dari tafsir ke pemaknaan hukum studi penafsiran abdul

44
DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul Hamid Hakim Tentang Perluasan Makna Ahli Kitab dan Implikasinya Terhadap Argumentasi Perkawinan Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab Nasrullah Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FIAI UNISI Tembilahan-Riau e-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini mendiskusikan suatu pendapat yang cukup kontroversial dalam konteks keulamaan di Nusantara pada akhir abad 20. Pendapat itu dikemukakaan oleh Abdul Hamid Hakim dari Padang Panjang Sumatera Barat tentang penafsiran perluasan makna ahli kitab dalam al- Qur’an yang berdampak pada signifikansi hukum. Menurut Hakim, konsep ahli kitab dapat ditafsirkan secara lebih luas dari hanya sekedar makna klasik yang merujuk pada Yahudi dan Nasrani an sich. Namun bisa dicakupkan pada agama selain dua di atas dalam koridor syibh/serupa ahli kitab seperti Majuzi, Shabi’in, Budha, Hindu dan sebagainya. Dari segi corak pendapat mengenai batasan makna ahli kitab, Hakim tergolong pada golongan yang apresiatif dan inklusif dalam memaknainya. Dalam konteks inilah lalu cakupan luas itu berdampak pada aspek hukum, khususnya mengenai perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab dari golongan agama yang diperluas tersebut. Hakim berkesimpulan bahwa sepanjang perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab dan bukan sebaliknya, berdasarkan ayat ke 5 dari surat al-Maidah yang men- takhsish keumuman larangan menikahi wanita musyrikat dalam surat al-Baqarah ayat 221, maka bisa dibenarkan dengan alasan tertentu yang ketat. Alasan perkawinan menjadi dibenarkan jika suami muslim bisa menarik sang istri kepada agamanya dan mendidik istrinya tersebut sebagaimana pengalaman yang dilakukan beberapa

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul Hamid Hakim Tentang Perluasan Makna Ahli

Kitab dan Implikasinya Terhadap Argumentasi Perkawinan Muslim

Dengan Wanita Ahli Kitab

Nasrullah

Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FIAI UNISI Tembilahan-Riau

e-mail: [email protected]

Abstrak

Artikel ini mendiskusikan suatu pendapat yang cukup

kontroversial dalam konteks keulamaan di Nusantara pada

akhir abad 20. Pendapat itu dikemukakaan oleh Abdul

Hamid Hakim dari Padang Panjang Sumatera Barat

tentang penafsiran perluasan makna ahli kitab dalam al-

Qur’an yang berdampak pada signifikansi hukum. Menurut

Hakim, konsep ahli kitab dapat ditafsirkan secara lebih

luas dari hanya sekedar makna klasik yang merujuk pada

Yahudi dan Nasrani an sich. Namun bisa dicakupkan pada

agama selain dua di atas dalam koridor syibh/serupa ahli

kitab seperti Majuzi, Shabi’in, Budha, Hindu dan

sebagainya. Dari segi corak pendapat mengenai batasan

makna ahli kitab, Hakim tergolong pada golongan yang

apresiatif dan inklusif dalam memaknainya. Dalam konteks

inilah lalu cakupan luas itu berdampak pada aspek hukum,

khususnya mengenai perkawinan muslim dengan wanita

ahli kitab dari golongan agama yang diperluas tersebut.

Hakim berkesimpulan bahwa sepanjang perkawinan

muslim dengan wanita ahli kitab dan bukan sebaliknya,

berdasarkan ayat ke 5 dari surat al-Maidah yang men-

takhsish keumuman larangan menikahi wanita musyrikat

dalam surat al-Baqarah ayat 221, maka bisa dibenarkan

dengan alasan tertentu yang ketat. Alasan perkawinan

menjadi dibenarkan jika suami muslim bisa menarik sang

istri kepada agamanya dan mendidik istrinya tersebut

sebagaimana pengalaman yang dilakukan beberapa

Page 2: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

2 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

sahabat Nabi. Namun jika sebaliknya, sang suami

terancam dengan keimanannya maka perkawinan itu demi

hifz ad-din dan menampik mafsadat dalam teori kaidah

fiqih dan ushul fiqih, maka perkawinan itu pun demi hukum

dilarang/diharamkan.

Kata Kunci: Penafsiran, Ahli Kitab, Muslim, Wanita,

Perkawinan

A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang merupakan kumpulan

firman-firman Allah yang telah diturunkan pada Nabi Muhamad SAW.

Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi

pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh

kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat

direalisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-

petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan

konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terperinci, yang

eksplisit maupun yang implisit.1

Dari sekian banyak konsep yang terdapat dalam al-Qur’an,

menurut Nurcholish Madjid,2 terdapat salah satu konsep ajaran Islam

yang sangat khas, yaitu konsep tentang para pengikut kitab suci atau

ahli kitab.3 Konsep ini dalam pemaknaan operasionalnya dipahami

1 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis

dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan bintang, 1994), hlm. 1. 2 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan

Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 59 . 3 Al-Qur’an menyebut istilah ahli kitab sebanyak 31 ayat. Untuk lebih detail

lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-

Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H / 1987), hlm. 95-96.

Page 3: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 3

Nasrullah

sebagai sebuah sikap yang memberi pengakuan tertentu pada penganut

agama lain yang memiliki kitab suci. Termasuk di antara pengakuan itu

ialah mengakui akan hak-hak komunitas ahli kitab untuk menjalankan

syari’at dan toleransi hubungan sosial dengan mereka. Konsep ini

diakui oleh Criyl Glasse sebagai konsep yang pertama dan belum

pernah ada sebelum kedatangan Islam.4

Konsep ahli kitab dan permasalahannya cukup banyak diungkap

dan eksplorasi dalam al-Qur’an. Islam sebagai agama yang datang

sesudah kemunculan agama-agama Ibrahim atau semitik, sudah barang

tentu harus mempunyai suatu konsep kerukunan dan toleransi dalam hal

berinteraksi dengan agama-agama sebelumnya. Sebab Islam tidak hadir

sebagai realitas tunggal dan ekslusif dalam aras interaksi sosial. Secara

umum, Yahudi dan Nasrani adalah dua komunitas agama yang

termasuk ke dalam cakupan terma ahli kitab ini. Dua komunitas agama

tersebut diakui memiliki persambungan aqidah dengan kaum muslimin,

sebab berasal dalam rumpun agama semitik atau agama Ibrahim

sebagaimana telah disebutkan di atas.

Fazlur Rahman,5 seorang intelektual muslim yang disegani dalam

blantika studi Islam mengatakan, bahwa inti pesan yang dibawa Islam

pada hakekatnya sama dengan rangkaian pesan yang disampaikan oleh

Nabi-nabi terdahulu.6 Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Allah sendiri

4 Criyl Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, alih bahasa Ghufron A. Mas’udi,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 15. 5 Fazlur Rahman, “Sikap Islam terhadap Yahudi”, dalam Mochtar Pabottinggi

(ed.), Islam Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1986), hlm. 171. 6 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 87.

Page 4: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

4 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

telah menegaskan, bahwa diturunkannya al-Qur’an sebagai kitab suci

berfungsi “membenarkan” terhadap sebagian ajaran Taurat dan Injil

serta “mengoreksi” sebagian ajaran lainnya.7 Pada awal perkembangan

Islam, terma ahil kitab selalu menunjuk kepada dua komunitas agama

Yahudi dan Nasrani.8 Akan tetapi dalam perkembangan sejarah

keummatan muncul perbedaan pendapat akan makna dan cakupan ahli

kitab tersebut.

Perdebatan para ulama terlihat dalam pembahasan tentang apakah

ahli kitab hanya terbatas interpretasinya pada dua komunitas agama di

atas atau tidak. Ataukah interpretasinya lebih meluas cakupannya

kepada beberapa agama yang kitab sucinya “diduga keras” berasal juga

dari Tuhan, dan diakui sebagaimana agama samawi dan disamakan

seperti ahli kitab. Perbedaan penafsiran antara ulama tafsir maupun

ulama fiqih tentang makna dan cakupan ahli kitab menjadi semakin

bervariasi dan bersifat multi interpretasi.

Menurut hemat penulis, perdebatan pertama mengenai ahli kitab

biasanya diperselisihkan mengenai tentang batasan cakupannya. Pada

konteks ini, perbedaan disebabkan oleh kecenderungan pemakaian

metode dalam penggunaan interpretasi yang berbeda. Yakni,

kecenderungan di satu sisi yang lebih menitikberatkan kepada

pemahaman yang bersifat tekstual-normatif dan di sisi lain kepada

pemahaman yang bersifat interpretasi historis-kontekstual. Pada tataran

pedebatan berikutnya barulah merambat pada kontroversi tentang

kebolehan memakan makananan ahli kitab dan kebolehan orang

7 Lihat Ali ‘Imran )3): 3, al- (5) : 48, dan al-An’am (6) : 92. 8 Lihat al-Ankabut (29) : 46.

Page 5: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 5

Nasrullah

muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab, sebagaiman sudah

maklum dalam disiplin fikih.

Ulama-ulama klasik umumnya, berpegang pada pemahaman

tekstual dari makna ahl kitab yang hanya memaknai dua komunitas

agama di atas, atau hanya beranjak pada penafsiran tambahan dengan

memasukkan agama Majusi dan Sabi’in. Pemahaman tekstual klasik ini

pada perkembangannya sampai saat ini berdampak kepada pandangan

ulama dan umat Islam terhadap ahli kitab menjadi eksklusif. Fakta ini

dikuatkan oleh pernyataan Alwi Shihab yang mengatakan bahwa,

sangat jarang para mufassir yang mengapresiasi konsep ini secara

positif.9 Dalam pengamatannya, bahwa pandangan positif tentang ahli

kitab dalam literatur tafsir yang diapresiasi masih sangat terbatas secara

kuantitatif. Ia hanya menyebut ada tiga kitab tafsir; yakni al-Manar

karya bersama dua modernis Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid

Muhammad Rasyid Ridha, al-Mizan karya Muhammad Husein at-

Thabathaba’i, dan al-Mubin karya Jawad Mugniah. Dengan ditemukan

data demikian maka menjadi hal yang wajar jika ulama klasik dan umat

Islam pada umumnya memiliki pandangan eksklusif terhadap

komunitas ahli kitab ini.

