vol v no. 32 | edisi november - desember 2012

60

Upload: lamtruc

Post on 08-Dec-2016

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

1VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Page 2: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 20122

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat akan diberikan honor sesuai

Standar Biaya Umum (SBU).

Isi majalah tidak mencerminkan kebijakan Inspektorat Jenderal

Pelindung: Inspektur Jenderal, Penasihat: Sekretaris Inspektur Jenderal, Inspektur I, Inspektur II, Inspektur III, Inspektur IV, Inspektur V, Inspektur VI, Inspektur VII, Inspektur Bidang Investigasi,

Penanggung jawab :C.M. Susetya, Redaktur :Budi Prayitno, Penyunting : Alexander Zulkarnaen, Dedhi Suharto, M. Hisyam Haikal, M. Gilang Ramadhan, Galih Teguh Gumilang, Ridzky Aditya Saputra, Desain Grafis/ Fotografer :Terry Castello, Putra Kusumo Bekti, Sekretariat :Delima Frida, Suryani, Istianah, M. C. Kinanti Raras Ayu, Dianita Wahyuningtyas, Rahmawati Setyaningsih, Mujaini, Ari Hapsari, Johan Rizki, Agus Rismanto, Ervin Septian Firdaus,

Talitha Sya'banah Fajrin Sudana, Ari HapsariISSN : 1411 - 9455

Alamat: Jl. Dr. Wahidin No. 1, Gedung Juanda II Lantai IV - XIII,Telp. (021) 3865430 fax. (021) 3440907 Kode Pos : 10710

e-mail : [email protected]

Auditorial 3

Ragam Pengawasan 4

Ex-Auditor 47

Auditoase 49

Kaleidoskop Itjen 2012 51

Berita Keluarga 56

Gadget 58

4

6

9

19

44

Contens

39

Page 3: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

3VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

auditorial

Menulislah, kawan....

Dalam acara Just Alvin, Andrea Hirata –sang penyihir kata-kata- bilang, “Menulislah, sebuah tulisan akan menemukan nasibnya sendiri”.

Andrea benar, ia telah membuktikannya lewat Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor maupun Maryamah Karpov. Buku-buku yang begitu fenomenal. Laskar pelangi bahkan telah

diterjemahkan ke 31 bahasa di dunia. Tak terbayangkan, ada novel berbahasa Indonesia (negeri yang tak lagi diperhitungkan di dunia Internasional) yang dibaca di puluhan negara. Ada buku karya anak Indonesia yang sanggup menyihir para pembaca hingga di gang-gang sempit kota Sao Paolo Brazil.

Tengoklah sedikit kutipan dari Sang Pemimpi.

Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambai-lambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyang-goyang tubuhnya bak rajawali di angkasa luas.

“Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!” Pasti itu maksudnya.

Kalimat-kalimat seperti inilah yang mampu membuat orang bersedia menyediakan sebagian memorinya sepanjang hayat. Kalimat-kalimat indah yang penuh makna, puitis sekaligus dalam. Mampu memotivasi siapapun yang sedang merasa tak bisa apa-apa, tak punya apa-apa dan tak ada sesiapa.

Dalam kerangka itulah, Auditoria dengan penuh suka cita menyediakan diri bagi seluruh punggawa Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk berkarya. Bukan sekedar untuk angka kredit, tapi jauh lebih dahsyat dari itu. Sebuah tulisan adalah jejak langkah kita. Saat semua ini harus kita tinggalkan, tinggallah tapak-tapak kita yang masih bisa dikenang.

Harus diakui, menulis belumlah jadi budaya di kantor kita. Menulis bisanya kita lakukan dalam kerangka “setengah terpaksa”. Saat menjadi prasyarat untuk rekruitmen tertentu misalnya. Atau saat harus ada laporan untuk suatu kegiatan. Tapi tak apalah, setengah atau seperempat terpaksa, itu kita lupakan saja.

Membaca hasil karya para peserta seleksi korkel/dalnis, harus saya akui, betapa besar potensi kantor kita. Betapa banyaknya ide-ide di setiap kepala kita. Betapa ide-ide itu akan menguap begitu saja bila tak dipatrikan dalam tulisan. Betapa banyak bakat-bakat terpendam di kantor ini untuk dalam hal tulis menulis. Meski harus diakui juga, betapa tidak mudahnya menuangkan ide dalam satu tulisan. Tidak semudah saat kita bicara.

Maka Auditoria kali ini berinisiatif menampilkan karya para peserta seleksi korkel/dalnis itu, dengan satu niat baik, menampilkan karya para pegawai Itjen. Bukan dengan maksud menilai siapa yang layak, siapa yang tak layak lolos seleksi. Biarlah pembaca yang menilai dengan segala obyektivitas dan bumbu-bumbu subyektivitasnya.... selamat membaca.

Page 4: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 20124

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, nilai piutang pajak dari tahun ke tahun cenderung meningkat,

pada tahun 2004 nilai piutang pajak sebesar Rp25.894.948.651.000,00 dan pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp70.945.271.446.620,00. Bahkan pada tahun 2011 nilai piutang pajak menjadi sebesar Rp87.068.229.075.713,00 atau meningkat 236,23.% sejak tahun 2004. Nilai piutang pajak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun belum dikelola secara by system, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih mengandalkan Laporan Perkembangan Piutang Pajak (LP3) yang disusun secara berjenjang mulai dari KPP, Kanwil DJP sampai dengan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP. Kondisi demikian mengakibatkan data laporan piutang pajak menjadi tidak akurat.

Kondisi pengelolaan piutang demikian, menjadi salah satu faktor penyebab Laporan Keuangan Kementerian Keuangan mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian atau Disclaimer pada LK BA 015 Tahun 2010 dan tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu, diperlukan upaya guna dilakukan pembenahan pengelolaan administrasi piutang pajak oleh DJP. Pembenahan pengelolaan administrasi piutang pajak dapat bermanfaat untuk:

1. meningkatkan opini Laporan Keuangan, dan

2. meningkatkan pencairan piutang pajak yang bisa mendukung tercapainya penerimaan perpajakan.

Adapun upaya pembenahan pengelolaan piutang pajak secara menyeluruh meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Penatausahaan Piutang Pajak secara by system

Saat ini, penatausahaan piutang pajak telah dilakukan DJP dengan menggunakan Sistem Informasi DJP dan Sistem Informasi Perpajakan Modifikasi (SIDJP dan SIPMod).

Namun demikian, penggunaan sistem masih sangat terbatas dan dalam pelaksanaannya masih banyak kendala (misalnya: data MPN, data kompensasi lebih bayar, data keberatan belum terintegrasi dengan SIDJP dan SIPMod). Agar diperoleh data piutang pajak yang valid dan laporan yang akurat maka penatausahaan piutang pajak harus dilakukan secara by system. Adapun manfaat yang diperoleh adalah memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat. Untuk itu, langkah-langkah yang harus dilakukan DJP adalah:

a. Pemuktahiran Data Piutang Pajak

Pemuktahiran data piutang pajak dilakukan dengan melakukan validasi data guna memastikan tidak ada piutang pajak yang double, saldo negative dan saldo piutang pajak telah memperhitungkan data pengurangan dan penambahan.

b. Menu Piutang Pajak Link dengan Data Pengurangan Piutang Pajak dan Penambahan Piutang Pajak serta Data Lainnya

Saat ini, untuk proses penyusunan LP3, Seksi Penagihan di Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan rekonsiliasi dengan seksi lainnya (misalnya Seksi PDI terkait dengan data Modul Penerimaan Negara/MPN, Seksi Pelayanan/Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait dengan keputusan keberatan, kompensasi lebih bayar) termasuk Bidang Pengurangan,

Pembenahan Piutang PajakSebagai Upaya Peningkatan Kualitas LKPP

Oleh: Heru Susanto (Auditor Inspektorat VI)

Ragam Pengawasan

Page 5: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

5VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Keberatan, dan Banding (PKB) Kanwil DJP. Hal demikian dapat menimbulkan human error yang mengakibatkan LP3 menjadi tidak akurat. Untuk itu, guna mendapatkan data yang akurat, data penagihan pajak harus secara otomatis link dengan:

1) data pengurangan piutang pajak (MPN, kompensasi lebih bayar, keputusan keberatan/putusan banding yang diterima sebagian atau seluruhnya)

• Saat ini, data MPN tidak link dan secara otomatis mengurangi data piutang pajak. Sehingga, Seksi Penagihan harus melakukan penginputan data MPN yang diberikan oleh Seksi PDI dalam menu penagihan.

• Hal ini berlaku juga terhadap data kompensasi lebih bayar yang

harus dilakukan penginputan berdasarkan nomor dan tanggal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) untuk mengurangi data piutang pajak.

• Informasi dari keputusan keberatan dan putusan banding yang diterima sebagian atau seluruhnya akan mempengaruhi terhadap berkurangnya piutang pajak.

2) data penambahan piutang pajak (SKP yang diajukan permohonan keberatan)

Informasi terkait SKP yang diajukan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak akan berpengaruh terhadap penambahan saldo piutang pajak. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atas Surat Ketatapan Pajak (SKP) tahun 2008 dan seterusnya baru diakui sebagai piutang bila WP menyetujui atau tidak diajukan permohonan keberatan.

Kondisi demikian menyulitkan Seksi Penagihan dalam menyusun LP3 karena harus melakukan monitoring penyelesaian proses hukum secara terus

menerus melalui rekonsiliasi dengan seksi lainnya dan Kanwil DJP.

3) data lainnya (status WP Non Efektif)

Status WP Non Efektif dalam SIDJP dan SIPMod tidak secara otomatis dapat diakses oleh Seksi Penagihan, sehingga untuk penyusunan penyisihan piutang pajak perlu dilakukan koordinasi dengan Seksi PDI.

2. Koordinasi dengan Pengadilan Pajak

Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah peningkatan koordinasi antara DJP dengan pihak eksternal yaitu Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan seringkali KPP terlambat mendapatkan informasi terkait:

• apakah WP telah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;

• apakah Pengadilan Pajak telah mengeluarkan putusan banding atas SKP yang diajukan permohonan banding.

Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) tahun 2008 dan seterusnya baru diakui sebagai piutang bila WP menyetujui atau proses hukum terkait keberatan dan/atau permohonan banding ditolak sebagian/seluruhnya serta telah berkekuatan hukum tetap dan pasti (in kracht van gewijsde).

3. Peningkatan Kompetensi Pegawai melalui Pendidikan dan Pelatihan

Selain 2 (dua) aspek diatas, aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan kompetensi pegawai yang mengelola piutang pajak melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan. Hal ini dikarenakan pegawai yang mengelola piutang pajak sebanyak 53,97% mempunyai latar belakang SMA dan kompetensi yang kurang memadai. Pegawai tersebut, selain mengelola piutang pajak yang diharapkan dapat mendukung tindakan penagihan yang dilakukan Juru Sita Pajak, mereka juga harus menyajikan data piutang pajak untuk laporan keuangan yang diharapkan juga dapat mendukung kualitas laporan keuangan.

Ragam Pengawasan

Page 6: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 20126

PENDAHULUAN

Definisi Corporate Governance (CG) yang disampaikan oleh Kelompok negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan bahwa CG adalah sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Pengambilan keputusan diperusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders. Karena itu fokus utama terkait dengan pengambilan keputusan perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan fairness (Effendi, 2009).

Salah satu perwujudan dari CG adalah sistem pengendalian internal (internal control) yang harus diimplementasikan secara konsisten dalam perusahaan / organisasi. Tidak berjalannya fungsi dan proses pengendalian intern dalam suatu perusahaan / organisasi merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai macam tindak kecurangan (fraud) di lingkungan perusahaan / organisasi tersebut. Oleh karena itu, sistem pengendalian internal memegang peranan yang cukup penting dalam menjaga assets perusahaan dari tindakan pencurian, penyalahgunaan wewenang, maupun korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Daniri, 2006).

Konsep pengendalian internal mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Committee of Sponsoring Organization of the Treadway

Commission (COSO) pada tahun 1992 membangun sebuah

model untuk dievaluasi pengendalian internal.

Menurut kerangka COSO (COSO

framework) t e r s e b u t ,

pengendalian internal terdiri dari lima komponen yaitu: lingkungan pengendalian (control environment), penentuan resiko (risk assesment), aktivitas pengendalian (control activities), informasi dan komunikasi (information and communication), dan pemantauan (monitoring) (Sawyer, 2005). Dalam implementasinya konsep kerangka COSO ini diadopsi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, dimana unsur dari Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan pengendalian intern.

PERAN INSPEKTORAT JENDERAL DALAM PENGEMBANGAN UKI

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, sistem pengendalian intern bermakna sebagai proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Peran Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dalam SPIP ini adalah sebagai salah satu aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan, yang melakukan kegiatan kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010

PENGEMBANGAN UNIT KONTROL INTERN (UKI)DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN

DISUSUN OLEH : KARTIKA DJATI,S.E., M.Si

Ragam Pengawasan

Page 7: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

7VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan menjabarkan bahwa Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan. .

Dalam best practice, menurut The Institute of Internal Auditor (2001) bahwa internal audit didefinisikan sebagai suatu aktivitas independen dalam menetapkan tujuan dan merancang aktivitas konsultatif (consulting activity) yang bernilai tambah (value added) dan meningkatkan operasi perusahaan. Internal audit membantu organisasi untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan pendekatan yang terarah dan sistematis dalam menilai dan mengevaluasi efektivitas manajemen resiko (risk management) melalui pengendalian (control) dan proses CG yang baik.

Menurut Daniri (2006) bahwa seiring dengan berjalannya waktu peran internal auditor mengalami perubahan yang sangat signifikan mengikuti perkembangan orientasi audit. Peran internal auditor sejak tahun 1940-an adalah sebagai watch dog dan audit yang biasa dilakukan adalah audit kepatuhan (compliance audit). Apabila ditemukan penyimpangan dapat dilakukan koreksi terhadap sistem pengendalian manajemen. Dalam peran ini internal auditor biasanya menghasilkan saran atau rekomendasi yang mempunyai dampak jangka pendek, seperti perbaikan sistem dan prosedur atau pengendalian internal.

Peran internal auditor semakin berkembang sebagai konsultan muncul sekitar tahun 1970-an. Dalam peran ini, internal auditor diharapkan dapat memberikan manfaat berupa nasihat (advice) dalam pengelolaan sumber daya organisasi guna membantu tugas para manajer operasional. Audit yang dilakukan adalah audit operasional atau audit kinerja, untuk meyakinkan bahwa organisasi telah memanfaatkan sumber dayanya secara ekonomis, efisien, dan efektif (3E). Rekomendasi yang dibuat oleh internal auditor biasanya bersifat jangka menengah. Mulai tahun 1990-an peran internal auditor berkembang sebagai katalisator (catalyst) berkaitan dengan penjaminan mutu (Quality Assurance-QA), dimana auditor internal diharapkan

dapat membimbing manajemen dalam mengenali resiko-resiko yang mengancam pencapaian tujuan organisasi. Dalam perannya sebagai katalisator, internal auditor bertindak sebagai fasilitator dan agen perubahan (agent of change). Dampak dari peran internal auditor sebagai katalisator bersifat jangka panjang, karena fokus katalisator adalah pada nilai jangka panjang (longterm values) organisasi, terutama yang berkaitan dengan tujuan organisasi untuk meraih kepuasan pelanggan dan pemangku kepentingan.

Di era abad 21 ini peran Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sudah menyentuh pada level internal auditor sebagai katalisator. Hal ini terbukti selain Inspektorat Jenderal melakukan asistensi dan konsultansi pada kegiatan pengawasannya seperti asistensi dan konsultansi dalam reviu Laporan Keuangan untuk masing-masing Bagian Anggaran (BA), Inspektorat Jenderal juga telah memfasilitasi seluruh unit eselon I dilingkungan Kementerian Keuangan dalam memetakan resiko guna membentuk risk management dan memfasilitasi dalam membuat pengukuran kinerja dengan menggunakan balancedscored card (peran Inspektorat Jenderal sebagai fasilitator).

Munculnya fenomena kasus Gayus Tambunan tahun 2010 (vivanews, 23 Januari

2012) mendorong Menteri Keuangan selaku pimpinan instansi pemerintah untuk menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya melalui pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI) dimasing-

masing unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan pembentukan serta kristalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan. Sesuai arahan dari Menteri Keuangan agar dibentuk UKI dimasing-masing unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, Inspektorat Jenderal memainkan peranannya sebagai agen perubahan (agent of change) dan ditunjuk sebagai lead, bersama-sama dengan seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan membuat payung hukum atas pembentukan UKI tersebut, sampai pada akhirnya terbit Keputusan

Ragam Pengawasan

Page 8: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 20128

Menteri Keuangan Nomor:152/KMK.09/2011 tanggal 12 Mei 2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan yang menginstruksikan kepada pimpinan dan seluruh pegawai di Kementerian Keuangan harus meningkatkan penerapan pengendalian intern dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsinya. Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut, pada tahun 2011 ditargetkan atas peningkatan penerapan pengendalian intern berupa penunjukan unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern disetiap unit eselon I. Atas target tersebut sudah tercapai. Adapun target di tahun 2012 atas peningkatan penerapan pengendalian intern adalah terbentuknya struktur UKI pada setiap unit eselon I dengan dibekali dengan pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja seluruh unsur pengendalian intern. Peran Inspektorat Jenderal dalam rangka pelaksanaan peningkatan penerapan pengendalian intern ini adalah melakukan tugas asistensi, monitoring, dan evaluasi.

HARAPAN DAN TANTANGAN DALAM PENGEMBANGAN UKI

Harapan dalam pengembangan UKI adalah

a. terciptanya peningkatan efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan;

b. terciptanya early warning system dan peningkatan efektivitas risk management serta automatic self correction dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah;

c. terciptanya kualitas corporate governance dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah.

Tantangan yang terjadi selama pengembangan UKI adalah :

a. kurangnya komitmen Sumber Daya Manusia (SDM) UKI dalam melaksanakan tugas pengendalian intern. Hal ini terlihat pada salah satu UKI unit eselon I di Kementerian Keuangan bahwa jumlah SDM yang “bekerja” atau “peduli” dengan kegiatan UKI sangat sedikit;

b. kurangnya “kepedulian” dari pemilik pengendalian (pihak manajemen) dalam melaksanakan

peningkatan penerapan pengendalian intern. Hal ini terlihat bahwa pembentukan UKI pada salah satu unit eselon I tersebut baru sekedar memenuhi kebutuhan formal atau memenuhi instruksi pimpinan saja dan belum dilaksanakan dengan segenap hati dan sepenuh jiwa sehingga nilai tambah adanya UKI belum dapat dirasakan;

c. UKI dianggap sebagai “lawan” atau “kontra produktif” bagi pihak pemilik pengendalian / manajemen. Hal ini terlihat pada waktu kegiatan penelaah RKKL pada salah satu unit eselon sedang berlangsung, para penelaah menganggap dirinya seperti “pesakitan atau orang penuh dosa” yang harus diawasi terus menerus oleh pemantau UKI sehingga menimbulkan rasa ketidaknyamanan pada saat melakukan kegiatan penelaahan.

d. Belum bersinerginya hasil risk management (RM) dan balancedscored card (BSC) dengan kegiatan UKI di masing-masing unit eselon I, dimana hasil dari RM dan BSC masih terlihat berjalan sendiri-sendiri.

