20101122183255.quo vadis mahkamah konstitusi 2

41
WSA QUO VADIS MAHKAMAH KONSTITUSI Bambang Widjojanto | 2009

Upload: ginanjar-saputra

Post on 01-Jan-2016

39 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

WSA QUOVADISMAHKAMAH KONSTITUSI

Bambang Widjojanto | 2009

Page 2: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

KATALOG DALAM TERBITAN

1

Page 3: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Yang pertama dan utama, semua dan segala puji dihaturkan kehadirat Illahi Robby karena hanya dengan pekenaan NYA sajalah, buku ini dapat sampai pada tangan sahabat, kolega dan pembaca yang di Rahmati Allah. Sebagian besar tulisan yang ada di dalam buku Qua Vadis Mahkamah Konstitusi ini adalah tulisan yang pernah dimuat pada berbagai diskusi dan seminar dengan fokus Mahkamah Konstitusi. Tulisan dimaksud juga hanya sebagian dari tulisan dan tema yang menjadi fokus perhatian dan minat penulis, selain tema anti korupsi, reformasi hukum, good governance dan kepemiluan. Penerbitan kumpulan tulisan ini disengaja pembuatannya untuk mengkompilasi berbagai pikiran penulis untuk merespon dinamika dan diskursus publik berkaitan dengan isu dan problem korupsi yang memuat, posisi, gagasan dan advokasi atas isu dan masalah korupsi yang sedang terjadi. Semoga saja ada gunanya dan dapat menjadi inspirasi bagi siapapun kendati hanya sebesar peanut atau debu sekalipun. Buku ini adalah salah satu 9 (sembilan) buku yang sengaja diterbitkan Penulis di tahun 2009 dan tulisan ini tidak mungkin dapat dibukukan serta disajikan seperti yang ada di tangan hadirin pembaca tanpa dedikasi dan kehormatan yang diberikan sahabat penulis. Untuk itu, izinkan penulis menghaturkan terima kasih pada kolega penulis Iskandar Sonhaji dari WSA Lawfirm dan rekan Ashep Ramadhan atas segenap bantuannya. Sidang pembaca yang terhormat, atas Rahman dan Rahim serta Rahmat Allah, kami persilahkan untuk “menikmati” tulisan yang ada dalam buku ini. Maafkan bilamana ada berbagai tutur dan tindak yang tersebut dalam tulisan yang dianggap tidak pantas dan kurang berkenaan. Salam Takzim dan selamat membaca, Bambang Widjojanto

2

Page 4: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

DAFTAR ISI KATALOG DALAM TERBITAN.......................................................................1

KATA PENGANTAR ..........................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................3

MAHKAMAH KONSTITUSI HARAPAN BARU, PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM? ............................................................................................4

Pendahuluan. .....................................................................................................4

Latarbelakang Pembentukan MK. ....................................................................4

Dinamika Perkembangan Kelembagaan MK. ..................................................5

MK dan Kompleksitas Permohonan. ................................................................6

Penutup..............................................................................................................9

MAHKAMAH KONSTITUSI STRATEGISITAS DAN PROBLEMATIKANYA.....................................................................................10

MEMBANGUN INDEPENDENSI DAN INTEGRITAS MAHKAMAH KONSTITUSI .....................................................................................................18

ANALISIS TENTANG UNSUR MELAWAN HUKUM (wederrechtelijkheid) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 003/PUU/2006........................25

1. Pendahuluan ...........................................................................................25

2. Melanggar prinsip Ultra Posita dan Ultra Petita ....................................25

PERTENTANGAN KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASKA AMANDEMEN ....................................................................................32

Pendahuluan ....................................................................................................32

Potensi Sengketa dan Akar Masalah...............................................................33

Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara serta Pihak Lainnya ............37

Kesimpulan .....................................................................................................38

3

Page 5: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

MAHKAMAH KONSTITUSI

HARAPAN BARU, PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM?

Pendahuluan. Takala gagasan perlunya dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam struktur system

ketatanegaraan di Indonesia, ada cukup banyak kalangan yang mendukungnya. Tentu saja,

ada juga kalangan lain yang secara kritis mempersoalkannya. Ada 3 (tiga) isu yang yang

dikedepankan, yaitu : siapa yang akan menjadi Hakim Konstitusi dan bagaimana proses

rekruitmennya, apa cakupan kewenangannya serta bagaimana bisa menjamin agar MK

mampu menjalankan kewenangannya secara amanah dan konsisten sehingga bisa menjadi

elemen penting untuk merealisasikan perwujudan Negara Hukum yang Demokratis. Tulisan

ini akan mencoba memperlihatkan berbagai tantangan MK kedepan melalui sebagian kinerja

dan berbagai proses yang telah dilaluinya dalam kurun waktu satu-dua tahun ini.

Latarbelakang Pembentukan MK. Pembentukan MK dilatarbelakngi, tepatnya, diakselerasi oleh beberapa faktor. Berbagai

faktor itulah yang mempengaruhi diskursusu pembentukan MK. Bagian ini akan

memperlihatkan berbagai factor itu. Setidaknya ada dua aras yang harus dilihat sebagai faktor

penting yang mendorong diskurusus dan pembentukan MK di Indonesia. Pada tingkat

Internasional, perkembangan politik di berbagai negara negara yang tengah mengalami

proses transisi politik pada periode 1990 an, sebut saja : Korea Selatan, Afrika Selatan dan

Cheko (Czech), telah mengakomodasi pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi di dalam

konstitusinya serta pada system kekuasaannya. Alasan utama dari berbagai negara itu

membentuk MK agar nilai-nilai dasar pada konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan

adanya mekanisme yang memungkin terjadinya kontrol pada kekuasaan agar tidak

mengingkari nilai dasar yang telah diatur di dalam konstitusi. Biasanya, berbagai negara itu

membuat kontrak sosial baru melalui proses amandemen konstitusi.

Pada aras nasional, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi dasar pembentukan MK,

yaitu : kesatu, ada lack of authority karena pada system hukum di Indonesia belum ada

mekanisme yang mengatur secara limitative soal hak uji materiil undang-undang terhadap

konstitusi. Karena itu berbagai UU yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa

dipersoalkan; kedua, ada fakta politik, terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga

4

Page 6: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Kepresidenan dan DPR. Di dalam era pemerintahan Gus Dur ada sengketa ketatanegaraan

mengenai pemberhentian dan pengangkatan Kapolri berdasarkan pasal 7 dari TAP MPR No.

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI/Polri, selain, soal pengangkatan Ketua MA yang

didasarkan atas pasal 8 ayat(3) UU No. 14 tahun 1985; ketiga, adanya pandangan bahwa

Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang

melekat pada dirinya sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal

ketatanegeraan lainnya di lyar Mahkamah Agung. Iniperlu dikemukakan karena di dalam

proses pembentukan MK ada gagagasn untuk menempatkan MK menjadi salah satu kamar

saja dari mahkamah Agung.

Dinamika Perkembangan Kelembagaan MK. MK telah hadir, kehadirannya membawa harapan baru, Apakah MK mampu menjawab

ekspetasi itu dan sejauhmana MK membangun lembaga dan kinerjanya untuk memenuhi

harapan itu. Bagian ini akan melihat sebagai kinerja yang telah dilakukan oleh MK.

Soal pertama yang dihadapi MK paska pembentukannya adalah membangun trust building

diantara para Hakim Konstitusi itu sendiri. Kalau MK gagal menangani masalah ini maka

sulit untuk mengharapkan peran dan hasil maksimal dari lembaga ini. Nampaknya, dari satu

sisi, secara relatif, MK telah mempu membangun trust building diantara para hakim

Konstitusi sehingga mereka nampak solid untuk memperlihatkan pada publik bahwa MK

adalah lembaga penting yang mempunyai peran dasar untuk mengatas berbagai masalah

hukum yang menyangkut nilai-nilai dasar di dalam konstitusi maupun problem

ketatanegaraan lainnya.

Beberapa indikasi bisa dikemukakan untuk sampai pada kesimpulan itu. Pada bagian yang

paling awal, MK secara cepat bisa mengatasi persoalan pemilihan pimpinan MK sendiri

secara cepat. Tentu saja, ada ketidakpuasan atas proses itu tetapi dampak dari soal itu bisa

segera diatasi dengan mendorong focus dan prioritas kegiatan pada penanganan berbagai

permohonan yang diajukan pada MK. Yang menarik, para Hakim Konstitusi, nampaknya

sepakat untuk segera bekerja secara maksimal memeriksa berbagai perkara yang telah

disampaikan oleh Mahkamah Agung dan menangani berbagai permohonan lainnya. Proses

trust building ini menjadi fundamen penting untuk mendorong maksmimalisasi kinerja MK.

5

Page 7: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Tantangan kedepan yang dhadapi MK di dalam konteks ini adalah, apakah para Hakim

Konstitusi di MK mampu mengelola trust building menghadapi kompleksitas permohonan

yang diajukan oleh berbagai interst termasuk di dalam kepentingan kekuasaan karena

sebagaian Hakim MK diusulkan oleh pemerintah dan berbagai faksi yang ada di parlemen.

Pada level berikutnya, pengembangan kapasitas kelembagaan menjadi isu utama yang

menjadi prioritas perhatian Hakim Konstitusi. Setidaknya ada 3 (tiga) isu pokok yang

ditangani MK dan sebagiannya telah diselesaiakannya, yaitu : pertama, secara sadar

Pimpinan MK mendorong perumusan visi, misi dan program prioritasnya untuk membangun

kapasitas kelembagaan MK. Disadari atau tidak, perumusan visi dan misi akan menjadi

pedoman pengembangan MK kedepan; kedua, para Hakim Konstitusi juga berusaha untuk

melengkapi prosedur hukum acara agar MK bisa efektif dan efisien di dalam menjalankan

berbagai kewenangan. Bisa dibayangkan, ditengah fasilitas kerja yang masih jauh dari

memadai MK juga berusaha melengkapi kebijakan “soft ware” nya berupa prosedur hukum

acara agar permohonan bisa segera diperiksa dengan tata cara yang jelas; ketiga, MK juga

segera melakukan proses rekruitimen. Yang menarik, MK melakukan rekruitmen pada

Asisten Hakim dan para staf lainnya. Belum jelas betul pola rekruitmennya karena, MK juga

harus menampung “limpahan” staf dari Departemen Kehakiman dan belum dirumuskannya

pola rekruitmen para asisten hakim.

Tantangan MK kedepan di dalam konteks pengembangan kaapasitas kelembaganagan adalah,

apakah MK mampu merumuskan berbagai kebijakannya sehingga bersandar pada sisten

meritokrasi, khususnya di dalam rekruitmen dan promosi serta mampu menerapkan prinsip

keterbukaan, akuntabilitas dengan melibatkan partisipasi publik di sebagian program-

programnya. Dengan demikian, tidak lagi terjadi “gonjang-ganjing” yang tak perlu berkaitan

dengan kesekertariatan karena adanya suatu kebijakan yang tidak jelas sehingga

menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan.

