03 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

88
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 88 Nagasasra dan Sabuk Inten Karya S.H. Mintardja Jilid 3 I etapi sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah samasekali tidak masuk akal. Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan kecepatan gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati. Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga, bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo. Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai, bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung, Lawa Ijo samasekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala masalah. T

Upload: sariyanti-palembang

Post on 18-Aug-2015

114 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 88

Nagasasra dan Sabuk Inten Karya S.H. Mintardja

Jilid 3

I

etapi sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh

suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak

pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari

kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang

Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah samasekali

tidak masuk akal.

Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya

telah pulih kembali, segera dengan kecepatan gerak laksana kilat

menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri

dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam,

seperti melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka

seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena

pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah dibebaskan dari daerah

mati.

Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga, bahwa

lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah menerima

anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh

segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang

kepada Lawa Ijo.

Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri

dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai, bukanlah

benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung, Lawa Ijo

samasekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala

masalah.

T

Page 2: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 88

Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara.

Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak. Terhadap

orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap yang manis.

Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar tidak

lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum Lawa Ijo sadar

terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah mengangkat satu

kakinya yang ditekuk ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas

dadanya, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.

Secepat kilat Mahesa Jenar meloncat maju, dan dengan sedikit

merendahkan diri ia menghantam lambung lawannya dengan

ilmunya yang terkenal, Sasra Birawa.

Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik lawannya seperti dalam

mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya Mahesa Jenar

meloncat dekat sekali di hadapannya, dan tangannya melayang ke

arah lambungnya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat.

Terkena pukulan sisi telapak tangan Mahesa Jenar yang dilambari

ilmu Sasra Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung

yang runtuh bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan

kedahsyatan Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan

derasnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya

mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh

kuat bagai benteng baja.

Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung.

Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang berkecamuk di

kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab

kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan

bisa terjadi.

Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu

peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula.

Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga

pingsan.

Page 3: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 88

Tubuh Lawa Ijo yang

melayang demikian derasnya dan

hampir-hampir membentur

sebatang pohon raksasa itu, tahu-

tahu sudah berada dalam

dukungan seorang yang berjubah

abu-abu. Tak seorang pun tahu

dari mana dan kapan ia datang.

Wajah orang itu samasekali tidak

tampak, karena ia mengenakan

topeng yang buatannya kasar dan

jelek.

Semua orang memandang

orang berjubah itu dengan tubuh

gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba

Jaka Soka segera melangkah maju

dan dengan hormatnya ia berkata,

“Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi-

tingginya!”

Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga

Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah datang

untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau hatinya tercekam

pula. Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan

sekarang, ia telah berhadap – hadapan dengan orang itu dalam

keadaan yang tak menguntungkan.

“Rangga Tohjaya....” Tiba-tiba terdengar Pasingsingan

berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya berat,

dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam perutnya,

karena pengaruh topeng yang dipakainya itu. “Untunglah Lawa Ijo

bukan sembarang orang,” sambungnya, ”Sehingga meskipun ia

terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup.”

Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik

topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. “Hal

itu adalah karena pertolonganku.” Pasingsingan melanjutkan,

Page 4: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 88

”Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu,

kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku”.

Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti kata-

kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat kepada

almarhum kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama

dengan Pasingsingan itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti

mereka tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan sendiri.

Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya. Sebagai seorang

prajurit pastilah Mahesa Jenar tidak selalu menggantungkan

dirinya kepada orang lain.

Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak

seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka segera

kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan pernafasannya

dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya,

meskipun ia belum bersikap.

Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat

hidungnya, “Hem…, kalau Sasra Birawa itu gurumu yang

mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana

menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan mencobakan

pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri

sebelum aku membunuhmu!”

Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau hati

Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati. Tetapi

kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi

suatu rombongan yang akan binasa, adalah sayang sekali. Tetapi

apa boleh buat.

Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia

selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa

meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.

“Tohjaya,” katanya, ”Kau adalah murid Ki Ageng Pengging

Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya Sasra

Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati dengan tangan

Page 5: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 88

merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang disembelih,”.

Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada

mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu

lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun

bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya.

Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan acuh tak acuh saja

seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.

Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti orang

linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka sudah

terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun ada

diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah

memandang Mahesa Jenar dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi

mereka tidak mengerti tentang apa yang dilihatnya. Mereka tidak

lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan

dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang

dapat merintanginya.

Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara

berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan

baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh

berturut-turut.

Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi

sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak dapat lagi

menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba, sehingga di

dalam hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang

demikian, tidaklah biasa seseorang menebang pohon.

Apalagi di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang

mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan, tidak

akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian lebatnya.

Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi

pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo.

Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak nyaring.

Mustahil kalau suara-suara itu tak didengarnya.

Page 6: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 88

Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin

lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak

begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara berdentangnya

pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang

mempesona.

Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu.

Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya dan

tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama. Dalam

keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara

berdentangnya pohon ditebang itu menjadi bertambah jelas

seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya bersahut-

sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui

dengan pasti sumber suara itu.

Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan

semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah

dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak

mungkin terjadi.

Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh

suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu, menggemalah

sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah suara

yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua

orang yang mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya

kecuali lagu itu sendiri. Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang

yang cukup masak. Tetapi meskipun demikian tampak juga bahwa

mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh.

Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata

dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari tembang itu

adalah:

Lir sarkara, wasianing jalmi

Ambudiya budining sasatnya

Memayu yu buwanane,

Ing reh hardaning kawruh,

Wruhing karsa kang ambeg asih,

Page 7: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 88

Sih pigunane karya,

mBrasta ambeg dudu,

Mengenep nenging cipta,

Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,

Memuji tyas raharja (Kusw)

Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan

atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang itu tertutup oleh

kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia samasekali tidak senang

mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang

merdu dan syairnya mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana

seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan

banyak memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang

cinta manusia untuk memberantas kejahatan. Serta dengan

mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik dan

buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.

Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia

mendengar lagu itu diulang kembali.

Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan

dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat

mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar

meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar

dan Jaka Soka.

”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah.

Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu.

Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak sedang

membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!”

kata Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu

Pasingsingan telah lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa

Ijo. Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian

Mahesa Jenar dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka setelah

mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke utara, kearah

mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga, bahwa dari

sanalah sumber suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa

Page 8: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 88

Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat wajah orang aneh

itu. Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka

temui hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa.

Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah

cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran

mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas menebang pohon itu

hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya

adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih

dari empat pemeluk, ternyata telah luka hampir separonya.

Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah

hampir sebesar kepala anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi

ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah

sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan

basah sebagai pegangannya.

”Luar biasa,” desis Jaka Soka.

Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku tidak dapat

mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu, sehingga

ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”

Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir

keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil

keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan

maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik

Ki Ageng Pandan Alas. Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar,

”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu

baiklah kali ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku

menculik gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak

mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan

disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku. Kalau demikian halnya,

maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga benar apa yang

dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada

di segala tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain

kali.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya

Jaka Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang

bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.

Page 9: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 88

Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya dipenuhi

oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi yang penting adalah

mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian membicarakan

kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut. Ketika Mahesa Jenar

sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang

telah tampak mulai agak tenang kembali. Terutama para

pengawal. Malahan ada diantaranya yang sudah dapat mengatur

barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak

ketakutan. Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun

yang disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih terkejut juga.

Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah Mahesa

Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-

lari menyambut dan langsung berjongkok dan menyembahnya.

Terutama sepasang suami-istri yang telah minta kepadanya untuk

membawa bebannya. Kedua orang itu menyembah sambil

menangis minta diampuni. Segera Mahesa Jenar pun

menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal

menyalakan api.

Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan

kayu, serta apipun segera dinyalakan.

Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi

api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di

atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapai-gapai

kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan

serta dedaunan nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam

kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang

malam.

Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa

cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di

hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat dan kejadian-

kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti peristiwa-

peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.

Page 10: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 88

Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi

sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya bersalah

sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan hampir

dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa

yang melindunginya. Karena itu ia masih saja belum berani

memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya.

Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar

yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan itu. Katanya,

“Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya

malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira

kalian sehari penuh masih belum juga makan. Sekarang

kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak seperti

tadi malam.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak

diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan. Segera

diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak sedikit

diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar

lagi. Juga sesudah itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.

Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan

para pengawal, tentang bagaimana baiknya rombongan tersebut.

Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan itu

tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah

pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun

akan tidak menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak

menguntungkan adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia

tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah

gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu

seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai mereka

mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan

tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya

rombongan itu besok pagi berangkat kembali ke tempat semula.