KESIMPULAN

Peran Inspektorat Jenderal sebagai katalisator atau quality assurance dan agent of change mendorong percepatan terbentuknya UKI diseluruh unit eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam pelaksanaannya UKI mendapat tantangan dari sisi pemilik pengendalian dan SDM UKI itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan yang terus-menerus melalui kegiatan sosialisasi tentang makna pembentukan UKI di seluruh pegawai Kementerian Keuangan, rekrutmen pegawai UKI yang mempunyai spesifikasi dan kompetensi tertentu, mensinergikan hasil RM dan BSC dengan kegiatan UKI dan kristalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan melalui suri tauladan (tone of the top) dari para pimpinan di Kementerian Keuangan sehingga harapan dari pembentukan UKI dapat tercapai.

Ragam Pengawasan

Page 9: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

9VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Pendahuluan

Belum tuntas kasus Gayus, Kementerian Keuangan kembali menjadi pembicaraan. Kasus pengadaan IT DJP dan terakhir dengan kasus DW dan

DA membuat masyarakat mempertanyakan reformasi yang telah dilakukan Kementerian Keuangan. Tidak sedikit yang kemudian

buru-buru memvonis reformasi birokrasi telah gagal. Tidaklah sepenuhnya keliru jika masyarakat menilai demikian, karena reformasi birokrasi telah membawa harapan yang tinggi terhadap Kementerian Keuangan sebagai unit pengelola keuangan negara.

Reformasi birokrasi Kementerian Keuangan menuntut kepatuhan, etika, dan kinerja seluruh pegawai/

pejabat di Kementerian Keuangan. Hal ini tidak boleh berlangsung sesaat, namun harus secara terus-menerus sepanjang

waktu. Untuk memastikan kondisi tersebut, perlu adanya suatu unit yang dapat memastikan tercapainya tujuan organisasi, sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 tanggal 12 Mei 2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengedalian Intern Di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Pengendalian Intern Di Lingkungan Kementerian Keuangan

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dinyatakan bahwa Sistem Pengendalian Intern merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Penerapan sistem pengendalian intern pemerintah diselenggarakan m e n y e l u r u h di lingkup pemerintah pusat maupun daerah. PP ini j u g a merupakan pelaksanaan dari amanat yang ada dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara, Presiden, melalui Peraturan Pemerintah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh..

Ada beberapa unsur dalam Sistem Pengendalian Intern. Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu pada unsur

Pembentukan Unit Kontrol Intern,Strategi Meningkatkan

Sistem Pengendalian Intern PemerintahOleh : Agus Sarwodi

Ragam Pengawasan

Page 10: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201210

Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:

a. Lingkungan Pengendalian

Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.

b. Penilaian Risiko

Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.

c. Kegiatan Pengendalian

Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.

d. Informasi dan Komunikasi

Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.

e. Pemantauan

Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.

Strategi Peningkatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Praktik yang telah berlangsung hingga saat ini di Kementerian Keuangan, sebagian besar unit eselon I telah menyusun kode etik yang wajib dipatuhi oleh seluruh jajaran di lingkungannya. Peraturan-peraturan juga telah disusun, lengkap dengan SOP-SOP yang secara lebih terinci mengatur bagaimana suatu kegiatan dijalankan.

Kondisi ini menunjukkan sesungguhnya Kementerian Keuangan telah menerapkan pengendalian intern, walaupun memang belum terselenggara secara sistematis, terpadu, pemantauan, dan perlu terus menerus ditingkatkan.

Upaya peningkatan sistem pengendalian intern pemerintah di lingkungan Kementerian Keuangan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 diharapkan akan tuntas dalam 5 tahun melalui 2 tahapan. Tahapan jangka pendek untuk meningkatkan sistem pengendalian intern pemerintah, ditempuh dengan penunjukan unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern disetiap unit eselon I terhadap kegiatan tertentu yang didukung dengan penambahan tugas, pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pemantauan yang pelaksanaannya telah tuntas pada akhir tahun 2011.

Pada tahapan selanjutnya, dilakukan langkah-langkah diantaranya pada tahun 2012 ditargetkan telah terbentuk unit kontrol intern di setiap unit eselon I di Kementerian Keuangan. Beberapa unit eselon I telah memiliki unit kontrol intern, seperti Direktorat KITSDA pada DJP, Bagian Kepatuhan dan Bantuan Hukum pada DJA, Pusat Kepatuhan Internal (PUSKI) pada DJBC, Bagian Organisasi dan Kepatuhan Internal pada DJKN, Bagian Kepatuhan Internal pada DJPU, maupun Biro Kepatuhan Internal pada Bapepam-LK.

Walaupun dalam pelaksanaannya belum ada keseragamanan dalam melakukan kegiatannya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan unit-unit ini telah membawa perubahan positif bagi masing-masing unit eselon I. Ada unit eselon I yang

menggunakan pendekatan audit kinerja, seperti yang dilakukan oleh Biro

Kepatuhan Internal Bapepam-LK. Namun ada pula yang

melakukan pendekatan evaluasi atas kepatuhan pelaksanaan tugas, seperti yang dilakukan

oleh PUSKI DJBC.

Prinsip Mencapai Keberhasilan Unit Kontrol Intern

Tahapan pertama peningkatan sistem pengendalian intern pemerintah di

Ragam Pengawasan

Page 11: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

11VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

lingkungan Kementerian Keuangan telah berlangsung. 7 (tujuh) eselon I telah melaksanakan pemantauan pengendalian utama sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011, yaitu DJBC, DJPU, DJA, DJPK, Bapepam-LK, BPPK dan ITJEN. Tahapan selanjutnya adalah perlunya pembentukan unit kontrol intern di masing-masing eselon I.

Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembentukan dan implementasi unit kontrol intern di masing-masing unit eselon I, yaitu :

a. Independen

Secara singkat independensi dapat dijelaskan sebagai not control by other atau bebas dari pengaruh pihak lain (mandiri). Secara struktur unit kontrol intern harus memiliki independensi dan bertanggung jawab secara langsung terhadap pimpinan unit eselon I. Untuk mendukung prinsip independensi ini secara struktur, unit kontrol intern akan lebih tepat diposisikan selevel eselon II dan didukung dengan unit-unit kepatuhan internal setingkat eselon III dan eselon IV, dimana masing-masing unit bertanggungjawab dan melaporkan kegiatannya kepada eselon diatasnya.

b. Sumber Daya Manusia

Untuk dapat menjalankan fungsinya, sumber daya manusia pada unit kontrol intern diharapkan tidak hanya memiliki kompetensi dan profesional di dalam bidangnya. Namun, integritas yang tinggi merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Nantinya mereka bukan hanya menjalankan fungsi-fungsi penilaian kepatuhan, namun lebih dari itu mereka diharapkan dapat menjadikan keteladanan dalam hal kepatuhan maupun kejujuran. Keteladanan ini akan lebih efektif jika dimulai dari dari level tertinggi organisasi dan akhirnya dapat menjadi budaya organisasi.

c. Komitmen

Penerapan kontrol intern dan pembentukan unit kontrol intern tidak hanya sekedar memenuhi ketentuan dan dilaksanakan setengah hati. Atau bahkan malah menjadi beban tambahan pelaksanaan kegiatan. Penerapan pengendalian intern bukan hanya tanggung jawab pimpinan tertinggi. Seluruh jajaran pada semua level tanpa terkecuali semestinya memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dan bertanggungjawab

terhadap keberhasilan penerapan pengendalian intern.

d. Akses Yang Tidak Dibatasi

Unit kontrol intern sudah sewajarnya diberikan akses yang luas terhadap informasi, fasilitas, maupun terhadap personil. Hal yang sama juga perlu diberikan kepada Inspektorat Jenderal pada saat melakukan audit baik terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh unit kontrol intern, namun juga terhadap kegiatan-kegiatan lainnya.

e. Kewenangan Audit Oleh Inspektorat Jenderal

Dalam implementasinya nanti, Inspektorat Jenderal wajib diberikan kewenangan untuk melakukan audit terhadap unit kontrol intern pada masing-masing unit eselon I secara rutin dan terencana.

Simpulan

Dari hal-hal yang telah dikemukan diatas, secara singkat dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut :

a. Kementerian Keuangan telah menerapkan pengendalian intern, walaupun memang belum terselenggara secara sistematis, terpadu dan perlu terus menerus ditingkatkan.

b. Peningkatan sistem pengendalian intern pemerintah di lingkungan Kementerian Keuangan dilakukan melalui beberapa strategi, diantaranya perlu dibentuknya unit kontrol intern di masing-masing eselon I.

c. Pembentukan unit kontrol intern tidak hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan yang telah digariskan. Keberadaan unit ini secara nyata harus dapat mendorong tercapainya peningkatan pengendalian intern pemerintah di Kementerian Keuangan. Dalam pembentukan dan implementasinya, unit ini sudah selayaknya menerapkan beberapa prinsip independensi, sumber daya manusia, komitmen, akses yang tidak dibatasi, dan kewenangan audit oleh Inspektorat Jenderal.

Ragam Pengawasan

Page 12: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201212

1. UKI, Mengapa Diperlukan

Pengendalian intern bukanlah sesuatu yang muncul dan berjalan tiba-tiba dalam sistem manajemen di masa kini saja. Bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa pengendalian intern merupakan sistem yang dibangun dan dikembangkan dari masa ke masa dalam peradaban manusia. Hal ini terlihat setidaknya dari berbagai catatan dan kitab-kitab yang menceritakan antara lain bahwa sejak zaman bangsa-bangsa Babylonia, Mesir dan Cina kuno, serta Romawi dan Yunani sudah dikenal sistem pengujian data transaksi untuk pertanian, harta dan upeti kepada raja atau penguasa di masing-masing wilayah. Sistem pencatatan dan pengujian dipakai untuk memastikan bahwa pengelolaan pertanian, harta negara dan upeti atau pajak dilaksanakan sesuai aturan dan kebijaksanaan raja pada masa itu. Untuk melakukan pencatatan dan pengujian tersebut diatur adanya pembagian tugas yang mutlak tidak boleh dirangkap oleh seseorang atau suatu pihak.

Kitab-kitab yang ditulis di abad ke 9M menunjukkan adanya pemisahan fungsi pencatat (al-khateb) dan fungsi penguji (al-muhaseb), hal ini antara lain ditulis oleh Al-Khawarizmy, dalam kitabnya “al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa’l-muqabala”, 830M. Sedangkan penjelasan dan argumentasi lebih tegas tentang diperlukannya pengendalian intern ditulis dalam kitab “Subb al-a’sha fi sina’at al insha”, oleh Al-Kalkashandy, 1412M, menyatakan: “…adalah suatu hal yang umum bagi seseorang untuk tidak melihat kesalahannya namun bisa melihat kesalahan orang lain, maka penting bagi kepala Diwan untuk menunjuk seseorang untuk me -review-nya. Orang ini harus memiliki standar bahasa yang tinggi, penghafal kitab suci (hafidz), cerdas,

bijaksana, dapat dipercaya dan bukan orang yang merugikan ataupun bermusuhan, ketika reviewer puas dengan isi buku yang telah direview, ia harus menandatangai pada buku tersebut sebagai indikasi kepuasannya akan isi yang terkandung didalamnya”. Teks ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengendalian tidak cukup hanya sistem yang baik yang diperlukan tetapi dibutuhkan integritas, independensi dan sikap obyektif dari pejabat/petugas yang melaksanakannya.

Di masa kini, pengembangan pengendalian intern juga mempertimbangkan unsur lingkungan pengendalian, sebagai unsur yang mencakup integritas, independensi dan obyektivitas seluruh pihak yang berada dalam organisasi. Hal inilah yang oleh COSO, pada tahun 1992 dikembangkan sebagai 5 (lima) komponen pengendalian intern, yang terdiri dari: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan.

Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 sebagai pedoman pelaksanaan dari Undang-undang nomor 17 tahun 2003 dan Undang-undang nomor 1 tahun 2004 mengamanatkan agar setiap instansi pemerintah menerapkan pengendalian intern dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya masing-masing. Hal tersebut ditujukan agar masing-masing instansi dapat mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien, tersajinya laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang dapat diandalkan, terlindungnya asset dan hak-hak negara, serta dipatuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kementerian Keuangan sebagai salah satu instansi pemerintah yang mengemban tanggung jawab pengelolaan keuangan negara pada posisi yang paling strategis dan (juga) kritis, dalam arti mempengaruhi seluruh sistem keuangan negara yang dikelola pemerintah, boleh jadi harus lebih dahulu melaksanakan amanat peraturan pemerintah tersebut.

2. Pengendalian yang Bagaimana?

Mengemban tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, dan sangat menentukan kondisi dan dinamika perekonomian negeri ini, melalui misi kebijakan fiskal, pengelolaan kekayaan negara, dan

UNIT KEPATUHANINTERNALTANTANGAN DAN DUKUNGAN KEBERHASILAN PENERAPANNYA

Oleh: Ali Mugiono, Auditor Muda pada Inspektorat II

Ragam Pengawasan

Page 13: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

13VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

pasar modal yang sehat dan prudent, Kementerian Keuangan harus membangun sistem pengendalian internnya secara sistematis dan terstruktur. Sistematis dalam arti bahwa sistem pengendalian intern harus dibangun dengan proses yang lengkap, apa dan bagaimana melaksanakannya, dimulai dari bagian yang mana dan masing-masing memiliki output apa saja. Sedangkan terstruktur diartikan bahwa untuk mengembangkan hal itu dilakukan oleh siapa dan masing-masing memiliki peran apa. Setiap orang, pejabat ataupun pegawai yang bukan pejabat harus terlibat di dalamnya dengan peran masing-masing, mendapatkan tanggung jawab yang jelas untuk setiap aktivitas pengendalian yang dia lakukan.

Selain itu, pengendalian yang dibangun tersebut juga perlu didokumentasikan dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diukur hasil dan manfaatnya. Pendokumentasian tidak hanya menyangkut hasil-hasil kegiatan, tetapi sejak direncanakan dan dirancang, pengendalian sudah harus didokumentasikan, yaitu dalam bentuk kerangka berfikir dan pedoman yang akan digunakan dalam langkah-langkah selanjutnya. Dengan pedoman yang tertulis dan jelas, maka pelaksanaan pengendalian memiliki langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan dan diukur. Dokumentasi pada saat pelaksanaan sudah tentu merupakan alat pertanggungjawaban yang paling dapat dihandalkan, dan memudahkan (enabling) pelaporan dan pertanggungjawaban.

3. Peran dan Fungsi UKI

Untuk mengembangkan dan menjaga agar sistem pengendalian yang dibangun dapat bermanfaat dan efektif mendukung proses pencapaian tujuan-tujuan organisasi, maka dibutuhkan suatu pihak yang diberikan tanggungjawab secara lebih terfokus membina dan memantau pelaksanaan sistem pengendalian intern tersebut.

Struktur organisasi dalam sistem pengendalian dibutuhkan terutama untuk melakukan pemantauan secara terus menerus dan berkesinambungan terhadap implementasi pengendalian intern, dan memberikan peringatan (alert) ketika terjadi penyimpangan/ ketidakpatuhan (exception) dalam proses pengendalian. Atas alert yang diberikan tersebut, diharapkan manajemen dapat merespon dan melakukan koreksi yang

dibutuhkan agar tidak terjadi sesuatu (risiko) yang lebih berdampak negatif.

Aktivitas organisasi (business process) setiap unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan, saat ini hampir seluruhnya sudah memiliki prosedur standard pelaksanaan (SOP) yang jelas sebagai panduan sekaligus kriteria dan syarat-syarat pemenuhan pelaksanaan tugas. Dengan SOP ini, akan menjadi mudah bagi UKI menjalankan peran dan fungsi pemantauannya, yaitu dengan mengamati agar setiap tahapan proses kegiatan organisasi apakah dijalankan atau tidak. Apakah pelaksana tugas, atau pejabat yang melaksanakan pengendalian telah patuh terhadap urutan pekerjaan yang tertuang dalam SOP tersebut. Dan bila terjadi ketidakpatuhan, maka UKI dapat langsung ataupun secara periodik memberikan informasi kepada manajemen untuk ditindaklanjuti dengan koreksi yang dibutuhkan.

Meskipun peran dan fungsinya terutama dalam kegiatan pemantauan, namun UKI dalam pemantauannya juga dapat menilai apakah SOP yang dijalankan dalam pelaksanaannya mengalami hambatan-hambatan, sebagai misal SOP yang diterapkan justru menimbulkan antrian layanan yang semakin panjang dan menimbulkan keterlambatan jadwal layanan, atau sebaliknya, dengan menerapkan SOP ada kekhawatiran dari pelaksana tugas bahwa proses yang dijalani tidak cukup menjamin kebenaran (validitas dan akurasi) dokumen yang sedang dalam proses layanan. Dalam hal ini UKI perlu melakukan evaluasi sederhana bagaimana hambatan-hambatan tersebut terjadi dan seberapa besar akan berdampak pada layanan ataupun peningkatan peluang terjadinya risiko-risiko tertentu. Atas kondisi tersebut, UKI melaporkan kepada manajemen untuk menjadi bahan konsultasi dan permintaan evaluasi lengkap oleh Inspektorat Jenderal selaku unit pengawas intern.

Inspektorat Jenderal, sebagai unit pengawas intern (internal audit) memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi (lengkap/menyeluruh) dan memberikan rekomendasi untuk peningkatan manajemen risiko, pengendalian intern (control) dan proses tatakelola (governance process). Peran Inspektorat Jenderal tersebut akan lebih efektif dan bermanfaat dijalankan apabila didahului informasi yang diberikan manajemen berdasarkan pemantauan oleh UKI sebagaimana dalam mekanisme tersebut di

Ragam Pengawasan

Page 14: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201214

atas.

Jika dikaitkan dengan konsep Three Lines of Defense, maka dengan terbentuknya UKI akan melengkapi kekosongan yang selama ini dirasakan dalam struktur dan proses pengendalian intern di Kementerian Keuangan. Secara umum konsep three lines of Defense adalah mengenai diperlukannya tiga lapis pertahanan terhadap penyimpangan (out of compliance) yang bisa terjadi dalam proses bisnis organisasi. Lapis pertama berada pada proses manajemen itu sendiri, artinya pada tingkat pelaksanaan tugas dan fungsi dalam proses bisnis, dalam konteks Kementerian Keuangan berarti semua pejabat pada struktur organisasi yang menjalani kegiatan tugas dan fungsi dalam jabatannya. Lapis kedua dilaksanakan oleh pihak dalam organisasi yang melakukan pengembangan dan pemantauan terhadap pelaksanaan pengendalian intern. Kemudian lapis ketiga, barulah dilaksanakan oleh fungsi audit intern (Inspektorat Jenderal). Dengan demikian UKI merupakan the Second Line of Defense yang melaksanakan penilaian dan pemantauan terhadap berjalan atau tidaknya sistem pengendalian intern.

