upaya mantan isteri untuk memperoleh hak pasca...
TRANSCRIPT
UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jangan pernah berfikir menjadi orang yang sukses berfikirlah menjadi orang yang
berguna.
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orangtua tercinta, Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga, para dosen dan teman-teman seperjuanganku.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Wasyukurillah, senantiasa peneliti panjatkan puji syukur
kepada Allah SWT, yang telah menunjukkan kekuasaan- Nya sehingga
penulisan skripsi ini terselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul
“UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA
CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2015-
2016)” disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Program Sarjana (S1) Hukum Keluarga Islam pada Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti meyakini tidak akan dapat
diselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, peneliti ingin menghaturkan terima kasih sebagai
penghargaan atau partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si selaku ketua jurusan Hukum
Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H selaku dosen pembimbing
yang selalu senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan peneliti dengan penuh kesabaran sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Seluruh dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga .
6. Ketua Pengadilan Agama Salatiga beserta staf-stafnya, yang telah
memberikan izin penelitian.
7. Para Narasumber yang secara sukarela berkenan untuk diteliti.
8. Kedua orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan baik moral
maupun material
9. Teman-teman seperjuangan tercinta.
10. Seluruh pihak yang membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga amal baik dan bantuannya tersebut mendapat balasan dari Allah
SWT sebagai amal saleh. Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran dari semua pihak selalu
peneliti harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti maupun para
pembaca pada umumnya.
Salatiga, 19 Desember 2017
Penulis,
Khoirul Amri
ABSTRAK
Amri, Khoirul. 2018. Upaya Mantan Isteri Untuk Memperoleh Hak pasca
cerai talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016).
Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI,. M.H
Kata kunci: Upaya, Mantan isteri, Ceari Talak
Dalam permohonan talak, hakim diberikan kewenangan oleh undang-
undang membebani suami untuk memberikan beban nafkah berupa nafkah
iddah, hadhanah, madhiyah maupun mut’ah terhadap istri. Tanggung jawab
nafkah ini dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi kebutuhan dan
anak tetap tumbuh berkembang dengan baik. Namun demikian tidak semua
mantan suami memenuhi kewajiban tersebut sehingga memberikan dampak
yang menyulitkan bagi mantan isteri.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pemenuhan
hak mantan isteri pasca permohonan talak (2) Untuk mengetahui faktor yang
mendasari dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan
suami pasca permohonan talak (3) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan
oleh mantan isteri untuk memperoleh hak pasca permohonan talak.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang
dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena sifatnya deskriptif-analitis yang mana data yang
yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan,
analisis dokumen, catatan lapangan, tidak dituangkan dalam bentuk dan
angka-angka. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu metode
wawancara dengan narasumber, observasi dan metode dokumentasi.
Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang di lakukan istri untuk
mendapatkan haknya pasca permohonan talak adalah dengan meminta dengan
yang bersangkutan secara langsung mendatangi kerumahnya, selain itu juga
meminta bantuan kepada RT dimana tempat mantan suami bertempat tingal,
selain itu juga mendatangi pabrik tempat mantan suami bekerja untuk
memotong gaji yang di peroleh mantan suaminya. faktor penghambat mereka
memberikan hak nafkahnya adalah karena faktor ekonomi, menikah lagi,
faktor psikologis dan faktor orangtua perempuan yang lebih mampu.
Sedangkan faktor yang mendorong mereka memberikan nafkah adalah karena
kesadaran penuh dari mantan suami untuk kehidupan mantan isteri dan
anaknya serta tempat tinggal yang tidak berjauhan.
DAFTAR ISI
SAMPUL............................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
JUDUL ................................................................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................. vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
E. Penegasan Istilah ....................................................................................... 7
F. Metode Penelitian...................................................................................... 8
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.......................................................... 8
2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 8
3. Sumber Data ........................................................................................ 9
4. Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 9
5. Pengecekan Keabsahan Data............................................................... 10
6. Tahap-Tahap Penelitian ...................................................................... 11
G. Sisematika Penulisan ................................................................................. 11
BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM
A. Pengertian Perceraian ................................................................................ 13
1. Cerai Talak Menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam 13
2. Cerai Talak Menurut Hukum Islam .................................................... 16
3. Bentuk-Bentuk Perceraian .................................................................. 18
4. Bentuk Cerai dalam Hukum Positif .................................................... 21
B. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Cerai Talak .................................... 25
C. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Gugat Cerai ................................... 28
D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai talak ............................................................. 30
1. Pengertian Anak .................................................................................. 30
2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai talak ................................................... 33
BAB III PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR
PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ......................................... 36
1. Profil Pengadilan Agama Salatiga ...................................................... 36
2. Kewenangan Pengadilan Agama......................................................... 37
3. Struktur Organisasi.............................................................................. 41
4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga .................... 42
5. Perkara yang Diputus pada Pengadilan Agama Salatiga .................... 47
B. Temuan Penelitian ..................................................................................... 48
1. Profil Pelaku Cerai Talak .................................................................... 48
2. Pemenuhan Hak Pasca Cerai Talak..................................................... 57
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pemenuhan Hak Isteri ................ 65
BAB IV UPAYA MANTAN ISTERI AKIBAT CERAI TALAK
A. Analisis Upaya Mantan Isteri Akibat Cerai Talak .................................... 75
1. Hak Anak ............................................................................................ 75
2. Mut’ah ................................................................................................. 77
3. Nafkah Madhiyah ................................................................................ 78
4. Nafkah Iddah ....................................................................................... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 84
B. Saran .......................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Tujuan dari
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang tenteram kekal dan
bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu perkawinan dalam
Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi
perkawinan bukan hanya hubungan antara suami isteri tetapi juga
hubungan dengan Allah.
Tujuan sakral dari suatu perkawinan adalah untuk mencapai
kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketenteraman, namun belum tentu
tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena
kebahagiaan tidak dapat dipaksakan. Terkadang di dalam kehidupan
rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun sebenarnya
keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini
mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan
hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk
menyatukan keduanya maka talak merupakan jalan satu-satunya.
Dalam Islam sendiri, memberikan toleransi terhadap kemungkinan
terjadinya talak, jika talak merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh.
Hadit Nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut:
Artinya:“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majahdari Ibnu Umar
Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah
undang-undang disebut dengan putusnya perkawinan dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Tata cara cerai talak
diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam
pasal 113-162. Maka, Sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara
cerai talak harus dilakukan di depan Pengadilan Agama.
Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah, yang dalam
peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan pada pasal 19 cerai talak
dapat terjadi karena alasan :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat,penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meningglkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain
di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Seperti halnya perkawinan, cerai talak atau dalam istilah hukum
putusnya perkawinan juga memiliki akibat hukum tertentu. Intruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam akibat
putusnya perkawinan lebih diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat,
khuluk dan lian. Dengan begitu tidak terjadi deskriminasi baik laki-laki
maupun perempuan dalam menentukan masa depan perkawinan.
Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan
isteri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 149, antara lain:
1. Pemberian mut’ah
2. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah
3. Melunasi mahar yang terhutang
4. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun
Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan isteri ini
dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi semua kebutuhan
selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar
kecilnya nafkah (mut’ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan
kedua pihak dan berdasarkan kemampuan suami, jika terjadi perselisihan
dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus
mengadili keduanya.
Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan
cerai gugat. Apabila perkawinan putus karena cerai gugat atau kehendak
isteri, maka sesuai dengan Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum
mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali
ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia
maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat
berpindah ke ayah.
Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan
dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan
nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua laki-
laki sebagai mana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi
antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga
sudah hancur. Undang-undang melindungi hak-hak perempuan dan juga
anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain.
Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat
menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan.
Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya
perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih
berhak terhadap hadhanah, sehingga jika orangtua laki-laki tidak
bertanggung jawab justru memberikan beban finansial bagi perempuan
sendiri. Jika pihak keluarga mampu mungkin saja tidak akan memberikan
beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan yang tidak mampu
akan memberatkan. Permasalahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.
Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah
putusnya perkawinan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat
mereka enggan bertanggung jawab. Dalam mengahadapi situasi yang
demikian, seharusnya perempuan dapat menuntut melalui jalur hukum.
Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum
mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak
dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.
Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji para pelaku cerai talak
pasca diputusnya cerai talak dan untuk mengetahui upaya-upaya yang
telah dilakukan jika mantan suami tidak memberikan kewajibannya
sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis melakuakan penelitian yang
berjudul “Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Hak Pasca Cerai
Talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016)”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
E. Bagaimana pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak?
F. Apa saja faktor yang mendorong dan menghambat pemenuhan hak
untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak?
G. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh mantan istri untuk
memperoleh hak pasca cerai talak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, beberapa hal yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak.
2. Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat
pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk
memperoleh hak pasca cerai talak.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian ini harapan peneliti dapat banyak memberikan
manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat yang
diharapkan antara lain:
C. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan
pemikiran terutama yang berkaitan dengan bidang hukum.
D. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kewajiban yang
harus dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isteri dan anak
setelah putusnya cerai talak.
E. PENEGASAN ISTILAH
1. Upaya
Upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu
maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan
sebagainya.
2. Mantan Isteri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mantan memiliki
pengertian bekas pemangku jabatan (kedudukan) sedangkan isteri
berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.
3. Hak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian
tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh
undang-undang, aturan dsb) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau
martabat.
4. Cerai Talak
Menurut pasal 66 Undang-undang No. Tahun 1989 jo Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama “Seorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan isterinya mengajukan Cerai kepada Pengadilan
untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
F. METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
yang dimaksud. Sementara itu, metode penelitian berhubungan dengan
erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan
(Sudrajat, 2010 dalam Asmani, 2011: 38). Dalam penelitian ini penulis
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
7. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research
dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dinamakan field research
karena meneliti fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci
mengenai latar belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan
(Asmani, 2011: 66).
8. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi langsung di
Pengadilan Agama Kota Salatiga guna memperoleh informasi
mengenai para pelaku cerai talak dan pemenuhan hak pasca
perceraian karena talak. Subjek dalam penelitian ini adalah beberapa
pelaku cerai talak.
9. Sumber Data
Data yang diperoleh dari sesuatu yang dapat memberikan
informasi atau disebut juga dengan istilah sumber data. Sumber data
dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sumber data Primer, yakni segala sesuatu baik orang (people),
kertas atau catatan (paper) maupun lokasi atau tempat atau
benda-benda (place) yang berhubungan langsung dengan
informasi primer dan darinya diperoleh data (informasi) primer.
b. Sumber data sekunder adalah informan atau segala sesuatu yang
memberikan informasi terkait dengan data yang diperlukan dalam
penelitian namun tidak memilki hubungan langsung dengan
fenomena yang menjadi objek penelitian ini (Moleong, 2004: 11)
Data primer dari penelitian ini adalah data yang berhubungan
dengan para pelaku cerai talak. Sedangkan yang termasuk data
sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku referensi
yang terkait dengan judul penelitian.
10. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah alat dan cara untuk
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
beberapa teknik yaitu:
a. Metode Wawancara
Wawancara adalah salah satu cara menggali data. Hal ini
harus di lakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang
detail dan valid. Wawancara mendalam adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang
relative lama (Asmani, 2011:122). Informan dalam penelitian ini
merupakan 10 mantan isteri para pelaku cerai talak.
b. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Asmani, 2011:123). Dalam hal ini, penulis melakukan
pengamatan secara langsung terhadap pelaku. Dalam penelitian
ini peneliti mengamati para pelaku dengan cara mendatangi para
informan dan melihat kondisi mereka secara langsung.
11. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa
teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, peneliti akan
menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di
lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan
beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian dan
pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui
keabsahannya.
12. Tahap-Tahap Penelitian
a. Pengumpulan data
b. Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan
c. Pemilihan data yang valid
d. Analisa awal
e. Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal
f. Analisa kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan
g. Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian
13. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun untuk mempermudah dalam
pengkajian dan memahami permasalahan yang dibahas. Adapun
sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab Pertama merupakan bagian awal penelitian yang berisi Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
Bab Kedua akan diuraikan tentang Definisi Cerai talak, Bentuk-
Bentuk Cerai Talak, Dampak dari Cerai Talak, Cerai Gugat, Definisi
Anak, Hak-Hak Anak, Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.