MK dan Kompleksitas Permohonan. Bagian yang paling menarik untuk melihat dinamika perkembangan MK dapat dilihat dari

proses dan putusan permohonan yang dilakukan oleh MK. Pada titik ini kita akan dapat

dilihat sejauhmana proses persidangan bisa secara konsisten menerapkan prinsip cepat,

sederhana dan murah serta meletakan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

6

Page 8: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Secara umum, ada cukup banyak permohonan yang cukup menarik sehingga bisa mengisi

kekosongan hukum atau membangun “intellectual exercising” di bidang konstitusi. Selain itu,

ada ruang dimana, siapapun yang merasa hak-hak konstitusionalitasnya dirugikan bisa

menggunakan MK untuk mempersoalkan dan mengujinya.. Lihat saja, permohonan yang

berkaitan denagn : hak pilih orang yang distigmatisasi PKI, persoalan otonomi Papua,

masalah pemberlakuan surut UU Anti Teroris, problem sengketa hasil pemilu dan alain

sebaginya. Belum lagi persoalan yang berkaitan dengan masalah politik ekonomi karena

adanya peraturan perundangan yang secara substantif dianggap bertentangan dengan nilai-

nilai yang dianut oleh konstitusi, seperti ; UU kelistrikan, UU Sumber Daya Air, UU BUMN

dan lainnya.

Di dalam proses ini ada 3 (tiga) isu utama yang menarik untuk dikaji, yaitu : kesatu, MK

telah membuat suatu putusan yang secara sadar “melawan” ketentuan yang mengatur

kewenangannya sendiri seperti yang dikemukakan secara limitative di dalam UU Mahkamah

Konstitusi.Pasal 50 juncto pasal pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan “undang-undang yang bisa diuji adalah

undang-undang setelah perubahan UUD Negera RI tahun 1945”. Alasan hukumnya cukup

jelas, selain UU Mahkamah Konstitusi itu memperluas kewenangan yang sudah diatur secara

limitative di dalam konstitusi juga diakuinya penggunaan prinsip retroactive. Kendati belum

lagi terjadi kesefahaman dan memang tidak perlu karena adanya dissenting opinion dari

putusan ini oleh sebagian hakim Konstitusi tapi inilah terobosan hukum untuk mencari jalan

keluar dari jebakan fotmalistik hukum dan cara berpikir linier;

kedua, pada seluruh proses persidangan, MK tidak hanya mencatat proses itu dengan tulisn

tangan dan rekaman pembicaraan tapi MK juga merekam dengan menggunakan audio visual.

Proses ini memungkinkan Hakim Konstitusi untuk mendengar kembali segenap proses

persidangan melalui trnaskrip rekaman, rekaman recorder maupu melihatnya melalui rekama

audio sehingga kecil sekali kemungkinan “manipulasi” proses. Pendeknya, para Hakim

Konstitusi mempunyai instrumen yang memandai untuk mereview seluruh proses

persidangan sebelum merumuskan pertimbangan hukum dan membuat putusan. Yang

menjadi soal, apakah prilaku dan kultur untuk mengkaji semua proses dan membaca seluruh

bukti-bukti telah menjadi dasar bertindak sebagian besar hakim, apalagi ditengah tekanan

jumlah permohonan yang terus kian meningkat.

7

Page 9: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Ada indikasi, tidak semua bukti dan keterangan saksi di dalam proses persidangan dikaji

secara sistematis dan komprehensif serta segenap perdebatan hukum yang tercatat di dalam

minderheidsnota dijadikan pertimbangan sehingga pertinmbangan hukum suatu permohonan

memuat dan mengkaji problematic secara utuh, sistematis dan mendalam.

Bila dilihat beberapa Putusan MK, seperti misalnya Di dalam Putusan perkara No. 018/PUU-

I/2003 mengenai UU No. 45 Tahun 1999 yang bertentangan dengan pasal 18 B Konstitusi

dibandingkan dengan Putusan yang berkaitan dengan penolakan Perpu Anti Teroris ada

beberapa hal yang menarik untuk dilihat. Pada kasus yang pertama, pertimbangan hukumnya

tidak seelaboratif dan sedalam kasus yang kedua. Pada kasus pertama, dari 140 halaman

putusan hanya 7 (tujuh) halaman saja isi dari pertimbangan hukum.

Di dalam kasus pertama, Putusan menyatakan bahwa UU No. 45 tahun 1999 dinyatakan

bertentangan dengan konstitusi dan sejak diucapkannya putusan ini undang-undang itu tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat, De facto, UU No. 45 tahun 1999 baru berlaku efektif

sejak adanya Inpres No. 1 Tahun 2003 padahal UU Otonomi Khusus Papua sudah efektif

berlaku pada 11 November 2001 melalui UU No. 21 tahun 2001. Fakta juga menunjukan, ada

usaha-usaha politik dari kekuasaan masa lalu untuk terus mendesakan aktifitas politiknya

kendati sudah ada UU Baru yang juga disetujuii dan disahkannya. Putusan yang

menjustifikasi tetap diakuinya provinsi Irian Jaya Barat tengah memperlihatnya adanya

pengakuan MK atas praktek politik kekuasaan yang dilakukan melalui Inpres No. 1 Tahun

2003 yang justru bertentangan secara nyata-nyata bertentangan dengan UU Otsus.

Ada dua isu pokok yang hendak diketengahkan di dalam proses ini, yaitu : putusan tidak

mempertimbangkan secara seksama bukti-buti dan keterangan saksi yang diperiksan di muka

persidangan serta segala catatan pembuatan UU Otsus dan perubahan pasal 18B konstitusi

serta putusan dikuatirkan beroreintasi pada perspektif dan orientasi politis ketimbang berpikir

dengan menggunakan logika hukum. Bila dibandingkan dengan Putusan soal Penerapan UU

terorisme justru sebaliknya, perundangan itu dinyatakan bertentangan karena digunakan

secara retroactive. Bandingkan juga putusan ini dengan butir pertama diatas maka akan

terlihat orientasi yang belum utuh mengenai penerapan hukum retroactive.

8

Page 10: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Uraian di atas akan menjadi tantangan yang menarik bagi para Hakim Konstitusi karena akan

menghadapi kompleksitas permohonan yang kian rumit sehingga diperlukan independensi

dan obyektifitas di dalam membuat suatu pertimbangan hukum dan putusan agar mereka

mampu keluar dari jebakan interestnya sendiri sekecil apapun itu. Lebih dari itu, Mahkamah

Konstitusi dituntut untuk membuat putusan yang jauh melebihi kepentingan dan kebutuhan

zamannya sehingga kelak terbukti secara nyata, putuisan MK adalah solusi bukan justru

membuat problem hukum baru.

Ketiga, proses di MK harus diapresiasi karena bukan hanya keseluruhan proses nya

terdokumentasi dengan baik tetapi juga salinan putusan bisa didapatkan dengan segera paska

persidangan dan putusan itu sudah bersifat final tidak lagi hanya tertulis tangan seperti yang

sering kita lihat di dalam putusan persidangan di seluruh jajaran pengadilan di bawah

Mahkamah Agung. Dokumentasi yang baik itu tidak hanya akan berguna bagi MK tetapi juga

bagi dunia pendidikan dan praktisi hukum yang akan melihat perdebatan dan pertimbangan

hukum yang diputuskan oleh MK sehingga akan menambah kualitas pengetahuan dari

seleuuruh pihak yang punya perhatian pada perkembangan Mahkamah Konstitusi. Yang

masih perlu diperdebatkan lagi, apakah perlu MK membuat press conference paska putusan

sidang karena hal itu bisa mempengaruhi pihak MK untuk mengomentari putusannya sendiri,

Kendati, proses itu juga bisa dianggap penting, jika hanya sekedar menjelaskan secara umum

isi putusan.

Penutup.

Akhirnya, MK proviciat, langkah awal untu membangun MK yang kredibel dan kapabel telah

diletakkan. Ada sejumlah tantangan yang tengah menghadang, tetapi justru disitulah terletak

“lahan” untuk menunjukan integritas, kompetensi dan eksiistensi. Saya percaya dan yakin,

kecerdasan spiritualitas dan emosional para Hakim MK beserta jajarannya jauh melebihi

kemampuan intelekstualitasnya sehingga MK bisa benar-benar menjadi lembaga penting

untuk membangun Indonesia menjadi Negara Hukum yang Demokratis.

9

Page 11: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

MAHKAMAH KONSTITUSI

STRATEGISITAS DAN PROBLEMATIKANYA

Belakangan ini, ada berbagai dinamika yang menarik untuk diamati. Sebut saja soal yang

berkaitan dengan penentuan Wakil Ketua MA, pelaksanaan ketentuan darurat di Aceh yang

punya indikasi melanggar spiritualitas perlindungan hak asasi seperti diamanatkan di dalam

konstitusi dan potensi pembubaran parpol karena melanggar ketentuan UU parpol dan UU

Pemilu.

Di dalam penentuan Wakil Ketua MA, ada “pertarungan” antara Ketua MA dengan sebagian

anggota DPR yang mempersoalkan mekanisme pemilihan Wakil Ketua MA. Di satu sisi

Ketua MA mengisyaratkan untuk menggunakan ketenuan di dalam konsitusi yang

memberikan kewenangan kepada Hakim Agung MA untuk memilih sendiri Ketua dan Wakil

Ketuanya. Di sisi lainnya, DPR masih bersikeras agar MA menggunakan ketentuan di dalam

UU No. 14 tahun 1985, dimana DPR masih punya kewenangan untuk menentukan Wakil

Ketua MA. Perselisihan antar kedua lembaga negara ini dapat terus berlangsung tanpa

kesudahan.

Begitupun dengan kebijakan politik pemberlakukan darurat militer di Aceh. Fakta

menunjukan, indikasi pelanggaran hak asasi tengah terjadi karena pelaksanaan terhadap hak-

hak yang dikualifikasi sebagai non derogable rights diingkari. Lebih dari itu, kebijakan

politik darurat militer di Aceh itu diambil tanpa menggunakan rujukan amanat konstitusi

yang berkaitan dengan perlindungan terhadap nilai-nilai hak asasi. Kebijakan politik itu juga

tidak menggunakan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pertahanan Negara No. 3 Tahun 2002 di

dalam “dasar mengingatnya”.

10

Kedua soal di atas tentu perlu ditangani. Kini, sistem kekuasaan kehakiman pada struktur

ketatanegaraan Indonesia menyebutkan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung … dan sebuah Mahkamah Konstitusi” sesuai pasal 24 ayat [2] UUD 45.

Di dalam konteks itu, beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah “memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD dan

menguji UU terhadap UUD” [lihat pasal 24 C ayat {1} UUD].

Page 12: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Karena itu, lembaga yang punya kewenangan untuk menangani perselisihan antar lembaga

negara serta pelanggaran terhadap nilai dan prinsip dasar yang tersebut di dalam konstitusi

seperti terurai di dalam masalah diatas adalah Mahkamah Konstitusi [MK]. Kehadiran

lembaga MK tidak hanya penting secara faktual karena adanya berbagai kasus seperti telah

dikemukakan di atas. Ada cukup banyak soal yang juga potensial menimbulkan masalah yang

memerlukan kehadiran MK.

