24 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

87
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 87

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

117 views

Category:

Art & Photos


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 87

Page 2: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 87

I

ajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar.

Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu.

Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora

bercerita. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang

mengatakannya.”

“Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar.

Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan,

sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa yang dapat aku

ceritakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi

Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”

“Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit.

“Agaknya Adi Paningronlah yang paling tahu,” jawab Gajah

Sora.

Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang

dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

“Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus bercerita. Tetapi

aku tidak dapat bercerita seperti Adi Gajah Alit.”

“Ah....” desis Gajah Alit.

“Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan,

“Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda

menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak

bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah Sora

sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening,

Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak

bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda.

Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka

itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah

Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati-

matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan

G

Page 3: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 87

Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak

dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas

perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat

kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan.

Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa

adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru

seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat

yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus

kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang sedang

berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang

dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang

umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini.

Pada saat-saat yang demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-

orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah

bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru,

Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora

akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana.

Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir

yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam perang

saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah

lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan

menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit.

Perang yang akan memadamkan samasekali nyala api yang pernah

dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan

Pangrantunan.”

Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,

kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air

jahe yang hangat.

“Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang

terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar.

“Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan

pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan

Pamingit.”

Page 4: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 87

Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi

sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang seperti

Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka

dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur-

sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang

saudagar yang kaya raya, yang menjelajah kampung untuk

mencari dagangan.

Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi hubungan

antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita

kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat

berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga.

Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan

laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.”

“Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama

Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”

“Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran

itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng

Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya

Tuhan telah mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit

akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.”

“Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau pertempuran itu tak

dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan Pamingit akan

menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang

berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa

Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme

Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu

soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan Gajah Alit tidak

dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu

membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang

Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”

Page 5: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 87

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat

peristiwa itu?”

“Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi orang-orang kami

menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang

perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah

mampu bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo.

Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya

yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk menilai sendiri

kemampuan Arya Salaka itu.”

Mahesa Jenar tersenyum.

Gajah Sora pun kemudian bercerita, bagaimana mereka

bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika mereka

mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat.

Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega

hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara

laskar Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan

laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah

kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun

pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas

yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar,

Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena

Pasingsingan mendahului mereka.

“Nah, Adi Mahesa Jenar....” tanya Gajah Sora kemudian,

“Bagaimana dengan Pasingsingan?”

Kemudian Mahesa Jenar lah yang bercerita. Pasingsingan

terbunuh oleh Pasingsingan.

“Cerita tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata

Mahesa Jenar kemudian, “Lain kali akan aku ceritakan

selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana,

Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”

“Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.

Page 6: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 87

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum

seorang pun yang tahu.”

Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang

demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang dikenakan

oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang.

Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah

dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk

kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang,

celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas

terselip di pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian

kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak

berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan

permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip

sebilah keris dengan warangka gayaman.

Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan,

berkatalah Gajah Sora, “Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku

ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain

kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud kepada

Ayah, Sora Dipayana.”

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira

demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”

“Meskipun demikian....” Gajah Sora meneruskan, “Adi

Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi

Mahesa Jenar mengetahuinya.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah

itu?”

“Tidak begitu penting,” sahut Paningron.

Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu

persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah

tentang dirinya, atau yang lain?

Page 7: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 87

Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi

mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk.

Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting,

Kakang.”

Mahesa Jenar menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati.

Kemudian berkatalah Paningron, “Ada dua masalah yang akan

aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan

Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun belum

mengetahuinya.”

“Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar.

“Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah Kakang Mahesa

Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya

orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten.”

Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah

orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum

menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan.

Orang itu berjubah abu-abu.”

“Adakah orang itu berhubungan dengan cerita Pasingsingan

yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab,

“Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah

orang itu.”

Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia

memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu

juga aku sampaikan.”

“Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.

“Adakah orang lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa

Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang Widuri tidak

Page 8: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 87

nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa

Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.”

“Siapa?” sahut Paningron.

“Anakku,” jawab Kebo Kanigara.

“O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata

tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan

sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.

“Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita

percaya.”

“Sebelum ceritaku sampai pada masalah yang kedua,” kata

Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka

itu.”

Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.

“Ini juga salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda

benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan

pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat,

Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka

itu.”

Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.

“Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora.

“Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah abu-

abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya,

apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang

dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten.”

“Hem....” Gajah Sora berdesis.

Page 9: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 87

“Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya,

darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu berkata

terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron

meneruskan. “Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang

Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa

Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar

biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua

pusaka itu lenyap kembali.”

Gajah Sora menggeram.

Namun Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara berpikir, “Pasti, tak

seorang pun mampu menang-

kapnya.”

“Tetapi...” kata Paningron,

“Bahwa Kakang Gajah Sora

terbukti tidak bersalah, Kakang

Palindih menjadi yakin kare-

nanya. Dan ini adalah salah

satu sebab pula yang meya-

kinkan Baginda.”

Paningron berhenti seje-

nak. Diteguknya wedang jahe

di mangkuknya. Kemudian ia

meneruskan, “Tetapi kemudian

orang itu muncul kembali.”

“Kapan?” bertanya Gajah Sora

“Dan inilah cerita yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika

seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat

tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-

kalau orang baru itu berbuat sesuatu.”

“Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.

Page 10: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 87

“Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak

seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keper-

wiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika

Baginda hendak bersembahyang. Anak muda itu sedemikian

tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil

berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.”

Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar cerita itu. Ia tahu

bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh

seseorang. Namun ia tidak bertanya.

“Karena kecakapannya....” Paningron melanjutkan, “Dalam

waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok

Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang,

bahwa ia kemudian berbuat suatu kesalahan.”

“Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.

“Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung

Ngawuk” jawab Paningron.

“Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa

soalnya?”

“Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun

orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan

dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang” jawab

Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia

hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang

melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya,

“Membunuh dengan sadak kinang.”

Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu

kenapa mereka tertawa karenanya.

Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut

dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya

Page 11: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 87

ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan

Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.

Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang

tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!”

Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa-

apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh

kembali.”

Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya

Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya,

“Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?”

Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan

mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya

itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya.

Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar

terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk

dengan sadak kinang. Ia mengurai lebih jauh keterangan itu.

Sehingga Baginda mengusirnya dari istana.

Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan kakang Kebo Kanigara,

aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir

adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo

Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?”

“Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua.

Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata

Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.

Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab

perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.”

“Hem....” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka

menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang

yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?”

Page 12: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 87

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata

sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo

Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat

dingin.

“Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya

kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-

mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan

Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama

yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi

Gajah Alit itu.”

Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,

“Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?”

“Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di

Banyubiru” jawab Paningron.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula

Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru.

Namun mereka berdiam diri.

“Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit.

Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam

dalam angan-angan sendiri.

Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga

terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka

berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka

telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin

menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang

dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat,

beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan

anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya.

Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak

seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu

Page 13: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 87

berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita

berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”

Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk

menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali

yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang

Wulungan samasekali tak mengetahui ujung dan pangkal

pembicaraan itu.

Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak

terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa

angin pegunungan.

Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi

tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda

cerita mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.

Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan

mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo

Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan

pelanggaran di halaman istana. “Ah,” pikirnya, “benar-benar anak

nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba.

Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak

bersalah seluruhnya”

Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya

disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak

iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah

mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini

ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah.

Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani

menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya.

Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat

pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata

ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di

hadapan orang-orang lain ini.

Page 14: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 87

Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu

melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk

melahirkannya.

Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar

adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang

berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan

merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu?

Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan

diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah

kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan

menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang

biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan

Banyubiru.”

Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari,

namun mereka tetap berbaring diam.

Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri

dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan

ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya

diceritakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora

telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana.

Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang

pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang

berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi.

Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar,

sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka

telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka

bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera

mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk

mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan

kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron

dan Gajah Alit.

Page 15: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 87

Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika

mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan

selamat.

Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat

menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu

mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput

terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun

sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu

pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan

apa yang telah mencegahnya.

Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-

olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah

lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya,

“Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh

Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik

pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya

anak gadis seperti itu.”

Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk

tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat

seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar,

kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis

lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya

sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak

berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi

tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujur-

lintangkan apabila ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa

Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan

ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra?

Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu.

Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak

seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha

menahan perasaan masing-masing.

Page 16: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 87

Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini

masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai

di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang

lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat

rumah Bahu Jatisari ini.”

“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak

sepi.”

Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman

rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu.

Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke

halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka,

dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu. Tidak

lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah

mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

“Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan

telah berada di dalam rombongan itu kembali.

“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah

hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah

merampoknya.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata

apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan

rakyat Pamingit.”

Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di

sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan

gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan

Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas

rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling

depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah

golek terkapar di tanah.

“Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.

Page 17: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 87

“Golek,” jawab Widuri. “Anak yang mempunyai golek ini mesti

mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya

berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam

suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”

“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.

“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis

kecil yang manis.”

Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuri pun perasa,

ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata.

Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira.

Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian

dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri

pun berpacu kembali.

Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan

sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan

hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-

sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir

seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan

demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan

keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan

Sabuk Inten.

Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah

begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh

dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg.

Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu

yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya

mayat yang masih belum terurus. Dengan demikian mereka harus

berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana

seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi

lambat.

Page 18: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 87

Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya

merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-

debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di

hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah

Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian

cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar

bergumam, “Pamingit!”

Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh kepada

Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan matanya

berkisar pada anaknya.

“Widuri.....” Ia memanggil.

Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah

sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya

berkata, “Widuri, itulah Pamingit.”

Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri.

Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di

lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak

berkepentingan samasekali. Ia datang kemari karena ayahnya

datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang

lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya

semua orang yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas

antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng

Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan

bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan

orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.

Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-

angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan apa

yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya

mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh

Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan

keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa

di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati

Page 19: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 87

cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis

menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang

sebaya dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga

orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar.

Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan-

angannya yang mengganggunya itu.

Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan.

Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang paling

banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah

penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu.

Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya.

Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para

pengungsi.

Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan. Terdengar

giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak

meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu

pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya

terbentang halaman bekas rumah kepala daerah perdikan

Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak

sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat

kemewahan rumah ini pada masa lampau.

Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam

membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu

pemandangan yang mengerikan itu.

Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit

muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas

menemui mereka.

“Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan.

“Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua

orang itu. “Marilah ikut kami.”

Page 20: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 87

Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke

arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan

mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung

memotong arah.

Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak

nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.

“Itulah banjar desa yang masih separo tegak,” kata orang yang

menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan

menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar

desa itu, dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki

halaman banjar desa.

Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu mengetahui

kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya.

Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua

yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika

di dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.

Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu

berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?“

“Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab

Wulungan.

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia

tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki Ageng

Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat

sujud di kaki ayahnya.

“Kau....” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa

darahnya serasa mengalir semakin cepat.

“Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora.

“Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya

menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.

Page 21: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 87

“Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang

bahagia itu.

“Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora.

Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan

ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang asing

dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu

agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng

Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas

berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”

Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya

seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama.

Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami

datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah

seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya Gajah

Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun

pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian

dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilakan tamu-tamunya

masuk ke dalam banjar desa yang telah tidak utuh lagi itu.

II

Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan

yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang

Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka.

Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat,

apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang

tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka.

Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng

Sora Dipayana, “Ruangan ini kami pergunakan untuk sementara.

Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah

maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-

Page 22: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 87

pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada

sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas

Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain

telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah

ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan

laskar Banyubiru telah kami panggil.”

Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu

ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa jurusan

suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut

dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang

Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri,

Sendang Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya

ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-

sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki

Ageng Gajah Sora.

Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak

bisa mempersilakan mereka masuk karena ruangan yang sempit.

Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu.

Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang

bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar-

benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar,

berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk

menyambut salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka

kasihi. Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan

penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan

anak buahnya.

Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar

Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau,

berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan dan

pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng

Gajah Sora menjawab, “Ceritaku akan panjang sekali. Besok

Page 23: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 87

sajalah aku ceritakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian

sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di

hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti

saat aku pergi.”

Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban

yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin mendengar uraian

Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi

sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau

kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau

kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.”

“Ah,” terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka

pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat bercerita

dalam keadaan yang sedemikian.

“Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di

halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa

menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.”

Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu

itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah pepohonan, di

akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan cerita

mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka

mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang

sekiranya telah terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka.

Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia

melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam

ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng

Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis

mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi

suram disaput oleh selapis mendung.

“Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora.

“Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-

pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga

beserta anaknya.”

Page 24: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 87

Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika

dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar itu.

Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti

dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak

ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian

dilanjutkannya.

Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang

selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik,

namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah

yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang

datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya.

Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke

dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa adiknya itu

bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa

yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.

Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika

langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah

di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir

serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan

Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka

tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka

lakukan.

Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh.

Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh

gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain.

Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-

anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar

dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya

menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya

tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika

sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di

Demak.

Page 25: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 87

Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak

begitu tertarik pada cerita Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja

tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar cerita Gajah

Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati

Demak yang bulat pendek itu tertawa.

Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh

ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya.

Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia

melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora,

juga sepasang kaki yang renggang.

Cepat-cepat Widuri

mengamit tangan ayahnya

sambil berbisik, “Ayah, kenapa

dengan Paman Gajah Sora?”

Kebo Kanigara segera

memaklumi. Ia dapat melihat

lewat samping kaki Gajah

Sora. Di dalam gelap,

dilihatnya seseorang yang

sudah dikenalnya, Ki Ageng

Lembu Sora.

Pertemuan itu menjadi

terganggu. Semua melihat

perubahan wajah Widuri dan

Kebo Kanigara. Dengan cemas

Ki Ageng Sora Dipayana ber-

tanya, “Ada apa Anakmas?”

“Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo

Kanigara.

Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia

meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir

Page 26: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 87

saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri

membelakangi pintu.

“Lembu Sora....” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang

sudah lama kau tunggu.”

Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada

Lembu Sora. Sebenarnya iapun samasekali tak bermaksud apa-

apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya,

berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan

ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak

terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah

keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah

disengsarakannya itu untuk minta maaf. Lembu Sora segera

meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa,

ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak, “Cari

Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap

Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”

Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat

bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor

gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya

nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang

memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang

berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-

raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang

bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang

terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi

memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat

ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik

kakinya merenggang.

Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu,

kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta

maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya

atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul

hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya.

Page 27: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 87

Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya

untuk melihat kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang

gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak

berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah

mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan

punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya

berdesir lambat, “Kakang Gajah Sora….”

Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut

pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa

Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu

bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya

untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya.

Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.

Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya

yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini.

Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi

pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan

kebenaran. Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama

menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia

telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”

Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan

kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya

tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja

menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan

dibasahinya tangan itu dengan air mata.

Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa

menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam

dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini

perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.

Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal

takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang

berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata

Page 28: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 87

subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti

kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air

mata sambil menggenggam tangan kakaknya.

Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya

pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering

bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah

Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu,

kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-

kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun

menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali.

Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau

demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak

akan meminta permainan itu kembali.

Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah letak

kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak masa

kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah

bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan.

Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora

berkata, “Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku

ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa

yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah

bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” seandainya

demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri.

Pastilah dengan gemetar ia berkata, “Terserahlah Lembu Sora.”

Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan

tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil

berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.”

Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya,

dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora,

lampaui mayatku dahulu.”

Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora

tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu

Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya

Page 29: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 87

sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa

pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan.

Betapa pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-

rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis

perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang

hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang

bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret

ke jalan-jalan.

Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang

paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali,

mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah

yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup

manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di

lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata:

perang, perang, perang!

Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang

paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu

dirindukan.

Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang

timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti

Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan

cerita-cerita yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan

pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik,

Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh,

selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami

dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam

kebiadaban api peperangan.

Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di

bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di

Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa

pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya

Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan

Page 30: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 87

Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran

Majapahit.

Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah

kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat

melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang

demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang

membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang

menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.

Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak

yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-

lahan. “Masuklah Lembu Sora.”

Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi

ia mengangguk dan melangkah ke pintu.

Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian

Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan

Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya

adalah Ki Ageng Sora Dipayana.

Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng

Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu.

Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap

sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya,

bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat

laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada

saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.

Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah

pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran

tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat

dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia

mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran

yang berjalan di atas firman-Nya.

Page 31: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 87

Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu.

Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora

menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena

marah.

Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang

menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah

Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan

Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.

“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.

“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.

“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib?

Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?”

Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.

“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari

Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.

Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya,

“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat

laskar Demak, dahulu.”

Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba

menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,

“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”

“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu

menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang

tinggi.

“Laskarnya,” sahut Galunggung, “Apakah kira-kira hanya dua

orang itu saja?”

“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali ia

mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok

keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah

Page 32: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 87

Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak,

kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit

dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”

“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua

daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab

Galunggung.

Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan

dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan

dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan

demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.

“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.

“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?”

tanya Galunggung.

Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?”

Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun yang

mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan

keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun.

Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan

berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari

dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.

Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai

berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan

tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu

tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena

peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan

yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan

hitam.

Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa

yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang

tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang

Page 33: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 87

berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,

“Siapakah yang berada di dalam?”

“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang

memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah

datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya

dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”

Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah

anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis. Dari

lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam.

Maka salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di

antaranya adalah Rara Wilis.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,”

katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar

Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis

agaknya eyangmu telah datang.”

“Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.”

Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia

langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika

dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang

prajurit dalam pakaiannya.

“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilakan.

“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang-

orang kita sendiri, tetapi agaknya….” suaranya terputus, lalu

sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil

berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau

katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun

tangannya teracung kepada Gajah Sora.

Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil

membungkuk hormat ia menjawab, “Terima kasih, Paman.”

Page 34: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 87

Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa

cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.

Rara Wilis menundukkan wajahnya.

“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin

kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak

Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset.

Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”

“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.

“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.

Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu

bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi

sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan

pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama

terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam

suasana yang menyenangkan.

Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu.

Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu

mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok.

Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar

maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga.

Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari

Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang

lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun agaknya malam

telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing

dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-

pencar.

Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera

dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar

menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui

mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-

Page 35: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 87

pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari

mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka,

benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka

bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran

besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah

dilihatnya. Ia samasekali tidak menyangkal cerita itu. Bukan

sekadar cerita yang berlebih-lebihan, namun cerita itu benar-benar

terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda

yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.

Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak

Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah

mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun

tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah

berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu

menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di

tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah

adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak,

Paningron dan Gajah Alit.

Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di

dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka

pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang

itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya

Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri

mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah

sesuatu, Eyang Titis Anganten?”

“Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi,

namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu.

Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga

Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.

Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah

yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan

sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang

tercecer.

Page 36: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 87

“Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat

lagi kepada ibu.”

“Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten,

“Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia

segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya.

Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya

kembali.”

Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur

menyangka eyangnya melupakan ibunya.

“Sekarang....” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin

mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang

tanpa disangka-sangka.”

“Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu

sekarang?”

“Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira

keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan,

jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”

“Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.”

“Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di

Sarapadan,” jawab Titis Anganten.

“Sarapadan,” ulang Arya.

“Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa

itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian.

Orang-orang dari golongan hitam itu samasekali tak tertarik untuk

singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat

aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang

dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya

laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang

mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.

Page 37: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 87

“Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.

Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun

kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik

pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”

Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam

hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang mengganggunya apabila

ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat

berkata sesuatu kepada Titis Anganten.

“Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku kira Sawung Sariti

telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun

mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”

Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak

memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula,

“Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti

ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”

“Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya

untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi

anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan

orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan-

segan.

“Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya

melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.

“Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya

masih belum tidur.

Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?”

Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.

“Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.

Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”

Page 38: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 87

“Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang

berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar.

Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang

nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah

Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya

dahulu datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat

menggembirakan hati ayahnya itu.

Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan

hati Ayah.”

“Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.

“Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku

memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak

Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia

sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti

perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.

“Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten

mengantarku,” kata Arya Salaka.

“Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.

“Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten,

Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.”

“Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi berhati-

hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun.

Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga

tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat

menunjukkan letak desa itu.”

“Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri

kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk

pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya

Page 39: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 87

pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan

dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya

kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda

atau penjaga gardu.

III

Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin

dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru.

Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara

anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan

terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.

Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang

berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya

mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang

setia, Galunggung.

“Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.

“Ya, Adi,” jawab Arya.

“Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya

Sawung Sariti pula.

Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya

maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal,

meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan

bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia

tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab

dengan berterus terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”

“Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung

Sariti.

“Ya,” jawab Arya singkat.

“Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti

pula.

Page 40: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 87

“Ya,” jawab Arya pula.

“Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.

“Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.

Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak.

Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”

Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena

itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah

melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku

akan berterima kasih.”

Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya

ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian

terdengar ia berkata, “Kita ikut.”

“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.

Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-

iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut

di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu.

Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu

hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.

Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia

menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru.

Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam

bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika

kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” pikirnya. Dan kadang-

kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.

Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang

dalam dingin malam.

Page 41: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 87

Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia

dengan serta merta, “Adi apakah benar jalan ini jalan ke

Sarapadan?”

Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian

menjawab pertanyaan Arya dengan heran, “Ya inilah jalan itu.

Kenapa?”

Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di

wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan.

Katanya, “bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon

siwalan itu?”

“Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.

“Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.

“Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.

Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh

hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis

Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak

mungkin orang tua itu salah.

Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi, eyang

Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan

dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang

Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak

saja?”

“Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi

aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal

Sarapadan?

Memang, sebenarnyalah demikian.

Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal

daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang

berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”

Page 42: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 87

Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke

Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis

Anganten pada saat itu.”

“Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua

itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti.

Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri.

Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun

demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah

aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-

benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan

itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak

orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya,

bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat

mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat

menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang

Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.”

Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus

pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat

ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan

itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk

menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang

Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal

baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan,

namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh.”

“Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi

Sawung Sariti?”

“Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.

“Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling

menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa

pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.

Page 43: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 87

“Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan

di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput

ibuku, kau jemput ibumu.”

Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku.

Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu

nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang

bersama-sama.”

“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,

“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung

Sariti.”

“Hem!” terdengar Arya mengeluh.

Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi

meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir

meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu

menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.

Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah

kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus

berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus

membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit.

Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau

menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali

di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil.

Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai

dimasukinya desa Sarapadan.

“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun

akan sampai ke Sarapadan.”

Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu

berprasangka.

Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya

telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam

mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan

Page 44: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 87

Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti

telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng

yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu

sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar

jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal

yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah

membawanya lewat jalan lain.

Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat.

Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika

Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang

kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia

telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan

kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit,

memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka

terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun

mengetahuinya.

Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain.

Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun

telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa

Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam.

Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh.

Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan

dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka

telah lenyap pula.

“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung

Sariti.

“Ya,” jawab Galunggung singkat.

“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung

Sariti meneruskan.

“Belum pasti” jawab Galunggung, “anak itu lebih senang

berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul-

tanggul”

Page 45: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 87

Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah

dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam

kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak

sepupunya.

Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam

hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap

bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit

dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat

yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki.

Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang

diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan

berlipat-lipat pula.

Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah

Galunggung, “Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai

kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat

pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.

“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat

Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan

mana yang dilewati.”

“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger

Arya di sebelah pohon nyamplung.”

Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil

mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.”

“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus

segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”

Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia

meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang,

menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun

meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya

tak dapat melihatnya.

Page 46: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 87

Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan

memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang,

tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena

Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat

memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan

yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat

diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah

mereka berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang-

batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka

terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang

bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka

mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat

mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.

Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan

oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin

malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut

bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan

cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis

Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun

jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah

cemas, bahwa ia akan tersesat.

Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia

membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit.

Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan

kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit.

Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik

di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah

keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil

memperhatikan airnya.

Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon

Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan.

Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus

sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian

Page 47: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 87

juga Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan

bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya

Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-

sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa

mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua.

Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan

tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung

yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di

atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan

kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik,

menyampaikan kabar yang mengerikan.

Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di

sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali.

Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan.

Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat

menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di

tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari

sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu,

pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.

Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat.

Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan

mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka samasekali

tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya

di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-

main dengan percikan airnya.

Tetapi, akhirnya dari balik tikungan itupun muncul sebuah

bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan

malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan

kecil di muka pohon nyamplung itu.

Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah.

Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat

Page 48: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 87

berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus

melakukan tugas-tugas mereka yang berat.

Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia

melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-

ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti

mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang.

Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung

Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu

samasekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu

juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan,

bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.

Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat,

makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain.

Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang

itu bukanlah yang mereka tunggu.

Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu

orangnya, Angger.”

“Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam

orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang samasekali

ini.”

“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.

“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya

untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut

Galunggung.

“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.

“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu

Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.

Galunggung pun kemudian berdiam diri. Orang itu sudah

semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang

Page 49: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 87

itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah

Arya Salaka.

Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu

berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang

ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu

duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil

memeluk lututnya.

Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya,

“Apa kerjaannya orang itu?”

Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang

itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di

tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-

tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya?

Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba

menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah.

Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ,

maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa

orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka

akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka

segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan

garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.

“Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.

Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar,

jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.”

“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung

Sariti.

“Kenapa?” tanya orang itu.

“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.”

Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah

darimana ia datang.

Page 50: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 87

“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang

itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan

memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.

“Ke mana?” tanya orang itu.

“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang

berlawanan.

“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.

“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi

semakin marah

“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau

tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”

“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,”

jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini

harus berada di sini.”

“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja

seperti patung.

Galunggung akhirnya tidak sabar samasekali melihat orang itu

masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian

melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu,

sebelum anak itu datang.”

“Jangan, jangan!” teriak orang itu.

“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya

mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi

semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun

menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu,

akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus

disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi

membentaknya, “Pergi, cepat!”

Page 51: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 87

Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja

seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka

Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya

dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.”

Galunggung yang sejak

tadi sudah kehilangan kesa-

baran segera menggeram

sambil meloncat. Pedangnya

tepat mengarah ke hulu hati

orang yang masih berdiri

kebingungan itu. Tetapi terja-

dilah suatu peristiwa yang tak

pernah dibayangkan. Dalam

mimpi pun tidak. Orang itu,

dengan tangkasnya memiring-

kan tubuhnya. Dengan demi-

kian, maka pedang Galung-

gung menyentuhpun tidak.

Sehingga Galunggung terseret

oleh kekuatan sendiri dan

terhuyung-huyung beberapa

langkah ke depan. Pada saat ia

berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah

genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan

yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu

menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk

persawahan yang basah.

Sawung Sariti melihat peristiwa itu dengan mata yang

terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu terjerembab.

Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun

cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu.

Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun

samasekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian Sawung

Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar

Page 52: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 87

seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang

belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya

membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun

dari tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa

orang itu sebenarnya orang yang berilmu.

Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah

dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum

berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.

Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi

serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan

meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku

tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian

berusaha untuk membunuh aku.”

Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala

kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah

mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”

“Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar

memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di bawah

pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.

“Omong kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu

pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan

Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi

Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga

pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-

gulung melanda lawannya.

Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk

menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat

dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya samasekali tak memiliki

berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar,

kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main

berputar di udara. Ia selalu menghindari saja setiap serangan yang

datang.

Page 53: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 87

Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali.

Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa kali ia

mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang

terlempar jauh.

“Setan!” geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat

orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung

Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu

dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan

agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membu-

nuhnya.

Karena itu, maka timbullah maksud Galunggung untuk

membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertem-

puran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung

seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat

lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di

padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan

sekali-kali orang itu berkata nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa

salahku?”

“Persetan!” teriak Sawung Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya

Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya

menjadi semakin cepat berputar.

Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu

berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka

di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-

kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya

Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.

Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram.

Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang

menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya.

Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai

pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan

bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama

Page 54: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 87

menimpa dirinya. Sekali lagi Galunggung terlempar ke sawah. Kini

ia jatuh terlentang. Namun, tiba-tiba dadanya berdesir ketika

terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di tangannya lagi.

Dengan susah payah ia mencoba menguasai dirinya. Perlahan-

lahan Galunggung mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi

jantungnya berdentang keras ketika dilihatnya, pedangnya sudah

berada di tangan lawan Sawung Sariti itu. Dengan demikian, kini

ia menyaksikan sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi.

Masing-masing bergerak dengan tangkas dan tangguhnya. Namun

akhirnya terasa bahwa lawan Sarung Sariti itu memiliki kekuatan

dan kecepatan melampaui Sawung Sariti sendiri. Dengan

demikian, beberapa saat kemudian, Sawung Sariti sudah harus

mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah

langkah. Sebelum melawan Arya Salaka, sudah harus ditemuinya

lawan yang tangguh dan bahkan memiliki tata gerak yang

melampauinya.

