25 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja

91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

88 views

Category:

Art & Photos


24 download

TRANSCRIPT

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91

I

engan cepat ia mendorong adiknya ke samping. Kedua

gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel Kaliki

terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat.

Namun sentuhan itu mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi

sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas dari Gunung

Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan.

Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel

Kaliki itu serasa seperti terhantam reruntuhan bukit Merbabu.

Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di tanah.

Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat

kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.

Bugel Kaliki yang telah berhasil menjatuhkan satu lawannya

tertawa berderai, membelah sepi malam. Ia yakin, bahwa anak

kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri

meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.

Pertempuran itu untuk sesaat terhenti dengan sendirinya.

Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan sakit. Namun dari

mulutnya telah mengalir darah yang merah.

Sesaat kemudian, ketika Arya Salaka menyadari apa yang

terjadi, menggelegaklah dadanya seperti akan meledak. Betapa

prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik

sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah

menuntut pembelaan padanya. Anak itu adalah sisiran kulit

dagingnya. Sehingga bencana yang menimpanya berarti bencana

pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai adiknya itu adalah

tangan orang dari gerombolan hitam. Karena itu, maka tiba-tiba

terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya

sendiri. Yang terukir di hatinya adalah menuntut balas.

Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat

dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau

D

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91

itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi

yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti

burung sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih

menggetar memenuhi udara. Namun suara itu kemudian berhenti

ketika datang serangan Karang Tunggal yang tidak pula dapat

menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu

berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan

kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan

perhatiannya. Seandainya anak itu tidak memegang Kiai

Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat

banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati

menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan

berarti maut baginya.

Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah

pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang

seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk

sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang

tak terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah

kesalahan mereka bersama, sehingga dengan demikian, mereka

yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus memperbaiki

kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat

bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun

tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di

pihaknya. Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan

Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak

yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya

hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia

mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu

Lembu Sekilan. Baru apabila keterangan-keterangan itu telah

didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya.

Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang

diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya.

Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya

masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91

Sedangkan Sawung Sariti agaknya benar-benar terluka parah.

Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya dari tempatnya,

meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun

sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.

Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit

terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu lagi berlari

sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat kakinya

bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan

malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah

ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.

Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi

cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya

dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-

tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar

yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit.

Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah

kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”

Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling

berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia mencoba

untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau

orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan

nyawanya begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah

hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.

“Tiga orang” desisnya di antara deru nafasnya.

Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeras-kerasnya karena

kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin

dekat padanya, menjadi semakin jelas pula, “Tuan...” suaranya

terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.

Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka

pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke arah mereka itu.

Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91

“Kenapa kau Galunggung?” tanya salah seorang.

Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya

benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh

di tanah. “Tuan...” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran.

“Bugel Kaliki”

“Bugel Kaliki?” sahut mereka bertiga hampir bersamaan.

“Di mana dan mengapa?”

Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah.

Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar. “Di

bawah pohon nyamplung”

“Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.

Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan

lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.

Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian

terdengarlah salah seorang berkata, “Di manakah pohon

nyamplung itu?”

“Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon” jawab yang lain.

“Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya”

kata yang lain lagi. “Berilah aku ancar-ancar”

Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk

sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai berbicara,

meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya seperti

angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak

seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir

kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.

Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan matanya

masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan ke luar.

Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91

kejemuan mereka, mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan

desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba

hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung

Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena

itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke

Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya

seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar

halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu

terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.

Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki

melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan dengan

serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan

mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun

juga, akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui

di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok itu benar-benar

berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur

mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin

lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-

tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah

matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-

kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi

cucunya itu.

Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu tertawa berderai

mengerikan, seolah-olah daun pohon nyamplung yang lebat itu

ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh berbeda

dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang

didalamnya dilontarkan pula aji GelapNgampar, namun suara

tertawa Bugel Kaliki itu benar-benar menyakitkan hati.

Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah.

“Tutup mulutmu hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau

kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu dengan Kiyai

Sangkelat ini”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91

Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian

kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan kemudian

Bugel Kaliki berkata, “kalau kau mampu berbuat begitu anak yang

perkasa, pastilah sudah kau lakukan”

Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel

Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok itu

masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari

setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali

iapun mampu menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa

hantu itu benar-benar tak mampu melawan. Karena ia masih

menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu

semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda

itu berada diambang bahaya.

Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang

menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok bayangan yang

terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu

menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping,

mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu.

Karang Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka

juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada

mereka.

Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan

main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya

telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah

yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri

sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan

mengejarnya, sampai diujung langitpun. Karena itu maka tidak

ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar

jiwa. Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan

dapat sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung

dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya. Meskipun

demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apa pun

caranya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91

Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima

depa didepan mereka. Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah

tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang

berbaring ditanah. “Siapakah dia?” gumamnya

“Adi Sawung Sariti” sahut Arya Salaka. namun matanya masih

tertanam dimata Bugel Kaliki.

“Sawung Sariti” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar

bersamaan. Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati

tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan

diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.

Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti

sambil berbisik, “Sawung Sariti”

Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo

Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah, “siapakah kau?”

“Kebo Kanigara” jawabnya.

“Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?” desis

Sawung Sariti lirih.

“Ya” jawab Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah Sawung

Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan sakit di dalam

dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk bergerak,

tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.

“Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali” kata Kebo

Kanigara.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa.

Katanya, “Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan

persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur

secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut,

berempat sekaligus”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91

Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat,

“setan” desisnya marah, “ia telah melukai dadaku” Sedemikain

marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya itu

ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh.

dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali

terkulai di tanah.

“Jangan bergerak” kembali Kebo Kanigara menasihati.

Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.

“Iblis itu” desis Sawung Sariti

“Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya”

“Apakah paman Mahesa Jenar disini?” bertanya Sawung Sariti.

“Ya” jawab Kebo Kanigara

“Syukurlah” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan

nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua”

Dalam pada itu, terdengar Bugel Kaliki berkata pula, “Ayolah.

Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku

lukai?”

“Diamlah!” potong Mahesa Jenar, “Jangan mencoba

mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin

bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian. Kau tak

usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu”

Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. “Gila!” geramnya. “Kau

terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya

Sima Rodra yang garang itu”

“Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan

berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak” bantah Mahesa

Jenar.

“Mereka yang mulai. Bukan aku” jawab Bugel Kaliki.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91

Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah kata-

kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan.

Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati,

ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia

kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah.

Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki

tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan

aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.

Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula

melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya yang

tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat

menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula.

Bahkan terdengar hantu itu berkata, “Mahesa Jenar, kau benar-

benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-lingkar.

Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau

sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak tahu diri itu”

Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya, “Akulah

yang sudah berdiri paling dekat”

“Bagus!” teriak Bugel Kaliki.

Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan

kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah

bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil

menghindarkan dirinya.

Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit di

bawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa

Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang

berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan.

Singa lena, silih ungkih.

Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti.

Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari mereka yang

sedang bertempur mati-matian itu. Arya Salaka dan Karang

Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91

mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-

mendesak. Sesekali mereka melihat Mahesa Jenar terdorong

surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki

meluncur beberapa langkah mundur.

Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu

berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak

meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu

menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-

nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan

paruhnya yang tajam runcing. Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-

akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun

melawannya setangguh seekor banteng jantan.

Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki

bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar

biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak

mampu melawannya. Karena itu, maka untuk keselamatan diri,

akhirnya diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak

pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna

merah, dan di salah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja

kuning. Pusaka peninggalan nenek moyangnya. Dengan

memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya

seperti baling-baling.

Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia

tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia tidak

sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sawung

Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-

lamat ia masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-

kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa

Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala

kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.

Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin

lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung barat. Namun

pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91

terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.

Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-

nyambar seperti burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah

sekadar burung merpati yang ketakutan.

Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan,

namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan wajahnya

yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya

menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing

dan melibat lawannya dari segenap arah.

Mahesa Jenar merasakan kedahsyatan dan kecakapan Bugel

Kaliki mempermainkan senjata aneh itu. Beberapa kali ia terpaksa

meloncat surut dan beberapa kali timah lawannya itu mengiang

dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa

Jenar terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu

bongkok itu menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar

yang kokoh itu terpaksa terdorong surut. Bahkan sekali-kali

tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa Jenar dan

sekali-kali mendorongnya mundur.

Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa melawannya dengan

sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar bertubuh kuat

sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya berusaha untuk

melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun

demikian, senjata Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya.

Sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk menembus lingkaran timah baja

kuning yang berterbangan mengitari tubuhnya. Namun Mahesa

Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap

kemungkinan. Betapa pun sulitnya, sekali-kali ia berhasil juga

mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau dengan tangannya.

Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak banyak berarti,

karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu menghalang-

halanginya.

Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas Karebet memandangi

perkelahian itu dengan penuh perhatian sehingga nampaknya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91

seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap gerak,

baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat

mereka menjadi bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat

setiap kali Bugel Kaliki berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-

kali kemudian berhasil melontarkannya surut.

Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di tempat

masing-masing dengan ketegangan yang semakin meningkat.

Maka setelah mereka bertempur semakin lama, serta usaha

Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih belum berhasil,

karena senjatanya yang aneh itu, bahkan terasa betapa tekanan

Bugel Kaliki semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah

baja kuningnya yang seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar,

sehingga ia tidak sempat untuk menyerang. Akhirnya Mahesa

Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan

hidupnya dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan

demikian, Mahesa Jenar dengan lincahnya meloncat ke samping

beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan timah baja

kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan

garangnya ia mengangkat satu kakinya, ditekuknya ke depan, satu

tangannya diluruskan ke atas seperti akan menyentuh bintang-

bintang di langit, tangannya yang lain menyilang dada. Dan dalam

pada itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra Birawa.

Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun telah

mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa Jenar sedang

mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia meloncat sambil

memutar senjatanya demikian kerasnya sehingga terdengar angin

berdesing. Namun apa yang dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu

cepat. Sehingga ketika serangan itu tiba, Mahesa Jenar sempat

meloncat mundur sambil merendahkan dirinya. Timah baja kuning

itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia telah

tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia meloncat maju.

Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat menghantam

tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih mencoba untuk

menghindar, namun ia terlambat. Sebuah hantaman yang dahsyat

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91

telah mengenainya. Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian

melenting dan jatuh terguling di tanah.

Tetapi hantu itu tidak mau

menyerah pada keadaannya.

Dengan tertatih-tatih ia bang-

kit kembali. Sekali terdengar

umpatan kotor dari mulutnya

serta matanya menyorot sinar

kemarahan yang liar. Kemu-

dian dengan sekuat tenaga ia

melempar Mahesa Jenar

dengan senjatanya. Untunglah

Mahesa Jenar tetap waspada,

sehingga secepat itu pula ia

berhasil menghindari senjata

Bugel Kaliki itu.

Sekali lagi terdengar Bugel

Kaliki mengumpat, kemudian

jatuh kembali, terjerembab.

Arya Salaka memalingkan wajahnya melihat saat-saat terakhir

yang mengerikan dari hantu yang hampir membunuhnya itu.

Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti patung.

Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah. Mati.

Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya

terpanjatlah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah menyelamatkannya dari senjata Bugel Kaliki yang

mengerikan, serta telah memberinya kekuatan, bahkan

membinasakan hantu yang menakutkan itu. Bersyukurlah bahwa

ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi atas

kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi.

Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo Kanigara, Arya Salaka

dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula. Seakan-akan sesuatu

yang menekan dadanya telah dapat dipunahkan. Bahkan tiba-tiba

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91

terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan ketika ia

mendengar teriakan ngeri, “Paman, apakah yang terjadi?”

Kebo Kanigara memandang wajah anak itu. Tampaklah

kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan sakit. Maka

jawabnya, “Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena pamanmu

Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran”

“Bagaimana dengan hantu bongkok itu?” tanya Sawung Sariti

lemah.

“Ia sudah binasa” sahut Kebo Kanigara.

“Tuhan Maha Besar” desisnya. Tetapi hatinya sendiri tergetar

mendengar suaranya. Selama ini tak pernah ia menyebut nama

Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja kata-kata itu

terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu terasa

betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Maka timbullah keinginannya

untuk sekali lagi menyebut nama itu, nama yang selama ini

terlupakan olehnya. Maka katanya, “Tuhan Mahabesar. Ya, Tuhan

Mahabesar”

Mahesa Jenar menoleh mendengar suara Sawung Sariti itu.

Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di sampingnya.

Perlahan-lahan ia berkata, “Tenangkan hatimu, Sawung Sariti”

“Terimakasih, Paman” jawabnya lirih. “Hatiku telah puas.

Hantu itu telah binasa” Tampaklah senyum mengambang di bibir

Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya terdengar semakin

cepat mengalir dari lubang hidung dan mulutnya, sedang dari

mulut itu masih menetes darah yang merah.

“Mahesa Jenar...” kata Kebo Kanigara kemudian, “Apakah

tidak sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat pengobatan?”

Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, “Obat yang paling

baik, telah aku dapatkan, Paman”

“Apakah itu?” tanya Kebo Kanigara.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91

Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, “Di

manakah Kakang Arya Salaka?”

Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa

Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.

“Mendekatlah Arya” kata Mahesa Jenar.

“Kakang..” Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun

matanya telah memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di

dadanya.

“Tenangkan hatimu Adi” pinta Arya Salaka mengulangi kata-

kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.

“Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit” kata Kebo

Kanigara. “Mungkin Paman Sora Dipayana dapat mengobatinya”

“Sebaiknyalah demikian, Kakang” jawab Mahesa Jenar, “Dan

biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti”

Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya,

berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah, “Tolonglah Kakang

Arya, jemputlah ibuku sekali”

“Baiklah Adi” jawab Arya, “Akan aku bawa Bibi Lembu Sora

bersama ibuku ke Pamingit”

Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya

semakin sayu. Katanya, “Terimakasih Kakang”

Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat

tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu terdengar

Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, “Paman, aku telah

menyulitkan Paman”

“Jangan berpikir demikian Sawung Sariti” jawab Kebo

Kanigara. “Adalah kewajiban manusia untuk saling membantu.

Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91

Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi

terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian manisnya

pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?

“Hem..” Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di

dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya yang jauh

tersesat ke daerah nafsu.

Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda.

Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang Kebo

Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.

Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya

Salaka dengan permintaan, apakah boleh pergi bersamanya.

“Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo

Kanigara?” tanya Arya Salaka, “Barangkali Paman Kebo Kanigara

perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti. Di Pamingit

nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak

mampunyai ceritera yang menarik”

“Oh!” Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat

membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Adi,

aku membantu Paman Karang Jati” Dan berlari-larilah Karebet

menyusul pamannya.

Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya, berkatalah ia

perlahan-lahan, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung”

Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab.

Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar. Akhirnya

ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.

Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya, “Kenapa kau

berada di sini, Karebet?”

Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut

kepada pamannya itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91

“Kenapa?” ulang Kebo Kanigara.

Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya

menjadi semakin kecut.

Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut

aku ke Pamingit?”

“Ya, Paman” jawab Karebet singkat.

“Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari

pasukan Nara Manggala” sambung Kebo Kanigara.

Karebet terkejut bukan buatan. “Nara Manggala?” ulangnya.

“Ya” jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh. “Ki Gajah Alit, dan

para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron”

“Benarkah keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.

“Kenapa?” tanya Kebo Kanigara.

Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting di

tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.

“Karebet..” kata Kebo Kanigara kemudian, “Seharusnya kau

menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-

perwira dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi

lurah Wira Tamtama”

“Ya, Paman, tetapi...” Karebet tak dapat meneruskan kata-

katanya.

“Tetapi kenapa?” desak Kebo Kanigara.

Sekali lagi Karebet terbungkam.

Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang

berat, “Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91

Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang

pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi

sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih hidup dan

lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena

Sultan sejak semula telah tertarik kepada keperwiraan dan

kecekatannya, sehingga kasih yang dilimpahkan kepadanya agak

berlebihan dibanding dengan para prajurit lainnya.

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku sudah tahu

apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh

kolong langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”

Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu

wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang ujung-ujung

jari kakinya yang bergerak-gerak karena langkahnya.

Tiba-tiba ia terkejut ketika dengan tiba-tiba pula pamannya

berhenti. Bahkan tanpa sengaja ia mengerutkan pundaknya. Ia

menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.

Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada

kemenakannya yang nakal itu. Maka katanya, “Karebet,

bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para

perwira dari prajurit Demak itu?”

Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika

pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar jantungnya

mereda, ia berkata, “Aku kira lebih baik tidak, Paman”

“Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru.

Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana mengantarkan Arya

Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus berkata sebenarnya

apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan”

“Baik Paman” jawab Karebet. “Aku sekarang berada di rumah

Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih”

“Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau

tempuh?” tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91

seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi, Merbabu, Slamet,

Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di

daerah barat dan timur telah dilintasinya.

Karebet pun kemudian mengambil jalan lain untuk langsung

pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu dekat. Namun

berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya sehari-hari.

II

Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah

kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman

bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah

keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan

serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja. Sedang geraknya

lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai

modal yang cukup lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun

memiliki wajah yang tampan. Tetapi wajahnya yang tampan itulah

yang menyebabkan ia diusir dari Demak.

Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-

benar membunuh orang Demak. Cara Paningron

menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-

senyum yang aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya.

Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser jauh dari

tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam jantan berkokok

bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung Sariti

berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke

Banyubiru? Aku ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa

itu”

Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan

agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab “Barangkali

lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa

yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91

Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah

beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari dalam. Dengan

lirih ia berdesis, “Mudah-mudahan aku mempunyai waktu”

“Jangan berangan-angan demikian” Kebo Kanigara

menasihati, “Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali” Namun

sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat

anak muda dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan

semakin cepat, supaya segera sampai ke Pamingit.

Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke arah

yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke langit yang

bersih. Perlahan-lahan ia berkata, “Hujan sudah jauh berkurang,

Paman”

“Sudah kita lampaui mangsa kesanga” sahut pamannya.

“Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi

oleh awan yang kelam”

“Hari-hari yang cerah” desis Arya Salaka.

Kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba

terdengar Arya berkata, “Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat

yang aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar

dengan Sima Rodra dan sebagainya?”

“Tentu” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi pengaruh keadaan telah

menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-benar telah

putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya menjadikan

Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku

dan Kakang Kebo Kanigara bersama-sama. Sedang sebelum itu

pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah

melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa.

Apalagi dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat

kekalahannya adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku

melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu, sehingga aku

berpikir bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan di punggungnya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91

itu. Demikianlah ketika tanganku mengenai tengkuknya, ternyata

Bugel Kaliki tak mampu melawannya”

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin,

bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus mempergunakan

tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat diketahuinya,

kekuatan dan kelemahan lawan.

Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh

suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan mereka,

Surapadan.

Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa

gemetar, dan ingin meloncat berlari mencari pondok yang

dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari gardu di mulut

jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di

sampingnya.

Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa

Jenar berkata, “Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?”

“Ya paman” jawab Arya.

“Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya

Mahesa Jenar kemudian.

Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, “Ya

paman”.

“Apakah yang terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.

“Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet

tiba-tiba saja berada di tempat itu pula” jawab Arya bimbang.

“Sebelum itu apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.

Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab.

Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu bertempur melawan

Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar Mahesa Jenar

berkata, “Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91

Bugel Kaliki sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau

tersentuh tangannya maka akibatnya akan sama seperti yang

diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah

yang melukaimu?”

Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk

menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha

melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar

mendesaknya. Karena itu, betapa pun beratnya ia terpaksa

berkata, “Sawung Sariti, paman”

“Aku sudah menduga” desis Mahesa Jenar. “Dan kau pun telah

melukai pundaknya”

“Ya, paman” Arya tidak dapat mengelak lagi.

“Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung

Sariti dengan Kiyai Suluh?”

“Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan

oleh Karang Tunggal”

“Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?” tanya Mahesa

Jenar.

“Sudah paman” Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa

yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama Sawung Sariti sehingga

melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti dibawah pohon

nyamplung Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung

Sariti telah menunggunya disitu.

Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari

mulutnya adalah, “itulah gardu dimulut lorong”

Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah

lagi ia akan sampai ke tempat ibunya menyembunyikan diri.