Pandangan muslim yang ekslusif pada kenyataan faktual dan

empiris dalam relasi sosial beragama nampaknya tidak cukup kuat

untuk membangun fondasi sebuah konstruk paradigma hidup dalam

pluralitas agama sebagaimana halnya dalam konteks keindonesiaan.

Padahal kalau kita menyadari secara lebih dalam, realitas pluralitas itu

9 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,

(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 57.

Page 6: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

6 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

adalah bagian dari sebuah keniscayaan atau sunnatullah, termasuk

dalam hal ini adalah pluralitas agama.

Oleh karena itu, untuk memperkuat basis hidup dalam suasana

plural itu diperlukan suatu “paradigma baru” yang konstruktif dengan

dilandasi tentunya oleh semangat al-Qur’an yang lapang untuk

memahami konsep ahli kitab secara luas. Dalam pandangan ini, masih

ada kemungkinan untuk mengkaji ulang dan mendiskusikan terma ahli

kitab tidak hanya terbatas kepada kedua agama semitik tersebut, tetapi

menjangkau agama di luarnya bahkan sampai kepada agama yang

diyakini “diduga kuat” mempunyai kitab suci.10 Dengan demikian,

makna ahli kitab yang diperluas dan diapresiasi dengan baik dan lebih

positif merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dikaji ulang,

apalagi di Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi

dalam bidang sosial, budaya, politik dan agama.11

Salah satu diskursus menarik tentang ahli kitab ditawarkan oleh

Abdul Hamid Hakim12 (selanjutnya disebut Hakim), yang

mengelaborasi perluasan makna ahli kitab dan sekaligus mengapresiasi

posisi ahli al-kitab secara cukup luas, di tengah banyaknya interpretasi

10 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,

(Bandung: Pustaka, 1983), hlm.239. 11 Komaruddin Hidayat, ”Membangun Teologi Dialogis dan Inklusivistik”,

dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi

Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia, 1998), hlm. 3. 12 Ia dikenal dengan gelar Angku-Mudo (Tuan Muda). Gelar ini sebagai

penghormatan karena kealimannya.Gelar ini diberikan oleh gurunya yaitu Syeikh

Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka, ketika ia menjadi muridnya di Surau

Jembatan Besi di Padang Panjang dan Maninjau serta sewaktu menjadi guru di

Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Hakim dikenal sebagai pembaharu

yang tergabung dalam golongan Kaum Mudo yang berpikiran progresif. Lihat Hamka,

Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama

di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 252.

Page 7: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 7

Nasrullah

yang ekslusif dan dampaknya berlanjut dalam aspek hukum Islam, di

antaranya mengenai hukum perkawinan muslim dengan wanita ahli

kitab.

Dalam konteks keulamaan di Indonesia ini, pendapat Hakim ini

dapat kita nilai cukup mengundang kontroversi dan melawan “arus

besar” pendapat ulama-ulama mazhab. Akan tetapi walaupun seperti

itu, sebuah pendapat atau ijtihad mesti harus ditempatkan sebagai

sebuah produk hukum yang berada dalam ruang relatifitas dan

membuka kesempatan untuk berbeda pendapat. Atas dasar itu

Pemikiran Hakim ini cukup penting untuk dikaji, paling tidak sebagai

media “perbandingan” untuk disandingkan pada pendapat-pendapat

konvensional. Oleh karena itu membahas pemikiran Hakim dalam

konteks ini, paling tidak ada dua manfaat yang bisa diambil. Pertama,

mengapresiasi salah satu pemikiran yang lebih luas pemaknaannya

terhadap ahli kitab di mana dalam literatur ulama salaf sulit ditemukan,

karena kecenderungan penafsiran saat itu yang masih bertumpu pada

metode yang bersifat teksual-normatif. Kedua, sekaligus apresiasi

terhadap ulama Nusantara, yang salah satunya adalah Hakim sebagai

ulama dan pengarang yang produktif, di mana karya-karyanya banyak

dipelajari di berbagai sekolah dan pesantren hingga saat ini

B. Sketsa Biografi Abdul Hamid Hakim

Abdul Hamid Hakim, dilahirkan pada tahun 1893, di sebuah desa

yang bernama Sumpur, di tepi Danau Singkarak, Sumatera Barat.

Ayahnya bernama Abdul Hakim, berprofesi sebagai pedagang di kota

Padang, dan ibunya bernama Cari. Hakim adalah anak ketiga dari enam

Page 8: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

8 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

bersaudara. Kakaknya yang tertua bernama Muhammad Nur, yang

kedua adalah Husein. Adapun adik-adiknya antara lain bernama Hasan,

Halimah dan Sofya.13

Masa kecilnya dilewatkan di kota Padang, karena sang ayah

bekerja sebagai pedagang di kota tersebut. Di kota ini pula ia sempat

menamatkan sekolah tingkat dasarnya. Setelah menamatkan

pendidikan dasar, ia kembali ke kampungnya untuk melanjutkan

pendidikan di suatu madrasah yang khusus mempelajari al-Qur’an.

Setelah berhasil menamatkan madrasah di kampungnya, pada tahun

1908 ia berangkat ke daerah Sungayang, Batu Sangkar untuk belajar

berbagai ilmu dasar agama seperti; nahwu, sharaf, fiqih, tauhid, tafsir

dan hadis kepada Haji Muhammad Thaib Umar, salah seorang tokoh

pembaharu di Minangkabau yang termasuk golongan kaum mudo.

Lembaga pendidikan di Minangkabau waktu itu yang lazimnya

disebut surau, yang dikelola oleh Thaib Umar ini merupakan salah satu

lembaga pendidikan yang telah melakukan semacam perubahan materi

dan metode pengajaran ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu keagamaan dari

corak lama ke corak yang lebih baru (terutama dalam penambahan

variasi kitab-kitab yang diajarkan) di Sumatera Barat.14 Hakim di surau

ini tercatat hanya menempuh studi selama dua tahun. Namun, berkat

ketekunan dan kecerdasannya, dalam waktu yang relatif singkat, ia

telah dianggap cukup mengenali dan memahami ilmu-ilmu alat dan

keagamaan dari berbagai kitab yang diajarkan gurunya itu.

13 Sanusi Latief, (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar

Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre, 1988), hlm. 199. 14 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Hidakarya Agung, 1996), hlm. 142.

Page 9: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 9

Nasrullah

Setelah belajar selama dua tahun kepada Thaib Umar, pada tahun

1910, Hakim melanjutkan studinya ke Sungai Batang di daerah

Maninjau untuk belajar kepada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji

Rasul), tokoh ulama kaum mudo yang terkenal berwatak keras dan

tanpa kompromi, terutama dengan kalangan adat. Sebagai murid yang

disayangi oleh sang guru, ia kemudian mengikuti Haji Rasul ketika dua

tahun kemudian yakni pada tahun 1912, sang guru pindah ke kota

Padang atas permintaan dari sahabatnya Abdullah Ahmad, untuk

membantu mengelola majalah al-Munir, yang merupakan salah satu

jurnal tempat para pembaharu menuangkan ide dan pemikiran mereka.

Ketika sang guru kemudian pindah lagi ke Padang Panjang pada tahun

1914, artinya dua tahun kemudian, karena diminta masyarakat kembali

untuk mengelola kembali pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang

merupakan cikal-bakal dari lembaga pendidikan Sumatera Thawalib,

dengan setia ia juga mengikuti gurunya tersebut.15

Melalui bimbingan dan disiplin keilmuan yang diterapkan Haji

Rasul, terutama pada saat sang guru menekuni pengajian di Surau

Jembatan Besi, ia belajar lebih intensif dan sistematis, sejalan dengan

upaya sang guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi murid-

muridnya yang semakin hari semakin bertambah. Usaha tersebut

ditandai dengan merubah sistem pengajian dari halaqah menjadi sistem

klasikal pada tahun 1916 dengan dibukanya suatu lembaga pendidikan

yang bernama Perguruan Sumatera Thawalib.

15 Lihat Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 200.

Page 10: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

10 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

Selama belajar dengan Haji Rasul, ia tidak saja mendalami

kembali (muraja’ah) kitab-kitab yang pernah dipelajarinya dengan

Thaib Umar, melainkan juga dari kitab-kitab yang berfaham moderen

dan rasional, seperti kitab Risalah at-Tauhid karya Muhammad

Abduh.16 Kitab lain yang tidak kalah penting yang dipelajari olehnya

adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan muridnya

Rasyid Ridha, yang merupakan kitab tafsir yang memberi inspirasi

pemahaman al-Qur’an sesuai dengan semangat moderen.17

Dari semua disiplin ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari Hakim,

nampaknya ia lebih tertarik dan memfokuskan diri dalam spesialisasi

bidang fiqh dan ushul fiqih. Hal ini dibuktikan dengan persentase dari

buku-buku karangannya yang bisa dikatakan lebih banyak dalam kedua

bidang di atas, walaupun ia juga ada menulis karangan dalam bidang

akhlak. Selain belajar dengan Haji Rasul sendiri, ia juga diketahui

mempelajari kitab-kitab lain secara mandiri atau otodidak, mengingat

penguasaan ilmu alat dan wawasan ilmu-ilmu keagamaan yang ia

kuasai sehingga memudahkannya mengakses materi-materi kitab

apapun.