Page 11: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 88

Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak

pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah dihinggapi

perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu

datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti

sudah jadi bangkai.

Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik

yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada Mahesa Jenar,

“Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk

kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali.

Tetapi aku juga tidak dapat memaksa rombongan ini berjalan

terus. Karena itu, baiklah kalau rombongan ini berjalan kembali

dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan

perjalanan ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta

kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku bertemu

seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah

kalau aku bunuh diri.”

Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu

diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak berhak lagi

berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah

merasa berbuat kesalahan yang tak termaafkan.

Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan

keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara mereka

yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan

yang demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.

GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya

yang bulat, nampak mengambang air mata yang ditahan sekuat-

kuatnya.

”Tak ada jalan buat kembali,” ujarnya lirih.

Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang

menyelubungi diri gadis itu.

Page 12: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 88

Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak lagi

tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih belum dikenal

namanya.

”Siapakah sebenarnya kau ini?” tanya Mahesa Jenar kemudian,

”Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?.”

Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, ”Tuan,

sebenarnya aku samasekali tidak mengenal siapakah Ki Ageng

Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan hubungkan

dengan nama Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku

menerima keris itu dari almarhum ibuku, sedangkan ibu

menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang sedang

merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum

ibuku, kakek itu tinggal di daerah Pliridan. Dan samasekali tak

bernama Pandan Alas, tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku

sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis.”

Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama

Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya, bahwa ia

samasekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik

perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya,

suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi

gadis itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar, ”Bapak-bapak para

pengawal, serta saudara-saudara seperjalanan. Barangkali aku

mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak kalian.

Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal, mungkin tak

akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang

berkeras hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya,

biarlah aku antarkan saja. Sebab perjalanan ke Pliridan bukanlah

suatu pekerjaan yang ringan.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah

kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang berkaca-

kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali

perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya

jadi kemerah-merahan, serta kembali ia menundukkan mukanya.

Page 13: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 88

Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis.

Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang. Sebaliknya

beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan

Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab

bersama sama dengan Mahesa Jenar, mereka semua merasa

bahwa keamanan mereka terjamin.

Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan para

pengawal, serta memberi petunjuk mengenai beberapa

kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan,

bahwa mereka semuanya akan kembali dengan para pengawal,

sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan mengantar Rara Wilis

sampai ke Pliridan.

Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun dapat

tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan batin, seakan-

akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan. Berbeda

dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian

cepatnya, malam itu rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang

malam, serta desiran angin rimba terasa sangat menjemukan dan

menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas

berakhir. Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan

tempat yang mengerikan itu.

Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa,

terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan. Dari celah-

celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna

merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-

barangnya dan menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang

berlawanan dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis

yang setelah menerima kembali kerisnya akan melanjutkan

perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar sendiri.

II

Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal

dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali lagi mengucapkan

Page 14: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 88

terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka berangkat

kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata

di tangan. Baru setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan,

Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan

perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.

Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan, kecuali

apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk memberitahukan

tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang berbisa.

Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju,

karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan yang besar.

Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti pemimpin

rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis

apabila jalan sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan.

Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali

mereka menjumpai rintangan yang berat.

Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal

lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun melewati daerah

hutan yang tak kalah liarnya dengan yang ditempuh kemarin,

tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah lebih dari

setengah hari ia berjalan, sama-sekali tak terasa lelah olehnya,

haus ataupun lapar.

Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah tamasya,

diantara kehijauan ladang serta keindahan taman. Gemerisik daun

kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdunya.

Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya

menjadi sedemikian bening dan cerah.

Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika

malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang

cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu

dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan

Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.

Page 15: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 88

Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang

terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri, segera

perjalanan pun dilanjutkan.

Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi. Maka

pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar menempuh

perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.

Demikianlah, ketika matahari telah miring ke barat, hutan

Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis. Pepohonan

tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara

itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah

lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang,

ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.

Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan

hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang

tidak begitu berarti.

“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada

dirinya sendiri.

Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di

depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur aduk di

otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya

setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.

Tetapi sementara itu lalu ke mana ia mesti pergi?

Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya

yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan hatinya.

Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis. Katanya,

“Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-

kira kakekmu tinggal?”

Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia samasekali

tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar,

bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.

Page 16: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 88

Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi agak berbimbang

pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini.

Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak

perubahan.

“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku

samasekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan

daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan

adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang.

Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi

oleh gerumbul-gerumbul liar.”

“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis.

Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau bayangkan

itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan itu

berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah

ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba

mencarinya.”

Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan

hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi

suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui

kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-

menerus menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis,

Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu ia mencoba

menghiburnya. “Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih

mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang.

Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau

pulang ke rumah ayahmu.”

Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang

diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut sekali

ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata.

Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.

Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia

merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah mengalami

Page 17: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 88

suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu

pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu

juga ia menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus

dikerjakan.

Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa

sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya. Karena

itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.

Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak

menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka

terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah

menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat

pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit.

Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya. “Rara Wilis, aku

telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru

akibatnya adalah sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku

menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”

Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali

ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya duduk di rumput-

rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesan-tetesan

airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-

kata yang tersekat-sekat. “Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa

aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik hati

seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan

terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal

Tuan …, bahwa kalau aku tak dapat menemukan kakekku, aku tak

dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong

orang yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”

Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang

keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang

menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan

yang sedemikian berbahayanya.

Page 18: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 88

“Rara Wilis,” tanyanya kemudian, “Aku bukanlah ingin terlalu

banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah

seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”

“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan

tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu

rahasia.” Matanya yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa

Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan.

Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus

dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas

rumput-rumput liar.

“Tuan,” Rara Wilis mulai dengan ceritanya, ”Ayahku adalah

seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan

Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku

mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia

digolongkan orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang

yang miskin. Kakekku semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul,

tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang

sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak

mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek

yang merasa kehidupannya semakin hari semakin sulit, terpaksa

pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun

kakek adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh

kehidupannya yang sulit, sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu

pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk

beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak

kembali pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku, apabila

kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi.

Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku.

Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir

ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai

itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah

seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti

lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami

banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama

Page 19: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 88

Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi

pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu.

Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak

diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan beberapa pendekar

ternama di daerah kami.” Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya

tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-

peristiwa yang pernah berlaku.

“Tuan….” sambungnya beberapa saat kemudian. “Keanehan

perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada

tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar

seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-

kadang ia menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang

wanita.

Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah

memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab ternyata

hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin

rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di

dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan

perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat

memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku

sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati

laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan

perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal

itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga

menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih

daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun

kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum

minuman keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah

menjadi semakin jauh pula.

Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga

sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada

pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat memelukku

dan menangisi.

Page 20: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 88

Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain pada

suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu

adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-

sebabnya, mereka bertempur melawan ayahku serta perempuan

pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan

dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun

ayah dan perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi

perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat

lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang

dapur rumah kami.

Akhirnya …, bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan

pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan

pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak

jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan

pendatang itu, dan tidak pernah kembali.

Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak

terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik

sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap

manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu

berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku.

Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta

membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis, “beberapa tahun

kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi.

Ibuku sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah

sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati. Ternak kami

yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung

arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-

gulung menghantam tebing-tebing kehidupan ibuku. Maka setelah

beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup

mata, serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin

itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah keturunan Ki

Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi samasekali bukan Ki Ageng

Pandan Alas dari Wanasaba.

Page 21: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 88

Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat hidup

tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat

warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi

hidupku yang kering.” Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan

sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.

Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan

penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang

mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya,

mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta

serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka

kembali ke kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam

suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.

Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya

merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun

ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik

itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia

berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.

Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan

perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang

masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-

punggung bukit.

Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan

gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang tiada

habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat

melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak

dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan

gadisnya serta hari depan garis keturunannya?

Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak

tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya untuk

berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih

mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.

Page 22: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 88

Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan.

Mereka hampir tidak pernah menemui rintangan-rintangan yang

berarti.

Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa Jenar

berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan tajamnya,

dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu

berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis terkejut bercampur

heran melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari

dan ikut serta mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat

sesuatu. Karena itu dengan herannya ia bertanya, “Tuan, adakah

Tuan melihat sesuatu? “

“Rara Wilis …. Lihat rumput-rumput ini,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar

itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak melihat sesuatu.

“Ada apa dengan rumput-rumput itu?” tanyanya.

“Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di

tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga di sebelah sana dan

sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang tanahnya agak

gembur ini.”

Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia

berteriak menebak. “Telapak kaki manusia …?”