Berbagai potensi masalah di atas mengisyaratkan bahwa MK harus diletakkan sebagai salah

satu instrumen penting di dalam system kekuasaan untuk mendorong bekerjanya saling

kontrol dan saling imbang diantara lembaga negara. Di dalam konteks situasi transisi seperti

yang kini tengah berlangsung di Indonesia, posisi MK menjadi kian strategis.

Karena itu, fakta pentingnya MK untuk segera dihadirkan telah disebutkan secara tegas di

dalam Pasal III, Aturan Peralihan pada Amandemen UUD yang mengamanatkan bahwa

“Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003…”.

Amanat itu mengisyaratkan, DPR hanya punya waktu satu tahun sejak pasal peralihan itu

disetujui oleh MPR; dan kini, DPR hanya mempunyai waktu satu setengah bulan saja untuk

menyelesaikan perundangan itu. Kalau amanat itu tidak dilakukan secara konsisten, maka

DPR bersama Pemerintah kembali memperlihatkan tradisi yang tidak baik karena secara

sadar melakukan pelanggaran konstitusi.

Berkenaan dengan lambatnya respon DPR dan pemerintah untuk membuat legislasi berupa

UU MK maupun proses pelembagaan MK, kini muncul 3 [tiga] opsi untuk melaksanakan

mandat pasal peralihan pembentukan MK. Opsi pertama, DPR dan Pemerintah bekerja secara

spartan untuk menghasilkan UUMK dan sekaligus melakukan proses rekruitmen sehingga

kebijakan dan hakim MK dapat dihasilkan sebelum tengat 17 Agustus tahun 2003. Opsi

kedua, sidang tahunan mendatang pada bulan Agustus 2003, dilakukan Sidang Istimewa yang

khusus melakukan revisi atas pasal III peralihan UUD dengan memberikan waktu yang lebih

panjang pada DPR dan Pemerintah untuk membuat dan mengesahkan UU MK, Sedangkan

opsi ketiga, pasal 3 peralihan itu diberikan interpertasi bahwa selama MK belum terbentuk

maka tugas-tugas MK akan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

11

Page 13: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Pilihan pada opsi pertama dapat menciptakan masalah, UU MK yang dibuat dengan tergesa-

gesa akan memunculkan problem baru. Namun, hal ini bisa diatasi dengan memberikan

prioritas perhatian pada beberapa isu penting di dalam MK. Hal lainnya bisa dibuat kemudian

melalui suatu revisi atas UU MK itu sendiri. Asumsinya, pembuat legislasi tetap

memprioritaskan UU MK sebagai salah satu perundangan penting yang perlu disempurnakan.

Sedangkan pilihan pada opsi kedua akan memberi ruang pada parlemen dan pemerintahan

untuk membuat UU MK secara lebih baik, tetapi amandemen konstitusi yang di dasarkan atas

kelalaian parlemen dan pemerintah menjalankan mandat konstitusi bukan merupakan

konvensi yang baik. Kendati disisi lainnya, fakta juga menunjukan ada cukup banyak soal di

dalam hasil perubahan konstitusi, sehingga perubahan pada pasal peralihan akan membuka

ruang untuk melakukan perubahan pada bagian lain konstitusi.

Begitupun dengan opsi ketiga, membuat interpretasi atas rumusan pasal yang sudah jelas dan

tegas justru akan memperlihatkan tindakan sewenang-wenang. Karena di dalam pasal itu

telah secara jelas menyatakan, pembentukan MK selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus

2003 dan sebelum MK terbentuk MA yang akan mengambilalih tugas-tugas dari MK.

Lepas dari pilihan opsi dan mampu-tidaknya Pemerintah-DPR menyelesaikan perumusan

UUMK, MK punya posisi yang sangat strategis di dalam system kekuasaan di Indonesia

pasca amandemen, karena kini kekuasaan kehakiman berpucuk pada dua cabang, yaitu

sebagai constitutional review dan ordinary court.

12

Bifurkasi system kekuasaan itu harus dielaborasi dan dibuat dengan sangat hati-hati dan

seksama. Bila tidak, rivalitas diantara kedua cabang pada system kekuasaan kehakiman akan

terjadi. Ajukan saja suatu contoh problematik, siapakah yang mempunyai kewenangan untuk

menguji peraturan perundangan dibawah UU yang bertentangan nilai dan prinsip yang

tersebut di dalam konstitusi, MA ataukah MK?. Hal ini potensial terjadi di dalam penentuan

kebijakan darurat militer di Aceh, karena kebijakan di Aceh diberi “baju hukum” Kepres; dan

bilamana Kepres itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, apakah proses judicial reviewnya

harus diajukan kepada MA ataukan MK.

Begitupun dengan kejelasan positioning MK, di dalam konteks sistem dan struktur kekuasaan

yang saling imbang dan kontrol dengan lembaga negara lainnya di dalam politik kekuasaan

Page 14: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

juga menjadi penting. Contoh yang telah dikemukakan di atas yang berkaitan dengan

“perseteruan” antara MA dengan DPR di dalam menentukan Wakil Ketua MA bisa menjadi

salah satu hal yang menarik. Di masa mendatang, problematik yang akan hadir bisa lebih

rumit dan kompleks lagi. Begitupun dengan kasus “Sukhoi Gate”, bila tidak dikelola dengan

baik bisa berujung pada “pertarungan” antara eksekutif dengan legislatif yang berujung pada

proses impeachment.

Jika di elaborasi lebih mendalam lagi, dimasa mendatang, diduga, perselisihan antara

lembaga negara akan terjadi dengan sangat dinamis, apalagi bila presiden bukan dari partai

mayoritas yang berkuasa di parlemen; atau ada pengelompokan kekuatan politik yang

menyebabkan konfigurasi kekuasaan di parlemen berbeda dengan basis kekuasaan yang

dimiliki presiden. Bisa juga terjadi, lembaga negara lainnya, seperti : BPK bersifat sangat

kritis pada pemerintah dan “bersekutu” dengan DPR mempersoalkan kebijakan penggunaan

keuangan dari eksekutif yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pendeknya, potensi

perselisihan antar lembaga negara menjadi sesuatu yang tak terelakan.

Bisa juga terjadi, akan banyak kasus judicial review yang diajukan karena ada berbagai

kebijakan perundangan yang dibuat oleh DPR yang potensial memperluas kewenangan dari

negara dan mengeliminasi hak-hak masyarakat yang telah dijamin di dalam konstitusi. Bukan

tidak mungkin, judicial review itu diajukan juga oleh faksi atau fraksi di dalam DPR kendati

mereka telah kalah di dalam “pertarungan politik” di parlemen dan mereka mengasumsikan

perundangan itu bertentangan dengan spiritualitas yang terkandung di dalam konstitusi.

Pendeknya, hak menguji UU dihadapan konstitusi menjadi salah satu hal yang potensial akan

terjadi dan intensitasnya bisa kian meningkat di masa mendatang.

13

Selain hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan MK, rekruitmen menjadi salah isu penting

di dalam mewujudkan lembaga MK. Sebaik apapun suatu kebijakan dibuat, tetapi bila proses

rekruitmen tidak dilakukan dengan baik, maka sedari awal lembaga itu dapat dipersepsi

publik secara salah. Karena itu masalah rekruitmen menjadi “rawan”. Sebagai contoh,

misalnya saja, siapakah yang akan melakukan proses rekruitmen hakim konstitusi yang kelak

diajukan oleh tiga lembaga negera sekaligus, yaitu : DPR, Presiden dan MA.

Page 15: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Di dalam proses ini harus diatur secara komprehensif, kriteria dan mekanisme rekruitmen,

apakah proses rekruitmen itu dibuat tersendiri atau bersama-sama antar lembaga negara

tersebut?.

Posisi strategis MK itulah yang menyebabkan MK menjadi rawan untuk di intervensi oleh

berbagai kepentingan politik. Asumsinya sangat sederhana, misalnya saja, siapapun yang

berkuasa sebagai presiden dan wakil presiden di negeri ini, dia memerlukan jaminan bahwa

kekuasaannya tidak rentan untuk di impeach. Dengan begitu, sang presiden harus bisa

memastikan dan memberikan jaminan bahwa kandidat hakim konsitusi akan “berpihak” pada

kepentingannya, bila kelak DPR bermaksud melakukan impeachment berkaitan dengan

dugaan tindak pidana yang dilakukan presiden.

Hal serupa juga bisa terjadi pada lembaga parlemen dan MA. Lembaga parlemen punya

kepentingan agar berbagai produk legislasinya tidak mudah untuk dibatalkan di dalam proses

pengujian di MK karena dinilai bertentangan dengan UUD. Karena itu mereka juga harus

dapat “memastikan” bahwa anggota MK yang dipilihnya memahami betul dinamika proses

politik di DPR. Demikianpun dengan MA, lembaga ini pasti mempunyai keinginan agar

kerjasama diantara dua lembaga yang berada di pucuk kekuasaan kehakiman bisa dilakukan

secara harmonis dan kandidat yang dipilih MA bukan berasal dari mazhab hukum yang

secara diametral bertentangan dengan sebagian besar hakim MA.

Hal penting lain yang perlu dikemukakan, MK di dalam proses transisi politik di Indonesia

juga perlu segera dihadirkan dengan tiga alasan pokok lainnya, yaitu: pertama, hingga kini,

kondisi sosial politik di Indonesia masih rentan terhadap sengketa kewenangan antar lembaga

negara. Political tension yang kian meningkat seiring proses tahapan pemilu memunculkan

banyak kemungkinan. Faksionalisasi dan dinamika di dalam struktur kekuasaan bisa dengan

cepat berubah dan menguat sehingga berbagai kemungkinan itu potensial memicu sengketa

antar lembaga negara. Berbagai contoh di awal tulisan ini memperlihatkan dengan jelas

masalah ini;

14

kedua, bila saja di dalam verifikasi partai yang kini tengah dilakukan Menteri Kehakiman dan

kelak dilakukan oleh KPU, bisa saja terjadi suatu partai tertentu tidak hanya tidak dilegalisasi

keabsahannya sebagai badan hukum atau tidak diperbolehkan untuk ikut pemilu, tetapi juga

terancam dibubarkan karena melanggar ketentuan UU Parpol dan UU Pemilu;

Page 16: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

ketiga, pemilu yang kelak akan dilakukan juga rentan terhadap perselisihan hasil pemilu.

Indikasi ini diletakan dengan asumsi, banyak partai yang kecewa terhadap proses

penyelenggaraan pemilu, karena pemilu sarat dengan isu politik uang yang dilakukan oleh

sebagian besar partai besar. Selain itu, mekansime pengawasan dan penegakan hukum tidak

sepenuhnya berjalan efekktif;

Berbagai uraian di atas menegaskan posisi politik MK dan pentingnya MK untuk segera

dihadirkan, karena posisinya begitu signifikan di dalam system dan struktur kekuasaan pasca

amandemen konstitusi. Apalagi di dalam suatu situasi social politik yang masih cukup rentan.