4. Tantangan dan Dukungan Keberhasilan

Peran dan fungsi UKI tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh bagaimana manajemen memberikan kewenangan yang memadai terhadap pelaksanaan tugas-tugasnya. Tantangan terbesar adalah bagaimana setiap pejabat/pimpinan bersedia (secara sukarela) memberikan kewenangan pengendalian itu kepada orang lain yang bukan dirinya, meskipun orang itu adalah bawahannya sendiri. Akan ada sedikit ‘ketidaknyamanan’ yang dirasakan oleh pimpinan unit-unit kerja, bahwa proses pekerjaan yang dilaksanakan sedang dipantau dan dicermati proses pengendaliannya. Dalam hal berlaku asumsi bahwa pimpinan memerlukan kepastian proses yang sedang dijalani berjalan dengan semestinya, mungkin hal itu tidak menjadi masalah. Namun manakala seseorang pimpinan, berdasarkan pertimbangan dan kebijaksanaan kepemimpinannya, demi efektivitas dan kelancaran proses layanan, merasa perlu untuk melakukan ‘by pass’ suatu proses pengendalian, pelaksanaan tugas UKI akan menjadi ‘kegusaran’ bagi pimpinan tersebut.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana

manajemen mengakui dan memanfaatkan ‘signal’ yang diberikan oleh UKI. Jika sinyal yang diberikan tersebut tidak direspon dengan baik oleh manajemen, maka setinggi apapun kemampuan ‘sensor’ dari UKI tidak akan memberikan tingkat kepatuhan yang diharapkan, dan risiko-risiko yang muncul tidak akan dapat dikendalikan dengan baik oleh organisasi.

Tantangan lainnya menyangkut kapasitas, integritas, kompetensi dan dukungan terhadap proses pemantauan yang dilakukan. Apakah petugas yang ditempatkan dalam UKI memiliki integritas yang cukup untuk bisa bersikap obyektif dalam pelaksanaan tugasnya, dan apakah kemampuan mereka memadai untuk melaksanakan tugas secara cermat dan profesional. Terhadap hal ini perlu disiapkan panduan dan pelatihan yang cukup agar petugas yang ditempatkan dalam UKI bisa memenuhi syarat-syarat (spesifikasi) yang diharapkan.

Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya UKI juga perlu didukung dengan perangkat kerja yang memberikan kemudahan dalam proses pemantauan. Penggunaan aplikasi pemantauan akan sangat bermanfaat, selain untuk meningkatkan kapasitas pengendalian yaitu otomatisasi pendeteksian penyimpangan, juga meningkatkan efisiensi, khususnya dalam proses dokumentasi. Selanjutnya aplikasi juga bisa memberikan kemudahan dalam proses penyampaian informasi (signal) kepada manajemen, tanpa harus menyusun laporan secara manual, yang kadang membutuhkan waktu tertentu. Saat ini telah banyak aplikasi tersedia di pasaran yang menawarkan konsep Governance-Risk-Compliance (GRC), yang merupakan konsep pelaksanaan tugas dan fungsi UKI. Dengan aplikasi tersebut, UKI akan lebih terdukung sehingga dapat meningkatkan kapasitas (empowered) dalam pemantauannya.

Ragam Pengawasan

Page 15: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

15VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Adanya sebuah peraturan tak tertulis yang menyatakan bahwa apabila suatu unit organisasi atau suatu institusi menginginkan kemajuan, maka Satuan

Pengawas Internalnya haruslah kuat. Hal itu karena pengawasan internal merupakan alat yang efektif untuk membantu manajemen dalam menilai operasi suatu unit organisasi guna dapat mencapai tujuan organisasi tersebut.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 pada tanggal 12 Mei 2011, salah satu isinya adalah menunjuk Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebagai Koordinator peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagai koordinator tentunya harus memahami seluruh tugas dan fungsinya dalam melakukan pemantauan dan monitoring kegiatan UKI di unit Eselon I.

Ada beberapa hal yang sangat mendasar dalam memberdayakan keberadaan UKI di unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yaitu :

a. Penempatan para personalia yang ditugaskan di UKI, oleh Pimpinan unit setempat, harus memenuhi beberapa kualifikasi yang dibutuhkan antara lain mempunyai integritas yang tidak diragukan serta mempunyai kemampuan atau dasar pengetahuan tentang audit. Dan ini tentunya tidak lepas dari kesungguhan dari pimpinan unit setempat dalam mengoptimalkan peran UKI.

b. Memberikan kewenangan yang lebih besar khususnya dalam pelaksanaan tindakan pengawasan yang dilakukan oleh UKI. Artinya tidak ada pembatasan terhadap hal-hal tertentu yang menjadi objek pengawasan (khususnya dari oknum-oknum tertentu).

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman di lapangan selama ini, terjadinya bentuk tindakan korupsi tersebut adalah lebih banyak disebabkan karena kurang memadainya pengawasan oleh atasan atau pejabat setempat. Hal ini karena banyaknya tugas dan beban atasan/pimpinan setempat sehingga tidak dapat mengawasi secara optimal person masing-masing pegawai di bawahnya. Selain itu juga terjadinya tindakan korupsi bukan hanya oleh perbuatan oknum pegawai saja, namun juga dapat terjadi karena kelemahan system dan prosedur di lapangan.

PemberdayaanUnit Kontrol Intern

(UKI)dalam Pencegahan Korupsi

Oleh : Herlambang, S.E. MM CFEAuditor Muda pada Inspektorat Bidang Investigasi

Ragam Pengawasan

Page 16: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201216

Perilaku dan atau tindakan koruptif adalah bagaikan bola salju yang terjadi dari kecil atau sedikit demi sedikit. Dengan adanya tindakan pembiaran atau tidak adanya pengawasan yang memadai dari pimpinan atau atasan langsungnya maka lama kelamaan tindakan tersebut akan menjadikan tindakan korupsi yang besar (namun tidak terlihat) yang pada akhirnya akan ditemukan oleh aparat penegak hukum dan pada akhirnya akan mencoreng nama dan membuat citra negatif pada insitusi Kementerian Keuangan.

Dengan adanya UKI pada setiap unit kerja diharapkan mampu menjadikan informasi dini (lebih awal) tentang adanya tindakan awal perbuatan korupsi kepada pimpinan baik karena adanya tindakan sebagian oknum pegawai yang melanggar atau karena kelemahan system dan prosedur yang ada sehingga dapat segera membenahi dan mengatasi permasalahan di lapangan.

Tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan adanya UKI yang dapat menjadi benteng pertama dalam menangkal terjadinya tindakan korupsi sangat banyak. Khususnya dari dalam sendiri yakni dari para (sebagian) pimpinan unit setempat yang memang tidak mempunyai niat yang tulus dalam program pemberantasan korupsi melalui pemberdayakan UKI.

Dengan tidak adanya dukungan yang penuh dari Pimpinan unit setempat dalam memberdayakan UKI, mustahil akan dapat tercapai maksud dan tujuan dari pembentukan UKI tersebut. Bagaimana mengatasi tantangan tersebut? Salah satunya adalah dengan melakukan pemantauan yang intensif khususnya terhadap kinerja UKI pada unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan. Selain itu juga mengawasi para personalia yang ditempatkan di UKI apakah memang telah mempunyai integritas dan kemampuan yang memadai khususnya dalam bidang audit. Perlu dipertimbangkan juga dengan menempatkan beberapa pegawai Inspektorat Jenderal (yang ditunjuk) untuk menjadi tenaga perbantuan pada UKI di lingkungan Kementerian Keuangan. Dengan adanya tenaga perbantuan dari Inspektorat Jenderal paling tidak akan mempercepat

proses pertukaran pengetahuan (khususnya dalam bidang audit) serta

menyamakan persepsi kerja yang terjadi.

perilaku dan atau tindakan koruptif adalah bagaikan bola salju yang terjadi dari kecil atau sedikit demi sedikit, adanya tindakan pembiaran atau tidak adanya pengawasan tindakan tersebut akan menjadikan tindakan korupsi yang besar

s t o pperilaku atau tindakan koruptif

Ragam Pengawasan

Page 17: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

17VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern Di lingkungan Kementerian

Keuangan (Kemenkeu), pengendalian internal merupakan proses integral pada tindakan dan kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Pengendalian Internal bertujuan untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Mengingat pentingnya tujuan pengendalian tersebut setiap pimpinan dan pegawai di lingkungan Kemenkeu perlu meningkatkan penerapan pengendalian intern secara sistematis, terstruktur, dan terdokumentasi dengan baik untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Strategi yang ditempuh dalam jangka pendek adalah dengan melaksanakan tugas pemantauan pengendalian intern terhadap aktivitas pengendalian pada kegiatan tertentu yang penting di setiap unit Eselon I di lingkungan Kemenkeu. Untuk itu Menkeu telah menunjuk unit kerja tertentu pada tiap Eselon I untuk melakukan tugas pemantauan pengendalian intern tersebut.

Tujuan pelaksanaan pemantauan pengendalian intern adalah:

1. Membantu pimpinan satuan kerja dalam meningkatkan penerapan pengendalian intern untuk pencapaian tujuan organisasi;

2. Memastikan pengendalian utama dijalankan sesuai dengan sistem, prosedur, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan

3. Memastikan kecukupan rancangan pengendalian intern.

Pada tahun 2011, masing-masing Eselon I telah memilih kegiatan penting yang merupakan layanan unggulan unit bersangkutan untuk dilakukan pemantauan atas aktivitas tersebut. Pada tahap ini Itjen melaksanakan kegiatan asistensi kepada masing-masing unit Eselon I untuk mengembangkan pelaksanaan pemantauan di lingkungannya, mulai dari membantu mengidentifikasi pengendalian utama yang diperlukan pada kegiatan yang dipilih, menyusun perangkat pemantauan, melaksanakan pelatihan, dan simulasi yang diperlukan, sampai pemantauan ini dapat beroperasi.

Pada tahun 2012, dalam rangka meningkatkan/mengembangkan pengendalian intern akan dilakukan pembentukan struktur unit

PERAN ITJEN DALAM PENINGKATAN KUALITAS SDMGUNA PENGEMBANGAN UKI

Oleh : Romlah, Auditor Muda pada Inspektorat VII

Ragam Pengawasan

Page 18: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201218

kontrol intern (UKI) pada setiap unit Eselon I di lingkungan Kemenkeu. UKI akan melakukan kegiatan pemantauan penerapan pengendalian intern yang dalam jangka panjang mencakup seluruh unsur pengendalian intern sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, yang terdiri dari lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan.

Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya penerapan pelaksanaan pengendalian intern di lingkungan Kemenkeu baik jangka pendek maupun panjang adalah tersedianya SDM yang berkualitas. SDM harus mampu melakukan kegiatan pemantauan yang dapat memberikan penjaminan yang memadai bahwa kegiatan yang dipantau telah berjalan sesuai sistem, prosedur, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011, kualifikasi SDM yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemantauan pengendalian intern adalah:

a. memiliki kompetensi teknis yang memadai, artinya mempunyai pemahaman yang baik terhadap proses bisnis yang dipantau, memahami konsep pengendalian intern, dan teknik pemantauan;

b. memiliki sikap mental (kepribadian) yang baik, tercermin dari kejujuran, objektivitas, ketekunan, loyalitas, bijaksana, dan bertanggung jawab terhadap profesinya;

c. memiliki kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis secara efektif dengan berbagai pihak di lingkungan unit organisasinya;

d. memiliki keinginan untuk maju dan menambah pengetahuan/meningkatkan kemampuan profesionalnya.

e. mengingat pengendalian merupakan salah satu proses manajemen dan pemantauan pengendalian berkaitan erat dengan sistem informasi akuntansi, maka akan lebih efektif bila dilakukan oleh pegawai yang memiliki latar belakang pengetahuan tentang manajemen dan atau akuntansi.

Kenyataannya tidak selalu mudah memperoleh SDM dengan kualifikasi demikian

khususnya untuk jangka panjang dimana struktur UKI sudah dibentuk. Jika struktur UKI sudah ada, pelaksanaan pemantauan pengendalian intern akan lebih kompleks karena akan dilakukan pada seluruh program dan kegiatan.

Dalam jangka pendek pun masih ditemui hambatan terkait SDM pelaksana pemantauan. Seperti yang penulis temukan saat melakukan kegiatan monitoring atas pelaksanaan pemantauan pengendalian intern di KPKNL Bandung yang dilaksanakan oleh Seksi Hukum dan Informasi (HI) terhadap kegiatan “Penerbitan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas/Selesai” dan kegiatan “Penyetoran Hasil Bersih Lelang kepada Penjual”, antara lain:

• P e r a n g k a t p e m a n t a u a n yang berbentuk matrik yang telah ditetapkan dalam KMK Nomor 152/KMK.09/2011 masih agak rumit sehingga sulit dipahami oleh pelaksana pemantauan

• Menurut Pelaksana Pemantauan, penunjukan Seksi HI di KPKN L Bandung sebagai Pelaksana Pemantauan kurang tepat karena Seksi HI juga b e r p e r a n sebagai Pemilik Pengendalian atas dua kegiatan yang dipantau, yaitu kegiatan “Penerbitan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas/Selesai” dan kegiatan “Penyetoran Hasil Bersih Lelang kepada Penjual”. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan terjadinya konflik kepentingan karena Seksi HI melaksanakan dua peran, yaitu sebagai Pelaksana Pemantauan dan Pemilik Pengendalian serta dapat berakibat pelaksanaan pemantauan tidak/kurang independen.

• Pelaksanaan pemantauan menyebabkan pekerjaan tambahan di seksi lelang sebagai penyedia data maupun seksi HI sebagai pemantau, sehingga beberapa pegawai terpaksa harus merangkap dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat mengakibatkan kekurangcermatan petugas pada seksi-seksi terkait dalam melakukan

Ragam Pengawasan

Page 19: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

19VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

tugasnya.

• Adanya standarisasi di KPKNL menyangkut jumlah SDM dikaitkan dengan tipe kantor dan tidak memperhatikan beban kerja. Beban kerja di KPKNL Bandung yang cukup banyak ternyata tidak didukung dengan jumlah pegawai memadai.

Selain beberapa hambatan yang penulis temui di lapangan, dalam jangka panjang

hambatan lainnya yang mungkin terjadi terkait SDM adalah

kurangnya kompetensi teknis yang memadai. Salah satu

penyebabnya mungkin karena pelaksana yang

bersangkutan tidak punya latar belakang

p e n g e t a h u a n manajemen dan

atau akuntansi sehingga agak sulit

memahami konsep p e n g e n d a l i a n intern. Hal ini

akan berakibat lebih fatal lagi jika SDM tidak punya

keinginan untuk maju dan menambah pengetahuan/meningkatkan kemampuan

profesionalnya. Kendala lain adalah kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Apalagi jika SDM yang bertugas melaksanakan pemantauan tidak atau kurang memiliki sikap mental yang baik. Dalam melaksanakan tugasnya, mungkin saja tidak jujur, bersikap memihak dan yang lebih parah tidak bertanggung jawab terhadap profesinya.

Berdasarkan uraian diatas, kira-kira apa peran Itjen Kemenkeu dalam mendorong pengembangan UKI di Kemenkeu, khususnya di bidang pengembangan SDM? Untuk mengatasi kendala di lapangan seperti yang penulis temukan di KPKNL Bandung, Itjen (PIC terkait UKI) dapat melakukan:

• Penyederhanaan perangkat penilaian sehingga lebih mudah dipahami oleh pelaksana pemantauan

• Dalam pembentukan struktur UKI di Eselon I Kemenkeu, harus dinyatakan dengan tegas tentang perlunya pemisahan fungsi antara

pemantau pengendalian dengan pemilik pengendalian untuk menjamin adanya independensi dalam pelaksanaan pemantauan.

• Menyarankan ke tingkat pusat/pejabat yang berwenang tentang perlunya penambahan jumlah pegawai di KPKNL untuk menghindari tumpang tindih dan perangkapan pekerjaan oleh tiap pegawai dan agar jumlah SDM disesuaikan dengan beban kerja tanpa melihat tipe kantor.

Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, Itjen dapat memberikan pelatihan terkait kompetensi pelaksana pemantau tentang teknis pemantauan dan proses bisnis unit eselon I. Selain itu dengan mengadakan FGD dan atau sharing pengetahuan/teori-teori lain terkait pengendalian intern agar SDM lebih meningkat kompetensi teknisnya. Bila diperlukan, Itjen juga dapat memberikan saran-saran non teknis lainnya misalnya mengikutkan pelaksana pemantauan dalam training-training kepribadian dan motivasi, diklat public speaking untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi serta training lainnya yang langsung maupun tidak langsung dapat mendukung terciptanya SDM yang berkualitas dari segi teknis maupun non teknis. Untuk memperbaiki sikap mental dan perilaku pegawai, kiranya perlu ditanamkan nilai-nilai Kemenkeu yang meliputi integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan dan kesempurnaan, secara terus menerus dan berkesinambungan

Demikian makalah sederhana ini disusun dengan harapan semoga bermanfaat untuk pengembangan UKI di lingkungan Kemenkeu. Mungkin harapan ini terlalu berlebihan bagi penulis yang fakir ilmu. Namun ijinkanlah penulis bermimpi bahwa tulisan sederhana ini masih ada manfaatnya setidaknya untuk diri penulis sendiri sebagai sarana belajar, berbagi ide dan pandangan tentang perlunya SDM yang berkualitas bagi pengembangan UKI di lingkungan Kemenkeu.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat berkarya lebih baik. Mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada Bapak/Ibu/Pembaca yang berkenan mengapresiasi karya sederhana ini.

Jakarta, 22 Maret 2012

Ragam Pengawasan

Page 20: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201220

Salah satu dari empat permasalahan hasil audit BPK atas LKPP Tahun 2010 adalah adanya permasalahan dalam pengendalian atas pencatatan Piutang Pajak yaitu (1) penambahan piutang menurut data aplikasi piutang berbeda

sebesar Rp2,51 triliun dengan dokumen sumbernya yaitu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP); dan (2) pengurangan piutang PBB berbeda sebesar Rp1,03 triliun dengan penerimaannya. Permasalahan tersebut merupakan sumbangan dari temuan BPK atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Tahun 2010.

Dengan demikian salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan adalah dengan perbaikan dalam pengendalian atas pencatatan Piutang Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.

Seperti telah diketahui, dalam rangka perbaikan terhadap pengendalian atas pencatatan piutang pajak, Dirjen Pajak telah mengeluarkan peraturan terkait pengelolaan Piutang Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melalui PER-02/PJ/2012 tanggal 25 Januari 2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak. Dengan adanya peraturan tersebut, diharapkan penyajian angka piutang pajak di neraca menjadi lebih realistis karena akan muncul akun Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih.

Dengan adanya PER-02/PJ/2012 maka setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) diwajibkan untuk menghitung Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih untuk setiap periode pelaporan. Hal ini tentunya bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi KPP untuk melaksanakannya.

PENINGKATAN PENGENDALIAN ATAS PENCATATAN PIUTANG PAJAKSEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENINGKATAN KUALITAS

LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGANOleh : Dedyn

Ragam Pengawasan

Page 21: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

21VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Dalam peraturan Dirjen Pajak tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun piutang pajak berdasarkan penggolongan kualitas piutang pajak, yaitu sebesar:

1. 5 (lima permil) dari piutang pajak dengan kualitas lancar;

2. 10% (sepuluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan;

3. 50% (lima puluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan; dan

4. 100% (seratus persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan.

