simbuang batu, jejak megalitikum di lanskap toraja

10
t / AL5101 Sejarah dan Teori Arsitektur Lanskap Semester 1-2013/2014 SIMBUANG BATU, JEJAK MEGALITIKUM DI LANSKAP TORAJA Nama Mahasiswa : Resya Wulanningsih NIM : 28913004 Pengantar Sulawesi. Sebelumnya dinamakan Celebes oleh pionir-pionir Portugis yang menemukan daratan ini di awal abad ke-16. Profil pulaunya yang terdiri atas kumpulan semenanjung membuat pelaut Portugis awalnya mengira bahwa daratan ini adalah sekumpulan pulau yang terpisah. Sulawesi terdiri atas berbagai suku dan kelompok etnis yang unik dan sangat penting mewarnai kebudayaan Nusantara. Para pelaut dan perompak Bugis Islam dan Makasar dari Barat Daya, serta Kristen Minahasa dari semenanjung utara adalah kelompok yang dominan di pulau itu. Namun kebudayaan animisme orang Toraja di pegunungan di tengah pulaulah yang memberi keunikan tersendiri bagi Sulawesi. Suku Toraja merupakan salah satu suku dengan jejak kebudayaan megalitikum di Indonesia. Orang Toraja biasa mendirikan dan menyusun batu berukuran besar untuk mengenang orang yang meninggal. Toraja dikenal dengan lanskap budayanya (cultural landscape) yang unik. Kekayaan budaya Toraja seperti upacara-upacara masyarakat, pekuburan di dinding batu, arsitektur, kerajinan ukiran kayunya yang khas, dan masyarakatnya yang hingga kini masih memegang teguh tradisi dan adat yang kuat menjadikan Toraja masuk sebagai nominasi Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage Sites) di tahun 1995 oleh UNESCO. Lanskap Kampung Toraja dengan Tongkonan, Perbukitan Granit, dan Persawahan Sumber: http://www.flickr.com/photos/pepifleuf/ Rante Parinding, Salah Satu Tempat Upacara Pemakaman di Tana Toraja. Sumber: Lulabi, 2013 dalam travel.detik.com

Upload: resya-wulanningsih

Post on 21-Nov-2015

113 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

Sulawesi. Sebelumnya dinamakan Celebes oleh pionir-pionir Portugis yang menemukan daratan ini di awal abad ke-16. Profil pulaunya yang terdiri atas kumpulan semenanjung membuat pelaut Portugis awalnya mengira bahwa daratan ini adalah sekumpulan pulau yang terpisah. Sulawesi terdiri atas berbagai suku dan kelompok etnis yang unik dan sangat penting mewarnai kebudayaan Nusantara. Para pelaut dan perompak Bugis Islam dan Makasar dari Barat Daya, serta Kristen Minahasa dari semenanjung utara adalah kelompok yang dominan di pulau itu. Namun kebudayaan animisme orang Toraja di pegunungan di tengah pulaulah yang memberi keunikan tersendiri bagi Sulawesi. Suku Toraja merupakan salah satu suku dengan jejak kebudayaan megalitikum di Indonesia. Orang Toraja biasa mendirikan dan menyusun batu berukuran besar untuk mengenang orang yang meninggal.

TRANSCRIPT

  • t

    / AL5101 Sejarah dan Teori Arsitektur Lanskap Semester 1-2013/2014 SIMBUANG BATU, JEJAK MEGALITIKUM DI LANSKAP TORAJA Nama Mahasiswa : Resya Wulanningsih NIM : 28913004

    Pengantar Sulawesi. Sebelumnya dinamakan Celebes oleh pionir-pionir Portugis yang menemukan daratan ini di awal abad ke-16. Profil pulaunya yang terdiri atas kumpulan semenanjung membuat pelaut Portugis awalnya mengira bahwa daratan ini adalah sekumpulan pulau yang terpisah. Sulawesi terdiri atas berbagai suku dan kelompok etnis yang unik dan sangat penting mewarnai kebudayaan Nusantara. Para pelaut dan perompak Bugis Islam dan Makasar dari Barat Daya, serta Kristen Minahasa dari semenanjung utara adalah kelompok yang dominan di pulau itu. Namun kebudayaan animisme orang Toraja di pegunungan di tengah pulaulah yang memberi keunikan tersendiri bagi Sulawesi. Suku Toraja merupakan salah satu suku dengan jejak kebudayaan megalitikum di Indonesia. Orang Toraja biasa mendirikan dan menyusun batu berukuran besar untuk mengenang orang yang meninggal.