Selanjutnya Bab Ketiga akan digambarkan tentang Sejarah
Pengadilan Agama Salatiga, Profil Keluarga, Pemenuhan Kewajiban
Mantan Suami Pasca Cerai talak, Faktor Pendorong dan Penghambat
Pemenuhan Nafkah
Bab Keempat merupakan pemaparan analisis deskriptif hasil
penelitian, Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Nafkah Pasca
Cerai talak.
Dan Bab Kelima adalah penutup merupakan bagian akhir
penelitian yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II
CERAI TALAK MENURUT HUKUM
A. Pengertian Perceraian
1. Cerai talak menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam
Pada prinsipnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal untuk itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat merasakan ketenteraman dan
mencapai tujuan sakral dari perkawinan. Sedangkan untuk cerai talak
pada prinsipnya adalah mempersukar perceraian. Cerai talak terjadi
dikarenakan adanya hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga,
misalnya suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istri
suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dalam
waktu yang lama, atau suami memperlakukan isteri dengan tidak
baik. Selain itu adanya perbedaan yang memang tidak dapat
diselaraskan lagi oleh suami istri tersebut sehingga talak dipilih
menjadi solusi terakhir.
Tentang berakhirnya perkawinan, undang-undang perkawinan di
Indonesia mempergunakan istilah putusnya perkawinan, dan menurut
Pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan pengadilan.
Perceraian bisa diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk
mengakhiri suatu perkawinan. Sedangkan menurut KUHP perceraian
adalah pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab dengan
keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah
pihak dalam perkawinan.
Pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang
menyebutkan pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang
menyebutkan bahwa, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,
130 dan 131”. Jadi Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri
yang dilakukan di hadapan pengadilan dan menyebabkan akibat
hukum tertentu kedua pihak tersebut.
Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin
menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan talak ke
pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 39 undang-undang perkawinan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
istri.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, Cerai talak dapat terjadi apabila
dilakukan di depan sidang pengadilan. Artinya tidak ada talak dalam
bentuk apapun yang dapat dilakukan di luar sidang pengadilan.
Karena Cerai talak yang dilakukan di luar pengadilan tidak diakui
oleh hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa talak yang
dilakukan di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
(no legal force). Meskipun pada dasarnya hukum Islam tidak
mengatur bahwa Cerai talak itu harus dilakukan di depan pengadilan.
Lembaga inilah yang bertugas menyelesaikan sengketa perdata bagi
masyarakat yang beragama Islam.
Cerai talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan
yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,
yang dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan
pada pasal 19 Cerai talak dapat terjadi karena alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal
lain di luar kamampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/
istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Alasan dibenarkannya Cerai talak antara suami/istri yang terikat
dalam suatu perkawinan dalam Pasal 116 Instruksi Presiden No.1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak hanya alasan
sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah No.9 tahun
1975. Akan tetapi ada penambahan alasan, yakni sebagai berikut :
a. Suami melanggar taklik talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
2. Cerai talak menurut Hukum Islam
Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna, “pelepasan atau
penguraian tali pengikat, baik tali pengikat riil seperti tali pengikat
sapi, maupun tali pengikat itu bersifat maknawi seperti tali pengikat
perkawinan”. Menurut Hukum Islam hak talak itu ada ditangan suami
walaupun hak itu dimungkinkan oleh hukum berada di tangan hakim.
Menjatuhkan talak tanpa alasan yang dibenarkan dibenci oleh hukum
Islam dan dimurkai Tuhan. Oleh karenanya maka suami dalam
menjatuhkan talak-nya haruslah dengan alasan dan cara yang
dibenarkan dalam hukum Islam. Talak itu hukumnya makruh
sekalipun juga ada hikmahnya. (Rasjid, 1994: 401)
Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan
kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “Aku talak
engkau”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan
pernikahan antara suami istri tersebut (Jamaluddin, 2010: 45-46).
Kata-kata talak seperti itu sudah memutuskaan ikatan tali perkawinan
secara islam, namun untuk dapat berkekuatan hukum ikrar talak harus
harus dilaksanakan di depan pengadilan.
Meskipun Islam mensyariatkan talak, tetapi tidak berarti agama
Islam menyukai talak dalam suatu perkawinan. Dalam ajaran Islam,
perceraian pada prinsipnya dilarang ini dapat dilihat pada hadits
Rasullullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud
Ibnu Majah dan Al hakim dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa
talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci
Allah. (Rofiq, 1998: 268-269)
“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
Talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu
Umar.
Bahkan dalam hadits lain, seorang istri yang meminta talak atas
suaminya sangat dikecam oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Wanita yang meminta suaminya menalak tanpa ada alasan yang
mendesak, maka haram baginya bau surga.”(HR. Abu Dawud,
t.t, juz. 2: 268).
Hukum asal dari Cerai talak adalah boleh, namun dapat berubah
sesuai dengan keadaanya, antara lain:
a. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara dua suami-istri dan kedua
hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai.
b. Sunnat
Apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga
kehormatan dirinya.
c. Haram
Dalam dua perkara: pertama menjatuhkan Talak sewaktu si
istri dalam keadaan haid, dan kedua menyatuhkan Talak sewaktu
suci yang telah dicampurinya pada waktu suci itu.
d. Makruh
Hukum asal yang bersumber dari hadits Rasullulah yaitu
bahwa talak dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. (Rasjid,
1976: 380)
3. Bentuk-bentuk Perceraian
Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab
putusnya hubungan perkawinan, yaitu :
a. Talak
Dalam ajaran Islam, talak merupakan perbuatan yang
dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. Meskipun talak pada
prinsipnya dihalalkan oleh Allah, akan tetapi pada keadaan
tertentu talak tersebut dilarang untuk dijatuhkan pada seorang
istri, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Dalam Islam dikenal
talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i yaitu talak yang diizinkan rujuk kembali jika
masih dalam masa iddah. Talak raj’i ini berupa talak satu atau
talak dua tanpa iwadh (uang pengganti) dari mantan istri. Namun
apabila suami melakukan rujuk setelah habis masa iddah maka
harus dilakukan akad perkawinan yang baru.
Talak Ba’in yaitu talak yang suami tidak diperbolehkan
melakukan rujuk kembali kepada mantan istrinya kecuali dengan
syarat tertentu. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, antara
lain:
1) Talak Ba’in Sughra yaitu talak satu atau talak dua yang
disertai uang iwadh dari pihak istri. Talak ba’in sughra tidak
boleh rujuk tetapi boleh menikah lagi dengan bekas suaminya
meskipun dalam keadaan iddah, talak bain sughra dapat
terjadi karena talak yang terjadi sebelum suami istri
bercampur (qabla al dhukul), yang dijatuhkan oleh
pengadilan agama.
2) Talak Ba’in kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
Cerai talaksetelah diantara suami istri tersebut pernah
bercampur (Cerai talakba’dal dhukul) Cerai talaktersebut
telah pula habis, masa iddahnya.
Jika dilihat dari keadaan kapan talak tersebut dijatuhkan
dalam keadaan suci atau tidak ada dua macam yaitu talak sunni
dan bid’i. Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai ketentuan
agama, yaitu seseorang suami mentalak perempuan yang pernah
dicampurinya dengan sekali talak pada masa yang bersih dan
belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu Instruksi
Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Pasal 121 menyebutkan bahwa talak sunni adalah talak yang
dibolehkan yaitu talak yang di berikan kepada istri yang sedang
suci dan tidak di campuri pada waktu suci. Selanjutnya, talak
bid’i adalah talak yang dilarang oleh ajaran agama Islam Pasal
122 Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam meyebutkan “talak bid’i adalah
talak yang dilarang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan
haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah di campuri pada
waktu suci itu”.
b. Khuluk
Cerai talakyang terjadi atas kehendak istri dengan membayar
‘iwad atau tebusan kepada suami. (Wasman, 2011: 86).
c. Syiqaq
Ialah perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti
perselisihan suami-istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu
orang dari pihak suami dan yang satu dari pihak istri. (Aziz,
1996: 1708)
d. Fasakh
Ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/ dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut
fasakh di pengadilan adalah istri. (Ghozali, 2006: 203)
e. Ta’lik Talak
Talik talak menurut bahasa Arab berarti penggantungan talak,
talak dalam bahasa arab berarti syarat atau janji. Sedangkan
menurut istilah fiqih mengartikan ta’lik talak sebagai talak yang
diucapkan dikaitkan dengan waktu tertentu sebagai syarat yang
dijatuhkannya talak. Ta’lik adalah lafadz yang diucapkan sebagai
syarat untuk membatalkan pernikahan jika berlakunya sesuatu
yang bertentangan dengan ta’lik tersebut. Sedangkan menurut
Sudarsono, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Islam”
menyebutkan bahwa ta’lik talak adalah suatu talak yang
digantungkan terjadinya peristiwa tertentu sesuai dengan
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami isteri
tersebut. (Abdul, 2009: 29)
f. Ila’
Ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai
arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami
bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak
ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak ataupun diceraikan.
Sehingga jika keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang
menderita adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung
dan tidak berketentuan. (Hajar, 1992: 550)
4. Bentuk Cerai Dalam Hukum Positif
a. Cerai Talak (Cerai)
Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak
istrinya. Hak talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan
dari Al-Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan di Indonesia juga memberikan hak
mutlak kepada seorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi
dengan ketentuan:
1) Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
2) Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana
yang telah diatur undang undang.
3) Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan
perundang-undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
lebih tegas lagi menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas
istrinya:
1) Mut’ah yang layak berupa uang atau barang;
2) Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan)
dan perlengkapan hidup (kiswah);
3) Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;
4) Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya
yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UUPA) menyatakan:
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam
rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta
pengadilan tempat Cerai itu diajukan. Seorang suami yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-
alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
2) Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama
tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai
dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di
luar negeri, maka Cerai diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5) Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan
harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan Cerai cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan. Cerai sebagaimana yang dimaksud memuat: (a)
nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan
termohonnya itu istri; (b) alasan-alasan yang menjadi dasar
cerai talak (Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116
KHI). Terhadap Cerai yang diajukan, pengadilan agama/
Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta
upaya hukum banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah
berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU
Peradilan Agama menyebutkan:
6) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim
selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berkas atau
surat Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
7) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.
Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP
Nomor 9 tahun 1975 menyebutkan:
1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak
tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan
perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai
tersebut dikabulkan;
2) Terhadap penetapan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat
(1), istri dapat mengajukan banding;
3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk
menghadiri sidang tersebut;
4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa
khusus dalam suatu akata otentik untuk mengucapkan ikrar
talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau
kuasanya;
5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut,
tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya;
6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkan hari sidang Penyaksian ikrar talak tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun
telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan Cerai talaktidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
b. Cerai Gugat
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk
bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan
mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga putus hubungan
penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan (Ali, 2006:
77). Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
merupakan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal teknis yang
menyangkut kompetensi wilayah pengadilan-seperti dalam cerai
talak mengalami perubahan. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 menyatakan:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat;
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Lihat Pasal 132
KHI jo Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975)
B. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Cerai Talak
Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak
talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-Qur’an,
sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan di Indonesia juga memberikan hak mutlak kepada seorang
suami untuk mentalak istrinya, tetapi dengan ketentuan:
1. Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
2. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana yang
telah diatur undnag-undang.
3. Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst. Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi menyebutkan
bahwa bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberikan kepada bekas istrinya:
1. Mut’ah yang layak berupa uang atau barang.
2. Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan
perlengkapan hidup (kiswah).
3. Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;
4. Biaya hadhanah atau biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (UUPA) menyatakan:
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9
Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan.
Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut
agamaIslam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat
kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-
alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.
2. Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3. Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai dapat
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka Cerai diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5. Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan Cerai cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Cerai sebagaimana yang dimaksud memuat: (a) nama, umur, dan
tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohonya itu istri; (b)
alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 19 PP Nomor 9 tahun
1975 jo. Pasal 116 KHI). Terhadap Cerai yang diajukan, pengadilan
agama/ Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai
tersebut, dan terhadap keputusan tersebutdapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah
pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama
menyebutkan:
1. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
2. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP Nomor 9
tahun 1975 menyebutkan:
1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka
pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan.