Namun ia masih mendengar gurunya bergumam, “untunglah kau

tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan

demikian setiap orang, juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91

Dipayana akan melihat kesaktian pusaka itu. Dan kaulah

pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya”

Arya menundukkan wajahnya. “Ya untunglah yang demikian

tidak terjadi”

Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu di mulut

lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam. “Kita

membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang

melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil menghitung

halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu ternyata

cukup luas.

Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui

halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan

seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Halaman ketiga

ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya

runtuh dan rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak

tegak lagi. Sebuah gubuk bambu beratap ilalang.

“Di sinikah ibu beserta bibi itu?” desis Arya Salaka ragu-ragu.

“Ya” sahut Mahesa Jenar pasti.

“Tetapi....” kata-kata Arya tertutup.

“Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan

perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti menduga bahwa Ibu dan

Bibimu berada dirumah yang paling baik di desa ini?”

Arya mengangguk.

“Orang lain pun akan menduga demikian. Karena itulah maka

ibu dan bibimu berhasil bersembunyi” sahut Mahesa Jenar.

“Oh” Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91

Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi

bongkah kayu yang berserak serak disamping regol halaman itu.

Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.

“Ketuklah” desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya mengetuk

pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu terdengar sapa

perlahan, suara laki-laki tua. “Siapa?”

“Aku kakek” sahut Arya Salaka.

“Aku siapa?” orang itu menegaskan.

Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia

harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa

kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten. Orang yang

menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.

“Aku kek, burung elang dari lereng bukit” sahut Arya.

Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi

ketika Arya Salaka menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa

Jenar maksud jawaban itu.

Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu.

Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg itu terbuka.

Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok dimuka pintu sambil

berusaha mengamati tamunya.

“Masuklah” orang tua itu mempersilahkan.

“Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu

masih disini?” bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis Anganten.

Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang yang berdiri di

muka rumahnya itu adalah orang-orang setidak-tidaknya suruhan

orang yang menitipkan kedua pengungsi kepadanya. Karena itu ia

menjawab, “Ya, ya, aku telah menjaganya dengan baik”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91

Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk.

Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu. Berderak-

deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu

memberati bale-bale.

Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan

terdengarlah ia berkata, “Nyai telah datang utusan dari orang yang

membawa nyai berdua kemari”

“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.

“Aku yakin, nyai” jawab orang itu.

Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang

wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau.

Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya

menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia

melihat betapa muridnya menjadi gemetar.

“Siapakah kau?” bertanya salah seorang daripadanya.

Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak

mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar.

“Adakah Nyai lupa kepadaku?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah

dan dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Mahesa Jenar”

“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.

“Oh” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin

cerah. “Lalu siapa anak muda ini?”

Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak

mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang

tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu

Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara

tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda

perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang. Karena itulah maka

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91

Mahesa Jenar berkata, “Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah

namanya?”

Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir

ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak

muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.

“Ibu....”

Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau

kah itu”

Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu.

Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya

menjadi panas.

Wanita itu kini yakin. Anak

itu adalah anak yang pernah

dibelainya enam tahun lalu,

anak yang tidur di pang-

kuannya, dicium keningnya.

Namun sering pula dima-

rahinya karena kenakalannya.

Tiba-tiba tangannya yang

lemah memeluk kepala Arya

Salaka dan menekankan ke

dadanya. Dan terasa tiba-tiba

dada yang tipis itu meng-

gelombang. Meledaklah se-

buah tangis kegembiraan.

“Arya, bukankah kau Arya

Salaka?”

Juga Arya tidak mampu

berkata sepatahpun. Sebagai laki laki yang tabah menghadapi

setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang

berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri.

Meneteslah sebutir air mata.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91

Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah

yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir

sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini.

Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri

pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai

Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu

seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi

dahi anak itu dengan air mata.

Nyai Lembusora pun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa

sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa

yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya

dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka

sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan

demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu

hilang selama enam tahun didsisi ibunya.

Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia

gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat

menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa

mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan

kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus

mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara.

Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus

karena isaknya, “Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak

kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam

sepi dan duka”

Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia samasekali

tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan

bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejap pun terhapus dari

angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya

serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat

menelan ludahnya beberapa kali.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91

Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya

berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya, “Oh, kau sudah

besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti

belahannya dalam cermin.”

Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun

suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan

kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan

dalam suasana yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan

dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah

seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya ?. Dan

tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang

setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya. Hari

demi hari…..

Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada

dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah

yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang

melihat perubahan wajahnya.

“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya

berkata, “jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat

dewasa”

Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusora pun segera berkemas-

kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun

Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang

keadaan adik sepupunya.

Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua

perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang

sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih

atas perlindungan yang diberikan.

“Eh,” sahut kakek tua itu. “Sudah menjadi kewajiban setiap

warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku

lakukan sekadar menerima Nyai berdua dan memberikan sekadar

tempat untuk beristirahat.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91

“Aku tidak akan melupakan kau, kek” sahut Arya Salaka.

“Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”

“Terimakasih ngger, terimakasih,” jawab orang itu.

Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju

Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan

angan menyongsong hari yang akan datang. Nyai Ageng Gajahsora

menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang

hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya

Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa

lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai.

Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya.,

kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan

panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai

Nagasasra dan Sabuk Inten. Sesudah itu datanglah saatnya

mengurus dirinya sendiri.

Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi

semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah

menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup

karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan

seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan

berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari

yang cerah.

Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi.

Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.

Langit biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih

sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok

seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup

angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung

liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.

Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon

nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91

debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel

Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai

Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain.

Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.

“Paman” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa

Jenar. “Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,

“lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita

selesaikan mayat itu sebaik-baiknya”

Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata, “Ibu

dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan

aku lihat lebih dahulu”

Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka

bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora, “Apakah keadaan di Pamingit

masih belum baik Arya?”

“Tidak ibu” jawab Arya, “kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi

parit yang menyilangi jalan disebelah pohon nyamplung yang

tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu

dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”

“Oh” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik

nafas lega, maka berkatalah ibu Arya, “pergilah.”

Arya pun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta

bibinya menjadi terkejut dan ngeri.

Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat

itu sudah tak ditemuinya di sana. “Hilang” pikirnya. Yang dilihatnya

hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari lukanya, luka

Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat

pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai

bajunya dengan noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka

didadanya tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan

bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91

mengucapkan sepatah pertanyaan pun. “Ah!” desisnya. “Adalah

hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang

mengalami luka di tubuhnya.”

Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya ibunya, bibinya

serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia

berusaha menghapus bekas-bekas darah yang mewarnai tanah di

bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan

melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki?

Apakah ia masih belum benar-benar mati dan kemudian bangkit

kembali?

Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia

terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang menyilang jalan di

sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika ia melihat

aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil yang

berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti

kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis. “Hem” gumam Arya,

“Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam”

Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh

mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk kemudian

duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi mereka

tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu.

Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang

dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang pedang

Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan oleh

Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki.

Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit yang

biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak turun hujan.

Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat kalau parit

itu benar-benar banjir.

Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng Gajah

Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya.

“Sudah tidak banjir lagi, Arya?” ia bertanya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91

“Tidak Ibu,” jawab Arya.

Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam

wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan.

Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan

menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar, “Bagaimana

dengan mayat itu?”

“Hilang,” bisik Arya singkat.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Hilang?” ia

mengulang.

“Ya, hilang!” jawab Arya.

“Aneh” desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia

melihat Bugel Kaliki terbaring di tanah, ia sudah yakin bahwa orang

itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata

lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir.

Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka

pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala masing-

masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan tekunnya,

semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan

terbanting di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan.

Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar

bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa kanak-kanaknya.

Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu.

Apabila didapatnya, disimpannya didalam ketupat janur yang

masih kosong.

“Kita sudah memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.

“Suara garengpung itu?” tanya gurunya.

“Ya,” jawab Arya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91

Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-

debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-

batang jagung yang telah rusak, desa yang mereka tuju, jantung

Daerah Perdikan Pamingit.

Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin cepat tanpa

mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa

yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang

yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang

baik hati.

Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat

pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng

Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur

terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.

“Beginikah Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.

“Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-

orang dari segerombolan hitam, Bibi” sahut Arya, “Sedang orang-

orang itu sendiri kini sudah dibinasakan”

“Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai

Ageng Lembu Sora.

“Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi

kita selama kita berada di atas kebenaran” jawab Arya, namun di

dalam hatinya ia meneruskan, “Kebenaran dalam firman-firman

Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing,

sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan

batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar

menguntungkan kita sendiri”

Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka

menjadi saling berbisik, “Itulah, Nyai Ageng Lembu Sora telah

kembali.”

Dan jawab yang lain, “Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat.

Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng pergi.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91

Dan beberapa orang kemudian menemuinya di perjalanan itu

sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan selamat. Nyai Ageng

Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang tulus.

Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta

pertanyaan syukur bahwa ia masih sempat bertemu dengan

mereka.

Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu

Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas sekali lagi hati

mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan menjadi

terpaku di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu.

Tinggal beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh

berserak-serakan.

Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia

bergumam, “Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit.” Dan

di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata, “Aku telah

mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan

nafsu, namun agaknya tak dihiraukannya. Sekarang hukuman

Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit.”

Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, “Bibi, Eyang dan

beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita

pergi ke sana.”

Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir

airmata yang menetes.

Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang

ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin Pamingit.

Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa orang

telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula

ayahnya, Gajah Sora.

Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian.

Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati

mereka. “Itulah mereka dating.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91

Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah

Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah

Sora duduk di antara beberapa orang itu. Beberapa kali ia

mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap

berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri.

Telah sekian lama ia menahan keinginannya untuk mengetahui

keselamatan isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena

itu maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong

kedatangan isterinya itu.

Dada Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang

berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan dalam mimpi.

Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya yang hilang

telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi

lebih dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya.

Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai Ageng

berdesis, “Arya, apakah itu benar ayahmu?”

“Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.

Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya.

Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki suaminya sambil

menangis sejadi-jadinya.

Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti diguncang. Seorang

isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali. Di

Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari Gunung

Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima

kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air

dingin yang jernih. Pada saat itu ia telah berangan-angan,

alangkah sejuknya penerimaan yang demikian itu di hati

suaminya. Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh

kaki suaminya dengan air yang bening, tetapi ia telah

membasuhnya dengan air mata.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu atas pertemuan itu.

Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91

membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis.’Namun

kemudian setelah ia tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya

supaya berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam banjar desa itu.

Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan

mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora

masih meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan

rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya

dengan anak dan sekaligus suaminya.

Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut

bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan

telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul kembali dalam

suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian,

hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara

mereka. Bahkan setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki

Ageng Lembu Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun

demikian, ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.

Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri

dari perasaan gelisah. Di dalam peperangan, dapat saja segalanya

terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati.

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke

banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia

berkata, “Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah

datang?”

“Ya” jawab Wulungan, “Belum terlalu lama.”

“Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?”

Orang itu berjalan pula.

“Ya, beserta keduanya,” jawab Wulungan pula.

Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula

perlahan-lahan, “Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke

pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91

Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau

Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum

diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku

diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku

persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera dating.”

Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam

dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap ia bertanya,

“Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?”

“Tidak apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan. “Ki Ageng Lembu

Sora dalam keadaan sehat wal afiat. Mungkin ada yang harus

diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi

ke sana. Marilah aku antarkan.” Kemudian pandangan mata

Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa

Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan

pertanyaan, “Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang

lain?”

Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan

Sawung Sariti pun segera menjawab hampir bersamaan, “Aku ikut

serta.”

“Marilah?” sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir

semua orang di banjar desa itupun pergi ke pondok Ki Ageng

Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu. Nyai

Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri,

Mahesa Jenar dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang

hanya beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora

terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit,

di antara dinding-dindingbatu halaman-halaman rumah yang

sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa, rumah Si Gersik,

Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering

dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan

menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah

dilihatnya sebelum terjadi peperangan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91

Beberapa saat kemudian sampailah mereka ke satu halaman

yang sedang. Rumah itu pun pernah dilihatnya. Rumah Ki naripan.

Di situlah Lembu Sora berada selama rumahnya sendiri belum

dapat didiami

Nyai Ageng Lembu Sora menjadi semakin cemas ketika dari

lubang pintu ia melihat beberapa orang berada di dalam rumah.

Seakan-akan jarak yang terentang di hadapannya itu akan

diloncatinya.

III

Demikian Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu,

segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada di ruangan

itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan

suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya.

“Oh!”

Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika

pandangan matanya terbanting di atas bale-bale bambu, dimana

sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh beberapa orang.

Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum

dikenalnya dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya

pula. Ketika orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka

menduga bahwa itulah Nyai Ageng Lembu Sora, dan karena itu

segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng Lembu

Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-

bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti.

Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat dan

memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba

ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti, “Sariti!”

Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang

tenggelam dalam tangisnya yang meledak.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91

Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka

matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya memeluk

tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.

“Ibu,” desisnya perlahan-lahan.

“Ngger, kenapa kau?” tanya ibunya sambil menangis.

Diciumnya kening anaknya beberapa kali.

Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman

keadaan itu. Semua orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti

adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu Sora. Dan sekarang

jiwa anak itu berada di ujung bahaya.

Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum dengan penuh

keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang yang

hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan

Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah

mendidiknya dengan tekun dan mengharapnya dapat

menyelamatkan daerah ini dari terkaman orang-orang dari

golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah

mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang

mengagumkan, baik kekuatan jasmaniahnya maupun

rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang sebagian menurun kepada

muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama

Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu,

betapa sejuk dan lunak, selunak hati gurunya. Tiba-tiba terdengar

bibirnya berdesis, “Kakang Arya, kemarilah.”

Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam

oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar suara itu dengan jelas,

bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti kehilangan

kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya.

Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale

pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.

Hampir tidak kedengaran ia berkata, “Bagaimana dengan luka di

dadamu, Kakang?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91

Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru

luka di dadanya itu. Maka jawabnya, “Baik Adi. Sudah baik.”

“Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan” bisik Sawung

Sariti kemudian, “Di dadamu, Kakang, akan tergores sebuah garis

bekas luka itu. Dan garis itu tak akan hilang. Apabila Kakang nanti

bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan melihat goresan

luka itu. Dan teringatlah Kakang kepadaku”

Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia

berkata, “Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak

akan berulang.”

“Ya, tak akan berulang kembali” desis Sawung Sariti. Suaranya

menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah

mencoba mengobatinya dengan ramuan daun-daunan yang

diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah

berbahaya.

“Kakang” kembali Sawung Sariti berdesis, “Kau maafkan aku?”

“Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,”

jawab Arya.

Sawung Sariti tersenyum, katanya, “Jangan berkata begitu.

Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”

“Ya, ya tentu, tentu,” jawab Arya cepat-cepat.

“Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti

kemudian.

“Tentu, tentu,” jawab Arya pula.

“Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua juga

akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan Kuning,

dan Sawungrana....”

“Jangan sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka.

“Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91

”Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula?” kata Sariti tiba-

tiba.

Dada Arya Salaka

berguncang. Mahesa Jenar dan

Ki Ageng Gajah Sora Dipayana

pun segera berjongkok di

sampingnya. Mereka sudah

tidak dapat mempertahankan

nyawa itu. Tuhan telah

memanggilnya. Karena itu Ki

Ageng Sora Dipayana berbisik

ditelinga anak muda itu.

“Sebutlah nama Tuhan. Tuhan

Maha Pengampun”

“….Tuhan Maha Pengam-

pun....” Kata kata itu hampir

tak terdengar, namun Sawung

Sariti telah mengucapkannya.

Dengan tenangnya ia menutup

matanya.

Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai

Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama anaknya.

Namun Sawung Sariti telah pergi. Dengan air mata yang berlinang

Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya.

Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak

yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi

tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu

kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan

nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau

demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa

anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri

boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91

Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar

dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan

berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian

bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang

pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum

keihlasan. Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan

memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu

terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang

telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan

khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu,

kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan

Pangratunan.

Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira

telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Demikian

dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba

tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut

ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak

menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti.

Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang

memenuhi ruangan itu.

Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun

nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak

sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya.

Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan

melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon

sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas.

Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang

jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya

kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang

berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang

Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut

merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu

kehilangan pemimpinnya. Pemimpin bagi masa depan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91

Sehari-hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka

disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang

masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan

Hantu Bongkok yang sakti.

Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan

telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung

Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk Pamingit

tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan

jenazah. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir

terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi

kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu

menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan

Demak, Paningron dan Gajah Alit.

Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah

reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu

tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu

Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok

kayu yang berserak-serakan di sekitar keranda itu.

Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit

berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah

siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai

ke peristirahatannya terakhir.

Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu

merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar

yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin

yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan

rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan

Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit.

Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi

alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan.

Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa

disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91

berada di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang

memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi

sangkakala.

Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk

mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah

diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran,

Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh

Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan

Demak. Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara

Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan

penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang

diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah

mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.

Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada

yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara

hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya.

Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu

ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun

adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama

anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai

pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah

membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah

bertempur melawan demit itu.

Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali

lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia kemudian

meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis.

Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba

hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan

dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus, “Sudahlah Nyai

anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia

gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap

Tuhan dengan tenang.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91

Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya.

Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya

dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya,

hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya

menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng

Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.

Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya

tubuh itu masuk ke Banjar Desa.

Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung

barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa,

dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka

yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak.

Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia

menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya.

Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyela-

matkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima

adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya

segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya

diantara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari

pegunungan.

Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan

meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati

yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya

putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak

terlalu dimanjakan.

“Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.

Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan

ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap

Tuhannya.

Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari

Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91

tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula

dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.

Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap

orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti

dibelakangnya mengantar sampai ke makam.

Pamingit benar-benar berkabung.

Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan

terakhir sebagai seorang pahlawan. Apa pun yang pernah

dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia

gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.

Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu,

didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan

lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan mencoba

membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan

matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.

Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggung

pun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan

duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum,

didengarnya bunyi kentongan. “Tanda apakah itu?” terdengar ia

bertanya lemah.

“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah

seorang bawahannya yang sedang merawatnya.

“Apa katamu?” kata Galunggung membelalakkan matanya.

Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia

menjawab juga, “Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”

“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?” berkata

Galunggung.

“Ya,” jawab bawahannya itu.

“Omong Kosong!” bentaknya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91

Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba

menjelaskan, “Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang

bertempur melawan Bugel Kaliki.”

Dada Galunggung bergoncang keras. Dan tiba-tiba ia

berteriak, “Kau berkata sebenanya?”

“Ya,” jawab orang itu sambil menyeka peluh di keningnya.

“Gila, gila!” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri

sambil memaki habis habisan. Tetapi tenaganya lemah. Sehingga

sekali lagi ia terbanting ditempat pembaringannya. Galunggung

pingsan kembali.

Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya

kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk

dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang

sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang

kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak. “He, kau tahu

kenapa Sawung Sariti mati?”

Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab

sekenanya, “Tidak.”

“Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel

Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama

membunuh Sawung Sariti!” teriak Galunggung dengan mata

bertambah liar.

“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel

Kaliki,” sahut bawahannya.

“Bodoh, Bodoh kalian” teriak Galunggung. “Kalian tahu apa.

Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus

membalas dendam.”

Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi

bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung

menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91

meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi

halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman

itu.

Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat

mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat

kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya.

Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-

tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu

maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.

“Kemana?” tanya salah seorang dari mereka.

“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.

Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam,

dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di

makamkan.

Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur

yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan,

doapun dipanjatkan.

Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu

seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan

onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang

masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok

disamping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan

beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya.

Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai

perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima

segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun

peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah

dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur

berantakan.

Sesaat kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok

tanah dan sepasang maejan baru berada di tengah-tengahnya. Di

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91

atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin pegunungan, daun-

daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi

hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung

pipit yang beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang

ditinggalkan di atas sarang.

Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang berjalan

bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora Dipayana yang

berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron dan

Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.

“Apa yang terjadi?”

Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka

menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan

mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara

mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya.