    Toraja dikenal dengan lanskap budayanya (cultural landscape) yang unik. Kekayaan budaya Toraja seperti upacara-upacara masyarakat, pekuburan di dinding batu, arsitektur, kerajinan ukiran kayunya yang khas, dan masyarakatnya yang hingga kini masih memegang teguh tradisi dan adat yang kuat menjadikan Toraja masuk sebagai nominasi Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage Sites) di tahun 1995 oleh UNESCO.

    Lanskap Kampung Toraja dengan Tongkonan, Perbukitan Granit, dan Persawahan

    Sumber: http://www.flickr.com/photos/pepifleuf/

    Rante Parinding, Salah Satu Tempat Upacara Pemakaman di Tana Toraja. Sumber: Lulabi, 2013 dalam travel.detik.com

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 2

    Sejarah dan Leluhur Toraja Toraja adalah nama yang diberikan suku asli Bugis bagi orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan di utara semenanjung Sulawesi Selatan. To berarti orang, Riaja berarti tinggi/ atas/ pegunungan, sehingga Toraja berarti orang yang berasal dari gunung. Tempat tinggi (gunung) dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayam leluhur. Mereka menganut kepercayaan animisme, berbudaya megalitik, pengorbanan hewan, dan pesta serta upacara pemakaman.

    Orang Toraja termasuk salah satu suku Proto-Malay (Melayu tua) yang konon berasal dari Asia Tenggara tengah (Kamboja). Legenda Toraja bercerita bahwa leluhur mereka datang dari suatu daerah di Utara melalui lautan. Legenda lainnya mengatakan Leluhur Toraja adalah orang-orang yang datang dari bintang menggunakan kapal ruang angkasa. Badai merusak kapal mereka dan membawanya jauh ke daratan Toraja. Kapal yang rusak dijadikan atap bagi rumah baru mereka. Rumah Tongkonan, dengan atap berbentuk kapal (ataupun tanduk kerbau, karena Toraja berkebudayaan Kerbau), selalu menghadap ke arah utara.

    Di masa yang lebih lampau, kampung Toraja berada di atas bukit dan dibentengi oleh terowongan-terowongan yang dibuat dari batuan. Hal ini merupakan kebiasaan kampung-kampung tua Indonesia untuk melindungi daerahnya dari para pengayau (pemburu kepala) dan peperangan antar kampung. Kepercayaan animisme Toraja mulai mendapat pengaruh budaya luar setelah 1909, ketika para misionaris Protestan datang bersamaan dengan koloni Belanda. Keistimewaan Tana Toraja baru terungkap karena sebelumnya menjadi misteri di antara wilayah yang bergunung-gunung dan untuk mencapainya harus melalui pelaut perompak Bugis. Ketika para penjajah Belanda mencapai Toraja, mereka mulai melerai pertikaian antar kampung dan memaksa masyarakat untuk turun dan bermukim di lembah. Belanda juga memperkenalkan sistem pertanian padi sawah di lahan basah kepada masyarakat. Masyarakat Toraja mulai meninggalkan kebiasaan berladang skala kecil. Mereka mulai hidup dengan pertanian padi sawah, beternak babi dan kerbau.

