sambuangan taguk pulih sebagai wujud saujana...
TRANSCRIPT
SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 227
Sambuangan Taguk Pulih sebagai Wujud Saujana Arsitektur
Suku Bajo
Syahriana Syam(1), Ananto Yudono(2), Ria Wikantari(1), Afifah Harisah(1) [email protected]
(1)Laboratorium Teori, Sejarah Arsitektur & Lingkungan Perilaku, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Hasanuddin Makassar (2)Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Kota, Program Studi PWK, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar.
Abstrak
Sejarah keberadaan permukiman nelayan dimulai kedatangan sekelompok etnis suku Bajo di lokasi
pantai, menetap, berkembang secara turun temurun. Pemilihan lokasi berkaitan mata pencaharian
suku Bajo, sebagai nelayan/berhubungan dengan laut, sehingga memilih lokasi di pulau atau pantai
berdasarkan pasang surut air laut disebut manusia laut/Sama.
System pelayaran dengan mengikutsertakan keluarga, dilakukan suku Bajo mulai berubah dengan
membuat tempat tinggal sementara di pantai atau pulau, dikenal sebagai babaroh/papondok.
Penelitian dengan fokus arsitektur lingkungan dan hunian suku Bajo, metode penelitian
fenomenologi, untuk menjawab makna tangible, intangible ‘sambuangan taguk pulih’ konsep wujud
saujana pembentuk kampoh suku Bajo. Temuan penelitian sebagai konsep dasar khasanah ilmu
arsitektur permukiman, berpijak pada ilimu pengetahuan local dinyatakan sebagai konsep ruang
hunian suku Bajo untuk keberlangsungan habitat dan ekosistem laut. Tujuan penelitian memperkaya
data analisis dan menambah wawasan generasi penerus, tentang wujud saujana Kampoh Bajo,
menyusun konsep alternative redesain, relokasi masyarakat suku Bajo secara spesifik, atau
masyarakat pesisir secara umum.
Kata kunci : Kampoh, suku Bajo, Sambuangan Taguk Pulih, Saujana
Pendahuluan
Suku Bajo sebagai suatu ethnic groups tampak sebagai suatu kesatuan , yang memiliki adat istiadat
tertentu, dalam berkomunikasi maupun tata cara kehidupan mereka. Sejarah keberadaan nelayan
dimulai dari kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi pantai, kemudian menetap dan
berkembang secara turun temurun. Terpencar-pencar di pelbagai negara seperti Indonesia, Filipina,
Malaysia, Brunei, Myanmar, Maldives dan Afrika Selatan.
Riwayat asal-usul suku Bajo yang terdapat di Teluk Bone dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo
sendiri disebutkan bahwa orang-orang Bajo berasal dari daerah Ussu di Luwu, Sulawesi Selatan,
kemudian ke Teluk Bone. Bajo-bajo ta‟bajo-bajo, dan bayao dari bahasa Makassar, semuanya
menunjukkan pengertian yang spekulatif, namun yang jelas bahwa apapun namanya, mereka
menampakkan ciri-ciri khas, sehingga mereka berbeda dengan suku lain, yang paling menonjol
adalah bahasanya yaitu bahasa Same‟ atau Sama.