Dalam kesibukan angan-angannya, tiba-tiba bagai seleret

pedang Sawung Sariti melihat bayangan yang muncul dari tanggul

parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam sekejap, segera

Sawung Sariti dapat mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya

Salaka. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena

kegelisahan dan kecemasan bercampur baur dengan kemarahan

yang meluap-luap. Namun Sawung Sariti adalah anak muda yang

licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam hatinya, ketika terpikir

olehnya, “Baiklah Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan

kita dapat kita selesaikan besok atau lusa.”

Sebenarnyalah yang datang itu adalah Arya Salaka. Mula-mula

ia berjalan saja seenaknya sambil menikmati sejuknya angin

malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya di bawah

pohon nyamplung, dua orang yang sedang bertempur mati-

matian. Apalagi keduanya telah memegang pedang ditangan.

Karena itu Arya menjadi tertegun sejenak. Siapakah mereka yang

bertempur itu? Dengan hati-hati ia melangkah mendekati. Tanpa

disengaja tangannya meraba-raba lambungnya. Dan terasa

Page 55: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 87

sebuah benda tersentuh tangannya, Arya menjadi tenang. Sebab

ia tidak tahu, siapakah yang bertempur dengan senjata itu. Kalau

perlu ia harus melibatkan diri, di lambungnya terselip Kyai Suluh.

Pusaka Pasingsingan yang ngedab-edabi.

Dengan demikian Arya melangkah semakin dekat. Dan

alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua orang yang

bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Adi Sawung Sariti,

apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal, berhentilah.”

Sawung Sariti tidak mendengar teriakan Arya Salaka. Ia

bertempur terus, bahkan ia mengharap Arya membantunya. Tetapi

ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya dan

nama Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi bimbang. Apakah

Arya Salaka telah mengenal lawannya itu.

IV

Karang Tunggal pun segera meloncat mundur beberapa

langkah untuk membebaskan dirinya dari libatan serangan Sawung

Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata nyaring,

“Selamat datang Adi Arya Salaka.”

Akhirnya Sawung Sariti pun terpaksa berhenti bertempur.

Dadanya berdegup ketika ternyata Arya benar-benar telah

mengenal lawannya itu.

Maka ia pun bertanya, “Apakah Kakang Arya telah mengenal

orang ini?”

“Ya,” jawab Arya Salaka, “Ia adalah Kakang Karang Tunggal.”

“Hem!” geram Sawung Sariti. Pikirannya menjadi berputar-

putar dilibat oleh berbagai pertanyaan. Kalau orang ini telah

mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya dengan

kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?

Page 56: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 87

“Kakang Karang Tunggal, apakah yang terjadi sehingga

Kakang bertempur melawan adi Sawung Sariti?”

“Bertanyalah kepada adikmu,” jawab Karang Tunggal.

Arya mengalihkan pandangannya kepada Sawung Sariti.

Matanya menyorotkan pertanyaan yang bergolak di hatinya. Untuk

beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia agak bingung,

bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga terpaksa

terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya, “Kenapa Adi Sawung

Sariti bertempur dengan kakang Karang Tunggal?”

“Aku belum mengenalnya,” desis Sawung Sariti.

“Apalagi Adi belum mengenalnya,” desak Arya Salaka.

“Aku tidak tahu apa sebabnya,” jawab Sawung Sariti, “Tiba-

tiba saja aku telah bertempur dengan orang itu.”

Arya mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa

perlahan-lahan. “Aneh,” desisnya. “Aku juga tidak tahu, kenapa

tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau sebut

Sawung Sariti itu.”

Wajah Sawung Sariti menjadi merah mendengar sindiran itu.

Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, terdengar Karang Tunggal

meneruskan, “Aku merasa bahwa aku telah diserangnya.”

“Kau mengganggu aku,” bantah Sawung Sariti.

“Menyentuhpun aku tidak,” sangkal Karang Tunggal.

Arya menjadi bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya

belum berkata sebenarnya.

“Suatu kesalahpahaman,” desis Arya. “Memang hal itu

mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian

masing-masing.”

Page 57: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 87

“Bukan kesalahpahaman,” jawab Karang Tunggal, “Tetapi adi

Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.”

“Bukan tanpa sebab,” sahut Sawung Sariti yang mulai merah

kembali, “Kau mengganggu aku.”

“Apamu yang aku ganggu?” tanya Karang Tunggal.

Sawung Sariti terdiam. Sudah tentu ia tidak dapat mengatakan

apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Namun keringat dinginnya

mengalir semakin deras ketika Karang Tunggal berkata, “Aku

hanya datang kemari dan duduk di bawah pohon nyamplung ini.

Apa salahku?”

Sawung sariti masih belum dapat menjawab. Namun terdengar

giginya gemeretak.

Yang terdengar adalah kata-kata Karang Tunggal, “Dan

kenapa aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan

ke jurusan yang kau tentukan?”

Sawung Sariti menggeram. Namun ia belum menemukan

jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal berkata terus,

“Apakah dengan demikian aku mengganggumu? Apakah kau

sedang menunggu seseorang di sini dengan pedang terhunus?”

Dada Sawung Sariti semakin berdebar-debar. Sedang Arya

mengangkat alisnya. Apakah benar yang dikatakan oleh Karang

Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang dengan pedang

terhunus? Kalau demikian siapakah yang ditunggunya? Pertanyaan

itu tiba-tiba datang mengganggunya.

Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras,

“Jangan mengigau!”

“Aku berkata sebenarnya,” sahut Karang Tunggal. Tiba-tiba

kembali Arya diganggu oleh angan-angan yang tak menyenangkan

hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti sebenarnya? Dan kenapa

Page 58: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 87

tiba-tiba saja anak itu telah mendahuluinya? Karena itu tiba-tiba

terloncat dari mulut Arya, “Apakah yang sebenarnya terjadi?”

“Sudah aku katakan,” sahut Karang Tunggal, “Anak muda itu

menunggu seseorang dengan pedang terhunus.”

“Apa pedulimu?” tukas Sawung Sariti, “Daerah ini adalah

daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan hitam

setiap saat berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di

bawah pohon ini dengan pedang terhunus?”

Tiba-tiba Karang Tunggal tertawa. Tertawa seorang pemuda

yang berdarah jantan, namun darah itu masih belum mengendap

di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah mengetahui apa yang

akan dikerjakan oleh Sawung Sariti. Mula-mula ketika ia melihat

Arya Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan

bersama-sama dengan adik sepupunya, namun maksudnya

diurungkan, ketika dilihatnya Arya berpisah dengan Sawung Sariti.

Bahkan timbullah kecurigaannya kepada adik sepupu Arya.

Dengan demikian ia mengikutinya dan mendengarkan semua

percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah sengaja ia

mendahului Arya dan duduk di bawah pohon nyamplung itu. Ia

tahu benar bahwa dengan demikian Sawung Sariti akan marah

kepadanya.

Tetapi tidak mengapa. Sebab dengan demikian ia sudah

berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia sendiri

tidak yakin, apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan

dapat dikalahkan, namun hal yang demikian itu benar-benar

berbahaya.

Terbawa oleh sifat-sifatnya yang aneh, yang dipenuhi oleh api

yang menyala-nyala di dalam dadanya, Karang Tunggal yang juga

bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir itu

memandang kehidupan sebagai suatu kancah perjuangan. Namun

kejantanannya menuntut setiap perjuangan harus dilakukan

dengan adil dan jujur.

Page 59: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 87

Karena itulah maka ia menjadi muak melihat cara Sawung

Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia pernah mendengar dari Ki

Lemah Telasih, apa yang sebenarnya terjadi di Banyubiru.

Pergolakan antarkeluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan

untuk mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat

mengatakan, bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah rentetan

dari peristiwa-peristiwa itu.

Dengan demikian, akhirnya ia berkata di antara suara

tertawanya yang berderai, “Hai anak-anak muda. Kenapa kalian

menyembunyikan tangan kalian di balik punggung. Kenapa kalian

tidak berani mengangkat dada, berkata dengan lantang? Ayo kita

pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk bathuk,

sanyari bumi. Mukti atau mati.”

Darah Sawung Sariti menjadi mendidih di dalam dadanya. Ia

kini hampir tak dapat mengelak lagi. Agaknya Karang Tunggal

telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia menggigit bibirnya,

sedang tangannya memegang pedangnya semakin erat. Di dalam

hati ia berkata, “Apa boleh buat. Kalau aku harus berhadapan

dengan Arya Salaka. Aku laki-laki juga seperti dia.”

Arya Salaka masih berdiri tegak di tempatnya. Ia dapat

menangkap apa yang dikatakan oleh Karang Tunggal. Dan kini ia

tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung Sariti. Karena

itu dadanya pun berdesir cepat.

Di tempat itu, di bawah pohon nyamplung yang rimbun,

berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah panas.

Anak-anak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri.

Mereka masih mengukur harga diri dengan sifat-sifat

kepahlawanan yang sempit. Dalam kesempitan perasaan, mereka

menilai diri masing-masing dengan keberanian mereka melihat

darah.

Demikianlah maka terjadilah ketegangan yang memuncak.

Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri demi

Page 60: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 87

kehormatan nama mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka

tidak sadar, bahwa di dunia ini ada cara lain yang jauh lebih baik

daripada cara yang mereka tempuh. Dalam keadaan yang

demikian, mereka melupakan bahwa ayah-ayah mereka akan

dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang baik, dengan

laki-laki sejati, tanpa setetes darah pun yang tertumpah.

Seandainya, pada saat itu hadir seorang dari ayah-ayah

mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka

keadaannya pasti akan berbeda. Namun yang terjadi adalah, tak

seorang pun dari mereka yang hadir. Tak seorang pun yang dapat

memberi peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua diantara

mereka adalah Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal adalah

seorang anak muda yang sifat-sifatnya yang aneh.

Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi membiarkan hatinya

bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan lantangnya ia

berkata kepada Karang Tunggal, “Hai anak perkasa, apa

maksudmu sekarang?”

“Tidak apa-apa,” jawab Karang Tunggal, “Aku hanya ingin

melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan sembunyi-

sembunyi dan curang.”