    Sebelum terpengaruh budaya luar, masyarakat Toraja menganut kepercayaan animisme kuno leluhurnya yang disebut Aluk To Dolo. Saat ini, 78% orang Toraja sudah menganut Kristen, 7% Muslim, dan hanya 15% yang masih memeluk agama adat Aluk To Dolo.1 Walau begitu, tradisi Aluk To Dolo dan ajaran kosmologi yang kental masih dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai bagian dari cara hidup dan ritual upacara adat.

    Aluk To Dolo, Kepercayaan Kuno Toraja Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan/ hukum". Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktek pertanian, dan ritual keagamaan.

    Kepercayaan Aluk To Dolo sangat menjiwai kehiduapan masyarakat Toraja, bahkan menjadi faktor penentu dalam cara hidup, pola kampung, serta arsitektur Toraja. Dalam kehidupan sehari-hari, adat tercermin dalam berbagai ritual upacara masyarakat Toraja. Dua ritual terpenting dalam siklus hidup orang Toraja adalah upacara sukacita yang disebut Rambu Tuka, dan upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo.

    Ajaran Aluk To Dolo menurut orang Toraja berisi konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati. Ajaran ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak hilang begitu saja melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam arwah atau sebagai tempat asal-usul leluhur mereka. Konsep kepercayaan ini kemudian diimplementasikan dalam upacara Rambu Solo dan prosesi pemakaman.

    1 Yulianto Sumalyo, Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. 2001.

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 3

    Aluk To Dolo juga mengatur tatanan hidup orang Toraja. Dalam skala keluarga, Aluk To Dolo menjadi acuan pola keluarga mengatur rumah. Rumah, dalam istilah Toraja, disebut Tongkonan, yang mengacu pada bangunan tempat tinggal, berkumpul, tidur, memasak. Sedangkan rumah dalam arti yang lebih luas disebut Banua yang mengacu pada lingkungan tempat masyarakat hidup, berinteraksi, mengadakan upacara. Dalam Banua, termasuk di dalamnya halaman, alang (lumbung), kuburan, dan bagian lain kampung yang menyangkut kehidupan sehari-hari

    Harmonisasi Aluk To Dolo dengan cara hidup masyarakat juga didapati dalam konsep Banua Tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen Tongkonan seperti rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan orang Toraja di dalam area Tongkonan. Selain itu, makro dan mikrokosmos tetap terpelihara di dalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai Mikrokosmos.

    Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi Utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah tempat roh-roh Pollona Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan. Arah terbitnya matahari merupakan tempat para Dewa memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Matua untuk memberi kehidupan bagi manusia. Arah terbenamnya matahari adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur To Dolo.

    Tata Letak Tiga Desa Adat Toraja (dari atas ke bawah): Palawa; KeteKesu; Siguntu

    Tongkonan berjejer dengan bagian depan menghadap utara. Sisi panjang berorientasi ke arah matahari terbit-tenggelam. Di tengah terdapat halaman luas untuk mengadakan upacara adat.

    Letak lumbung berada di sebelah utara Tongkonan. Letak Rante untuk upacara pemakaman berada di luar kompleks kampung karena dianggap merupakan mikrokosmos sendiri

    Sumber: Yulianto Sumalyo, Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. 2001.

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 4

    Orientasi utara-selatan juga terlihat dalam interpretasi masyarakat akan alam Tana Toraja. Di tengah wilayah pegunungan Toraja, mengalir dari utara-selatan Sungai Sadang yang berpengaruh secara sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Toraja. Istilah Toraja Sa'dang dipakai untuk menyebut wilayah dan kelompok etnis di kawasan Sungai Sa'dang. Sungai Sa'dang dipandang oleh masyarakat Toraja mengalir dari utara ke selatan melintas Tana Toraja, kemudian berbelok ke arah barat. Hal ini menunjukkan bahwa arah air yang kebetulan dari utara ke selatan (tepatnya dari timur laut ke arah barat daya) menjadi arah penting dalam orientasi kehidupan. Air menjadi sumber kehidupan, mengalir dari daa (utara) ke arah lao' (selatan). Sungai Sadang menjadi unsur penting dalam sistem irigasi sawah masyarakat dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sungai Sadang menjadi unsur penting kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja dalam menjalankan kepercayaannya. Orientasi kosmis dan klasifikasi arah diturunkan dari ajaran Aluk To Dolo untuk memuliakan arwah dan leluhur.