Hal yang juga penting untuk dikemukakan bahwa membangun eksistensi MK bermartabat

dan punya kehormatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan disahkannya UUMK dan untuk

itu diperlukan waktu. Proses rekruitmen dan pembangunan kapasitas kelembagaan MK juga

menjadi hal sangat strategis untuk diperhatikan. Karena itu, pengundangan UUMK akan

menjadi langkah awal untuk dapat melakukan proses rekruitmen dan membangun kapasitas

kelembagan menuju pada MK yang mempunyai citra dan kewibawaan guna menjalankan

fungsi check and balances di dalam system dan struktur kekuasaan di Indonesia.

Setidaknya ada dua isu utama yang menarik untuk diajukan, bila melihat sikap sebagian

anggota dewan dan begitu mepetnya waktu untuk membahas, mengkaji dan membuat

UUMK, yaitu : pertama, ada kesan kuat UUMK “sengaja diabaikan” untuk diprioritaskan

pembahasannya, kendati pembuatan MK merupakan mandat yang secara tegas disebut di

dalam konstitusi. DPR dan Pemerintah, nampaknya, lebih memberikan perhatian pada UU

Politik lainnya, karena itu mereka telah membuat UU Partai Politik dan Pemilu dan tengah

membahas RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan RUU DPR, DPD dan DPRD.

Bahkan, ketika diingatkan untuk segera membahas UUMK, dua orang wakil dari dua partai

terbesar menyatakan di dalam bulan Agustus 2002 “…hampir tidak ada persoalan dengan

pembentukan Mahkamah Konstitusi” dan “…yakin sebelum Agustus 2003 RUU itu selesai

dibahas” serta “selesai dibicarakan sebelum Agustus 2003…lembaga itu bisa lekas didirikan”

[lihat Kompas 21 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi Terbentuk sebelum Agustus 2003].

Pendeknya, pengabaian ini nampaknya berkaitan dengan suatu perspesi bahwa MK bukanlah

prioritas dan menjadi kepentingan langsung dari partai politik pada saat ini.

15

Page 17: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Kedua, para anggota dewan dan pemerintah merasa yakin tidak akan banyak soal di dalam

melakukan pembahasan UUMK, sehingga tidak merasa perlu untuk membuat draf dan

membahas RUUMK sesegera mungkin. Perasaan ini, bisa jadi, karena mereka berasumsi

Amandemen Konstitusi tidak banyak problematiknya dan telah jelas mengatur berbagai

kewenangan MK. Asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena konsitusi masih punya banyak

masalah dan sebagiannya cukup krusial. Misalnya saja, di dalam proses impeachement, sesuai

pasal 7 B ayat [1] UUD disebutkan beberapa jenis pelanggaran yang menjadi dasar DPR

untuk meminta MK memeriksa pelanggaran yang diduga dilakukan Presiden/Wakil Presiden,

yaitu : “pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan

perbuatan tercela”.

Ketentuan di dalam konstitusi itu, ternyata, secara hukum masih belum jelas, khususnya,

maksud dari pelanggaran hukum berupa “tindakan pidana berat lainnya” dan juga “perbuatan

tercela”. Apakah pelanggaran lalu lintas yang menyebakan beberapa orang meninggal karena

ditabrak oleh kendaraan yang disupiri sendiri Presiden, termasuk di dalam kualifikasi

tindakan berat lainnya?. Apakah tindakan mantan Presiden AS, Kennedy, misalnya, suka

gonta-ganti pacar, sering menyelinap pada malam hari untuk “menikmati” kehidupan malam

dan mungkin alcoholic, bisa disebut sebagai perbuatan tercela sesuai amandemen konstitusi?.

Fakta ini menunjukan, konstitusi masih mengandung cacad yuridis yang cukup mendasar. Di

dalam konteks pasal 7 B ayat [1] UUD, ada berbagai alasan yang menjadi dasar bagi MK

untuk melakukan salah satu kewenangannya [impeachment] mengatur hal yang tidak cukup

jelas, sehingga harus dielaborasi lagi.

Selain problematik yang bersumber dari konstitusi, ketentuan yang mengatur hukum acara

juga banyak yang mesti dirumuskan. Untuk sekedar menghadirkan problematic itu bisa

diajukan beberapa contoh misalnya : pertama, pihak yang bisa menjadi subyek hukum di

dalam mengajukan gugatan. Di dalam kewenangan yang berkaitan dengan pengujian UU

terhadap UUD , siapakah yang disebut sebagai pihak yang dapat mengajukan pengujian?.

Apakah ada pembatasan tertentu atau siapapun bisa mempersoalkannya?. Lalu, siapakah yang

mesti menjadi pihak untuk membela kepentingan dari UU yang tengah diuji dan dipersoalkan

itu?. Apakah DPR dan Presiden;

16

Page 18: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Kedua, limit waktu seluruh proses pengujian. Limit waktu ini harus dibedakan menjadi 3

[tiga] tahapan, yaitu : tahap pengajuan, pemeriksaan dan pelaksanaan putusan. Apakah limit

waktu pemeriksaan ini harus disesuaikan dengan asas pemeriksaan seperti tersebut did aalm

KUHAP yang menyatakabn : sederhana, murah dan cepat. Limit waktu ini kelak akan

menjadi salah satu indicator yang bisa menunjukan kinerja dari lembaga MK;

Ketiga, akibat hukum dari keputusan MK. Pembatalan suatu UU mempunyai berbagai variasi

selain mempunyai dampak hukum. Apakah UU itu batal seluruhnya atau sebagiannya saja?.,

apakah dinyatakan batal demi hukum [null and void] atau dapat dibatalkan [voidable]?.

Apakah keputusan ini hanya mengikat para pihak saja semua pihak [interpartes atau erga

omnes]?. Apakah keputusan itu dapat berlaku surut atau non-retroaktive?. Lalu, bagaiamana

dengan kekosongan hukum yang timbul dari keputusan itu. Apakah MK diharuskan

mengajukan pertimbangan hukum yang bisa mengatasi kevakuman hukum yang muncul dari

keputusannya.

Berkenaan dengan berbagai alasan yang diajukan diatas, terlihat jelas strategisitas posisi

politik MK. Karena itu tidak ada alasan lain untuk menunda terus pembahasan MK. Bahkan,

DPR dan pemerintah harus secara spartan dan maraton menyelesaikan pembahasan RUU MK

ini. Bila tidak, merekalah yang kelak harus bertanggungjawab karena telah melanggar

amandemen konstitusi yang dibuat sendiri oleh DPR yang juga merupakan anggota MPR.

Lebih jauh dari itu, parlemen dan pemerintah bisa dituduh, sedari awal dan secara sadar

hendak “mengingkari” keberadaan MK di dalam sistem politik nasional.

17

Selain soal diatas, ada berbagai soal penting yang harus dirumuskan secara baik di dalam UU

MK. Perumusan yang tidak komprehensif akan membuat problematik baru di dalam

memfungsikan lembaga MK, Dikuatirkan, MK justru bisa menjadi masalah baru di dalam

system kekuasaan yang memerlukan kehadirannya. Kebijakan yang sistematis dan

komprehensif itu juga harus ditopang oleh proses rekruitmen dan pelembagaan yang baik dari

MK. Rekruitmen yang tidak menghasilkan hakim konstitusi yang punya integritas dan

kapasitas yang baik akan merusak persepsi publik atas lembaga ini.

Semoga saja, di dalam pembahasan MK, ada berbagai kontribusi signifikan dari banyak

kalangan non-parlemen. Kontribusi itu tidak hanya akan memperkaya materi pembahasan

Page 19: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

tetapi juga untuk bisa memastikan bahwa tidak terjadi proses politisasi yang punya potensi

“menghancurkan” MK sedari awal lembaga ini dipersiapkan.

MEMBANGUN INDEPENDENSI DAN INTEGRITAS

MAHKAMAH KONSTITUSI1

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang hadir di dalam

proses transisi politik yang dimulai pada tahun 1999. Ada cukup banyak harapan diletakan

pada lembaga ini untuk tidak hanya mampu mengawal konstitusi tetapi bisa menginterpretasi

konstitusi sesuai dengan konteks kebutuhan zaman, tidak hanya sebagai the guardian of

constitution tetapi juga the interpreter of constitution. Lebih jauh dari itu, Mahkamah

Konstitusi diharapkan mampu menjadi salah lembaga penting yang mampu memperlihatkan

bahwa mewujudkan Negara Hukum bukanlah sesuatu yang tidak dapat dicapai. Untuk sampai

pada kehendak itu, Mahkamah Konstitusi harus dijaga dan dibangun independensi dan

integritasnya.

Di dalam penjelasan Pasal 24 naskah Konstitusi 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa

“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka”. Di dalam pejelasan itu juga

dikemukakan, kekuasaan yang merdeka diartikan “terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah” dan untuk itu “harus ada jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para

hakim”.

18

Bila naskah di atas itu dibandingkan dengan konstitusi 1945 paska amandemen disebutkan di

dalam konstitusi “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka…”. Ini artiya, teks

di dalam pasal konstitusi tidak ada yang berbeda dengan pasal konsitusi sebelum

1 Makalah pada program Pascasarjana pada Universitas Padjadjaran. Makalah sudah pernah dipresentasikan dalam suatu diskusi yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi.

Page 20: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

amandemen. Hanya saja, di dalam naskah sebelum amandemen ada penjelasan yang

memaknai maksud dari kekuasaan yang merdeka.

Kekuasaan kehakiman di dalam konstitusi paska amandemen harus dimaknai bukan hanya

meliputi lembaga Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya tetapi juga

termasuk Mahkamah Konstitusi.

Di dalam konsitusi paska amandemen ada kalimat lain yang menjelaskan kekuasaan

kehakiman yang merdeka itu dengan menyatakan “…kekuasaan yang merdeka…” itu

ditujukan untuk “…menegakkan hukum dan keadilan…”. Bila dilakukan penafsiran bebas

maka keseluruhan kalimat konstitusi yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman yang

merdeka haruslah ditujukan untuk menjamin dan memastikan agar digunakan untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Hal inilah yang membedakan pasal konstitusi sesudah

amandemen dengan yang sebelumnya.

Jaminan agar kekuasaan kehakiman itu mereka atau mempunyai independensi merupakan

suatu prasyarat yang tidak bisa ditawar lagi. Berbagai instrumen hukum internasional juga

menyebutkan secara tegas pentingnya suatu independensi peradilan.

Lihat saja beberapa dokumen yang dikemukakan di dalam Universal Declaration on the

independence of justice, Monteral 1983. Di dalam salah satu alenia pada preambul

declaration itu dikemukakan “…independence must be quaranteed to internastional judges,

national judges…”. Begitupun di dalam Beijing Statement of Principle of the Independence

of the judiciary in the Law Asia Region yang mengemukakan di dalam point 2 “…An

independent judiciary is indispensable to the implementation of this rights”2.

19

Di dalam dokumen internasional lainnya independensi juga dikemukakan secara limitatif

seperti juga tersebut di dalam International Bar Association Code of Minimum Standards of

Judicial Independence, New Delhi 1982; Viena Declaration and Programme for Action 1993,

Declaration of Human Rights aticle 10); dan International Convenant on Civil and Political

Rights (article 14).