Beberapa riwayat asal-usul suku Bajo, hasil wawancara dari tokoh masyarakat, mantan Kepala
Dusun Bajoe Pak Roso (sekitar tahun 1951-1971), salah satunya, cirita di bawah ini:
Suku Bajo berasal dari Johor Malaysia; Johor dipimpin oleh seorang raja yang memiliki seorang
puteri yang sangat cantik. Kecantikan puteri johor itu tersebar ke mana-mana sehingga
berdatanganlah raja-raja lain untuk meminangnya. Pada suatu saat sang raja mencarikan seorang
Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo
B 228 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
pangerang untuk menjadi pendamping puterinya, akhirnya diadakan suatu sayembara untuk
menentukan calon suami sang puteri. Akhirnya sayembara tersebut dimenangkan oleh salah seorang
putera mahkota dari Klantan. Akan tetapi sebelum pesta perkawinan berlangsung, Puteri sultan ingin
menikmati bulan purnama sambil mandi-mandi di laut. Permintaan tersebut dikabulkan dengan
syarat bahwa dayang-dayangnya harus ikut mengawalnya. Lalu berangkatla Sang Putri dengan
dikawal oleh beberapa orang menuju ke tepi pantai. Padasaat pPutri sedang mandi-mandi, seketika
itu cuaca berubah, hujan turun dengan lebatnya disertai petir dengan guntur, angin topan dan
ombak datang mengganas, sehingga para dayang-dayang terpencar –pencar. Dihempas oleh ombak
besar. Dan setelah cuaca kembali membaik, para dayang-dayang baru mengetahui bahwa sang putri
hilang tanpa jejak, mereka kaget, bingung dan ketakutan, karena sudah berusaha mencari tetap
tidak ditemukan. Karena usahanya sia-sia, lalu mereka pulang ke istana melaporkan tentang
kehilangan sang putri, mendengar laporan dayang-dayang itu, membuat Sultan jadi kaget dan
bersedih karena putri satu-satunya yang selama ini turut mengharumi dan menjadikan nama
kerajaan sangat terkenal, disamping itu Sultan sanagt malu karena baru saja menerima pinangan
seorang putra bangsawan dari Klantan. Kemudian Sultan mengumpulkan dan memerintahkan
kepada rakyatnya untuk berangkat mencari puerinya yang hilang dengan ancaman bahwa tidak
seorangpun yang boleh kembali dengan selamat, sebelum menemukan puterinya itu. Karena
perintah Sultannya yang harus dilaksanakan, maka berangkatlah mereka bersama keluarganya
dengan mengendarai perahu layar untuk menelusuru sepanjang pantai. Dalam perjalanan mereka
membawa lambang berupa bendera yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ula-ula. Tetapi
tidak satupun dari rombongan itu yang berhasil menemukannya, sehingga menetaplah mereka di
beberapa daerah pesisir pantai, seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, karena mereka takut
pulang, dan akhirnya mereka tinggal di atas perahu masing-masing. (Syam,hal 56:2003).
Bertolak dari kisah tersebut di atas diduga bahwa kelompok manusia itulah yang tinggal menetap di
pesisir pantai di kepulauan Indonesia, yang sumber kehidupan satu-satunya adalah bergantung pada
hasil laut. Suku Bajo sebagai mengembara laut, mereka suka berpindah-pindah dari suatu pesisir ke
pesisir pantai lainnya, apalagi jika mendapat tekanan dan gangguan dari lingkungan sekitarnya,
maka dengan cepat ia akan berlayar meninggalkan tempat itu, dan mencari tempat yang lebih aman.
Kalau secara internasional suku bajo berasal dari Kepulauan Sulu Filiphina, kemudian ada diantara
mereka menelusuri pesisir pantai hingga ia sampai di negeri Johor Malaysia, kemudian seterusnya
terdapat generasinya yang melanjutkan kebiasaan itu, hingga ada yang sampai di daerah Usu’ Malili
Kabupaten Luwu. Kemudian dari muara sungai Cerekang mereka hanyut dan berlayar hingga sampai
di Bajoe Kabupaten Bone.
Proses Bermukim Suku Bajo di Bajoe
Pesisir pantai yang dibangun Suku Bajo sebagai kampoh adalah diwilayah pesisir teluk Bone kelurahan Bajoe kecamatan Tanete Riattang Timur Kota Administratif Watampone. Kampoh mereka terdiri atas satu dusun yang dikenal dengan nama dusun Bajo. Kampoh Bajo mula-mula dibuka dan ditempati oleh para leluhur Bajo dengan cara membersihkan daerah tersebut dari pohon-pohon bakau lalu menanam tonggak penambak bidok, dan tonggak ini disebut sambuah, yang dipancangkan dengan sebutan sambungan taguk pulih artinya patok yang tetap atau patok yang mati yang tidak dapat dicabut lagi. Kampoh ini tidak mempunyai rumah, karena saat ini orang Bajo blum mengenal rumah. Mereka tinggal bersama keluarganya dalam perahu yang mereka gunakan sebagai tempat tinggal.