Sedangkan kualitas Piutang Pajak digolongkan menjadi:

1. Kualitas Lancar, apabila:

a. belum jatuh tempo;

b. telah jatuh tempo tetapi belum diberitahukan Surat Paksa; atau

c. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak dan belum melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut.

2. Kualitas Kurang Lancar, apabila:

a. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak tetapi telah melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut;

b. telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;

c. telah diberitahukan Surat Paksa; atau

d. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang

tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.

3. Kualitas Diragukan, apabila:

a. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita;

b. sedang diajukan keberatan atau banding;

c. Wajib Pajak Non Efektif (NE);

d. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan belum diusulkan untuk dihapuskan.

4. Kualitas Macet, apabila:

a. hak penagihannya telah daluwarsa; atau

b. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan dan telah diusulkan untuk dihapuskan.

Dengan melihat ketentuan di atas, maka yang akan menjadi kendala dalam penggolongan Piutang Pajak maupun dalam penghitungan Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih, adalah:

1. Menentukan kualitas Piutang Pajak mengingat selama ini terbukti terdapat kohir (SKP/STP) yang hilang atau tidak dapat ditemukan akibat sistem kearsipan yang kurang tertib maupun akibat adanya pemecahan KPP;

Ragam Pengawasan

Page 22: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201222

pengendalian atas pencatatan Piutang Pajak sesuai dengan KEP-02/PJ/2012. Peranan tersebut dapat dwujudkan dalam bentuk reviu atas Laporan Keuangan, sesuai dengan kewenangan Inspektorat Jenderal untuk melakukan, dalam hal ini termasuk pula untuk mengawal kegiatan pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih, terutama di tingkat satker (KPP).

Langkah kongkrit yang harus dilakukan menurut penulis adalah menjadikan kegiatan pengawalan pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih sebagai Tema Pengawasan Unggulan (TPU) Itjen. Sebagai pelaksana TPU nanti bisa merupakan Tim Gabungan antara Inspektorat VI dengan Inspektorat I maupun Inspektorat IV. Adapun kegiatan yang dapat dilaksanakan, adalah:

1. Sosialisasi KEP-02/PJ/2012 ke seluruh satker (KPP) di lingkungan Ditjen Pajak, karena dari pengalaman penulis selama melaksanakan reviu Laporan Keuangan pada KPP, sebagian pejabat/petugas pada Seksi Penagihan belum mengetahui secara jelas ketentuan tersebut;

2. Melakukan monitoring dan/atau pendampingan, khusus yang menyangkut kegiatan penyusunan Penyisihan Piutang Pajak Tak Tertagih di seluruh KPP;

3. Audit atas kegiatan Penagihan Piutang Pajak pada KPP, yang meliputi administrasi penagihan maupun aktifitas penagihan, dengan harapan akan tercipta tertib administrasi dan efektifitas kegiatan penagihan.

Terakhir yang perlu penulis sampaikan adalah bahwa semua usaha yang dilakukan tidak akan mencapai hasil yang memuaskan sesuai harapan, tanpa adanya kesadaran dan kemauan dari segala pihak di lingkungan Kementerian Keuangan untuk memahami pentingnya peningkatan kualitas Laporan Keuangan sebagai wujud dari adanya kinerja yang baik pada Kementerian Keuangan.

2. Menentukan nilai agunan atau nilai barang sitaan karena untuk itu diperlukan jasa pihak ketiga untuk menilai agunan/barang sitaan sehingga masih dibutuhkan waktu dan dana untuk pelaksanaannya;

3. Banyaknya barang sitaan yang hilang atau telah berpindah tangan maupun rusak sehingga mempersulit pelaksanaan penilaiannya;

4. Belum adanya sistem dan prosedur yang terintegrasi antara KPP, Kanwil dan Kantor Pusat DJP terkait Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, sehingga informasi hasil dari Keberatan/Banding WP tidak dapat segera diketahui oleh KPP terkait;

5. Dari pengalaman penulis dalam melaksanakan reviu di beberapa KPP, ternyata sumber daya manusia pada Seksi Penagihan masih kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitas.

Peranan Inspektorat Jenderal sangat dibutuhkan untuk dapat mewujudkan peningkatan

Ragam Pengawasan

Page 23: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

23VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Monitoring Inspektorat Jenderal Atas Penerbitan Kembali SKPKB/SKPKBT/STP Dalam Rangka Peningkatan Kualitas

Laporan Keuangan Pemerintah PusatOleh : Soufi J. Ananta

Latar Belakang

Salah satu target Kementerian Keuangan yang tertuang dalam Kontrak Kinerja Menteri Keuangan dengan presiden adalah diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011. Target dimaksud tentunya bukan merupakan sesuatu yang mudah dicapai, mengingat sekalipun telah dilakukan upaya perbaikan berupa peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, namun opini BPK atas LKPP tahun 2009 dan 2010 masih sebatas Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2010 antara lain dicantumkan adanya temuan berupa pencatatan piutang pajak yang masih menunjukkan kelemahan sehingga data dan catatan yang ada tidak memungkinkan BPK untuk melakukan pengujian kewajaran Piutang Pajak, dimana penambahan piutang menurut data aplikasi piutang berbeda dengan dokumen sumbernya yaitu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Hal ini antara lain disebabkan adanya jumlah piutang pajak yang tidak ditemukan fisik kohirnya.

Peran Pengawasan Inspektorat Jenderal Terhadap Kohir Yang Tidak Ditemukan Fisiknya

Menyangkut piutang pajak yang tidak ditemukan dokumen sumbernya, Inspektorat Jenderal dalam tahun 2009 telah melakukan monitoring atas pelaksanaan inventarisasi dan rekonstruksi data piutang pajak. Berdasarkan monitoring tersebut diperoleh informasi bahwa dari jumlah piutang pajak tahun 2007 sebesar Rp42.042 miliar terdapat piutang pajak yang tidak ditemukan fisik kohirnya sebesar Rp808.502.678.121,00 atau sebesar 1,92% dengan jumlah kohir sebanyak 350.965 lembar.

Menindaklanjuti permasalahan tersebut, Inspektorat Jenderal secara pro aktif bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah merumuskan dan menyusun ketentuan menyangkut tata cara penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 83 dan No. 85/PMK.03/2010 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-36/PJ/2010. Peraturan-peraturan tersebut dilengkapi juga dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-82/PJ/2010 sebagai petunjuk teknisnya, serta menetapkan tanggal 15 April 2011 sebagai batas waktu penyelesaian penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP. Dengan demikian, DJP berharap dalam pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2010, penyajian dan pengungkapan atas jumlah piutang pajak dalam neraca Pemerintah Pusat cukup memadai.

Sesuai ketentuan dimaksud, setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) diwajibkan melakukan penelusuran fisik kohir secara optimal terlebih dahulu dan apabila fisik kohir tetap tidak ditemukan maka atas piutang pajak tersebut dikategorikan dalam Kategori I sampai IV. Untuk kategori I dan II dapat l a n g s u n g d ibuatkan D a f t a r Nominat i f

Ragam Pengawasan

Page 24: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201224

Usulan Penerbitan Kembali ke Kanwil DJP terkait, sedangkan untuk kategori III dan IV hanya dapat dibuatkan Daftar Nominatif Usulannya setelah dikonfirmasikan dan dijawab ada oleh Wajib Pajak.

Berdasarkan hasil monitoring Inspektorat Jenderal atas penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP yang dilaksanakan dalam bulan Desember 2011 dan Januari 2012 pada 9 (Sembilan) KPP dengan jumlah kohir yang tidak ditemukan fisiknya sebanyak 55.393 lembar diperoleh kenyataan bahwa 3 (tiga) KPP dengan jumlah kohir sebanyak 20.316 lembar belum melakukan penelusuran maupun penelitian sama sekali, sedangkan tindak lanjut pada 6 (enam) KPP lainnya masih juga belum terselesaikan, yaitu :

- Sudah dilakukan penelusuran namun belum dilakukan pengkategorian sebanyak 30.280 lembar

- Sudah dikategorikan dalam kategori III atau IV sebanyak 9.953 lembar, namun hanya 81 lembar yang sudah dikonfirmasikan ke Wajib Pajak.

Alasan yang dikemukakan oleh pejabat KPP antara lain adalah belum dipahaminya proses penentuan kategori dan tindak lanjut atas hasil kategori, serta adanya pendapat bahwa atas kohir yang telah daluwarsa tidak perlu dilakukan penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP.

Alasan belum dipahaminya proses yang ada terasa sangat naif mengingat KPP-KPP tersebut ternyata berlokasi di Jakarta, disamping tidak

ditemukannya bukti tertulis dari KPP menyangkut konsultasi permasalahan penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP kepada Kanwil DJP terkait. Alasan sesungguhnya yang dapat diterima adalah adanya pengabaian oleh KPP terkait. Sedangkan menyangkut alasan bahwa atas kohir yang telah daluwarsa tidak perlu dilakukan penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP menunjukkan masih kurangnya sosialisasi dan bimbingan menyangkut hal tersebut.

Hasil monitoring Inspektorat Jenderal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan penyelesaian penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP masih jauh dari yang diharapkan, sehingga masalah piutang pajak masih menjadi salah satu potensi penyebab tidak tercapainya opini WTP oleh BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2011.

Inspektorat Jenderal sebagai pihak yang turut membidani lahirnya peraturan menyangkut penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP sudah tentu mempunyai tanggung jawab moral terhadap pelaksanaannya. Untuk itu dipandang perlu dilakukan upaya yang lebih intensif oleh Inspektorat Jenderal dengan memperluas cakupan monitoring atas penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP, baik menyangkut jumlah KPP maupun memperluas sampai ke Kanwil DJP mengingat faktor penyebab yang paling dominan adalah ketidakpahaman SDM untuk melakukan prosedur penerbitan kembali SKPKB/SKPKBT/STP selain kurangnya pengawasan dan bimbingan oleh Kanwil DJP.

Ragam Pengawasan

Page 25: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

25VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Definisi Sistem pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah Nomor : 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah adalah adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Sampai dengan tahun 2011 Kementerian Keuangan masih belum memiliki unit khusus terkait sistem pengendalian intern yang resmi dan berkekuatan hukum pada masing-masing unit

Eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan. Maka dengan diterbitkannya KMK No.152/KMK.09/2011 tanggal 12 Mei 2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kemenkeu, barulah mulai disusun rencana pengembangan Unit Kontrol Intern di Lingkungan Kemenkeu dengan Inspektorat Jenderal sebagai Lead (memimpin) dan membantu unit eselon I yang menjadi mitra dari masing-masing Inspektorat dalam rangka mengembangkan unit kontrol intern di lingkungan eselon I yang bersangkutan melalui asistensi, monitoring, dan evaluasi dalam rangka pelaksanaan peningkatan penerapan pengendalian intern pada unit eselon I. Sementara Manajemen atau pimpinan dari unit eselon I tersebut bertugas untuk Melaksanakan pengendalian intern dengan sungguh-

Pengendalian Unit Kontrol Intern (UKI)Di Lingkungan Kementerian Keuangan

(Harapan Dan Tantangan)Oleh : Drs.Sugiono

Ragam Pengawasan

Page 26: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201226

Ragam Pengawasan

sungguh serta membangun integritas pegawai sehingga keterbatasan yang dapat mengganggu pengendalian intern dapat diminimalisasi. Pengembangan Unit Kontrol Intern ini dilaksanakan secara bertahap diawali dengan menyusun kerangka kerja rancangan, melakukan sosialisasi workshop dan pelatihan, serta melakukan pengujian atas pelaksaan pemantauan secara intensif dimulai di tahun 2011 dengan tujuan yang ingin dicapai di tahun 2015 berupa terbentuknya unit kontrol yang permanen di masing-masing unit eselon I sehingga dapat melaksanakan penerapan tools seluruh unsur pengendalian intern pada seluruh kegiatan.

Dalam perjalanan untuk melakukan pengembangan Unit Kontrol Intern di Lingkungan Kemenkeu ada beberapa tantangan yang ditemui antara lain :

1. Lingkungan kementerian keuangan yang sangat besar dan bervariatif.

2. Kurangnya Komitmen dan Respon dari top manajemen

3. Core bisnis yang berlainan dari masing-masing unit eselon 1 menyulitkan tahap pengembangan

4. Berubahnya isu yang berkembang di manajemen/adanya penugasan khusus dari pimpinan.

5. SOP yang masih belum sepenuhnya dilaksanakan oleh menejemen/proses bisnis dilaksanakan berdasarkan kebiasaan yang ada sebelumnya.

6. Waktu lebih banyak dihabiskan dalam proses penyusunan perangkat pemantauan daripada pelaksanaan pemantauan oleh unit kontrol intern

7. Keterlibatan sejak awal dari unit yang terkait (dalam rangka mendorong rasa memiliki), peran dalam implementasi tidak didominasi oleh satu-dua unit saja

8. Monitoring berupa control self assessment (CSA), Pengawasan melekat dari atasan, dan melalui internal kontrol scorecard (tabel perangkat pemantauan) belum sepenuhnya dilaksanakan

Dari semua tantangan yang terjadi terhadap pengembangan dari masing-masing Inspektorat beserta unit eselon I yang menjadi mitra kerjanya hendaknya selalu melakukan koordinasi yang intensif sehingga tujuan awal pengembangan unit kontrol dalam KMK No.152/KMK.09/2011 dapat tercapai sesuai harapan yang diinginkan.

Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan Unit Kontrol Intern ini antara lain adalah dalam rangka mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kemenkeu sehingga tujuan organisasi menciptakan kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan dapat terlaksana dengan baik, dan kemungkinan kecurangan/ketidaksesuaian antara output yang dihasilkan dibandingkan dengan input yang diproses melalui titik pengendalian berupa reviu berjenjang dapat diminimalisasi. Dilihat dari sudut pandang kacamata auditor, apabila auditor telah memiliki keyakinan yang memadai bahwa suatu Sistem Pengendalian Intern pada sebuah instansi sudah terlaksana dengan baik maka auditor dapat mengurangi besarnya pengujian di tahap pengendalian intern sehingga lebih memfokuskan pengujian pada bagian lain yang masih perlu mendapatkan perhatian lebih.

Ringkasan Makalah Unit Kontrol Intern

1. Dasar awal dari pada timbulnya UKI adalah diterbitkannya PP Nomor 60 tahun 2008 tentang sistem pengendalian intern pemerintah definisinya adalah :

Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efesien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

2. Sampai dengan tahun 2011 kementerian keuangan masih belum memiliki unit khusus

terkait sistem pengendalian intern yang resmi dan

berkekuatan hukum pada masing-masing unit

eselon I dilingkungan k e m e n t e r i a n

keuangan.

3. Sesuai dengan p e r ke m b a n g a n k e g i a t a n

Page 27: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

27VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Ragam Pengawasan

Kemenkeu yang semakin komplek maka diterbitkanlah Keputusan Menetri Keuangan Nomor : 152/KMK.09/2011, tanggal 12 Mei 2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di lingkungan Kemenkeu. Maka barulah mulai disusun rencana pengembangan Unit Kontrol Intern dilingkungan Kemenkeu dengan Inspektorat sebagai Lead (Pimpinan) dan membantu unit eselon I yang menjadi mitra dari masing-masing Inspektorat dalam rangka pengembangan unit kontrol intern dilingkungan unit esleon I yang bersangkutan melaui Asistensi, Monitoring dan Evaluasi untuk peningkatan penerapan pengendalian intern eselon I.

4. Pimpinan unit eselon I harus melaksanakan Pengendalain Intern dengan baik serta membangun integritas pegawai sehingga keterbatasan yang dapat mengganggu pengendalian intern dapat diminimalisasi.

Pengembangan Unit Kontrol Intern dilaksanakan secara bertahap diawali dengsn menyusun kerangka kerja rancangan, melakukan sosialisasi, workshop dan pelatihan serta melakukan pengujian atas pelaksanaan secara intensif mulai tahun 2011 dengan tujuan pada tahun 2015 sudah tercapai.

Beberapa Tantangan yang ditemui dalam pengembangan Unit Kontrol Intern dilingkungan Kemenkeu :

1. Perkembangan Kemenkeu yang besar dan nervariatif;

2. Kurangnya komitmen dan respon dari para top manajemen;

3. Core bisnis yang berlainan dari masing-masing unit eselon I maka menyulitkan tahap pengembangan;

4. Berubahnya isu yang berkembang di manajemen/adanya penugasan khusus dari Pimpinan;

5. SOP yang masih belum sepenuhnya dilaksanakan oleh manajemen/proses bisnis dilaksanakan berdasarkan kebiasaan yang sebelumnya.

6. Waktu lebih banyak dihabiskan dalam proses penyusunan perangkat pemantau dari pada pelaksanaan pemantauan oleh unit kontrol intern.Contoh Label disposisi surat sebagai alat kontrol.

7. Keterlibatan sejak awal dari unit yang terkait (dalam rangka mendorong rasa memiliki) peran dalam implementasi tidak didominasi oleh satu dua unit saja.

8. Monitoring berupa control self assessment (CSA) ,Pengawasan Melekat dari atasan dan melalui internal kontrol scorecord (Tabel Perangkat Pemantauan) belum sepenuhnya dilaksanakan. Contoh Lembar Disposisi apakah setiap langkah sesuai dengan waktu yang ditetapkan

Harapan masalah Unit Kontrol Intern adalah :

1. Masing-masing Inspektorat beserta Unit Eselon I yang menjadi Mitra kerja hendaknya selalu melakukan koordinasi yang intensif sehingga tujuan awal pengembangan Unit Kontrol Intern dapat tercapai sesuai harapan

2. Mewujudkan Sistem Pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kemenkeu sehingga tujuan organisasi;

3. Tujuan untuk menciptakan kegiatan yang efektif dan efesien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan dapat terlaksana dengan baik

4. Kemungkinan kecurangan/ketidak sesuaian antara output yang dihasilkan dibandingkan dengan input yang diproses melalui titik pengendalian berupa review berjenjang dapat diminimalisasi.

5. Kami sebagai auditor berkeyakinan bahwa suatu Sistem Pengendalian Intern pada sebuah instansi sudah terlaksana dengan baik maka auditor dapat mengurangi besar pengujian di tahap pengendalian intern.

6. Kami sebagai auditor yang profesional akan selalu mengawal terciptanya Unit Kontrol Intern di masing-masing Eselon I dilingkungan Kemenkeu;

7. Kami sebagai Auditor selalu berkomitmen untuk tetap melaksanakan reformasi birokrasi untuk menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa.

Page 28: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201228

Seperti kita ketahui bersama, mulai tahun 2011 Kementerian Keuangan telah melaksanakan upaya peningkatan penerapan pengendalian intern sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Upaya peningkatanpengendalian intern tersebut dijabarkan dalam strategi-strategi sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Kementerian Keuangan menggunakan dua strategi untuk mewujudkan pengendalian intern

yang kuat, yaitu strategi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek dilaksanakan dengan melaksanakan pemantauan pengendalian intern atas kegiatan tertentu yang penting di setiap unit Kementerian Keuangan. Sedangkan strategi jangka panjang dilaksanakan dengan membentuk Unit Kontrol Intern pada setiap unit Eselon I secara berjenjang yang bertanggung jawab untuk memotori penerapan pengendalian intern pada unit kerja bersangkutan.

