sambuangan taguk pulih sebagai wujud saujana...

8
SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 227 Sambuangan Taguk Pulih sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo Syahriana Syam (1) , Ananto Yudono (2) , Ria Wikantari (1) , Afifah Harisah (1) [email protected] (1) Laboratorium Teori, Sejarah Arsitektur & Lingkungan Perilaku, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar (2) Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Kota, Program Studi PWK, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar. Abstrak Sejarah keberadaan permukiman nelayan dimulai kedatangan sekelompok etnis suku Bajo di lokasi pantai, menetap, berkembang secara turun temurun. Pemilihan lokasi berkaitan mata pencaharian suku Bajo, sebagai nelayan/berhubungan dengan laut, sehingga memilih lokasi di pulau atau pantai berdasarkan pasang surut air laut disebut manusia laut/Sama. System pelayaran dengan mengikutsertakan keluarga, dilakukan suku Bajo mulai berubah dengan membuat tempat tinggal sementara di pantai atau pulau, dikenal sebagai babaroh/papondok. Penelitian dengan fokus arsitektur lingkungan dan hunian suku Bajo, metode penelitian fenomenologi, untuk menjawab makna tangible, intangible ‘sambuangan taguk pulih’ konsep wujud saujana pembentuk kampoh suku Bajo. Temuan penelitian sebagai konsep dasar khasanah ilmu arsitektur permukiman, berpijak pada ilimu pengetahuan local dinyatakan sebagai konsep ruang hunian suku Bajo untuk keberlangsungan habitat dan ekosistem laut. Tujuan penelitian memperkaya data analisis dan menambah wawasan generasi penerus, tentang wujud saujana Kampoh Bajo, menyusun konsep alternative redesain, relokasi masyarakat suku Bajo secara spesifik, atau masyarakat pesisir secara umum. Kata kunci : Kampoh, suku Bajo, Sambuangan Taguk Pulih, Saujana Pendahuluan Suku Bajo sebagai suatu ethnic groups tampak sebagai suatu kesatuan , yang memiliki adat istiadat tertentu, dalam berkomunikasi maupun tata cara kehidupan mereka. Sejarah keberadaan nelayan dimulai dari kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi pantai, kemudian menetap dan berkembang secara turun temurun. Terpencar-pencar di pelbagai negara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei, Myanmar, Maldives dan Afrika Selatan. Riwayat asal-usul suku Bajo yang terdapat di Teluk Bone dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri disebutkan bahwa orang-orang Bajo berasal dari daerah Ussu di Luwu, Sulawesi Selatan, kemudian ke Teluk Bone. Bajo-bajo ta‟bajo-bajo, dan bayao dari bahasa Makassar, semuanya menunjukkan pengertian yang spekulatif, namun yang jelas bahwa apapun namanya, mereka menampakkan ciri-ciri khas, sehingga mereka berbeda dengan suku lain, yang paling menonjol adalah bahasanya yaitu bahasa Same‟ atau Sama. Beberapa riwayat asal-usul suku Bajo, hasil wawancara dari tokoh masyarakat, mantan Kepala Dusun Bajoe Pak Roso (sekitar tahun 1951-1971), salah satunya, cirita di bawah ini: Suku Bajo berasal dari Johor Malaysia; Johor dipimpin oleh seorang raja yang memiliki seorang puteri yang sangat cantik. Kecantikan puteri johor itu tersebar ke mana-mana sehingga berdatanganlah raja-raja lain untuk meminangnya. Pada suatu saat sang raja mencarikan seorang

Upload: vonhi

Post on 26-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 227

Sambuangan Taguk Pulih sebagai Wujud Saujana Arsitektur

Suku Bajo

Syahriana Syam(1), Ananto Yudono(2), Ria Wikantari(1), Afifah Harisah(1) [email protected]

(1)Laboratorium Teori, Sejarah Arsitektur & Lingkungan Perilaku, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas

Hasanuddin Makassar (2)Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Kota, Program Studi PWK, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar.