”Ya,” sahut Mahesa Jenar. ’Telapak kaki yang masih agak baru.

Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini. Mungkin ia adalah

penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin....” Mahesa Jenar tidak

melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap

kelanjutannya.

”Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang

sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita” katanya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak. Otaknya bekerja

keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira yang

meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu. Menurut

Page 23: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 88

pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat,

Jaka Soka, Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam

ia membandingkan telapak kaki itu dengan telapak kakinya sendiri.

Ternyata telapak kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya,

pastilah orang itu adalah orang yang gemuk sekali, atau orang

yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam

benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling

dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya kembali ke

Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka. Dan tidaklah

mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai

dengan arah jalan ini.

Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin

menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab, ”Tidaklah

begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan.”

Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup

cerdas, karena itu ia menjawab, “Kalau Tuan sampai menganggap

perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang

sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah

menebak-nebak.”

Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan

segala sesuatu yang berkecamuk di dalam otaknya. Rara Wilis pun

sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan untuk

mencari jalan lain.

Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan

setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka membelok ke

arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke arah

pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah

itu terdapat mata air, atau tempat yang aman untuk bermalam,

atau sukurlah kalau didiami orang.

Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga ditinggali

manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata air yang

Page 24: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 88

mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah telaga

yang hijau bening.

Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala.

Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir gelapnya

malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan

bumi.

Mehesa Jenar pun segera mengadakan persiapan untuk

bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan Mahesa

Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa

Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar

bekas kaki Pasingsingan, pastilah ia tidak sengaja akan

menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila

dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan jejak sedemikian

jelasnya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap waspada.

Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat, berbaring di atas tikar

yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang Mahesa Jenar

sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di

sekitarnya.

Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang

remaja menghiasi langit diantara taburan bintang-bintang.

Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus

dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.

Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus

keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan yang

mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting

ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya.

Dengan demikian jantungnya berdesir cepat tanpa sesadar.

Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan

bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan

seorang yang menurut pendapatnya memiliki kecantikan yang

sempurna, yaitu Nyai Wirasaba. Tetapi tidaklah pernah ia

Page 25: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 88

merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada

malam itu. Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang

terbaring seperti sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya,

tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak

dibelai angin malam yang berhembus lirih.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia

biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang membayangkan suatu

rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa

Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih

dari seorang perantau yang akan menjelajahi desa demi desa,

hutan demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu,

maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.

Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala

perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya terhadap gadis cantik

itu segera didesak sekuat-kuatnya.

Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari

tubuh Rara Wilis, dan segera dilemparkan kembali ke arah bayang-

bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak,

seolah-olah sedang mengganggunya.

Sedang angin malam yang berdesir di dedaunan masih saja

menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan

ringkik kuda liar yang terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing

hutan.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting

kembali ke dalam suasana yang kini sedang dihadapi. Suatu

daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan.

Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di

sekelilingnya dengan saksama. Sebagai seorang yang mempunyai

pengalaman yang luas, Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat,

bahwa ada sesuatu yang mencurigakan. Mendadak telinganya

yang tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi

Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa seseorang

Page 26: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 88

datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah orang yang

mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta

pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik. Karena itu

sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang

itu datang. Tetapi ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa.

Ia ingin mengetahui lebih dahulu, apakah kira-kira maksud orang

itu mengintainya. Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta

bersikap seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan

yang demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala

kemungkinan.

Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta

suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada jarak

tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru

mempersiapkan diri untuk menyerang.

Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu

mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu

tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja. Hal

yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang

lebih besar. Karena itu segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan

beberapa loncatan saja ia sudah berdiri di samping orang yang

mengintainya.

Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui

kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Karena itu

tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan demikian ia

menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali

mendahului menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya,

dan dengan sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar.

Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut

pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai

pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan

pula.

Page 27: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 88

Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa

Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga orang asing itu.

Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya, segera

Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke

samping. Dengan demikian

golok yang tak mengenai

sasarannya itu terayun deras

sekali, sehingga oran gyang

memegangnya agak kehilangan

keseimbangan. Dalam keadaan

yang demikian Mahesa Jenar

segera meloncat maju dan

menangkap pergelangan

tangan orang itu, langsung

diputarnya ke belakang.

Dengan sekali dorong, orang itu

telah jatuh tertelungkup dan

tidak dapat bergerak lagi,

kecuali berdesis menahan sakit.

“Kau siapa?” tanya Mahesa

Jenar geram. Tetapi orang itu

tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar mengulangi

pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi jengkel

dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar

tangan yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu

mengaduh kesakitan.

“Kalau kau tidak menjawab,” desak Mahesa Jenar, ”Tanganmu

akan aku patahkan,”

Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan

sehingga dengan terpaksa menjawab, “Aku adalah Sagotra.”

“Apa maksudmu mengintai kami? “ desak Mahesa Jenar lebih

lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar menjadi

semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi,

Page 28: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 88

sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula. “Jawablah! Atau

tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram.

“Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak

lagi,” jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya

betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu. “Keadaanku

sudah pasti,” sambungny, ”Berkata atau tidak berkata, aku akan

menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan

menggenggam rahasia.”

Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu,

sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk mendapat

keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik. Maka

setelah mendapat suatu cara ia berkata, “Baiklah, kalau kau tidak

mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah

tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau

pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat

Ngangrang Salaka…? “

Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka,

tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup

hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah

sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya.

Binatang apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti

hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat sarang di bawah

pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah

10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak

terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya

yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.

Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai

akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, “Kalau

kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan

dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku

patahkan dulu supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai

mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan

tangan orang itu. Tetapi segera pula menangkap kaki dan

Page 29: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 88

melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan pada lipatan lutut

kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap mematahkan

pergelangan kaki kanan orang itu. “Jangan…, jangan…!” teriak

orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku

jangan kau siksa di sarang semut Salaka”

“Itu adalah urusanku.” jawab Mahesa Jenar seenak-

nya, ”Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya

membunuhmu.”

Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan

ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak,

“Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.”

Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah

berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya

tidak takut menghadapi segala macam bahaya.”

“Aku samasekali tidak takut mati.” teriak orang itu, ”Tetapi

cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan

aku dan biarlah aku bunuh diri”.

Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi

keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya,

”Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih

jalan kematian.”

Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi

pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar

menekan pergelangan kakinya ia berteriak, ”Baiklah aku berkata

asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.”

”Baiklah….” jawab Mahesa Jenar, ”berkatalah.” Lalu

dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu

langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu

ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang

dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga

Page 30: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 88

untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai

Mahesa Jenar menegurnya, ”Duduklah dan berkatalah.”

Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar.

Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar.

Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang

yang menamakan dirinya Sagotra.

Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir

tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya.

Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah

seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat

di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang

samasekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan.

Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya,

pastilah ia tidak bersikap sedemikian lunak. Mungkin ia sudah

diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu dibantingnya ke

tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau

mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai

berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin

orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang dilakukannya

itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan.

Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri.

Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.

“Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih dari itu

tidak.”

Sagotra samasekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar.

Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh berkurang.

Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa Jenar

bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi

malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk

melakukan tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja.

Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang

mempunyai sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata

pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian dan

Page 31: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 88

kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali,

yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia

yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta

betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan

mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha

Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra

hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat

hanyalah berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka

yang tidak mentaati peraturan.

“Tuan,” katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama

Rangga Tohjaya?”

Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.

“Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya.

Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya,

“Sekarang aku sudah kau ketemukan.”

“Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan

jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh dapat

melihat kedatanganku.”

“Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau

temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?”

Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, “Memang,

aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan.

Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa

untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang

tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.”

“Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa

Jenar kemudian.

Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama

gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan baginya.

Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang samasekali tidak

Page 32: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 88

memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.

Meski dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, “Tuan,

sebenarnya aku samasekali tidak berani menyebut nama

gerombolanku, sebab aku tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan

yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun demikian, karena

sikap Tuan yang tak pernah aku temui dalam gerombolan kami,

menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan mempunyai

kepribadian lain daripada orang-orang kami.” Orang itu berhenti

sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu

sambungnya, “Tuan… kami adalah gerombolan Lawa Ijo.”

Pengakuan itu samasekali tidak mengejutkan hati Mahesa

Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa kemungkinan

terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo atas perintah

Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang

mengagumkan.

“Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar

gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?”

“Benar, Tuan.” Jawab Sagotra, ”Tetapi meskipun demikian,

kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami. Sedang orang lain

yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara

meninggalkan sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan

anggota inti di bawah pimpinan Wadas Gunung, saudara muda

seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk setiap saat

bertindak.”

Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat

kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan juga merupakan

saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia

bertanya, ”Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?”

“Ya, pastilah aku kenal.” jawab Sagotra, ”Ia adalah saudara

kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara seperguruan

Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki

Pasingsingan, bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia

Page 33: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 88

sedang mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu

pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas Gunung

sendiri sedang mencari Tuan.”

Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa

Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang mencarinya. Sementara

itu Sagotra melanjutkan, “Tetapi anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki

Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum pernah terjadi.

Kami telah mendapat petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu

tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini

menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata

perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain

menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk menjebak

Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari

Tuan.”

Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan

penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, “Kapankah Pasingsingan

sampai ke sarang gerombolanmu? “

“Kemarin lusa, “ jawab Sagotra.

“Kemarin lusa?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit

baginya untuk membayangkan kecepatan berjalan Pasingsingan.

Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki yang masih tampak

baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi bertambah

heran lagi. Sampai kemudian ia bertanya, “Adakah orang lain yang

kau temui lewat jalan yang seharusnya aku lalui?”

“Tidak Tuan, tidak ada.” Jawab sagotra, ”Kalau ada, pastilah

orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu kami sangka Tuan,

karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah

Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki

Pasingsingan.”

Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Adakah pihak ketiga

yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya mengambil jalan

lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai sekian

Page 34: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 88

lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya

kemungkinan yang membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah

Ki Ageng Pandan Alas.

Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka

melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang di udara.

Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera Mahesa

Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang

bersiap menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan

mereka itu.

“Sagotra....” kata Mahesa Jenar kemudian. “Kawan-

kawanmukah yang menyalakan api itu? “

Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang

mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan. Lalu

jawabnya, “Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka

menghadang Tuan tidak di arah itu.”

“Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api

itu?”

Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab,

“Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak kurang waras,

yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini.”

“Satu-satunya?” sahut Mahesa Jenar agak terkejut. “Jadi di

daerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua itu?”

Sagotra menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan.” katanya

kemudian, ”Memang daerah ini sekarang samasekali kosong,

kecuali seorang itu”

”Sagotra,” Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih

banyak, ”beberapa tahun yang lalu, aku pernah menempuh

perjalanan melewati daerah ini. Di sini banyak aku ketemukan

perkampungan-perkampungan yang dilingkungi oleh sawah serta

ladang. Tetapi, sekarang aku samasekali tidak lagi melihat sebuah

Page 35: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 88

desa pun di sini. Bahkan seperti yang kau katakan bahwa di sini

tidak lagi ditinggali manusia kecuali seorang itu saja.”

”Benar Tuan,” jawab Sagotra, ”Beberapa tahun yang lalu

memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai. Tetapi,

sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah ini menjadi

daerah yang paling banyak mengalami keributan. Penjahat-

penjahat kecil yang mula-mula samasekali tidak berani melakukan

kegiatannya di wilayah ini, seolah-olah mendapat kesempatan

untuk berbuat sekehendaknya tanpa ada pengekangan. Pada saat

Lawa Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini merupakan salah

satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan kami, yang

secara teratur harus menyerahkan semacam pajak. Tetapi, di

samping itu daerah ini mendapatkan perlindungan langsung dari

gerombolan kami, sehingga tak adalah gerombolan lain yang

berani mengganggunya. Baru setelah itu, setelah Lawa Ijo

melepaskan wajib pajak bagi penduduk di daerah ini, serta sejalan

dengan pembekuan gerombolan kami untuk sementara, maka

penduduk di daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri dari

keganasan gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua

penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi

mengungsi. Kecuali satu orang itu”

“Kenapa orang itu tidak pergi?” tanya Mahesa Jenar

seterusnya. “Tidakkah dia takut menghadapi keganasan

gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian hebatnya

sehingga tak seorang pun berani mengganggunya…?”

” Tidak, Tuan....” sahut Sagotra, ”Ia samasekali tidak memiliki

kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah datang mengunjunginya.

Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang

waras. Ia merasa bahwa ia samasekali tidak mempunyai milik,

sehingga menurut perhitungannya tidak akan ada orang yang

datang mengganggunya, “.

Page 36: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 88

Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan

saksama. Ia mulai menghubung hubungkan keterangan itu dengan

kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki Santanu…?

“Siapakah nama orang tua itu?” tanya Mahesa Jenar tiba-tiba.

Sagotra menggelengkan kepalanya, ”Tak ada orang yang

mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah menanyakan

kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa

diperuntukkannya saja.”

“Ya, siapa panggilan itu?” desak Mahesa Jenar

“Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi.”

“Ardi? “ulang Mahesa Jenar.

Sagotra mengangguk.

Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi

dapat berarti Gunung. Sedang kakek Rara Wilis pun berasal dari

daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia berkenalan

dengan orang tua itu?

“Sagotra....” katanya kemudian, “Dapatkah kau menunjukkan

jalan ke rumah Ki Ardi itu?”

Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak

kebingungan. Tentang dirinya sendiri, ia belum mendapat

penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru,

mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi

sesudah itu lalu bagaimana? Mestikah ia harus bunuh diri, atau

Mahesa Jenar akan membunuhnya…? Serta bagaimanakah kalau

ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang mencari

Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta sedikit

banyak menangkap perasaannya. Tetapi, disamping itu mendadak

timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana

dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka

Page 37: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 88

soalnya akan berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan

semuanya kepada Wadas Gunung dengan keduapuluh kawannya.

Dan ini berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan

untuk membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya.

Sebab orang seperti Sagotra bukanlah seorang yang pantas untuk

menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih

dari seorang pesuruh. Karena itu kemungkinan satu-satunya

adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai keadaan terasa

aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar

segera mengambil keputusan, katanya, “Sagotra, barangkali kau

segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke

rumah Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau

berbaik hati kepadaku. Tetapi ketahuilah Sagotra, aku terpaksa

memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi

keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera

melepaskanmu. Lalu sesudah itu aku dapat menyelamatkan diriku

secepat-cepatnya. Tetapi sekarang aku sedang melindungi

seorang gadis. Karena itu, janganlah membantah perintahku.

Janganlah kau takut, bahwa sesudah semuanya selesai aku akan

membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah alat yang

tak perlu dirusak. “

Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah

seorang dari rombongannya, hati Sagotra pasti tidak akan banyak

terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang demikian

itu samasekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta kawan-kawan

segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada

hari ini, serta lawan yang harus dibinasakan hari esok.

Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang yang

baru saja dikenalnya, bahkan yang telah diserangnya dengan

sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu masih

berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat

menyaksikan matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini

mempunyai kesan yang jauh berlainan dengan segala pujian, janji

Page 38: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 88

dan segala macam yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin

rombongannya.

Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar,

Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai

mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa kanak-

kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam

kelam, baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai

meneteskan air mata. Bukan saja karena ia terlepas dari terkaman

maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali dialami. Dalam

segala kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak

tangkapan-tangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi

ia tidak pernah merasa terharu samasekali mengalami peristiwa-

peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya adalah dendam

yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.

Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh

keheranan. Ia tidak dapat menangkap seluruh perasaan yang

bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat

menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta

berkulit hitam mengkilap, tetapi menangis tersedu-sedu. Karena

itu katanya, “Sagotra, agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang

laki-laki macam kau yang dengan sikap jantan berani menentang

maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak.“

“Tuan….” jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, “Tak

pernah selama hidupku merasakan sesuatu yang demikian

mengharukan seperti kali ini. Ternyata bukanlah kekerasan melulu

yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam

kehidupan ini. Meskipun Tuan bermodalkan kekuatan yang tiada

taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas

diriku. Seandainya Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam

kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan menyerang

Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-

laki sejati. Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan

Tuan. Juga seandainya Tuan ingin menyaksikan aku mati di sarang

semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku.”

Page 39: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 88

Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata Sagotra.

Tetapi meskipun demikian, ia tetap berhati-hati. Sebab kata-kata

itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup mempunyai

ikatan yang sempurna. Tidak mustahil bahwa cara-cara yang

demikian sering dilakukan untuk mengurangi kewaspadaan lawan.

Hanya karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa

Jenar pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak

kemudian mereka saling berdiam diri, hanyut oleh arus perasaan

masing-masing.

Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun tampak

semakin terang. Angin malam pun terasa demikian dingin

menggigit tulang.

“Sagotra,” kata Mahesa Jenar kemudian memecahkan

kediaman mereka, ”marilah kita pergi,“.

“Mari Tuan,” jawab Sagotra.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang

ke arah Rara Wilis berbaring.

“Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? “ desis Mahesa

Jenar.