Suku Bajo yang ada saat ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan penjajah bersama Kerajaan Bone, dalam upaya mempertahankan diri dari serbuan musuh. Melihat Bajoe sebagai daerah starategis untuk pertahanan, maka Raja Bone memerintahkan orang Bajo memindahkan lokasi kampoh dari Cellu ke Bajoe yang pada waktu itu belum mempunyai penduduk dan nama desa.
Syahriana Syam
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 229
Tugas orang Bajo adalah mempertahankan pesisir pantai Bajoe dari serbuan musuh. Karena orang Bajo telah pindah dari Cellu maka kalangan Kerajaan Bone memberikan istilah Bajoe yang artinya tempat orang Bajo. Pada akhirnya, istilah ini menjadi nama pada daerah permukiman orang Bajo di daerah pesisir pantai di sekitar pelabuhan Teluk Bone. Kemudian rumahnya berkembang sebagai suatu masyarakat tradisional seperti halnya komunitas
lain yang ada di Sulawesi Selatan, dilihat dari segi bentuk rumahnya secara keseluruhan lebih
sederhana dibanding dengan bentuk rumah tinggal komunitas Suku Bugis dan Mandar, umumnya
menggunakan bahan lokal.
Pembahasan
Pengetahuan masyarakat Bajo, dari perspektif sosial budaya yang di bangun dari hasil intraksi sosial
budaya dalam menjalin kehidupan sehari-hari dengan suku lain. Menurut Soekanto (71:2009),
bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), bahkan
dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).
Petualang Orang Bajo dalam mengorientasi alam telah banyak memberikan pengalaman dan
pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, seperti peredaran bulan, matahari atau
musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk ilmu perbintangan meskipun dengan cara
tradisional. Sekitar tahun 1935 suku Bajo masih hidup di perahu-perahu dalam bentuk satuan
kelompok pelayaran. Perahu yang digunakan tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut dan
penghubung dari suatu tempat ke tempat yang lain yang disebut lepe dan perahu yang digunakan
dalam mengumpul hasil hasil laut disekitar karang-karangan disebut lelepe atau sampan, tapi juga
sebagai tempat tinggal yang disebut bidok. Masing-masing bidok dianggap sebagai satu rumah
tangga dan setiap bidok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut punggawa bidok. Pada
umumnya bidok dihuni sekitar 10 sampai dengan 15 jiwa, yang disesuaikan dengan tuntutan
pelayanan untuk mengendalikan perahu, terutama ketika berlayar, misalnya: tugas sebagai
pemegang kemudi, pengukur kedalam air, petugas penjaga keseimbangan perahu, pengamat karang,
pemompa air, pemegang kendali layar dan sebagainya.
Sebuah bidok dihuni oleh ayah, ibu dan generasi mereka yang belum menikah ditambah orang
dewasa yang bertugas di bidok ketika berlayar. Bidok tersebut terdiri atas tiga bahagian yaitu
mabulik (belakang) ditempati para pembantu dan petugas dapur, bahagian titingak (tengah)
ditempati oleh istri bersama bayi-bayinya, sedangkan bahagian mamundak (depan) ditempati oleh
para petugas pelayaran.
Jumlah bidok dalam satu kelompok pelayaran tidak ada ketentuan, tetapi pada umumnya berkisar 15
sampai 20 bidok, yang dipimpin oleh Punggawa Same atau atowe kampoh dari golongan Lolo Bajo,
yang mereka pilih melalui kesepakatan mereka dalam forum yang sederhana. Mereka yang berada
dalam kelompok pelayaran yang dipimpin oleh Punggawe Same dinamakan anak parenta (anggota
atau anak buah) artinya anggota harus tunduk dan patuh dibawah perintah Punggawe. Dengan
demikian bahwa Punggawe merupakan pemimpin tunggal, karena tidak mempunyai wakil atau
pembantu khusus, kecuali guru dan sariang (petugas yang bertugas dalam soal perkawinan dan
orang mati).
Perjalanan kelompok pelayaran ini, dari kampung tertentu ke gugusan karang sebagai tempat
mencari hasil laut, kadang sampai berbulan-bulan (dua atau tiga bulan) baru mereka kembali lagi
pada tempat atau perkampungan di tepi pantai, kemudian menjual atau menukar hasil lautnya
dengan sagu, beras, gula, tembakau, sayur-sayuran, buah-buahan sebagai bekal mereka untuk
berlayar lagi.
Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo
B 230 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Tempat berlabuh suku Bajo itu adalah Desa Cellu yang mereka sebut tanah mirak (merah) yang
tidak berlumpur dan menjadi kering jika air pasang turun. Karena adanya perubahan ekologis daerah
Cellu menjadi daerah kering sehingga menjadi daratan yang difungsikan untuk areal persawahan
dan permukiman, akibatnya tempat star dan berlabuhnya bergeser ke Bajoe sekitar dua kilimoter
dari arah timur Cellu.
Saat Suku Bajo tinggal di Cellu sampai mereka pindah dan menetap di Lassareng, belum memiliki
rumah sebagai tempat tinggal, mereka masih tinggal di bidok (perahunya), dengan demikian kesan
perkampungan menurut suku Bugis pada waktu itu hanya merupakan tempat berlabuh yang sifatnya
sementara saja, padahal sebenarnya menurut suku Bajo adalah tempat tinggal atau perkampungan
tetap, bukan tempat berlabuh biasa, karena identitas perkampungan menurut mereka berupa :
a. Pohon-pohon bakau dan pohon-pohon lainnya yang dapat mengganggu telah dibersihkan oleh
mereka.
b. Penanaman sambuah (tonggak penambatan bidok) yang cukup dalam dan tidak boleh dicabut
atau dirusak dengan sengaja, sehingga disebut sambuah taguk pulih (sambuah tetap).
c. Penancapan balok penyangga ruas (balok angsale), agar bidok tidak tenggalam dalam lumpur
sewaktu air surut. Balok angsale bersifat tetap, walaupun ditinggalkan berlayar berbulan-bulan
lamanya ke gugusan karang.
Jenis perkampungan Suku Bajo, dapat dikenal melalui bendera ulaula, jika ulaula itu berwarna hitam,
maka perkampungan itu dipimpin keturunan Lolo Bajo dari pihak laki-laki, sedangkan warna merah
bercampur putih dan kuning, maka dapat dipastikan pemimpin perkampungan itu adalah keturunan
Lolo Bajo dari pihak perempuan. Apabila Punggawe Same dan semua anak parentanya berlayar
maka tempat tersebut tampak kosong tak berpenghuni karena pada waktu itu belum ada rumah
yang dibuat. Dengan demikian yang kelihatan adalah tonggak-tonggak sambuah serta balok angsale.
Sekembalinya dari Lassareng ke Bajoe, barulah mereka mulai membangun rumah-rumah kecil yang
disebut babaroh, yang terbuat dari batang bakau lalu disambung dengan tali-temali dengan bentuk
atap yang lepas, sehingga diperlukan beberapa utas tali untuk menahan atap agar tidak terbang jika
tertiup angin. Selanjutnya dijelaskan bahwa : “Mereka mulai membangun bangunan kecil-kecil yang
terbuat dari batang pohon-pohon bakau yang disambung dengan tali temali dan sebentuk atap lepas
tanpa bubungan, sehingga diperlukan beberapa utas tali penahan yang diikat membentang di atas
atap agar tidak terbang ditiup angin. Bangunan jenis disebut babaroh, digunakan hanya sebagai
tempat istirahat setelah kembali dari mencari hasil laut dan untuk menjemur hasil lautnya. Tetapi
tempat tinggal mereka masih di bidok yang ditambatkan dekat babarohnya. Setelah mereka
menghuni babaroh, maka bangunan ini disempurnahkan dengan membuat bubungan atap,
bangunan yang telah berkembang disebut papondok. Selanjutnya bila papondok dibuat lebih kokoh
dan sempurnah, baik bubungan, dinding dan tiang-tiang sudah mulai disambung dengan
menggunakan pasak dan paku yang disebut rumak. Pengaruh proses perubahan rumah dari babaroh,
papondok menjadi rumak sebagai tempat tinggal menyebabkan mereka juga mulai meninggalkan
bidok sebagai tempat tinggal dan menggatikan dengan perahu yang lebih kecil sopek-sopek,
jarangkah dan lepe, yang digunakan sebagai alat pengangkut dan mencari hasil laut di karang-
karang yang ada disekitarnya”.