Mengingat ruang lingkup pembahasan mengenai penerapan pengendalian intern sangat luas, maka dalam makalah ini pembahasan dibatasi pada lingkup tugas Unit Kontrol Intern yang sesuai amanat KMK 152/2011 akan dibentuk pada tahun

Pengembangan Unit Kontrol Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan:Harapan dan Tantangan Penambahan Ruang Lingkup Tugas

Unit Kontrol InternMohammad Dody Fachrudin

Auditor Muda pada Inspektorat Bidang Investigasi

Ragam Pengawasan

Page 29: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

29VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

2012. Penulis akan menyajikan terlebih dahulu pendapat penulis atas lingkup tugas pemantauan pengendalian intern sebagaimana diatur dalam KMK Nomor: 152/KMK.09/2011. Selanjutnya, penulis akan mengusulkan ruang lingkup tugas Unit Kontrol Intern yang ideal dari perspektif penulis.

A. Pendapat atas Ruang Lingkup Tugas Pelaksana Pemantauan dan Manajemen Risiko Saat Ini

Dalam KMK Nomor: 152/KMK.09/2011, Pelaksana Pemantauan ditugaskan untuk memastikan bahwa pengendalian utama dijalankan sesuai dengan sistem, prosedur, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memastikan kecukupan rancangan pengendalian intern. Apabila diperhatikan, akan terasa bahwa yang menjadi focus utama hanyalah pengendalian intern.

Sementara aspek-aspek lainnya yang juga sangat vital perannya dalam pencapaian tujuan organisasi dan perwujudan good governance tidak termasuk lingkup tugas Pelaksana Pemantauan. Menurut penulis, apabila organisasi ingin mencapai tujuannya secara efektif dan efisien maka selain mengimplementasikan pengendalian intern yang baik, organisasi juga harus menerapkan manajemen risiko yang sistematis dan terdokumentasi denganbaik.

Pada dasarnya, Kementerian Keuangan telah memiliki peraturan dan perangkat manajemen risiko sebelum terbitnya KMK mengenai pengendalian intern ini. Namun, dalam penerapannya, pengendalian intern dan manajemen risiko masih belum terintegrasi. Kedua area ini masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan peraturan dan prosedurnya masing-masing sehingga seringkali menimbulkan kebingungan dan beban kerja tambahan bagi unit eselon I. Kebingungan terjadi karena unit eselon I merasa harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk hal-hal yang pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu memastikan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan beban kerja tambahan yang dirasakan oleh unit eselon I terjadi karena belum adanya unit tertentu yang khusus bertugas

menangani manajemen risiko dan pengendalian intern.

Lebih lanjut, dalam PMK Nomor: 191/PMK.09/2008 dinyatakan bahwa salah satu kategori risiko adalah risiko kecurangan (fraud risk). Menurut penulis, sebagian besar eselon I telah memetakan

risiko fraud dan menyusun rencana mitigasinya. Hanya saja implementasi program mitigasi seringkali berfokus pada risiko operasional, karena manajemen beranggapan bahwa risiko ini paling erat kaitannya dengan operasi harian organisasi. Risiko fraud merupakan risiko yang menurut sifatnya memiliki frekuensi keterjadian (likelihood) yang rendah tetapi dapat mempunyai konsekuensi yang catasthrophic. Oleh karena itu, selayaknya pengelolaan atas risiko fraud ini mendapat perhatian yang sama besardari manajemen bila dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya (terutama risiko strategis dan risiko operasional).

B. Usulan Penambahan Ruang Lingkup Tugas Unit Kontrol Intern

Menurut penulis, ruang lingkup tugas Unit Kontrol Intern yang akan dibentuk setidaknya mencakup pengendalian intern dan manajemen risiko. Ruang lingkup tugas yang ada saat ini dapat dipertahankan, dan ditambahkan dengan tugas-tugas yang penulis usulkan. Secara lebih rinci tugas-tugas tambahan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Terkait Pengendalian Intern

Sehubungan dengan pengendalian intern, tugas Unit Kontrol Intern dapat diperluas tidak sebatas melakukan pemantauan pengendalian intern, tetapi juga membangun kerangka kerja dan kebijakan pengendalian intern. Selama ini manajemen lini dapat dikatakan menyusun sendiri kebijakan pengendalian internnya antara lain dalam bentuk SOP, Peraturan Pimpinan Unit Eselon I, dan peraturan tertulis lainnya tanpa adanya pendapat pihak kedua. Ke depannya, manajemen dapat menerapkan four eyes principle dengan memanfaatkan Unit Kontrol Intern untuk memberikan masukan atas setiap SOP dan peraturan tertulis lainnya dari sisi pengendalian.

Ragam Pengawasan

Page 30: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201230

Contoh riil kegiatan yang dapat dilakukan Unit Kontrol Intern terkait hal ini antara lain: menyusun moral guidance (Do’s & Don’t’s) yang berlaku bagi seluruh pegawai maupun khusus bagi pegawai yang menduduki jabatan tertentu, membuat pedoman penyusunan SOP yang mempedulikan risiko dan pengendalian, melakukan internalisasi kepada seluruh pegawai mengenai tugas dan tanggung jawabnya terkait pengendalian dan perannya dalam pencapaian tujuan organisasi, serta membuat pedoman pelaksanaan ongoing monitoring yang efektif. Setelah strategi tersebut dilaksanakan oleh manajemen, perlu dilakukan evaluasi guna menilai keberhasilan strategi-strategi tersebut dalam meningkatkan kualitas pengendalian intern.

Sejalan dengan tugas pemantauan tindak lanjut ini, sebaiknya Unit Kontrol Intern juga membangun Knowledge Management System (KMS) yang berisi temuan-temuan audit internal, audit eksternal, maupun temuan hasil pemantauan pengendalian intern. Dengan adanya KMS ini, Unit Kontrol Intern dapat membuat analisis trend atas jenis temuan, penyebab temuan, dan area atau kegiatan yang sering menjadi obyek temuan. Berdasar hasil analisis ini, Unit Kontrol Intern dapat memberikan feedback kepada manajemen mengenai area-area yang perlu perbaikan.

2. Terkait Manajemen Risiko

Sehubungan dengan manajemen risiko, dalam makalah ini penulis akan fokus pada tugas-tugas tambahan yang berkaitan dengan pengelolaan risiko fraud. Tugas-tugas lainnya sebagaimana diatur dalam PMK 191 Tahun 2008 dapat terus dilaksanakan sepanjang dianggap relevan.

Unit Kontrol Intern dapat diberi tanggung jawab untuk merumuskan strategi dan kebijakan pencegahan dan pendeteksian fraud, membangun fraud awareness, serta mengembangkan perangkat pendeteksian dini atas fraud. Perlu ditekankan bahwa jika selama ini fungsi unit kepatuhan internal lebih berfokus pada penanganan atas pengaduan adanya indikasi fraud, maka ke depannya fungsi Unit Kontrol Intern sebaiknya lebih diarahkan kepada pencegahan dan pendeteksian dini atas indikasi fraud.

Perumusan strategi anti fraud yang pelaksanaannya dikomandoi oleh Unit Kontrol Intern dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Tindakan nyata yang dapat dilakukan Unit Kontrol Intern dalam kaitannya dengan pencegahan fraud antara lain: internalisasi kode etik dan budaya organisasi kepada seluruh jenjang organisasi; pemetaan area, posisi (jabatan), kegiatan, dan prosedur yang rawan terjadi fraud; membuat petunjuk praktis yang berisi red flags kegiatan yang berindikasi fraud dan personel yang kemungkinan melakukan fraud;serta penyusunan dan pemantauan program mitigasi risiko fraud;

2. Dalam rangka membangun early warning system atas indikasi fraud, Unit Kontrol Intern dapat melakukan beberapa langkah, diantaranya : mengimplementasikan Whistleblowing System (WISE); membangun budaya kepedulian seluruh pegawai untuk saling mengawasi terutama apabila terdapat ciri-ciri yang biasanya terdapat pada pegawai yang melakukan fraud, misalnya terjadinya perubahan gaya hidup; serta membangun dan menerapkan mekanisme Know Your Employee yang mencakup pengenalan dan pemantauan karakter, perilaku, dan gaya hidup pegawai;

3. Terkait Pemantauan, Evaluasi, dan Tindak lanjut, yang dapat dilakukan Unit Kontrol Intern antara lain menyelenggarakan suatu sistem untuk mendokumentasikan fraud incidents, mengidentifikasi penyebab terjadinya, merumuskan langkah-langkah perbaikan untuk memperkuat pengendalian intern agar dapat meminimalisasi terjadinya fraud, dan memantau pelaksanaan langkah-langkah tersebut oleh manajemen.

C. Hal – hal yang Perlu Dipertimbangkan

1. Pemisahan Tugas dan Fungsi

Dalam usulan yang dikemukakan penulis, terdapat satu hal yang perlu mendapat perhatian yaitu pemisahan tugas dan fungsi antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengevaluasi

Ragam Pengawasan

Page 31: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

31VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

pelaksanaan kebijakan. Sebagai contoh, penulis mengusulkan adanya tugas perumus akan kebijakan pengendalian intern, sedangkan di KMK 152 Tahun 2011 terdapat tugas pemantauan pengendalian intern, maka atas dua fungsi ini harus dipisah pelaksanaannya.

2. Tantangan Penambahan Ruang LingkupTugas Unit Kontrol Intern

Dalam menambahkan ruang lingkup tugas, tentunya terdapat tantangan-tantangan yang harus diantisipasi oleh ITJEN (sebagai koordinator peningkatan penerapan pengendalian intern) maupun oleh unit Eselon I.

Tantangan yang mungkin dihadapi ITJEN antara lain: perlu melakukan perombakan PMK Manajemen Risiko dan KMK Pengendalian Intern karena adanya unit permanen yang menangani manajemen risiko dan pengendalian, perlu meningkatkan kapasitas organisasi agar dapat memberikan pelatihan dan asistensi yang berkualitas kepada pegawai-pegawai yang nantinya akan ditempatkan di Unit Kontrol Intern, membuat pedoman baru yang mungkin diperlukan (misal : kerangka kerja pengendalian intern, best practices lingkungan pengendalian dan 4 unsur lainnya)

Dari sisi Unit eselon I, k e m u n g k i n a n t a n t a n g a n yang dihadapi adalah: dengan dibentuknya Unit Kontrol Intern sangat mungkin timbul persepsi dari manajemen bawah risiko dan pengendalian hanya merupakan tanggung jawab Unit Kontrol Intern, hambatan dalam menyeleksi pegawai yang berkompeten untuk ditempatkan di Unit Kontrol Intern, perlunya mengembangkan kompetensi pegawai Unit Kontrol Intern, perlu menyusun mekanisme dan tata kerja Unit Kontrol Intern yang baru, serta hambatan yang mungkin dijumpai dalam mengkomunikasikan pentingnya manajemen

risiko dan pengendalian intern kepada jajaran pimpinan unit Eselon I untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari mereka.

3. Alternatif Solusi

Untuk menghadapi tantangan-tantangan sebagaimana disebutkan dalam angka 2, upaya yang dapat dilakukan baik oleh ITJEN maupun unit Eselon I secara garis besara dalah:

1) membuat prioritisasi pelaksanaan tugas dan alokasi sumber daya;

2) menyusun action plan dan menetapkan target pencapaian yang memperhatikan prinsip SMART (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, and Time-bound); dan 3) menjaga komitmen untuk melaksanakan action plan sesuai jadwal waktu yang ditentukan.

Ragam Pengawasan

Page 32: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201232

Ragam Pengawasan

Latar Belakang

Laporan Keuangan merupakan alat komunikasi antara pengelola keuangan sebagai penyaji dengan pihak lain sebagai pemakai atau pihak yang berkepentingan dengan kondisi ataupun kinerja keuangan suatu entitas. Laporan Keuangan ini akan sangat bermanfaat jika mampu menyajikan informasi yang relevan dan benar. Beberapa aturan telah diluncurkan sehubungan dengan hal tersebut. Dimulai dengan diterbitkannya Undang-undang no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disusul dengan Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta aturan-aturan lain yang terbit kemudian, yang pada intinya mengharuskan setiap unsur pengelola keuangan negara (baik pada tingkat pusat maupun daerah) diwajibkan untuk membuat Laporan Keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD.

Dalam UU No. 17 tahun 2003 antara lain dinyatakan bahwa Presiden menyampaikan rancangan UU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh BPK. Bentuk pertanggungjawaban yang disampaikan tersebut meliputi Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah, oleh karena itu telah disusun sebuah Standar/sistem Akuntansi dan Pelaporan, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 171 tahun 2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Dalam rangka menjamin bahwa Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga telah disusun berdasarkan SAI dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) maka berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Aparat Pengawasan Intern Kementerian Negara/Lembaga (API K/L) melakukan reviu atas LK K/L sebelum disampaikan Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan. Dalam PP tersebut juga diatur bahwa Menteri Keuangan

selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu atas Laporan Keuangan. Untuk itu telah terbit Standar Reviu atas LK K/L berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 41/PMK.09/2010.

Peran Inspektorat Jenderal

Inspektorat Jenderal sebagai aparat pengawasan intern melaksanakan reviu atas Laporan Keuangan, yang bertujuan untuk membantu terlaksananya penyelenggaraan akuntansi dan penyajian LK K/L dan memberikan keyakinan terbatas mengenai akurasi, keandalan, dan keabsahan informasi LK K/L serta pengakuan, pengukuran, dan pelaporan transaksi sesuai SAP kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, sehingga dapat menghasilkan LK K/L yang berkualitas. Reviu atas LK K/L dilaksankan secara pararel dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan LK K/L. Yang dimaksud pararel adalah bahwa reviu dilakukan bersamaan atau sepanjang pelaksanaan anggaran dan penyusunan LK K/L Semesteran dan Tahunan, serta tidak menunggu setelah LK K/L selesai disusun. Reviu dilaksanakan dengan pendekatan berjenjang, yang mencakup unit-unit akuntansi dan/atau akun LK K/L yang berpotensi tinggi terhadap permasalahan dalam penyelenggaraan akuntansi dan/atau penyajian LK K/L, dan dilaksanakan berjenjang mencakup unit akuntansi pada Kementerian Negara/Lembaga, yaitu UAKPA/B, UAPPA/B-W, UAPPA/B-E1, dan UAPA/B. Kelemahan dalam penyelenggaraan akuntansi dan/atau kesalahan dalam penyajian LK yang ditemukan saat reviu dilakukan dapat segera diperbaiki dan/atau dikoreksi bersama-sama antara pereviu dengan unit akuntansi juga secara berjenjang.

Lebih lanjut Inspektorat Jenderal dalam rangka mendukung pelaksanaan reviu LK K/L juga dapat melakukan pendampingan terhadap unit akuntansi K/L selama pemeriksaan K/L oleh BPK. Rangkaian aktivitas pendampingan pemeriksaan BPK diawali dengan koordinasi dengan penyusun LK K/L, yang dilanjutkan dengan aktivitas lain seperti menjelaskan kepada BPK tentang hasil reviu LK K/L, mendukung kelancaran pelaksanaan pemeriksaan oleh BPK,

PERAN INSPEKTORAT JENDERAL DALAM PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN

Oleh: Titik Purwani

Page 33: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

33VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Ragam Pengawasan

mengantisipasi permasalahan/kendala yang dihadapi oleh unit akuntansi pada saat pemeriksaan oleh BPK, membantu penyamaan persepsi unit akuntansi terhadap temuan BPK, mendampingi unit akuntansi dalam pertemuan akhir dengan BPK untuk membahas hasil pemeriksaan, dan mendorong unit akuntansi untuk segera memperbaiki LK K/L berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tersebut.

Tantangan

Setelah memperoleh opini Disclaimer, kemudian pada tahun 2010 Kementerian Keuangan memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian maka untuk tahun 2011 ditargetkan agar Kementerian Keuangan memperolah opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dalam rangka pencapaian target tersebut Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan telah mempersiapkan langkah-langkah reviu secara lebih baik dan mengkomunikasikan segala sesuatunya agar tujuan tersebut dapat tercapai

Hambatan/Kendala

Hambatan/kendala yang dialami dalam rangka pencapaian tujuan tersebut dapat dikelompokkan menjadi hambatan dari dalam (intern) dan hambatan dari luar, sebagai berikut:

Hambatan/kendala dari dalam (intern) antara lain:

1) Belum semua Satker terjangkau reviu, artinya selama ini masih dilakukan sample /pemilihan satker yang akan direviu. Sehingga perbaikan belum dapat menyeluruh di seluruh satker.

2) Kompetensi Sumber Daya Manusia baik pada unit akuntansi sendiri maupun pada unit pereviu masih belum merata, selain itu juga adanya penggantian/mutasi para pegawai/pejabat yang terlibat dalam kegiatan tersebut seringkali menyebabkan seolah menjadi memulai kembali dari awal. Misalnya petugas SAI ataupun SIMAK BMN untuk satker tertentu untuk tahun 2010 sudah menjalani pendidikan dan saat dilakukan reviu sudah mendapat saran-saran perbaikan, ternyata untuk tahun 2011 petugas tersebut dipindahkan ke kantor lain atau ke bagian lain sehingga penggantinya harus memulai dan mempelajari kembali dari awal.

3) Kurangnya perhatian para pejabat / pucuk pimpinan pada unit tersebut tentang pentingnya

Laporan Keuangan seringkali menyebabkan petugas di lingkup bawah seperti kehilangan dukungan dan bimbingan. Kurangnya perhatian ini seringkali juga disebabkan mereka (para pimpinan) lebih fokus pada tugas utama mereka seperti target penerimaan dan sebagainya.

4) Dukungan sistem yang kadang masih kurang, seperti contoh untuk penerimaan negara masih saja selalu ada perbedaan yang sulit ditelusuri antara data dari MPN dengan data dari KPP, atau karena adanya perbedaan waktu pelaporan sehingga penerimaan menurut SAI berbeda dengan SAU.

Hambatan/kendala dari luar:

Persepsi yang selama ini muncul adalah “kog Itjen tidak bisa ya menemukan seperti yang disampaikan BPK, padahal sudah direviu”. Padahal ini terjadi karena beda sifat antara yang dilakukan BPK dengan Itjen. Pemberian opini oleh BPK dilakukan setelah dilakukan audit atas entitas keuangan tertentu, sehingga tentu saja penelusuran bukti dan sebagainya lebih mendalam dibandingkan dengan reviu yang lebih bersifat pada penyajian Laporan Keuangan. Sehingga sepertinya Itjen selalu tertinggal beberapa langkah di belakang.

Kesimpulan

Dari uraian singkat tersebut diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa reviu saja tidak cukup untuk mencapai target opini Wajar Tanpa Pengecualian.

