tak adalah gerombolan lain yang
berani mengganggunya. Baru setelah itu, setelah Lawa Ijo
melepaskan wajib pajak bagi penduduk di daerah ini, serta sejalan
dengan pembekuan gerombolan kami untuk sementara, maka
penduduk di daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri dari
keganasan gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua
penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi
mengungsi. Kecuali satu orang itu”
“Kenapa orang itu tidak pergi?” tanya Mahesa Jenar
seterusnya. “Tidakkah dia takut menghadapi keganasan
gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian hebatnya
sehingga tak seorang pun berani mengganggunya…?”
” Tidak, Tuan....” sahut Sagotra, ”Ia samasekali tidak memiliki
kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah datang mengunjunginya.
Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang
waras. Ia merasa bahwa ia samasekali tidak mempunyai milik,
sehingga menurut perhitungannya tidak akan ada orang yang
datang mengganggunya, “.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 88
Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan
saksama. Ia mulai menghubung hubungkan keterangan itu dengan
kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki Santanu…?
“Siapakah nama orang tua itu?” tanya Mahesa Jenar tiba-tiba.
Sagotra menggelengkan kepalanya, ”Tak ada orang yang
mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah menanyakan
kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa
diperuntukkannya saja.”
“Ya, siapa panggilan itu?” desak Mahesa Jenar
“Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi.”
“Ardi? “ulang Mahesa Jenar.
Sagotra mengangguk.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi
dapat berarti Gunung. Sedang kakek Rara Wilis pun berasal dari
daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia berkenalan
dengan orang tua itu?
“Sagotra....” katanya kemudian, “Dapatkah kau menunjukkan
jalan ke rumah Ki Ardi itu?”
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak
kebingungan. Tentang dirinya sendiri, ia belum mendapat
penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru,
mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi
sesudah itu lalu bagaimana? Mestikah ia harus bunuh diri, atau
Mahesa Jenar akan membunuhnya…? Serta bagaimanakah kalau
ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang mencari
Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta sedikit
banyak menangkap perasaannya. Tetapi, disamping itu mendadak
timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana
dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 88
soalnya akan berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan
semuanya kepada Wadas Gunung dengan keduapuluh kawannya.
Dan ini berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan
untuk membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya.
Sebab orang seperti Sagotra bukanlah seorang yang pantas untuk
menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih
dari seorang pesuruh. Karena itu kemungkinan satu-satunya
adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai keadaan terasa
aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar
segera mengambil keputusan, katanya, “Sagotra, barangkali kau
segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke
rumah Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau
berbaik hati kepadaku. Tetapi ketahuilah Sagotra, aku terpaksa
memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi
keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera
melepaskanmu. Lalu sesudah itu aku dapat menyelamatkan diriku
secepat-cepatnya. Tetapi sekarang aku sedang melindungi
seorang gadis. Karena itu, janganlah membantah perintahku.
Janganlah kau takut, bahwa sesudah semuanya selesai aku akan
membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah alat yang
tak perlu dirusak. “
Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah
seorang dari rombongannya, hati Sagotra pasti tidak akan banyak
terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang demikian
itu samasekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta kawan-kawan
segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada
hari ini, serta lawan yang harus dibinasakan hari esok.
Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang yang
baru saja dikenalnya, bahkan yang telah diserangnya dengan
sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu masih
berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat
menyaksikan matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini
mempunyai kesan yang jauh berlainan dengan segala pujian, janji
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 88
dan segala macam yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin
rombongannya.
Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar,
Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai
mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa kanak-
kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam
kelam, baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai
meneteskan air mata. Bukan saja karena ia terlepas dari terkaman
maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali dialami. Dalam
segala kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak
tangkapan-tangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi
ia tidak pernah merasa terharu samasekali mengalami peristiwa-
peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya adalah dendam
yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.
Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh
keheranan. Ia tidak dapat menangkap seluruh perasaan yang
bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat
menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta
berkulit hitam mengkilap, tetapi menangis tersedu-sedu. Karena
itu katanya, “Sagotra, agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang
laki-laki macam kau yang dengan sikap jantan berani menentang
maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak.“
“Tuan….” jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, “Tak
pernah selama hidupku merasakan sesuatu yang demikian
mengharukan seperti kali ini. Ternyata bukanlah kekerasan melulu
yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan ini. Meskipun Tuan bermodalkan kekuatan yang tiada
taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas
diriku. Seandainya Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam
kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan menyerang
Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-
laki sejati. Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan
Tuan. Juga seandainya Tuan ingin menyaksikan aku mati di sarang
semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 88
Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata Sagotra.