16 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,

(Jakarta: UII Pres, 1997), hlm. 94.

17 Pemikiran kedua guru dan murid ini mempengaruhi banyak gerakan

pembaharuan di dunia Islam pada awal abad 20 ini. Buku tafsir yang banyak berasal

dari tulisan-tulisan dari majalah al-Manar ini telah mewarnai khazanah penafsiran al-

Quran dengan coraknya Adab al-Ijtima’i, lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam

Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 71.

Bandingkan dengan Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim: Suatu

Studi tentang Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi doktor IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, hlm. 65.

Page 11: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 11

Nasrullah

Berkat kecerdasannya, yang diiringi dengan kesungguhan dan

minat baca yang luar biasa, Hakim tidak hanya mampu menguasai

materi pelajaran yang diajarkan gurunya, melainkan juga

mengembangkannya secara mandiri. Maka tidak mengherankan

pengetahuannya menjadi dalam dan luas. Karena itu ia pun dipercaya

Haji Rasul menjadi guru pengganti beliau, dan namanya pun semakin

dikenal di kalangan murid-murid sang guru. Oleh karena reputasi

keilmuan dan akhlaknya yang luhur, dalam suatu pertemuan di Pasa

Gadang, Padang Panjang, Haji Rasul memberi murid kesayangannya

itu gelar kehormatan yang disandangnya sampai ia wafat dengan

sebutan Angku Mudo.18

Profesinya sebagai guru bantu di Surau Jembatan Besi

selanjutnya telah mengantarkannya menjadi pendamping setia gurunya

dalam lembaga pendidikan Sumatera Thawalib yang didirikan Haji

Rasul pada tahun 1918. Lembaga pendidikan yang ditranformasi dari

Surau Jembatan Besi ini, menempatkannya sebagai wakil kepala,

mendampingi Haji Rasul sebagai kepala sekolah. Ketika Haji Rasul

meyatakan non-aktif dari jabatan kepala tahun 1922, karena terdapat

gejolak internal Thawalib yang tidak disenanginya, dengan isu

masuknya paham komunis,19 maka dia lah yang menggantikan posisi

tersebut sebagai pejabat kepala. Barulah kemudian pada tahun 1926,

ketika Haji Rasul meyatakan resmi mundur dari Thawalib, sang murid

18 Ibid. Lihat Sanusi Latief (ed.), Riwayat Hidup, hlm. 202.

19 Di antara tokoh-tokoh yang “diduga” menganut ideologi paham komunis

adalah Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, Lihat Burhanuddin Daya, Gerakan

Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1995), hlm. 245.

Page 12: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

12 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

kesayangan inilah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap

perguruan.

Aktivitas mengajarnya, selain Thawalib, ia juga tercatat mengajar

di lembaga Diniyah School pimpinan Zainuddin Labai dan di Diniyah

Puteri yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyah. Selain itu, ia juga

dipercaya menjadi salah seorang penguji akhir pada perguruan-

perguruan cabang Thawalib yang berada dan tersebar di daerah-daerah

Sumatera Barat dan sekitarnya, dan juga mengajar di sekolah

Kulliyyatul Muballighin yang didirikan oleh organisasi

Muhammadiyah di Padang Panjang dalam mata pelajaran fiqih dan

ushul fiqih. Tidak ketinggalan kesibukannya ditambah mengajar

agama di sekolah Normal School untuk pemerintah, namun tugas ini

akhirnya ia serahkan kepada muridnya, Zainal Abidin Ahmad.20 Dalam

dunia perguruan tinggi, kiprah aktifitas mengajar pun dijalaninya. Ia

dipercaya menjadi salah seorang dosen sekaligus diamanahi sebagai

Wakil Rektor di Universitas Dar al-Hikmah yang didirikan pada tahun

1953, dengan Rektornya kala itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek.

Universitas ini pertama kali diresmikan oleh Menteri Agama saat itu,

K.H.M. Ilyas. 21

Dunia tulis menulis sebagai curah intelektual dan keulamaan,

juga telah lama ditekuni Hakim, terutama pada waktu dipercaya sebagai

wakil redaktur (muharrir) majalah al-Munir al-Manar, yang banyak

disebut sebagai kelanjutan dari majalah atau jurnal al-Munir yang sudah

tidak terbit lagi. Majalah ini dipimpin oleh Zainuddin Labai. Tulisan-

20 Sanusi Latief, Riwayat Hidup, hlm. 202.

21 Ibid., hlm. 203.

Page 13: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 13

Nasrullah

tulisannya sering dimuat di majalah ini, terutama menyangkut

persoalan ushul fiqih, fiqih dan akhlaq. Di samping menulis untuk

majalah atau jurnal, ia juga sangat menekuni dalam menulis buku-buku

yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab yang kesemuanya dipakai di

berbagai Perguruan Thawalib, bahkan dipakai juga hingga sekarang

dibanyak sekolah-sekolah, madrasah dan pesantren di Indonesia dan

juga sampai ke wilayah negara Asia Tenggara lainnya.22

Di antara karya-karyanya tersebut adalah: trilogi buku ushul fiqih

dan qawa’id fiqihnya, Mabadi’ ‘Awwaliyyah, as-Sullam, dan al-Bayan,

buku dalam bidang fiqih al-Mu’in al-Mubin (4 jilid), buku dalam

bidang akhlak Tahzib al-Akhlaq (3 jilid), dan buku syarah dari kitab

fiqih perbandingan Bidayah al-Mujtahid yang berjudul al-Hidayah ila

ma Yanbaghi min az-Ziyadah ‘ala al-Bidayah. Namun menurut data

yang dapat diketahui, buku karyanya yang terakhir ini tidak sempat ia

selesaikan, karena kondisi Hakim yang sudah mengalami kondisi sakit

yang berujung pada wafatnya pada hari Senin tanggal 13 Juli 1959 M,

atau tepatnya pada tanggal 7 Muharram 1379 H di Padang Panjang

dalam usia sekitar 66 tahun.23

C. Pengertian Teks dan Konteks Tentang Ahli Kitab

Sebelum menguraikan tentang berbagai pendapat para ulama

tentang ahli kitab, terlebih dahulu akan dijelaskan terma istilah tersebut

tersebut secara terpisah, yaitu antara kata ahli dan kitab. Kata ahli

22 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-

tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),, hlm. 145. 23 Isnawati Rais, “Pemikiran Fikih”, hlm. 77, dan Sanusi Latief, Riwayat

Hidup, hlm. 206.

Page 14: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

14 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

terdiri dari tiga huruf alif, ha dan lam yang secara literal mengandung

pengertian; ramah, senang atau suka24. Kata ahli juga mempunyai arti;

keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah rumah tangga.25 Selain itu

digunakan juga untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai

hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan ahl ar-rajul, yaitu orang

yang menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab maupun

agama, atau hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis dan

komunitas.26 Kata ahli juga dapat disebut sebagai keluarga yang masih

mempunyai hubungan nasab, seperti ungkapan ahl al-bait, yaitu

sebutan yang digunakan terhadap orang yang masih mempunyai

hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah putri

Nabi Muhammad SAW.

Kata ahli dalam al-Qur’an digunakan secara bervariasi yang

disebutkan sebanyak 125 kali.27 Misalnya menunjuk kepada suatu

kelompok tertentu, seperti ahl al-bait (al-Ahzab (33): 33), yang

ditunjukkan kepada keluarga Nabi Muhammad SAW. Kata ahli juga

menunjuk pada suatu penduduk (al-Qashash} (28): 45), keluarga (Hud

(11): 40) dan juga ditujukan terhadap suatu kelompok masyarakat yang

menganut paham dan ajaran tertentu (al-Baqarah (2): 105).

24 Kata “ahli” dalam bahasa Arab sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia

menjadi, mengandung dua pengertian; 1) orang yang mahir (paham sekali dalam suatu

ilmu atau kepandaian), dan ke 2) kaum, keluarga atau sanak saudara maupun orang

yang termasuk dalam suatu golongan. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 11. 25 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok

Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 49. 26 Ar-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 25. 27 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras , hlm. 121-123.

Page 15: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 15

Nasrullah

Mengenai kata kitab yang terdiri dari huruf kaf, ta’ dan ba’, secara

literal mempunyai arti buku atau surat.28 Kata kitab juga dapat diartikan

sebagai tulisan atau rangkaian dari berbagai lafaz. Oleh karena itu maka

firman Allah29 yang diturunkan kepada rasul-Nya dapat dikatakan,

sebagai Kitab (baca: Kitabullah atau Al-Kitab), karena terdapat

rangkaian atau himpunan dari beberapa lafaz. Al-Qur’an memakai

terma ahli kitab dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 31930

kali dengan memiliki pengertian yang bervariasi dengan meliputi

makna tulisan kitab, ketentuan, dan kewajiban.31 Adapun kata al-kitab

yang menunjuk kepada kitab suci yang diturunkan Allah dalam

penggunaannya terkesan bersifat umum. Dengan demikian berarti

menunjukkan kepada semua yang diturunkan Allah, baik kitab suci

yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa maupun kitab

suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.32

Berdasarkan pejelasan tentang makna dan terma ahli kitab yang

diuraikan secara terpisah tersebut, kiranya secara umum makna terma

ahli kitab tersebut bila digabung manjadi satu, maka dapat dipahamai

dengan berbagai pengertian di antaranya; orang yang ahli kitab, sebutan

bagi Bani Nazhir dari kaum Yahudi dan Nasrani, orang Masehi33

(Nasrani) para pengikut kitab suci, atau orang yang berpegang pada

28 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1275. 29 Lihat al-Baqarah (2): 282. 30 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam, hlm. 591-595. 31 Ar-Raghib al-Asfihani, Mu’jam, hlm. 440-445. 32 Lihat misalnya al-Baqarah (2): 53 dan al-Isra’ (17): 2. 33 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arkola, 1994), hlm. 12.