Abstrak

Sejarah keberadaan permukiman nelayan dimulai kedatangan sekelompok etnis suku Bajo di lokasi

pantai, menetap, berkembang secara turun temurun. Pemilihan lokasi berkaitan mata pencaharian

suku Bajo, sebagai nelayan/berhubungan dengan laut, sehingga memilih lokasi di pulau atau pantai

berdasarkan pasang surut air laut disebut manusia laut/Sama.

System pelayaran dengan mengikutsertakan keluarga, dilakukan suku Bajo mulai berubah dengan

membuat tempat tinggal sementara di pantai atau pulau, dikenal sebagai babaroh/papondok.

Penelitian dengan fokus arsitektur lingkungan dan hunian suku Bajo, metode penelitian

fenomenologi, untuk menjawab makna tangible, intangible ‘sambuangan taguk pulih’ konsep wujud

saujana pembentuk kampoh suku Bajo. Temuan penelitian sebagai konsep dasar khasanah ilmu

arsitektur permukiman, berpijak pada ilimu pengetahuan local dinyatakan sebagai konsep ruang

hunian suku Bajo untuk keberlangsungan habitat dan ekosistem laut. Tujuan penelitian memperkaya

data analisis dan menambah wawasan generasi penerus, tentang wujud saujana Kampoh Bajo,

menyusun konsep alternative redesain, relokasi masyarakat suku Bajo secara spesifik, atau

masyarakat pesisir secara umum.

Kata kunci : Kampoh, suku Bajo, Sambuangan Taguk Pulih, Saujana

Pendahuluan

Suku Bajo sebagai suatu ethnic groups tampak sebagai suatu kesatuan , yang memiliki adat istiadat

tertentu, dalam berkomunikasi maupun tata cara kehidupan mereka. Sejarah keberadaan nelayan

dimulai dari kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi pantai, kemudian menetap dan

berkembang secara turun temurun. Terpencar-pencar di pelbagai negara seperti Indonesia, Filipina,

Malaysia, Brunei, Myanmar, Maldives dan Afrika Selatan.

Riwayat asal-usul suku Bajo yang terdapat di Teluk Bone dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo

sendiri disebutkan bahwa orang-orang Bajo berasal dari daerah Ussu di Luwu, Sulawesi Selatan,

kemudian ke Teluk Bone. Bajo-bajo ta‟bajo-bajo, dan bayao dari bahasa Makassar, semuanya

menunjukkan pengertian yang spekulatif, namun yang jelas bahwa apapun namanya, mereka

menampakkan ciri-ciri khas, sehingga mereka berbeda dengan suku lain, yang paling menonjol

adalah bahasanya yaitu bahasa Same‟ atau Sama.

Beberapa riwayat asal-usul suku Bajo, hasil wawancara dari tokoh masyarakat, mantan Kepala

Dusun Bajoe Pak Roso (sekitar tahun 1951-1971), salah satunya, cirita di bawah ini:

Suku Bajo berasal dari Johor Malaysia; Johor dipimpin oleh seorang raja yang memiliki seorang

puteri yang sangat cantik. Kecantikan puteri johor itu tersebar ke mana-mana sehingga

berdatanganlah raja-raja lain untuk meminangnya. Pada suatu saat sang raja mencarikan seorang

Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo

B 228 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

pangerang untuk menjadi pendamping puterinya, akhirnya diadakan suatu sayembara untuk

menentukan calon suami sang puteri. Akhirnya sayembara tersebut dimenangkan oleh salah seorang

putera mahkota dari Klantan. Akan tetapi sebelum pesta perkawinan berlangsung, Puteri sultan ingin

menikmati bulan purnama sambil mandi-mandi di laut. Permintaan tersebut dikabulkan dengan

syarat bahwa dayang-dayangnya harus ikut mengawalnya. Lalu berangkatla Sang Putri dengan

dikawal oleh beberapa orang menuju ke tepi pantai. Padasaat pPutri sedang mandi-mandi, seketika

itu cuaca berubah, hujan turun dengan lebatnya disertai petir dengan guntur, angin topan dan

ombak datang mengganas, sehingga para dayang-dayang terpencar –pencar. Dihempas oleh ombak