2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
istri dapat mengajukan banding.
3. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
4. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa
khususdalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak,
mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
5. Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, Maka
suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya
istri atau walinya.
6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan
secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut,
dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang
sama.
Jika kita perhatikan pula, dalam intruksi Presiden No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi hukum Islam akibat putusnya perkawinan lebih
diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat khuluk dan lian. Hak
seorang suami untuk menceraikan diatur dalam Pasal 66 sedangkan dalam
Intruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
diatur dalam pasal 129 sampai dengan pasal 131 Oleh karena itu, cerai
talak adalah hak suami menceraikan istri dengan alasan yang cukup
sebagai mana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Sabiq, 2001 :42-43)
Akibat terjadinya cerai talak menurut ketentuan Pasal 149 Intruksi
Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan sebagai berikut :
1. Bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang
atau benda kecuali istri tersebut belum pernah dicampuri oleh
suaminya (qobla al dhukul).
2. Suami memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan qiswah
(pakaian kepada istri selama masa iddah kecuali istri telah dijatuhi
Talak ba’in atau istri nusyuz (istri durhaka) dan dalam keadaan tidak
hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh
apabila tidak dicampuri (qolla al dhukul) memberikan biaya untuk
anaknya yang belum mencapai 21 tahun.
C. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Gugat Cerai.
Cerai gugat adalah permohonan yang diajukan oleh seorang istri
kepada pengadilan agama dengan maksud untuk bercerai dengan
suaminya yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini
diatur dalam Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan bahwa Anak yang belum mumayyiz
(berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah
meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ibu.
2. Ayah.
3. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ayah
4. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan.
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Anak yang sudah mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak memilih untuk
mendapatkan mumayyiz dari ayah atau ibunya. Ketentuan pasal 156
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompulasi Hukum Islam menyatakan bahwa jika terjadi talak karena
kehendak istri (gugat cerai) biaya nafkah anak tetap dibebankan kepada
orang tua laki-laki (ayah) sampai anak berusia 21 tahun. Jika diperhatikan
pula ketentuan pasal tersebut dengan tegas mengatur bahwa hak terhadap
anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berada pada mantan isteri,
sedangkan bila anak sudah mumayyiz (berusia 12 tahun) dapat diserahkan
kepada anak tersebut untuk memilih ikut ibu atau ayahnya.
Menurut pendapat ulama cerai gugat itu kedudukannya seperti talak
sedangkan talak yang ditalik kedudukannya seperti talak yang dilakukan
secara langsung. talak itu baik terjadi karena suami atau atas permintaan
istri, statusnya sama saja. Begitu pula setiap putusnya perkawinan yang
bukan disebabkan oleh istri, artinya bersumber dari suami misalnya suami
murtad, li’an.
D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai Talak
1. Pengertian Anak
Anak mengandung banyak arti apa lagi bila kata anak diikuti
dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak
negeri, dan lain sebagainya. (Hilman, 1992: 83) Anak adalah putra
putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak
memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan
spiritualnya secara maksimal. (Imam Jauhari, 2003: 80). Berikut ini
merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang masih dalam kandungan apa bila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun
kebawah.
e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia
sampai dengan 18 tahun.
Jadi, Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat
dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun (0-18 tahun).
Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara
eksplisit Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan
sedangkan mengenai istilah kedewasaan tidak ada keseragaman
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW)anak belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih
dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai
kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal
6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinanbagi seorang
yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya,
Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia
anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan
pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak mencabut kekuasaan orang tuanya. Dalam Inpres RI No 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam
Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang
anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah
melakukan perkawinan.
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua
orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai waris dari
ajaran Islam, anak menerima setiap pengajaran dan mengikuti semua
pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu anak perlu
dididik dan diajari dengan kebaikan.
Langkah yang bijaksana pemerintah Indonesia, dilakukan pada
tahun 1979 dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hak-hak anak meliputi:
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.
b. Hak atas pelayanan.
c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.
d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup.
e. Hak mendapatkan pertolongan pertama.
f. Hak untuk memperoleh asuhan.
g. Hak untuk memperoleh bantuan.
h. Hak diberi pelayanan dan asuhan.
i. Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.
j. Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan
Sesuai dengan peraturan di atas, Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai
dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik
anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan
atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.
2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai Talak
Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT kepada
orang tua, masyarakat, bangsa, negara sebagai penerus umat Islam.
Kemajuan umat Islam di masa yang akan datang berada di tangan
anak-anak. Jadi, masalah anak dalam pandangan Al-Qur’an menjadi
tanggung jawab kedua orang tuanya yaitu tanggung jawab syariat
Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga,
masyarakat bangsa dan negara sebagai suatu yang wajib. Ketentuan
ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 31 sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. inilah yang akan memberi rezek ikepada mereka dan
juga kepadamu, sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang amat besar”. (Departemen Agama, 1987: 428-429)
Dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan bahwa orang tua
wajib memelihara, mengasuh mendidik dan menjaga anaknya
menurut kemampuannya. Disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat
233 sebagai berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan keralaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa ataskeduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain maka tidakada dosa bagimu apabila kamu
memnberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dam ketahuilah bahwa Allah maha melihat
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam memuat hukum material tentang
perkawinan, kewarisan dan wakaf yang merumuskan secara
sistematis hukum di Indonesia secara konkret, maka untuk itu dalam
hal ini perlu dirujuk mengenai ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap
anak.
Pasal 77 Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Ayat (1) Suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Ayat (2) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Dalam Pasal 80 ayat 4 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa suami
menanggung biaya rumah tangga biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak sesuai dengan kemampuan
penghasilannya. Selanjutnya dalam pasal 81 ditegaskan bahwa suami
wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anak dalam
Pasal 98 tentang pemeliharaan anak, ditegaskan pula bahwa :
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum didalam maupun di luar pengadilan.
c. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.
BAB III
PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG
DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga
1. Profil Pengadilan Agama Salatiga
Pengadilan Agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia.
Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan
kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan
Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat menyelesaikan
perkara melalui Qodli (hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja
yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari waliyul amri yakni
penguasa tertinggi. Begitu juga pada masa penjajahan Belanda,
masyarakat Islam khususnya Salatiga tetap menyelesaikan perkaranya
kepada hakim.
Kemudian pemerintah kolonial Belanda menerbitkan pasal 134
ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) sebagai landasan formil untuk
mengawasi kehidupan masyarakat Islam dibidang peradilan yaitu
Raad Agama dan perselisihan dalam bidang warisan diserahkan
kepada alim ulama. Pengadilan Agama Salatiga pada waktu itu
bertempat di serambi masjid kauman Salatiga dengan ketua dan
hakim anggota diambil dari alumni pondok pesantren.
Setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan
Agama Salatiga berjalan seperti biasanya Pada tahun 1949 ketua
dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 orang pegawai dan masih
bertempat di serambi masjid Al-Atiq Kauman Salatiga, bersebelahan
dengan Kantor Urusan Agama Salatiga yang sama-sama
menggunakan serambi masjid sebagai kantor.
Pada tahun 1951 pengadilan Agama Salatiga pindah kantor dari
serambi masjid Al Atiq Kauman ke kantor di Jalan Diponegoro no. 72
Salatiga sampai tahun pertengahan tahun 2009. Kantor pengadilan
tersebut belum memenuhi standar gedung pengadilan karena
merupakan peninggalan zaman kuno yang ada balai sidangnya dan
gedung tersebut hanya berstatus hak pakai dengan nomor sertifikat
4485507 tanggal 8 Maret 1979.
Mulai tanggal 1 Mei 2009 Kantor Pengadilan Agama Salatiga
pindah di Jalan Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt 14/05 Cebongan
Tingkir Salatiga yang diketuai oleh Drs. H. Masrukhan, MS. MH.
MH.
2. Kewenangan Pengadilan Agama
Pengadilan Agama dibentuk berdasarkan Staat blaad tahun 1882
no. 152 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA No. 76 th 1983
tanggal 10 November 1983 tentang penetapan perubahan wilayah
hukum Pengadilan Agama pasal 5 ayat 4 menyebutkan bahwa
wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga dikurangi dengan daerah
Kecamatan Gunung Pati, kecuali Desa Kalisidi dan Kaji serta
dikurangi dengan Desa-Desa seperti Pudak Payung, Banyumanik,
Kedawung, Sumur Jurang, Sumur Gunung, Rowosari, Kranas,
Bulusan, Padalangan Mentasih, Jabungan, Mangunharjo dan
Tumbalang dari Kecamatan Ungaran.
Berdasarkan pasal 5 ayat 4 tersebut maka sesuai Lampiran
Keputusan Menteri Agama RI No. 76 Tahun 1983 tanggal 10
Noveember 1983, wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga adalah
4 kecamatan di wilayah kota Salatiga yaitu Kecamatan Sidorejo,
Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir
dan 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan
Bringin, Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu,
Suruh dan Pabelan.
Kewenangan Pengadilan Agama terdiri dari dua macam
kewenangan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif.
a. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif pengadilan Agama dalam perkara
tertentu, terutama dalam perceraian terdapat beberapa ketentuan,
antara lain:
1) Kewarisan
2) Wasiat
3) Hibah
4) Wakaf
5) Shodaqoh
6) Ekonomi syari’ah
7) Pengangkatan anak berdasarkan UU No. 3
tahun 2003
b. Kewenangan Absolut
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1) Perkawinan, yang diatur dalam UU perkawinan yang berlaku
antara lain :
a) Izin poligami
b) Izin nikah bagi orang yang dibawah umur dalam hal
orang tua berbeda pendapat
c) Dispensasi kawin
d) Percegahan perkawinan
e) Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
f) Pembatalan nikah
g) Gugatan nafkah
h) Cerai talak
i) Cerai gugat
j) Gugatan harta bersama
k) Hak perwalian anak
l) Biaya pemeliharaan anak
2) Harta, dalam bagian ini meliputi:
a) Harta bersama
b) Kewarisan
c) Hibah
d) Wasiat
e) Wakaf
f) Shodaqoh
Pengadilan Agama Salatiga membawahi daerah hukum
meliputi seluruh wilayah Kota Madya Salatiga dan beberapa
kecamatan yang secara administrasi termasuk Wilayah
Kabupaten. Wilayah tersebut antara lain:
1) Wilayah Kota Salatiga yang meliputi beberapa kecamatan
antara lain:
a) Kecamatan Sidorejo
b) Kecamatan Sidomukti
c) Kecamatan Tingkir
d) Kecamatan Argomulyo
2) Kabupaten Semarang yang meliputi beberapa kecamatan,
yaitu:
a) Kecamatan Tuntang
b) Kecamatan Tengaran
c) Kecamatan Susukan
d) Kecamatan Pabelan
e) Kecamatan Suruh
f) Kecamatan Beringin
g) Kecamatan Getasan
Panitera/Sekretaris
Drs. H. Muhadi
Jurusita Penganti Danang Prastyo, S.
Sy. Ria Hakima Surya,. S.H
3. Struktur Organisasi
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga adalah
sebagai berikut:
KETUA Drs. H. Umar Muchlis
Wakil Ketua
Drs. Muhdi Kholil, SH., M.A., M.M
4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga
Wakil Panitera Dra. Farkhah
Jurusita M. Nawal Annaji
Sekretaris Siti Khalimah. S.H
Kasubag Umum Suhardi
Kasubag Kepegawaian
Mir’atul H. SH.I
Kasubag Keuangan Suhardi
PanMud Hukum Mu’asyarotul A.