Page 16: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

16 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

kitab suci, atau orang yang berpegang pada kitab suci selain al-

Qur’an.34

Dengan istilah lain, ahli kitab adalah sebutan bagi orang-orang

yang berpegang kepada agama yang mempunyai kitab suci yang berasal

dari Tuhan.35 Secara mudahnya, terma ahli kitab ini mengacu kepada

pengertian agama yang ditujukan kepada komunitas atau kelompok

pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang telah diwahyukan Allah

SWT. kepada Nabi dan Rasul-Nya secara umum.

D. Berbagai Varian Batasan Ahli Kitab Menurut Para Ulama

Pada umumnya para ulama telah sepakat dalam masalah ini,

bahwa yang termasuk dalam kategori ahli kitab adalah komunitas

Yahudi dan Nasrani. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam

memahami, adakah kaum ahli kitab, selain dari dua komunitas tersebut.

Setelah mengalami perkembangan dalam hal penafsiran tentang ahli

kitab, para ulama banyak mengalami perbedaan dalam menafsirkan

konsep tersebut dengan berbagai argumentasi yang diajukan, terutama

mereka berbeda dalam menafsirkan surat al-Maidah (5):5, yang

menjelaskan boleh tidaknya memakan sembelihan ahli kitab dan

mengawini wanita-wanita mereka yang memelihara kehormatannya

(muhshanat), juga dalam menafsirkan tentang cakupan dan rincian

tentang golongan ahli kitab selain dua kaum Yahudi dan Nasrani.

34 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar, hlm. 11. 35 Harun Nasution (ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,

1992), jilid I, hlm.75.

Page 17: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 17

Nasrullah

Pada awal perkembangan Islam, terma ahli kitab digunakan untuk

menunjuk kaum yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Selain

kedua agama tersebut, misalnya kaum Majusi, tidak disebut sebagai ahli

kitab, walaupun pada masa Rasul dan sahabatnya agama tersebut sudah

dikenal. Akan tetapi walaupun tidak disebut sebagai ahli kitab, Nabi

Muhammad SAW. menganjurkan untuk memperlakukan kaum Majuzi

(Zoroaster) sebagaimana memperlakukan layaknya kaum ahli kitab.36

Kemudian pada masa tabi’in, sebutan untuk ahli kitab, terutama

dalam masalah cakupan, rincian, dan batasan siapa saja yang disebut

mulai mengalami perkembangan pemaknaan. Imam Asy-Syafi'i (W.

204 H) dalam kitabnya al-Umm, menerima riwayat yang disebutkan,

bahwa Atha’ (tabi’in) berkata: “Orang Kristen Arab bukan termasuk

ahli kitab. Kaum yang disebut ahli kitab adalah kaum Israel (Bani

Israel), yakni orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat

dan Injil”. Adapun orang lain (selain dari Bani israel) yang memeluk

agama Yahudi dan Nasrani, mereka bukan termasuk golongan ahli

kitab. Definisi ini didukung oleh ayat al-Qur’an yang menyebutkan,

bahwa Nabi Isa adalah Rasul khusus untuk Bani Israel (as}-Shaffat

(61): 6). Ayat ini juga mengisyaratkan terbatasnya apa yang dibawa

oleh Nabi Isa hingga datangnya Nabi Muhammmad SAW. Dengan

demikian Imam Asy-Syafii memahami ahli kitab sebagai komunitas

etnis, bukan sebagai komunitas agama yang dibawa oleh Nabi Musa

dan Nabi Isa.

36 Lihat uraian “Kata Pengantar” Nurcholish Madjid dalam Komaruddin

Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta:

Gramedia, 2001), hlm. Xxx.

Page 18: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

18 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

Bagi imam ath-Thabari, ahli kitab adalah pemeluk agama Yahudi

dan Nasrani dari keturunan manapun dan siapapun mereka, baik dari

keturunan bangsa Israel maupun bukan dari bangsa Israel.37 Adapun

Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiah lainnya menyatakan bahwa

yang disebut ahli kitab adalah siapapun yang mempercayai salah

seorang nabi atau kitab suci yang pernah diturunkan Allah SWT, tidak

terbatas pada kelompok Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian bila ada

yang percaya kepada shuhuf Ibrahim atau kitab Zabur, maka ia pun

termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab ini.38Selain pendapat

di atas, sebagian ulama Salaf menyatakan, bahwa setiap umat yang

"diduga kuat" memiliki kitab suci dapat dianggap sebagai ahli kitab,

seperti halnya orang-orang yang beragama Majuzi.39

Asy-Syahrastani dalam menggolongkan termasuk atau tidaknya

suatu komunitas disebut ahli kitab, ia terlebih dahulu membagi tipologi

ke dalam dua golongan berdasarkan parameter kitab suci yang terdapat

dalam suatu komunitas agama. Pertama, bahwa pemeluk agama

Yahudi dan Nasrani yang secara jelas memiliki kitab suci yang

muhaqqaq disebut dengan ahli kitab. Kedua, mereka yang memiliki

serupa (syibh) kitab suci namun mereka tidak termasuk ahli kitab, akan

tetapi disebut sebagai syibh ahl al-kitab.40 Sedangkan Ibnu Hazm

memahami terma ahli kitab hampir sama dengan yang dikemukakan

37 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), Jilid III, hlm. 321. 38 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 367. 39 Ibid. 40 Asy-Syahrastani , al- Milal wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 209.

Page 19: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 19

Nasrullah

oleh ulama Salaf, tetapi Ibnu Hazm mengatakan, bahwa kaum Majuzi

termasuk dalam kelompok ahli kitab.41

Al-Qasimi mengemukakan, arti dari terma ahli kitab hampir sama

dengan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, namun al-Qasimi

memasukkan etnis selain Bani Israel yang menganut agama Yahudi dan

Nasrani ke dalam terma ahli kitab, sampai diutusnya Rasulullah SAW.42

Penafsiran terma ahli kitab yang dilakukan oleh sebagian ulama,

terutama ulama kontemporer mengalami perkembangan yang lebih

luas, sehingga mencakup penganut agama lain yakni sepert Majuzi,

Sabi'in, Hindu, Budha dan Shinto. Semua itu termasuk dalam cakupan

ahli kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali

yang menegaskan bahwa kaum yang menganut agama Majuzi, Sabiin,

Hindu dan Budha termasuk dalam golongan ahli kitab. Walaupun

agama-agama itu diklaim sudah berbau syirik, namun, para pemeluk

agama tersebut harus diperlakukan seperti ahli kitab bukan sebagai

kaum musyrik.43

Dengan demikian, pemeluk agama yang ada sekarang,

menurutnya termasuk selain Yahudi dan Nasrani, dapat dikatakan

bahwa ajaran mereka dan kitab suci yang dipegang, adalah wahyu yang

diturunkan kepada nabi dan rasul terdahulu, namun ajaran dan kitab

suci mereka mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan

zamannya. Bahkan agama Nasrani yang jaraknya tidak begitu jauh

41 Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) jilid VI, hlm. 445. 42 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Kairo: Isa Babi al-

Halabi, 1377 H/1958M), jilid VI, hlm. 1863. 43 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, alih bahasa R. Kaelan dan H.M.

Bachrun, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1977), hlm. 412.

Page 20: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

20 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pun telah

mengalami perubahan.

Ath-Thabatabai menyatakan, bahwa penggunaan terma ahli kitab

dalam al-Qur’an hanya merujuk pada kaum Yahudi dan Nasrani.44

Adapun Fazlur Rahman pada dasarnya mengartikan istilah ahli kitab

sebagai kaum yang mengikuti para nabi yang memperoleh kitab suci

dari Allah SWT semenjak dulu sampai Nabi Muhammad SAW45 di

Mekkah dan Madinah. Mereka disebut dalam al-Qur’an sebagai

pemilik wahyu yang lebih awal.46

Menurut Rasyid Ridha, konsep ahli kitab sebenarnya lebih

bersifat umum dan tidak hanya menunjuk kepada kaum Yahudi dan

Nasrani dari suku bangsa Israel saja, tetapi mencakup berbagai suku

bangsa yang lain. Ahli Kitab menurutnya, bisa saja mencakup agama

di luar Yahudi dan Nasrani seperi Majuzi, Sabi'in, Hindu, Budha dan

Shinto. Menurut Rasyid Ridha, walaupun al-Qur’an mengindentifikasi

Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, namun bukan berarti kelompok

agama di atas tidak diakui sebagai ahli kitab. Argumen yang dibangun

Rasyid Ridha, bahwa dalam Kitab Suci al-Qur’an, memang tidak

memasukkan agama-agama kuno India dan Cina tersebut, karena

bangsa Arab kurang akrab mengenal istilah keduanya. Menurut Ridha

44Muhammad Husein ath-Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut:

Muassasah al-‘Alami li al-Matbu’ah, 1403 H/1983M), jilid III, hlm. 306-307. 45 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,

1996), hlm. 233. 46 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, alih

bahasa Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 133.

Page 21: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 21

Nasrullah

hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an menghindari aspek ighrab (hal

asing) kepada audiensinya.47

Sedangkan Muhammad Abduh, berbeda pendapat dengan Ridha

yang nota bene adalah muridnya, sebagaimana tertera dalam tafsir Juz

’Amma-nya yang menyatakan, bahwa ahli kitab mencakup penganut

agama Yahudi, Nasrani dan Sabi'in, sebagaimana diungkapkan secara

implisit dalam al-Qur’an (2) ayat 62.48

Sayyid Quthub dalam tafsir fi Zhilal al-Qur’an-nya menyatakan,

ahli kitab adalah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan

Nasrani dari dulu sampai sekarang, dari zaman kapan pun dan dari suku

bangsa mana pun.49 Pendapat ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab

yang menyatakan, ahli kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan

Nasrani kapan, di manapun dan dari keturunan siapapun mereka.