besar. Dan setelah cuaca kembali membaik, para dayang-dayang baru mengetahui bahwa sang putri

hilang tanpa jejak, mereka kaget, bingung dan ketakutan, karena sudah berusaha mencari tetap

tidak ditemukan. Karena usahanya sia-sia, lalu mereka pulang ke istana melaporkan tentang

kehilangan sang putri, mendengar laporan dayang-dayang itu, membuat Sultan jadi kaget dan

bersedih karena putri satu-satunya yang selama ini turut mengharumi dan menjadikan nama

kerajaan sangat terkenal, disamping itu Sultan sanagt malu karena baru saja menerima pinangan

seorang putra bangsawan dari Klantan. Kemudian Sultan mengumpulkan dan memerintahkan

kepada rakyatnya untuk berangkat mencari puerinya yang hilang dengan ancaman bahwa tidak

seorangpun yang boleh kembali dengan selamat, sebelum menemukan puterinya itu. Karena

perintah Sultannya yang harus dilaksanakan, maka berangkatlah mereka bersama keluarganya

dengan mengendarai perahu layar untuk menelusuru sepanjang pantai. Dalam perjalanan mereka

membawa lambang berupa bendera yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ula-ula. Tetapi

tidak satupun dari rombongan itu yang berhasil menemukannya, sehingga menetaplah mereka di

beberapa daerah pesisir pantai, seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, karena mereka takut

pulang, dan akhirnya mereka tinggal di atas perahu masing-masing. (Syam,hal 56:2003).

Bertolak dari kisah tersebut di atas diduga bahwa kelompok manusia itulah yang tinggal menetap di

pesisir pantai di kepulauan Indonesia, yang sumber kehidupan satu-satunya adalah bergantung pada

hasil laut. Suku Bajo sebagai mengembara laut, mereka suka berpindah-pindah dari suatu pesisir ke

pesisir pantai lainnya, apalagi jika mendapat tekanan dan gangguan dari lingkungan sekitarnya,

maka dengan cepat ia akan berlayar meninggalkan tempat itu, dan mencari tempat yang lebih aman.

Kalau secara internasional suku bajo berasal dari Kepulauan Sulu Filiphina, kemudian ada diantara

mereka menelusuri pesisir pantai hingga ia sampai di negeri Johor Malaysia, kemudian seterusnya

terdapat generasinya yang melanjutkan kebiasaan itu, hingga ada yang sampai di daerah Usu’ Malili

Kabupaten Luwu. Kemudian dari muara sungai Cerekang mereka hanyut dan berlayar hingga sampai

di Bajoe Kabupaten Bone.

Proses Bermukim Suku Bajo di Bajoe

Pesisir pantai yang dibangun Suku Bajo sebagai kampoh adalah diwilayah pesisir teluk Bone kelurahan Bajoe kecamatan Tanete Riattang Timur Kota Administratif Watampone. Kampoh mereka terdiri atas satu dusun yang dikenal dengan nama dusun Bajo. Kampoh Bajo mula-mula dibuka dan ditempati oleh para leluhur Bajo dengan cara membersihkan daerah tersebut dari pohon-pohon bakau lalu menanam tonggak penambak bidok, dan tonggak ini disebut sambuah, yang dipancangkan dengan sebutan sambungan taguk pulih artinya patok yang tetap atau patok yang mati yang tidak dapat dicabut lagi. Kampoh ini tidak mempunyai rumah, karena saat ini orang Bajo blum mengenal rumah. Mereka tinggal bersama keluarganya dalam perahu yang mereka gunakan sebagai tempat tinggal.

Suku Bajo yang ada saat ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan penjajah bersama Kerajaan Bone, dalam upaya mempertahankan diri dari serbuan musuh. Melihat Bajoe sebagai daerah starategis untuk pertahanan, maka Raja Bone memerintahkan orang Bajo memindahkan lokasi kampoh dari Cellu ke Bajoe yang pada waktu itu belum mempunyai penduduk dan nama desa.