Tetapi meskipun demikian, ia tetap berhati-hati. Sebab kata-kata
itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup mempunyai
ikatan yang sempurna. Tidak mustahil bahwa cara-cara yang
demikian sering dilakukan untuk mengurangi kewaspadaan lawan.
Hanya karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa
Jenar pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak
kemudian mereka saling berdiam diri, hanyut oleh arus perasaan
masing-masing.
Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun tampak
semakin terang. Angin malam pun terasa demikian dingin
menggigit tulang.
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar kemudian memecahkan
kediaman mereka, ”marilah kita pergi,“.
“Mari Tuan,” jawab Sagotra.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang
ke arah Rara Wilis berbaring.
“Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? “ desis Mahesa
Jenar.
“Atau kita menunggu sampai besok, “ sahut Sagotra.
“Tidakkah ada bahayanya?” jawab Mahesa Jenar, ”Apakah
tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke tempat ini?
Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan.”
Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali
salah seorang dari kawannya datang pula ke tempat ini meskipun
mula-mula mereka berpencaran.
“Jadi bagaimana pendapat Tuan?” tanya Sagotra lagi.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir,
bagaimana sebaiknya. Kalau pada saat itu ia langsung bersama-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 88
sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada kemungkinan
orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?
“Sagotra,” katanya, ”tidakkah kawan-kawanmu juga akan
pergi ke arah api itu?”
“Aku kira tidak, Tuan...” jawab Sagotra, ”Pasti mereka tahu
bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi.”
”Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana akan
dapat mereka temukan kami, yang dapat diperhitungkan, bahwa
kami akan pergi ke arah api itu.”
Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa
kawan-kawannya mempunyai perhitungan yang demikian. Jadi
bagaimanakah sebaiknya…?
Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah
mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20
orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra yang merupakan
salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat
menemukan, bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk
menghindari kawan-kawannya.
“Tuan…” akhirnya Sagotra bertanya, “Adakah sesuatu
kepentingan Tuan dengan orang itu?”
Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak
menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan dapat
mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada
hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia
mendapat jawaban bahwa orang itu bernama Ki Ageng Pandan
Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa
kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu. Karena itu
segera ia menjawab, “Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke
daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama
Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku
akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 88
pernah tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang
bernama Ki Santanu itu.”
Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba
mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini.
Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula
dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi
nama Santanu belum pernah dikenalnya.
“Tuan,” jawab Sagotra, ”Barangkali aku dapat mengenal
semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki Ardi.
Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya
ia mempunyai sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat
mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?”
Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, “Aku
sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis
itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah kita
tengok ia, barangkali sudah bangun.”
Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di
belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah sesuatu yang
mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke arah
tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi
terbaring diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali.
Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah
yang berbahaya serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah
terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya.
Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk
menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi
tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan
angin, serta tak ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu,
serta tarikan nafas Sagotra.
Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki
ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 88
demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu. Pada
saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat
menguasai pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi
suatu peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis
dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk
perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-
tiba Mahesa Jenar berlari kesana kemari sambil memanggil-
manggil nama Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa Jenar yang
demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas, sehingga
terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang
yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya
merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi
pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu.
Dan memang demikianlah kiranya. Mahesa Jenar mencoba
mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya
terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut
di hatinya sedemikian eratnya.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian
dari jiwanya sendiri.
Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-
manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang menyambutnya.
Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis telah
lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta
giginya gemeretak. Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja
yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan amarahnya. Dalam
keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar
menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya,
disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta diangkatnya
tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri
disamping sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram
hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan
garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa hebatnya Lawa
Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 88
Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia
menyaksikan Lawa Ijo terluka parah, samasekali ia tidak percaya,
bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan tangan saja. Ia
menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti
mempergunakan senjata rahasia atau sebangsanya. Tetapi
sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri,
akibat dari pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu
tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan itu
dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih
dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya,
bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab
kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali.
Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya
ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit yang
mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan
yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang
lagi, tetapi sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar.
Andaikata itu bisa terjadi, pastilah lebih dari separo diantaranya
sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi, belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba
matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin gemetar lagi, serta
peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat itu,
Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya,
mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang
itu, sambil menggeram, “Setan, rupanya kau telah memancing aku
untuk menjauhi Wilis.“
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah
terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar
dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia tahu
betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa
Jenar bertindak diluar kesadarannya.
Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi
merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya
yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin menekan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 88
Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa
Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya, sampai akhirnya
ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena hal yang
samasekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa
harapan untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan
menjadi tenang. Maka dengan susah payah ia berkata, “Tuan, aku
tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan
jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali.
Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru kematianku disebabkan
oleh suatu hal yang samasekali tak kumengerti. Sebab aku
samasekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka,
kalau Tuan benar-benar akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai
salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin
mencelakakan Tuan“
Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus
asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika
Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar,
jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-
asaan dan kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi
seperti mata kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.
Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari
kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya
dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan tangannya
pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya
dilepaskanlah leher Sagotra itu samasekali.
“Maafkanlah aku,” Sagotra, bisik Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat
sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat ditahannya.
“Sagotra….” kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang
bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan,
“Benarkah kau tidak berbuat itu?“
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 88
“Tuan,” jawab Sagotra, ”Memang aku dapat memahami
tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku
samasekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu.
Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku
di luar rencana semula.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat
mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu
dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka
sekalipun, ia pasti akan dapat menangkap suara ataupun gerak
dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra ia samasekali
tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak
mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya.
Karena itu ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh seseorang
yang memiliki kehebatan luar biasa pula. Tiba-tiba bulu
tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya
Pasingsingan bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar
yang masih terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat
bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat,
bahwa dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng
Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi alangkah terkejut
serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula.
Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk
lemas diatas tikar Rara Wilis.
Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk
pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi samasekali ia
tidak berani menegurnya.
Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa
Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang mengiringi
ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja
ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah
terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka yang
dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan
perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah
dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang digenggamnya telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 88
dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus
yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang
bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula
sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar
berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa
Jenar mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh
seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut
Pandan Alas. Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun
bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala penjuru.
Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan
pasti arah suara itu. Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya
sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan pancainderanya
untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai
ke telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang
bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.
Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga
rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga kemampuan
Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian,
setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti
orang bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara
yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.
Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah
suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan kemudian menyusup
gerumbul menuju arah barat.
Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa
Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu
Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti
Mahesa Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang
bermain kejar-kejaran.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul
kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat keatas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 88
gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap
gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau
sampai ada orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai
terlepas dari pengawasannya
yang seakan-akan mempunyai
kelebihan dibanding mata orang
biasa.
Tetapi sampai beberapa
saat, samasekali ia tidak melihat
suatu apapun. Sedang suara
Dandanggula itupun telah
berhenti.
Sementara itu, bulan pun
telah rendah sekali, hampir
sampai ke garis cakrawala,
sehingga malam menjadi
semakin kelam. Mahesa Jenar
menjadi semakin mengeluh
dalam hati. Dirasanya betapa
picik pengetahuan serta rendah
ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan seperti ini
samasekali ia tidak berdaya.
Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang
dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal
datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi tokoh-
tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih
dari seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.
Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar memandangi bulan yang
masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki langit.
Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.
Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat
di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 88
Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang berada
di tempat terbuka. Dalam keremangan bulan yang masih
memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar dapat
melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan
perempuan. Ia hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara
Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak bertubuh
kurus tinggi.
Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi
ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan itu, tiba-tiba
ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan
tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan
selamat tinggal.
Terasa ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa
Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit, ketika ia
melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang
tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu
Dandanggula yang baru saja didengarnya, segera teringat pulalah
ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki
itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang
tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah Mahesa
Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan
pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama
Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan Alas. Maka dengan sedih serta
hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat
tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan
lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya.
Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala
tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa
betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.
Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi,
sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara Wilis yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 88
terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan
Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama
gadis cantik itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang
hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya,
sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para
pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus
berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo. Juga terbayang
dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara
Wilis seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan
tamasya yang tak akan terlupakan. Juga pada saat terakhir dimana
ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena
lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta
rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.
III
Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup
mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera
melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras
ia berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang
di hatinya.
Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar,
dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun
selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh,
merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah
merasakan tali batin yang pernah menjeratnya.
Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa
Jenar samasekali tak berbuat apa-apa ketika ia menyaksikan
bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang hampir
tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang
membawa Rara Wilis itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar
sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun dengan agak
ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, “Tuan, kenapa Tuan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 88
tidak bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan
Tuan?”
Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia
mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta
menjawabnya, “Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga
tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.“
“Siapakah orang itu, Tuan?” tanya Sagotra ingin tahu.
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang Sagotra terkejut. “Jadi dialah
orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki
Pasingsingan? “
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan
penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah
sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa
diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.
“Kenapa Rara Wilis ia ambil?” tanyanya lebih lanjut. “Adakah
hubungan antara mereka? “
“Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi yang
aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”
“Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas,” potong Sagotra.
“Ya,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi Rara Wilis mengatakan,
bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.”
Dan tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar
teringat pada nama yang disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi
ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di sana
bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali
keinginannya untuk bertemu dengan orang itu. Sebab darinya ia
ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang yang
pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra,
“Sagotra, marilah antarkan aku kepada Ki Ardi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 88
“Masih adakah gunanya?” sahut Sagotra.
“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,” jawab
Mahesa Jenar.
Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri
serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah
selatan menuju rumah Ki Ardi.
Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-
bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam.
Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang
tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah ini, berjalan di
depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak mengerti
tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang
tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.
Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati
arah api yang masih menyala-nyala.
Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati
padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil yang
berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit kapur
yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung
menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih
berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan tempat
kediaman Ki Ardi, serta Ki Ardi sendiri yang pada saat itu sedang
berada disamping api yang menyala nyala, sedang memahat
sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari
sebuah goa di bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke batu
besar yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamat-
amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu yang
besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang
tampaknya sedang marah. Kepalanya menengadah ke atas, serta
mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang runcing
mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor
naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 88
depan ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak
kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring
harimau itu tampak tajam menakutkan.
Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-
pahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di kota-
kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula
dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya.
Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu dapat
mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu
sejelas-jelasnya. Mereka yang menangkap pahatan itu segera
akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah sebentar lagi akan
terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua
ekor harimau yang ganas.
Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah
mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal
betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat
itu tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur
melawan dua ekor harimau. Tidak nampak olehnya mata naga itu
sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau itu
telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak
jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris demi
baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu, mendadak
ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya
ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula.
Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak
pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak
lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia
menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka
Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 88
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi
ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-
tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa
Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya
yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang
hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya
berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya
melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk
keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa
Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan
pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap
dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah didengarnya pula dari
Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua
keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-
masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum
dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-
benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari
perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi
tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau
malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang
juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar
keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam
pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba
Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari
yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di
kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung
Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam
usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau
demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa
di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja
Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar sekali.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 88
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas
sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima
Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan
Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari
dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah
ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena
itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam
keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak,
maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan
untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja
ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-
duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi
pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk
memberi keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran,
segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan
tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang
dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit
Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta
tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar
memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat
mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya,
perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah
pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-
kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa
Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan
keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi
terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian
bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga
nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 88
dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa
Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas,
sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin
cepat. Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia samasekali
tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan
jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan
batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat
mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi
melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki
Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra samasekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan
Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti
patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa
Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata,
”Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.”
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata
keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada.
Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang
yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan
sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan
kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras.
Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja
yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar
kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar,
bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua
itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia
sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau
menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang
lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata,
”Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 88
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak
dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, “Tuan, apakah salahku
sehingga Tuan menyakiti aku?”
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh
penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, “Bapak,
samasekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat
kesalahan terhadap Bapak.”
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah
cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali
Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat
menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan
Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng
Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng
Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah
luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat
melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk,
hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh
yang kendor dan samasekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa
saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara
Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi.
Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan
baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya, “Bapak…,
yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui
pahatan yang sedang Bapak buat itu.”
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar,
jawabnya, “Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah
berbuat kesalahan terhadap tuan?”
“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, ” Tetapi
bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? “
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 88
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang
lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan
menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati
dengan seksama. Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya
menjadi cerah. “Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi
tuan tanyakan?”
“Pahatan itu....” Mahesa Jenar menjawab, ”Apakah yang
sedang Bapak pahat?”
“Tidakkah Tuan tahu…” kata orang tua itu sambil mendekati
pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu
dengan mesra. “Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan,
apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”
“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat
“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.
“Maksudku,” jawab Mahesa Jenar. ”apakah yang Bapak
lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang
pernah Bapak lihat sebelumnya?”
Orang tua itu semakin heran, tanyanya, “Adakah Tuan pernah
melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan
tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama
dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah
kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai
sedemikian dekatnya dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian
itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau malahan salinan
sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena
tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja
merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
“Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu
bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor
naga yang sedemikian?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 88
Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak
kemudian ia tersenyum. “Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat
seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil
yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah
mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut
gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya
bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
“Tuan....” katanya kemudian, “Silakan Tuan berdua duduk.
Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab
tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan
mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan
ini.”
Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan
kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil
tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya
gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh
dahan-dahan yang sedang dimakan api.
IV
“Tuan,” Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. “Naga ini
menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda
tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya
aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari
dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan
satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka
bertemu dan bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu
adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di
leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu
hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa
disusahkan oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh cinta kepada
seorang yang samasekali tak dikehendaki oleh ayahandanya.
Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 88
laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa
bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada
yang berani mengganggunya.
Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua
ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir
laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu
menyanggupinya.
Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu.
Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan
dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan
kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang
maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai
kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir
di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya,
sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur
api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan
permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun.
Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata
itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata
tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia
terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam
samodra itu tidak membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan
dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak
seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di
lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di
udara. Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi
gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela
oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut
naga bersisik emas itu.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40
malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 88
Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali
waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa”
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia
berjalan mundur menjauhi pahatannya.
Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya
berkerut. Katanya, “Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata
tuan tentang ini?”
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan
pahatan itu menjawab, “Bagus, Ki Ardi.“
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, “Baru sekarang
aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah
seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak
pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang
sering berkeliaran di daerah ini, samasekali tidak dapat menikmati
hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung
untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab
sekenanya saja, “Bagus, Ki Ardi.“
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra.
“Apa yang bagus?“
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi
ia tidak mau kalah. “Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan
emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin
umurmu tidak lebih dari malam ini.”
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh, lanjutnya, “Pastilah
itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah
aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati
ditelan nagaku ini.”
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. “Orang tua gila. Kalau
kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 88
pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu
itu sebenarnya sangatlah jelek”
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul
dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain.
Katanya kemudian, “Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai
pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan
mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan
pendapatmu“
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di
situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia
berkata terus, “Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu
daripada menyaksikan pahatanmu itu.“
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi
aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap,
sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban,
akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, “Ki Ardi aku dan Sagotra
secara kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah
berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan,
“Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh
Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas
terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini”
“Ki Ardi,” potong Sagotra tidak senang, ”Jangan kau membual.
Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik.”
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras,
Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya
membetulkan, “Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 88
hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja
ceriteraku.”
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa
Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia
melanjutkan ceriteranya. “Kedua ekor naga itu, yang telah
berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya.
Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh
penduduk bumi menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk
mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi di seluruh
permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi
itu pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari
selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri
itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia
tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa
menunggu saja akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat
antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga
yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut
timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan
yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar
guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang
ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah
gelisah pula.
Maka pada hari yang ke-101, dengan tidak disangka-sangka
menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke hadapan
raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilat-
kilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada
raja, ”Paduka yang memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah
hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta diperkenankan
membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur
melawan laki-laki yang berasal dari bintang kemukus.”
Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan
senang hati, naga itu langsung menuju ke medan pertempuran
yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 88
menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba
saja pertempuran itu berhenti sejenak.
Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang
bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang bersisik
emas, ”Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan
tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?”
Naga itu menjawab, ”Saudaraku, aku datang untuk
membantumu.”
Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak
senang. Lalu katanya, ”Saudaraku hanyalah mereka yang dapat
menunjukkan tanda kebesarannya.”
Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah
lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya pula. ”Kau yang
mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta dalam permainan
ini…?”
Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya,
”Terserahlah kata-kata kalian atas diriku. Tetapi aku ingin
menunjukkan pengabdianku.”
”Kalau demikian” kata naga bersisik emas, ”Kerjakanlah itu
sendiri.”
Ya,” sahut naga yang bersalutkan intan, ”Kerjakanlah itu
sendiri.”
”Baiklah,” jawab naga yang kehitam-hitaman, ”Silakan kalian
beristirahat.”
Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-
laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti. Maka tanpa
mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam
itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi
apa yang disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu
melingkar cepat sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 88
kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara
menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung
sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu
terkejut menyaksikan hal yang
demikian. Tetapi ia pun tidak
kurang saktinya. Segera kedua
tangannya itu bergerak
menangkap guruh yang sedang
berkeliaran di langit. Maka
dengan sekuat tenaga, guruh
itu pun dihantamkan ke kepala
lawannya. Naga itu melihat
guruh yang dengan suara
gemuruh mengarah ke
kepalanya, segera
menyemburkan angin kencang
dari mulutnya, sehingga guruh
itu pun terlontar kembali ke
arah laki-laki bintang itu. Hanya
karena kecepatannya
menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri.
Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang
merasa dirinya tak terkalahkan itu menjadi marah sekali.
Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang
terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah
pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan
menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir
menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi
terbakar. Lautan mendidih serta gunung-gunung terlempar
berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu
telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk
dijadikan senjata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 88
Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi
itu. Pada hari yang ketujuh, pertempuran itu bertambah seru dan
cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami perkelahian
100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi
tenaganya masih tetap segar. Sekarang ia baru tujuh hari
bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai
sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa
tenaganya telah mulai kendor. Ia telah mencoba mengerahkan
segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu
ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya
yang kokoh kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga
menimbulkan angin putaran yang luar biasa. Baik di darat maupun
di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan
terlempar bertebaran. Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal.
Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala,
sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas,
terpaksa naga itu dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah
suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu lingkaran api
berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah naga itu
menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung menghantam
lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka
segera ia menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun
api-api itu pun menyusulnya ke dasar samodra, dengan api masih
tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya.
Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara.
Naga itu juga tetap mengejarnya.
Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di
belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki bintang kemukus itu
merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga hitam yang
dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada
api yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih
berbahaya dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang
berbalut intan permata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 88
Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera
laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan akhirnya
lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan
cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu
bintang kemukus.
Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu
merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia turun kembali ke
bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan berbalut
intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah
kiranya kedua naga itu mengaku sebagai saudara.
Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua
ekor naga itu sudah tidak ada lagi.
Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi
untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga itu sudah
mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu
selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah
hampir pulih kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan.
Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang
menyebut-nyebutnya sebagai pahlawan yang berhasil mengusir
laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah
berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab
ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian
semata.
Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia
melihat upacara penyambutan yang luar biasa. Ia bahkan menjadi
malu dan kaku.
Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama
ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik emas dan
berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga
Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi
di luar pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya,
menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 88
bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah
menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan
berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka merasa
malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir
laki-laki dari bintang itu.
Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia
meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia sedang
berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh
kebesaran.
Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua
yang indah sekali, yang berdinding emas dan bertahtakan intan
berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di
rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa
kanak-kanak.
Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang
kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.
Ki Ardi menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan
duduknya sambil kembali mengamat-amati pahatannya, seolah-
olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk pahatannya serta
isi ceriteranya.
Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar
juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian. Karena
itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan
ceriteranya, ia berkata, “Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi
rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-
mutus ceritera itu.”
Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya,
“Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan… Nah
dengarlah baik-baik.“
“Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan
untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali dengan kedua
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 88
Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya mengaku
bersalah terhadapnya.
Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia
mendengar kabar bahwa terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana
raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling bertengkar,
bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena
mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah
jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya
perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-
malu lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk
mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang
terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka.
Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan
untuk memusnahkan sekalian bangsawan dan kesatria, malahan
kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat
menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang
untuknya.
Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut
intan memang sebenarnya pergi meninggalkan kerajaan bumi
karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah dan
tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari
masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran
yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi
lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna samasekali.
Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan
kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah tanah, di
bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka
menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta
membujuk kedua ekor naga untuk berpihak kepada mereka
masing-masing. Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga
itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian yang telah ada
pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh
naga hitam yang sakti.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 88
“Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam.
Daerah yang samasekali tak dikenal.”
Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi
pahatannya. Sebentar kemudian katanya, ”Nah, pada bagian inilah
ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah kelam
itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam
legam. Ternyata kedua ekor harimau ini pun ingin dapat
menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara
kasar. Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama
dengan mereka, terjadilah suatu perselisihan. Sehingga akhirnya
pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor
harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah
mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam yang penuh rahasia
itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga
akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi
setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka untuk
mencari jalan keluar.”
Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam.
Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan suatu
rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, “Tidakkah Ki Ardi
akan mengakhiri dongeng itu?”
“Mengakhiri…?” tanya Ki Ardi, ”Bagaimana aku akan
mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian.”
“Baru sampai sekian…?” tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika
dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan kejenakaan
yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap
samasekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya,
yang sejak semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia
ini ada di dalamnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 88
Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga
masih saja ia mendesak, “Ki Ardi… katakanlah akhir dari dongeng
itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.“
Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-
tiba ia berkata sambil berdiri, “Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita
ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk sebentar.
Kawanilah Tuan ini.“
Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera
itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya. Meskipun
demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia
berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak
kemudian lenyaplah ia ditelan gelap.
Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga.
Tetapi ia samasekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja
karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia
bersiaga.
Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga
belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin bertambah.
Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan
oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang
penakut, yang selalu diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…?
Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya
yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan memanggil-manggil
Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut. Karena
tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi.
Tampaknya telah pula Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya.
Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera
Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa.
Dan sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 88
V
Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri
disamping api yang masih menyala-nyala. Bayangan-bayangan
yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang
membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil
seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini
sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu
ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi.
Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil
itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap.
Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak
dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar
yang berpandangan sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu
maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti,
sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah
hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala
kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya,
mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya
ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi
tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu
berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya
gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring. “Mahesa
Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak
bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja.
Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya,
bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 88
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang
tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa
Jenar serasa akan berhenti.
“Kalau begitu,” katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng
Pandan Alas.”
“Ya....” jawab orang itu, ”Sengaja aku bersembunyi di sini
untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan
keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda,
tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini,
Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai,
biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat
tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang
bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah
jagung itu kalau tak ada yang memetiknya”
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati
bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng
Pandan Alas mencegahnya. “Mahesa Jenar, aku masih belum
mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui
adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia
sudah berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah
ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan
ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti
kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu
kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”
“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi
dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang
lebih baik.
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan
Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa,
bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah
kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 88
pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang
setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum
juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki
Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang
kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang
terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal
dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati
Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden
Gajah pada waktu itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya,
teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang
dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat.
Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya
diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita
yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas
dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan
penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam
bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama
Kyai Condong Campur. Tetapi kedua keris itu tak dapat
menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak
mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai
Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga
menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam
kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam
kuman penyakit. Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris
itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar.
Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas
minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu.
Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh
tanggung jawab.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 88
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia
masih saja menggerutu. “Orang itu gila, dimana ia bersembunyi,
gumamnya.”
“Tuan…” katanya kepada Mahesa Jenar, “orang itu tidak ada di
dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya
tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu
sedang kambuh gilanya, rumah ini sering ditinggalkan begitu saja
sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu datang
lagi.”
“Sudahlah Sagotra,” jawab Mahesa Jenar “Janganlah kau
pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan
caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita
sendiri, masalahmu dan masalahku.”
Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga
membelitlah kembali kegelisahan hatinya.
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar melanjutkan, “Apakah kau akan
kembali kepada kawan-kawanmu?. Kalau demikian
pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat.
Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan
kepada kawan-kawanmu apakah tidak.“
Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang
dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan dan yang
mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali
ke dalam gerombolannya. Sedangkan kalau tidak lalu ke manakah
ia akan pergi ?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang
seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup dalam
sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan
kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah
itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup.
Karena itu, timbullah keinginannya untuk dapat menemukan suatu
kehidupan baru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 88
“Tuan,” katanya kemudian, “Sebenarnya aku tidak lagi
mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku.
Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang
sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai
penghidupan baru. Atau barangkali kalau tuan menghendaki, aku
dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.“
Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak
kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa canggung
untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada
selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima
Sagotra selalu bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak
boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat
menolong menemukan jalan keluar. Katanya “Sagotra, kau tidak
dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu pasti
akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan
keluar yang barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar
kau menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam
sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah
kau?”
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir
tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk menolongnya
adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu dijawabnya
kemudian “Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku
lakukan dengan sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah
katakankah tuan.”
“Sagotra,” kata Mahesa Jenar selanjutnya “Tolonglah aku
menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau
menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang
akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana kau temukan
aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan sampai di sebuah desa
di seberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu. Dari
sana kau langsung menuju ke arah timur. Lewat sebuah candi yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 88
terkenal dengan nama Candi Tara, bekas tempat pemujaan Dewi
Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan. Temuilah
Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam
keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap
kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa Pening,
dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini.”
“Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu
kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah
perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan
keluarga Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala
ketulusan serta keihlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan
baik.”
Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata
Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat
mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan
Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan
memenuhi permintaan itu sedapat-dapatnya.
Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah
diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun bersiap untuk
menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi dirinya.
Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia
termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit
dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat
Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk
menempuh perjalanan itu, maka iapun tak pula mengenal gentar.
Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung
beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit
diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai
bekal perjalanannya.
Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak
terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok pastilah beberapa
kawannya sudah mencarinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 88
Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa
sepinya tinggal seorang diri ditengah padang, dibawah sebuah
bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan
Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat
itu. Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada
tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi
karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa
terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal
seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng
Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman
jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat
sebuah blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging
hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung,
kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan
seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi
sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan
Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian
disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu
dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah
rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api
sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti
juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara.
Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka
bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak
tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 88
menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa
Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam
gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka
mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan
mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap.
Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-
kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat
dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang
yang tampaknya amatlah garang-garangnya.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar
berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang
pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa
Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar
Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau
demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas
Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan
gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak
perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan
terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan
nyaringnya. “Ardi… Ki Ardi…!”
Mahesa Jenar jadi berbimbang hati. Perlukah panggilan itu
dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa
suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam
diri saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi
lagi, teriaknya. “Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini
waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa
ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan
pergi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 88
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila.” gerutunya, ”Masih saja ia suka bermain gila
dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…!” teriak yang tinggi kurus itukemudian, ”Kami sedang
sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan
selagi kami tergesa-gesa,”.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban.
Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya, “Carang
Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil
saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu
setan itu sampai tiga hari”
Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung.
Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu
kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang
ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang.
Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam
goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara
mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi
perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan
yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit
dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu
meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu
sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan
yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan,
bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat
Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia,
“Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 88
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya,
“Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku
mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira,” jawab Mahesa Jenar, ”tidak ada perlunya untuk
menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,”
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi
sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh
Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok
dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena
itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya
berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk
ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai
tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah
mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Setelah beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan
demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu
dengan suaranya yang nyaring. “Hai, seluruh rombongan yang
sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya.
Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya
sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi
bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah,
sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan
saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang
kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang
telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan
yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah
setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan
lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus
dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan
orang ini dari tangan kita.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 88
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang
anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata
masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan
sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan
anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang
bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati
panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong
carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih
dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya
menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri
ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar.
Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya.
Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai
menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-
orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan
sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi
kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah
Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling
menguntungkan untuk melawan mereka? Di mulut goa, ia tidak
akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau
ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit
baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila
bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan
kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar
membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar
mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang
luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan
tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat
api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua
batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang
cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala
kemungkinan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 88
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua
orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan
loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan
begitu saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan buruannya telah
berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali.
Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak
buahnya segera untuk mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan
orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking orang ke5, dan
Tembini orang ke-7, langsung menyerang. Ketujuh orang tokoh itu
dikurangi Sagotra, merupakan tenaga gabungan yang luar biasa
kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak
gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung
melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera
melihat bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa Jenar tidak
akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang
mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar
mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh
seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di
tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah
penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-
potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan
mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang
kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa
serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena
itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api.
Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari,
sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera
berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing. Melihat
kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu.
Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya,
menyerang keenam orang yang masih belum sempat
mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 88
yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya
menyambar Cemara Aking. Melihat serangan yang datang tiba-tiba
itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat
dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan
kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka
kepalanya. Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya
sehingga tangan Cemara Aking
tidak mampu untuk
melawannya. Ia tak berhasil
menghindarkan kepalanya dari
benturan kayu Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya
menjadi kuning berputaran,
serta kepalanya seolah-olah
ditindih batu yang besar sekali.
Cemara Aking terhuyung-huyung
surut beberapa langkah ke
belakang dan akhirnya ia
terduduk lemah. Dalam saat
yang bersamaan pula, tangan
kanan Mahesa Jenar sempat
menyambar lambung Carang
Lampit. Tetapi Carang Lapit
ternyata mempunyai kekuatan
yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan
serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian
lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak
mengurangi kebebasan geraknya. Melihat kedua kawannya dikenai
dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi
bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta
keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka
sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar dengan gerakan yang sedikit saja, dengan
menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah
dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 88
tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut
lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat
serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan
sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan
cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut.
Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang
luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan
lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil,
ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak
lagi mempunyai tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa
Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata
tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu
benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai
terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar.
Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya
sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari
tangannya. Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak
pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya
meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa
Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang
memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah
belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan
mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya,
Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan
kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan. Kayu itu meluncur cepat,
sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis
serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa
Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang
hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama
kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak
terhingga pada telapak tangan Bagolan. Dengan demikian maka
terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari
mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap
itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini
yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 88
baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada
saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco
Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula
satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api
yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang
berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan
berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan
kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-
orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai
kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang
Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung. Untunglah
orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah
berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya
dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung
dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini
dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja,
karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka
masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari
segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan
dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk
mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah
warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan,
sedangkan bintang fajar memancar dengan cemerlangnya.
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi terang, akan
sulitlah kedudukannya.
Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa tenaganya
sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang
cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 88
bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali
diluar kemampuan tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari
Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah
bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola
bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak
kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng
yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat
merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap, mereka masih agak
ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu
berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari
sudah terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan
mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat
keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta
pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan
gerombolan hitam itu. Terlintas dalam pikiran Mahesa Jenar untuk
segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara
satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan
kemahirannya mempergunakan segala macam senjata dengan
tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang sebuah
tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam
kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri
pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.
Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba
terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga-
duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk
menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke
kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak
berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama,
tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang,
serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia
tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya
dapat diduga betapa besar tenaganya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 88
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan
langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak
kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat
dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat
dikenalnya, Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi
berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas Gunung
sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak
lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa
Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat
dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit.
Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan
hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.
Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus
melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak
begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota
gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok
Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang
dengan garangnya menghantam mereka dengan kapaknya.
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa
masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan
dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.
Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang
baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya
selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota
gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu,
senjatanya terlepas dan terpatahkan.
Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali.
Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang
bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah
ia menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia
memerintahkan Bagolan untuk melawan orang berkapak itu.
Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 88
loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke
lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai
tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang
berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat
antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu.
Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus
melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya ditambah lagi
dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak juga
bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi
seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam pada itu
segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu.
Maka segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia samasekali belum
mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam
pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia
tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu
terdesak.
Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa
sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu
harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi
seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran
menjadi bertambah sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar
memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat
menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia
meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil
berkata, “Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi
separuh lingkaran, aku separuh. Disamping itu kita pergunakan
setiap kesempatan untuk menghantam lawan.” Orang berkapak itu
tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera
ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.