S.H
PanMud Cerai Handayani. S.H
PanMud Gugatan Z. Fannanie, S.H
Panitera Pengganti
Hj. Wasilatun S.H Mujahidah S.H
Dra. Hj. Siti Zulaikhah
Hakim Drs, M, Syaifudin Zuhri, S.H. Drs. Silachudin Drs. Anwar Rosidi
Hakim Drs. H. Salim, SH., M.H Drs. Moch Rusdi Drs. M. Muslih
Tertib administrasi perkara adalah syarat mutlak yang harus
dilaksanakan oleh semua aparat peradilan agama dalam rangka
mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan peraturan yang
berlaku.tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 2 yaitu menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya. Tugas-tugas administrasi dilakukan oleh panitera,
meliputi tugas pelaksana administrasi Negara, tugas pendamping
hakim dalam persidangan dan tugas pelaksana putusan/ penetapan
pengadilan serta tugas-tugas kejurusitaan yang lainnya.
Panitera sebagai pelaksana administrasi perkara berkewajiban
mengatur tugas-tugas para pembantunya yaitu wakil panitera dan
panitera muda. Sebagai pendamping majlis hakim dalam persidangan
panitera berkewajiban mencatat jalannya persidangan yang kemudian
dibuat berita acara persidangan. Sebagai pelaksana putusan dan
pelaksana tugas kejurusitaan lainnya, panitera dibantu oleh jurusita
pengadilan agama atau jurusita pengganti.
Dalam rangka melaksanakan tugas pokok pengadilan panitera
menerina perkara yang diajukan ke pengadilan agama untuk diproses
lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara yang diajukan ke
pengadilan agama melalui beberapa meja yang merupakan kelompok
pelaksanan teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di pengadilan
agama mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan:
a. Meja I
Adapun tugas dari meja I ini antara lain :
1) Menerima gugatan, perlawanan, banding, kasasi, peninjauan
kembali, eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara
dan biaya eksekusi.
2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) rangkap tiga
menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat atau
pemohon.
3) Menyerahkan kembali surat gugatan atau Cerai kepada calon
penggugat atau pemohon.
4) Menaksir biaya perkara yang kemudian dinyatakan dalam
SKUM.
5) Selain itu meja I berkewajiban memberi penjelasan yang
dianggap perlu dan berkenaan dengan perkara yang diajukan.
Bagian dari meja pertama lainnya adalah kasir yang bertugas
menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut
dalam SKUM, dam membukukan dalam buku jurnal. Pemegang
kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan
tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat
gugatan atau Cerai. Kemudian mengembalikan surat gugatan atau
Cerai dan SKUM kepada calon penggugat atau pemohon.
b. Meja II
1) Menerima surat gugat atau perlawanan dari calon penggugat/
pelawan sebanyak jumlah tergugat atau terlawan rangkap
dua.
2) Menerima surat pemohon dari calon pemohon sekurang-
kurangnya rangkap dua.
3) Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/
pelawan/ pemohon.
4) Mencatat surat gugatan/ Cerai dalam buku register yang
bersangkutan serta memberi nomor register pada surat
gugatan atau Cerai tersebut.
5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan/ Cerai yang
telah diberi nomor register kepada penggugat atau pemohon.
6) Surat gugatan atau Cerai yang asli dimasukkan dalam map
khusus meserta tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang
berhubungan dengann gugatan yang disampaikan pada Ketua
Pengadilan Agama melalui Panitera.
7) Mendaftar atau mencatat putusan pengadilan dalam semua
buku register yang bersangkutan.
c. Meja III
1) Menyerahkan salinan putusan kepada yang bersangkutan.
2) Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada
pihak yang berkepentingan.
3) Menerima memori atau kontra memori banding/ kasasi,
jawaban, tanggapan dan lain-lain.
4) Mempersiapkan berkas
Proses berperkara di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai
berikut:
a. Penerimaan perkara
Pemohon atau penggugat mengajukan Cerai atau gugatan ke
Pengadilan Agama kemudian petugas dari meja I membuatkan
SKUM untuk penggugat atau pemohon. Selanjutnya penggugat
/pemohon membayar ke kasir sesuai yang tertera pada SKUM. Oleh
petugas meja II perkara tersebut didaftar dan dicatat dalam buku
register perkara, kemudian berkas perkara dilengkapi formulir
penetapan majelis hakim dan disampaikan kepada ketua pengadilan.
Ketua pengadilan menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan
perkara tersebut. Majelis hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang dan memerintahkan jurusita untuk memanggil pihak-pihak
yang berperkara menghadap di persidangan.
b. Pemeriksaan perkara
Di dalam pemeriksaan perkara tentunya bukan hanya satu atau
dua kali dalam melaksanakan persidangan, akan tetapi terdapat enam
persidangan yaitu:
1) Sidang I
Pada sidang pertama ini majelis hakim membuka persidangan
dan diperintahkan kepada kedua belah pihak berperkara
menghadap persidangan. Jika penggugat tidah hadir di
persidangan majelis dapat memerintahkan untuk memanggil
kembali penggugat, demikian juga jika tergugat tidak datang
menghadap. Setelah kedua belah pihak hadir, majelis
mengupayakan perdamaian melalui mediasi dengan didampingi
oleh hakim mediator.
2) Sidang II
Apabila upaya mediasi berhasil, maka perkata telah selesai
baik dengan dicabut atau dengan tercapainya perdamaian. Namun
jika upaya damai gagal, maka dilanjutkan sidang kedua (untuk
perkara perceraian, terlebih dahulu majelis menyatakan sidang
tertutup untuk umum), dengan agenda penbacaan gugatan dari
pihak penggugat.
3) Sidang III
Dalam sidang ketiga ini diagendakan untuk pembacaan
jawaban dari tergugat atas surat gugatan penggugat. Jawaban
dapat diberikan secara lisan.
4) Sidang IV
Kemudian sidang dilanjutkan dengan agenda tanggapan oleh
penggugat (replik) dan terhadap tanggapan dari penggugat,
tergugat dapat memberikan tanggapan balik yang disebut Duplik.
5) Sidang V
Setelah tanggapan yang disampaikan kedua belah pihak,
maka sidag selanjutnya adalah pembuktian, baik berupa surat,
saksi, pengakuan, sumpah dan persangkaan
6) Sidang VI
Setelah pembuktian selesai maka kedua belah pihak diberikan
kesempatan untuk membuat kesimpulan. Dan majlis
bermusyawarah untuk mengambil putusan yang akan diberikan
kepada para pihak.
7) Penyelesaian perkara
Setelah putusan diberikan oleh majlis hakim, untuk
perceraian, para pihak dapat menyelesaikan perkara administrasi
dengan mengambil salinan putusan dan akta cerai yang telah
disiapkan oleh petugas.
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dapat diajukan Cerai penyelesaian perkara atau pelaksanaan
putusan (eksekusi) apabila pihak-pihak yang dikalahkan tidak
mau melaksanakan isi putusan secara suka rela. Cerai eksekusi
diajukan oleh pemohon kepada pengadilan setelah dibayarkan
biaya eksekusi, selanjutnya ketua pengadilan membuat ketetapan
eksekusi. Sebelum eksekusi dilakukan kepada termohon eksekusi
dilakukan anmaning (tegoran) sebanyak dua kali agar tereksekusi
terlebih dahulu mau melaksanakan isi putusan secara sukarela.
Jika tereksekusi tetap tidak mau melaksanakan putusan maka juru
sita melakukan ekseksi secara paksa. Memaksa tereksekusi
melaksanakan isi putusan tersebut sesuai dengan bunyi amar
putusan.
5. Perkara Yang Diputus Pada Pengadilan Agama Salatiga
Jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama Salatiga
mengalami penurunan dari tahun 2015-2016. Pada tahun 2015 data
perkara yang masuk sebanyak 1870, sementara data yang ada di tahun
2016 sebanyak 1790. Jumlah data perkara cerai talak dari tahun 2015
sampai 2016 sebanyak 747. Sedangkan jumlah data perkara cerai
gugat sebanyak 1893.
B. Temuan Penelitian
Setelah peneliti melakukan observasi lapangan kemudian didapatkan
temuan–temuan penelitian berkenaan dengan profil mantan isteri dan
upaya yang telah dilakukan oleh mantan isteri untuk meminta pemenuhan
hak-hak mereka setelah putusan talak memperoleh kekuatan hukum tetap:
1. Profil Pelaku Cerai Talak
Berikut ini adalah daftar keluarga cerai talak:
a. Sherly Susanti
Sherly Susanti binti Jamiri Hasan dan suaminya Nur Yasin
bin Marmin melangsungkan perkawinan pada tanggal 7 Mei 2005
dan dicatat Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Dalam perkawinan
tersebut Sherly dan suaminya tinggal di kediaman suaminya di
Dusun Tempel RT 25 RW 06 Desa Plumbon Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang dan dikaruniai dua orang anak. Awal mula
perkawinan mereka berjalan harmonis, Nur Yasin memenuhi
nafkah keluarga dengan bekerja sebagai tukang mebel sedangkan
Sherly hanya mengurus rumah tangga dan kedua anaknya.
Namun terjadi pertikaian sejak bulan Juni 2012, karena
permasalahan kesulitan ekonomi kemudian mereka berpisah. Nur
Yasin memulangakan Sherly di rumah orangtuanya. Selama 3
tahun 9 bulan dan tidak pernah rukun kembali, sehingga pada 7
Maret 2016 Nur Yasin (36 tahun) mengajukan talak kepada
Pengadilan Agama Salatiga.
b. Budi Rahayu, S.Pd binti Ngatimin
Tercatat pada tanggal 02 Juni 2013 Budi Rahayu
melangsungkan perkawinan dengan Supriyanto bin Yusmin di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.
Setelah pernikahan tersebut Budi Rahayu bertempat tinggal di
rumah milik sendiri di Kalegen Kidul Desa Dersan Sari dengan
Supriyanto bekerja sebagai Wiraswasta. Selama kurang lebih tiga
tahun sepuluh bulan perkawinan Supriyanto dan Rahayu telah
hidup rukun sebagai mana layaknya suami istri dan dikaruniai
satu orang anak yang lahir 06 Mei 2014.
Sejak bulan Februari 2014 ketenteraman rumah tangga Budi
Rahayu dengan suaminya mulai goyah, pertikaian mereka terjadi
disebabkan karena Budi Rahayu tidak mengerti keinginan
Supriyanto yang ingin mengembangkan usahanya. Mereka
berbeda pendapat, Supriyanto berkeinginan untuk wirausaha
sedangkan Budi menghendaki suaminya untuk bekerja sebagai
karyawan. Karena permasalahan tersebut tidak dapat
terselesaikan maka Supriyanto memulangkan Budi ke rumah
orangtuanya di Dusun Dersan Kulon Desa Dersansari dan pada
tanggal 21 Maret 2016 mengajukan gugatan talak kepada
Pengadilan Agama Salatiga.
c. Sri Wulandari Binti Tri Warno
Sri Wulandari binti Tri Warno dan Supriyono bin Djuri
melangsungkan pernikahan pada tanggal 27 Desember 2008
yang dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Setelah
pernikahan tersebut Sri Wulandari dan Supriyono bertempat
tinggal di Desa Ngemplak RT 03 RW 09 Kelurahan Kumpulrejo
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga. Perkawinan mereka
berjalan dengan harmonis dengan dikaruniai seorang anak. Dalam
memenuhi kebutuhan keluarga Supriyono bekerja sebagai buruh
di pabrik sedangkan Sri Wulandari berwiraswasta membuka
sebuah warung. Setelah beberapa tahun perkawinan mereka
membangun sebuah rumah sehingga tidak lagi tinggal dengan
orangtua.
Pertikaian mulai terjadi sejak bulan September 2015, menurut
data yang diperoleh peneliti pertikaian mereka disebabkan karena
permasalahan ekonomi. Semakin lama percekcokan yang terjadi
tidak kunjung reda maka pada 2 Desember 2016 Supriyono
mengajukan cerai atas isterinya kepada pengadilan Agama
Salatiga.
d. Sri Darmini binti Muhamad Amin
Sri Darmini binti Muhammad Amin dan Waris bin Tarbi
merupakan pasangan yang menikah pada 04 Desember 2008 dan
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Getasan. Mereka melangsungkan perkawinan ketika
Sri berumur 15 tahun dan Waris berumur 19 tahun. Perkawinan
mereka tergolong perkawinan dini, karena di lingkungan mereka
perkawinan dini merupakan hal yang biasa terjadi.