Syahriana Syam

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 229

Tugas orang Bajo adalah mempertahankan pesisir pantai Bajoe dari serbuan musuh. Karena orang Bajo telah pindah dari Cellu maka kalangan Kerajaan Bone memberikan istilah Bajoe yang artinya tempat orang Bajo. Pada akhirnya, istilah ini menjadi nama pada daerah permukiman orang Bajo di daerah pesisir pantai di sekitar pelabuhan Teluk Bone. Kemudian rumahnya berkembang sebagai suatu masyarakat tradisional seperti halnya komunitas

lain yang ada di Sulawesi Selatan, dilihat dari segi bentuk rumahnya secara keseluruhan lebih

sederhana dibanding dengan bentuk rumah tinggal komunitas Suku Bugis dan Mandar, umumnya

menggunakan bahan lokal.

Pembahasan

Pengetahuan masyarakat Bajo, dari perspektif sosial budaya yang di bangun dari hasil intraksi sosial

budaya dalam menjalin kehidupan sehari-hari dengan suku lain. Menurut Soekanto (71:2009),

bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), bahkan

dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).

Petualang Orang Bajo dalam mengorientasi alam telah banyak memberikan pengalaman dan

pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, seperti peredaran bulan, matahari atau

musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk ilmu perbintangan meskipun dengan cara

tradisional. Sekitar tahun 1935 suku Bajo masih hidup di perahu-perahu dalam bentuk satuan

kelompok pelayaran. Perahu yang digunakan tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut dan

penghubung dari suatu tempat ke tempat yang lain yang disebut lepe dan perahu yang digunakan

dalam mengumpul hasil hasil laut disekitar karang-karangan disebut lelepe atau sampan, tapi juga

sebagai tempat tinggal yang disebut bidok. Masing-masing bidok dianggap sebagai satu rumah

tangga dan setiap bidok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut punggawa bidok. Pada

umumnya bidok dihuni sekitar 10 sampai dengan 15 jiwa, yang disesuaikan dengan tuntutan

pelayanan untuk mengendalikan perahu, terutama ketika berlayar, misalnya: tugas sebagai

pemegang kemudi, pengukur kedalam air, petugas penjaga keseimbangan perahu, pengamat karang,

pemompa air, pemegang kendali layar dan sebagainya.

Sebuah bidok dihuni oleh ayah, ibu dan generasi mereka yang belum menikah ditambah orang

dewasa yang bertugas di bidok ketika berlayar. Bidok tersebut terdiri atas tiga bahagian yaitu

mabulik (belakang) ditempati para pembantu dan petugas dapur, bahagian titingak (tengah)

ditempati oleh istri bersama bayi-bayinya, sedangkan bahagian mamundak (depan) ditempati oleh

para petugas pelayaran.

Jumlah bidok dalam satu kelompok pelayaran tidak ada ketentuan, tetapi pada umumnya berkisar 15

sampai 20 bidok, yang dipimpin oleh Punggawa Same atau atowe kampoh dari golongan Lolo Bajo,

yang mereka pilih melalui kesepakatan mereka dalam forum yang sederhana. Mereka yang berada

dalam kelompok pelayaran yang dipimpin oleh Punggawe Same dinamakan anak parenta (anggota

atau anak buah) artinya anggota harus tunduk dan patuh dibawah perintah Punggawe. Dengan

demikian bahwa Punggawe merupakan pemimpin tunggal, karena tidak mempunyai wakil atau

pembantu khusus, kecuali guru dan sariang (petugas yang bertugas dalam soal perkawinan dan

orang mati).

Perjalanan kelompok pelayaran ini, dari kampung tertentu ke gugusan karang sebagai tempat

mencari hasil laut, kadang sampai berbulan-bulan (dua atau tiga bulan) baru mereka kembali lagi

pada tempat atau perkampungan di tepi pantai, kemudian menjual atau menukar hasil lautnya

dengan sagu, beras, gula, tembakau, sayur-sayuran, buah-buahan sebagai bekal mereka untuk

berlayar lagi.

Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo

B 230 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Tempat berlabuh suku Bajo itu adalah Desa Cellu yang mereka sebut tanah mirak (merah) yang

tidak berlumpur dan menjadi kering jika air pasang turun. Karena adanya perubahan ekologis daerah

Cellu menjadi daerah kering sehingga menjadi daratan yang difungsikan untuk areal persawahan

dan permukiman, akibatnya tempat star dan berlabuhnya bergeser ke Bajoe sekitar dua kilimoter

dari arah timur Cellu.

Saat Suku Bajo tinggal di Cellu sampai mereka pindah dan menetap di Lassareng, belum memiliki

rumah sebagai tempat tinggal, mereka masih tinggal di bidok (perahunya), dengan demikian kesan

perkampungan menurut suku Bugis pada waktu itu hanya merupakan tempat berlabuh yang sifatnya

sementara saja, padahal sebenarnya menurut suku Bajo adalah tempat tinggal atau perkampungan

tetap, bukan tempat berlabuh biasa, karena identitas perkampungan menurut mereka berupa :

a. Pohon-pohon bakau dan pohon-pohon lainnya yang dapat mengganggu telah dibersihkan oleh

mereka.

b. Penanaman sambuah (tonggak penambatan bidok) yang cukup dalam dan tidak boleh dicabut

atau dirusak dengan sengaja, sehingga disebut sambuah taguk pulih (sambuah tetap).

c. Penancapan balok penyangga ruas (balok angsale), agar bidok tidak tenggalam dalam lumpur

sewaktu air surut. Balok angsale bersifat tetap, walaupun ditinggalkan berlayar berbulan-bulan

lamanya ke gugusan karang.

Jenis perkampungan Suku Bajo, dapat dikenal melalui bendera ulaula, jika ulaula itu berwarna hitam,

maka perkampungan itu dipimpin keturunan Lolo Bajo dari pihak laki-laki, sedangkan warna merah

bercampur putih dan kuning, maka dapat dipastikan pemimpin perkampungan itu adalah keturunan

Lolo Bajo dari pihak perempuan. Apabila Punggawe Same dan semua anak parentanya berlayar

maka tempat tersebut tampak kosong tak berpenghuni karena pada waktu itu belum ada rumah

yang dibuat. Dengan demikian yang kelihatan adalah tonggak-tonggak sambuah serta balok angsale.

Sekembalinya dari Lassareng ke Bajoe, barulah mereka mulai membangun rumah-rumah kecil yang

disebut babaroh, yang terbuat dari batang bakau lalu disambung dengan tali-temali dengan bentuk

atap yang lepas, sehingga diperlukan beberapa utas tali untuk menahan atap agar tidak terbang jika

tertiup angin. Selanjutnya dijelaskan bahwa : “Mereka mulai membangun bangunan kecil-kecil yang

terbuat dari batang pohon-pohon bakau yang disambung dengan tali temali dan sebentuk atap lepas

tanpa bubungan, sehingga diperlukan beberapa utas tali penahan yang diikat membentang di atas

atap agar tidak terbang ditiup angin. Bangunan jenis disebut babaroh, digunakan hanya sebagai

tempat istirahat setelah kembali dari mencari hasil laut dan untuk menjemur hasil lautnya. Tetapi

tempat tinggal mereka masih di bidok yang ditambatkan dekat babarohnya. Setelah mereka

menghuni babaroh, maka bangunan ini disempurnahkan dengan membuat bubungan atap,

bangunan yang telah berkembang disebut papondok. Selanjutnya bila papondok dibuat lebih kokoh

dan sempurnah, baik bubungan, dinding dan tiang-tiang sudah mulai disambung dengan

menggunakan pasak dan paku yang disebut rumak. Pengaruh proses perubahan rumah dari babaroh,

papondok menjadi rumak sebagai tempat tinggal menyebabkan mereka juga mulai meninggalkan

bidok sebagai tempat tinggal dan menggatikan dengan perahu yang lebih kecil sopek-sopek,

jarangkah dan lepe, yang digunakan sebagai alat pengangkut dan mencari hasil laut di karang-

karang yang ada disekitarnya”.