Pendapat Quraish ini didasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap

istilah ahli kitab yang hanya terbatas pada dua golongan Yahudi dan

Nasrani sebagai golongan yang nyata ada di Arab ketika itu.50

E. Tafsir Justifikatif Label Kekafiran dan Kemusyrikan Ahli

Kitab

Uraian mengenai kaitan antara ahli kitab dalam status apakah

mereka kaafir atau musyrik menjadi perlu dibahas. Hal ini dimaksudkan

47 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M), jilid

III, hlm. 258 dan VI, hlm. 272. 48 Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir,

(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 272. 49 Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Arabiah, t.t.),

jilid I, hlm. 135 dan jilid III, hlm. 199. 50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 368.

Page 22: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

22 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kedudukan kelompok

tersebut, terutama dalam pandangan ulama Islam.

Para ulama kebanyakan berpendapat bahwa ahli kitab termasuk

dalam kelompok orang-orang kafir. Seperti yang telah diinformasikan

oleh al-Qur’an, bahwa predikat kafir terlihat secara eksplisit diberikan

kepada mereka (al-Bayyinah (98): 1). Hal ini juga didasarkan pada

batasan dan pengertian yang diberikan secara umum oleh para ulama,

bahwa “mereka adalah orang yang mengingkari dan menolak kenabian

Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya”.

Hal senada diungkapkan oleh al-Gazhali (W. 1111 H), bahwa

makna kekafiran yang terlihat dalam keyakinan ahli kitab ialah, adanya

sikap mendustakan Rasul SAW, tentang suatu hal yang diajarkannya.

Sedangkan kebalikannya, bahwa makna iman ialah membenarkan

adanya rasul yang berkenaan dengan semua ajaran yang dibawanya.

Maka menurut al-Ghazali, orang Yahudi dan Nasrani adalah kafir

karena mendustakan Rasul SAW.51

Akan tetapi perdebatan kembali muncul, mengenai apakah ahli

kitab termasuk kelompok musyrik atau tidak. Karena dalam posisi ini,

ada perbedaan dalam terma teologis antara kafir dan musyrik. Ath-

Thabathaba'i menyatakan, syirik pada dasarnya terbagi atas dua macam

yaitu; syirik zhahir dan syirik khafi. Pembagian syirik ini didasarkan

pada tingkat kejelasan terhadap perilaku syirik itu sendiri. Mereka yang

menganggap Tuhan itu berbilang, menjadikan patung dan berhala

sebagai sesembahan, adalah syirik zhahir. Sedangkan syirik khafi

51 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1994), hlm. 162.

Page 23: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 23

Nasrullah

termasuk dalam hal ini perilaku ahli kitab yang mengingkari kenabian,

terutama karena menganggap bahwa Isa al-Masih sebagai putera

Tuhan, adalah termasuk syirik. Mereka yang termasuk kategori syirik

khafi walupun secara umum berbuat syirik tetapi mereka tidak secara

tegas diberi predikat syirik.52

Dalam konteks ini, berhubung al-Qur’an sendiri tidak

mengungkapkan secara eksplisit, maka wajar para ulama berselisih

pendapat tentang posisi ahli kitab sebagai kelompok musyrik atau tidak.

Sebagian ulama ada yang tidak memasukkan mereka dalam kategori

musyrik, akan tetapi mayoritas ulama lainnya malahan meyatakan

bahwa terma musyrik mencakup pula orang-orang kafir dari kalangan

ahli kitab.

Termasuk dalam pendapat terakhir ini ialah, pendapat dari ar-

Razi yang mengatakan, bahwa terma musyrik mencakup pula orang-

orang kafir dari kalangan ahli kitab53 dengan argumentasi yang

didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat at-Taubah (9) ayat 30-

31. Rasyid Ridha berpendapat, bahwa ahli kitab dari kalangan Yahudi

dan Nasrani tidak termasuk kedalam golongan musyrik. Menurut Ridha

pengertian musyrik yang paling jelas dari ayat-ayat al-Qur’an adalah

orang-orang musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci atau

"semacam" (syibh) kitab suci. Oleh karena itu, mereka disebut

ummiyyun, yaitu orang-orang yang belum pernah mengenal kitab suci

52 Muhammad Husein ath-Thabathabai, al-Mizan, jilid II, hlm. 202. 53 Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut : Dar al-Fikr, 1405 H/1985M),

jilid IV, hlm. 59. Bandingkan dengan M. Galib, Ahl al-Kitab: Makna dan

Cakupannya, (Jakarta : Paramadina, 1989), hlm. 74.

Page 24: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

24 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

dari Allah.54 Atas dasar pengertian musyrik di atas, Ridha juga

berpendapat bahwa orang-orang Sabi'in, Majuzi, dan kelompok-

kelompok agama yang pernah "diduga" memiliki kitab suci atau serupa

dengan kitab suci seperti agama Hindu, Budha, dan Konfusius adalah

tidak termasuk musyrik.55

Pendapat Rasyid Ridha ini antara lain didasarkan pada penafsiran

beberapa ayat al-Qur’an seperti al-Baqarah (2): 105, al-Bayyinah (98):

1, al-Hajj (22): 17; yang menyebut istilah al-musyrikun berdampingan

dengan ahli kitab atau dengan kelompok Yahudi, Sabi’in, Nasrani dan

Majuzi, dengan menggunakan huruf ‘athaf waw (yang berarti “dan”).

Adanya huruf ‘athaf (kata penghubung), mengandung adanya makna

perbedaan antara hal-hal yang dihubungkan tersebut. Indikasi dalam

ayat ini berarti menunjukkan ada perbedaan antara musyrikun dengan

ahli kitab atau dengan kelompok Yahudi, Nasrani, Sabi’in dan

Majuzi.56Argumentasi dalam al-Qur’an, (at-Taubah (9): 31) yang

menyatakan bahwa kaum ahli kitab memiliki sifat kemusyrikan karena

menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (arbab), menurut Ridha

hal ini tidak menjadikan ahli kitab sebagai kelompok musyrik.

Kalaupun dikatakan mereka memiliki sifat syirik, maka sifat

kemusyrikan tersebut adalah as-syirk fi ar-rububiyyah, yaitu

mengambil ketetapan agama dari manusia (dalam hal ini para rahib) dan

bukan dari wahyu. Di samping itu kaum ahli kitab pada dasarnya tetap

mempercayai dan iman kepada Allah dan para nabi terdahulu. Hal ini

54 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid II, hlm. 349 dan jilid VI, hlm. 186. 55 Ibid. 56 Ibid.

Page 25: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 25

Nasrullah

berbeda dengan kaum musyrik yang memiliki sifat asy-syirk fi al-

'uluhiyyah, yaitu mempercayai kekuatan-kekuatan tuhan-tuhan selain

Allah SWT.57

Berbeda dengan Rasyid Ridha, Sayyid Quthb berpendapat bahwa

ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani termasuk orang-orang

musyrik. Menurutnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir sama

dengan orang musyrik Arab yang mempercayai mitos-mitos dan

khurafat serta menganggap Allah mempunyai anak. Menurut Quthub,

orang-orang musyrik Arab pada awalnya hampir sama dengan orang-

orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dan menjadikan para

malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah, dan membuat patung-

patungnya untuk disembah dan diberi nama-nama perempuan seperti

latta, uzza dan manat, dengan maksud untuk lebih mendekatkan diri

dengan Allah.58

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yang

menurutnya, bahwa secara eksplisit ahli kitab, identik dengan orang-

orang kafir (al-lazina kafaru) sebagaimana halnya orang-orang musyrik

(al-Bayyinah (98): 1). Terma kufr dalam ayat ini menurut Wahbah,

ialah orang-orang yang menentang dan menolak kerasulan Muhammad

SAW. Kekafiran ahli kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya

kekafiran orang-orang musyrik, yaitu sama-sama menentang dan

menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.59

57 Ibid, jilid V, hlm. 147. Bandingkan dengan buku Harifiddin Cawidu, Konsep

Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 167. 58 Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilal, jilid V, hlm. 209 59 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syaria’ah wa al-

Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1411H/1991M), jilid XXX, hlm. 34.

Page 26: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

26 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

F. Posisi Abdul Hamid Hakim dalam Penafsiran Ahli Kitab

Wacana perdebatan tentang ahli kitab dalam sejarah intelektual

Islam, memang melahirkan berbagai macam pendapat sesuai dengan

pemahaman dan argumentasi masing-masing ulama. Untuk memahami

perdebatan tersebut, dapat ditipologikan, bahwa kontroversi batasan

tentang ahli kitab, dapat dibagi menjadi dua corak interpretasi.

Pertama, ulama yang berpandangan “eksklusif”, yaitu

menafsirkan ahli kitab hanya mencakup dua komunitas agama Yahudi

dan Nasrani, hal ini didasarkan kepada pemahaman tekstual ayat-ayat

yang berhubungan dengan konsep ahli kitab di dalam al-Quran. Kedua,

adalah ulama yang memahami bahwa ahli kitab tidak hanya dimaknai

pengertiannya hanya kepada dua agama Ibrahim di atas. Namun, bisa

menjangkau kepada agama-agama lain di luar agama-agama Ibrahim,

di mana berdasarkan penafsiran dan petunjuk al-Qur’an dalam suatu

ayat bahwa “setiap umat telah diutus seorang Rasul yang

menyampaikan wahyu”.