2 Lebih jauh lihat Beijing Statement of Principle of the Independence of the judiciary in the Law Asia Region di telah diamandemen di Manila pada tanggal 28 Agustus 1997

Page 21: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Di dalam konstitusi Indonesia paska amandemen digunakan kata “…kekuasaan kehakiman

yang merdeka …” untuk menggunakan dan menunjuk makna independensi. Independensi

dimaksudkan sebagai bebas dan lepas dari campur tangan, tekanan atau paksaan dari

kekuasaan lembaga lain. Di dalam konstitusi sebelum amandemen kekuasaan kehakiman

yang merdeka adalah kekuasaan yang lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Di dalam

perkembangnnya, pemerintah tidak disebutkan sebagai satu-satunya lembaga yang

mempunyai potensi melakukan intervensi pada kekuasaan kehakiman tetapi juga kekuasaan

lembaga lainnya. Bahkan, kemudian, independensi juga dimaknai sebagai bebas atau lepas

dari campur tangan atau intervensi kolega dan/ atau atasan atau pihak-pihak lainnya.

Di dalam konteks Indonesia, diskursus yang berkembang, kekuasaan kehakiman yang

independen masihlah kurang. Independensi harus dipadankan dengan dengan kata

akuntabilitas. Di dalam berbagai kasus ada sejunmlah fakta yang sulit diingkari, jaminan

independensi tidak serta merta menghasilkan sebuah putusan yang secara konsisten

memperlihatkan kehendak kuat untuk menegakkan hukum sehingga juga menghasilkan

keadilan. Pada titik itu ada isu akuntabilitas. Pendeknya, independensi itu penting tapi tidak

cukup, kekuasaan kehakiman juga harus mampu menunjukan akuntabilitasnya.

Independensi juga dimaknai bukan sesuatu hak begitu eksklusif sehingga tidak ada pihak lain

yang boleh turut serta mencampuri segala hal yang berkaitan dengan hakim dan pengadilan.

Hakim dan pengadilan untuk hal-hal tertentu juiga harus terikat atau berkoordinasi dengan

pihak lainnya untuk menjalankan otoritas yang melekat pada dirinya, seperti : proses

rekruitmen para hakim, sistem penggajian, prosedur pembuatan putusan dan beracara dan

lainnya.

20

Ada 3 (tiga) isu lain yang berkaitan erat dengan makna independensi, yaitu : kesatu,

kualifikasi obyektif soal indpendensi, maksudnya, independensi tidak hanya diletakan pada

kebebasan di dalam memutus suatu perkara yang diperiksanya; tetapi juga independensi

berkaitan pada syarat-syarat dasar yang bisa menjamin kekuasaan kehakiman secara

Page 22: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

langsung-tidak langsung dipengaruhi kebebasannya, misalnya, tiadanya jaminan masa kerja

dan jabatan, pola hubungan kerja dengan atasan3;

kedua, independensi bukanlah persoalan dari hakim semata tetapi juga menjadi persoalan

yang tak terpisahkan dari aparat penegak hukum lainnya serta para pencari keadilan.

Maksudnya, mereka juga harus menjaga dan membangun situasi yang kondusif untuk

memastikan independensi bisa dilakukan secara konsisten oleh para hakim; ketiga,

independensi secara tidak langsung juga berkaitan dengan proses rekruitmen. Pola seleksi

yang tidak menjamin adanya fairness akan potensial mempengaruhi sikap dan prilaku hakim

di dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya, bila menyangkut kepentingan “lord” yang

pernah memberikan konsesi hakim tertentu itu di dalam proses rekruitmen.

Yang juga patut mendapatkan perhatian, independensi biasanya hanya diarahkan pada

sikap, perilaku dan kinerja para hakim saja. Padahal, independensi juga harus diarahkan pada

lembaga peradilannya. Itu artinya, elemen atau unsur-unsur lainnya di dalam lembaga

peradilan selain para hakim juga harus menjadi bagian penting yang perlu diperhatikan,

karena mereka baik langsung dan tidak langsung juga bisa mempengaruhi pelaksanaan

independensi.

Di dalam konteks independensi Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Khususnya pada soal

rekruitmen perlu dicermati secara baik. Di dalam konstitusi dikemukakan bahwa “Mahkamah

Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh

Presiden yang diajukan oleh masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang

oleh Dewan Perwakilan rakyat dan tiga orang lainnya diusulkan oleh Presiden”.

21

Ada dua hal penting yang perlu mendapatkan perhatian di dalam konteks di atas, yaitu:

kesatu, proses rekruitmen para hakim konstitusi dari masing-masing lembaga yang

berkompeten (DPR, Mahkamah Agung dan Presiden) belum sepenuhnya dilakukan secara

terbuka dengan kriteria yang tegas dan jelas. Proses yang masih berbau “favoritism” di dalam

menyeleksi para hakim konstitusi potensial mempengaruhi independensi para hakim terlebih

di dalam kasus yang melibatkan kepentingan para pihak yang kewenangan menyeleksi hakim

konstitusi itu;

3 Lihat Shimon Shetreet di dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and Contemprary Challenges di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, 2003.

Page 23: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

kedua, ada isu kultur dan mind set di sebagian masyarakat kita. Akibat proses yang tidak

sepenuhnya transparan dengan kriteria yang jelas pada proses rekruitmen para hakim

konstitusi dapat potensial mengakibatkan komitmen untuk menegakkan hukum dan keadilan

memperoleh masalah. Pertanyaan dasar yang ingin diajukan, apakah para hakim konsitusi itu

(kultur dan mind setnya) dapat sepenuhnya melepaskan diri untuk hanya berkehendak

menegakkan hukum dan keadilan atas permohonan itu?

Secara umum, membangun independensi secara tegak lurus bukanlah pekerjaan yang mudah.

Kepastian untuk menjamin adanya suatu independensi yang akuntabel bebrupa bebas atau

lepas dari campur tangan atau intervensi pemerintah, kolega dan/atau atasan atau pihak-pihak

lainnya harus dirumuskan melalui mekanisme prosedur hukum acara dalam kaitannya dengan

pelaksanaan kewenangan judisial dan atmosfir kerja yang kondusif yang bisa mempengaruhi

prinsip independensi.

Di dalam Universal Declaration on the Independence of Justice, di salah satu bagiannya,

khusus diatur hal-hal yang berkaitan dengan independence. Setidaknya ada 10 (sepuluh) point

penting yang dikemukakan di bagian itu, beberapa diantaranya antara lain menyatakan :

pertama, “judges shall promote the principle of due process of law as being an integral part

of independence of justice”; kedua, “no reservations shall be made or admitted to teraty

provisions relating to the fundamental principles of independence of judiciary” dan ketiga,

the ethical standards required of national judges in the exercise of their judicial function

shall be apply to judges.4

22

Pendeknya, jaminan atas independensi harus dirumuskan melalui suatu perundangan yang

bisa menjamin kewenangannya secara langsung di dalam bidang judisial maupun hal lainnya

yang menyangkut atmosfir penggunaan kewenangan lainnya seperti telah diuraikan diatas.

Dengan membangun independensi di dalam Mahkamah Konstitusi tidak sekedar adanya kata

bahwa kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan

yang merdeka saja tetapi juga harus disertai dengan beberapa hal lainnya :

4 Universal Declaration on the Independence of Justice dideklarasikan di Monteral 10 Juni tahun 1983

Page 24: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

kesatu, adanya suatu aturan yang secara limitatif dan elaboratif mengatur tindakan yang

melindungi dan menterjemahkan prinsip-prinsip penting dari independensi; kedua, ada upaya

yang kongkrit dari pihak lain di luar mahkamah Konsitusi, baik di dalam kapasitas sebagai

aparatur penegak hukum lainnya serta para user atau pencari keadilan di MK yang

mempunyai itikad dan upaya menjamin independensi itu; ketiga, para hakim konstitusi dan

unsur lainnya di dalam MK juga mempunyai kepentingan, tekad dan upaya tidak meletakkan

dirinya di bawah “pengampuan” orang lain, baik dari sisi sikap, prilaku, dan mind set dan

kulturnya.

Integritas adalah bagian lain yang juga sangat penting yang harus dimiliki oleh para hakim

konstitusi. Di dalam konstitusi disebutkan “hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawanan yang menguasai konstitusi dan

ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Kriteria ini agak berbeda

dengan yang dirumuskan konstitusi untuk hakim agung yang dikemukakan “hakim konstitusi

harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan

berpengalaman di bidang hukum”. Artinya, hakim agung tidak perlu seorang negarawan dan

memahami konstitusi dan ketatanegaraan.

Lebih dari itu, integritas bisa diletakkan di dalam dua perspektif, yaitu : kesatu, standar

kompetensi dan kedua, standar spiritualitas. Di dalam konteks kompetensi, integritas hendak

mengacu pada kehendak kuat untuk meningkatkan pengetahun sesuai dengan perkembangan

pengetahuan yang menyangkut segenap aspek yang diatur di dalam konstitusi dan dinamika

perkembangan masyarakat. Integritas di dalam aspek ini bisa menjadi bermasalah bila hakim

konstitusi atau Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai mekanisme yang memungkin para

hakim dan unsur-unsurnya untuk terus menerus meningkatkan kapasitas pengetahuannya

sesuai dengan dinamika problematika yang berkembang. Bila hal ini tidak dilakukan,

dikuatirkan, pertimbangan hukum dan putusan atas permohonan tidak mampu menjawab

tantangan problematika yang diajukan serta sekaligus tidak mampu memberikan putusan

yang mampui memberikan kepastian hukum dan keadilan.

23

Integritas juga bisa diletakan di dalam perspektif spiritualitas, maksudnya, ada serangkaian

upaya yang secara sistematis dilakukan oleh untuk memperlihatkan bahwa hakim konstitusi

yang mengedepankan fairness, obyective, honestly dan knowledgeable untuk hanya

mengabdikan pada keinginan untuk mewujudkan penegakan dan kepastian hukum serta

Page 25: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

keadilan. Pendeknya, nilai-niali yang secara inheren dimiliki oleh hakim untuk bisa

memperlihatkan sikap adil, kenegarawanan dan tidak mempunyai kepribadian yang tercela.

Pengembangan dan pendalaman integritas tidak bisa lagi menjadi upaya para hakim

konstitusi sendiri, sudah saatnya diupayakan suatu program yang lebih sistematis untuk

menjamin proses peningkatan integritas ini serta dirumuskannya satu standar etik dan prilaku

yang akan menjamin aspek integritas selalu melekat di setiap hakim konstitusi. Tentu saja,

seperti juga telah diuraikan diatas, para user pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi harus

berperan aktif untuk menjaga integritas para hakim konstitusi ini.

24

Page 26: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

ANALISIS TENTANG UNSUR MELAWAN HUKUM (wederrechtelijkheid)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 003/PUU/2006

1. Pendahuluan Tulisan ini adalah respon atas permohonan yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi

berkaitan dengan Uji Materiil Undang Undang Pemberantasan Korupsi. Ada kekuatiran,

Mahkamah akan melakukan penafsiran hukum dan membuat putusan yang melebihi

kebutuhan dan kepentingan pemberantasan korupsi sehingga dapat merugikan upaya

pemberantasan korupsi. Berpijak pada alasan itulah, permohonan yang dajukan tersebut perlu

dikaji secara utuh dan sistematis. Tindakan ini juga sebagai upaya dari pegiat anti korupsi

untuk mendukung gerakan anti korupsi, khususnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

yang sebagian kewenangannya terus menerus dipersoalkan oleh ”koruptor” melalui jalur

hukum.