Sri dan Waris keduanya merupakan seorang muslim. Latar
belakang pendidikan mereka sama-sama hanya sampai Sekolah
Dasar (SD). Sri dan Waris merupakan anak dari seorang petani
yang menjadikan mereka sekolah hanya sampai tingkat SD. Hal
tersebut terjadi karena bagi orangtua mereka pendidikan tidak
begitu penting.
Kehidupan rumah tangga mereka dalam keadaan rukun dan
tenteram. Setelah menikah mereka tinggal di rumah orangtua
Waris di Dusun Magersari RT.12 RW.02 Desa Sumogawe
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Profesi mereka sehari-
hari adalah sebagai petani. Mereka bercock tanam di ladang yang
merupakan pemberian orangtua mereka masing-masing.
Pada akhir 2014 rumah tangga mereka mulai goyah dan
diwarnai pertengkaran. Terkadang hanya masalah kecil yang
diperdebatkan, sehingga berakhir dengan pertengkaran. Menurut
hasil wawancara yang peneliti lakukan, latar belakang terjadinya
pertengkaran adalah masalah ekonomi. Karena percekcokan
mereka yang berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan pada
bulan Maret 2017 Waris mengajukan talak atas isterinya kepada
Pengadilan Agama Salatiga.
e. Sakdiah binti Darsi
Sakdiah binti Darsi dan Minoto bin Kartarejo merupakan
pasangan yang melakukan itsbat nikah pada 28 Juli 2015 dan
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Suruh. Latar belakang pendidikan Sakdiyah dan
suaminya adalah hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD),
selain faktor kurangnya kesadaran pendidikan pada masa muda
mereka masih jarang orang bersekolah. Dalam perkawinan
mereka di karuniai tiga orang anak.
Kehidupan rumah tangga mereka rukun dan harmonis, dalam
memenuhi kebutuhan mereka berprofesi sebagai buruh dengan
penghasilan yang pas-pasan. Dari data yang diperoleh peneliti
puncak pertikaian yang terjadi antara mereka dimulai sejak akhir
2015. Permasalahannya dipicu karena ekonomi keluarga. Namun
sebenarnya dari kedua belah pihak sebenarnya dari sejak awal
perkawinan mereka merasa tidak ada kecocokan pandangn hidup.
Maka pada 3 Juli 2016 Minoto mengajukan cerai talak atas
isterinya kepada Pengadilan Agama Salatiga.
f. Siti Nur Azizah binti Suwino
Siti Nur Azizah bin Suwino dan Domiri bin Yusro
merupakan pasangan suami isteri yang menikah pada 28 Maret
2006 yang dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Setelah
perkawinan terjadi Domiri membawa serta isterinya di
kediamannya di Dusun Kuncir RT 04 RW 02 Desa Nyemoh,
Kecamatan Beringin Kabupaten Semarang. Latar belakang
kehidupan Siti adalah SMA sedangkan Domiri hanya sampai
jenjang SMP.
Pada awal kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan
harmonis sebagaimana mestinya. Mereka dikaruniai dua orang
anak yang berumur 9 tahun dan 5 tahun. Untuk mencukupi
kebutuhan mereka Domiri berprofesi sebagai Karyawan di
sebuah pabrik, sementara Siti hanya mengurus rumah tangga.
Pertikaian mereka mulai muncul pada awal tahun 2015, yang
menurut data hasil penelitian adalah karena kesulitan ekonomi,
anak-anak mereka tumbuh semakin besar dan Siti sendiri terlalu
banyak menuntut kepada suaminya. Menghadapi permasalahan
tersebut Domiri merasa tidak sanggup sehingga pada tanggal 1
Desember 2016 Domiri mengajukan Cerai talak kepada
Pengadilan Agama Salatiga.
g. Nur Aini binti Dairobi
Nur Aini bin Daerobi dan Prasojo merupakan pasangan
suami isteri yang menikah pada 19 Nopember 1996 yang
dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran. Pada
saat menikah Nur Aini masih berusia 21 tahun sedangkan Prasojo
berusia 24 tahun.
Sejak awal perkawinan mereka berdomisili di kediaman
Prasojo di Dusun Kaligandu RT 11 RW 03 Desa Klero
Kecamatan Tengaran. Dalam perkawinan mereka dikaruniai 3
orang anak. Prasojo hanya berprofesi sebagai buruh yang tidak
tentu penghasilannya sedangkan Nur Aini mengurus rumah
tangga kadang sesekali membantu suaminya dengan bekerja
membantu di rumah tetangganya.
Pertikaian mereka terjadi sejak bulan Agustus tahun 2014,
menurut data peneliti pertikaian mereka terjadi karena
permasalahan ekonomi. Puncaknya pada tahun 2015, Prasojo
mengembalikan Nur Aini di rumah orang tuanya di Dusun
Randusari. Pada tanggal 17 Juli 2015 Prasojo mengajukan cerai
talak kepada Pengadilan Agama Salatiga.
h. Ari Rahmawati binti Supangat
Ari Rahmawati binti Supangat dan Askowi bin Dalimin
merupakan pasangan suami isteri yang menikah pada 23 Juli
2010 yang dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Suruh. Pada saat perkawinan mereka
Ari berusia 20 tahun sedangkan Askowi 21 tahun. Pendidikan
terakhir mereka hanya sampai pada tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP), hal ini dikarenakan keterbatasan ekonomi
keluarga mereka.
Pada masa awal perkawinan mereka berjalan dengan
harmonis. Mereka dikaruniai satu orang anak yang lahir pada 16
Agustus 2011 dan sekarang masih kelas 1 SD. Pekerjaan sehari-
hari Askowi hanya sebagai buruh sedangkan Ari mengurus
keluarga dan anaknya. Pertikaian mereka terjadi sejak Maret
2015, menurut data yang diperoleh peneliti, Ari mendapat
bujukan dari keluarganya untuk bercerai dengan suaminya. Sejak
awal perkawinan mereka keluarga Ari tidak menyukai Askowi
sebab menurut mereka Askowi merupakan pemuda yang tidak
mempunyai perangai baik. Tidak tahan dengan perlakuan
keluarga Ari kemudian Askowi mengajukan Cerai talak atas Ari
kepada Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 6 Januari 2016.
i. Lailatul Lafifah binti Yarmin
Lailatul Lafifah binti Yarmin dan Nur Jahidin bin Dasmin
merupakan pasangan suami isteri yang melangsungkan
perkawinan pada tanggal 4 Januari 1998. Perkawinan mereka
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Usia Laila pada saat
menikah baru berumur 16 tahun sedangkan Nur Jahidin berumur
20 tahun. Setelah perkawinan mereka berlangsung, mereka
tinggal di kediaman Laila di Dusun Jambe RT 03 RW 05 Desa
Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Pendidikan
terakhir mereka hanya sampai pada tingkat MI dan SMP.
j. Anna Nur Annisa binti Murtadlo
Anna Nur Annisa binti Murtadlo dan Mulyoto bin Suparmo
merupakan pasangan suami isteri yang melangsungkan
perkawinan pada tanggal 18 Agustus 2014. Perkawinan mereka
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Usia Anna pada saat
menikah baru berumur 20 tahun sedangkan Mulyoto 29 tahun.
Setelah perkawinan mereka berlangsung, mereka tinggal di
kediaman Mulyoto di Dusun Krajan RT 03 RW 01 Desa Gunung
Tumpeng, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Pendidikan
terakhir mereka hanya sampai pada tingkat SMP, sebab orangtua
mereka tidak mempunyai biaya yang cukup untuk ke jenjang
yang lebih tinggi. Anna sebelum menikah bekerja menjadi buruh
di pabrik namun setelah menikah Mulyoto menyuruh untuk
berhenti.
Berdasarkan hasil wawancara penulis menemukan bahwa
sejak 6 bulan perkawinan terjadi percekcokan, bahkan hanya
karena masalah kecil. Hal ini terjadi karena perkawinan mereka
terjadi karena paksaan dari orangtua. Sedangkan menurut
pengakuan Mulyoto, Anna memiliki teman dekat lain. Mulyoto
sakit hati dengan perlakuan Anna sehingga pada tanggal 5
Oktober 2015 Mulyoto mengajukan cerai talak kepada
Pengadilan Agama Salatiga.
2. Pemenuhan Hak Pasca Cerai talak
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya
mengenai kewajiban-kewajiban yang perlu dilakukan oleh mantan
suami kepada mantan isteri yang meliputi hak mut’ah, nafkah iddah,
nafkah madliyah dan hak nafkah hadhanah. Hak-hak tersebut harus
dipenuhi sesuai ketentuan atau keputusan Majelis Hakim. Dari hasil
penelitian terdapat beberapa kasus bahwa pemenuhan hak anak pasca
Cerai talak yang dialami tentunya sangat bervariasi, pasalnya setelah
penelitian dilakukan terdapat mantan suami yang benar-benar
memenuhi hak bagi mantan isterinya. Terdapat pula kasus yang sama
sekali tidak memberikan Hadhanah bagi anaknya, hal ini sangatlah
bertolak belakang dengan hukum yang berlaku. Adapun upaya yang
dilakukan oleh mantan isteri untuk memperjuangkan hak-hak tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Serly binti Jamiri
Dalam putusan ikatan perkawinan antara Serly binti Jamiri
dan Suaminya tidak memutuskan untuk membebankan Mut’ah,
nafkah iddah dan hadhanah. Namun hal ini merupakan hak isteri
yang harusnya diberikan oleh suaminya. Berkaitan dengan biaya
mut’ah mantan suami Serly memberikan sejumlah uang sesuai
dengan kesepakatan mereka. Sebab Serly sendiri mengerti
keadaan ekonomi suaminya. Selama masa iddah Suami Serly
tidak memberikan nafkah apapun baik tempat tinggal maupun
perlengkapan hidup.
Berkaitan dengan pemenuhan hak anak yang terjadi dari
kasus yang dialami oleh Serly binti Jamiri, setelah cerai talak
yang diputuskan oleh hakim yang mengabulkan permohonan
untuk menghidupi dan membiayai kehidupan anaknya dengan
cara mantan suami selalu mengirim uang kepada orang tua yang
mengasuh anak tersebut yaitu mantan istri dan mantan
mertuanya.
Pada intinya, walaupun mantan suami sudah bekerja di
Jakarta dan tidak pernah bertemu dengan anaknya yang diasuh
oleh mantan istrinya tetapi dia selalu memberi nafkah materi.
Informasi tersebut didapatkan oleh peneliti langsung dari orang
tua Serly dan Serly sendiri (wawancara Rabu, 13 September
2017, pukul 19.00 WIB).
b. Budi Rahayu
Setelah putusan pengadilan menetapkan putusan cerai,
Supriyanto selaku mantan suami tidak memberikan hak mut’ah
sebagaimana diputuskan dalam putusan pengadilan, hal ini terjadi
karena keterbatasan ekonomi Supriyanto. Selama masa iddah
Budi Rahayu bersama tinggal bersama orangtuanya di Dusun
Dersan Kulon. Jadi, menurut data yang diperoleh peneliti Budi
Rahayu tidak mendapat maskan maupun kiswah.
Ketika perkawinan Budi Rahayu dan suaminya akad nikah
dilaksanakan dengan mahar yang dibayar secara tunai sehingga
tidak memiliki kewajiban untuk melunasinya. Keluarga sadar
bahwa inti dari sahnya perkawinan bukanlah banyaknya mahar
tetapi sah menurut hukum Allah. Anak dari hasil perkawinan
mereka sekarang tinggal bersama dengan Budi, namun sebagai
orangtua Supriyanto bertanggung jawab memberikan biaya
nafkah sebanyak 500.000 perbulan. Akan tetapi pemberian
nafkah tersebut hanya berlangsung delapan bulan saja, artinya
Supriyanto hanya memberikan satu juta dua ratus ribu saja
kepada anaknya. Hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang sudah
diputuskan oleh majlis hakim. Budi Rahayu hanya
mengikhalaskan dengan apa yang diberikan oleh mantan suami
walaupun hanya satu juta dua ratus ribu. Artinya tidak ada upaya
yang dilakukan mantan istri untuk mendapatkan hak anaknya
pasca Cerai talak.
c. Sri Wulandari
Setelah terjadinya perceraian antara Sri Wulandari dan
Supriyono, Sri mendapatkan mut’ah sesuai dengan kesepakatan
mereka berdua dan kemampuan mantan suaminya. Selama masa
iddah, Sri meninggalkan rumah yang mereka bangun bersama
suaminya di Dusun Ngemplak ke rumah orangtua kandungnya di
Grombol dengan membawa serta anak. Mantan suami Sri
memberikan nafkah selama masa iddah kepada Sri.