“Persetan dengan ocehanmu!” bentak Sawung Sariti, “Kau kira

aku tidak berani berhadapan seperti laki-laki?”

“Nah, itulah kata-kata jantan,” sahut Karang Tunggal, “Apa

katamu Adi Arya Salaka?”

Mulut Arya Salaka tiba-tiba seperti terkunci. Ia samasekali

tidak mengharapkan hal yang demikian itu terjadi. Tetapi ia pun

tidak mau, apabila kelak ia benar-benar menjadi korban tusukan

dari belakang. Dalam saat yang pendek itu pun segera ia dapat

menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya

itu. Menyingkirkan dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan

Banyubiru sekaligus.

Page 61: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 87

Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung

Sariti, “Kakang Arya Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku tidak

tedheng aling-aling. Aku ingin kemukten atas tanah Banyubiru

sekaligus selain tanah Pamingit.”

“Hem!” Hanya itulah yang terdengar dari mulut Arya Salaka.

Apabila selama ini, ia sudah berusaha melupakan segenap

peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal adik sepupunya

itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali. Peristiwa demi peristiwa.

Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah sendiri,

kemudian setelah ia menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar.

Apabila seorang yang bernama Sarayuda tidak menolongnya,

maka ia pun kini tidak akan dapat melihat bintang-bintang yang

bertaburan di langit. Juga dikenangnya apa yang terjadi di

Gedangan. Kenangannya itulah yang perlahan-lahan membakar

dirinya. Dan kini, adiknya itu berdiri di hadapannya dengan pedang

terhunus.

“Jawab permintaanku,” sambung Sawung Sariti, “Banyubiru,

Pamingit dan nyawamu.”

“Adi Sawung Sariti,” jawab Arya dengan gemetar, “Jangan

memaksa aku membela diri.”

“Aku sebagai saksi!” Tiba-tiba Karebet berteriak, “Siapa pun

yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari dendam

yang menimpa dari kalian terbunuh, adalah nasib malang yang

menimpa diri. Aku tidak akan membuka mulutku kepada siapa

pun. Tetapi kematian adalah bukan tujuan kalian terbunuh. Karena

itu hindarkanlah. Namun kalian harus berjanji, bahwa kalian akan

menerima keputusan yang kalian buat bersama.”

Suasana di bawah pohon nyamplung itu menjadi bertambah

tegang. Dada ketiga anak muda itu bergetar cepat karena darah

mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung masih terkapar

di tanah liat yang becek, di antara tanaman-tanaman jagung

muda. Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia

Page 62: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 87

berusaha untuk dapat duduk dengan tegak. Dalam keadaan itu,

hatinyapun bertambah tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-

apa.

Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata, “Pertemuan

yang demikian adalah jauh lebih baik daripada dendam yang

membara di hati kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa

aku adalah saksi. Dan kalian tidak akan mendendam di hati.

Dengan demikian, setelah pertemuan ini selesai, selesailah urusan

kalian. Laki-laki sejati tidak akan menelan ludahnya kembali.”

Darah Sawung Sariti kini benar-benar telah mendidih. Sedang

Arya Salaka dapat memaklumi maksud Karang Tunggal. Anak

muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam yang

berlarut-larut. Namun cara penyelesaian ini pun sangat tidak

menyenangkan hatinya. Yang sudah bulat hatinya adalah Sawung

Sariti. Hidup atau matinya telah dipertaruhkan untuk mencapai

maksudnya.

Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora membakar

kepalanya, terdengarlah ia berteriak, “Kakang Arya Salaka.

Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan

berusaha membunuhmu. Itu adalah ketetapan hatiku. Dan aku

telah menantimu di sini.”

Arya tidak sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti

meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah saja dimukanya

dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak

naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut

pusaka Kyai Suluh. Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah

Karang Tunggal berkata, “Biarlah perkelahian ini menjadi adil.

Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang

pedang.” Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab.

Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang.

Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah

mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka dan

ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu

Page 63: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 87

itu lebih berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka

tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila

mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan

senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya

untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu. Sedang pertem-

puran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung

Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan sampai pada bahaya

yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat

mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya

telah terluka dan meneteskan darah.

Karena itu, segera ia berkata, “Adi Arya, pakailah pedang ini.”

Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat

dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka.

Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya

menerima pedang itu dengan hati yang kosong.

“Nah, di tangan kalian telah tergenggam pedang,” kata Karang

Tunggal, “Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah

yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan

jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”

Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal.

Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya. Ketika

ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu

lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk

dada kakak sepupunya. Namun Arya Salaka telah membayangkan

bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia

menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara

bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara

meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api

kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali ia

melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya

angin ribut.

Page 64: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 87

Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian

yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah anak-anak

muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang

berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu

dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing. Arya Salaka

telah berkembang dalam

lingkaran ilmu keturunan

Pengging, sedang Sawung

Sariti menjadi perkasa karena

ilmu keturunan Pangrantunan.

Dua ilmu yang dahsyat, yang

pada masa-masa lampau

menjadi pasangan yang

mengerikan untuk menghadapi

kekuatan golongan hitam.

Karang Tunggal menyaksi-

kan pertempuran itu dengan

seksama. Ia melihat betapa

keduanya sambar-menyambar

dengan tangkasnya seperti

sepasang burung rajawali yang

bertempur di udara. Namun

sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau

yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor

banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing

mengerikan. Tetapi Karang Tunggal samasekali tidak

mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada

kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah

bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan

tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja

akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau

ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti

akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.

Page 65: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 87

Pedang di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya.

Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan.

Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata

pedang yang menusuk dari ribuan arah. Namun Arya Salaka adalah

murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama

Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya pun mampu membentengi

dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak

seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya.

Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya

dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali

serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu

sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan

hati lawannya.

Demikianlah mereka tenggelam semakin dalam, dalam

pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah

mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka

melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang

dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka

berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon

nyamplung yang besar itu. Pedang mereka berkilat-kilat seperti

tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata

itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.

Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan

mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan

ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding

yang dapat menghentikan denyut jatung.

Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui

kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun

disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing,

perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan,

telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-

ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang

merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-

Page 66: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 87

olah menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari

setiap bahaya yang menyentuhnya.

Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka

telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan

yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan

Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.

Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan

keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan pedang

Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak

selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada

saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang

Arya Salaka terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha

menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula

dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya,

berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung

Sariti berhasil. Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke

samping. Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar

tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan

demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya.

Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka

itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah.

Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan

menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa

disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang

hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram

dan giginya gemeretak.

Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di

antara mereka. Dengan lantang ia berkata, “Keputusan telah

jatuh. Darah telah menetes dari luka.”

Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang

berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Katanya

tidak kalah lantangnya, “Apa maksudmu?”

Page 67: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 87

“Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan.

Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan selesailah

persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.

“Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.

“Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh

di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.

Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya

kini telah benar-benar memuncak.

“Tidak ada pertaruhan apa-apa!” Tiba-tiba terdengar suara

Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri. “Marilah kita

lupakan persoalan kita.”

Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia

tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.

“Bagus,” katanya, “Kalian tetap pada kedudukan kalian

masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang

terpisah.”

Bagi Sawung Sariti semuanya itu seakan-akan merupakan

ejekan atas kekalahannya. Didorong oleh harga diri dan dilambari

oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung Sariti telah lupa

pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang

bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan

sifat kepribadian yang sejak lama mencekam tata kehidupan

daerah ini. Ia sudah tidak memperdulikan lagi segala galanya.

Dengan suara nyaring ia berkata “Laki laki tidak mengenal darah

yang menetes dari luka. Ayo kakang Arya Salaka, bersiaplah. Kita

bertempur antara hidup dan mati.”

Dada Arya bergetar mendengar tantangan ini, ia tidak

menghendaki hal demikian terjadi. Namun terasa pula bahwa

dendam yang membara didada adiknya itu tak akan padam.

Karena itu ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia

menyesal mengapa tidak mengajak gurunya atau ayahnya

Page 68: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 87

menjemput ibunya. Kalau demikian keadaannya mungkin berbeda.

Tetapi didalam hatinya melontarlah kata-kata “kalau Sawung Sariti

tidak melakukannya sekarang, maka akan akan datanglah saatnya

pertentangan yang memuncak. bara api yang tersimpan didalam

dada anak itu bagai bara api yang tersembunyi didalam sekam.

Setiap saat akan berkobar membakar dirinya.”

Dalam pada itu Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung

Sariti ternyata tidak berjiwa besar. Karena itu akhirnya ia berkata

“kenapa kau mengingkari janji ?”.

“Aku tidak pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan

atau tidak, aku akan bunuh kakang Arya Salaka,” jawab anak

muda yang mata gelap itu.

Suasana dibawah pohon nyamplung kini benar benar dicekam

oleh ketegangan yang memuncak. Gemersik daun daunnya yang

rimbun terdengar seperti lagu maut yang membelai hati ketiga

anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya.

Arya Salaka masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang

harus dilakukan?

Tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh

dimulai hujan. “Jangan tegak seperti patung. Aku ulangi, melawan

atau tidak, aku akan membunuhmu. Bersiaplah. Aku akan mulai.”

“Tunggu dulu,” sahut Arya Salaka.

Tetapi Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia

telah meloncat seperti seekor serigala lapar menerkam

mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya dan

Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya samasekali

tidak menduga Sawung benar-benar akan mengancam jiwanya

pada saat ia sedang mencoba mencegah perkelahian. Karena itu

ia agak gugup. Ia melihat pedang adik sepupunya yang besar dan

panjang tiba-tiba saja terjulur kedadanya. Dengan segala

kemampuan yang ada padanya ia mencoba memukul pedang

Page 69: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 87

tersebut. Namun terlambat. pedang Sawung berhasil mematuk

dadanya. Kemudian sebuah goresan yang panjang membekas

menyilang. Perasaan pedih menjalar menyusur segenap sarafnya.