    Rambu Solo', Upacara Mengantarkan Kematian menuju Bintang Ajaran Aluk To Dolo akan kehidupan yang kekal setelah mati, membawa tradisi bagi orang Toraja bahwa ketika ada yang meninggal, jasadnya harus dibawa ke tempat yang tinggi agar lebih cepat berpulang menuju bintang. Upacara yang disebut rambu solo' akan digelar untuk mengantarkan jasad dan arwah orang yang meninggal. Rambu Solo' untuk bangsawan Toraja merupakan rangkaian upacara yang dapat mencapai berhari-hari maupun berminggu-minggu tergantung status sosial dan pengorbanan keluarga yang ditinggalkan.

    Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam tebing batu atau pohon. Secara geografis, tradisi ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja didominasi oleh pegunungan dan batu granit raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan. Adat Toraja lainnya mengatakan penguburan jenazah di gua-gua tinggi dalam tebing batu dimulai beberapa ratus tahun yang lalu, ketika gerombolan Bugis dari dataran rendah di selatan mulai menjarah situs-situs pemakaman Toraja demi memperoleh harta yang dimakamkan bersama jenazah.

    Secara umum, tujuan upacara Rambu Solo' adalah untuk keselamatan leluhur di alam selanjutnya dan untuk menjaga kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan. Dalam pelaksanaan Rambu Solo' tertentu, didirikan monolit batu yang melambangkan orang yang meninggal untuk mewakili arwahnya di dunia dan menjaga serta mengawasi keluarganya. Kepercayaan tersebut juga mendorong masyarakat Toraja untuk menguburkan anggota keluarga dengan sebaik-baiknya.

    Upacara Rambu Solo Puang Lasso Rinding di Sangalla, tahun 1972

    Sumber: Blair, 2012 : 204

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 5

    Simbuang Batu, Jejak Kebudayaan Megalitikum Tana Toraja Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam baru benar-benar dikenal oleh dunia internasional sekitar tahun 1972. Hal itu terjadi setelah National Geographic dalam Ekspedisi Ring of Fire mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang berdarah murni, Puang Lasso Rinding dari Sangalla. Pada Rambu Solo' untuk Puang Lasso Rinding, keluarganya mendirikan sebuah batu megalit untuk mengenang sang Raja yang telah mangkat di tahun 1968. Jasadnya terbaring selama empat tahun menanti keluarganya mengumpulkan harta dan korban binatang dengan jumlah yang cukup sebagai syarat untuk mengantarkan arwahnya menuju ke bintang.

    Pendirian megalit terakhir di keluarga Sangalla sebelum 1972 adalah di tahun 1912, yang didirikan dalam upacara Rambu Solo' untuk Raja sebelumnya, ayah Puang Lasso Rinding. Di zaman itu, keluarganya masih mendirikan megalit dengan cara kuno yang tekniknya dengan sangat disayangkan tidak terwariskan dengan baik. Selama berbulan-bulan, keluarga Puang Lasso Rinding mencoba menarik batu seberat dua ton tersebut agar masuk ke dalam lubangnya dan berdiri tegak, Teknologi dan peralatan modern pun diperbantukan untuk menegakkan monolit sang Raja.

    Peserta Rambu Solo di Rante Tendan, Distrik Pangala

    Sumber: Jowa Imre, 1988 : 55 Tidak seperti monolit yang terdapat di kebudayaan lain Indonesia seperti Sumba, Monolit Toraja tidak diukir maupun diberi dekorasi tertentu untuk menunjukkan derajat kemakmuran keluarga orang yang meninggal. Monolit hanya berupa batu besar alami, biasanya berbentuk panjang, yang meruncing di satu sisinya. Batu-batu ini beberapa dipahat dan dihaluskan dengan teknik yang sangat minimal di lokasi asal batu ditemukan, sedang beberapa yang lainnya tanpa modifikasi apapun. Di daerah Sangalla, Toraja selatan, terdapat kompleks monolit dengan berbagai bentuk asli yang menarik seperti menyerupai bentuk burung, dipilih seksama sebagai 'monumen' tanpa adanya modifikasi.