Jadi menurut golongan ini, ahli kitab adalah suatu pemahaman

dari interpretasi terbuka atau “inklusif”. Yakni, dalam pengertian lain

pendapat ini menyatakan bahwa di luar kedua agama tersebut, agama-

agama lain juga berhak disebut sebagi ahli kitab, yang dalam

persyaratannya terdapat dalam agama tersebut sebuah kitab suci. Corak

interpretasi ini, pada dasarnya adalah anti-tesis terhadap corak berpikir

“eksklusif”.60

60 Menurut penulis, walaupun terma eksklusif dan inklusif dipakai dalam

teologi tentang “ide keselamatan”, namun istilah tersebut pada awalnya berangkat dari

aktivitas penafsiran atas teks agama, yang memandang secara tertutup dan terbuka.

Penafsiran yang dilandasi dengan muatan-muatan ideologinya masing-masing,

Page 27: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 27

Nasrullah

Pembahasan yang dilakukan Hakim atas interpretasinya

mengenai ahli kitab kalau dicermati memang cukup kontroversial.

Padahal secara kultural ia berada dalam suatu masyarakat yang

konservatif dengan mayoritas ulama-ulama tradisional (kaum tuo) yang

dianggap literalis dalam pemahaman keagamaan. Tetapi Hakim dengan

menggunakan argumen yang cukup otoritatif dengan memegang

pendapat para ulama beraliran moderen semisal Rasyid Ridha

mengatakan, bahwa konsep ahli kitab tidak hanya dibatasi cakupannya

untuk kaum Yahudi dan Nasrani an sich, namun juga untuk umat

beragama tertentu yang lainnya.

Alasannya, menurut analisis Hakim yang mengutip tafsir al-

Manar berpendapat, bahwa kitab-kitab mereka, seperti kitab suci Kong

Hucu, Hindu dan Budha, bahkan sampai kepada agama yang dianut

oleh bangsa Jepang yang sering disebut agama Shinto itu pada asalnya,

semuanya tergolong kategori kitab “samawiyyah”. Artinya, bisa jadi

kitab-kitab tersebut mengandung prinsip ketauhidan, walaupun dalam

kenyataan sejarah eksistensi dari kitab-kitab suci agama-agama tersebut

telah terjadi semacam “penyimpangan” dan “perubahan” baik dari segi

redaksi maupun isi dan prinsip ajaran.

pastinya akan membentuk “pandangan dunia” tertentu dalam masalah interpretasinya.

Jadi pada prinsipnya kedua istilah tersebut bisa saling terpakai, baik tentang cara

berpikir tentang ide keselamatan, maupun tentang corak penafsirannya. Lebih lanjut

lihat artikel Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahli Kitab”, Jurnal Paramadina, Vol 1:

2 (1999), hlm. 96. Bandingkan dengan buku yang ditulis Tim Penulis Paramadina

yang diedit oleh Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina,

2004), hlm. 64. Lihat juga Alwi Shihab, Islam Inklusif, hlm. 84. Bandingkan

selanjutnya dengan buku yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan

pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan

Sosial Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 142.

Page 28: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

28 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

Dari paparan ini dapat diambil suatu tesis bahwa pada prinsipnya

perbedaan antara Islam dan ahli kitab (Yahudi, Kristen, plus Hindu,

Budha, Kong Hucu, Shinto dan sebagainya tentu saja dalam pandangan

Hakim) bukan dilandaskan pada suatu perbedaan yang sifatnya

teologis-dikotomik antara muslim dan musyrik. Tetapi dapat

dianalogikan kepada perbedaan yang sifatnya teologis-

konsistensialistik dalam menjalankan ajaran agama seperti halnya

menyerupai perbedaan antara orang-orang Islam yang betul-betul

berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan para ahli bid’ah. Jadi,

sepertinya mereka kaum ahli kitab itu dianggap telah melakukan bid’ah

karena banyak ketentuan agama yang telah dilanggar “dibuat-buat”

untuk “kepentingan” tertentu sehingga telah berdampak pada

perubahan (tahrif) dan penyimpangan (tabdil) ajaran agama mereka.61

Lebih jauh Hakim memaparkan, bahwa kaum ahli kitab berbeda

dari orang-orang musyrik. Hal ini terbukti jelas menurut Hakim, ketika

al-Qur’an menyebutkan para pemeluk agama (Islam, Yahudi, Nasrani,

Shabiin dan Majuzi), maka antara pemeluk agama tersebut dan antara

“musyrik” terjadi dikotomi dalam pengklasifikasian golongan.62

Pembedaan antara muslim dan musyrik dalam konteks hubungan antar

agama dalam masa awal Islam menjadi sangat signifikan. Sebab akan

terkait dengan persoalan ajakan untuk berdakwah kepada mereka kaum

musyrik yang belum memeluk agama, seperti kaum pagan jahiliah

61 Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, (Bukittingi: Mathba’ah Nusantara, t.t) jilid IV,

hlm. 55.

62 Ibid., hlm. 52.

Page 29: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 29

Nasrullah

Mekkah, di mana Nabi diperintah untuk menyampaikan risalah Islam

kepada mereka.

Kondisi Mekkah ini berbeda dengan Madinah sebagai kota

dengan penghuni masyarakat yang sudah memeluk suatu agama dengan

kebanyakan memeluk agama Nasrani, Yahudi dan sebagian majuzi.

Indikator kebahasaan yang bisa ditampilkan adalah adanya huruf

“athaf” (waw) yang menunjuk kepada unsur “perbedaan” antara yang

satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini antara penganut agama-

agama di atas dengan golongan “musyrik” terdapat diferensiasi

golongan. Lalu kemudian Hakim melanjutkan bahasannya, bahwa

menurutnya tidaklah logis menyamakan antara ahli kitab dengan

predikat sebagai kaum musyrik.63

Atas argumen tersebut, maka menjadi hal yang wajar, bila Hakim

berpendirian bahwa agama-agama Hindu, Budha dan agama-agama

Cina dan Jepang, juga termasuk agama ahli kitab. Dengan kata lain

tidak sebagai kaum yang musyrik. Dalam konstruk hukum Islam

kemudin pastilah ada perbedaan perlakuan antara musyrik dan kafir.

G. Pandangan Abdul Hamid Hakim Tentang Perkawinan Muslim

Dengan Wanita Ahli Kitab

Adapun mengenai permasalahan yang terkait dengan perkawinan

antara muslim dengan wanita ahli kitab, ditinjau dari pendapat para ahli

fiqih tentang hukumnya akan didapati bahwa pendapat para ulama

dapat kategorikan menjadi dua pendapat. Pertama, yang berpendapat

63 Ibid.

Page 30: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

30 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan semua wanita yang

non-muslimah, termasuk ahli kitab. Kedua, yang berpendapat bahwa

laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab.64

Pendapat pertama dianut oleh sebagian kaum Syi’ah yang

berpendapat bahwa laki-laki muslim diharamkan menikah dengan

wanita ahli kitab, karena mereka termasuk dalam pengertian

“musyrikat” pada firman Allah surah al-Baqarah (2) ayat 221. Ayat ini

berlaku umum, untuk semua orang musyrik, termasuk di dalamnya ahli

kitab. Di samping itu mereka beralasan dengan pendapat Ibnu Umar

yang menjelaskan, “mereka (wanita ahli kitab) tidak boleh dinikahi,

karena mereka mengakui bahwa Isa adalah Tuhan mereka, dan

keyakinan ini termasuk syirik besar”.65Walaupun, kemudian pendapat

Ibnu Umar ini dikritik, sebagaimana menurut riwayat al-Qurtubi,

bahwa an-Nuhas pernah berkata, “Pendapat ini (pendapat Ibn Umar)

menyimpang dari pendapat jama’ah sahabat”, sebab sebagian jama’ah

sahabat dan tabi’in berpendapat bahwa wanita ahli halal untuk dinikahi,

karena pernah terdapat sahabat yang pernah menikahi wanita Nasrani

seperti Utsman dan Huzaifah yang menikahi wanita Yahudi Madain.66

Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama yang

mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab.

64 Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut:

Dar. al-Fikr, t.t.), jilid IV, hlm. 75. 65 Ali ash-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,

(Beirut Dar al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 287. 66 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), Jilid II, hlm. 90.

lihat juga artikel Zarkasji Abdul Salam, ”Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda

Agama (Muslim dengan Non Muslim)”. Jurnal Penelitian Agama, No. 9, IV (Jan-

April). 1995.

Page 31: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 31

Nasrullah

Mereka beralasan denga firman Allah surah al-Maidah (5) ayat 5.

Menurut mereka, wanita ahli kitab tidak termasuk pada kata

“musyrikat” yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 221 itu, tetapi

antara ahli kitab dan “musyrikat” itu dua kelompok yang berbeda

(differensiasi) antara satu dengan lainnya, seperti yang dijelaskan dalam

surah al-Baqarah (2) ayat 105 dan surah al-Bayyinah (98) ayat 1.

Hakim seperti halnya mayoritas ulama fiqih berpendapat, bahwa

dalam kondisi tertentu wanita ahli kitab boleh dinikahi oleh laki-laki

muslim.67 Pendapat ini didasarkan pada firman Allah :

ويم لكمٱلي حلبت أ ي ينوطعامٱلط وتواٱل

ٱليكتبأ لكمي حل

و همي ل حل صنتوطعامكمي يمحي منتمنٱل يمؤي صنتوٱل يمحي منٱلين وتواٱل

جٱليكتبأ

أ إذاءاتييتموهن ميصنينورهنمنقبيلكمي

ب فري يكي ومن دان خيأ متخذي ول مسفحين نغيي يم

ٱلي فقديوهوفۥحبطعمله 68ٱليخسينمنٱلأخرة

Tentang status wanita ahli kitab yang bisa dikawini, Hakim

mengklasifikasi dalam beberapa tingkatan dengan istilah kafirat yang

dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan yang tidak

mempunyai kitab, seperti golongan pagan Arab. Kedua, golongan yang

mempunyai “semacam” kitab, seperti golongan Majuzi dan lain-lain.