Beberapa kendala yang disebutkan diatas harus secara konsisten diurai, baik melalui peningkatan kompetensi SDMnya maupun mengurai permasalahan yang seringkali menjadi temuan BPK yang lebih sering mengenai substansi . Penguraian masalah temuan tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pengelolaan maupun dengan melakukan audit mendalam terhadap permasalah substansi tersebut. Untuk itu diperlukan sinergi antara Inspektorat VI yang diberikan kewenangan melakukan reviu atas Laporan Keuangan dengan Inspektorat lain yang menangani tugas pokok Eselon I terkait materi yang seringkali ditemukan oleh BPK.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, marilah kita bersatu, bersinergi untuk Kementerian Keuangan yang lebih baik.

Page 34: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201234

Ragam Pengawasan

Pengembangan Unit Pelaksana PemantauanPengendalian Intern/UKI di Kementerian Keuangan

oleh : Uming

secara sistematis, terstruktur, dan terdokumentasi dengan baik dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan, sehingga melalui itu, diharapkan akan dapat mewujudkan terselenggaranya operasioanalisasi pemantauan pengendalian intern yang efektif atas kegiatan yang dipantau pada seluruh unit eselon I pada Kementerian Keuangan.

Sistim Pengendalian Intern pada Kementerian Keuangan

Pada tahun 2008, Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan pemerintah Nomor 60 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang mewajibkan menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian atas kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2011 tentang percepatan peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan negara, yang menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II untuk lebih mengefektifkan pengawasan intern di lingkungan masing-masing.

Latar Belakang

Banyaknya kasus-kasus yang terjadi pada lingkungan kementerian keuangan pada akhir-akhir ini, mengindikasikan bahwa pengendalian intern di unit-unit kerja pada lingkungan kementerian keuangan belum berjalan secara optimal. Padahal Pengendalian Intern merupakan proses integral pada tindakan-tindakan dan kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan.

Kurang efektifnya Sistem Pengendalian Intern mengakibatkan kontrol lemah, akurasi data pada laporan yang dibuat meragukan dan kinerja pegawai kementerian keuangan dipertanyakan serta pimpinan tidak dapat segera mengetahui titik-titik krusial yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan yang terjadi pada lingkungan kementerian keuangan.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka Pimpinan Kementerian Keuangan merasa perlu meningkatkan penerapan pengendalian intern

Page 35: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

35VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Ragam Pengawasan

maka Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No.152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern dengan pola pemantauan evaluasi terpisah yakni pemantauan pengendalian intern dilaksanakan oleh unit yang ditunjuk/permanen dengan tujuan :

a. membantu pimpinan satuan kerja dalam meningkatkan penerapan pengendalian intern untuk pencapaian tujuan organisasi.

b. Memastikan pengendalian utama dijalankan sesuai dengan sistem, prosedur dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;dan

c. Memastikan kecukupan rancangan pengendalian intern

Dengan adanya unit tersebut diharapkan akan dapat mewujudkan terselenggaranya operasionalisasi pemantauan pengendalian intern yang efektif pada seluruh unit eselon I pada Kementerian Keuangan.

Kendala/Tantangan yang dihadapi dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan UKI

Agar UKI yang dibentuk tersebut dapat berjalan efektif perlu diperhatikan beberapa hal yang mungkin dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan UKI, yakni :

1. Organisasi Kementerian Keuangan yang besar (memiliki 12 unit kerja setingkat eselon 1), dengan bisnis proses yang berbeda dan memiliki banyak unit kerja diseluruh indonesia menjadikan rentang kendali pengawasannya luas sehingga memiliki resiko tidak terkontrolnya unit kerja yang menjadi tanggungjawab kendalinya.

2. Sulitnya Koordinasi antar eselon I atas kesepahaman baik terhadap struktur, mekanisme kerja, pelaporan sehingga tujuan penerapan sistem pengendalian intern dapat dicapai sehingga memberikan keyakinan memada atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan,efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan.

3. Tidak adanya uraian jabatan atas pelaksanaa pekerjaan pemantaun berpotensi tidak dilakukannya pekerjaan dimaksud

4. Sistem Pengendalian Intern baru merupakan “kewajiban” bukan merupakan suatu kebutuhan

Menteri Keuangan, selaku pimpinan, juga memiliki kewajiban untuk melakukan pengendalian atas kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam PP 60 tahun 2008 dan Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2011 tentang percepatan peningkatan kualitas tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberi keyakinan memadai (reasoneble assurance) bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dapat tercapai.

Secara umum, implementasi sistem pengendalian intern yang terdiri atas lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan pada kementerian keuangan telah dilaksanakan, bahkan untuk masing-masing tingkat pengendalian tersebut telah ditindaklanjuti dengan adanya ketentuan/peraturan/kebijakan/prosedur dan sebagainya (antara lain PMK no 139/206 tentang SOP,PMK-191/2008 tentang manajemen resiko,PMK no 29/2007 tentang peningkatan disiplin/kode etik, PMK,190/2008 tentang evaluasi pelaksana)

Efektivitas Penerapan Pengendalian Intern pada Kementerian Keuangan

Implementasi sistem pengendalian intern yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan, melalui masing-masing peraturan/kebijakan/prosedur tersebut, selama ini pemantauannya dilakukan secara berkelanjutan yakni dilakukan melalui kegiatan pengawasan/supervisi oleh manajemen yang melekat dalam operasi normal suatu entitias.

Atas hasil pemantauan berkelanjutan (on going monitoring) tersebut, belum dapat disimpulkan apakah pengendalian intern pada tingkat entitas sudah dilaksanakan secara efektif, apakah pengendalian intern pada tingkat transaksi/kegiatan telah dilakukan secara efektif dan apakah pengendalian intern atas teknologi informasi juga telah dilaksanakan secara efektif.

Untuk mewujudkan sistem pengendalian yang kuat dalam pengertian dilakukan secara efektiif,

Page 36: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201236

Ragam Pengawasan

5. Sumber Daya Manusia pada masing-masing eselon I apakah sudah memiliki kesepahaman mengenai pentingnya UKI ini

6. Faktor pemberian renumerasi yang belum diatur sehubungan dengan adanya tugas tambahan yang diberikan khususnya untuk petugas UKI yang ditunjuk

7. Jika ingin dibentuk UKI permanen apakah persetujuan pembentukan organisasi tersebut dapat segera diberikan oleh Menpan atau tidak

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa beradaan uki sangat dibutuhkan oleh organisasi Kementerian Keuangan karena :

1. Memudahkan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menghambat pencapaian Sasaran Strategis

2. Memudahkan pimpinan Kementerian Keuangan dalam mendeteksi potensi resiko yang mungkin timbul pada kegiatan yang ada pada unit-unit eselon I dan mengambil langkah langkah yang diperlukan dengan segera terhadap potensi resiko ada khususnya terhadap potensi resiko fraud.

3. Dapat lebih mengefektifkan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, karena pemeriksaan hanya dilakukan terhadap unit-unit yang memiliki pengendalian intern yang lemah saja.

4. Dengan adanya sistim pengendalian yang baik, maka inspektorat jenderal sebagai inetrnal audit akan dapat lebih meningkatkan perannya sebagai unit konsultasi /penjaminan

Atas kendala tersebut diatas maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perlu dibentuk forum eselon I yang terkait UKI untuk mencapai pembentukan UKI yang efektif

2. Segera dibentuk uraian jabatan yang jelas baik terhadap uki yang ditunjuk maupun uki yang permanen

3. Perlu dilakukan Internalisasi yang berkelanjutan sehingga menjadikan uki sebagai suatu kebutuhan bukan kewajiban

4. Perlu dilakukan sosialisasi terus menerus pada setiap unit kementerian keuangan dengan tujuan tercapainya kesepahaman mengenai uki

5. Perlu dilakukan pembahasan mengenai renumerasi terkait tugas tambahan yang dibebankan pada pelaksana uki yang ditunjuk.

Page 37: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

37VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Ragam Pengawasan

Pendahuluan

Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) No. 47 tahun 2009 tentang APBN 2010, pemerintah menyusun laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN dalam bentuk Laporan Keuangan. Laporan Keuangan tersebut terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).

Laporan Keuangan dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kementerian Keuangan sangat berkepentingan untuk dapat menyajikan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan dengan penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) karena hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan APBN telah dilakukan dengan baik, transparan dan akuntabel.

Berdasarkan pasal 30 Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang terkait lainnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan pemeriksaan atas laporan Keuangan

PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN(PELUANG DAN TANTANGAN MENUJU WAJAR TANPA PENGECUALIAN)

Oleh : Indra Utama

Page 38: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201238

Ragam Pengawasan

tersebut. Laporan Keuangan adalah tanggung jawab Pemerintah, tanggung jawab BPK terletak pada pernyataan pendapat / opini berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan. BPK melakukan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SKPN), Adapun jenis opini BPK, adalah :

1. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion

2. Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion

3. Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer Opinion

4. Tidak wajar (Adverse)

Untuk tahun 2010, pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan oleh BPK dengan mempertimbangkan 4 (empat aspek), yaitu :

1. Kesesuaian Laporan Keuangan Kementerian Keuangan dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).

2. Kecukupan pengungkapan informasi keuangan dalam laporan keuangan sesuai denggn pengungkapan yang seharusnya dibuat seperti disebutkan SAP.

3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan.

4. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI).

Kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan

Kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan tergambar dari hasil opini. BPK mulai memberikan opini pada Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada tahun 2006, saat itu opini yang diberikan masih disclaimer, hal ini berlangsung sampai tahun 2008. Mulai tahun 2009 opin sudah menunjukkan peningkatan opini dari disclaimer menjadi WDP.

Untuk tahun 2010, sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Nomor : 18a/LHP/XV/05/2011 tanggal 24 Mei 2011, diperolehnya Opini WDP disebabkan adanya temuan terutama menyangkut masalah perpajakan disamping beberapa temuan lainnya seperti inventarisasi dan penilaian aset tetap, pencatatan uang muka BUN tidak memadai. Temuan yang menyangkut perpajakan diantaranya

penerimaan perpajakan menurut Sistem Akuntansi Umum (SAU) belum dapat direkonsiliasi dengan Sistem Akuntansi Instansi (SAI), untuk penagihan PBB Migas sebesar Rp19,30 triliun tidak sesuai UU PBB dan penetapannya tidak menggunakan data yang valid serta pengendalian dan pencatatan piutang pajak tidak memadai,

Peran Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan

Dalam rangka peningkatan kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan menjadi WTP, Inspektorat Jenderal harus meningkatkan perannya.

Untuk ke depan, reviu yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal menurut hemat Penulis harus lebih mampu meningkatkan kesadaran Pejabat & staff Satker terhadap pentingnya penyusunan dan pelaporan laporan keuangan yang handal / meningkatkan akurasi angka, keandalan dan keabsahan informasi akun dalam laporan keuangan.

Peluang dan Tantangan Menuju Wajar Tanpa Pengecualian

Peluang dan tantangan adalah faktor yang biasanya dijumpai dalam analisis SWOT. (Strength=kekuatan, We a k n e s s = ke l e m a h a n , Opportunity=Kesempatan/Peluang, Threats=Ancaman/Tantangan).

Y a n g dimaksudkan dengan peluang adalah hal-hal atau faktor-faktor yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan opini atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan menjadi WTP.

Peluang yang ada saat ini cukup baik dan terbuka lebar, karena saat ini ada Komitmen

Page 39: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

39VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Ragam Pengawasan

BPK. Dari awal pemberian opini oleh BPK opini tersebut menunjukkan trend peningkatan kualitas yang semakin baik. pada tahun 2006, saat itu opini yang diberikan masih disclaimer, hal ini berlangsung sampai tahun 2008. Mulai tahun 2009 mendapatkan opini WDP.

Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan menjadi WTP peluangnya ada, karena Peluang untuk itu sudah terlihat dengan adanya komitmen pemerintah untuk mencanangkan paling lambat tahun 2011 Laporan Keuangan Kementerian Keuangan mendapatkan opini WTP.

Beberapa masukan / pendapat yang kiranya dapat dilakukan agar terdapat peningkatan kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (memperoleh WTP), yaitu :

1. Pejabat dan staff yang menangani laporan keuangan harus memiliki komitmen yang kuat. Melakukan self audit sebelum diaudit BPK.

2. Pembenahan sistem dan penyempurnaan aturan / regulasi, antara lain Sitem pengendalian dan pencatatan piutang pajak, formulasi perhitungan PPh Migas, penetapan dan penagihan PBB Migas.

3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), antara lain dengan melanjutkan Program Pelatihan Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (PPAKP) sehingga diperoleh tenaga yang menguasi akuntansi pemerintahan.

4. Penempatan sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kompetensi dan integritas baik.

5. Menerapkan sistem reward and punishment terhadap Satker yang mengelola angagaran APBN.

6. ITJEN tetap konsiten memberikan dukungan untuk perbaikan sistem penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan keuangan.

Akhirnya, untuk dapat meningkatkan kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan perlu keterpaduan komitmen dari semua pihak dan rencana aksi yang jelas dengan mmenjunjung nilai-nilai Kementerian Keuangan yaitu ,menjunung Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan.

Sekian, Terima Kasih.

Wassalam.

Pemerintah. Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk dapat menghasilkan laporan keuangan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) paling lambat terhadap Laporan Keuangan tahun 2011.

Hal ini sesuai dengan target kinerja yang menjadi kewajiban setiap menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIBI) II. Kewajiban tersebut dituangkan dalam Kontrak Kinerja antara Presiden dengan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIBI) II.

Menurut hemat penulis, seluruh pengelola keuangan negara harus : pertama, harus memiliki

komitmen yang sangat kuat dan pengetahuan yang memadai untuk memperbaiki

Laporan Keuangan. Kedua, lebih transparan dan akuntabel dalam

pengelolaan keuangan negara sehingga secara langsung dapat membangun kepercayaan publik atas kebenaran Laporan Keuangannya.

S e d a n g k a n tantangan adalah hal-hal yang harus di atasi, diperbaiki dan ditingkatkan

untuk mendapatkan opini WTP Tantangan bukan penghambat

tetapi sebagai perangsang dan pemberi motivasi naiknya kualitas

opini Laporan Keuangan.

Terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi agar diperoleh opini WTP,

yaitu memperbaiki kelemahan yang ada sesuai rekomendasi BPK untuk perbaikan penyusunan

Laporan Keuangan.

Kesimpulan dan Saran

Laporan Keuangan Kementerian Keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR). Kementerian sangat berkepentingan untuk dapat menyajikan Laporan Keuangan Kementerian dengan opini WTP, karena menunjukkan pengelolaan APBN telah dilakukan dengan baik, transparan dan akuntabel.

Kualitas opini Laporan Keuangan Kementerian Keuangan tergambar dari hasil opini

Page 40: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201240

Penyusunan Laporan Keuangan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) atau unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja.

Hasil Laporan Keuangan tingkat UAKPA digabungkan oleh Unit Akutansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W) menjadi Laporan Keuangan tingakat wilayah. Kemudian pengabungan Laporan Keuangan tingkat UAPPA-W menjadi laporan keuangan tingkat UAKPPA-E1. Dari Laporan Keuangan tingkat UAKPPA–E1 yang akan digabungkan menjadi Laporan Keuangan tingkat Kementrian.

Mengingat penyusunan laporan keuangan dilaksanakan secara berjenjang maka kualitas Laporan Keuangan tingkat satuan kerja atau UAKPA menjadi sangat penting, karena apabila Laporan Keuangan yang disajikan oleh UAKPA tidak sesuai dengan data yang ada maka akan berdampak ke opini Laporan Keuangan tingkat Kementrian. Sehingga untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan harus dimulai dari tingkat UAKPA.

Menuju Opini WajarTanpa Pengecualian Dimulai Dari UAKPAOleh : Tri Sukoco Yudi P.

Ragam Pengawasan

Page 41: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

41VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Berikut langkah-langkah yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan opini laporan Keuangan menjadi Wajar Tanpa Pengecualian, yang dimulai dari tingkat satuan kerja:

A. Perbaikan pada Satuan Kerja

1) Meningkatkan pemahaman mengenai laporan keuangan pada pejabat yang menangani

Dari hasil pengematan penulis pada saat melakukan audit di lingkungan DJBC, sering kali pejabat yang bertangungjawab tidak memahami akan pentingnya Laporan Keuangan, kegiatan pengelolaan Laporan Keuangan sepenuhnya diserahkan kepada petugas SAI yang ditunjuk. Akibatnya dalam hal terjadi perpindahan petugas SAI, penyusunan laporan keuangan menjadi terhambat. Untuk mengisipasi hal tersebut meningkatkan pemahaman Laporan Keuangan khususnya kepada pejabat yang terlibat langsung dalam penyusunan Laporan Keuangan.

2) Perbaikan sistem pengeolahan data pada unit satuan kerja

Tidak seluruh pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara sistem sebagai contoh pada DJBC pengelolaan penerimaan sudah terintegrasi dalam satu sistem kepabeanan namun masih terdapat banyak kegiatan yang dilaksanakan secara manual misalnya: pelayanan Perusahaan Jasa Titipan (PJT) dengan mengunakan Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) dan pelayanan pengiriman barang melalui pos dengan pengenaan Pencacahan dan Pembeaan Kiriman Pos (PPKP). Hal ini sering kali menjadi faktor penyebab perbedaan data penerimaan yang harus dimasukkan kedalam laporan keuangan

Untuk mengantisipasi hal tersebut Unit Eselon I perlu terus didorong agar seluruh kegiatan pengolaan data secara manual diminimalisir dengan mengintegrasikan seluruh kegiatan kedalam sistem kepabeanan

B. Mengoptimalkan Peran Inspektorat

1) Mengoptimalkan Pelaksanaan Audit Pada Setiap Inspektorat

Dalam rangka mendukung pencapaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dan peran konsultatif Inspektorat Jenderal maka perlu setiap inspektorat mamasukkan kegitan reviu Laporan Keuangan sebagai bagian dari Program Kerja Pemeriksana (PKA) pada pada setiap penugasan yang dilaksanakan. Sehingga satuan kerja yang dapat dilakukan reviu menjadi lebih banyak dan kesalahan-kesalahan penyusunan laporan keuangan dapat di antisipasi lebih dini.

2) Diklat Penyegaran Penyusunan Laporan Keuangan Bagi Auditor

Karena seluruh penugasan audit melaksanakan reviu Laporan Keuangan dan perkembangan permasalahan terkait dengan Laporan Keuangan maka perlu diselenggaran Diklat Penyusunan Laporan Keuangan untuk penyegaran pemahanan permasalahan Laporan Keuangan yang dapat diikuti oleh semua Auditor.

Ragam Pengawasan

Page 42: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201242

LATAR BELAKANG

Tahun ini merupakan tahun yang penting karena semua Kementerian/Lembaga menargetkan untuk dapat mencapai opini terbaik Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Laporan Keuangan Tahun 2011. Sehingga Opini wajar tanpa pengecualian atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah cita-cita besar pemerintah saat ini.