“Atau kita menunggu sampai besok, “ sahut Sagotra.

“Tidakkah ada bahayanya?” jawab Mahesa Jenar, ”Apakah

tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke tempat ini?

Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan.”

Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali

salah seorang dari kawannya datang pula ke tempat ini meskipun

mula-mula mereka berpencaran.

“Jadi bagaimana pendapat Tuan?” tanya Sagotra lagi.

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir,

bagaimana sebaiknya. Kalau pada saat itu ia langsung bersama-

Page 40: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 88

sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada kemungkinan

orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?

“Sagotra,” katanya, ”tidakkah kawan-kawanmu juga akan

pergi ke arah api itu?”

“Aku kira tidak, Tuan...” jawab Sagotra, ”Pasti mereka tahu

bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi.”

”Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana akan

dapat mereka temukan kami, yang dapat diperhitungkan, bahwa

kami akan pergi ke arah api itu.”

Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa

kawan-kawannya mempunyai perhitungan yang demikian. Jadi

bagaimanakah sebaiknya…?

Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah

mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20

orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra yang merupakan

salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat

menemukan, bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk

menghindari kawan-kawannya.

“Tuan…” akhirnya Sagotra bertanya, “Adakah sesuatu

kepentingan Tuan dengan orang itu?”

Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak

menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan dapat

mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada

hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia

mendapat jawaban bahwa orang itu bernama Ki Ageng Pandan

Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa

kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu. Karena itu

segera ia menjawab, “Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke

daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama

Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku

akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang

Page 41: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 88

pernah tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang

bernama Ki Santanu itu.”

Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba

mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini.

Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula

dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi

nama Santanu belum pernah dikenalnya.

“Tuan,” jawab Sagotra, ”Barangkali aku dapat mengenal

semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki Ardi.

Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya

ia mempunyai sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat

mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?”

Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, “Aku

sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis

itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah kita

tengok ia, barangkali sudah bangun.”

Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di

belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah sesuatu yang

mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke arah

tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi

terbaring diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali.

Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah

yang berbahaya serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah

terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.

Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya.

Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk

menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi

tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan

angin, serta tak ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu,

serta tarikan nafas Sagotra.

Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki

ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi meskipun

Page 42: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 88

demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu. Pada

saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat

menguasai pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi

suatu peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis

dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk

perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-

tiba Mahesa Jenar berlari kesana kemari sambil memanggil-

manggil nama Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa Jenar yang

demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas, sehingga

terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang

yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya

merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi

pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu.

Dan memang demikianlah kiranya. Mahesa Jenar mencoba

mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya

terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut

di hatinya sedemikian eratnya.

Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian

dari jiwanya sendiri.

Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-

manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang menyambutnya.

Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis telah

lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta

giginya gemeretak. Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja

yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan amarahnya. Dalam

keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar

menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya,

disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta diangkatnya

tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri

disamping sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram

hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.

Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan

garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa hebatnya Lawa

Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh

Page 43: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 88

Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia

menyaksikan Lawa Ijo terluka parah, samasekali ia tidak percaya,

bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan tangan saja. Ia

menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti

mempergunakan senjata rahasia atau sebangsanya. Tetapi

sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri,

akibat dari pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu

tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan itu

dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih

dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya,

bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab

kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali.

Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya

ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit yang

mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan

yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang

lagi, tetapi sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar.

Andaikata itu bisa terjadi, pastilah lebih dari separo diantaranya

sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.

Tetapi, belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba

matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin gemetar lagi, serta

peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat itu,

Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya,

mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang

itu, sambil menggeram, “Setan, rupanya kau telah memancing aku

untuk menjauhi Wilis.“

Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah

terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar

dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia tahu

betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa

Jenar bertindak diluar kesadarannya.

Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi

merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya

yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin menekan.

Page 44: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 88

Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa

Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya, sampai akhirnya

ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena hal yang

samasekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa

harapan untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan

menjadi tenang. Maka dengan susah payah ia berkata, “Tuan, aku

tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan

jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali.

Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru kematianku disebabkan

oleh suatu hal yang samasekali tak kumengerti. Sebab aku

samasekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka,

kalau Tuan benar-benar akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai

salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin

mencelakakan Tuan“

Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus

asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika

Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar,

jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-

asaan dan kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi

seperti mata kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.

Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari

kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya

dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan tangannya

pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya

dilepaskanlah leher Sagotra itu samasekali.

“Maafkanlah aku,” Sagotra, bisik Mahesa Jenar.

Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat

sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat ditahannya.

“Sagotra….” kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang

bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan,

“Benarkah kau tidak berbuat itu?“

Page 45: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 88

“Tuan,” jawab Sagotra, ”Memang aku dapat memahami

tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku

samasekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu.

Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku

di luar rencana semula.”

Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat

mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu

dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka

sekalipun, ia pasti akan dapat menangkap suara ataupun gerak

dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra ia samasekali

tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak

mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya.

Karena itu ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh seseorang

yang memiliki kehebatan luar biasa pula. Tiba-tiba bulu

tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya

Pasingsingan bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar

yang masih terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat

bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat,

bahwa dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng

Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi alangkah terkejut

serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula.

Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk

lemas diatas tikar Rara Wilis.

Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk

pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi samasekali ia

tidak berani menegurnya.

Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa

Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang mengiringi

ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja

ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah

terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka yang

dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan

perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah

dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang digenggamnya telah

Page 46: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 88

dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus

yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.

Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang

bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula

sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar

berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa

Jenar mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh

seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut

Pandan Alas. Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun

bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala penjuru.

Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan

pasti arah suara itu. Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya

sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan pancainderanya

untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai

ke telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang

bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.

Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga

rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga kemampuan

Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian,

setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti

orang bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara

yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.

Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah

suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan kemudian menyusup

gerumbul menuju arah barat.

Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa

Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu

Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti

Mahesa Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang

bermain kejar-kejaran.

Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul

kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat keatas

Page 47: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 88

gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap

gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau

sampai ada orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai

terlepas dari pengawasannya

yang seakan-akan mempunyai

kelebihan dibanding mata orang

biasa.

Tetapi sampai beberapa

saat, samasekali ia tidak melihat

suatu apapun. Sedang suara

Dandanggula itupun telah

berhenti.

Sementara itu, bulan pun

telah rendah sekali, hampir

sampai ke garis cakrawala,

sehingga malam menjadi

semakin kelam. Mahesa Jenar

menjadi semakin mengeluh

dalam hati. Dirasanya betapa

picik pengetahuan serta rendah

ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan seperti ini

samasekali ia tidak berdaya.

Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang

dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal

datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi tokoh-

tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih

dari seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.

Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar memandangi bulan yang

masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki langit.

Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.

Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat

di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa

Page 48: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 88

Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang berada

di tempat terbuka. Dalam keremangan bulan yang masih

memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar dapat

melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan

perempuan. Ia hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara

Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak bertubuh

kurus tinggi.

Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi

ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan itu, tiba-tiba

ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan

tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan

selamat tinggal.

Terasa ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa

Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit, ketika ia

melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang

tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu

Dandanggula yang baru saja didengarnya, segera teringat pulalah

ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki

itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang

tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah Mahesa

Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan

pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama

Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan Alas. Maka dengan sedih serta

hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat

tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.

Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan

lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya.

Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala

tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa

betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.

Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi,

sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara Wilis yang

Page 49: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 88

terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan

Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama

gadis cantik itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang

hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya,

sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para

pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus

berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo. Juga terbayang

dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara

Wilis seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan

tamasya yang tak akan terlupakan. Juga pada saat terakhir dimana

ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena

lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta

rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.

III

Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup

mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera

melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras

ia berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang

di hatinya.

Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar,

dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun

selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh,

merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah

merasakan tali batin yang pernah menjeratnya.

Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa

Jenar samasekali tak berbuat apa-apa ketika ia menyaksikan

bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang hampir

tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang

membawa Rara Wilis itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar

sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun dengan agak

ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, “Tuan, kenapa Tuan

Page 50: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 88

tidak bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan

Tuan?”

Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia

mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta

menjawabnya, “Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga

tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.“

“Siapakah orang itu, Tuan?” tanya Sagotra ingin tahu.

“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.

“Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang Sagotra terkejut. “Jadi dialah

orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki

Pasingsingan? “

Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan

penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah

sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa

diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.

“Kenapa Rara Wilis ia ambil?” tanyanya lebih lanjut. “Adakah

hubungan antara mereka? “

“Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi yang

aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”

“Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas,” potong Sagotra.