2. Melanggar prinsip Ultra Posita dan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan “…Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum

permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus

terhadap bagian tersebut…”.

Di dalam posita dan petitum permohonan seperti tersebut pada Putusan Mahkamah

Konstitusi dikemukakan :

”...materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan

Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan terhadap Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat...”.

25

Posita permohonan lebih banyak mempersoalkan materi muatan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 15

UU Pemerantasan Tindak Korupsi sesuai alasan permohonan. Posita dimaksud sama sekali

tidak mempersoalkan penjelasan pasal Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3. Dengan tidak benar,

Page 27: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

jika permohonan tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus karena permohoinan

memang tidak membahas penjelasan pasal dimaksud.

Pasal 51 ayat (3), huruf b, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menyatakan ”Dalam permohonan..., pemohon wajib menguraikan dengan jelas... materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Nnegera RI Tahun 1945”.

Berpijak pada pasal dimaksud, Putusan MK dapat dikualifikasi telah melakukan ultra posita

dan ultra petita karena membahas penjelasan pasal yang dimohonkan tetapi tidak pernah

diiuraikan dengan jelas materi muatan penjelasan pasal. Hal ini bertentangan dengan Pasal 51

ayat (3), huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

1. Tidak menjelaskan secara cukup alasan dan pertimbangan mengenai ajaran

“melawan hukum materiil”.

Pertimbangan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan “...Pasal 2 ayat (1)

tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana, tidak lagi

hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele

wederrechtelijkheid...”

Suatu perbuatan tidak hanya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil

dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, tetapi juga dapat berupa ukuran yang dianut

dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai

perbuatan tercela karena dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan

yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat. Perbuatan dimaksud

dipandang sebagai perbauatn yang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk).

Dengan demikian, ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan

tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma

moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut

merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil.

26

Alasan di atas dikonfirmasi dengan Konstitusi Pasal 28D yang juga dikaitkan dengan Pasal 1

ayat (1) KUHP, Prinsip Lex Sripta dan Lex Certa serta kemudian disimpulkan konsep

melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan,

kehati-hatian dan kecermatan yang hidup di dalam masyarakat sebagai norma keadilan adalah

Page 28: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke

lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin

di tempat lain diterima dan/ atau diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum

Ada beberapa hal penting yang perlu diajukan berkenaan dengan pertimbangan dan

kesimpulan diatas, yaitu sebagai berikut:

A. Pertimbangan diatas kurang cukup membahas perdebatan kalangan ahli

berkenaan dengan ajaran melawan hukum formil dan materiil;

Ada kaitan yang erat antara norma materiil dengan hukum pidana. Pada perkembangannya

ada cukup banyak norma materiil yang kemudian dikukuhkan menjadi norma hukum;

Pengukuhan menjadi norma hukum dimaksudkan tidak bersifat legalitas tetapi ditujukan

untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas bukan sekedar kepentingan orang

perorangan semata

Pada abad ke 19 ada ”perdebatan keras” antara aliran sejarah dengan positivis oleh dua orang

Yuris Jerman (Von Savingy dan Thibaut). Hukum harus lahir dari jiwa rakyat dan kodifikasi

selalu membawa efek negatif karena menghambat perkembangan hukum (Von Savingy)

Suijling mencoba mendamaikan kedua pendapat diatas dengan menyatakan :

”kekakuan dari naskah yang diagung-agungkan dari UU tidak selalu memungkinkan

hakim memberikan putusan yang adil”

”masyarakat tidak dapat berjalan tanpa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis”

”tidak hanya UU atau hanya hukum kebiasaan saja, ...keduanya secara bersama-sama

memberikan dasar hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan. Hakim

mendasarkan putusannya atas keduanya, hakim adalah mulut dari hukum tertulis

maupun hukum tidak tertulis” (J. PH Suijing, Levend en Stervend Recht, De Erven F Bohn

NV Haarlem, 1952 hlm. 76 di dalam Komariah Emong Soepardjaja; Ajaran Sifat Melawan

Hukum Materiil di Indonesia, Hlm. 14).

27

Bregstein menyatakan ”...undang-undang dapat sangat memberikan kepastian hukum tetapi

kepastian hukum tidak selalu memberikan keadilan...”. Pembuat UU melahirkan

Page 29: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

kehendaknya dalam kata-kata...kehidupan sosial yang mereaksi...membuat kata-kata menjadi

hidup ... memberikan arti...”

Perdebatan yang diajukan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan Mazhab Utilitarian dan

Mazhab Legal Pragmatism mungkin menjadi sangat menarik untuk memastikan apa dasar

filosofis dan teori hukum yang dijadikan pilihan hakim konstitusi dikaitkan dengan konteks

sosial yang berkembang di masyarakat serta pilihan paradigma keadilan yang dijadikan dasar

argumentasi pertimbangan hukumnya.

B. Pertimbangan tidak mengelaborasi pasal 28D ayat (1) secara komprehensif serta

”tidak dapat” mengkonfirmasi Pasal 28D ayat (1) UUD dengan asas legalitas

yang dimuat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP;

Asas ini diintroduksi di zaman Ancien sebagai respon atas kebutuhan fungsional atas

kesewenang-wenangan penguasa sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum. Perumusan

delik diperlukan untuk asas legalitas. Jika dilihat Pasal 28D ayat (1) dikemukakan ”setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di muka hukum”

Bandingkan dengan pernyataan yang tersebut di dalam pertimbangan hukum Mahkamah

Konstitusi yang hanya menyatakan ”Pasal 28D ayat {1} mengakui dan melindungi hak

konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang

pasti...”

Pertimbangan Mahkamah hanya menekankan pada aspek-aspek yang bersifat: mengakui,

menjamin dan melindungi hukum yang pasti. Tidak mengutip sesuai teks UUD 1945 dan

menghilangklan teks dan konteks kepastian hukum yang adil. Pasal dimaksud tidak hanya

mengemukakan kepastian hukum tetapi kepastian hukum yang adil.

Teks dan konteks keadilan tidak dibahas sedikitpun oleh pertimbangan hukum sehingga

kepastian hukum telah kehilangan dasar otentitasnya. Ada cukup banyak teori keadilan bisa

ditelaah untuk kemudian sampai pada suatu kesimpulan tertentu. Selain perdebatan klasik

mengenai keadilan retributif dan komutatif, Mahkamah Konstitusi merujuk pada UN

Convention Against Corruption mengenai kerugian negara yang tidak lagi mutlak merupakan

unsur tindak pidana korupsi.

28

Page 30: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Bila saja Mahkamah Konstitusi mengkaji teks rumusan pasal dimaksud secara cermat serta

dikaitkan dengan konteks keberpihakan dan filosofi keadilan maka jelas dapat dilihat akibat

korupsi tidak hanya merugikan negara saja tetapi juga sangat merugikan masyarakat

kebanyakan karena melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakaat secara luas. Maksudnya,

kesatu, keberpihakkan lebih diletakan pada kepentingan publik karena merekalah yang

menerima dampak sosial dan ekonomi dari suatu tindak korupsi; dan kedua, pada dimensi

keadilan transitional maka kepentingan korban yang lebih diperhatikan dan bahkan korban

mempunyai keleluasaan untuk menentukan ”settlement disputes” yang terjadi. Pada titik

inilah keadilan komutatif memperoileh dasar justifikasinya.

Bila kemudian pasal konstitusi dikonfirmasi dengan pasal 1 ayat (1) KUHP dengan konteks

asas legalitas, maka ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu:

Kesatu, apakah Mahkamah Konstitusi masih berpijak pada asas diintroduksi sejak zaman

Ancient padahal ada cukup banyak pendapat ahli yang menyatakan ”masyarakat tidak dapat

berjalan tanpa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis” dan ”tidak hanya UU atau

hanya hukum kebiasaan saja, ... keduanya secara bersama-sama memberikan dasar

hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan...”. Pada perkembangannya, prinsip

legalitas ini dipandang tidak akurat dan tidap sensistif terhadap kenyataan hukum yang

tengah berkembang

Kedua, apakah relevan membandingkan KUHP yang Lex Generale dengan UU

Pemberantasan Korupsi yang Lex Speciallis. KUHP mempunyai asas tersendiri yang

berkaitan dengan legalitas dan UU Pemberantasan Korupsi juga mempunyai asas legalitas.

Pada konteks legalitas itu, UU Pemberantasan Korupsi telah menegaskan diakuinya prinsip

ajaran melawan hukum formil dan materiil.

Ketiga, bukankah pada UU Pemberantasan Korupsi juga sudah dirumuskan secara tegas

adanya unsur ”melawan hukum”. Secara Lex Scripta yang menegaskan orang hanya dapat

dituntut dan diadili atas dasar suatu perundangan yang tertulis yang telah lebih dahulu ada

telah terpenuhi; Juga telah memenuhi Lex Certa dan Lex Stricta, yaitu harus jelas dan tidak

ditafsirkan secara analogi.

29

C. Pertimbangan hukum menyimpulkan secara sepihak dan tidak utuh dengan

langsung menyatakan konsep melawan hukum formil mewajibkan pembuat UU

Page 31: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

merumuskan secara cermat dan rinci merupakan syarat untuk menjamin

kepastian hukum (lex Certa)

Pernyataan di atas terlalu bias karena dua hal, yaitu: kesatu, konsep melawan hukum formil

seolah hanya dimasudkan untuk menjamin kepastian hukum padahal konstitusi menginginkan

kepastian hukum yang adil; kedua, Mahkamah langsung menyimpulkan bahwa konsep

melawan hukum materiil tidak dapat dirumuskan secara cermat. De facto sudah dipenuhinya

aspek forseebility (dapat diperkirakan akibatnya) dan accessibility (mudah difahami) pada

UU Pemberantasan Korupsi.

Bukankah yang dirumuskan di dalam pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi hanya

menyatakan secara lex certa ”melawan hukum” saja, tidak menyebutnya sebagai melawan

hukum formil dan/ atau materiil. Jadi mengapa kemudian disimpulkan, ada perumusan norma

baru yang padahal menjelaskan apa yang dimaksud dengan melawan hukum dimaksud.

De facto di dalam praktek pengadilan di Indonesia dan khususnya Mahkamah Agung sudah

kerap kali menggunakan ajaran melawan hukum materiil di dalam memutus perkara. Fakta

inipun bukan khas Indonesia saja. Beberapa kasus telah diputus oleh Mahkamah Agung

dengan menggunakan ajaran melawan hukum materiil, seperti antara lain:

a. Perkara No. 275K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983 dalam Perkara Korupsi di

bank Bumi Daya. Seorang pegawai negeri yang menerima fasilitas berlebihan serta

keuntungan lainnya dari seseorang ia menggunakan kewenangan yang melekat pada

jabatannya. MA menyatakan ”,,,menurut kepatutan perbuatan itu merupakan

perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat...”;

b. Perkara No. 14K/Pid/1992 tanggal 2 Mei 1992 dalam Perkara Bank Duta. Di dalam

perkara dimaksud MA menyatakan ”...walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta

tetapi karena telah menerima/ menggunakan dana-dana yang berasal dari masyarakat

yang diperuntukan bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka UU Korupsi dapat

diterapkan di dalam perakara ini...”.