Galunggung adalah gambaran diri seorang yang mabuk pada

kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia dapat berbuat apa saja

untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya

kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya

Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut lenyap pula.

“Wulungan....” Ki Ageng Lembu Sora memanggil.

Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.

“Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.

“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera

berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari makam itu.

Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang

tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh

bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak dapat lagi bekerja

dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar

desa.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91

Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang

mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang

beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis

melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek

kesayangannya. Namun semakin lama ia menjadi semakin tenang.

Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan

Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan sambil

berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah perempuan-

perempuan desa itu bercerai berai.

Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-larian.

Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu.

Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi

perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang menakutkan

itu membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.

Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan

Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan dirinya sendiri. Ketika

sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian keluar,

maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata,

“He, di mana Arya Salaka?”

“Galunggung!” panggil Nyai Ageng Lembu Sora.

“Aku mencari Arya Salaka,” jawab Galunggung.

“Kenapa dengan Arya Salaka?” tanya Nyai Ageng.

“Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama

dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.

Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya,

“Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-

sama melawan Bugel Kaliki itu.”

“Omong kosong!” bentak Galunggung.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91

“Galunggung!” potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku

bukan?”

“Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.

“Nah, kalau demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng

Lembu Sora, “Kau terlalu letih barangkali. Beristirahatlah.”

“Tidak!” jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar.

“Aku harus membunuh Arya Salaka.”

Semua orang yang masih tinggal di dalam banjar itu melihat

betapa mata Galunggung itu menjadi merah dan bola matanya

bergerak-gerak dengan buasanya. Nyai Ageng Lembu Sora yang

telah mengenalnya dengan baik menjadi ngeri juga

memandangnya. Apalagi perempuan-perempuan lain. Mereka

menjadi kemetar dan mencar-cari jalan untuk lari ke luar apabila

Galunggung itu berbuat sesuatu.

“Jangan sembunyikan monyet itu,” bentaknya.

“Jangan membentak-bentak aku Galunggung” jawab Nyai

Ageng Lembu Sora, “Aku adalah ibu Sawung Sariti itu, dan aku

adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah perdikanmu.”

Sejenak Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri

kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian otaknya yang

sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-

tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti

suara hantu yang kegirangan.

“Diam!” bentak Nyai Ageng Lembu Sora.

Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah

keras.

“Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka.

Kalau demikian, akulah tinggal satu-satunya orang yang setia.

Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada cita-citanya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91

Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng

Lembu Sora sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua

harus aku lenyapkan. Arya Salaka, Lembu Sora dan monyet

bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu.”

“Galunggung!” teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah

gila!”

Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya

ia berkata, “Kalian, perempuan-perempuan ini pun akan aku

bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan di mana Arya

Salaka berada.”

“Jangan mengigau” potong Nyai Ageng Lembu Sora, tetapi

hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora,

menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar

kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-

ayunkan, bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya.

Beberapa orang menjadi menggigil dan yang lain menjadi lemas

tak berdaya.

“Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat

keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan kalian akan aku

bunuh satu persatu. Satu demi satu!” Kembali suara tertawanya

membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.

“Galunggung….” kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun

suaranya sudah agak gemetar, “Kau telah mengkhianati Ki Ageng

Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu”

“Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-

citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa

dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!” teriaknya.

Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi.

Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan

kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi

ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91

berkepanjangan, Galunggung melangkah maju. “Tak ada gunanya

kalian lari.”

Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka

menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa orang yang masih

sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai

Ageng Gajah Sora sambil berbisik, “Selamatkan diri Nyai Ageng

berdua.”

“O!” teriak Galunggung. “Ke mana kalian akan menyelamatkan

diri?”

Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-

benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri. Agaknya

mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan. Karena

itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga

keduanya menjadi saling berpegangan dengan eratnya.

Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah semua

menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari

sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat

mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia

melangkah maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji

tampillah dua orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di

hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai

Gajah Sora itu.

Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka

terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan, “Tenangkan hati Nyai. Akan

aku coba mencegah perbuatan orang itu.”

Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut,

bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut melihat ketenangan

dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu

Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91

Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan

bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan bukan pula

gadis Banyubiru.

“Nini....” panggil Nyai Gajah Sora, “Kemarilah.”

Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari

tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan mereka tertuju

ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat tajam. Meskipun

demikian Rara Wilis menjawab, “Biarlah aku coba, Nyai.”

“Jangan Nini,” Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba

mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya Galunggung

bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.

Sejenak Galungung memandangi keduanya. Mula-mula

matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam gilanya,

“Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku

selesaikan urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau

akan menjadi istri kepala daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru.

Kau dan kau.” Ujung pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke

wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun kedua gadis itu tidak

beranjak dari tempatnya.

“Nini,” panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas,

“Menyingkirlah.”

Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi

lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang sedang

terganggu syarafnya. Gila.

Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan

hati Galunggung,katanya, “Galunggung, kalau ada persoalan

biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya

Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami

perempuan-perempuan di sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan

kalau kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91

Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora

menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis diucapkan las-

lasan, kata demi kata. Samasekali tak menunjukkan tanda-tanda

kecemasan apalagi ketakutan.

Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba

menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun lamat-

lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu.

Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya

menjadi tegang ketika kemudian teringat olehnya, dimana ia

bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga terlontarlah dari

mulutnya, “He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?”

“Kau masih mengenal kami?” jawab Widuri. “Bukankah kau

pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina

dari Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa

Pening?”

“Gila!” teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali.

Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi laskarnya sebagai

lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah bertempur

melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung

itu benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah

sesaat terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya

mempengaruhinya.

Karena itu maka sekali lagi ia tertawa, “Bagus, bagus. Kalian

akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah

perempuan itu melarikan diri.”

“Jangan maju lagi,” potong Rara Wilis.

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora sekali lagi

terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis.

Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu memerintah,

“Galunggung, tetap di tempatmu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91

Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga.

Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya telah

memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring,

“Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?”

Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar

menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan orang lain untuk

keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah Sora berkata,

“Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”

“Tenangkan hati Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua

perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin tidak mengerti.

Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat

kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan

kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik, “Serahkanlah

kepadaku, Bibi.”

Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis

kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan dirinya. Kalau

kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih belum

diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena

itu maka ia menjawab, “Aku sajalah yang menyelesaikannya,

Widuri.”

“Ia bersenjata,” jawab Widuri, “Sedangkan bibi tidak. Apalagi

bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”

“Kau juga tidak Widuri,” sahut Wilis. Ketika Galunggung

kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata,

“Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala

macam senjata, selain kekhususan dalam bermain pedang.

Rantaimu itu akan lebih baik daripada sulur-sulur kayu yang

pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas.”

Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas,

“Serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91

Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan kalung

peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai

Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas. “Pergilah,

pergilah,” teriaknya.

“Biarlah nyai,” sahut Widuri, “Bibi Wilis akan dapat menjaga

diri.”

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat

berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri selangkah dimuka

Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa menyangkut ujung kain

panjangnya pada sabuknya.

IV

Pada saat itulah pedang Galunggung teracung didadanya.

Sambil tertawa ia berkata, “Sayang dada ini akan tembus oleh

senjataku.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-

benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis yang tabah.

Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah bersiap

menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai

Widuri di pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut

dirantai itu untuk melawan Galunggung. Tetapi Rara Wilis

memegang pada ujungnya dimana cakra itu tersangkut. Bahkan

Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri

melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya.

Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya

hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa itu.

Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis

membentaknya dengan nada yang tinggi, “Diam, dan tinggalkan

tempat ini!”

Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis

dengan mata merah, katanya, “Apa maumu?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91

“Tinggalkan tempat ini,” ulang Rara Wilis.

Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini memang

cantik. tapi baginya, bagi otaknya yang sudah tidak waras lagi,

lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada

menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada kedudukan kepala

daerah perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal

membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah

sekali, mudah sekali. Karena itu ia menggeram, “Jangan gila.

Jangan menghalangi aku!”

“Kau yang gila,” bantah Rara Wilis.

Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba ia

menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang

itu diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak.

Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu

Sora. Namun Rara Wilis bergeserpun tidak.

“Jangan berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak

dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung.

Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai

Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam

kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan yang

mengasyikkan oleh gadis ini.

Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata

Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia

berteriak”tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya”

Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan

karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi. Langsung ia

meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis

tetapi menyerang Endang Widuri.

Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan setiap

kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan lincahnya

Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang ia

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91

melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud

Rara Wilis, karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti

seekor kelinci dan bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun

tawanya masih saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha

untuk menahannya.

Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika

Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik, “Jangan terlampau

nakal Widuri”

“Aku tidak dapat menahan geli bibi,” jawabnya. Namun ia tidak

berani lagi mengganggu orang gila itu.

Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya

kemudian diputar-putarnya diatas kepala. Sambil berteriak-teriak

ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis sudah

bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian

rantai di tangannya pun diurainya.

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun

tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata bela diri namun

mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang dalam

kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian,

meskipun hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka.

Karena itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang Widuri

menghindar dan bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana

membebaskan dirinya dari serangan Galunggung, mereka pun

menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu samasekali tidak

takut menghadapi Galunggung.

Maka, ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung

tidak lebih daripada seorang raksasa rucah (tak berguna) yang

bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa. Meskipun ia

berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah

meloncat-loncat tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara

Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan membuat bekas luka yang

nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91

itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu,

sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya.

Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila, Rara

Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya dipertajam, dan

Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian masih

saja ia berteriak dan memaki-maki.

Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal

rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya.

Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit Galunggung itu telah

dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah.

Dalam kesibukan memper-

tahankan diri itulah Galung-

gung mendengar suara Rara

Wilis, “Tinggalkan tempat ini.

Menghadaplah Ki Ageng Lem-

bu Sora, dan mintalah maaf

kepadanya.”

“Persetan dengan orang

itu,” jawab Galunggung, tetapi

belum lagi mulutnya terkatub,

pangkal rantai itu benar-benar

mengenai bibirnya. “Gila!”

teriaknya, dan darah mengalir

dari bibir yang tebal itu.