Jatuhnya hak hadhanah kepada Sri karena anak yang masih
di bawah umur. Pada mulanya Supriyono memberikan biaya
nafkah anak sebesar 500 ribu rupiah. Namun hanya berjalan
selama 7 bulan, Supriyono tidak lagi menafkahi anaknya.
Pekerjaan Sri Wulandari yang hanya wiraswasta tidak dapat
mencukupi kebutuhan anaknya tanpa kewajiban nafkah dari
mantan suaminya. Sebagaimana undang-undang yang
membebankan nafkah anak kepada kedua orangtua. Sri
Wulandari kemudian mendatangi tempat kediaman Supriono di
Dusun Ngemplak, Kumpulrejo untuk meminta hak anaknya.
d. Sri Darmini
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, pasca
putusnya perkawinan Sri Darmini, mantan suami Sri tidak
memberikan Sri Darmini mut’ah sebagiamana mestinya. Hal ini
terjadi karena ketidak tahuan mereka tentang biaya mut’ah isteri.
Selama masa iddah Sri kembali ke rumah orangtuanya dengan
membawa serta anak mereka. Namun Waris sama sekali tidak
memberikan biaya penghidupan untuk Sri.
Anak dari hasil perkawinan Sri dan mantan suaminya kini
berada dalam pengasuhan Sri sebab usianya yang masih di bawah
umur. Waris sebagai orangtua laki-laki tidak pernah memberikan
nafkah untuk anak karena keterbatasan ekonomi Waris yang
hanya sebagai seorang petani lahan.
e. Sakdiyah binti Darsi
Pasca putusnya perkawinan Sakdiyah dengan suaminya yang
membebankan biaya mut’ah kepada Minoto hal itu tidak
dilaksakannya sesuai dengan putusan pengadilan. Selama masa
iddah pun Sakdiyah tidak mendapatkan biaya baik maskan
maupun kiswah. Sakdiyah kini kembali ke rumah orangtuanya di
Dusun Pandean Kecamatan Suruh dengan anak terakhirnya yang
masih di bawah umur.
Hak asuh anak jatuh kepada ibunya namun karena pekerjaan
Sakdiyah yang bekerja sebagai buruh anaknya kemudian diasuh
oleh neneknya. Biaya nafkah yang seharusnya kewajiban dari
mantan suaminya tidak diperoleh. Sakdiyah sudah berusaha
beberapa kali mendatangi tempat kediaman mantan suaminya
namun tidak ada respon.
f. Siti Nur Azizah binti Suwino
Pasca putusnya perkawinan Siti Nur Azizah dengan suaminya
yang membebankan biaya mut’ah kepada Domiri hal itu tidak
dilaksakannya sesuai dengan putusan pengadilan. Selama masa
iddah pun Siti Nur Azizah tidak mendapatkan biaya baik maskan
maupun kiswah. Siti kini kembali ke rumah orangtuanya di
Dusun Geyongan.
Hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Berdasarkan data
yang diperoleh oleh peneliti biaya nafkah anak untuk sementara
dibiayai oleh Siti Nur Azizah sendiri, karena mantan suaminya,
Domiri bin Yusro tidak memberikan nafkah untuk anaknya. Siti
Nur Azizah beberapa kali mendatangi kediaman Domiri namun
Domiri tidak juga memberikan biaya untuk anaknya.
g. Nur Aini
Setelah terjadinya perceraian antara Nur dan Prasojo, Sri
mendapatkan mut’ah sesuai dengan kesepakatan mereka berdua
dan kemampuan mantan suaminya. Selama masa iddah, Nur
meninggalkan rumah suaminya di Dusun Kaligandu ke rumah
orangtua kandungnya di Dusun Randusari dengan membawa
serta anak. Mantan suami Nur sama sekali tidak memberikan
nafkah selama masa iddah kepada Nur.
Cerai talak yang terjadi antara Nur Aini dan mantan
suaminya Prasojo memutuskan bahwa hak anak menjadi
tanggung jawab ibunya. Untuk biaya nafkah ditanggung oleh
kedua belah pihak, sedangkan mantan suaminya Prasojo
memberikan nafkah hanya sebesar 250 ribu rupiah setiap
bulannya. Jika digunakan untuk biaya anak satu bulan sangat
tidak cukup. Nur Aini sudah beberapa kali meminta kenaikan
biaya nafkah dari Prasojo namun karena keadaan ekonominya
yang tidak memungkinkan hal itu tidak dapat dilakukan.
h. Ari Rahmawati
Cerai talak antara Ari Rahmawati binti Supangat dan Askowi
dibacakan membebankan biaya mut’ah sesuai dengan
kesepakatan mereka, hal itu sudah dilaksakan oleh Askowi.
Selama masa iddah Ari tinggal bersama orangtuanya dengan
membawa serta anak mereka. Askowi juga sama sekali tidak
pernah memberikan nafkah iddah, selama masa tunggu tersebut.
Hak asuh anak kepada Ari Rahmawati. Biaya nafkah untuk
anak seharusnya menurut putusan pengadilan adalah menjadi
tanggungj awab kedua orangtua. Pekerjaan kedua orangtuanya
yang hanya sebagai buruh swasta tidak memungkinkan untuk
mencukupi. Nafkah yang diberikan dari pihak Askowi hanya
sebesar 300 ribu rupiah. Dan untuk sementara orangtua Ari
Rahmawati (ibu) ikut membantu biaya kebutuhan anak tersebut.
i. Lailatul Lafifah
Pasca diikrarkannya akta talak No. 0881/Pdt.G/2015 yang
memutusakan hubungan perkawinan antara Lailatu Lafifah dan
Nur Jahidin, Laila memperoleh biaya nafkah mut’ah sebagaimana
mestinya. Namun selama masa iddah Nur Jahidin tidak
memberikan baik untuk biaya maskan maupun kiswah. Nur
Jahidin kemudian kembali ke tempat tinggal asalnya di Dusun
Jambe yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka
selama menikah. Selama perkawinan Laila dan suaminya
bertempat tinggal di kediaman Laila.
Perceraian antara Lailatul Lafifah dan suaminya memutuskan
jatuh hak asuh anak kepada ibu. Lailatul Lafifah yang dahulu
tidak bekerja sekarang harus menjadi buruh pabrik untuk
kebutuhan nafkah anaknya. Masing-masing dari Lailatul Lafilah
maupun Nur Jahidin sama-sama menyadari bahwa anak masih
menjadi tanggung jawab mereka meskipun sudah terjadi talak.
Jadi setelah putusan Cerai sampai saat ini biaya kebutuhan anak
ditanggung oleh mereka berdua. Tempat tinggal mereka yang
dekat juga masih memudahkan anak untuk bertemu kedua
orangtuanya.
j. Anna Nur Annisa
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, Pasca Cerai
talak Anna dengan mantan suaminya, Anna memperoleh nafkah
mut’ah sebagiamana mestinya. Namun selama masa iddah
mantan suami Anna tidak memberikan nafkah baik maskan
maupun kiswah. Sebab mantan suami Anna masih merasa sakit
hati selama perkawinannya dengan Anna.
Putusnya perkawinan antara Anna Nur Annisa dan suaminya
memutuskan bahwa biaya nafkah menjadi tanggung jawab kedua
pihak meskipun hak asuh anak jatuh kepada ibu. Sejak awal
suaminya tidak pernah memberikan nafkah kepada Anna maupun
anaknya. Alasan perpisahan yang terjadi pada mereka
dikarenakan terjadi perselisihan, bahkan sampai saat ini tidak
pernah berkomunikasi dengan baik.
3. Faktor pendorong dan penghambat pemenuhan hak isteri
Faktor-faktor yang menghambat mantan suami untuk memenuhi hak
mantan isteri diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Persoalan biaya nafkah setelah terjadinya Cerai talak merupakan
masalah yang sangat penting untuk menjamin masa depan anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan. Mereka tidak tahu menahu dan
tidak bersalah atas kondisi orang tuanya. Jika diperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun hukum Islam
serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia mengatur bahwa
tanggung jawab tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya talak
pada prinsipnya membebankan kepada orang tua laki. Dan apabila
dikaitkan dengan keadaan dan kondisi masyarakat Indonesia,
seharusnya mantan suami yang bertanggung jawab dalam
memberikan biaya naf kah kepada keluarga karena pada umumnya
kaum lelakilah yang bekerja. Seandainya dijumpai istri atau ibu yang
bekerja, hal tersebut tidak lain adalah untuk menunjang kehidupan
ekonomi keluarga, bukan merupakan tanggung jawab. Mengingat
bahwa mantan suami yang lazimnya mencari nafkah, maka biaya
anak setelah terjadi Cerai talak adalah merupakan tanggung jawab
mantan suami
Dari data yang diperoleh, jelas menunjukkan bahwa sebagian
besar mantan suami tidak melakukan kewajibannya memenuhi nafkah
anak maupun isteri. Adapun yang menjadi penyebab tidak
memberikan hak mantan isteri oleh mantan suami sangat ditentukan
oleh berbagai faktor. Bahwa mantan suami sama sekali tidak
memberikan biaya nafkah isteri dan anak, salah satu penyebabnya
adalah karena mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, dimana
mantan suami kebanyakan berpenghasilan kecil. Dengan penghasilan
yang kecil apalagi tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapatlah
difahami jika mantan suami tidak pernah memberikan hak nafkah .
Dari 10 pelaku, lima diantaranya terjadi karena alasan ekonomi,
Sri Darmini, Sakdiyah, Siti Nur Azizah, Nur Aini dan Ari. Yang
terjadi pada Sri Darmini mantan suaminya hanya memberikan nafkah
selama enam bulan saja. Sedangkan Sri Darmini hanya bekerja
sebagai buruh. Sakdiyah mantan suaminya tidak memberi nafkah
sama sekali sejak putusnya Cerai talak. Padahal pekerjaan Sakdiyah
hanya sebagai buruh, hal ini memuat Sakdiyah kesulitan untuk
membiayai kehidupan mereka. Orangtua Sakdiyah yang merasa
kasihan turut serta membantu permasalahan ekonomi yang dialami
Sakdiyah demi masa depan anaknya di kemudian hari.
Permasalahan ini dialami pula oleh Siti Nur Azizah mantan
suaminya sama sekali tidak memberikan nafkah karena tidak
mempunyai penghasilan yang tetap. Siti Nur Azizah pun tidak
berusaha untuk meminta kepada suaminya karena sejak awal
perkawinan mereka mengalami kesulitan. Suami Azizah yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap sedangkan Azizah sendiri tidak bekerja.
Talak yang terjadi antara mereka disebabkan permasalahan ekonomi
yang tidak dapat diselesaikan. Sehingga setelah berpisah Siti Nur
Azizah terpaksa bekerja untuk menghidupi anaknya.
Nur Aini dan mantan suaminya Prasojo memutuskan bahwa hak
anak menjadi tanggung jawab ibunya. Untuk biaya nafkah ditanggung
oleh kedua belah pihak, sedangkan mantan suaminya Prasojo
memberikan nafkah hanya sebesar 250 ribu rupiah setiap bulannya.
Jika digunakan untuk biaya anak satu bulan sangat tidak cukup. Nur
aini sudah beberapa kali meminta kenaikan biaya nafkah dari Prasojo
namun karena keadaan ekonominya yang tidak memungkinkan hal itu
tidak dapat dilakukan.
Pasangan Ari rahmawati binti Supangat dan Askowi menjatuhkan
hak asuh anak kepada Ari Rahmawati. Biaya nafkah untuk anak
seharusnya menurut putusan pengadilan adalah menjadi
tanggungjawab kedua orangtua. Pekerjaan kedua orangtuanya yang
hanya sebagai buruh swasta tidak memungkinkan untuk mencukupi.