    Minimalnya modifikasi ukiran maupun ornamen yang dibuat di Monolit Toraja dapat dikaitkan sebagai simbol metafor bahwa manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak mencoba untuk mendominasi alam dengan pembersihan lahan dan pertanian skala besar. (Tilley, 2004 dalam Adams, 2009).

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 6

    Monolit di Tana Toraja berbentuk menhir dan disebut simbuang batu. Simbuang Batu merupakan medium penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi lambang orang yang dihormati. Simbuang Batu diberi nama sesuai nama pemiliknya sehingga diyakini merupakan refleksi dari almarhum. Pihak keluarga pun tidak "kehilangan" kerabatnya karena monumen batu itu menjadi wakil si mati di dunia. Dia tetap berada di tengah-tengah kerabat meski arwahnya telah abadi di langit.

    Berbeda dengan menhir yang merupakan simbol gender "laki-laki", simbuang batu tidak didirikan atas simbol gender tertentu. Batu-batu megalit ini didirikan oleh keluarga ketika ada orang yang meninggal untuk mengenangnya. Tidak setiap orang meninggal akan dibuatkan simbuang batu, namun hanya bangsawan laki-laki maupun perempuan dengan derajat tinggi di suku Toraja. Untuk upacara pemakamannya juga merupakan upacara tertinggi yang disebut Rapasan Sapurandan dan mengorbankan sedikitnya 24 ekor kerbau air. Jumlah ini bahkan dapat mencapai ratusan.

    Sebelum dilakukan perjalanan pencarian batu yang sesuai dengan keinginan keluarga, seekor babi harus dikorbankan untuk dewa tanah, Ampu Padang, karena sebuah batu akan dipindahkan dari 'kerajaannya'. Keluarga biasanya telah memesan untuk mencari sebuah batu dengan bentuk tertentu. Monolit Toraja diangkut secara tradisional dari gunung ataupun sungai. Setelah ditemukan batu yang tepat, batu tersebut akan ditarik oleh sejumlah pria menggunakan tali dari tumbuh-tumbuhan. Semakin besar batu tersebut, semakin banyak pria dibutuhkan untuk mengangkutnya. Diketahui dibutuhkan 40 pria untuk mengangkut sebuah batu berukuran 4x1,3 meter.2 Setelah batu tersebut mencapai Rante, diadakan upacara penyembelihan babi lagi karena sebuah lubang telah digali di bumi. Sepertiga bagian bawah batu ditanam di dalam tanah, menyisakan dua pertiganya menjulang di atas tanah.

    Beberapa simbuang batu dapat didirikan untuk seorang raja yang meninggal. Batu-batu ini disusun berbaris maupun melingkar membentuk suatu area plaza yang disembut Rante. Di sekeliling rante ada beberapa bangunan untuk mengadakan salah satu rangkaian upacara Rambu Solo'. Rangkaian upacara yang dilakukan di Rante termasuk adu kerbau, sabung ayam, dan pembangunan tongkonan sementara bagi tamu-tamu yang datang dari jauh untuk menghadiri pemakaman. setiap keluarga bangsawan memiliki Rante masing-masing untuk menggelar upacara bagi Rajanya. Banyak Rante tersebar di seluruh penjuru Tana Toraja; di tengah perkampungan, di area persawahan, maupun di tepi jalan. Beberapa sudah ditinggalkan seiring masuknya pengaruh agama tertentu yang memiliki tradisi berbeda untuk pemakaman jenazah.

    Upacara tarik batu tahun 1937.