“Jagalah mulutmu” bentak

Rara Wilis, “Pergi dan turuti

perintahku.”

Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan

dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya yang liar

melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan yang celaka

itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91

Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti

oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu dan berlari ke

halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya ketika ia melihat

Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan mengacung-

acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu

sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata, “Aku

tidak dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau

lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”

Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa

tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup mulutnya.

“Jangan banyak tingkah,” teriak Galunggung dari halaman.

“Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku

lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.”

Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil

memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis, Galunggung mundur

beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan

menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya

masih terdengar, “Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku.

Aku cerai kau”

Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap

orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi penduduk

dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah kalau ia

bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit

mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat

menyedihkan.

Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan

memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai

Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya dengan uraian

air mata.

“Duduklah Nyai Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia

berkata, “Widuri, lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91

berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang ditemuinya, tetapi

jangan berbuat terlampau jauh.”

“Baik, Bibi,” jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar

setelah ia menerima rantainya kembali.

Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di

muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia membelok ke kanan,

menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia berhenti. Di kejauhan

ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan seorang

yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri

menyelinap, dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati

orang gila itu. Sekali-kali Widuri harus meloncati pagar-pagar batu,

dan sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul liar yang

masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang kosong

dan terbentang di antara rumah-rumah kecil.

Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka

ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.

“Galunggung....” terdengar orang yang tinggi besar itu

berkata, “Marilah kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng

Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan mendengar beberapa

keterangan yang perlu.”

Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian

jawabnya, “Aku temui di sini seorang pengkhianat lagi.”

“Jangan berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi

itu.

Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri,

bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang pemimpin laskar

Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan nama

Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.

“Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah

Sora, Arya Salaka atau Galunggung,” kata Galunggung kemudian.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91

“Apanya yang harus aku pilih?” tanya Wulungan.

“Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal

Sawung Sariti, akulah yang paling berhak atas kedudukan yang

sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan

akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai

cita-citanya itu” jawab Wulungan.

Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar

itu. Maka katanya, “Katakanlah itu kepada Ki Ageng”

“Akulah kepala daerah perdikan sekarang,” kata Galunggung.

“Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.”

Wulungan menjadi tidak sabar lagi.

“Apa kau bilang?” bantah Galunggung, “Atas nama kepala

daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah

perdikan itu” Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar,

bahkan ujung pedangnya sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian

orang gila itu berteriak, “Pengkhianat ini harus aku selesaikan.”

Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung

sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia berhasil

menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah Galunggung.

“Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri.

Ki Ageng Lembu Sora akan menghukummu.”

Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak, “Akulah

yang akan menghukumnya.”

Sekali lagi Wulungan terpaksa meloncat menghindari, namun

Galunggung yang gila itu tidak mau berhenti. Bahkan ia

menyerang semakin buas. Sehingga kemudian, terpaksa

Wulunganpun mencabut pedangnya dan di jalan desa itu pun

terjadilah suatu perkelahian antara Galunggung, pemomong

Sawung Sariti yang otaknya digoncangkan oleh kekecewaan,

melawan Wulungan yang terpaksa membela dirinya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91

Karena itu, Wulungan telah melawannya dengan pedang pula,

maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja berada di balik

pagar sambil mengintip apa yang terjadi. Tetapi akhirnya ia tidak

puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia

meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.

Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata

Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali. Kemudian

ia berteriak, “He gadis gila. Kubunuh kau.”

Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang

berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar Wulungan

berkata, “He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat

berbahaya bagimu.”

Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih

berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak, Paman

Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman

Wulungan.”

“Ah” desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis

itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut sama sakali. Namun

Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya, semata-mata

karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab

Wulungan masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.

Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib

Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi semakin

garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula Wulungan

selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil

menunggu kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian

ia mengharap dapat menangkap Galunggung hidup-hidup. Tetapi

agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan Galunggung

benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian

terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga

akhirnya pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91

Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak terganggu,

masih selalu berusaha untuk berhati-hati. Serangan-serangannya

tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia ingin

melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.

Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri.

Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam tataran yang

sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak bertempur

dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-

sangka, sebuah goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut

dan dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa

betapa pedihnya pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat

melihat luka itu, betapa ia menjadi marah. Darahnya mengalir

melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh

tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek,

dengan suara gemetar. “Galunggung, apakah kau sudah benar-

benar gila?”

Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak

itu ia berkata: “Kakang Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka

yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi pucat dan ketakutan.

Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah perdikan yang

baru”

Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora.

Meskipun ia telah lama bergaul dalam satu lungkungan suka duka

dengan Galunggung, namun sifat-sifat Galunggung sejak lama

tidak disukainya. Kini, orang itu telah melukai dan menghinanya.

Dengan demikian, maka seperti tergugahlah semua ketidak

senangannya akan sifat-sifat Galunggung itu. Karena itu, maka

untuk terakhir kalinya ia berkata, “Atas nama Ki Ageng Lembu

Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.”

“Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia

sesudah aku membunuhmu,” jawab Galunggung dengan

sombongnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91

Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar.

Ternyata Wulungan benar-benar gila. Gila dengan pedang di

tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka Wulungan

tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan

menyerang. Pedangnya terjulur. Meskipun demikian pedang itu

tidak mengarah lambung, dada atau leher lawan. Betapa pun

marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud membunuh

lawannya itu.

Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat

menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang mengarah kepala itu

dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung memutar

pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan

Wulungan. Tetapi Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-

ragu dalam setiap ayunan pedangnya. Karena itu serangannya

sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat sambaran pedang

Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya.

Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya.

Dengan demikian akhirnya Wulungan mengambil keputusan

untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan yang

ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun

seandainya ia terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian

adalah perkelahian yang seru. Galunggung menyerang seperti

angin ribut, sedang Wulungan bertahan dan menyerang kembali

seperti Srigala yang marah.

Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa

lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya. Justru karena

ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang sama, maka

mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh

atau di bunuh.

Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu

berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu,

membantu Wulungan atau membiarkannya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91

Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu

berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti. Keduanya

mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-

masing, sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya

ditembus oleh pedang lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah

tidak teringat lagi, apakah Galunggung itu akan ditangkapnya

hidup atau mati. Yang ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau

mati.

Gemerincing pedang beradu telah mengejutkan daun-daun

dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan belalang

beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali

diselingi oleh teriakan Galunggung memaki.

Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin

berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa

keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan

ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak

menggunakan otaknya dengan baik. Dalam nafsu gilanya,

Galunggung telah kehilangan sebagian pengamatan diri, sehingga

ia bertempur tanpa mempergunakan perhitungan yang cermat.

Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan

membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih dapat

melihat segala kemungkinan dengan baik.

Widuri yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega. Ia

benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti orang

dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan.

Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya

masih berada didunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu

Widuri sering berbuat yang aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk

berkelahi melonjak lonjak didalam dadanya, tetapi ia kadang

menunjukkan sifat keibuan yang sejuk.

Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik.

Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91

pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan urusan

mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki

Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi

dengan tanpa campur tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan

kecewa. Tanpa menyalahkan siapa pun di luar lingkungan

kekuasaannya.

Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri

menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-

tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat

berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya.

Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan

matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan matanya,

sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula.

Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa

nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan

mengumpat, “Gila kau Galunggung” Dan Wulungan mencoba

membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak

dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang

hitam seperti bayangan hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan

hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk mendapatkan

waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun

meloncat menyusulnya.

Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba

bangkit kembali. Dengan serta merta ia melompat turun, dan

berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He Galunggung, kau

telah berbuat curang”

Galunggung tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya

telah hampir lumpuh. Alangkah mudahnya untuk membunuhnya

pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu Wulungan

mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis

yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena

itulah ia berteriak, “Pergilah ngger, pergilah.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91

Pedang Galunggung sudah terjulur kearah perut Wulungan.

Betapa pun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk

melihat gerak Galunggung. Namun sekali lagi ia hanya melihat

bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan putus asa,

Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia

mencoba untuk melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa

usahanya itu adalah usaha yang sia-sia.

Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh

tubuhnya dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia

mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan. Wulungan

segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung

kainnya. Ketika ia membuka matanya, meskipun masih agak

kabur, ia melihat Galunggung bertempur. Hampir ia tidak percaya

pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan

gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut

ternganga ia melihat perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan.

Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih berkilat-kilat di

tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran itu

seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung benar-

benar mirip seekor tikus raksasa yang samasekali tak berdaya

menghadapi kucing kecil itu.

Ketika mata Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali

ia dapat melihat setiap garis di wajah Galunggung, maka timbullah

rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu, kemudian ia pun

berkata, “Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku

yang menangkapnya.”

“Kau sudah baik, Paman?”, tanya Widuri.

“Mudah-mudahan aku dapat melawannya,” sahut Wulungan.

Suaranya datar dan rata, namun di dalamnya mengandung

tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung

atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91

Widuri kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton

sebuah perkelahian yang sengit. Galunggung masih saja berteriak-

teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin terasa, bahwa

Wulungan akan menguasai keadaan.

Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba untuk berbuat sekali

lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi Wulungan

bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk

kedua kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung

membukuk, dan dengan tangan kirinya mencakup segenggam

pasir, Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat kilat.

Gerakan yang belum pernah dilakukan selama hidupnya. Tetapi

didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah

melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar

kemampuannya.

Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah

memancar dari lambung Galunggung. Kemudian tubuh itu

terdorong surut beberapa langkah.

Ketika Wulungan mencabut pedangnya, ia melihat Galunggung

itu masih tegak berdiri dengan pedang ditangannya. Matanya yang

merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang

berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal

memilih, Lembu Sora atau Galunggung” Galunggung yang luka

parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah

hilang, dan jatuhlah ia terguling di tanah.

Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja

memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap.

Tetapi tiba-tiba ia menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah

ia berteriak, “He Wulungan, kau berani menyakiti aku?”

Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung

yang berbusa-busa itu masih memaki-maki, dan kemudian

Galunggung itu menggeliat menahan sakit.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91

Widuri bukan seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum

pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia belum pernah

melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian.

Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya

yang kecil sambil berkata nyaring, “Kasihan orang itu, Paman.”

Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi

berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat

mengalir. Meskipun demikian masih terdengar ia berkata, “Hai,

Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.”

Wulungan akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga

ia pernah mengalami suka duka bersama-sama bertahun-tahun.

Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan yang sama.

Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah

Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang

Galunggung telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya.

Karena itu, kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok

di samping kawannya yang gila itu. Dengan suara yang berat ia

berkata, “Maafkan aku, Adi Galunggung.”

Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki,

“Setan, panggil aku Ki Ageng.”

“Maafkan aku Ki Ageng,” sahut Wulungan.

Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi mengendor.

Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah

orang pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah

memihaknya. Karena itu pekerjaannya untuk merebut tanah

perdikan Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya, “Bagus, kau

memihak aku?”

Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk, “Ya, Ki

Ageng.”

Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun kemudian

wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91

terdengar ia berkata lemah dan gemetar, “Akhirnya tercapai juga

cita-citaku.”

Oleh kata-katanya sendiri Galunggung menjadi tenang.

Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah satu-satu

meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah

kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil

tersenyum bangga. Kata-kata yang terakhir keluar dari mulutnya,

“Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung” Dan kata-kata itu

hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan

penuh kebanggan dalam kegilaan.

V

Wulungan menundukkan

kepalanya. Dadanya bergolak

seperti darah dijantungnya itu

mendidih. Perlahan lahan ia

mengangkat mukanya dan

menoleh ke arah Endang

Widuri yang masih berdiri

tegak ditepi jalan. Tetapi

Wulungan kini tidak meman-

dangnya sebagai seorang

gadis yang nakal, yang tidak

tahu akan bahaya, tetapi kini

ia memandangnya sebagai

penyelamat jiwanya. Karena

itu sambil berjongkok ia

menunduk hormat, “Angger,

betapa besar terimakasihku

kepada angger yang telah

menyelamatkan nyawaku. Aku samasekali tak menduga angger

mampu berbuat sedemikian rupa mengagumkan.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91

Wajah Widuri menjadi kemerahan mendengarkan pujian itu.

Karena itu, malahan ia tidak dapat berkata sepatah katapun selain

berdesis, “Ah.”

Tetapi Wulungan masih berdiri diatas lututnya. “Aku tak akan

dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan

mengaruniakan Kasihnya yang berlimbah.”

Widuri menjadi semakin malu. Ia tidak tahu apa yang akan

diucapkan dan apa yang akan dilakukan. Karena itu tiba-tiba ia

memutar tubuhnya berlari ke banjar desa sambil berteriak, “Aku

akan ke banjar desa paman.”

Wulungan menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil

bergumam, “Hem, alangkah bangga orang tuanya.”

Ketika Widuri telah hilang di balik tikungan, kembali Wulungan

merenungi mayat Galunggung. Sekali-kali ia menebarkan

pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar seperti

dicekam kesepian yang mengerikan.

Sebenarnya beberapa perempuan yang tinggal di rumah ditepi

jalan itu menjadi ketakutan, dan menutup pintu mereka rapat-

rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar teriakan

Galunggung menjadi berbimbang hati, “Apakah yang sebenarnya

terjadi?” Tetapi, mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka

menunggu sampai suami mereka kembali dari perlayatan.

Ketika sekali lagi Wulungan memandang keujung jalan di

kejauhan, dilihatnya orang pertama yang datang dari makam.

Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan perlahan

lahan menuju ke arahnya.

Melihat kedatangan mereka, Wulungan menjadi berdebar-

debar. Apakah ia tidak berbuat kesalahan? tetapi ia telah berbuat

demikian untuk membela dirinya, mempertahankan hidupnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91

Tubuh Galunggung yang terkapar di jalan itu benar-benar telah

mengejutkan mereka. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu

Sora dan yang lain-lain.

“Apa yang terjadi Wulungan?” terdengar suara Ki Ageng Lembu

Sora datar.

Wulungan mengangguk hormat. Kemudian dijawabnya, “Kami

bertengkar dan inilah akhirnya.”

Lembu Sora melihat luka di pundak Wulungan, karena itulah ia

tahu bahwa Wulungan telah bertempur sengit melawan

Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih ditangannya,

sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.

“Sarungkan pedangmu Wulungan” berkata Ki Ageng Lembu

Sora.

Wulungan menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan

pedangnya.

“Kami tidak menyalahkan engkau,” kembali terdengar Ki

Ageng Lembu Sora berkata.

Wulungan tersentak, kemudian sekali lagi ia membungkuk

sambil berkata, “Terima kasih Ki Ageng.”

Orang Pamingit menjadi saling berpandangan dan menebak-

nebak apakah sebenarnya yang telah terjadi. Beberapa orang

menjadi kecewa. Pengikut Galunggung bergumam di dalam hati

mereka, “Kenapa Galunggung terbunuh?”

Ki Ageng Lembu Sora dapat melihat gelora hati mereka.

Mereka memandang Wulungan dengan marah. Bahkan di

antaranya terpancarlah perasaan dendam dan benci. Seperti

Galunggung yang menggantungkan harapannya kepada Sawung

Sariti, maka demikianlah beberapa orang yang telah menerima

janji dari padanya. Karena itu, maka kematiannya benar-benar

disesalkan. Tetapi, disamping mereka yang mendendam Wulungan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91

karena peristiwa itu, beberapa orang berdiri tegak di belakangnya.

Tak ada kata-kata yang mereka ucapkan, namun dari wajah

mereka terpancarlah janji, “Jangan cemas Kakang Wulungan, kami

akan bersama-sama memikul akibatnya.”

Tetapi karena itu alangkah sedih Lembu Sora. Kematian

anaknya telah memukul jantungnya sedemikian parah. Sekarang

ia melihat sinar mata bermusuhan diantara rakyatnya. Karena itu

dengan sedih ia berkata, “telah banyak korban jatuh. Daerah

perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik. Sergapan

gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita.

Marilah kita jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan

Galunggung yang lenyap karena kehilangan keseimbangan jiwa,

adalah contoh mereka yang kehilangan akal karenanya” Kemudian

Lembu Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang

Pamingit yang berada di sekitarnya, “siapa akan menyusul?”

Suasana dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar

selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun yang

digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang

Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di

belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka.

Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata,

“Para pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum

matahari terbenam. Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran

atas peristiwa ini selain aku sendiri.”

Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Wulungan, ikut aku.”

Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,

“Baik Ki Ageng.”

Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,

“Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”

Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai

mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91

desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-

lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang

yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke

pondoknya.

Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan

pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara

kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan

diselenggarakan sebaik-baiknya.

Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik

kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya, “Kakang,

mayat Bugel Kaliki lenyap.”

Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi

kemudian ia tersenyum, “Aku belum memberitahukan kepadamu”

“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.

“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku

telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat

itu,” jawab Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam,

“Sederhana sekali.”

Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum, “Ya, sederhana sekali.

Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup

kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula.

Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan

mereka.”

Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun

kemudian diberitahunya pula. “Ah” sahut anak muda itu. “Aku

menjadi gelisah karenanya.”

Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat

perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91

Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan

Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya

kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan

penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka

dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan- pertanyaan yang

sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula

untuk menjawab satu demi satu.

“O,” sahut salah seorang, “Jadi orang tua berjanggut putih

itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”

“Ya, itu kakekku,” sahut Rara Wilis.

“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.

Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah

membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka

perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk

mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka

hidangkan.

Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu

masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka

lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah

terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa

yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang

di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari

apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka

mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri

merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan

kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia

menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya.

Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Demikianlah agaknya

Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya

kembali ke jalan yang telah digariskan.

Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan

Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91

cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan

kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.

“Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya” terdengar Gajah

Alit berkata, “Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-

baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian

itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya.

Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan

mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan

liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta

Demak”

Gajah Alit berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Tetapi

selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku

mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke

Demak”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik

nafasnya dalam-dalam, ia bertanya, “Sebagai tawanan?”

“Tidak. Samasekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.

“Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah

dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak

pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang

Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang

ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang

meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan

mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang

kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan.

Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih

mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.

Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya

menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami

keguncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91

untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun

sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu

saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah

lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan

kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana

memangilnya.

“Adi....” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku tidak dapat

menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku

ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi

saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan

keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah

berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri

usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat

diketemukan.”

Gajah Alit tersenyum. Jawabnya, “Tepat. Kanjeng Sultan pun

telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu

Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang

kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang

akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat

menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu

tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat

dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah

berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-

lahan ia berkata, “Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda.

Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan

berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali

pusaka-pusaka yang hilang itu.”

Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing

menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91

Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang

berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang

putih mengalir dihembus angin.

Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit

berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali

ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya.

Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara

Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan

liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak,

sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan

bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang

tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di

atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk

Inten.

Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi

meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya

beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke

tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali

pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan.

Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki

Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena

itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,

Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin

menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan

pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.

Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-

nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru,

rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan

yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh

dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling

membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.

Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan

Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91

berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan,

seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing,

mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.

Untuk sementara Ki Ageng Sora Dipayana tetap tinggal di

Pamingit. Orang tua itu masih ingin mendampingi putera

bungsunya yang masih belum dapat melupakan apa yang baru saja

terjadi. Karena itu ia tidak ikut serta pergi ke Banyu Biru bersama

putera sulungnya.

Sementara itu Titis Anganten yang tidak mempunyai kepen-

tingan-kepentingan lain, kecuali menuruti hasrat hati menikmati

hari tuanya dengan kegemarannya merantau dan berjalan dari

satu tempat ke tempat lain, melihat daerah-daerah yang belum

pernah dikunjungi, berziarah ke tempat-tempat yang dianggap

suci, terpaksa memenuhi pemintatn sahabatnya, Ki Ageng Sora

Dipayana untuk tinggal menemaninya di Pamingit.

Tetapi Ki Ageng Pandan Alas lebih senang pergi bersama-sama

dengan cucunya ke Banyu Biru. Meskipun ia tidak mempunyai

kepentingan apa pun, selain cucunya itu, namun ia tak dapat di-

tahan-tahan lagi. Karena itu maka ia pun berkemas-kemas untuk

ikut serta dalam rombongan ke Banyu Biru. –

Rombongan itu ternyata terpaksa menunda-nurda

keberangkatannya. Ada-ada saja sebabnya. Ketika mereka sudah

bersiap di halaman banjar desa. mereka terpaksa masuk kembali

ke dalam banjar. Nyai Ageng Lembu Sora mengharap mereka

untuk makan siang lebih dahulu, sebelum menempuh perjalanan.