30

Undang-Undang Mengenai Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 juga telah secara

eksplisit menyatakan bahwa hakim diberikan keleluasaan untuk menggali rasa keadilan yang

berkembang di masyarakat

Page 32: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

2. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi telah telah menambahkan

norma baru dan memuat susbtansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang

dijelaskan.

Pada bagian ini Mahkamah telah membuat suatu kesimpulan dengan menggunakan Butir E

Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar rujukannya.

Beberapa bagian penting dari perundangan dimaksud telah dikutip oleh Mahkamah antara

lain:

a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-

undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya

memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh.

Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh,

tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;

b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan

lebih lanjut;

c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung

terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;

Mahkamah kemudian menyimpulkan bawah penjelasan pasal 2 ayat (1) a quo tidak hanya

menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal tetapi telah menambahkan norma

baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang

dijelaskan.

31

Jikalau digunakan uraian dan alasan di atas sebagai dasar hukum untuk mengkaji

penjelasan Pasal 2 ayat (1) a quo maka yang dilakukan oleh Mahkamah adalah tindakan

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang lainnya, bukan bagian yang menjadi

kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan hak uji materiil karena suatu Undang-

Undang bertentangan dengan Konstitusi. Tidak dijelaskan apa ukurannya penjelasan

dimaksud memuat memuat substansi norma baru yang bertentangan dengan norma yang

ada.? Bukankah yang dirumuskan di dalam pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi

hanya menyatakan secara lex certa ”melawan hukum” saja, tidak menyebutnya sebagai

melawan hukum formil dan/ atau materiil. Jadi mengapa kemudian disimpulkan, ada

perumusan norma baru.

Page 33: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Jikapun penjelasan pasal dimaksud dihapus sepanjang frasa ”Yang dimaksud dengan ’secara

melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil

maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana” tidak serta merta diartikan bahwa ajaran melawan hukum materiil

tidak dapat digunakan oleh para hakim karena praktek pengadilan selama ini telah melakukan

hal tersebut dan para hakim masih terikat dengan ketentuan yang tersebut pada pasal 28 UU

No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang justru memberikan keleluasaan pada

hakim untuk memutus suatu perkara sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

PERTENTANGAN KEWENANGAN

ANTAR LEMBAGA NEGARA PASKA AMANDEMEN

Pendahuluan Sejak reformasi terjadi, keadaan menjadi lebih terbuka dan setiap pihak menjadi lebih berani

mengemukakan pendapatnya. Situasi ini mendorong proses demokratisasi menjadi lebih maju

karena diterapkannya prinsip keterbukaan tetapi disisi lainnya juga menyebabkan suatu

sengketa atau sifat konflik menjadi lebih terbuka. Problematikanya bukan terletak pada

situasi yang terbuka tetapi, apakah kita mampu membangun sistem dan mekanisme yang

dapat menyediakan instrumen untuk mengelola konflik yang ada.

Di dalam konteks itu, fakta adanya sengketa antar lembaga negara adalah keniscayaan, lebih-

lebih setelah amandemen UUD 1945 yang meniadakan lagi peran lembaga tertinggi negara.

Pada situasi tersebut lembaga negara yang ada mempunyai kedudukan yang sejajar sehingga

potensial mendorong terjadinya dinamika yang intensif pada proses ketatanegaraan yang

dapat menimbulkan friksi, rivalitas dan ketegangan diantara lembaga negara yang ada.

Amandemen UUD 1945 bukan tidak mengantisipasi masalah seperti tersebut diatas. Oleh

karena itu, amandemen konstitusi menjustikasi pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi

yang salah satu kewenangannya berkaitan dengan ”memutuskan sengketa kewenangan antar

lembaga negara...”. Persoalnnya terletak pada, apakah lembaga yang ada telah diproyeksikan

32

Page 34: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

memiliki kemampuan untuk mengelola berbagai potensi konflik yang akan hadir pada masa

mendatang.

Di makalah ini akan dikemukakan, potensi sengketa apa saja yang muncul di dalam suatu

proses transisi demokratik dan akan dijelaskan apa saja akar-akar masalah dari sengketa

dimaksud. Berdasarkan hal tersebut maka kemudian akan dikaji, apakah mekanisme

ketatanegaraan untuk menyelesaian sengketa yang secara faktual terjadi seperti telah

dirumuskan di dalam UUD sudah cukup mampu mengelola sengketa dimaksud.

Potensi Sengketa dan Akar Masalah Di awal tulisan telah dikemukakan bahwa sengketa adalah keniscayaan. Yang menjadi

pertanyaan, apakah amandemen konstitusi dapat serta merta dituduh menjadi penyebab utama

terjadinya suatu sengketa; dan pertanyaan lain yang juga dapat diajukan adalah, apakah

amandemen suatu konstitusi telah merumuskan adanya sistem dan mekanisme yang ditujukan

untuk menyelesaikan potensi sengketa antar lembaga negara yang muncul dari proses

ketatanegaraan yang secara dinamis muncul dan terjadi di masyarakat.

Secara umum dapatlah dikemukakan, situasi yang lebih terbuka, di satu sisi dapat

memunculkan potensi sengketa lebih terbuka tetapi disisi lainnya dapat lebih cepat mengatasi

sengketa tersebut sehingga tidak menimbulkan dampak dan kerugian lain yang

berkepanjangan. Yang lebih esensial dari proses keterbukaan adalah kontrol publik dapat

ditingkatkan secara lebih maksimal sehingga dapat meminimaliasi potensi penyimpangan

yang dilakukan oleh pejabat publik.

33

Indonesia belum sepenuhnya menyelesaikan proses transisi demokratiknya. Sebagian

kalangan bahkan melakukan penilaian yang bersifat pesimistis dengan menyatakan bahwa

reformasi politik di Indonesia bergerak pada aras yang tak jelas serta cendrung merugikan

kepentingan rakyat. Lepas dari berbagai penilaian tersebut, ada fakta yang tak dapat

diingkari, dinamika yang terjadi selama proses reformasi dan transisi kekuasaan ini

menggambarkan, sengketa yang kini terjadi dapat dikemukakan sedemikian luasnya dan

mudah diakses publik.

Page 35: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Fakta tersebut dapatlah dimaknai sebagai berikut: kesatu, adanya keleluasan di dalam

berekspresi memberikan kemungkinan orang menyatakan pendapat dan kepentingan secara

lebih bebas tetapi disisi lainnya ketidakmampuan untuk mengelolanya secara

bertanggungjawab potensial menimbulkan kesenjangan dan sengketa; kedua, kebebasan

informasi dan politik keterbukaan telah memungkinkan media mengemukakan informasi

secara lebih terbuka, cepat dan bahkan sebagiannya cendrung bersigfat insinuatif. Fakta ini

menyebabkan seolah-olah sengketa menjadi kian banyak dan meluas; ketiga, keterbukaan

memungkinkan kontrol dan partisipasi publik atas penggunaan kekuasaan sehingga dapat

meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan dari penguasa.

Disisi lainnya, ada juga suatu kenyataan bahwa tidak ada bangsa yang dalam membangun

proses kebangsaannya tidak mengalami perbedaan pendapat dan menimbulkan ketegangan,

Jika hal tersebut diletakan pada situasi transisional seperti yang tengah terjadi di Indonesia

maka dapat saja terjadi, perbedaan pendapat dan ketegangan yang belum mampu dikelola

secara demokratik dapat memicu sengketa dalam derajat konflik tertentu yang mungkin saja

menyebabkan bangsa ini ”terbelah”, hancur dan berkeping-keping.

Kendati ada juga fakta lainnya, perbedaan pendapat yang meningkat menjadi ketegangan dan

kemudian menjurus pada konflik dapat dikelola sedemikian rupa melalui proses dan

mekanisme demokratis justru dapat membangun kohesifitas sosial dan soliditas bangsa secara

lebih baik. Di dalam perspektif yang positif, kendati sengketa atau konflik menyebabkan

kerugian tetapi konflik juga dapat menjadi energi sosial untuk mendorong suatu perubahan di

dalam masyarakat menuju kearah yang lebih baik. Pada sistem demokratik yang baik,

perbedaan pendapat didorong sebagai kompetisi politik yang sehat untuk meningkatkan

daulat dan kesejahteraan rakyat. Pendeknya, konflik dapat dikelola secara positif dengan cara

yang bijak untuk menghasilkan kebajikan dan kemasalahatan bagi rakyat.

34

Dengan demikian, sengketa dapat dimaknai sebagai suatu perbedaan pendapat yang lazim

terjadi di dalam suatu komunitas masyarakat atau sistem pemerintahan, dia dapat muncul

kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja mengenai berbagai soal. Pada Suatu sengketa

dapat berkaitan dengan banyak hal, misalnya saja, sengketa yang disebabkan oleh isu yang

berkaitan dengan identitas atau konflik etnis atas dasar perebutan sumber ekonomi,

primordialisme dan relasi sosial antar minoritas-mayoritas. Sengketa yang disebutkan

tersebut dapat berkembangnya menjadi konflik yang mengakar dan sulit diselesaikan secara

Page 36: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

tuntas dalam waktu yang singkat, lebih-lebih bila tidak adanya mekanisme demokratis yang

dapat mengakomodasi konflik dimaksud.

Di dalam suatu negara yang tengah mengalami krisis politik maka situasi konflik tersebut

dapat mengarah pada krisis legitimasi. Di dalam situasi sedemikian maka ada berbagai faksi

dan kepentingan saling ”bertarung” mendesakan kepentingannya masing-masing. Di dalam

kedaan tersebut bukan tidak mungkin negara atau pemerintahan atau faksi tertentu di dalam

pemerintahan turut sereta berselisih dan mendorong derajat konflik lebih dalam dan luas.

Yang menarik, ditengah situasi dimana potensi destruktif sangat mungkin terjadi tetapi

biasanya ada cukup banyak pihak dan penyelenggara negara yang senantiasa berikhtiar dan

berupaya untuk mencari dan mendesakan untuk digunakannya instrumen dan mekanisme

kelembagaan yang ada dan/ atau dibuat secara sengaja untuk mengatasi sengketa atau konflik

yang terjadi.