Sejak abad ke-19 orang Bajo mulai menerima kehidupan yang lebih menetap, maka dari pelbagai

tempat dilaporkan bahwa orang Bajo mulai meninggalkan kehidupan asli mereka, lalu berbaur

dengan penduduk dartan di sepanjang pantai.

Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan cara hidup di perahu berpindah kepada tempat

yang lebih menetap yaitu rumah yang didirikan di sepanjang pesisir pantai. Pada awak kedatangan

Syahriana Syam

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 231

mereka di Teluk Bone Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, permukiman

mereka tidak teratur.rumah ini sangat sederhana karena tiang-tiangnya masih terbuat dari pohon

kelapa dan kayu bakau yang banyak terdapat di sekitarnya, bahkan untuk saling menghubungkan

dan menguatkan antara satu tiang denagn tiang yang lain hanya diikat dengan tali atau akar kayu.

Tatanan ruang dalam rumah tidak memeiliki pemisah, sehingga tidak jelas antara satu dengan ruang

yang lainnya. (Syam:2003 Wawancara H.Jaelani Dg.Sitakka Mantan Kepala Lingkungan 1951-1971

dan Pak Roso, Kepala Lingkungan saat ini).

Ada beberapa alasan yang diperhatikan oleh suku Bajo dalam memilih tempat bermukim di sekitar

pantai:

a. Sebagai pedoman untuk menetapkan saat pergi ke laut, yaitu dari terdengarnya desiran ombak

ketika takale ale goyak (air pasang naik).

b. Sebagai penentraman hati diwaktu istirahat, yaitu dari pengaruh gelombang pasang yang

membuat bidok oleng (palelengge) hingga terlena oleh buaian ombak yang menghempas di

lambung perahu.

c. Mempercepat dan mempermudah bertolak ke laut sewaktu pasang naik dan membuat mereka

selalu dekat dengan bidoknya masing-masing.

Bentuk rumah suku Bajo, sama dengan bentuk rumah orang Bugis, hanya saja kalau dilihat dari segi

stratifikasi sosialnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Rumak (rumah) yaitu bentuk rumah besar, yang tiangnya terdiri atas empat berderet ke samping

dan ke muka, bentuknya bujur sangkar, rumah semacam ini dimiliki oleh golongan Lolo Bajo.

2. Babaroh (rumah kecil) yaitu rumah kecil yang tiangnya terdiri dari tiga berderet ke samping dan

ke muka, denagn bentuk bujur sangkar. Rumah semacam ini dimiliki oleh orang Bajo pada

umumnya.

Di bawah ini akan menjelaskan transformasi hunian suku Bajo, mulai dari penambat patok sambuah

teguk pulih (bidok, lepe/tempat tinggal, alat angkut dan berlayar mencari hasil laut), babarok,

papondok, kemudian berkembang menjadi rumak di atas karang (daratan).

Tabel 1. Perubahan Hunian Suku Bajo di Bajoe Kabupaten Bone

Periode 1825 -

...

Periode 1928 -

Periode 1956 -

Periode 1980 –

hingga saat ini

Sumber: Syam, 2003

Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo

B 232 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Rumak atau rumah dinyatakan sebagai satu rumah tangga walaupun di dalamnya tinggal lebih dari

satu keluarga. Susunan rumahnya dibangun sedemikian rupa, sesuai dengan falsafah mereka pupok

patepik-tepik dipadijer (berkumpul-kumpul, berderet-deret dan berdekatan). Rapoport (1969),

bahwa arsitektur merupakan ekspresi dari pattern language dan form language. Sebuah lingkungan

terbangun dengan baik jika mengkombinasikan antara pattern language dan form language,

hendaknya saling melengkapi. Seperti halnya system setting hunian suku Bajo yang menyesuaikan

dengan kondisi alam tempat mereka bermukim yaitu iklim, lokasi (di pesisir pantai dan daratan)

yang masih berhubungan dengan laut, social budaya yang masih kental dengan mikro-makrokosmos,

symbol, ritual dan tradisi). Dilanjutkan Rapoport (1969) mengemukakan bahwa perwujudan dari

sebuah ruang untuk tempat tinggal dipengaruhi oleh aspek fisik dan social budaya, yang merupakan