Dan ketiga, golongan yang memiliki kitab yang jelas, seperti Yahudi

dan Nasrani. Golongan kedua, yaitu kaum yang memiliki “semacam”

67 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 51. 68 QS. Al-Maidah (5): 5.

Page 32: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

32 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

kitab suci yang selanjutnya disebut sebagai syibh ahli kitab, menurut

Hakim bisa disamakan dengan kaum ahli kitab yang definitif. Oleh

karena itu golongan kedua ini juga pada dasarnya mempunyai ketentuan

yang khas seperti halnya kaum Yahudi dan Nasrani, di mana kaum ini

diperbolehkan mempunyai hubungan sosial dengan kaum muslimin.69

Dalam pembagian ini, kelihatannya Hakim mengutip pendapat dari asy-

Syahrastani.

Berdasarkan surah al-Maidah (5): 5 di atas, Hakim berkesimpulan

bahwa, laki-laki muslim dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab,

dan pengertiannya di sini tidak hanya terbatas pada orang-orang Yahudi

dan Nasrani, tetapi termasuk pula di dalamnya penganut agama Majuzi,

Sabiin, Hindu, Budha, Konfusius, Shinto dan agama-agama lain yang

dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Menurut Hakim agama-agama

tersebut pada asalnya menganut paham monteisme dan memiliki kitab

suci, namun karena perjalanan waktu terjadilah perubahan-perubahan

(tahrif), seperti yang dialami kitab suci Yahudi dan Nasrani.70 Fakta

sejarah dan penjelasan al-Qur’an menunjukkan bahwa kepada setiap

umat telah diutus Allah para Rasul. Al-Qur’an menjelaskan:

ا إن ريسلينكبق أ خلفيهانذيرٱلي ةإل م

أ ني 71بشياونذيراوإنم

69 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 50.

70 Ibid., hlm. 55. Hakim sependapat dengan ath-Thabari yang menafsirkan

kata “musyrikat” yaitu perempuan yang dilarang untuk dikawini adalah wanita

musyrik Arab jahiliyah, yang mana mereka tidak mempunyai kitab suci. Lihat Abdul

Hamid, ibid., dan lihat juga ath-Thabari, Jami' al-Bayan, jilid II, hlm. 54-55. 71 QS. Fathir: 24.

Page 33: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 33

Nasrullah

ينويقول ب هٱل نر م نزلعلييهءايةلأ كفروالوي نتمإنۦ

ماأ نذر

مهاد قوي 72ولك

Untuk mendukung dan memperkuat pendapatnya tentang

bolehnya laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab dalam

pengertian yang lebih luas dari Yahudi dan Nasrani seperti disebutkan

di atas, maka ia menguatkan pendapatnya dengan alasan salah satu

qa'idah fiqih, yang menjelaskan, bahwa hukum asal dari pernikahan

adalah al-ibahah (kebolehan), kecuali kalau ada dalil yang

mengharamkannya. Ketentuan hukum ini menurut Hakim mencakup

atas boleh menikahi siapa saja. Di sini Hakim berpandangan mengikuti

nalar Imam Syafi’i yang mengatakan demikian.73 Berbeda dengan

pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa nikah adalah terkait

bagian ibadah..74

Dengan kemubahan yang melekat seorang muslim boleh

menikah dengan siapa saja termasuk menikah dengan sesama muslim

atau non-muslim, selama tidak ada larangan nash dan asas kerelaan

sesuai perjanjian yang kukuh (mitsaqan ghalizhan).75 Adapun larangan

nash mengawini wanita-wanita musyrik yang disebutkan oleh firman

Allah pada surat al-Baqarah (2): 221, ternyata kemudian ketentuan

hukum yang umum ini telah di-takhshish dalam akhir surat an-Nisa’

(4): 22-24, walaupun sebelumnya telah menyebutkan wanita-wanita

72 Ar-Ra’ad (13) : 7. 73 Az-Zabidi, Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.

214. 74 Ibid. 75 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi

Berbasis Al-Qur’an, (Depok: KataKita, 2009), hlm. 329.

Page 34: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

34 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

yang haram dinikahi oleh seorang muslim beserta sebab-sebabnya.

Setelah itu di akhir ayat ke 24, Allah menegaskan bahwa selain dari

wanita-wanita yang telah diharamkan Allah itu boleh saja dikawini oleh

seorang muslim, termasuk wanita-wanita penganut dari berbagai agama

yang tergolong ke dalam kelompok ahli kitab di atas. Kemudian

kembali Hakim menegaskan bahwa tidak ada yang dapat

mengharamkan sesuatu yang dibolehkan kecuali dalam nash yang dapat

dan telah me-nasikh-kan ayat-ayat yang mansukh atau men-takhshish-

kan ketentuan umum ayat di atas.76

Adapun tujuan dari dibolehkannya perkawinan antara muslim

dengan wanita ahli kitab dan syibh ahli kitab pada konteks itu adalah

untuk kepentingan dakwah Islam. Hakim berpendapat, bahwa

perkawinan adalah salah satu media yang efektif untuk penyiaran dan

pengembangan Islam. Artinya dengan perkawinan ini diharapkan para

suami mampu menarik istrinya untuk masuk Islam. Alasan Hakim

karena umumnya waktu itu, suasana domain rumah tangga masih dalam

paradigma paternalistik. Jadi, ungkapan “perempuan mengikuti agama

suaminya”, masih berlaku ketika itu.77

Oleh sebab itu, pada kondisi tertentu dibolehkannya muslim

menikahi wanita ahli kitab dan syibh ahli kitab menjadi sesuatu yang

bisa dimaklumi jika terdapat unsur mashlahah. Apalagi didukung dan

76 Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 55. Bandingkan dengan Rasyid Ridha, Tafsir

al-Manar, jilid VI, hlm. 19. 77 Hakim tidak menjelaskan secara eksplisit hukum perkawinan muslimah

dengan laki-laki ahli kitab, kecuali hanya sekedar mangemukakan pendapat al-Qaffal,

yang manyatakan seorang wanita muslim haram menikah dengan laki-laki musyrik,

karena biasanya wanita cenderung dan terpengaruh kepada agama suaminya. Lihat

Abdul Hamid, al-Mu’in, hlm. 56.

Page 35: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 35

Nasrullah

dikuatkan data oleh faktor sejarah yang telah membuktikan, betapa

perkawinan seperti itu telah mempercepat proses Islamisasi,

sebagaimana yang terjadi pada kasus di China, waktu Islam mulai

masuk ke sana.78 Pada kesempatan ini, Hakim mengutip adanya sebuah

pernyataan di dalam suatu riwayat yang telah disebutkan, bahwa wanita

Nasrani yang dikawini oleh Utsman kemudian masuk Islam dan ia telah

menjadi seorang muslimah yang taat. Jadi, bisa dipahami pendirian dari

apa yang menurut Hakim menjadi penting dalam perkawinan itu, ialah

terjadinya proses islamisasi yang merupakan salah satu tujuan dan

target yang ingin dicapai dengan perkawinan seorang muslim dengan

wanita kitabiyyat tersebut.79

Akan tetapi Hakim juga menyadari, kemungkinan adanya fakta

keterbalikan dari kenyataan di atas. Seperti misalnya dalam banyak

kasus rumah tangga, banyak wanita-wanita justru yang berhasil

menarik suaminya yang muslim untuk mengikuti agamanya, tidak

sedikit juga wanita tersebut tetap bertahan dengan agama lamanya.

Artinya ungkapan "wanita tergantung agama suaminya" menjadi tidak

berfungsi dan tujuan dari dakwah juga tidak tercapai. Bahkan, justru

akan mengorbankan agamanya sendiri. 80

78Ibid. 79 Ahmad Husnan, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan: Tanggapan terhadap Dr.

Nurcholish Madjid, (Solo: Ulul Albab Press, 1993), hlm. 77. 80 Dewasa ini, dalam banyak keluarga, urusan tentang rumah, pendidikan anak,

termasuk pendidikan agama dan keyakinannya banyak diatur dan dikendalikan oleh

ibu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kecenderungan keagamaan anak lebih

banyak dipengaruhi oleh ibu mereka, bukan oleh ayah. Atas dasar itu perubahan

hukum bisa terjadi karena ada motif yang juga berbeda dari ketentuan hukum

sebelumnya yang juga mesti harus diperhatikan. Lihat ibid.

Page 36: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

36 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

Sehubungan dengan pendapat terakhir ini, Hakim berkesimpulan

lain. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti kekhawatiran bahwa laki-laki

muslim yang akan mengawini wanita kitabiyyah bisa ditarik oleh

istrinya untuk masuk agamanya, disebabkan faktor suami tergolong

kurang kuat imannya, rendah akhlaknya, dan lebih rendah tingkat

intelektualnya di banding istrinya, maka maka perkawinan itu

hukumnya menjadi dilarang (baca:haram). Hal ini dalam rangka

mencegah kemungkinan terjadinya kemudaratan (sadd adz-dzari’ah)

seperti terjadinya pemurtadan, yang artinya tidak tercapainya unsur

maqashid syari'ah tentang hifz ad-din, dalam sebuah perbuatan hukum.

Atas dasar itu kondisi seperti ini mesti dihindari.81

Berdasarkan kekhawatiran dan pertimbangan-pertimbangan

manfa’at dan mafsadat seperti itulah, maka bisa dimaklumi keputusan

yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 8 Juli 1980

yang mengeluarkan fatwa tentang diharamkannya secara mutlak

perkawinan antar agama, karena mafsadah-nya lebih besar dari

manfaat-nya.82

81 Ibid., hlm. 53. Bandingkan dengan Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus

Hermeneutika: Membaca Islam Dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Nawesea

Press, 2006), hlm. 64.

82 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1997), hlm. 122. Fatwa ini menurut Atho’ Mudzar

didasarkan pada waktu tahun 80-an, fenomena Kristenisasi semakin memprihatinkan.