Sengketa yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sengketa yang terjadi dan ditujukan

pada subyek hukum yang bernama lembaga negara dan hanya berkaitan dengan kewenangan

yang melekat pada lembaga dimaksud. Bila dibuat suatu katagorisasi berdasarkan subyek dan

obyek hukum yang bersengketa maupun disengketakan, maka dapatlah dikemukakan sebagai

berikut: kesatu, lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; kedua, lembaga

negara yang kewenangannya tidak didasarkan dan atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar

1945; ketiga, lembaga negara yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UUD;

35

Ada cukup banyak fakta dapat diajukan mengenai jenis sengketa seperti katagorisasi tersebut

diatas, misalnya: ketegangan atau sengketa yang terjadi antara Presiden dengan Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai penunjukan Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dan

penunjukan Kepala Kepolisian RI, Konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat

dengan Dewan Perwakilan Daerah serta antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial

juga dapat dikualifikasi sebagai konflik dalam katagorisasi pertama. Konflik antara Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia dengan lembaga Penegakan Hukum atau Dewan Perwakilan

Rakyat soal penentuan ada-tidaknya kejahatan berat hak asasi manusia atau konflik antara

Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan mengenai otoritas pencetakan uang dapat

dikualifikasi sebagai jenis konflik dalam katogori kedua; Sedangkan konflik antara Komisi

Penyiaran dengan Menteri Informatika dan Komunikasi tentang kewenangan pengaturan

pemberian izin frekwensi dan antara pemrrintah daerah satu dengan lainnya mengenai

Page 37: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

cakupan wilayah yang menjadi bagian dari wilayah administratifnya dapat dikualifikasi

sebagai konflik untuk katagori ketiga.

Di dalam sengketa seperti dikemukakan di atas, ada beberapa hal penting yang harus

diperhatikan untuk memahamai pola konflik, yaitu antara lain:

1. Pada suatu sengketa yang melibatkan lembaga tertentu, misalnya: Dewan Perwakilan

Rakyat dengan Pihak Eksekutif, biasanya ada cukup banyak kelompok yang terlibat

sehingga juga perlu diketahui siapa dan apa saja faksi-faksi yang ada di antara para

pihak; Pemahaman atas faskionalisasi itu akan memudahkan untuk membaca motif

politik, kepentingan yang hendak diperjuangkan mereka atau faksi di dalam

kelompok;

2. Di dalam sengketa juga perlu dikualifikasi, apa isu yang terlibat di dalam konflik.

Tidak jarang soal kewenangan bukanlah isu utamanya karena bisa saja terjadi isu

dasarnya adalah adanya monopoli atau oligopoli suatu kewenangan, diskriminasi

dan/atau ketimpangan yang terjadi di dalam proses distribusi sumber daya ekonomi,

politik dan sosial. Di dalam konteks ini, juga akan berhimpitan dengan faktor lainnya

sebagai motif lain dari konflik, seperti misalnya: political bargaining, meminta share

tertentu di dalam proses alokasi dan distrubsi sumber ekonomi dan lainnya;

3. Faktor lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah perimbangan kekuatan

diantara para pihak yang bersengketa. Pada peta perimbangan tidak hanya dilihat

kekuatan diantara para pihak tetapi juga dukungan dan perspesi publik atas konflik

yang terjadi karena hal ini akan membuat konfigurasi perimbangan yang berbeda satu

dan lainnya.

36

Yang menguatirkan, jika sengketa dan faktor-faktor yang menyertainya seperti tersebut di

atas itu berkembang menjadi konflik yang bersifat masif, memicu problematik baru,

melibatkan berbagai kalangan di masyarakat, dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan

direspon oleh aparat juga dengan kontra kekerasan. Sementara itu, kualitas kekuatiran akan

meningkat bila, sistem sosial, politik dan hukum yang ada belum memiliki prosedur,

mekanisme dan sistem demokratik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa

dimaksud. Di dalam situasi sedemikian maka perbedaan pendapat yang seharusnya dikelola

secara demokratik dan diarahkan menjadi faktor positif penting mendewasakan bangsa dan

mennciptakan kemaslahatan dapat justru berbalik menjadi bersifat destruktif.

Page 38: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara serta Pihak Lainnya Jika menggunakan pendekatan normatif seperti termaktub di dalam UUD 1945 dan

UU Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sengketa kewenangan, maka yang dimaksud

dengan sengketa adalah ”sengketa kewenangan dari suatu lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD”. Berpijak dari rumusan eksplisit tersebut ada beberapa

isu pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Sengketa yang dimaksudkan hanyalah sengketa diantara lembaga negara;

2. Sengketa sesuai butir satu diatas berupa sengketa kewenangan; dan

3. Kewenangan sesuai butir satu dan dua diatas adalah kewenangan dari lembaga negara

yang diberikan oleh UUD.

Rumusan yang dikemukakan secara eksplisit tersebut di atas sangat terbatas lingkupnya serta

belum menjelaskan secara kongkrit beberapa hal penting yang berkaitan dengan sengketa,

yaitu: kesatu, apakah yang dimaksud dengan lembaga negara; kedua, apakah kewenangan

yang diberikan UUD pada lembaga negara adalah kewenangan yang dikemukakan secara

langsung dan kongkrit ataukah kewenangan yang tidak secara eksplisit diberikan oleh UUD.

Jika lingkup kewenangan seperti dirumuskan diatas menjadi kewenangan dari Mahkamah

Konstitusi, pertanyaan lain juga dapat diajukan berkaitan dengan adanya keadaan yang secara

faktual memperlihatkan munculnya sengketa yang tidak hanya berkaitan dengan kewenangan

suatu lembaga, misalnya saja: sengketa mengenai kejahatan yang terjadi pada masa lalu,

sengketa distribusi kekuasaan berkaitan dengan alokasi dana atas sumber daya alam antara

pusat dan daerah; atau juga sengketa yang dapat terjadi diantara berbagai lembaga yang

kendati disebut secara jelas di dalam konstitusi tetapai tidak disebutkan kewenangannya

secara eksplisit, seperti: lembaga Kepolisian, TNI, Dewan Penasehat Presiden dan Kejaksaan

Agung; dan/ atau munculnya potensi sengketa dari lembaga yang secara eksplist tidak

disebutkan oleh UUD dan mempunyai kewenangan tertentu yang secara langsung diberikan

oleh UUD. Siapakah yang memiliki kewenangan untuk menangani berbagai sengketa

dimaksud?

37

Secara umum, kekuasaan suatu negara dapat dikualifikasi melalui suatu pembagian

kekuasaan yang kemudian melekat pada suatu lembaga tertentu yang memiliki kekuasaan dan

kewenangan tertentu dan secara klasikal, kekuasaan dibagi diantara kekuasaan yudikatif,

Page 39: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

legislatif dan eksekutif kendati ada badab lain yang tidak dapat dimasukan dalam kelmopok

kekuasaan yang ada, yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan.

Di dalam perkembangannya, ada cukup banyak lembaga lain yang muncul dan bersumber

dari 3 (tiga) cabang kekuasaan yang ada, misalnya saja: Dewan Perwakilan Daerah,

Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada juga

berbagai badan lain yang muncul dan dibentuk karena adanya dinamika tuntutan publik

maupun kebutuhan ketatanegaraan. serta sebagiannya tidak serta merta dapat dikelompokkan

kedalam cabang kekuasan yudikatif, legislatif dan eksekutif, misalnya antara lain: Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Ombudsman dan lainnya.

Berbagai lembaga negara yang ada yang ditujukan untuk membagi habis kekuasaan yang

sebelumnya tidak dapat dibagi habis oleh lembaga yudikatif, legsilatif dan eksekutif agar

dapat meningkatkan kualitas negara hukum yang demokratis dapat saja konflik satu dan

lainnya. Konflik yang timbul tersebut tidak sepenuhnya dapat dikelola oleh sistem dan

mekanisme yang ada karena Mahkamah Konstitusi mempunyai cakupan kewenangan yang

terbatas di dalam memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga negara. Berkenaan

dengan hal tersebut maka diperlukan sistem dan mekanisme demokratik lainnya yang dapat

memutuskan dan mengelola konflik diantara lembaga negara yang ada.

Kesimpulan Berdasarkan segenap uraian di atas dapat dikemukakan bahwa amandemen UUD 1945 belum

mengatur secara komprehensif sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa diantara

lembaga negara yang ada. Amandemen Konstitusi baru mengatur secara terbatas sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Untuk itu

diperlukan mekanisme lain yang dapat mengakomodasi dan menangani konflik dari lembaga

negara lainnya.

Adapun mekanisme dimaksud dapatlah dikemukakan sebagai berikut: kesatu sistem check

and balance haruslah diatur sedemikan rupa sehingga benar terjadi saling kontrol dan saling

imbang kekuasaan sehingga potensi konflik terserap habis di dalam sistem dmaksud;

38

kedua, segala sengketa di luar kewenangan Mahmakah Konstitusi dapat melalaui proses

negosisasi dan konsensus serta untuk itu perlu dibuat suatu sistem dan mekanisme yang

Page 40: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

memungkin terjadinya negosiasi politik yang dapat saja diletakan di dalam Mahkamah

Konstitusi;

ketiga, Mahkamah Konstitusi diberikan kekuasaan yang lebih luas untuk dapat

menyelesaikan segala macam konflik yang potensial terjadi pada lembaga negara. Untuk itu

agar akuntabilitas Mahkamah Konstitusi kian meningkat maka akuntabilitas proses

rekruitmen para hakim konstitusi dan proses governance di dalam pengambilan keputusan

harus ditingkatkan;

keempat, Mahkamah Agung mempunyai satu ”kamar khusus” di dalam lembaganya untuk

menyelesaikan sengketa antara lembaga negara minus lembaga negara yang ditangani oleh

Mahkamah Konstitusi. Kamar khusus dimaksud hanya ada di Mahkamah Agung dan

putusannya bersifat final serta mengikat.

39

Page 41: 20101122183255.Quo Vadis Mahkamah Konstitusi 2

40

2009 WSA 

6/10/2009 

QUO VADIS MAHKAMAH KONSTITUSI  

Berbagai potensi masalah di atas mengisyaratkan bahwa MK harus

diletakkan sebagai salah satu instrumen penting di dalam system

kekuasaan untuk mendorong bekerjanya saling kontrol dan saling imbang

diantara lembaga negara. Di dalam konteks situasi transisi seperti yang

kini tengah berlangsung di Indonesia, posisi MK menjadi kian strategis.

Belakangan ini, ada berbagai dinamika yang menarik untuk diamati. Sebut

saja soal yang berkaitan dengan penentuan Wakil Ketua MA, pelaksanaan

ketentuan darurat di Aceh yang punya indikasi melanggar spiritualitas

perlindungan hak asasi seperti diamanatkan di dalam konstitusi dan

potensi pembubaran parpol karena melanggar ketentuan UU parpol dan

UU Pemilu.

Di dalam penentuan Wakil Ketua MA, ada “pertarungan” antara Ketua

MA dengan sebagian anggota DPR yang mempersoalkan mekanisme

pemilihan Wakil Ketua MA. Di satu sisi Ketua MA mengisyaratkan untuk

menggunakan ketenuan di dalam konsitusi yang memberikan kewenangan

kepada Hakim Agung MA untuk memilih sendiri Ketua dan Wakil

Ketuanya. Di sisi lainnya, DPR masih bersikeras agar MA menggunakan

ketentuan di dalam UU No. 14 tahun 1985, dimana DPR masih punya

kewenangan untuk menentukan Wakil Ketua MA. Perselisihan antar kedua

lembaga negara ini dapat terus berlangsung tanpa kesudahan.