aspek dominan yang menentukan bentuk suatu ruang. Terlihat tata ruang hunian suku Bajo yang

mencerminkan kehidupan social budaya mereka, meskipun telah mengalami perubahan, khususnya

bahan/material dan kebutuhan ruang, tetapi hubungan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan

roh leluhur sebagai penguasa alam yang behubungan dengan ritual (daratan dan laut) masih tetap

dipertahankan hingga saat ini. Sejalan dengan Lefebvre (1991), ruang diciptakan menurut cara

tinggal dalam kehidupan social dalam sebuah kehidupan social, material fisik ruang dan non material

dari ruang yang terkonsepsi dalam benak manusia. Berikut ini, aplikasi adaptasi dalam kearifan local

suku Bajo untuk pelestarian lingkungan binaan kontemporer

Manusia akan memutuskan untuk memilih atau tetap tinggal pada suatu tempat dengan melakukan

adaptasi dengan lingkungan, seperti halnya adaptasi yang hidup di air berupa bentuk dan struktur

hunian, alat-alat transportasi, system ekonomi, system religi dan system pengetahuan.

Bajo melakukan adaptasi terhadap system pengetahuan dengan adanya tanda-tanda alam, manusia,

bintang, ombak, ekonomi, religi, transportasi, lingkungan tempat tinggal dan teknologi. Makna

hunian suku Bajo memperlihatkan adanya hubungan antara manusia dengan leluhur pada laut,

hubungan antara manusia tempat bermukim (kampoh) dan lingkungan alam secara makro.

Lingkungan permukiman suku Bajo dengan kearifan local yang bersifat tangible dan intangible

merupakan pengetahuan yang unik tentang kehidupan dalam makna konsep sambuangan taguk

Gambar 1. Skema Konsep Pelestarian dan Pengembangan Kampoh Bajo

Hasil Analisis Wikantari & Syam (2008)

Syahriana Syam

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 233

pulih’ dalam memilih tempat untuk bermukim. Namun perubahan lingkungan tapak yang sudah

menjadi darat, telah menjadikan ruang bermukim mereka mengalami kesulitan akses perahu dari

laut ke rumah-rumah mereka.

Lingkungan permukiman suku Bajo dengan kearifan local yang bersifat tangible dan intangible

merupakan pengetahuan yang unik tentang kehidupan dalam makna konsep sambuangan taguk

pulih’ dalam memilih tempat untuk bermukim. Namun perubahan lingkungan tapak yang sudah

menjadi darat, telah menjadikan ruang bermukim mereka mengalami kesulitan akses perahu dari

laut ke rumah-rumah mereka.

Kesimpulan

Konsep sambuangan taguk pulih mengandung makna tetap atau patok yang mati yang tidak dapat

dicabut lagi, sebagai batas (teritori) lokasi kampoh, dimana mereka akan hidup dengan damai

menyatu dengan laut. Wujud saujana arsitektur permukiman suku Bajo, berorientasi utama dengan

laut, memelihara ruang laut sebagai tempat leluhur, dan isinya sebagai sumber kehidupan mereka

agar tetap hidup selaras dan harmonis dengan alam semesta.

Daftar Pustaka

Lefebvre, H. (1991). The Production of Space, Blackwell Oxford, UK & Cambridge, USA Manan, A. (2017). The Identity and Culture Of Bajau Ethnicfrom Bajau People Perspectives, International Science

Conference of Sea Gypsy-Unhas, Makassar Indonesia. Muhadjir, N. (1989). Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta.

Gambar 2. Kondisi Lingkungan Kampoh Bajo

Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo

B 234 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Rapoport, A. (1969). House, Form, and Culture, Prentice Hall Inc, London. Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta. Syam, S. (2015). Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik, Proseding IPLBI Manado, Indonesia. Syam, S. (2003). Keberadaan Rumah Tinggal Suku bajo terhadap Perubahan Habitat. Jogjakarta, Department of

Architecture and Planning, Gadjah Mada University. Wikantari, R. & Syam, S. (2008), Konsep Tetean Pada Permukiman Suku Bajo, Senvar 2008.