Nafkah yang diberikan dari pihak Askowi hanya sebesar 300 ribu
rupiah. Dan untuk sementara orangtua Ari Rahmawati (ibu) ikut
membantu biaya kebutuhan anak tersebut.
2. Faktor Menikah Lagi
Pasca diputuskannya Cerai talak, baik mantan suami maupun
mantan isteri berhak untuk menikah lagi. Jika pihak-pihak telah
menikah lagi, persoalan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan
sebelumnya menjadi sangat penting untuk menjamin terutama
mengenai biaya nafkah. Meskipun hak mantan isteri dan anak
misalnya telah dijamin dalam putusan Pengadilan Agama yang
memutus Cerai talak keduanya, akan tetapi dalam hal mantan suami
telah menikah lagi, maka akan sangat sulit bagi mantan suami
tersebut untuk tetap memberikan biaya nafkah, kecuali mantan suami
tersebut sangat berkecukupan secara finansial
Bagi mantan suami dan mantan isteri setelah putusan terjadi
memungkinkan bagi keduanya untuk menikah lagi. Jika mantan
suami menikah lagi, Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh
terhadap keadaan finansialnya, dimana ia harus membiayai
keluarganya yang baru. Keadaan ini akan sangat berpengaruh pula
terhadap perhatian mantan suami dalam memberikan biaya nafkah.
Karena mantan suami harus membiayai keluarganya yang baru, ia
menjadi kurang atau tidak mampu lagi untuk memberikan biaya
nafkah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu faktor
tidak memberi nafkah adalah oleh sebab-sebab lain, dijumpai adanya
pengakuan yang mengatakan bahwa tidak dipenuhinya hak nafkah
disebabkan mantan suami telah menikah lagi dan mempunyai
keluarga yang baru dan membutuhkan biaya nafkah pula untuk
membiayai keluarganya yang baru. Dalam hal ini, mantan suami
sangat sulit untuk menyisihkan penghasilannya untuk guna
memberikan biaya nafkah.
Meskipun dalam hal ini tentunya faktor mantan suami telah
menikah lagi yang lebih dominan, namun faktor ini sangat berkaitan
erat dengan faktor ekonomi). Jadi faktor telah menikah lagi ini sangat
berkorelasi dengan faktor ekonomi, bahwa tidak diberikannya biaya
nafkah oleh mantan suami disebabkan istri baru tidak mengijinkan
untuk memberikan biaya nafkah mantan isteri. sehingga mantan
suami tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagaimana telah
diputus oleh Pengadilan Agama.
Pada kasus yang terjadi pada Sri Wulandari, mantan suaminya
tidak memberikan nafkah setelah menikah dengan seorang janda.
Namun penyebab tidak diberikannya nafkah Sri Wulandari bukan
karena ketidak mampuan dari mantan suaminya tetapi akibat adanya
isteri baru yang tidak menyadari akan kewajiban yang masih melekat
pada suaminya. Yang dapat dijadikan alasan lain adalah adanya anak
meskipun sebenarnya mereka mampu.
3. Faktor Psikologis
Terjadinya talak antara suami istri memang disebabkan berbagai
alasan, dan kadang-kadang alasan yang menjadi penyebabnya sangat
prinsip bagi pihak-pihak yang mengakibatkan hubungan antara suami
istri tidak dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai. Ironisnya
setelah terjadi Cerai talak, hubungan antara mereka tetap dalam
keadaan retak. Hal ini kadang-kadang sangat berpengaruh terhadap
hubungan anak dengan orang tua, dimana salah satu pihak yang
biasanya sebagai pihak yang memegang hak pemeliharaan tidak
mengijinkan pihak lain untuk menemui anak-anak.
Hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, diberikan kepada
orang tua perempuan. Karena alasan-alasan tertentu, orang tua
perempuan kadang-kadang tidak memperbolehkan bekas suaminya
untuk bertemu dengan anak-anaknya. Biasanya hal tersebut berkaitan
dengan aspek psikologis orang tua perempuan. Maksudnya adalah
berkaitan dengan perasaan, sakit hati dan perasaan tertekan yang
dialami akibat tindakan yang tidak layak dalam perkawinan. Perasaan
tertekan dan sakit hati yang dirasakan misalnya, selama dalam masa
perkawinan suami melakukan tindakan kekerasan, perselingkuhan
dan menikah lagi dan lain sebagainya.
Faktor-faktor psikologis ini dapat menyebabkan mantan isteri
sebagai pemegang hak pemeliharaan tidak mengijinkan bekas
suaminya untuk bertemu dengan anak mereka. Keadaan ini akan
dapat mengakibatkan mantan suami tersebut tidak mau memberikan
biaya nafkah. Keadaan ini ditemukan pula dalam kasus yang terjadi
pada Anna Nur Anisa. Sebab putusnya ikatan perkawinannya adalah
karena percekcokan yang terjadi terus menerus. Mantan suami juga
tidak mau memberikan biaya nafkah, karena berkaitan dengan aspek
psikologis mantan suami yang menganggap bahwa biaya nafkah
tersebut tidak lain adalah akan dipergunakan dan dimanfaatkan oleh
mantan istrinya.
Selain itu, alasan mantan suami tidak memberikan biaya nafkah
anak berkaitan dengan aspek psikologis si anak yang tidak dapat
menerima kondisi kedua orang tuanya, apalagi alasan Cerai talak itu
disebabkan oleh tindakan mantan suami yang tidak pantas, misalnya
karena alasan perselingkuhan mantan suami, menikah lagi dengan
perempuan lain atau alasan tindakan kekerasan yang pernah
dilakukan mantan suami terhadap mantan isteri atau terhadap.
Keadaan ini ditemukan pula dalam jawaban anak yang tidak mau
menerima biaya nafkah dari orang tua laki-laki (ayah)nya disebabkan
dalam masa perkawinan orang tuanya, anak tersebut selalu merasa
tertekan akibat tindakan orang tua laki-laki (ayah)nya yang
melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain sehingga terjadi
pertengkaran orang tuanya yang juga diiringi tindakan kekerasan
kepada orang tua perempuannya.
4. Faktor Mantan Isteri Mampu Untuk Biayai Nafkah
Banyak faktor yang menyebabkan mantan isteri mampu untuk
mencukupi kebutuhannya dan anaknya setelah Cerai talak. Dewasa ini,
bukan hal yang baru dimana perempuan juga mempunyai penghasilan
sendiri dengan bekerja, sehingga secara ekonomi ia tidak bergantung pada
orang tua atau tergantung pada suaminya jika telah menikah. Dengan
demikian, bagi mantan isteri yang mempunyai penghasilan sediri apabila
bercerai, persoalan biaya nafkah tidak bagitu menjadi persoalan apalagi
sejak dalam masa perkawinan pihak istrilah yang secara finansial lebih
menghasilkan dibandingkan suaminya.
Kasus yang terjadi pada Supriyanto dan Budi Rahayu, sejak
diputusnya perkawinan mereka Budi tidak pernah mendapatkan nafkah baik
mut’ah maupun iddah. Menghadapi kondisi yang seperti itu Budi tidak
pernah berupaya untuk meminta mantan suaminya melaksanakan
kewajibannya. Sedangan untuk biaya hadhanah pada awalnya Supriyanto
memberikan hanya sebesar 300 ribu setiap bulannya namun hanya berjalan
selama 8 bulan. Hal ini terjadi karena profesi Supriyanto yang hanya
sebagai buruh dengan pengasilan yang pas-pasan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya apalagi untuk membiayai kehidupan
anak. Namun karena Budi Rahayu berasal dari keluarga yang berkecukupan,
persoalan biaya nafkah tidak menjadi persoalan baginya.
Faktor-faktor yang mendorong Mantan Suami memberikan nafkah
kepada mantan isteri diantaranya:
1. Adanya keinginan dan kesadaran penuh dari mantan suami
Adanya kesadaran bahwa baik nafkah anak, mut’ah maupun
nafkah selama masa iddah merupakan tanggung jawab mantan suami.
anak merupakan sesuatu anugerah yang dititipkan tuhan dan harus
dididik, dilindungi hak-haknya mendorong orangtua untuk bersedia
membiayai segala sesuatu yang dibutuhkannya yang menunjang
perkembangannya. Selain itu pendidikan juga dapat mempengaruhi
mantan suami untuk tetap melaksanakan kewajibannya meskipun
tidak ada putusan yang menetapkan kewajiban baginya untuk
menafkahi anak. Pada kasus ini terjadi pada Nur Yasin dan Sherly,
Pendidikan Nur Yasin yang sampai pada tingkat SMA dan didukung
dengan kondisi ekonominya yang stabil karena bekerja di luar kota.
2. Tempat kediaman yang dekat
Putusnya ikatan perkawinan tidak serta merta membuat hubungan
silaturahmi antara mantan suami dan mantan isteri menjadi terputus.
Bagaimanapun juga perkawinan yang telah terjadi menimbulkan
ikatan batin yang kuat, selama beberapa tahun hidup dalam rumah
tangga bersama. Pasangan Nur Jahidin dan Lailatul Lafifah
merupakan salah satu pasangan yang dapat menjadi contoh bagi
pasangan lain pasca terjadinya Cerai talak. Meskipun keduanya telah
bercerai mereka masih tetap menjaga hubungan kekeluargaan. Dan
anak-anak hasil dari perkawinan mereka tetap tumbuh berkembang
dengan baik karena kondisi psikologis yang stabil. Selain itu yang
membuat hubungan mereka terjalin dengan baik adalah tempat
tinggal yang masih dalam satu lingkungan yang sama.
BAB IV
UPAYA MANTAN ISTERI AKIBAT CERAI TALAK
A. Analisis Upaya Mantan Isteri Akibat Cerai Talak
1. Hak Anak
Dalam bab sebelumnya telah dicantumkan mengenai pemenuhan
hak anak pasca diputusnya ikrar talak. Beberapa putusan Cerai talak
mengenai biaya nafkah setelah ikrar talak tidak diputuskan, hal ini
dapat menimbulkan kemungkinan tertentu. Bagi orangtua yang
bertanggung jawab meskipun ikatan perkawinan telah putus akan
tetap memberikan biaya nafkah yang menjadi hak anaknya.
Sedangkan bagi sebagian lain menganggap bahwa putusnya ikatan
perkawinan menyebabkan hilangnya kewajiban orangtua (laki-laki)
terhadap anak. Pada kasus orangtua laki-laki yang tidak mau
memberikan nafkah kepada anak akan menimbulkan kesulitan
ekonomi yang berakibat tidak terjaminnya masa depan anak. Kondisi
ekonomi yang kekurangan dapat menghambat pendidikan anak dan
juga mendatangkan kesulitan bagi ibunya sebagai pemegang hak
asuh. Padahal baik dalam perspektif Undang-undang maupun hukum
Islam orangtua wajib mendidik, membiayai dan menanggung semua
kebutuhan anak.
“Saya sudah beberapa kali mendatangi rumah mantan suami
saya, tapi mantan suami tidak memberikan jawaban apa-apa hanya
berjanji jika punya rejeki akan memberikan uang kepada anaknya.
Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan, saya hanya bisa pasrah
menerima mengingat keadaan suami yang hanya bekerja di pabrik”.
(wawancara langsung dengan pelaku)
Dari semua kasus 7 kasus diantaranya terpenuhi, meskipun ada
beberpa yang hanya berjalan selama beberapa bulan. 5 diantaranya
mengaku dari nafkah yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan
mereka. Namun meskipun begitu mantan suami tidak memberikan
kenaikan. Dari keseluruhan pelaku ada 2 diantaranya yang meskipun
pihak mantan isteri tidak menuntut nafkah tetap memberikan hak
nafkah kepada anaknya dalam hal ini terjadi Sherly Susanti dan
Lailatul Lafifah. Sedangkan yang terjadi pada Budi Rahayu Ari
Rahmawati dan Sri Darmini mereka tidak melakukan upaya apapun
karena menyadari bahwa pihak mantan suami mempunyai
penghasilan yang sangat rendah.