Arya berdesis perlahan. Untunglah ia tangkas, sehingga

goresannya tidak dalam. Namun demikian darah yang mengalir

dari luka itu, seakan akan minyak yang akan menyiram api

kemarahan anak muda dari Banyubiru. Arya Salaka bukan anak

dewa ataupun malaikat dari langit. Karena itu, maka iapun

memiliki sifat-sifat anak muda pada umumnya. Darahnya yang

panas, serta jiwanya yang meledak-ledak. Selagi Arya Salaka

masih memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya. Marah, dendam

dan nafsu mempertahankan diri.

Demikian akhirnya Arya telah kehilangan semua kesabaran

serta kelunakan hati. Yang didalam dadanya kini adalah

kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan

kering di lereng bukit dalam arus angin yang kencang. Hilanglah

kini pengamatannya atas adik sepupunya. Yang ada di hadapannya

kini adalah lawan yang sedang mempertaruhkan hidup atau mati.

Karena itulah maka sambil menggeram keras Arya meloncat

dengan tangkasnya, kemudian seperti badai ia menyerang Sawung

Sariti. Namun Sawung Sariti telah bertekad bulat untuk bertempur

mati-matian.

Namun, Sawung Sariti pun telah bertekad bulat. Ia telah

memutuskan untuk bertempur mati-matian. Ia tidak akan mau

hidup bersama-sama dengan kakak sepupunya dalam lingkungan

langit yang sama. Kakak sepupunya atau ia yang harus mati.

Maka terulang kembali pertempuran sengit dibawah pohon

nyamplung. Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya

sedang mendidih sampai kekepala.

Karang Tunggal kini berdiri seperti tonggak. Ia benar-benar

menjadi kecewa. Ia kini tidak bisa berharap bahwa dendam

diantara keduanya akan terhapus karena ucapan jantan. Karena

itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi dan duduk ditepi jalan

Page 70: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 87

bersandar pokok pohon nyamplung. Untuk menghilangkan

kejengkelan hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak keras-

keras, “Aku tidak peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi

kemudian, aku tidak turut campur. Juga seandainya kalian mati

bersama-sama, aku akan berdendang lagu Kinanti, samasekali

bukan Megatruh!”

Meskipun kata-kata Karang Tunggal itu bergetar memenuhi

udara, namun Sawung Sariti dan Arya Salaka tak mendengarnya.

Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada perjuangan

mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing.

Pertempuran kali inipun semakin lama menjadi semakin

memuncak. Masing-masing telah melepaskan segenap ilmu

pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan

ilmu pedang dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang

seimbang dan dimiliki oleh dua orang anak muda dalam tataran

yang seimbang pula.

Namun, sekali lagi nampak, betapa kekuatan jasmaniah Arya

Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti. Itulah sebabnya

maka Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya

untuk memukul lawannya. Namun agaknya Sawung Sariti tidak

akan berhasil. Sebab Arya Salaka pun mampu bertempur dalam

kelincahan yang mengagumkan. Bahkan kemudian keduanya

seakan-akan berubah menjadi bayangan yang melayang-layang

secepat sikatan menyambar belalang.

Pedang Sawung Sariti bergerak dalam bidang-bidang yang

mendatar, mematuk dan kemudian berputar seperti baling-baling.

Sedangkan pedang Arya Salaka mengambil garis-garis silang

untuk mematahkan serangan Sawung Sariti dan kemudian

bergerak melingkari dirinya, untuk kemudian dengan dahsyatnya,

sedahsyat angin pusaran, pedang itu melibat lawannya. Dalam

benturan-benturan yang terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan

tubuh Arya Salaka melampaui kekuatan lawannya. Maka ketika

Arya Salaka tidak lagi dapat mengendalikan diri, pedangnya

Page 71: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 87

menyambar dengan cepat dan kerasnya ke arah leher lawannya.

Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah daripada

lawannya. Cepat ia merendahkan diri dan pedangnya menyilang,

melindungi tubuhnya. Terjadilah suatu benturan yang dahsyat.

Seperti bunga api menghambur di udara. Dalam benturan itu, Arya

telah mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah

mempergunakan ayunan pedangnya serta berat badannya untuk

memperkuat serangannya. Dengan demikian, kekuatan yang

menghantam pedang Sawung Sariti jauh melampaui kekuatan

Sawung Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur, sedang

pedangnya bergetar cepat. Terasa jari-jarinya menjadi panas dan

nyeri. Cepat ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya, namun

secepat itu pula sekali lagi pedang Arya Salaka memukul pedang

Sawung Sariti. Kali ini Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan

pedangnya. Dengan kerasnya pedangnya terpukul jatuh ditanah.

Sawung Sariti menggeram keras karena terkejut dan nyeri-nyeri

ditangannya.

Dengan cepatnya ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Namun

Arya pun mampu bergerak secepat itu, sehingga ketika Sawung

Sariti berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya seakan-akan telah

melekat di dadanya. Sekali lagi ia mencoba menjauhkan diri dari

ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar maju dengan

kecepatan yang sama. Akhirnya Sawung Sariti berhenti.

Tangannya bergetar, namun tak sesuatu dapat dilakukan. Sedang

ujung pedang Arya masih saja menekan dadanya.

Melihat keadaan kedua anak muda yang bertempur itu, Karang

Tunggal menjadi tegang. Tanpa sesadarnya, ia meloncat berdiri

dengan wajah tegang menanti apa yang akan terjadi.

V

Pada saat itu, Arya benar-benar telah menguasai lawannya.

Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya akan

menembus dada adik sepupunya itu. Namun tiba-tiba tatit dari

Page 72: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 87

ujung langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di wajah

adiknya yang tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari

Banyubiru itu. Ia pernah melihat wajah yang sedemikian itu di

Gedangan, beberapa tahun lampau. Kalau ia mau, pada saat itu

Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung tombak pusakanya.

Tetapi pada saat itu ia tidak dapat membunuhnya. Perasaannya

dirisaukan oleh kenangan masa-masa silam. Masa kanak-kanak

dan masa-masa mereka bergaul sebagai saudara. Seperti juga

pada saat yang serupa, kini tangan Arya Salaka yang memegang

pedang itu bergetar, bergetar karena getaran di dalam jiwanya.

Getaran perasaan seorang kakak. Betapa pun kemarahan telah

membakar dadanya, namun Arya masih sadar, bahwa Sawung

Sariti adalah adik sepupunya.

Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti

lantang, seperti apa yang dikatakan beberapa tahun yang lampau,

“Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku.”

Arya Salaka memandang wajah adiknya. Tangannya masih

bergetar. Namun mulutnya tiba-tiba seperti terkunci. Bahkan

kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata, “Kali ini

bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.”

NAFAS Arya Salaka berjalan semakin cepat. Bukan karena

kelelahan, tetapi karena perasaannya yang bergolak demikian

dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah menggoncangkan

nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah

adiknya dengan seksama. Wajah yang masih memancarkan

perasaan dendam dan benci. Namun karena itulah maka Arya

Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap getaran

perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu.

Karena itu tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar, “Adi Sawung

Sariti. Berjanjilah demi Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan

melupakan gegayuhan yang sesat itu. Kemudian biarlah kita

menikmati hidup tenang. Lepas dari rasa dendam dan prasangka.”

Page 73: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 87

“Kakang,” jawab Sawung Sariti, “Aku sudah berkata, kau atau

aku yang harus lenyap. Kita tak akan dapat hidup bersama di

bawah cahaya matahari yang sama.”

Arya Salaka mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras

mendengar jawaban Sawung Sariti.

Dalam pada itu, Karebet pun menjadi heran melihat peristiwa

itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka. Sebaliknya, betapa keras

kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang Tunggal pun

terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan

terjadi. Di dalam lumpur yang becek, Galunggung masih duduk

dengan mulut ternganga. Pertempuran yang terjadi benar-benar

telah merampas segenap kesadarannya. Dan kini ia melihat

Sawung Sariti dalam bahaya.

Arya Salaka masih tegak di tempatnya. Pedangnya masih

melekat di dada adiknya dengan gemetar. Secepat getaran di

dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi lemas, dan

karena itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah.

Sawung Sariti melihat keadaan kakaknya. Ia melihat pedang

itu semakin renggang dan tunduk. Mula-mula ia merasa aneh,

kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti beberapa tahun

yang lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia

merasakan sesuatu yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di

hatinya. Perasaan segan dan lebih dari itu.

Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau dipengaruhi oleh

perasaannya. Ia tidak mau disebut sebagai seorang pengecut,

yang takut menentang maut. Karena itu ia masih mencoba

berkata, “Jangan menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat

dadaku. Bunuhlah aku.” Namun suara Sawung Sariti sudah tidak

selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar dan ragu.

“Hem!” Arya Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-

benar terkulai. Dengan mata yang sayu ia berkata, “Adi Sawung

Sariti, masihkah hatimu segelap itu?”

Page 74: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 87

Kembali terasa sesuatu berdesir di dada Sawung Sariti.

Kakaknya itu benar-benar tak mau membunuhnya. Tetapi ia

berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya, “Apa pedulimu

tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati

itu.”

Arya menjadi kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi

sangat kecewa. Karena itu Arya berkata putus asa, “Baiklah Adi.

Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah yang akan

mati di antara kita.”

Sekali lagi dada Sawung Sariti bergoncang. Kesempatan itu

masih didapatnya. Aneh. Apakah Arya Salaka tidak melihat

kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh pedangnya, atau

barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat

mengalahkannya? Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu

benar-benar mengacaukan perasaannya. Dan karena itulah ia

tidak segera bergerak memungut pedangnya. Malahan matanya

dengan penuh pertanyaan memandang Arya dan Karebet berganti-

ganti. Getaran di dalam dadanya semakin lama menjadi semakin

keras. Akhirnya terdengarlah suara lamat-lamat jauh dari dalam

relung hatinya berbisik, “Sawung Sariti, alangkah luasnya hati Arya

Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung air dari mana pun

datangnya.” Dan karena itulah maka ia masih berdiri mematung.