Opini tersebut mempunyai makna bahwa pengelolaan keuangan pemerintah mempunyai kualitas yang baik. Sementara itu, kualitas pengelolaan keuangan pemerintah yang baik adalah salah satu syarat tercapainya good governance. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dituntut untuk mendorong dan mengawal agar LKPP mendapat opini WTP dari BPK, sesuai KMK nomor 347 Tahun 2008 tentang pelimpahan wewenang Menteri Keuangan kepada Inspektorat Jenderal untuk melaksanakan reviu atas laporan keuangan sebelum diserahkan kepada BPK.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) merupakan konsolidasi dari Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LK-KL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK-BUN). Seperti kita ketahui LK-KL terdiri semua Kementerian/Lembaga yang ada di pemerintah Republik Indonesia, sedangkan LK-BUN terdiri dari Belanja Lainnya, Subsidi, Utang, Hibah, Investasi Pemerintah, Penerusan Pinjaman, Badan Lainnya, Transfer ke Daerah dan Transaksi Khusus.

Dalam makalah ini penulis hanya mengulas tentang peluang dan tantangan menuju Wajar Tanpa Pengecualian pada Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lainnya atau lebih dikenal sebagai BA-BSBL, dengan alasan sebagai berikut:

1. Selama 3 (tiga) tahun penulis menjadi PIC Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lainnya;

2. Opini yang diberikan oleh BPK atas Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lainnya masih Wajar Dengan Pengecualian (WDP);

3. Alokasi dana untuk BSBL pada APBN ternyata cukup besar dan rata-rata berkisar antara 25%-30% dari APBN, yaitu:

Tahun APBN BSBL % dari APBN

2011 1.320.751.314.516.000 337.388.762.372.000 25,545%

2010 1.126.146.476.312.000 304.374.906.166.778 27,028%

2009 1.000.843.921.682.000 292.401.149.046.000 29,215%

(PELUANG DAN TANTANGAN MENUJU WAJAR TANPA PENGECUALIAN)

Disampaikan Oleh : Noviani Prihatini Rochajanah

Ragam Pengawasan

PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN BELANJA SUBSIDI DAN BELANJA LAINNYA

Page 43: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

43VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Peluang Menuju Opini Wajar Tanpa Pengecualian

Penyelenggaraan akuntansi dan penyajian laporan keuangan oleh Pemerintah serta penyelenggaraan audit oleh pihak yang kompeten dan independen merupakan unsur pokok akuntabilitas, yang menjadi salah satu pilar perwujudan good governance. Akuntabilitas menjadi pasangan yang erat dari hak dan kewenangan di sektor publik, karena bila tidak terselenggara dengan baik, akan berakibat pada munculnya kesempatan-kesempatan untuk melakukan hal-hal yang menyimpang yang akhirnya mengarah pada perbuatan korupsi. Oleh karena itu, menjadi penting bagi Pemerintah untuk menjalankan perannya dalam penyelenggaraan akuntansi yang baik dan penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan standar.

Dalam rangka melakukan pembenahan tersebut, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada setiap K/L perlu berperan aktif dalam mendorong dan membantu terselenggaranya akuntansi dan pelaporan keuangan berdasarkan sistem akuntansi dan standar yang telah ditetapkan. APIP tidak hanya dituntut berperan dalam bentuk reviu saja namun lebih dalam lagi, jika dalam pelaksanaan reviu ditemukan kelemahan dalam penyelenggaraan akuntansi dan kesalahan dalam penyajian laporan keuangan, pereviu harus secara aktif bersama-sama dengan unit akuntansi segera melakukan perbaikan atau koreksi pada tingkatan di mana kelemahan atau kesalahan tersebut terjadi serta melakukan monitoring tindak lanjut terhadap temuan BPK.

Peluang menuju opini WTP untuk Laporan Keuangan Belanja Subsisdi (BA 999.07) sangat mungkin dicapai, meskipun harus diiringi dengan kerja keras. Seperti yang telah dilakukan oleh Tim Reviu BA 999.07, dengan berperan mendorong secara aktif pada unit akuntansi DJA dalam mengatasi permasalahan yang menjadi temuan BPK pada tahun lalu, antara lain:

1. Tidak adanya kriteria yang dapat digunakan untuk melaksanakan pemeriksaan atas subsidi pangan/beras TA 2008, 2009 dan 2010. Namun demikian, setelah melalui serangkaian rapat yang dilakukan bersama DJA, BULOG dan Kementerian BUMN, pada tanggal 12 September 2011 telah terbit PMK 150/PMK.02/2011 tentang Tata

Cara Penyediaan, Perhitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Beras bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah yang telah memuat Cost Structure.

2. Pemerintah melaporkan PPN DTP Tahun 2010 sebesar Rp11,28 triliun sebagai penerimaan perpajakan sekaligus belanja subsidi dalam LRA. Pengakuan pajak DTP tersebut berdasarkan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) Tahun 2010. BPK berpendapat, penyelesaian PPN melalui Pajak Ditanggung Pemerintah tidak sesuai dengan UU PPN pasal 16B yang menyatakan penyelesaian PPN melalui dibebaskan atau tidak dipungut sebagian/seluruhnya.

Peran Tim Itjen dengan koordinasi (lead) oleh Inspektorat I bersama Inspektorat lain sebagamana dibahas dalam ratnis tengah tahunan dan ratnis tahunan 2011 sangat besar dalam mendorong DJP untuk mengatasi hal tersebut. Sebagai hasilnya diterbitkan beberapa peraturan berikut:

PMK nomor 217/PMK.02/2011 pd tgl. 15 Desember 2011 tentang PPN Jenis BBM tertentu;

PMK nomor 218/PMK.02/2011 pada tgl. 15 Desember 2011 tentang PPN LPG 3 Kg; serta

Perdirjen Pajak nomor PER-40/PJ/2011 pada tgl. 27 Desember 2011.

Diharapkan BPK akan menerima mekanisme pengganti dari PPN DTP tersebut.

3. Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai penunjukan KPA Belanja Subsidi.

Tim Reviu Itjen terus mendorong DJA untuk menindaklanjuti dengan rapat-rapat khususnya Direktorat HPP dan Direktorat Sistem Penganggaran DJA, dan akhirnya DJA telah membuat kajian penetapan KPA sesuai rekomendasi BPK sebagai bagian kajian pengelolaan BA BUN (BA 999) dan Menkeu telah menyampaikan surat no. S-75/MK.02/2012 tanggal 1 Februari 2012 perihal Kajian KPA sebagai Tindak Lanjut Temuan Pemeriksaan BPK.

Sedangkan Peluang menuju opini WTP untuk Laporan Keuangan Belanja Lainnya (BA 999.08) juga sangat mungkin dicapai, karena Tim

Ragam Pengawasan

Page 44: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201244

Reviu Belanja Lainnya telah berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan yang menjadi catatan BPK dan mendorong serta mengawal DJA, misal:

1. Permasalahan Nature of Account yang selalu menjadi temuan BPK, terus diupayakan untuk mengatasinya, salah satunya adalah dengan cara melakukan audit perencanaan BSBL pada pertengahan tahun 2011.Salah satu output dari audit perencanaan BSBL adalah Surat Itjen kepada DJA nomor S-222/IJ/2011 tgl 6 Juli 2011 untuk mempertimbangkan dilakukan pergeseran thd anggaran yang tidak sesuai Nature of Account dari BA 999.08 ke BA K/L atau antar jenis belanja pada APBN-P 2011;

2. Dilakukan pergeseran anggaran sebesar Rp458.400.000.000,00 atas kurang bayar subsidi pupuk dari BA 999.08 ke BA 999.07;

3. Melakukan Sosialisasi Penyusunan Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lainnya pada tanggal 30 November 2011, di mana Itjen sebagai salah satu nara sumber bersama Dit. Akuntansi dan Pelaporan Keuangan DJPB dan DJA;

4. Tim Reviu berperan aktif dalam membantu mengatasi selisih rekonsiliasi atas pendapatan yang pada saat awal reviu sebesar Rp32 milyar menjadi Rp0,-, diantaranya bersama dengan DJA bertemu dengan K/L penerima anggaran Belanja Lainnya melalui rapat dalam penyusunan laporan keuangan K/L tersebut;

5. Jumlah K/L yang menggunakan Anggaran Belanja Lainnya telah menurun, pada tahun 2009 sebanyak 83 K/L, tahun 2010 sebanyak 44 K/L dan tahun 2011 sebanyak 32 K/L. Hal ini menuju penyempurnaan penggunaan belanja lainnya harus sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan;

6. Mengantisipasi temuan BPK yang mempengaruhi opini BPK.

Tantangan Menuju Opini Wajar Tanpa Pengecualian

1. Proses penganggaran BSBL harus lebih selektif sesuai dengan kriteria BSBL;

2. Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Laporan Keuangan Belanja Lainnya merupakan laporan keuangan yang mempunyai karakteristik yang

unik, karena yang menggunakan anggaran tersebut adalah K/L lain, namun laporan keuangan yang dilaporkan oleh K/L tersebut dikonsolidasi oleh DJA. Seringkali DJA merasa keberatan apabila BPK menemukan permasalahan atas penggunaan dana BSBL yang ditemukan oleh BPK pada saat audit di K/L tersebut, namun permasalahan tersebut diangkat oleh BPK pada Laporan Keuangan BA 999.07 dan BA 999.08;

3. Belum adanya pengendalian intern atas penggunaan Belanja Subsidi dan Belanja Lainnya;

4. Masih ada resistensi dari DJA sampai dengan saat ini yang tidak mau menetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) WTP untuk LK BSBL dengan alasan bersifat uncontrollable;

5. Kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam UU APBN seringkali tidak diakui oleh BPK.

Solusi Mengatasi Pengendalian Intern atas Penggunaan Dana BSBL:

1. Perlunya penetapan BPKP oleh Menkeu untuk melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan atas kegiatan kebendaharaan umum negara, sesuai pasal 49 ayat 2 pada PP 60 Tahun 2008; atau

2. Pelimpahan wewenang dari Menkeu kepada Itjen untuk melaksanakan reviu BAPP sesuai KMK 347 Tahun 2008 agar diperluas menjadi “pengawasan”.

Simpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa peluang dan tantangan laporan keuangan menuju Opini WTP khususnya LK BSBL TA 2011 dapat dicapai sesuai dengan cita-cita besar Pemerintah Republik Indonesia, dengan strategi yang dilakukan Itjen, yaitu:

• Berperan aktif mendampingi DJA dalam proses penyusunan LK BSBL khususnya dalam penyajian angka pada LK BSBL;

• Berkoordinasi dengan DJA dalam mengantisipasi temuan BPK yang mempengaruhi opini LK BSBL tahun 2011;

• Berkoordinasi dengan DJA dalam menindaklanjuti temuan BPK;

• Melakukan monitoring tindak lanjut rekomendasi temuan BPK atas LK BSBL.

Ragam Pengawasan

Page 45: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

45VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Pendahuluan

Secara umum, reformasi birokrasi Kementerian Keuangan dapat diartikan sebagai upaya memperbaiki, mengubah, dan meningkatkan kinerja aparat (birokrasi) sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan terbaik, organisasi harus diatur dan disusun berdasarkan fungsi untuk menghasilkan output dan outcome yang sesuai dengan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Tuntutan masyarakat yang sangat tinggi akan profesionalisme birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan telah dapat diimbangi dengan turunnya keluhan masyarakat dan hilangnya peluang korupsi serta meningkatnya budaya kerja yang menjadi semakin baik.

Kementerian Keuangan sebagai organisasi yang strategis dimana hampir aspek perekonomian negara berhubungan langsung dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenkeu, dan memiliki kantor vertikal terbesar dan tersebar di seluruh Indonesia yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat tentu saja memiliki kharakteristik tersendiri disamping organisasi kementerian/lembaga lainnya, sehingga hal ini merupakan tantangan tersendiri untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan secara berkesinambungan.

Salah satu langkah reformasi birokrasi yang dimaknai sebagai upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi khususnya dalam bidang kelembagaan disamping membangun layanan pen-gaduan adalah dengan dibentuknya suatu unit kepa-tuhan internal di lingkungan Kementerian Keuangan. Pembentukan unit kepatuhan internal di lingkungan Kementerian Keuangan dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih meningkatkan, mengaplikasikan, dan menegakkan disiplin dalam kinerja keseharian

pegawai di Kementerian Keuangan yang secara simultan telah dibentuk di unit eselon I Kementerian Keuangan, seperti pembentukan Inspektorat Bidang Investigasi di Inspektorat Jenderal, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur di Direktorat Jenderal Pajak, Unit Kepatuhan Internal pada Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Biro Kepatuhan Internal di Bapepam-Lembaga Keuangan.

Tantangan dan Harapan Pembentukan Unit Kepatuhan Internal

Isu yang terkait dengan dibentuknya unit kepatuhan internal selain sebagai sarana untuk pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan juga tidak lepas dengan masalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat khususnya korupsi dengan berbagai modusnya yang seolah-olah tumbuh mengikuti jaman.

Aspek-aspek penyebab terjadinya kecurangan, khususnya korupsi sangat berhubungan erat dengan hal-hal yang merupakan tantangan pengembangan unit kepatuhan internal di lingkungan Kementerian Keuangan, antara lain sebagai berikut:

1. Perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang untuk mau atau tidak mau melakukan perubahan sangat berpengaruh pada pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern.

Semangat untuk berubah bagi pegawai/pejabat tidak seperti membalikkan tangan, karena kuncinya terletak kepada diri sendiri tanpa memiliki suatu kepentingan pribadi tertentu.

2. Organisasi, yaitu faktor-faktor terkait dengan kultur organisasi dan sistem pengendalian yang belum memadai dan masalah keteladanan

Pengembangan Unit Kontrol Interndi Lingkungan Kementerian Keuangan

(Antara Harapan dan Tantangan)CAROLUS AGUS TRUS HAYU

Auditor Muda pada Inspektorat Bidang Investigasi

Ragam Pengawasan

Page 46: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201246

dari pimpinan. Semangat corps suatu unit yang cenderung berlebihan menutup-nutupi perbuatan kecurangan khususnya korupsi yang terjadi dalam organisasi yang bahkan terkesan untuk melindungi.

3. Masyarakat, yaitu faktor eksternal terkait dengan lingkungan masyarakat (nilai-nilai yang berlaku). Kepedulian dari masyarakat untuk berperan aktif dalam mendukung reformasi birokrasi masih dirasakan kurang .

4. Peraturan perundang-undangan, yaitu faktor-faktor terkait dengan kualitas peraturan yang kurang mendukung untuk penguatan sistem pengendalian intern.

Rentang penerapan suatu ketentuan terkait dengan penegakan disiplin yang terlalu panjang, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan dan tidak konsisten dan lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Adalah sebuah pekerjaan yang tidak ringan dalam proses mengungkap suatu kasus tertentu khususnya kecurangan atau fraud, seperti korupsi. Apalagi kecurangan tersebut dilakukan atau melibatkan tidak hanya teman/sahabat kita tetapi juga para petinggi atau pejabat pada top manajer yang memiliki otoritas pengambil kebijakan dilingkungan organisasi.

Hanya satu kata, lawan … !

Berdasarkan uraian di atas, pembentukan unit kepatuhan internal di lingkungan Kementerian Keuangan dituntut untuk dapat mengaktualisasikan perannya secara optimal dengan memberdayakan semua potensi yang dimiliki serta melakukan langkah-langkah yang membutuhkan dukungan dari semua pihak. Kemudian harus ada itikad baik dari pimpinan-pimpinan untuk lebih memperketat pengawasan, hingga tidak ada peluang sedikit pun untuk melakukan dan/atau dilakukannya sebuah tindak kecurangan.

Itu hanya bisa dilakukan, jika ada niat, ada keberanian, dan betul-betul sadar bahwa kecurangan yang dilakukan khususnya korupsi itu pastilah merugikan.

Harapan akan menguatnya pembangunan fungsi dan penerapan pengendalian intern oleh pimpinan dan seluruh pegawai Kementerian Keuangan yang harus secara berkesinambungan

diikuti dengan langkah-langkah :

1. Konsolidasi

- individual, yaitu optimalisasi segala sumber daya manusia internal pada unit kepatuhan internal dengan suatu kesamaan komitmen sehingga terwujud suatu semangat untuk menegakkan disiplin tanpa pandang bulu maupun ikut mendorong mentalitas setiap individu untuk harus diasah dan untuk selalu dekat Yang Maha Kuasa, sehingga sedikit saja berbuat salah, kita sadar ada hukuman yang lebih besar dari yang Maha Pencipta.

- organisasi, yaitu peningkatan kerjasama dan pertukaran data/informasi antar unit dan instansi terkait lainnya serta dalam melakukan revisi peraturan perundang-undangan.

2. Meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka mengoptimalkan kelancaran dan keberhasilan proses penanganan suatu kasus;

3. Meningkatkan kerjasama dengan aparat penegak hukum lain termasuk melakukan pengkajian terhadap sistem-sistem yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi.

Semua usaha yang kita lakukan akan menunjukkan hasil yang maksimal jika memulainya dengan NIAT yang KUAT, sehingga pelaksanaan reformasi birokrasi melalui penguatan sistem pengendalian intern sungguh-sungguh dapat terwujud demi peningkatan kualitas hidup kita dan organisasi.

Semoga..

Ragam Pengawasan

Page 47: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

47VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Alexander on Leadership

21 JUli 2011 pukul 05.57 pagi waktu setempat, pesawat ulang alik Atlantis terakhir mendarat di Shuttle Landing Facility Kennedy Space

Center Florida. Ya, pendaratan terakhir. Sebuah penanda bagi berakhirnya era pesawat ulang alik yangtelah berlangsung selama 30 tahun. Tingginya biaya membuat NASA tidak mampu melakukan misi lain dalampenjelajahan luar angkasa dan harus menghentikan program pesawat ulang alik yang prestisius tersebut. Manajemen NASA menghadapi sebuah perubahan yang bukan diciptakannya sendiri. Pemerintah telah menetapkan keputusannya.

Masalah perubahan apa yang mungkin dihadapi NASA berkenaan dengan penutupan program pesawat ulang alik?

Permasalahan kritis yang dihadapi oleh NASA adalah bagaimana menjaga tenaga kerja yang terlatih dan berketerampilan tinggi tetap fokus menjalankan misi terakhir. Tantangan jenis ini sering dihadapi oleh organisasi baik besar maupun kecil. Semua organisasi baik perusahaan besar maupun kecil, universitas, kementerian, bahkan organisasi militer selalu dipaksa untuk inovatif dalam menghadapi perubahan.

Tanpa perubahan, tugas pemimpin akan jauh lebih mudah. Perencanaan dapat disusun dengan tepat dan cermat karena esok hampir sama dengan hari ini. Demikian juga dengan permasalahan desain organisasi yang efektif akan mudah karena lingkungan tidak berubah dan dapat diprediksi dengan tepat. Pengambilan keputusan pun mudah dan terstruktur karena setiap alternatif dampak bisa diprediksi dengan sangat akurat. Pengambilan keputusan hampir tidak lebih sulit dari latihan matematika atau riset operasi.

Akan tetapi, dunia tidak seperti itu. Perubahan adalah kenyataan yang harus dihadapi baik karena faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal antara lain perubahan kebutuhan

pelanggan, perubahan ketentuan dan hukum, perubahan teknologi, dan perubahan keadaan ekonomi. Sedangkan faktor internal yang mensyaratkan perubahan antara lain perubahan strategi organisasi, perubahan struktur tenaga kerja, perubahan peralatan dan mesin, dan perubahan perilaku karyawan.