Keseluruhan pelaku yang melakukan upaya tidak ada satupun
yang menempuh jalur hukum. Mereka mengaku tidak tau apa yang
harus dilakukan. Selanjutnya, apabila sejak awal, biaya nafkah tidak
dimintakan oleh ibu pada saat terjadinya pemeriksaan sengketa
perceraian dan kemudian ternyata orang tua laki-laki (ayah) tidak
memberi biaya nafkah anak, maka ibu dapat mengajukan gugatan
biaya nafkah anak terhadap orang tua laki-laki (ayah) ke Pengadilan
Agama yang terpisah dari sengketa perceraian sebelumnya. Tidak
adanya pelaku yang menempuh jalur hukum disebabkan karena
pengetahuan mereka tentang hukum yang sangat rendah. Dengan
demikian, dapat disebutkan bahwa orang tua perempuan atau anak
tidak pernah melakukan upaya hukum untuk memaksa orang tua laki-
laki (ayah) untuk mematuhi isi putusan mengenai biaya nafkah anak
adalah disebabkan minimnya pengetahuan tentang hukum itu sendiri.
2. Mut’ah
Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap
isterinya maka sesuai dengan ketentuan dengan ketentuan Pasal 41
huruf c Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk
memberikan nafkah dan atau menentukan suatu kewajiban kepada
mantan isterinya. Pasal ini menentukan kewajiban dari mantan suami
yang berupa mut’ah, nafkah iddah dan nafkah untuk anak-anaknya
kecuali jika nuyuz. Mut’ah diberikan oleh mantan suami kepada
mantan isteri sebagai akibat dari adanya perceraian, dimana isteri
telah dijatuhi talak. Mut’ah dapat berupa benda/ perhiasan ataupun
uang, besarnya mut’ah disesuaikan berdasarkan kesepakatan atau
berdasarkan kemampuan mantan suami. Mut’ah wajib diberikan jika
perceraian tersebut dilakukan atas kehendak suami.
Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti, mengenai nafkah
mut’ah hanya 6 diantaranya yang terpenuhi, seperti yang terjadi pada
Sherly, Sri Wulandari, Nur Aini, Ari Rahmawati, Lailatul Lafifah dan
Anna Nur Annisa. Sedangkan 4 diantaranya tidak mendapatkan hak
mut’ah sebagaimana mestinya. Namun, hanya Sakdiyah dan Siti Nur
Azizah yang berupaya untuk mendapatkan haknya. Budi Rahayu dan
Sri Darmini lebih memilih untuk menerima sebab mereka mengerti
akan kondisi suaminya yang berpenghasilan pas-pasan. Upaya yang
mereka lakukan hanya mendatangi rumah mantan suaminya tidak
berupaya melalui jalur hukum. Sebagaimana mengenai pemenuhan
hak-hak lain, ketidak tahuan akan prosedur hukum membuat mereka
tidak melakukan gugatan ke pengadilan.
3. Nafkah Madliyah
Dalam hal perceraian yang telah diajukan oleh pihak suami atau
cerai talak, seorang istri berhak untuk memperoleh haknya atas
nafkah Lampau yang belum dibayarkan seorang suami kepada
istrinya atau hak-hak lainnya seperti nafkah anak, nafkah iddah dan
nafkah Mut’ah. Hanya saja hak-hak tersebut harus dimintakan kepada
Majelis Hakim, sehingga para pihak khususnya istri sebagai pihak
Tergugat dalam perkara Cerai talak yang diajukan oleh suaminya
tersebut harus selalu hadir dalam persidangan terutama pada saat
tahap jawaban atas surat Cerai yang diajukan oleh suami. Karena
pada saat jawaban tersebutlah istri dapat menuntut hak-haknya
tersebut. Dari keseluruhan pelaku yang peneliti temukan tidak ada
satupun yang memiliki kewajiban nafkah madliyah
4. Nafkah Iddah
Para ulama menetapkan bahwa iddah adalah wajib bagi isteri
yang telah ditalak. Iddah merupakan masa tunggu atau tenggang
waktu sesuai dengan jatuhnya talak dari suami, dimana pada masa
iddah ini suami boleh melakukan ruju’ kepada isterinya. Sehingga
pada masa ini mantan isteri tidak diperbolehkan melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain. Nafkah iddah yang harus diberikan
kepada mantan isteri berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi menyebutkan
bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib memberikan kepada bekas isterinya:
a. Mut’ah yang layak berupa uang atau barang;
b. Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan
perlengkapan hidup (kiswah);
c. Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;
d. Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun.
Mantan isteri berhak mendapat nafkah selama menjalani
iddahnya sebagai akibat bahwa suami isteri tersebut pernah dalam
ikatan perkawinan. Selama masa iddah seharusnya mantan isteri
tinggal di tempat yang disediakan oleh mantan suami. Isteri dapat
membebaskan kewajiban suaminya apabila isteri nusyuz atau isteri
mengikhlaskannya. Dalam nafkah iddah apabila mantan suami tidak
memberikan haknya mantan isteri dapat mengajukan perkara ke
Pengadilan Agama.
Dari data yang diperoleh selama penelitian, setelah putusnya
ikatan perkawinan antara suami isteri, isteri tidak tinggal di tempat
yang disediakan oleh suaminya tetapi tinggal di rumah orangtuanya.
Menurut peneliti hal ini terjadi kerena hubungan suami isteri yang
kurang baik isteri lebih memilih tinggal di rumah orangtuanya. Hanya
ada 1 diantaranya yang terpenuhi nafkah selama masa iddah yaitu
yang dialami oleh Sri Wulandari. Sri memperoleh nafkah berupa
maskan mapun kiswah, sebab mantan suaminya menyadari bahwa
meskipun mereka bercerai mereka pernah terikat dalam ikatan suci
perkawinan. Nafkah yang diperoleh Sri sudah sesuai dengan
kesepakatan dan kebutuhannnya.
Dalam kasus yang lain para mantan isteri tidak mendapatkan
nafkah selama masa iddah. Menghadapi situasi yang demikian hanya
2 diantaranya yang berupaya agar mereka mendapatkan hak selama
masa iddah, yaitu Sakdiyah dan Siti Nur Azizah namun tidak
membuahkan hasil. Mantan suami mereka hannya memberikan
sedikit tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Sedangkan yang lain
tidak pernah berupaya baik secara langsung maupun melalui jalur
hukum.
Tabel 4.1
Pemenuhan Hak Isteri Pasca Cerai talak
No Nama Hak anak
Hak
Mut’ah
Nafkah
Madhiyah
Nafkah
Iddah
1 Sherly Susanti Dapat Dapat Tidak Tidak
2 Budi Rahayu Dapat Tidak Tidak Tidak
3 Sri Wulandari Dapat Dapat Tidak Tidak
4 Sri Darmini Tidak Tidak Tidak Tidak
5 Sakdiah Tidak Tidak Tidak Tidak
6 Siti Nur
Azizah
Tidak Tidak Tidak Tidak
7 Nur Aini Dapat Dapat Tidak Tidak
8 Ari Rahmawati Dapat Dapat Tidak Tidak
9 Lailatul
Lafifah
Dapat Dapat Tidak Tidak
10 Anna Nur
Annisa
Tidak Dapat Tidak Tidak
Tabel 4.3
Faktor Pendorong Pemenuhan Hak
No Nama Faktor
Ekonomi Menikah
lagi
Psikologi Mantan
Isteri
mampu
1 Sherly Susanti
2 Budi
Rahayu,S.Pd
V
3 Sri Wulandari V
4 Sri Darmini V
5 Sakdiah V
6 Siti Nur
Azizah V
7 Nur Aini V
8 Ari
Rahmawati V
9 Lailatul
Lafifah
10 Anna Nur
Annisa
V
Jumlah 5 1 1 1
Tabel 4.2
Faktor Penghambat Pemenuhan Hak
No Nama Faktor Kesadaran Faktor Tempat tinggal
dekat
1 Sherly Susanti V
2 Budi Rahayu,S.Pd
3 Sri Wulandari
4 Sri Darmini
5 Sakdiah
6 Siti Nur Azizah
7 Nur Aini
8 Ari Rahmawati
9 Lailatul Lafifah V
10 Anna Nur Annisa
Jumlah 1 1
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Penelitian Peneliti dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hak mantan isteri yang harus dipenuhi oleh mantan isteri adalah:
a. Biaya hadhanah
b. Mut’ah
c. Nafkah iddah
d. Nafkah Madhiyah
2. Faktor-faktor yang menghambat mantan suami untuk memberikan hak
nafkah kepada mantan isteri diantaranya:
a. Faktor Ekonomi
b. Faktor menikah Lagi
c. Faktor Psikologi
d. Faktor mantan isteri mampu
Faktor yang mendorong mantan suami untuk memberikan hak
untuk mantan isteri antara lain:
a. Adanya keinginan dan kesadaran penuh dari mantan suami, 1
dari 10 narasumber memberikan nafkah karena kesadaran penuh
dari mantan suami
b. Tempat kediaman mantan suami tidak saling berjauhan 1 dari 10
narasumber memberikan nafkah karena tempat kediaman mantan
suami berdekatan.
3. Upaya yang di lakukan istri untuk mendapatka haknya pasca
permohonan talak adalah dengan:
a. Meminta kepada yang bersangkutan secara langsung mendatangi
rumah mantan suami.
b. Meminta bantuan kepada RT di mana tempat mantan suami
bertempat tinggal
c. Mendatangi pabrik tempat mantan suami bekerja.
B. Saran
1. Bagi Pasangan Suami Isteri
a. Bagi pasangan suami isteri hendaklah menjaga hubungan baik
dan sebisa mungkin menghindari adanya perceraian karena
perceraian tidak hanya berpengaruh bagi kedua pihak tetapi juga
anak-anak mereka.
b. Meskipun telah terjadi perceraian hendaklah mengetahui
tanggung jawab dari masing-masing pihak terkait dengan nafkah
anak.
c. Masyarakat harus lebih mengetahui perkembangan hukum di
Indonesia.
2. Bagi Pengadilan Agama
a. Pengadilan hendaknya memberikan pengarahan pasca sidang
diputuskan agar hak-hak semua pihak dapat terlindungi. Karena
tidak semua masyarakat tau prosedur apabila mantan suami tidak
memberikan nafkah untuk anaknya.
b. Bahwa apabila ternyata dalam proses persidangan talak, baiya
nafkah anak tidak dimintakan oleh mantan isteri, maka Hakim
Pengadilan Agama seyogyanya memberikan saran dan
pengarahan kepada mantan isteri tersebut agar menuntut hak
nafkah. Bahkan jika perlu Pengadilan Agama ke masa depan
harus memutus mengenai biaya nafkah meskipun tidak
dimintakan dalam proses persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Makmur. 2010. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung:
Alfabeta
Ash-Sidiqi, Hasby. 1991. Hukum-Hukum Fikih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Asqalani, Ibnu Hajar. 1992. Bulaghul Maram Min Adillatil Ahkam, Penerjemah;
Dani Hidayat. Tasikmalaya: Pustaka Al Hidayah.
Aziz, Dahlan Abdul. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve
Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Ghozali, Abdurrahman. 2006. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni
Jauhari, Imam. 2003. Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
Bangsa
Moleong. Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya
Muchtar, Kamal. 1974. Asas-asasHukum Islam Tentang Perkawinan Cet-I.
Jakarta Bulan Bintang
Rasjid, Sulaiman. 1945. Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyah
Rofik, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia cet-III. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sabiq, Sayyid. 1996. Fiqih Sunnah. Jakarta: Al-Maarif
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. Tanpa tahun. Shahih Fiqih Sunnah, Surabaya:
Al-Maktabah.
Jamaludin, SH.M.Hum.Nanda Amalia,S.H.M.Hum.Buku ajar hukum perkawinan
.2016 Unimal pres
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Khoirul Amri
Tempat, tanggal lahir : Salatiga, 7 Maret 1993
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kalilondo, Sidorejo Kidul, Salatiga
Nama ayah : Mukri
Nama Ibu : Munjayatun
Riwayat Pendidikan
1. SD Sidorejo Kidul 02
2. SMP N 8 Salatiga
3. SMA Islam Plus Bina Insani,Baran, Ketapang, Susukan Kab Semarang