“Ya,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi Rara Wilis mengatakan,

bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.”

Dan tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar

teringat pada nama yang disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi

ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di sana

bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali

keinginannya untuk bertemu dengan orang itu. Sebab darinya ia

ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang yang

pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra,

“Sagotra, marilah antarkan aku kepada Ki Ardi.”

Page 51: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 88

“Masih adakah gunanya?” sahut Sagotra.

“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,” jawab

Mahesa Jenar.

Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri

serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah

selatan menuju rumah Ki Ardi.

Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-

bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam.

Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang

tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah ini, berjalan di

depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak mengerti

tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang

tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.

Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati

arah api yang masih menyala-nyala.

Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati

padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil yang

berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit kapur

yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung

menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih

berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan tempat

kediaman Ki Ardi, serta Ki Ardi sendiri yang pada saat itu sedang

berada disamping api yang menyala nyala, sedang memahat

sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari

sebuah goa di bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke batu

besar yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamat-

amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu yang

besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang

tampaknya sedang marah. Kepalanya menengadah ke atas, serta

mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang runcing

mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor

naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di

Page 52: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 88

depan ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak

kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring

harimau itu tampak tajam menakutkan.

Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-

pahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di kota-

kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula

dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya.

Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu dapat

mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu

sejelas-jelasnya. Mereka yang menangkap pahatan itu segera

akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah sebentar lagi akan

terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua

ekor harimau yang ganas.

Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah

mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal

betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat

itu tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur

melawan dua ekor harimau. Tidak nampak olehnya mata naga itu

sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau itu

telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.

Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak

jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris demi

baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu, mendadak

ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya

ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula.

Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak

pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.

Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak

lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia

menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka

Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.

“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.

Page 53: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 88

Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi

ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-

tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.

Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa

Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya

yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang

hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya

berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya

melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk

keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa

Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan

pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap

dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah didengarnya pula dari

Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua

keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-

masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum

dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-

benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari

perbendaharaan Kerajaan Demak.

Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi

tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau

malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang

juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar

keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam

pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba

Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari

yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di

kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra.

Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung

Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam

usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau

demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa

di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja

Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar sekali.

Page 54: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 88

Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas

sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima

Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan

Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.

Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari

dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah

ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena

itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam

keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak,

maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan

untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja

ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-

duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi

pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk

memberi keterangan tentang kedua keris itu.

Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran,

segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan

tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang

dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit

Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta

tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.

Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar

memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat

mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya,

perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.

Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah

pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-

kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa

Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan

keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi

terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian

bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga

nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin

Page 55: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 88

dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa

Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas,

sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin

cepat. Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia samasekali

tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan

jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan

batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat

mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi

melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki

Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.

Sagotra samasekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan

Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti

patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa

Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata,

”Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.”

Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata

keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada.

Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang

yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan

sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan

kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan.

Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras.

Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja

yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar

kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar,

bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua

itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia

sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau

menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang

lain.

Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata,

”Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak.”

Page 56: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 88

Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak

dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, “Tuan, apakah salahku

sehingga Tuan menyakiti aku?”

Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh

penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, “Bapak,

samasekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat

kesalahan terhadap Bapak.”

Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah

cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali

Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat

menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan

Tambakbaya.

Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng

Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng

Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah

luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat

melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk,

hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh

yang kendor dan samasekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa

saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara

Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi.

Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.

Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan

baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya, “Bapak…,

yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui

pahatan yang sedang Bapak buat itu.”

Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar,

jawabnya, “Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah

berbuat kesalahan terhadap tuan?”

“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, ” Tetapi

bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? “

Page 57: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 88

Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang

lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan

menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati

dengan seksama. Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya

menjadi cerah. “Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi

tuan tanyakan?”

“Pahatan itu....” Mahesa Jenar menjawab, ”Apakah yang

sedang Bapak pahat?”

“Tidakkah Tuan tahu…” kata orang tua itu sambil mendekati

pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu

dengan mesra. “Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan,

apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”

“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat

“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.

“Maksudku,” jawab Mahesa Jenar. ”apakah yang Bapak

lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang

pernah Bapak lihat sebelumnya?”

Orang tua itu semakin heran, tanyanya, “Adakah Tuan pernah

melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”

Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan

tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama

dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah

kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai

sedemikian dekatnya dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian

itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau malahan salinan

sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena

tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja

merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,

“Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu

bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor

naga yang sedemikian?”

Page 58: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 88

Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak

kemudian ia tersenyum. “Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat

seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil

yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah

mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut

gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”

Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya

bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.

“Tuan....” katanya kemudian, “Silakan Tuan berdua duduk.

Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab

tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan

mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan

ini.”

Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan

kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil

tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya

gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh

dahan-dahan yang sedang dimakan api.

IV

“Tuan,” Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. “Naga ini

menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda

tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya

aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari

dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan

satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka

bertemu dan bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu

adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di

leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu

hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa

disusahkan oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh cinta kepada

seorang yang samasekali tak dikehendaki oleh ayahandanya.

Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-

Page 59: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 88

laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa

bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada

yang berani mengganggunya.

Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua

ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.

Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir

laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu

menyanggupinya.

Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu.

Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan

dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan

kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang

maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai

kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir

di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya,

sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur

api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan

permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun.

Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata

itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata

tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia

terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam

samodra itu tidak membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan

dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak

seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di

lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di

udara. Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi

gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela

oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut

naga bersisik emas itu.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40

malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah.

Page 60: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 88

Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali

waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa”

Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia

berjalan mundur menjauhi pahatannya.

Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya

berkerut. Katanya, “Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata

tuan tentang ini?”

Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan

pahatan itu menjawab, “Bagus, Ki Ardi.“

Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, “Baru sekarang

aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah

seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak

pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang

sering berkeliaran di daerah ini, samasekali tidak dapat menikmati

hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”

Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung

untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab

sekenanya saja, “Bagus, Ki Ardi.“

Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra.

“Apa yang bagus?“

Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi

ia tidak mau kalah. “Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan

emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin

umurmu tidak lebih dari malam ini.”

Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh, lanjutnya, “Pastilah

itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah

aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati

ditelan nagaku ini.”

Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. “Orang tua gila. Kalau

kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu,

Page 61: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 88

pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu

itu sebenarnya sangatlah jelek”

Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul

dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain.

Katanya kemudian, “Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai

pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan

mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan

pendapatmu“

Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di

situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia

berkata terus, “Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu

daripada menyaksikan pahatanmu itu.“

Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan

kepalanya. Katanya, “Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi

aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”

Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap,

sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab

pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban,

akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, “Ki Ardi aku dan Sagotra

secara kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah

berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”

Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan,

“Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh

Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas

terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini”

“Ki Ardi,” potong Sagotra tidak senang, ”Jangan kau membual.

Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik.”

Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras,

Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya

membetulkan, “Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku

Page 62: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 88

hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja

ceriteraku.”

Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa

Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia

melanjutkan ceriteranya. “Kedua ekor naga itu, yang telah

berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya.

Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh

penduduk bumi menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk

mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi di seluruh

permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi

itu pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari

selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri

itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia

tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa

menunggu saja akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat

antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga

yang dimintai bantuan.

Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut

timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan

yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar

guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang

ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah

gelisah pula.

Maka pada hari yang ke-101, dengan tidak disangka-sangka

menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke hadapan

raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilat-

kilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada

raja, ”Paduka yang memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah

hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta diperkenankan

membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur

melawan laki-laki yang berasal dari bintang kemukus.”

Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan

senang hati, naga itu langsung menuju ke medan pertempuran

yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya

Page 63: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 88

menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba

saja pertempuran itu berhenti sejenak.

Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang

bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang bersisik

emas, ”Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan

tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?”

Naga itu menjawab, ”Saudaraku, aku datang untuk

membantumu.”

Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak

senang. Lalu katanya, ”Saudaraku hanyalah mereka yang dapat

menunjukkan tanda kebesarannya.”

Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah

lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya pula. ”Kau yang

mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta dalam permainan

ini…?”

Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya,

”Terserahlah kata-kata kalian atas diriku. Tetapi aku ingin

menunjukkan pengabdianku.”

”Kalau demikian” kata naga bersisik emas, ”Kerjakanlah itu

sendiri.”

Ya,” sahut naga yang bersalutkan intan, ”Kerjakanlah itu

sendiri.”

”Baiklah,” jawab naga yang kehitam-hitaman, ”Silakan kalian

beristirahat.”

Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-

laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti. Maka tanpa

mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam

itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi

apa yang disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu

melingkar cepat sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya

Page 64: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 88

kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara

menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung

sampai pecah berserakan.

Laki-laki bintang itu

terkejut menyaksikan hal yang

demikian. Tetapi ia pun tidak

kurang saktinya. Segera kedua

tangannya itu bergerak

menangkap guruh yang sedang

berkeliaran di langit. Maka

dengan sekuat tenaga, guruh

itu pun dihantamkan ke kepala

lawannya. Naga itu melihat

guruh yang dengan suara

gemuruh mengarah ke

kepalanya, segera

menyemburkan angin kencang

dari mulutnya, sehingga guruh

itu pun terlontar kembali ke

arah laki-laki bintang itu. Hanya

karena kecepatannya

menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri.

Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang

merasa dirinya tak terkalahkan itu menjadi marah sekali.

Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang

terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah

pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan

menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir

menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi

terbakar. Lautan mendidih serta gunung-gunung terlempar

berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu

telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk

dijadikan senjata.

Page 65: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 88

Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi

itu. Pada hari yang ketujuh, pertempuran itu bertambah seru dan

cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami perkelahian

100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi

tenaganya masih tetap segar. Sekarang ia baru tujuh hari

bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai

sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa

tenaganya telah mulai kendor. Ia telah mencoba mengerahkan

segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu

ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya

yang kokoh kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga

menimbulkan angin putaran yang luar biasa. Baik di darat maupun

di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan

terlempar bertebaran. Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal.

Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala,

sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas,

terpaksa naga itu dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah

suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu lingkaran api

berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah naga itu

menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung menghantam

lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka

segera ia menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun

api-api itu pun menyusulnya ke dasar samodra, dengan api masih

tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya.

Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara.

Naga itu juga tetap mengejarnya.

Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di

belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki bintang kemukus itu

merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga hitam yang

dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada

api yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih

berbahaya dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang

berbalut intan permata.

Page 66: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 88

Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera

laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan akhirnya

lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan

cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu

bintang kemukus.

Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu

merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia turun kembali ke

bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan berbalut

intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah

kiranya kedua naga itu mengaku sebagai saudara.

Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua

ekor naga itu sudah tidak ada lagi.

Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi

untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga itu sudah

mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu

selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah

hampir pulih kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan.

Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang

menyebut-nyebutnya sebagai pahlawan yang berhasil mengusir

laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah

berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab

ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian

semata.

Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia

melihat upacara penyambutan yang luar biasa. Ia bahkan menjadi

malu dan kaku.

Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama

ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik emas dan

berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga

Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi

di luar pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya,

menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab

Page 67: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 88

bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah

menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan

berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka merasa

malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir

laki-laki dari bintang itu.

Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia

meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia sedang

berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh

kebesaran.

Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua

yang indah sekali, yang berdinding emas dan bertahtakan intan

berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di

rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa

kanak-kanak.

Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang

kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.

Ki Ardi menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan

duduknya sambil kembali mengamat-amati pahatannya, seolah-

olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk pahatannya serta

isi ceriteranya.

Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar

juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian. Karena

itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan

ceriteranya, ia berkata, “Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi

rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-

mutus ceritera itu.”

Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya,

“Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan… Nah

dengarlah baik-baik.“

“Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan

untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali dengan kedua

Page 68: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 88

Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya mengaku

bersalah terhadapnya.

Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia

mendengar kabar bahwa terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana

raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling bertengkar,

bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena

mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah

jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya

perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-

malu lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk

mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang

terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka.

Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan

untuk memusnahkan sekalian bangsawan dan kesatria, malahan

kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat

menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang

untuknya.

Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut

intan memang sebenarnya pergi meninggalkan kerajaan bumi

karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah dan

tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari

masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran

yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi

lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna samasekali.

Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan

kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah tanah, di

bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka

menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta

membujuk kedua ekor naga untuk berpihak kepada mereka

masing-masing. Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga

itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian yang telah ada

pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh

naga hitam yang sakti.”

Page 69: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 88

“Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam.

Daerah yang samasekali tak dikenal.”

Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi

pahatannya. Sebentar kemudian katanya, ”Nah, pada bagian inilah

ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah kelam

itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam

legam. Ternyata kedua ekor harimau ini pun ingin dapat

menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara

kasar. Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama

dengan mereka, terjadilah suatu perselisihan. Sehingga akhirnya

pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor

harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah

mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam yang penuh rahasia

itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga

akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi

setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka untuk

mencari jalan keluar.”

Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam.

Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan suatu

rahasia yang selama ini disimpannya.

Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, “Tidakkah Ki Ardi

akan mengakhiri dongeng itu?”

“Mengakhiri…?” tanya Ki Ardi, ”Bagaimana aku akan

mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian.”

“Baru sampai sekian…?” tanya Sagotra heran.

Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika

dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan kejenakaan

yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap

samasekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya,

yang sejak semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia

ini ada di dalamnya.

Page 70: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 88

Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga

masih saja ia mendesak, “Ki Ardi… katakanlah akhir dari dongeng

itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.“

Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-

tiba ia berkata sambil berdiri, “Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita

ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk sebentar.

Kawanilah Tuan ini.“

Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera

itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya. Meskipun

demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia

berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak

kemudian lenyaplah ia ditelan gelap.

Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga.

Tetapi ia samasekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja

karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia

bersiaga.

Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga

belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin bertambah.

Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan

oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang

penakut, yang selalu diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…?

Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya

yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan memanggil-manggil

Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut. Karena

tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi.

Tampaknya telah pula Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya.

Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera

Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa.

Dan sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.

Page 71: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 88

V

Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri

disamping api yang masih menyala-nyala. Bayangan-bayangan

yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang

membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil

seperti akan lenyap.

Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini

sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu

ia merasa kehilangan ketenangan.

Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi.

Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil

itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap.

Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak

dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar

yang berpandangan sangat tajam.

Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu

maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti,

sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah

hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala

kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya,

mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya

ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.

Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi

tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu

berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya

gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring. “Mahesa

Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak

bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”

Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja.

Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya,

bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.

Page 72: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 88

Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang

tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa

Jenar serasa akan berhenti.

“Kalau begitu,” katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng

Pandan Alas.”

“Ya....” jawab orang itu, ”Sengaja aku bersembunyi di sini

untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan

keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda,

tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini,

Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai,

biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat

tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang

bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah

jagung itu kalau tak ada yang memetiknya”

Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati

bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng

Pandan Alas mencegahnya. “Mahesa Jenar, aku masih belum

mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui

adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia

sudah berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah

ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan

ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti

kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu

kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”

“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi

dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang

lebih baik.

Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan

Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.

Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa,

bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah

kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang

Page 73: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 88

pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang

setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum

juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki

Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang

kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang

terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal

dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati

Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden

Gajah pada waktu itu.

Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya,

teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang

dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat.

Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya

diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita

yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas

dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan

penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam

bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama

Kyai Condong Campur. Tetapi kedua keris itu tak dapat

menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak

mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai

Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga

menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam

kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam

kuman penyakit. Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris

itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar.

Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas

minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu.

Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh

tanggung jawab.

Page 74: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 88

Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia

masih saja menggerutu. “Orang itu gila, dimana ia bersembunyi,

gumamnya.”

“Tuan…” katanya kepada Mahesa Jenar, “orang itu tidak ada di

dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya

tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu

sedang kambuh gilanya, rumah ini sering ditinggalkan begitu saja

sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu datang

lagi.”

“Sudahlah Sagotra,” jawab Mahesa Jenar “Janganlah kau

pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan

caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita

sendiri, masalahmu dan masalahku.”

Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga

membelitlah kembali kegelisahan hatinya.

“Sagotra,” kata Mahesa Jenar melanjutkan, “Apakah kau akan

kembali kepada kawan-kawanmu?. Kalau demikian

pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat.

Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan

kepada kawan-kawanmu apakah tidak.“

Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang

dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan dan yang

mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali

ke dalam gerombolannya. Sedangkan kalau tidak lalu ke manakah

ia akan pergi ?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang

seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup dalam

sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan

kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah

itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup.

Karena itu, timbullah keinginannya untuk dapat menemukan suatu

kehidupan baru.

Page 75: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 88

“Tuan,” katanya kemudian, “Sebenarnya aku tidak lagi

mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku.

Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang

sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai

penghidupan baru. Atau barangkali kalau tuan menghendaki, aku

dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.“

Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak

kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa canggung

untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada

selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima

Sagotra selalu bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak

boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.

Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat

menolong menemukan jalan keluar. Katanya “Sagotra, kau tidak

dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu pasti

akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan

keluar yang barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar

kau menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam

sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah

kau?”

Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir

tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk menolongnya

adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu dijawabnya

kemudian “Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku

lakukan dengan sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah

katakankah tuan.”

“Sagotra,” kata Mahesa Jenar selanjutnya “Tolonglah aku

menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau

menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang

akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana kau temukan

aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan sampai di sebuah desa

di seberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu. Dari

sana kau langsung menuju ke arah timur. Lewat sebuah candi yang

Page 76: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 88

terkenal dengan nama Candi Tara, bekas tempat pemujaan Dewi

Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan. Temuilah

Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam

keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap

kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa Pening,

dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini.”

“Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu

kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah

perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan

keluarga Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala

ketulusan serta keihlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan

baik.”

Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata

Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat

mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan

Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan

memenuhi permintaan itu sedapat-dapatnya.

Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah

diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun bersiap untuk

menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi dirinya.

Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia

termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit

dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat

Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk

menempuh perjalanan itu, maka iapun tak pula mengenal gentar.

Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung

beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit

diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai

bekal perjalanannya.

Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak

terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok pastilah beberapa

kawannya sudah mencarinya.

Page 77: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 88

Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa

sepinya tinggal seorang diri ditengah padang, dibawah sebuah

bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan

Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat

itu. Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada

tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi

karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa

terikat dalam keadaan yang sulit.

Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal

seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng

Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman

jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat

sebuah blumbang yang berair jernih.

Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri

dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging

hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung,

kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan

seterusnya.

Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi

sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan

Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian

disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu

dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.

Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah

rencananya.

Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api

sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti

juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam

menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara.

Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka

bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak

tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak

Page 78: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 88

menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa

Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam

gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka

mendekati perapian.

Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan

mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap.

Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-

kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat

dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang

yang tampaknya amatlah garang-garangnya.

Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar

berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang

pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa

Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar

Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau

demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas

Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan

gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.

Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak

perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan

terjadi.

Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan

nyaringnya. “Ardi… Ki Ardi…!”

Mahesa Jenar jadi berbimbang hati. Perlukah panggilan itu

dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa

suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam

diri saja.

Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi

lagi, teriaknya. “Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini

waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa

ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan

pergi.”

Page 79: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 88

Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.

“Orang tua gila.” gerutunya, ”Masih saja ia suka bermain gila

dalam waktu yang begini.”

“Ki Ardi…!” teriak yang tinggi kurus itukemudian, ”Kami sedang

sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan

selagi kami tergesa-gesa,”.

Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban.

Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya, “Carang

Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil

saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu

setan itu sampai tiga hari”

Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung.

Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu

kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang

ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang.

Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam

goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara

mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi

perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan

yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.

Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit

dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu

meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu

sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan

yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan,

bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat

Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia,

“Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”

“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.

Page 80: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 88

Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya,

“Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku

mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”

“Aku kira,” jawab Mahesa Jenar, ”tidak ada perlunya untuk

menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,”

Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi

sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh

Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok

dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena

itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya

berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk

ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.

Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai

tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah

mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala

kemungkinan.

Setelah beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan

demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu

dengan suaranya yang nyaring. “Hai, seluruh rombongan yang

sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya.

Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya

sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi

bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah,

sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan

saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang

kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang

telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan

yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah

setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan

lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus

dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan

orang ini dari tangan kita.”

Page 81: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 88

Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang

anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata

masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan

sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan

anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang

bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati

panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong

carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih

dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya

menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri

ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar.

Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya.

Yaitu belati panjang.

Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai

menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-

orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan

sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi

kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah

Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling

menguntungkan untuk melawan mereka? Di mulut goa, ia tidak

akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau

ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit

baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila

bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan

kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar

membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar

mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang

luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan

tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat

api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua

batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang

cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala

kemungkinan.

Page 82: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 88

Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua

orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan

loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan

begitu saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan buruannya telah

berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali.

Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak

buahnya segera untuk mengepung kembali.

Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan

orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking orang ke5, dan

Tembini orang ke-7, langsung menyerang. Ketujuh orang tokoh itu

dikurangi Sagotra, merupakan tenaga gabungan yang luar biasa

kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak

gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung

melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera

melihat bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa Jenar tidak

akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang

mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar

mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh

seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di

tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah

penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-

potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan

mengarah kepada lawan-lawannya.

Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang

kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa

serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena

itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api.

Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari,

sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera

berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing. Melihat

kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu.

Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya,

menyerang keenam orang yang masih belum sempat

mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil

Page 83: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 88

yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya

menyambar Cemara Aking. Melihat serangan yang datang tiba-tiba

itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat

dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan

kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka

kepalanya. Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya

sehingga tangan Cemara Aking

tidak mampu untuk

melawannya. Ia tak berhasil

menghindarkan kepalanya dari

benturan kayu Mahesa Jenar.

Segera pemandangannya

menjadi kuning berputaran,

serta kepalanya seolah-olah

ditindih batu yang besar sekali.

Cemara Aking terhuyung-huyung

surut beberapa langkah ke

belakang dan akhirnya ia

terduduk lemah. Dalam saat

yang bersamaan pula, tangan

kanan Mahesa Jenar sempat

menyambar lambung Carang

Lampit. Tetapi Carang Lapit

ternyata mempunyai kekuatan

yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan

serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian

lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak

mengurangi kebebasan geraknya. Melihat kedua kawannya dikenai

dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi

bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta

keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka

sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar dengan gerakan yang sedikit saja, dengan

menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah

dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan

Page 84: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 88

tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut

lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat

serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping.

Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan

sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan

cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut.

Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang

luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan

lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil,

ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak

lagi mempunyai tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa

Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata

tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu

benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai

terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar.

Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya

sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari

tangannya. Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak

pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya

meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa

Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang

memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah

belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan

mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya,

Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan

kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan. Kayu itu meluncur cepat,

sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis

serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa

Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang

hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama

kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak

terhingga pada telapak tangan Bagolan. Dengan demikian maka

terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari

mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap

itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini

yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup

Page 85: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 88

baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada

saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco

Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula

satu demi satu dipunahkan.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api

yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.

Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang

berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan

berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan

kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-

orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai

kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang

Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung. Untunglah

orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah

berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya

dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung

dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini

dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja,

karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka

masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari

segala jurusan.

Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan

dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk

mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah

warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan,

sedangkan bintang fajar memancar dengan cemerlangnya.

Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi

berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi terang, akan

sulitlah kedudukannya.

Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa tenaganya

sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang

cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai

Page 86: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 88

bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali

diluar kemampuan tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari

Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah

bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola

bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak

kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng

yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat

merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap, mereka masih agak

ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu

berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari

sudah terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan

mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat

keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta

pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan

gerombolan hitam itu. Terlintas dalam pikiran Mahesa Jenar untuk

segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara

satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra

Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan

kemahirannya mempergunakan segala macam senjata dengan

tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang sebuah

tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam

kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri

pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.

Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba

terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga-

duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk

menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke

kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak

berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama,

tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang,

serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia

tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya

dapat diduga betapa besar tenaganya.

Page 87: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 88

Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan

langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak

kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat

dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat

dikenalnya, Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi

berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas Gunung

sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak

lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa

Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat

dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit.

Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan

hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.

Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus

melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak

begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota

gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok

Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang

dengan garangnya menghantam mereka dengan kapaknya.

Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa

masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.

Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan

dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.

Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang

baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya

selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota

gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu,

senjatanya terlepas dan terpatahkan.

Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali.

Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang

bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah

ia menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia

memerintahkan Bagolan untuk melawan orang berkapak itu.

Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan

Page 88: 03 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 88

loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke

lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai

tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang

berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat

antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu.

Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus

melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya ditambah lagi

dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak juga

bahwa ia agak terdesak.

Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi

seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam pada itu

segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu.

Maka segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia samasekali belum

mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam

pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia

tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu

terdesak.

Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa

sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu

harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi

seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran

menjadi bertambah sempit.

Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar

memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat

menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia

meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil

berkata, “Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi

separuh lingkaran, aku separuh. Disamping itu kita pergunakan

setiap kesempatan untuk menghantam lawan.” Orang berkapak itu

tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera

ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.