Proses perubahan yang dialami oleh organisasi dapat dikiaskan dengan dua perumpamaan. Pertama adalah mengumpamakan organsiasi seperti kapal besar yang berlayar dilautan tenang kru dan kapten telah mengetahui tujuannya dan dengan tepat mengarahkan kapal ke tujuan. Perubahan yang terjadi hanya dianggap sebagai badai sesaat dan pengalihan sementara dari sebuah perjalanan panjang yang sudah diprediksikan. Sayang sekali proses perubahan semacam ini sangat jarang dihadapi oleh pemimpin organisasi. Perumpamaan kedua adalah membayangkan organsiasi sebagai rakit atau perahu karet yang mengarungi sungai berarus deras dengan jeram dan kelokan yang tidak terduga. Di dalam perahu tersebut ada enam orang yang tidak pernah bekerja sama sebelumnya, tidak mengenal sungai tersebut, tidak tahu akan kemana sungai menuju, dan seakan kondisi belum cukup parah, mereka mengarungi sungai tersebut malam hari. Inilah yang banyak dijumpai oleh pemimpin organisasi masa kini.

Memimpin organisasi saat ini adalah seperti mengemudikan rakit atau perahu karet di malam hari.

Susan Whitting, CEO Nielsen Media Research, perusahaan riset media yang hadir di 100 negara, menghadapi perubahan yang cepat seiring dengan bertumbuhnya penggunaan internet, video on demand, telepon seluler, dan perubahan teknologi yang membuat metode pengumpulan data menjadi lebih menantang. Susan whitting menggambarkan perubahan yang dihadapinya

MENGELOLA PERUBAHAN: Tinjauan Umum“When the rate of change outside exceeds the rate of change inside, the end is in sight.”

(Jack Welch, mantan CEO General Electric)

Page 48: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201248

dengan,” Jika anda melihat minggu-minggu yang selalu daya hadapi, mingggu-minggu tersebut adalah merupakan kombinasi dari mencoba memimpin perubahan perusahaan pada lingkungan industri yang juga berubah.” Itulah gambaran permasalahan yang dihadapi pemimpin saat ini.

Apakah hal tersebut hanya untuk perusahaan yang bergerak di bidang ilmu dan teknologi saja?

Tidak. Bahkan di lingkungan birokrasi di negara kita pun perubahan sudah mencerminkan metafora perahu karet di jeram asing tersebut di atas. Berbagai macam tekanan perubahan dari luar dan dalam organisasi seperti ekspektasi masyarakat akan pelayanan publik yang selalu meningkat, perubahan struktur dan teknologi informasi, perubahan struktur pegawai dan pengembangan mekanisme kerja bergerak cepat dan nyaris tidak tercerna. Mulai dari reformasi birokrasi, balance scorecards, risk management, internal control, inisiatif anti korupsi, dan lain sebagainya. Semua datang dan membanjiri pemikiran dengan sangat cepat. Memang, ternyata metafora perahu karet sudah mulai menjadi kenyataan.

Baik. Lalu bagaimana mengelola perubahan yang cepat tersebut?

Kurt Lewin mengenalkan proses tiga langkah unfreezing, freezing, dan refreezing. Menurut Lewin unfreezing adalah merupakan tindakan mengeser organisasi dari titik kesetimbangan atau status quo. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kekuatan penggerak atau mengurangi resistensi atau kombinasi keduanya. Setelah dilakukan unfreezing, perubahan dapat dilakukan terhadap sturktur, teknologi atau orang-orang. Selanjutnya, memperkenalkan dan menginisiasi perubahan tidak cukup. Situasi dan kondisi baru yang tercipta harus di”bekukan” kembali sehingga dapat berkelanjutan. Tanpa langkah terakhir ini, maka kemungkinan besar organsiasi akan kembali pada kesetimbangannya yang lama (status quo).

Ah, sepertinya terlalu mudah dan lebih mendekati metafora pertama yaitu organisasi sebagai kapal be-sar dilautan luas.

Memang. Menghadapi perubahan yang sangat cepat model proses tiga langkah tersebut terlihat terlalu lambat dan kaku, meski sebagai kerangka berpikir masih tetap valid.

Lalu bagaimana sebaiknya?

Menghadapi situasi yang cepat berubah dan nyaris tak terkendali maka pertimbangkan pendekatan riset, adaptasi kreatif, dan lakukan.

Riset. Sebelum menginisiasi atau mengarahkan sebuah perubahan, pemimpin harus melakukan riset yang memadai untuk memperoleh pandangan mengenai praktek-praktek terbaik. Riset ini harus dilakukan cukup mendalam namun harus dilakukan dengan cepat.

Adaptasi kreatif. Selanjutnya, jika telah memperoleh informasi yang memadai mengenai praktik terbaik, lakukan adaptasi kreatif sesuai dengan kondisi organisasi. Tidak ada kondisi dan masalah yang sama untuk setiap organisasi. Kita hanya dapat membuat pengelompokkan secara besaran. Jadi, tak perlu khawatir melakukan adaptasi kreatif sepanjang didukung landasan teoritis yang memadai.

Oke, adaptasi telah dilakukan. Setting ketentuan pun sudah ditetapkan. Apa selanjutnya?

Lakukan. Jalankan semua konsep dan kerangka yang telah ditetapkan. Hambatan dan tantangan akan selalu dijumpai seberapa baiknya pun riset dan adaptasi kita. Jangan cemas. Lakukan riset kembali dan adaptasi sesuai keadaan yang dijumpai.

Setuju....? Segera lakukan....

Manggala Giri. 31 Desember 2011.

Alexander on Leadership

Page 49: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

49VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Tahun 1908, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Comissie Voor de Volkslectuur (Komisi Untuk Bacaan Rakyat). Komisi yang

pada tahun 1917 berubah menjadi “Balai Poestaka” ini seakan mewakili jargon yang kemudian kita kenal sebagai “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Betapa tidak, Balai Pustaka (BP) rata-rata menerbitkan 350 buku pertahun atau satu buku perhari. Murah dan massal, begitulah ciri khas buku terbitan BP. Buku terbitan BP terserak mulai dari perpustakan sekolah “anak gedongan” hingga SD Inpres bersubsidi di ujung gunung nun jauh di sana. Anak-anak dibikin akrab dengan buku-buku sastra dan biografi tokoh terkenal. Satu lagi ciri khas BP adalah keberaniannya menerjemahkan karya sastra asing. Bukan sekedar menerjemahkan, tapi membuatnya menjadi seakan produk lokal. Jangan heran kalau anak-anak seusia saya di akhir 70-an hafal betul siapa Tolstoy, Chekov, atau Dostoevsky.

Saat mulai bekerja tahun 1992, agak surprise juga saya karena BP tak jauh dari kantor. Hanya sepelemparan batu. Maka bernostalgialah saya dengan khazanah lama buku-buku BP. Sepi saja toko itu. Terang saja, itu bukan toko buku macam “Gramedia” atau “Gunung Agung”. Jangan harap melihat anak-anak muda datang ke toko itu. Suasananya terkesan sederhana dan apa adanya. Koleksi bukunyapun nyaris monoton, baik tampilan, kertas, maupun judul. Tapi jangan salah, banyak yang bisa kita dapat di situ. Khazanah lama yang menggugah selera kita, selera kaum jadoel.

Saya mendapati buku “Tiga Panglima Perang” di salah satu rak toko bukut itu. Sebuah novel yang dterjemahkan secara semena-mena dari “Les Trois Musquetaires” karya Alexandre Dumas. Buat saya, cerita yang kemudian dikenal sebagai “Three Musketeers” sangat luar biasa. Ia mengajarkan arti persahabatan, loyalitas sekaligus integritas dan romantisme. Buku ini “lelaki banget” buat saya. Membacanya membuat saya tersadar, untuk apa

seorang lelaki diciptakan Tuhan. Jelas bukan untuk menyia-nyiakan waktu, nyawa, kehormatan dan wanita. Juga bukan untuk disia-siakan keberadaanya.

Pertengahan 1998, saat film “The Man in the Iron Mask” diputar, saya tengah berada di Surabaya bersama seorang kawan yang sekarang duduk sebagai pemred majalah ini. Dua kali kami menyaksikan film itu. Buat saya, ini film yang bukan sekedar luar biasa, tetapi juga membangkitkan masa lalu. Entah mengapa, saya terkenang buku lama terbitan BP itu. Saat menyaksikan sepak terjang Athos, Porthos dan Aramis dengan gaya hidupnya masing-masing, saya benar-benar seperti sedang membaca “Tiga Panglima Perang”. Pun begitu, seperti umumnya para penggemar buku, jarang sekali ada film yang mampu mengangkat kisah di buku sesuai dengan imajinasi pembaca. Film “Laskar Pelangi” adalah contohnya. Begitu banyak improvisasi yang dilakukan penulis skenario atas sebuah buku yang justru membuat para pecinta buku ilfil.

Kembali ke “The Man in the Iron Mask”, saya begitu terkesan dengan D’Artgnan, musketeer keempat. Musketeer –berasal dari kata Musket, sejenis senjata laras panjang- yang begitu melegenda.

D’Artagnan adalah gambaran sempurna tentang lelaki, pengabdian, loyalitas dan cinta. Loyalitasnya kepada sang raja, Louis XIV, nyaris tak berbatas. Sebagai pengawal raja, ia menakar nyawa sendiri jauh di bawah nilai nyawa raja. Kesetiaanya kepada sang raja tak terbantahkan. Bahkan saat sang raja sudah begitu off-side, zalim kata para agamawan. D’Artagnan bergeming. Sumpah yang telah diucapkan mengikatnya sepanjang hayat. Sumpah yang dipegang teguh tak sedetikpun dilepaskan. Sumpah yang mengalir kuat dalam darah dan tiap tetes keringat. Sumpah yang mengikat seluruh denyut nadi serta tiap lembar syaraf.

Lelaki pemegang sumpah seperti ini seperti biasa tak pernah lepas dari ujian.

Loyalitas PNS, Loyalitas D’Artagnan

Auditoase

Page 50: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201250

Auditoase

Saat begitu banyak rakyat tak puas dengan sikap sang raja yang otoriter, semua keinginannya mesti dipenuhi, tak peduli penderitaan rakyat, dan hanya menyisakan makan yang nyaris busuk buat rakyat yang kelaparan, lo yalitas D’Artagnan diuji.

Saat Louis menginginkan seorang wanita, calon menantu Athos, dan mengirim putra Athos ke garis depan buat menggadaikan nyawa, kesetiaan D’Artagnan diuji.

Saat sang raja mendampratnya dan menganggapnya tak loyal hanya karena mengangkat wajah dan mencoba berargumen, integritas D’Artagnan diuji.

Loyalitas D’Artagnan memang nyaris tak berbatas. Tapi itu sama sekali tidak berarti ia tak berani bersikap kritis terhadap kebijakan raja yang lebih sering jauh dari bijak. Dengarlah perkataannya, saat Louis memaksa Philippe mengenakan topeng besi dan mengembalikannya ke penjara.

“Aku belum pernah meminta sesuatupun kepada Baginda. Kali ini aku mohon, jangan lakukan itu”.

Atau saat raja berkata dengan pongahnya saat mementahkan segala macam kritik, ”I’m the King....”. Sang musketeer sejati ini berucap, “...then be a good King”.

Pun demikian, D’Artagnan tetaplah manusia. Manusia yang punya kebutuhan mencintai dan dicintai. Celakanya, jenis cinta yang dijalani lelaki gagah ini adalah cinta terlarang. Ia mecintai ibu suri, ibu kandung sang raja. Sosok D’Artagnan, dalam kesejatiannya sebagai prajurit, tetaplah romantis. Sungguh jenis lelaki yang begitu mempesona para wanita. Dengarlah katanya, saat mereka bertemu dalam keremangan kastil.

“Kalau aku mencintaimu berarti aku mengkhianati Prancis, kalau aku tidak mencintaimu berarti aku mengkhianati hatiku”.

Ah, saya terlalu berlama-lama dengan tokoh yang satu ini. Maklumlah, pesonanya telah membius saya. Nah, pointnya adalah, apa relevansi D’Artagnan dengan kita, dengan PNS atau dengan auditor?

Serupa tapi tak sama, PNS-pun demikian. Kita dituntut untuk mengabdi kepada negara sepenuh hati. Loyalitas kepada atasanpun –dalam kadar tertentu- harus kita miliki. Celakanya banyak di antara kita yang punya loyalitas berlebihan kepada atasan. Apapun yang dikatakan atasan seolah

kebenaran. Setiap pendapatnya seolah putusan final. Tak ada keberanian sedikitpun buat berargumentasi. Kita lebih sering meggerutu di belakang daripada beradu argumen dengan atasan. Sebagian dari kita takut dimarahi atasan. Sebagian yang lain takut kehilangan posisi. Sebagian lagi benar-benar penakut alias pengecut.

Tengoklah, dalam pengabdian dan loyalitas yang luar biasapun, D’Artagnan masih sanggup mengkritik raja. Tak perlu takut kehilangan jabatan, karena semua orang tahu, dari sisi apapun ia tak mungkin tergantikan. Jelas sekali pesan yang bisa kita tangkap. Kalau kita beroleh jabatan atau posisi karena kapabilitas kita sendiri, maka tak ada alasan bagi kita untuk kehilangan jabatan. Tak ada alasan buat kita untuk takut mengkritik –apalagi kritik yang konstruktif- atasan kita.

Loyalitas yang sesungguhnya adalah kepada visi dan misi organisasi, bukan kepada atasan, seberapapun tinggi pangkat dan jabatannya. Loyalitas yang sesungguhnya adalah kepada bangsa, negara dan rakyat Indonesia, bukan kepada orang yang kebetulan diberi amanah sebagai pejabat eselon satu atau bahkan menteri. Loyalitas dari segala loyalitas adalah kepada Tuhan, satu-satunya Tuhan yang pernah dan akan terus ada, bukan kepada sesama manusia.

Maka loyalitas buta –tanpa berani berkata tidak saat atasan menyimpang- terhadap atasan adalah sebuah bentuk pengkhiatanan terhadap visi dan misi organisasi. Loyalitas buta terhadap pimpinan tertinggi organisasi, adalah penghinaan terhadap intelektualitas yang Tuhan karuniakan kepada kita. Loyalitas tanpa syarat kepada sesama manusia adalah penolakan terhadap supremasi Tuhan dalam hidup kita.

Maka, siapapun kita, PNS biasa, Auditor, bawahan siapapun, senyampang kita masih bernama manusia, berusahalah untuk mempertahankan harkat kemanusiaan kita. Dengan mengatakan kebenaran tanpa takut kehilangan apapun. Mengatakan kebenaran di depan penguasa konon merupakan puncak tertinggi integritas seseorang. Mengatakan kebenaran dengan cara yang bijaksana tentunya, bukan dengan emosional dan merasa benar sendiri. Persis seperti D’Artagnan. Sang Musketeer sejati.

Hujan di akhir Desember 2012 (cwl)

Page 51: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

51VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Lokakarya Aparat Pengawasan Intern Pemerintah

KALEIDOSKOP ITJEN 2012

Page 52: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201252

Rapat Kerja Pimpinan Inspektorat Jenderal 2012

KALEIDOSKOP ITJEN 2012

Page 53: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

53VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Hari Oeang

KALEIDOSKOP ITJEN 2012

Page 54: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201254

Evaluasi Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga

pada Portofolio AKN II

KALEIDOSKOP ITJEN 2012

Page 55: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

55VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

SERTIFIKASI ISO 9001 : 2008 DI ITJEN

KALEIDOSKOP ITJEN 2012

Page 56: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201256

BERITA KELUARGA

Page 57: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

57VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

BERITA KELUARGA

Page 58: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201258

“The perfect 8” merupakan slogan baru yang diusung oleh tablet terbaru Tabulet, Tabulet Octa Duos. Memperkuat komitmentnya,

Tabulet, menghadirkan tablet yang ramah dikantong dengan kualitas yang menawan ditengah gempuran tablet-tablet merk global yang semakin kompetitif dan persaingan tablet-tablet merk lokal yang semakin sengit. Sebagai bukti keikutsertaan mengembangkan potensi dalam negeri dalam bidang IT, Tabulet menggandeng produsen game lokal, Touchten, untuk berkolaborasi dalam “The perfect 8” Tabulet Octa Duos.

Melanjutkan inovasi terbaiknya, Tabulet Octa Duos, The Perfect size dengan layar 8 inch 43% lebih besar dari 7 inch, menggunakan sistem operasi android 4.0 Ice Cream Sandwich (bisa di upgrade menjadi 4.1 Jelly bean), didukung dengan memory kapasitas besar 1GB ROM/RAM DDR3, mengandalkan otak dual core dengan kecepatan 1.5GHz yang sengaja didatangkan dari pabrikan asal USA dengan label Scorpion MX. Prosessor Dual-core scorpion MX - USA ini berkinerja 300% lebih baik dibandingkan dengan prosessor single core (kecepatannya setara dengan mini ipad). Tak lupa dalam kecanggihan konektivitas internet yang dilengkapi dengan Jaringan 3G dan WIFI berkecepatan 802.11n. Perpaduan yang sempurna inilah, yang diharapkan dari setiap tablet, menjadikan Tabulet Octa Duos sebagai “The Perfect 8”.

Dengan instalasi komponen yang menawan, Tabulet Octa Duos memiliki Multi-core dengan frekuensi tinggi Mali-400 3D mendukung para gamers untuk mengeksplore games-games

HD (Dungeon Hunter HD, Riptide GP THD, GTA 3 THD, Siege Craft THD) tanpa hambatan. FLASH video dan HTML5 yang terbenam dalam Tabulet Octa duos menjadikan decoding web optimal beroperasi serta technologi akselerasi GPU yang mendukung para eksekutif muda dalam menjalankan aktifitas internet. Tak lupa fitur Telephone dan SMS menambah fungsi berkomunikasi secara luas.

OTG mendukung Tabulet Octa duos dihubungkan dengan USB Flash drive, modem, keyboard, dan external harddrive sampai kapasitas 2TerraByte. HDMI memanjakan para pengguna Tabulet Octa Duos dengan layar besar pada monitor TV sampai 80 inchi.

Fitur lain yang terdapat dalam Tabulet Octa Duos yaitu dual kamera (depan dan belakang) untuk mendukung online video (skype). Didukung pula dengan design yang slim, nyaman digenggam dan bobot yang ringan. Pada bagian belakang dilapisi oleh lapisan dove sehingga tidak licin saat digunakan. Warnanya pun elegan yaitu dark violet. Layar resolusi tinggi yaitu 1024x768 disertai antiglare (tahan kilau) 160PPI. Format 1080P Full HD pada panel video yang disertai double speaker. Tak lupa pula dibenamkan kapasitas memory 8 GB untuk peyimpanan data. Hal lain yang membuat Tabulet Octa Duos menjadi “the perfect 8” adalah kapasitas baterai yang besar yaitu 4000mA yang bisa bertahan selama 8 jam. (GAL)

GADGET

“The perfect 8” Tabulet Octa Duos

Page 59: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

59VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

Page 60: VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 2012

VOL V No. 32 | Edisi November - Desember 201260

BERITA KELUARGA