Menurut para ulama keadaan ini telah mencapai titik rawan bagi kepentingan

pertumbuhan masyarakat muslimin, sehingga pintu bagi kemungkinan perkawinan

antar agama itu harus ditutup sama sekali, karena banyak terjadi kasus konversi

agama. Lihat Atho’ Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi

tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), hlm.

103.

Page 37: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 37

Nasrullah

Maka dari itu, problem perkawinan antar/beda agama ternyata

tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak beban yang harus

ditanggung terutama beban sosial yang masih memaknai identitas

kesamaan agama sebagai bagian penting perkawinan. Maupun beban

psikis, berupa masa depan perkawinan tersebut. Antara kedua belah

pihak, barangkali saling menyatakan kecocokan atas dasar cinta, akan

tetapi dengan adanya perbedaan agama, tentu menimbulkan masalah

tersendiri yang tentunya harus dipikirkan lebih matang dan penuh

pertimbangan baik dan buruknya. Sebagai bahan untuk

mempertimbangkan masalah itu, maka analisis hukum melalui teori

maslahah dan mafsadah bisa membantu dalam upaya melihat kausa

hukum ('illat), baik ditinjau dari aspek yang membolehkan ataupun

aspek yang melarang perkawinan antar agama tersebut.

Maka berkaca dari pendapat Hakim di atas ia sesungguhnya ingin

merekonstruksi sebuah argumentassi hukum berbasis pada pembacaan

melalui tafsir atas ahli kitab bersama dengan pendekatan sejarah

sunnah, lalu ia konteks-kan dengan teori kaedah fiqih dan ushul fiqih,

sehingga lahirlah sebuah pemaknaan hukum. Dalam hal ini, Hakim

pada dasarnya menganut suatu paradigma pluralitas hukum didasarkan

pada relatifitas tafsir. Dalam artian lain, Boleh atau tidaknya sebuah

hukum dimungkinkan akibat pembacaan dan pandangan penafsiran

beserta perangkat analisis yang digunakan. Dalam kasus penafsiran

yang berimplikasi pada pemaknaan hukum mengenai perkawinan

muslim dengan wanita ahli kitab secara gamblang membuktikannya.

Page 38: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

38 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

H. KESIMPULAN

Pemikiran Hakim tentang ahli kitab secara eksplisit dapat

disimpulkan, bahwa ahli kitab ini menurutnya tidak harus dibatasi

pemaknaannya hanya untuk agama Yahudi dan Nasrani saja. Akan

tetapi meliputi juga agama lain seperti golongan syib ahli kitab, seperti

Majuzi, Sabi’in, Hindu, Budha, Kong Hucu dan agama Shinto. Hakim

juga tidak memasukkan mereka sebagai kaum musyrik (seperti agama

pagan penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci seperti pada

masa Rasulullah). Akan tetapi, mereka tetap diposisikan secara asal

sebagai agama yang pernah memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan

dan Nabi-nabi yang diutus oleh-Nya. Adapun kitab-kitab suci mereka

pun bersifat samawiyah, walaupun diklaim oleh banyak umat, kitab-

kitab suci mereka telah terdapat penyelewengan dan perubahan (tahrif),

sebagaimana terjadi dalam sejarah kitab Yahudi dan Nasrani.

Menurut Hakim, pada awalnya antara orang muslim dan ahli kitab

tidak ada perbedaan yang tajam dalam posisi ketauhidan. Mereka sama-

sama sebagai umat Rasul yang pernah diutus masing-masing Nabi

kapada mereka. Akan tetapi kemudian hari banyak terjadi perubahan

dan penyimpangan dalam sebagian ajaran kaum ahli kitab, sehingga

menyebabkan terjadi beberapa perbedaan. Perbedaannya secara

analogis Hakim mengilustrasikan orang-orang yang taat menjalankan

agama sesuai dengan pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah (Islam)

dengan orang-orang yang suka melakukan perbuatan bid’ah dalam

beragama (ahli kitab). Jadi posisi ahli kitab jelas bukan termasuk kaum

yang musyrik laiknya kaum Pagan Jahiliyah, walaupun bisa dikatakan

sebagai kafir karena tidak beriman kepada Nabi Muhammad.

Page 39: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 39

Nasrullah

Signifikansi pemaknaan yang luas terhadap ahli kitab dan tidak

memasukkan mereka ke dalam terma cakupan orang-orang yang

musyrik adalah adanya kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita-

wanita ahli kitab. Kebolehan ini didasarkan atas ayat 5 surat al-Maidah

yang dalam pemahaman Hakim telah men-takhshish keumuman ayat

221 surah al-Baqarah yang melarang menikahi wanita-wanita musyrik,

yang dalam pemaknaan Hakim al-musyrikat dalam ayat itu lebih

diartikan sebagai wanita musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci

dan menyembah berhala. Mengenai perkawinan antara muslimah

dengan laki-laki ahli kitab Hakim masih memandang secara

paternalistik dan sesuai dengan kondisi budaya di masyarakat waktu

Hakim hidup, bahwa wanita masih banyak mengikuti agama suaminya.

Atas dasar itu Hakim mengutip pendapat al-Qaffal, bahwa karena faktor

tersebut, dilarang perkawinan antara muslimah dengan laki-laki ahli

kitab.

Perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab juga pada tataran

tertentu (kasuistik) Hakim melarangnya, apabila terdapat suatu hal yang

bisa membahayakan agamanya. Karena aspek hifz ad-din harus lebih

diutamakan di atas yang lain. Jadi, dalam kerangka berpikir Hakim,

peran teori dan metode ushul fiqih tidak bisa diaibaikan. Sebab dari

teori-teori itulah pemikiran hukumnya dibangun, terutama kaitan antara

aspek maslahah dan mafsadah, dan perbenturan dalam menerapkan

konsep maqashid asy-syari'ah.

Page 40: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

40 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir,

Bandung: Mizan, 1999.

Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, Alih bahasa R. Kaelan dan HM.

Bacrun, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1977.

Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer: Menuju Dialog antar

Agama, alih bahasa Ruslani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2001.

Asfihani, ar-Ragib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar

al-Fikr, t. t.

Baqi’, Muhmmad Fu’ad Abd al-, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-

Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr,1408 H / 1988 M.

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat,

Bandung : Mizan, 1994.

Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus

Sumatera Thawalib, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indobnesia, Jakarta: Balai Pusaka, 1993.

Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’an: Suatu Kajian

Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan

Bintang, 1991.

Galib, M., Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina,

1998.

Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun

Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Depok: KataKita, 2009.

Glasse, Criyl, Ensiklopedi Islam Ringkas, alih bahasa Ghufron

A.Mas’adi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Page 41: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 41

Nasrullah

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda,

19982.

Hakim, Abdul Hamid, al-Mu'in al-Mubin, jilid IV, Bukittinggi:

Nusantara,t.t.

Hazm, Ibn al-, Muhalla, Beirut : Dar al-Fikr, t.t.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over:

Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001.

Husnan, Ahmad, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan: Tanggapan

terhadap Dr. Nurcholish Madjid, Solo: Ulul Albab Press,

1993.

Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar

Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre, 1998.

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pengurus Pusat

Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang

Hubungan Sosial Umat Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM,

2000.

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

Jakarta: Sekretariat Mesjid Istiqlal,1997.

Mudzhar, Muhammad Atho’, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia :

Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,

Jakarta : INIS, 1993.

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Mebangnun Makna dan

Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,

2000.

_______, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,

Jakarta: Paramadina, 2000.

Page 42: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

42 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

_______, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta:

Pondok Pesantren Krapyak, 1984.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,

Jakarta: UII Press, 1997.

_______, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan

Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Partanto, Pius A dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,

Surabaya: Arkola, 1994.

Qasimi, Jamal al-Din al-, Tafsir al-Qasimi, Kairo: Isa al-Babi al-

Halabi, 1377 H/1458 M.

Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilal al-Qur'an, Beirut: Dar al- ‘Arabiah, t.t.

Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,

Bandung: Pustaka, 1983.

_______, Islam, alih bahasa Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996.

_______,“Sikap Islam Terhadap Yahudi”, dalam Mochtar Pabottinggi

(ed.), Islam antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.

Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab”, Paramadina,

Vol.1,No.2. 1999.

Rahardjo, Dawam M, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial

Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina,

1996.

Rais, Isnawati, “Pemikiran Fiqih Abdul Hamid Hakim : Suatu Studi

tentang Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, disertasi

doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

Page 43: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

Dari Tafsir Ke Pemaknaan Hukum | 43

Nasrullah

Razi, Fakhr al-Din al-, Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H/

1985 M.

Rida, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al- Fikr,1393 H/ 1973 M.

Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Salam, Zarkasji, “Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda Agama :

Muslim dan Non- Muslim”, Jurnal Penelitian Agama, No.9,

Tahun IV, 1995.

Shabuni, ‘Ali ash-, Rawa’i al-Bayan 'an Tafsir Ayat al-Ahkam min al-

Qur'an, Beirut: Dar al- Fikr, t.t.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas

Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,

Bandun: Mizan, 1999.

Sirry, Mun’im A (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat

Inklusif-Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2004.

Thabari, Ibn Jarir , Jami' al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'an, Beirut: Dar al-

Fikr, t.t.

Thabathabai, Muhammad Husein ath- al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,

Beirut: Muassasah al-‘Alami li al-Mathbu’ah, 1403

H/1983M), jilid III.

Wahyudi,Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam

Dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawesea Press, 2006.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:

Hidakarya Agung, 1996

Zabidi, Az-, Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Page 44: DARI TAFSIR KE PEMAKNAAN HUKUM Studi Penafsiran Abdul

44 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 1, April 2017

Zuhaili, Wahbah az-, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syaria’ah wa

al-Manhaj, Beirut: Dar al-Fikr, 1411H/1991M, jilid XXX.