    Sumber: F. Van Der Kooi, 1937

    2 Barry Dawson. The Traditional Architecture of Indonesia. 1994.

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 7

    Perbandingan tinggi manusia dengan Simbuang Batu

    Sumber: Tropenmuseum, 1935 Setelah pendirian simbuang batu dan upacara yang dilakukan di Rante, jenasah akan disemayamkan di Liang. Letak Liang (goa pemakaman) selalu berada di dekat pemukiman dan berada di tempat yang lebih tinggi, umumnya berada di arah selatan kampung. Liang berupa goa/ ceruk di tebing di bukit, pegunungan, ataupun tempat yang sengaja ditinggikan. Tujuan dari penempatan lokasi pemakaman yang dekat dengan pemukiman dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa ada hubungan timbal-balik antara orang yang masih hidup dengan orang yang meninggal. Letak pemakaman yang berada lebih tinggi dari pemukiman juga diyakini oleh kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di tempat yang lebih tinggi dari pemukiman agar dapat mengawasi perilaku manusia yang masih hidup di dunia.3

    Tata Letak Area Pemakaman Berada di Selatan Kampung

    Sumber: Wikimapia

    3 Muhammad Nur. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja.

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 8

    Simbuang Batu di Rante Kalimbuang Salah satu Rante yang terkenal adalah Rante Kalimbuang yang terdapat di Bori Kalimbuang, Rantepao, Toraja Utara. Di Rante Kalimbuang terdapat 102 simbuang batu yang berdiri tegak. Dilihat dari ukurannya, terdapat 3 jenis ukuran monolit. Monolit besar dengan tinggi lebih dari 2 meter, sedang dengan tinggi 1-2 meter, dan kecil dengan tinggi kurang dari 1 meter. Di Rante Kalimbuang, terdapat 24 batu berukuran besar, 24 ukuran sedang dan 54 yang berukuran kecil. Perbedaan ukuran batu umumnya disebabkan faktor ekonomi. Pasalnya, semakin besar dan berat batu, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat, menarik, maupun mendirikannya. Oleh karena itu, ukuran dan besarnya upacara akan mencerminkan status sosial keluarga pendiri Simbuang Batu.

    Rante Kalimbuang

    Sumber: Setyawan, 2012: travel.kompas.com Batu Tertinggi Rante Kalimbuang Sumber: travel.detik.com, 2011

    Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara pemakaman Ne'Ramba' di mana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun 1807 pada pemakaman Tonapa Ne'padda' didirikan 5 buah Simbuang Batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne'Lunde' yang pada upacaranya dikorbankan 100 ekor kerbau didirikan 3 buah Simbuang Batu.

    Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907 banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman Lai Datu (Ne'Kase') pada tahun 1935 didirikan satu buah Simbuang Batu yang terbesar dan tertinggi yang mencapai 8 meter. Simbuang Batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Sa'pang (Ne'Lai) pada tahun 1962.4

    Arsitektur Lanskap Megalitikum dan Orientasi Kosmis Toraja Lanskap budaya yang tergambarkan di Tana Toraja merefleksikan interaksi antara manusia dan lingkungan alaminya dalam ruang kehidupan dan waktu. Alam menjadi wadah dan padanan masyarakat, keduanya menjadi kekuatan yang membentuk lanskap. Pola perkampungan dengan susunan Tongkonan, tempat upacara, serta pemakaman yang terintegrasi mencerminkan The Way of Thinking masyarakat Toraja dalam mengaplikasikan ajaran Aluk To Dolo akan orientasi kosmis. Susunan Megalit Simbuang Batu yang berdiri di lanskap Tana Toraja menjadi bukti keyakinan masyarakat akan pemujaan leluhur untuk keselamatan dunia.