Dalam kesepian yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah

dari balik gerumbul-gerumbul di tepi parit, seseorang berkata,

“Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.”

Semua yang mendengar suara itu terkejut. Serentak mereka

menoleh ke arahnya. Dan tampaklah sebuah bayangan yang

bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit. Dan

suara itu berkata lagi, “Aku telah mencoba menyabarkan diri,

menunggu kalian saling membunuh. Tetapi aku tidak telaten.

Kalian berperasaan seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian

tidak bertempur dan membunuh secara jantan?”

Page 75: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 87

Dada ketiga anak muda yang berdiri di bawah pohon

nyamplung itu menjadi semakin berdebar-debar, dan bayangan itu

masih saja berada di sana sambil meneruskan kata-katanya, “Aku

telah menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri

tanganku. Setidak-tidaknya aku hanya tinggal membunuh dua di

antara kalian bertiga atau satu, apabila kalian laki-laki dan

bertempur seperti laki-laki. Tetapi tidaklah demikian. Karena itu

maka kalian telah memberatkan pekerjaanku. Membunuh kalian

bertiga dengan tanganku.”

Tidak seorang pun dari ketiga orang dibawah pohon

nyamplung itu yang bergerak. Semua berdiri mematung dengan

hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui siapakah

yang berbicara itu.

Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka seakan-akan

membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul

itu meloncat dengan tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu

seperti seekor burung gagak yang berwarna kelam di malam yang

gelap. Mereka menjadi semakin terkejut lagi ketika bayangan itu

telah berdiri di antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu.

Ternyata bayangan itu adalah seorang yang bertubuh bongkok dan

berwajah mengerikan, seperti wajah hantu.

“Bugel Kaliki,” desis Sawung Sariti.

Orang bongkok dari lembah Gunung Cerme itu tertawa

berderai.

Katanya, “Kau pasti mengenal aku dengan baik.”

Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian

hantu bongkok itu berkata pula, “Nah, aku juga ingin melihat

bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini laki-laki. Tetapi aku

kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu. Dan yang

seorang ini aku tidak tahu, apakah hubunganmu dengan kedua

anak ini. Namun karena kau hadir juga di sini, maka kau pun akan

aku binasakan.”

Page 76: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 87

Karang Tunggal pun pernah mendengar tentang Bugel Kaliki.

Ia tahu benar bahwa Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari golongan

hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura Sarunggi dan

sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang

meluap-luap dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-

lonjak dipenuhi oleh daya hidupnya, maka ia pun marah bukan

buatan. Dengan berdiri tegak dan bertolak pinggang, ia berkata

lantang, “Hai Bugel Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah

yang bernama Karang Tunggal, yang disebut juga Mas Karebet

dalam panggilan Jaka Tingkir.”

Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat

sikap anak muda yang seakan-akan tak mengenal takut

kepadanya itu. Maka katanya, “Sudahkah kau kenal nama Bugel

Kaliki dengan baik?”

“Aku sudah cukup mengenal,” jawab Karebet, “Bugel Kaliki

adalah tokoh sakti dari lembah Gunung Cerme.”

Bugel Kaliki tertawa. Katanya di antara derai tertawanya,

“Bagus, kau telah mengenal namaku. Tetapi kenapa kau berani

bertolak pinggang di hadapanku?”

Kemarahan Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya,

“Aku tidak mau kau hinakan dengan kata-katamu. Apakah kau kira

membunuh kami bertiga ini semudah membunuh cacing?”

Sekali lagi Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula,

sehingga tubuhnya berguncang-guncang.

“Diam!” bentak Karebet, “Aku muak melihat tampangmu.

Apalagi kalau kau sedang tertawa.”

Bugel Kaliki terkejut, sehingga tertawanya berhenti. Bukan

main. Anak itu berani membentak-bentaknya. Karena itu matanya

mejadi buram dan redup. Dipandangnya Karang Tunggal dengan

seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda itu. Arya

Salaka dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia

Page 77: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 87

harus berdiri membiarkan Karang Tunggal mengalami bencana.

Tiba-tiba terasa pula perasaan dendam di antara mereka. Mereka

merasa bahwa kini nasib mereka serupa. Mereka bersama-sama

akan mengalami bencana, apabila Bugel Kaliki benar-benar

bertindak atas mereka. Apalagi di dalam relung hati Sawung Sariti

telah memancar sepercik api yang menerangi kegelapan hatinya

itu. Maka ketika mereka melihat Bugel Kaliki melangkah perlahan-

lahan mendekati Karang Tunggal, tanpa mereka sengaja, Arya dan

Sawung Sariti pun melangkah maju.

Melihat kedua anak muda yang lain bergerak, Bugel Kaliki

berhenti. Pandangan matanya yang buas berganti-ganti hinggap

diwajah Arya dan Sawung Sariti. Kedua anak muda inipun ternyata

tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian Bugel

Kaliki menjadi semakin marah. Dan terdengarlah ia berteriak,

“Apakah kalian bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel Kaliki

dari Gunung Cerme?”

“Selama kami berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami

takuti,” jawab Arya Salaka.

“Gila!” geram Bugel Kaliki, “Kau berdua telah terluka.

Membunuh kalian akan sama mudahnya dengan membunuh

semut.”

“Aku sudah siap untuk mati sejak tadi,” sahut Sawung Sariti,

“Namun jangan mimpi, kami akan menyerahkan leher kami tanpa

perlawanan. Dan kalau aku mati karena tanganmu, maka aku akan

mendapat penghormatan sebagai seorang laki-laki dari Pamingit.

Bukan karena pertentangan antara keluarga sendiri. Aku sekarang

menyesal bahwa aku telah melawan kakang Arya Salaka.”

Arya Salaka dan Karang Tunggal bergetar hatinya mendengar

pengakuan yang tiba-tiba itu. Ketika mereka memandangi wajah

Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari dasar hatinya.

Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik,

Page 78: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 87

“Terimakasih adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang

dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Dalam pada itu Bugel Kaliki menjadi bertambah-tambah marah

juga. Ia mengharap bahwa seharusnya ketiga anak muda itu

menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta ampun.

Tetapi ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka.

Bahkan anak yang bernama Karang Tunggal itu masih saja berdiri

bertolak pinggang. Karena kemarahannya itu tiba-tiba Bugel Kaliki

berkata nyaring, “Hai tikus-tikus yang tak tahu diri. Kalian telah

berbuat kesalahan pada akhir hayat kalian.Hem. Alangkah

menyenangkan apabila aku melihat kalian meronta-ronta dan

menderita sakit pada saat ajal tiba.”

Kata-kata itu diucapkan oleh seorang iblis yang mengerikan.

Karena itu, maka dada ketiga anak muda itu pun berdesir pula.

Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang dikatakan oleh

orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun

desiran didada mereka terasa seperti menggores jantung, namun

mereka tidak menjadi gentar.

Terdengarlah Karang Tunggal menjawab, “Omong kosong. Kau

ingin menakut-nakuti kami, supaya kami menjadi menggigil dan

kehilangan nafsu perlawanan kami.”

Jawaban itu benar-benar membakar hati Bugel Kaliki. Seperti

tatit ia meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal. Gerakan

Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan tidak terduga-

duga sehingga tak seorang pun mampu mencegahnya, bahkan

Karang Tunggal pun tak mampu mengelakkan. Namun gerakan

Bugel Kaliki bukanlah serangan yang sebenarnya. Ia menampar

saja karena marah, meskipun demikian tangan Bugel Kaliki adalah

tangan hantu yang seakan-akan gumpalan timah yang keras.

Karena itulah maka tamparan itu pun seolah-olah seperti ayunan

bandul timah yang berat, menghantam pipi Karang Tunggal.

Page 79: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 87

Meskipun Karang Tunggal mencoba mengelak, namun

kecepatannya bergerak tidak dapat memadai kecepatan Bugel

Kaliki, sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak

dapat dihindari. Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting

dan terbanting jatuh. Kepalanya hanya tergeser sedikit dan ia

terdorong mundur beberapa langkah.

Bugel Kaliki melihat kenyataan itu. Ia sudah mengatur

kekuatan geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong itu

akan terpelanting dan jatuh berguling ditanah. Tetapi Karebet

ternyata tidak demikian. Bahkan terasa seolah-olah ada lambaran

yang membatasi tangannya dan tubuh anak itu. Karena itu, maka

Bugel Kaliki menjadi berdebar-debar. Dengan pandangan mata

yang buas ia memandang Karebet seperti hendak ditelannya

hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba terlontar kata-katanya,

“Setan, dari mana kau miliki aji Lembu Sekilan itu?”

Karebet kini telah tegak kembali. Ia telah mengetrapkan

ilmunya sejak ia melihat kedatangan hantu yang dapat bergerak

secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka, bahwa Bugel Kaliki

pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun

selalu bersiaga. Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu

bongkok itu.

Arya Salaka pun tergetar melihat peristiwa itu. Sejak

pertemuannya yang pertama dengan Karang Tunggal, ia telah

mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini ia

menyaksikan betapa Karebet berhasil mempertahankan

keseimbangannya dari dorongan tangan Bugel Kaliki. Apalagi

Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika ia mendengar Bugel

Kaliki berkata, bahwa anak muda yang bernama Karang Tunggal

itu memiliki aji Lembu Sekilan. “Kalau demikian,” Pikirnya, “ia tidak

bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku

ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa

karena pedangnya. Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia

dapat sekehendak hatinya menusuk dadaku dari arah yang

disukainya”

Page 80: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 87

Dalam pada itu terdengar Bugel Kaliki berkata, “Kalau

demikian, kaulah yang harus dibinasakan lebih dahulu. Sebab

ajimu itu, apabila kelak benar-benar dapat kau matangkan, maka

kau akan menggulung jagad.