“Tak baik menolak rejeki,” berkata Ki Ageng Gajah Sora sambil

tersenyum.

“Makan besar,” sela Arya Salaka.

“Tak seberapa,” sahut Ki Ageng Lembu Sora, “Sekadar

pernyataan terima kasih dari rakyat Pamingit.”

Alangkah nikmatnya makan bersama.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91

Di langit matahari berjalan terus. Semakin lama semakin

tinggi. Ketika telah dicapainya titik puncak, maka kembali matahari

itu menurun ke arah barat.

Akhirnya rombongan itu pum bersiap pula. Beberapa ekor kuda

untuk mereka telah menanti di halaman. Sejenak, sebelum Mahesa

Jenar meloncat ke punggung kuda, berbisiklah Ki Ageng Lembu

Sora, “Ki Rangga Tohjaya, ternyata Ki Rangga telah membuat aku

kembali menjadi manusia”

“Kenapa aku?” bertanya Mahesa Jenar.

“Baru pada saat-saat terakhir aku mengagumi sikap Ki

Rangga,” sahut Ki Ageng Lembu Sora tanpa menjawab pertanyaan

Mahesa Jenar. Tetapi pembicaraan itu terhenti. Tiba-tiba mereka

melihat Nyai Ageng Lembu Sora berlari dan dengn serta merta

memeluk Arya Salaka yang sudah berdiri di samping kudanya.

Sambil menangis terisak-isak ia berkata, “Arya, adikmu Sawung

Sariti telah tak ada lagi. Karena itu, kaulah menjadi ganti anakku.”

Arya menundukkan wajahnya. Tak sepatah kata pun keluar

dari mulutnya.

Yang terdengar kemudian kembali suara Nyai Ageng Lembu

Sora. Kali ini kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Kakang, biarlah aku

ngempek kamukten. Kalau kakang berkenan di hati, biarlah aku

ikut serta mengaku Arya Salaka sebagai anakku.

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya,

sebelum ia menjawab terdengar Nyai Ageng Gajah Sora berkata,

“Adi, anakku adalah anakmu.”

Tangis Nyai Ageng Lembu Sora bertambah nyaring, serta

pelukannya menjadi bertambah erat, seakan-akan tak mau

melepaskannya lagi.

Tak seorang pun mengganggunya. Bahkan mereka ikut serta

merasakan betapa dalam luka yang menggores hati isteri kepala

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91

Tanah Perdikan Pamingit itu. Luka yang tidak akan dapat sembuh

kembali apa pun obatnya.

Sesaat kemudian barulah tangis itu mereda. Perlahan-lahan

Arya dilepaskan. Di antara isak yang masih terdengar berkatalah

Nyai Ageng Lembu Sora, “Maaflah kalau aku mengganggu per-

jalanan ini.”-

“Arya akan sering berkunjung kemari, adi,” sahut Nyai Ageng

Gajah Sora.

“Terima kasih,” desis Nyai Ageng Lembu Sora, sedang dari

matanya masih menetes sebutir-sebutir air matanya.

Akhirnya rombongan itu pun dilepas pergi. Kuda-kuda itu

berjalan beriring-iringan. Orang-orang Pamingit menyaksikan

dengan bangga dan melepas mereka dengan lambaian tangan

sampai mereka hilang di balik kelokan jalan. Hanya kepulan debu

yang putih yang masih mereka lihat naik ke udara.

Di perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya

kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan

dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun,

namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang

berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.

Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari telah

condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka berangkat

terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru

sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan

dapat cepat, karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat

menunggang kuda dengan baik. Meski demikian Widuri kadang-

kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil

menanti kawan-kawannya ia berhenti diatas sebuah punhtuk yang

menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang

terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha

Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu,

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91

berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang

gumelar di hadapannya.

Rombongan itu berjalan terus. Meskipun perlahan-lahan

namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan

Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah

membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian

membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik

Ala.

Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah

olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di

Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang

Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka

telah dibinasakan oleh Arya Salaka.

“Hem!” gumamnya, “Alangkah gagahnya anak itu.” Tiba-tiba

wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke

arah rombongannya. “Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,”

pikirnya. Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada

pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka.

Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang

lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak

muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia

berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali.

Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan

sedang seluruh rombongan. Gajah Sora mendampingi istrinya

bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas

berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi

cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan.

Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di

sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di

perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya

tentang daerah yang mereka lewati.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91

Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara

Wilis, “Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan

Banyubiru?”

Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu pasti,

manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”

Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya

kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih

bertebaran di lembah. “Tanah itu belum digarap,” katanya.

“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab

Mahesa Jenar. “Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru

demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan

yang akan menggarapnya.”

Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan

Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat

Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan

yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian

sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-

pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah

perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi

kehidupan yang tak dapat dilupakan.

“Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?”

Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis

yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus

menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas

punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa

betapa sepasang mata yang tajam memandanginya,

ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.

Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu

dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan

Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan

Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91

Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak

mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu.

Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya

menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu,

tampaklah beberapa bintik air mata.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang

dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu.

Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya

kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan

kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-

pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti

bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah

mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.

Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa

sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya,

tanpa mendapat perhatiannya samasekali. Telah terlalu lama ia

membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia

ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap

demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata, “Wilis,

kalau sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku

ingin hidup kelak tidak terganggu oleh kesanggupan dan janji diri.

Aku ingin hidup tentram setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.

Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku lakukan

adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku

membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa

mempertimbangkan pendapatmu. Sebab.”

“Kakang!” potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya

dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya. Katanya

meneruskan, “Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku

pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi

selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi

kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai

sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang,

setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91

melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri?

Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup

dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia” Rara Wilis tak dapat

meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras

mengalir dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.

“Maafkan aku Wilis,” desis Mahesa Jenar. Ia menyesal telah

mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal

bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang samasekali tak

dikehendaki oleh Rara Wilis.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata, “Wilis, sekarang semua

kewajiban itu sudah selesai.”

Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah.

Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.

“Pekerjaanku telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.

“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”

tanya Rara Wilis.

“Keris itu sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.

“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba

menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali.

Katanya, “Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati

Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”

Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut, “Tidak, tidak Wilis. Aku

samasekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua

pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu

benar-benar telah dapat diketemukan.”

Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali.

Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar

berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak

terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia

berkata, “Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91

itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu

berada. Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka

itu kembali ke istana.”

“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya.

Mahesa Jenar ragu sejenak. Karena itu maka Rara Wilis segera

berkata, “Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.”

“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat. “Kau boleh

mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan

Panembahan Ismaya.”

“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.

“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu

dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar, “Namun apa yang dilakukan

itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin

menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih

buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-

orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”

“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.

“Dari Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja

persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung

Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih

menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat

penanggungan hati Mahesa Jenar.

Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa Jenar tidak segera

menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya

lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar

tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk

mencarinya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91

Rara Wilis kemudian berdiam diri. Namun di dalam hatinya

bergolaklah angan- angan seorang gadis. Seorang gadis yang telah

berdiri di ambang pintu idaman.

Yang berbicara kemudian adalah Mahesa Jenar, “Karena itu

Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri

kita”

Wajah Rara Wilis menjadi merah. Dadanya serasa berdesir.

Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya akan datang. Namun ia

tidak menjawab.

“Segala kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar

meneruskan, “Mudah-mudahan kita tidak terlalu tua untuk mulai

dengan suatu kehidupan baru.”

Betapa menyenangkan kata-kata itu. Namun Rara Wilis telah

melampaui masa pergolakan jiwa. Karena itu ia dapat

menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang mengendap.

Katanya, “Tidak Kakang. Tidak semua kesulitan telah selesai.

Dalam hidup yang baru itu, kesulitan-kesulitan lain justru baru

akan mulai. Kesulitan-kesulitan yang sekarang belum dapat kita

bayangkan.”

Mahesa Jenar tersenyum. Senyum yang memancar dari

hatinya yang cerah. “Kau benar Wilis.”

Kemudian keduanya berdiam diri. Angan-angan mereka

terbang mengawang bersama mega-mega putih di langit. Tanpa

dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah

berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak

mereka berdua pun telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng

Pandan Alas dan Kebo Kanigara. Maka berkatalah Mahesa Jenar

kemudian, “Marilah kita susul mereka.”

Mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Ketika

mereka telah berada tepat di belakang Ki Ageng Pandan Alas dan

Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri pun telah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91

memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan

menunggu kawan-kawan seperjuangannya.

Angin malam berdesir menggerakkan daun-daun dan ujung

batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang saling

bersahutan, menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan

dengan tenangnya. Sekali-sekali mendaki dan sekali-kali menurun.

“Kita belum melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya

Endang Widuri.

“Mereka telah sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki

Banyubiru,” jawab Arya Salaka.

“Bukankah kita juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.

“Ya!” jawab Arya, “Dari balik bukit di hadapan kita itu kita akan

dapat melihat dataran di hadapan bukit Telamaya dan Rawa

Pening”

Widuri tidak berkata-kata lagi. Ia mengharap agar perjalanan

itu lekas berakhir. Malam nanti ia dapat beristirahat dengan

tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya. Ia akan dapat

menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang tanpa

suatu kegelisahan apa pun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling

Putih dan Uling Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya.

Dengan getek ia dapat bermain-main di Rawa itu, sambil mengail.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika rombongan itu sampai di

punggung bukit. Sebentar lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu

yang memancar dari lubang-lubang pintu. Atau obor-obor di

simpang-simpang jalan yang gelap. Karena itu tiba-tiba ia

mempercepat jalan kudanya, kembali mendahului rombongan itu.

Namun tiba-tiba ketika ia mencapai punggung bukit itu, ia

terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit Telamaya, dilihatnya api

menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti beribu-ribu obor.

Melihat nyala api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia

berteriak nyaring, “Kebakaran!”