    Kepercayaan terhadap arwah leluhur telah dikenal dan dianut secara luas oleh masyarakat berbagai suku bangsa sejak akhir masa bercocok tanam. Sebagai penghubung antara orang yang masih hidup dengan arwah leluhur/ orang yang telah meninggal, didirikan bangunan-bangunan megalitik. Arwah

    4 Rotua Tresna Manurung. Upacara Kematian di Tana Toraja: Rambu Solo'. 2009.

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 9

    leluhur dianggap dapat hadir atau bersemayam di bangunan tersebut untuk menjaga masyarakat, menyuburkan tanaman, dan mengusir roh jahat atau bencana alam melalui ritual upacara tertentu. Hubungan manusia dengan arwah leluhur Toraja juga bersifat timbal balik karena diyakini keselamatan arwah leluhur di alam puya (baka) sangat ditentukan oleh perlakukan dari kerabat dan masyarakat yang ditinggalkannya di alam lino (dunia). Keselamatan arwah dijaga dengan pemenuhan kebutuhan dan syarat-syarat yang harus ada untuk melaksanakan upacara pemakaman sesuai ketentuan adat seperti persembahan dan bekal kubur.

    Berdasarkan konsep kepercayaan tersebut, dalam menjalankan berbagai ritual upacara dibutuhkan sarana seperti bangunan megalitik yang berfungsi sebagai media penghubung antara manusia dengan arwah. Megalit Simbuang Batu menjadi simbol dari seorang tokoh yang telah meninggal dan diyakini merupakan wakil dari Si Mati agar tetap hadir dan menjaga kehidupan keluarganya di dunia.

    Dalam kehidupan masyarakat Toraja selalu berusaha menciptakan keharmonisan dengan alam, masyarakat, dan arwah sesuai dengan ajaran Aluk To Dolo. Alam kehidupan dunia dianggap sebagai mikrokosmos yang harus selalu diselaraskan dengal alam jagad raya (makrokosmos). Keseimbangan tersebut dapat diwujudkan dalam aspek kehidupan dengan pengklasifikasian alam secara horizontal dan vertikal. Klasifikasi alam secara horizontal didasari dengan fenomena alam terbit dan tenggelamnya matahari di timur-barat dan arah yang dianggap sebagai arah suci asal leluhur di utara. Arah matahari terbit dianggap sebagai tempat bersemayamnya Ulunna Langi (penjaga langit) sedangkan arah matahari tenggelam dianggap sebagai tempat bersemayamnya Todolo (leluhur). Pembagian alam secara vertikal dibagi menjadi Dunia Atas tempat Puang Matua, Tolino (dunia), dan Dunia Bawah (tempat dewa berekor/ hewan).

    Klasifikasi kosmos tersebut dimanifestasikan dalam mikrokosmos lingkungan tempat tinggal masyarakat Toraja. Kelompok upacara Rambu Tuka (suka cita) dilaksanakan di sebelah timur pemukiman, sedangkan upacara Rambu Solo (duka cita) dilaksanakan di sebelah barat pemukiman. Upacara yang ditujukan kepada para dewa tempat pelaksanaannnya di sebelah utara Tongkonan atau tempat yang telah ditentukan secara khusus, dan upacara yang ditujukan kepada Bombo (arwah), tempat pelaksanaannya di sebelah selatan Tongkonan.

    Lokasi Rante tidak berada dalam klasifikasi kosmos pemukiman yang berpusat di Tongkonan, karena dianggap sebagai mikrokosmos tersendiri. Rante menjadi simbol suatu perkampungan adat pada waktu difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kematian, sehingga penempatannya adalah di tempat yang strategis dan memungkinkan untuk menampung banyak orang. Tata letak situs dan orientasi kosmis yang mendasari pola pemukiman dan tempat pelaksanaan ritual sangat dipengaruhi oleh konsep kosmologi yang bersumber pada ajaran Aluk To Dolo. Kepercayaan masyarakat Toraja tradisional memandangn bumi sebagai suatu lempengan luas yang terdiri dari dataran, bukit, gunung, dan sungai yang disangga oleh Deata (dewa).