Sejak abad ke-19 orang Bajo mulai menerima kehidupan yang lebih menetap, maka dari pelbagai
tempat dilaporkan bahwa orang Bajo mulai meninggalkan kehidupan asli mereka, lalu berbaur
dengan penduduk dartan di sepanjang pantai.
Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan cara hidup di perahu berpindah kepada tempat
yang lebih menetap yaitu rumah yang didirikan di sepanjang pesisir pantai. Pada awak kedatangan
Syahriana Syam
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 231
mereka di Teluk Bone Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, permukiman
mereka tidak teratur.rumah ini sangat sederhana karena tiang-tiangnya masih terbuat dari pohon
kelapa dan kayu bakau yang banyak terdapat di sekitarnya, bahkan untuk saling menghubungkan
dan menguatkan antara satu tiang denagn tiang yang lain hanya diikat dengan tali atau akar kayu.
Tatanan ruang dalam rumah tidak memeiliki pemisah, sehingga tidak jelas antara satu dengan ruang
yang lainnya. (Syam:2003 Wawancara H.Jaelani Dg.Sitakka Mantan Kepala Lingkungan 1951-1971
dan Pak Roso, Kepala Lingkungan saat ini).
Ada beberapa alasan yang diperhatikan oleh suku Bajo dalam memilih tempat bermukim di sekitar
pantai:
a. Sebagai pedoman untuk menetapkan saat pergi ke laut, yaitu dari terdengarnya desiran ombak
ketika takale ale goyak (air pasang naik).
b. Sebagai penentraman hati diwaktu istirahat, yaitu dari pengaruh gelombang pasang yang
membuat bidok oleng (palelengge) hingga terlena oleh buaian ombak yang menghempas di
lambung perahu.
c. Mempercepat dan mempermudah bertolak ke laut sewaktu pasang naik dan membuat mereka
selalu dekat dengan bidoknya masing-masing.
Bentuk rumah suku Bajo, sama dengan bentuk rumah orang Bugis, hanya saja kalau dilihat dari segi
stratifikasi sosialnya dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Rumak (rumah) yaitu bentuk rumah besar, yang tiangnya terdiri atas empat berderet ke samping
dan ke muka, bentuknya bujur sangkar, rumah semacam ini dimiliki oleh golongan Lolo Bajo.
2. Babaroh (rumah kecil) yaitu rumah kecil yang tiangnya terdiri dari tiga berderet ke samping dan
ke muka, denagn bentuk bujur sangkar. Rumah semacam ini dimiliki oleh orang Bajo pada
umumnya.
Di bawah ini akan menjelaskan transformasi hunian suku Bajo, mulai dari penambat patok sambuah
teguk pulih (bidok, lepe/tempat tinggal, alat angkut dan berlayar mencari hasil laut), babarok,
papondok, kemudian berkembang menjadi rumak di atas karang (daratan).
Tabel 1. Perubahan Hunian Suku Bajo di Bajoe Kabupaten Bone
Periode 1825 -
...