Tetapi sekarang, belum.

Ternyata kau masih bergetar

karena dorongan tanganku.

Kalau aku hantam sekuat

tenagaku, meskipun kau

melambari dirimu dengan

Lembu Sekilan, namun iga-

igamu rontok seluruhnya.”

Karang Tunggal masih

tetap berdiam diri, namun ia

benar-benar telah bersiaga.

Kalau datang serangan yang

tiba-tiba dan dengan sepenuh

tenaga, ia pun telah bersiap

mengelak.

“Nah, bersiaplah untuk

mati. Kalian bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya sebagai

pembalasan dendam atas kematian sahabat-sahabatku,” kata

Bugel Kaliki seterusnya.

Karang Tunggal, Arya Salaka dan Sawung Sariti sadar bahwa

Bugel Kaliki pasti berusaha untuk melaksanakan kata-katanya.

Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa berjanji Arya Salaka

dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing.

Mereka berdiri sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu,

sehingga mereka dapat mengambil garis perkelahian yang

berbeda-beda. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mendengus dan

kemudian tertawa pendek. Setelah itu, ia pun mulai bergerak

menyerang Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal telah benar-

benar siap. Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya dari tangan

Bugel Kaliki. Dan ketika Bugel Kaliki mencoba mengulangi

Page 81: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 87

serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan Sawung Sariti

bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia

menghindari kedua ujung pedang itu. Namun gerakannya

sedemikian tangkasnya, sehingga sesaat kemudian ia pun telah

berhasil meloncat menyerang Arya Salaka. Ia menyilangkan

pedangnya di muka dadanya. Tetapi Bugel Kaliki menggeliat di

udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung. Arya

terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan

pedangnya yang panjang menyerang langsung dengan garis

mendatar, memotong gerakan Bugel Kaliki. Sekali lagi Bugel Kaliki

menggeram. Ternyata anak-anak itu benar-benar bukan anak-

anak kecil. Ketika ia melihat perkelahian antara Arya Salaka dan

Sawung Sariti, memang ia telah mendapat gambaran tentang ilmu

kesaktian anak itu, namun kini ia telah membuktikannya.

Namun Bugel Kaliki adalah seorang iblis yang mengerti. Ketika

pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki melantingkan

kesamping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret kekuatannya

yang dikerahkan seluruhnya. Bugel Kaliki terkejut. Ia melihat

Sawung Sariti sedang mencoba mempertahankan keseimbangan.

Dalam keadaan yang demikian ia menyerang, melihat serangan

itu, tetapi ia terhalang oleh adiknya. Yang kemudian dilakukan

adalah menjulurkan pedangnya, diatas punggung Sawung Sariti

menanti kedatangan Bugel Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak

banyak berarti bagi Bugel Kaliki. Dengan cepatnya ia melontar diri

ke arah anak muda dari Pamingit itu. Tetapi sekali lagi Bugel Kaliki

menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak habis-habisnya ketika

tiba-tiba tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal yang

sengaja menghalang-halangi geraknya. Dengan demikian Bugel

Kaliki terhenti ditempatnya, namun Karang Tunggal terpelanting

beberapa langkah dan jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa ia

berhasil menempatkan dirinya sehingga tidak menimpa Sawung

Sariti dan Arya Salaka.

“Gila!” teriak Bugel Kaliki, “Kau tidak mati karena benturan

ini?”

Page 82: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 87

“Sebagaimana kau lihat,” sahut Karang Tunggal yang sudah

berhasil berdiri. Ternyata aji Lembu Sekilan telah

menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting jatuh.

Namun ia tidak mengalami luka pada tubuhnya.

Kesempatan itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh

Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya mereka

mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan

yang baru. Tetapi pertempuran yang baru sebentar itu telah

memberi mereka gambaran bahwa umur mereka tidak akan terlalu

panjang lagi.

Bugel Kaliki segera bersiap maju. Matanya menjadi bertambah

merah karena kemarahan yang menyala di dadanya semakin

menjadi-jadi pula. Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan

beberapa saat menghadapinya. Karena itu ia menggeram tak

henti-hantinya dan mengumpat tak habis-habisnya.

Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan serangannya, tiba-tiba ia

terkejut sehingga ia tegak mematung. Ia melihat anak yang

bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam bajunya

dan ketika tangannya itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah

keris yang memancarkan cahaya yang buram, seperti bara. Dan

tiba-tiba pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis, “Sangkelat.”

“Ya,” sahut Karang Tunggal, “Inilah Kyai Sangkelat.”

“Setan!” Hantu itu bergumam. Namun hatinya berdebar-debar

cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat keris itu tidak bercahaya

berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan pernah juga ia

mendengar cerita, bahwa Sangkelat yang demikian itu

menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa

pemegangnya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang

Tunggal membenarkan dugaannya bahwa yang dipegang itu

adalah Kyai Sangkelat.

Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar pula melihat keris

itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun terasa

Page 83: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 87

bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan

yang luar biasa. Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki

menyebut nama keris itu, “Sangkelat.” Dan nama keris itu pernah

didengarnya.

Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai Sangkelat itu telah

memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang

dapat diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat.

Karena itu, dengan gerak diluar sadarnya, pedang di tangannya

berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya telah

memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-

kuningan.

Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya.

Sekali lagi mulutnya berdesis, “Kyai Suluh.”

“Ya,” sahut Arya pendek.

“Hem!” geram Bugel Kaliki, “Dari mana kalian mendapat

benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh

itu pusaka Pasingsingan?”

“Ya,” sahut Arya.

“Persetan dengan pusaka-pusaka itu!” Tiba-tiba ia berteriak.

Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada

suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi

perasaannya.

Melihat kedua kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka

yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung Sariti berbesar hati

pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah

panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah

keseimbangan pertempuran itu. Maka karena itulah ia berkata

dengan suara nyaring, “Kakang, berikan pedang itu kepadaku

apabila tak kau pergunakan lagi.”

Arya memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang

cukup menggetarkan. Karena itu, dengan tidak berkeberatan

Page 84: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 87

diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya. Sambil

menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam, “Akan aku coba

ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora

Dipayana kepadaku.”

“Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku

akan berterima kasih kepada kalian, karena setelah kalian mati,

maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki

pula.

Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu

tertawa.Jawabnya,”Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”

Bukan main marahnya hantu dari Gunung Cerme itu

mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak-anak. Karena itu

ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.

Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-

anak itu bergerak pula memberikan perlawanan yang gigih. Kyai

Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang rangkap Sawung

Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti

saling membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti. Tetapi di

antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-

gerak seperti asap yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-

senjata mereka.

Namun meskipun demikian, Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat

sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang masih

sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu

perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan

yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi

dan saling memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan

kedua pusaka yang menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya

Salaka, maka Bugel Kaliki benar-benar harus berhati-hati.

Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah kenyang

makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam

Page 85: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 87

kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian

duduk di atas bangkai itu sambil makan seenaknya.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dalam

keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak berada dalam

keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis

diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun

tidak dapat melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya,

namun ia dapat menghindarkan dirinya dari sentuhan-sentuhan

kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka

seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang

lain. Ialah yang mengambil sikap dan menentukan permainan yang

mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki bertambah

marah.

Tetapi, setelah mereka bertempur beberapa saat, tampaklah

tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain kelelahan yang telah

menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya.

Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan

tangannya sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak.

Demikian juga darah dari dada Arya yang telah tergores oleh

pedang Sawung Sariti. Namun ketahanan jasmaniahnya ternyata

lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan itu,

Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus

bekerja sekuat tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai

persediaan yang tak kering-keringnya didalam tubuhnya. Memang

selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula.

Meskipun ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak

pertempuran itu dimulai, namun semakin lama, seakan-akan ia

menjadi semakin segar dan kuat.

Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu,

melihat kelemahan itu. Karebet adalah anak yang sangat

berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka

yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu

adalah Arya Salaka atau Sawung Sariti.

Page 86: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 87

Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada

Arya Salaka dan Sawung Sariti. Bugel Kaliki telah mangerahkan

serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti

sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat

yang menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya.

Ketika mereka sedang sibuk dengan pertempuran itu, dimana

perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka

mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka

duga-duga. Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek,

ketika melihat kehadiran hantu dari Gunung Cerme itu, menjadi

seakan-akan membeku. Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki.

Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua impiannya kini

telah benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin.

Impiannya tentang tanah yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan

atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan kemewahan. Sebab

dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi

Sawung Sariti menjadi semakin tipis. Tetapi ketika ia melihat

pertempuran di antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan

ketiga anak-anak muda itu hatinya menjadi hidup kembali.

Darahnya serasa mulai mengalir. Ia melihat bagaimana ketiga

anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka. Bahkan

anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-

nyambar seperti burung alap-alap di langit. Dengan demikian

pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan kembali. Mula-mula ia

ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu

tidak akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya

lagi.

Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-

hati ia merangkak masuk ke dalam tanaman jagung muda itu

semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti kembali

menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam

di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari

sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit.

Siapa pun yang akan dijumpainya pertama, akan diberitahukan

Page 87: 24 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 87

kepadanya bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang

bertempur melawan Bugel Kaliki.

Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah.

Perlawanannya telah menjadi semakin kendor. Kedua pedangnya

yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang bergulung-

gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor.

Sedangkan serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang pula.

Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki berhasil menerobos

lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan

kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti

menyilangkan kedua pedangnya dengan kekuatan raksasanya,

sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di

tanah. Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki

mengulangi serangannya langsung ke dada Sawung Sariti.

Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti

telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.

Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut pula melihat Bugel

Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos serangan-serangan

mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang Tunggal

meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung

terjulur lurus ke lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada

dalam jarak yang lebih jauh, tak mampu meloncat mencapai

lawannya. Maka ia hanya berusaha menyelamatkan Sawung Sariti

yang sedang kehilangan keseimbangannya.