    Keterangan: a. Pongko' b. Tasik (laut) c. Gunung Bamba Puang (gerbang menuju Puang Matua) d. Puya (Tanah dari semua yang berjiwa berpulang/ alam baka). e. Padang/ Lino (Dunia Tengah/dunia manusia) f. Langi' (Dunia Atas) g. Dunia Bawah. h. Pong Tulak Padang. i. Roh di dalam bumi. j. Puang Matua atau Ulunna Langi k. Tongkonan.

    Pandangan kosmologi masyarakat Toraja Sumber: Kis-Jovak. 1988 : 36

  • Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

    Resya Wulanningsih - 28913004 10

    Penutup: Simbuang Batu di Abad 21 Masuknya agama Kristen di tengah-tengah tradisi Toraja sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan dan cara hidup orang Toraja. Tradisi mulai dikonversi dari animisme murni ke arah cara hidup Kristen. Misionaris Kristen yang membawa ajaran agama mengajarkan kepada orang Toraja cara-cara pemakaman yang berbeda dengan tradisi Rambu Solo'. Berbagai aspek teknis upacara pemakaman seperti pembuatan boneka kayu Tau-Tau yang merepresentasikan almarhum, dieliminasi dari upacara pemakaman cara Kristen. Pendirian monolit, yang diyakini sebagai rumah sementara bagi jiwa orang yang meninggal sebelum pulang ke langit, telah lama absen dari upacara pemakaman Rambu Solo' dari pertengahan abad ke-20 karena mengandung konflik terhadap konsep Kristen mengenai tempat pembaringan terakhir bagi jenazah. (Ames, 1998 dalam Adams, 2009).

    Upacara besar yang melibatkan pendirian batu megalit merepresentasikan proses kompetisi bagi keluarga sang Raja dalam mendapatkan sejumlah besar orang untuk mengangkut batu dan datang ke upacara pemakaman. Semakin banyak orang yang datang ke upacara, maka semakin banyak pula tambahan jumlah korban hewan yang akan diterima oleh keluarga. Upacara pengorbanan hewan tetap dilaksanakan sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Toraja, dan menjadi salah satu fitur upacara Rambu Solo' cara Kristen. Semakin megah upacara, semakin banyak pengeluaran yang dihabiskan dan hewan yang dikorbankan, menepikan tradisi mendirikan Simbuang Batu dan membuat bangunan megalit menjadi kurang signifikan dibanding jumlah tenaga dan investasi yang dikeluarkan. Hal ini menjelaskan mengapa pembangunan batu Megalit menjadi semakin jarang terlihat di Tana Toraja.

    Referensi Adams, Ron L. 2009. Transforming Stone: Ethnoarchaeological Perspectives on Megalith Form in Eastern Indonesia. In Megalithic Quarrying: Extracting and Manipulating the Stones p. 83-92. Proceedings of the XV World Congress of the International Union for Prehistoric and Protohistoric Sciences. Oxford: Archaeopress.

    Blair, Lawrence & Blair, Lorne. 2012. Ring of Fire: Indonesia dalam Lingkaran Api. Jakarta: Ufuk Press.

    Dawson, Barry & Gillow, John. 1994. The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames & Hudson.

    Indratno, Imam. dkk. 2013. Refleksi Ruang Tongkonan (Studi Kasus: Kampung Adat Tua Sillanan, Tana Toraja). Bandung: Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung

    Kis-Jovak, Jowa Imre. 1988. Banua Toraja. Amsterdam: Royal Tropical Institute

    Nur, Muhammad. 2008. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi Etnoarkeologi). Makassar: Universitas Hasanudin

    Sumalyo, Yulianto. 2001. Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 29, No. 1, Juli 2001: 64 - 74

    Tsintjilonis, Dimitri. 2000. Death and the Sacrifice of Signs: 'Measuring' the Dead in Tana Toraja. Oceania Volume 71, Issue 1, Pages 1-17, September 2000. Proquest e-Journal ID 222380432. ISSN 00298077.

    /SIMBUANG BATU, JEJAK MEGALITIKUM DI LANSKAP TORAJAPengantar