Periode 1928 -
…
Periode 1956 -
…
Periode 1980 –
hingga saat ini
Sumber: Syam, 2003
Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo
B 232 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Rumak atau rumah dinyatakan sebagai satu rumah tangga walaupun di dalamnya tinggal lebih dari
satu keluarga. Susunan rumahnya dibangun sedemikian rupa, sesuai dengan falsafah mereka pupok
patepik-tepik dipadijer (berkumpul-kumpul, berderet-deret dan berdekatan). Rapoport (1969),
bahwa arsitektur merupakan ekspresi dari pattern language dan form language. Sebuah lingkungan
terbangun dengan baik jika mengkombinasikan antara pattern language dan form language,
hendaknya saling melengkapi. Seperti halnya system setting hunian suku Bajo yang menyesuaikan
dengan kondisi alam tempat mereka bermukim yaitu iklim, lokasi (di pesisir pantai dan daratan)
yang masih berhubungan dengan laut, social budaya yang masih kental dengan mikro-makrokosmos,
symbol, ritual dan tradisi). Dilanjutkan Rapoport (1969) mengemukakan bahwa perwujudan dari
sebuah ruang untuk tempat tinggal dipengaruhi oleh aspek fisik dan social budaya, yang merupakan
aspek dominan yang menentukan bentuk suatu ruang. Terlihat tata ruang hunian suku Bajo yang
mencerminkan kehidupan social budaya mereka, meskipun telah mengalami perubahan, khususnya
bahan/material dan kebutuhan ruang, tetapi hubungan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan
roh leluhur sebagai penguasa alam yang behubungan dengan ritual (daratan dan laut) masih tetap
dipertahankan hingga saat ini. Sejalan dengan Lefebvre (1991), ruang diciptakan menurut cara
tinggal dalam kehidupan social dalam sebuah kehidupan social, material fisik ruang dan non material
dari ruang yang terkonsepsi dalam benak manusia. Berikut ini, aplikasi adaptasi dalam kearifan local
suku Bajo untuk pelestarian lingkungan binaan kontemporer
Manusia akan memutuskan untuk memilih atau tetap tinggal pada suatu tempat dengan melakukan
adaptasi dengan lingkungan, seperti halnya adaptasi yang hidup di air berupa bentuk dan struktur
hunian, alat-alat transportasi, system ekonomi, system religi dan system pengetahuan.
Bajo melakukan adaptasi terhadap system pengetahuan dengan adanya tanda-tanda alam, manusia,
bintang, ombak, ekonomi, religi, transportasi, lingkungan tempat tinggal dan teknologi. Makna
hunian suku Bajo memperlihatkan adanya hubungan antara manusia dengan leluhur pada laut,
hubungan antara manusia tempat bermukim (kampoh) dan lingkungan alam secara makro.
Lingkungan permukiman suku Bajo dengan kearifan local yang bersifat tangible dan intangible
merupakan pengetahuan yang unik tentang kehidupan dalam makna konsep sambuangan taguk
Gambar 1. Skema Konsep Pelestarian dan Pengembangan Kampoh Bajo
Hasil Analisis Wikantari & Syam (2008)
Syahriana Syam
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 233
pulih’ dalam memilih tempat untuk bermukim. Namun perubahan lingkungan tapak yang sudah
menjadi darat, telah menjadikan ruang bermukim mereka mengalami kesulitan akses perahu dari
laut ke rumah-rumah mereka.
Lingkungan permukiman suku Bajo dengan kearifan local yang bersifat tangible dan intangible
merupakan pengetahuan yang unik tentang kehidupan dalam makna konsep sambuangan taguk
pulih’ dalam memilih tempat untuk bermukim. Namun perubahan lingkungan tapak yang sudah
menjadi darat, telah menjadikan ruang bermukim mereka mengalami kesulitan akses perahu dari
laut ke rumah-rumah mereka.
Kesimpulan
Konsep sambuangan taguk pulih mengandung makna tetap atau patok yang mati yang tidak dapat
dicabut lagi, sebagai batas (teritori) lokasi kampoh, dimana mereka akan hidup dengan damai
menyatu dengan laut. Wujud saujana arsitektur permukiman suku Bajo, berorientasi utama dengan
laut, memelihara ruang laut sebagai tempat leluhur, dan isinya sebagai sumber kehidupan mereka
agar tetap hidup selaras dan harmonis dengan alam semesta.
Daftar Pustaka
Lefebvre, H. (1991). The Production of Space, Blackwell Oxford, UK & Cambridge, USA Manan, A. (2017). The Identity and Culture Of Bajau Ethnicfrom Bajau People Perspectives, International Science
Conference of Sea Gypsy-Unhas, Makassar Indonesia. Muhadjir, N. (1989). Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Gambar 2. Kondisi Lingkungan Kampoh Bajo
Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo
B 234 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Rapoport, A. (1969). House, Form, and Culture, Prentice Hall Inc, London. Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta. Syam, S. (2015). Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik, Proseding IPLBI Manado, Indonesia. Syam, S. (2003). Keberadaan Rumah Tinggal Suku bajo terhadap Perubahan Habitat. Jogjakarta, Department of
Architecture and Planning, Gadjah Mada University. Wikantari, R. & Syam, S. (2008), Konsep Tetean Pada Permukiman Suku Bajo, Senvar 2008.