20101122183255.quo vadis mahkamah konstitusi 2
TRANSCRIPT
WSA QUOVADISMAHKAMAH KONSTITUSI
Bambang Widjojanto | 2009
KATALOG DALAM TERBITAN
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Yang pertama dan utama, semua dan segala puji dihaturkan kehadirat Illahi Robby karena hanya dengan pekenaan NYA sajalah, buku ini dapat sampai pada tangan sahabat, kolega dan pembaca yang di Rahmati Allah. Sebagian besar tulisan yang ada di dalam buku Qua Vadis Mahkamah Konstitusi ini adalah tulisan yang pernah dimuat pada berbagai diskusi dan seminar dengan fokus Mahkamah Konstitusi. Tulisan dimaksud juga hanya sebagian dari tulisan dan tema yang menjadi fokus perhatian dan minat penulis, selain tema anti korupsi, reformasi hukum, good governance dan kepemiluan. Penerbitan kumpulan tulisan ini disengaja pembuatannya untuk mengkompilasi berbagai pikiran penulis untuk merespon dinamika dan diskursus publik berkaitan dengan isu dan problem korupsi yang memuat, posisi, gagasan dan advokasi atas isu dan masalah korupsi yang sedang terjadi. Semoga saja ada gunanya dan dapat menjadi inspirasi bagi siapapun kendati hanya sebesar peanut atau debu sekalipun. Buku ini adalah salah satu 9 (sembilan) buku yang sengaja diterbitkan Penulis di tahun 2009 dan tulisan ini tidak mungkin dapat dibukukan serta disajikan seperti yang ada di tangan hadirin pembaca tanpa dedikasi dan kehormatan yang diberikan sahabat penulis. Untuk itu, izinkan penulis menghaturkan terima kasih pada kolega penulis Iskandar Sonhaji dari WSA Lawfirm dan rekan Ashep Ramadhan atas segenap bantuannya. Sidang pembaca yang terhormat, atas Rahman dan Rahim serta Rahmat Allah, kami persilahkan untuk “menikmati” tulisan yang ada dalam buku ini. Maafkan bilamana ada berbagai tutur dan tindak yang tersebut dalam tulisan yang dianggap tidak pantas dan kurang berkenaan. Salam Takzim dan selamat membaca, Bambang Widjojanto
2
DAFTAR ISI KATALOG DALAM TERBITAN.......................................................................1
KATA PENGANTAR ..........................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
MAHKAMAH KONSTITUSI HARAPAN BARU, PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM? ............................................................................................4
Pendahuluan. .....................................................................................................4
Latarbelakang Pembentukan MK. ....................................................................4
Dinamika Perkembangan Kelembagaan MK. ..................................................5
MK dan Kompleksitas Permohonan. ................................................................6
Penutup..............................................................................................................9
MAHKAMAH KONSTITUSI STRATEGISITAS DAN PROBLEMATIKANYA.....................................................................................10
MEMBANGUN INDEPENDENSI DAN INTEGRITAS MAHKAMAH KONSTITUSI .....................................................................................................18
ANALISIS TENTANG UNSUR MELAWAN HUKUM (wederrechtelijkheid) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 003/PUU/2006........................25
1. Pendahuluan ...........................................................................................25
2. Melanggar prinsip Ultra Posita dan Ultra Petita ....................................25
PERTENTANGAN KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASKA AMANDEMEN ....................................................................................32
Pendahuluan ....................................................................................................32
Potensi Sengketa dan Akar Masalah...............................................................33
Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara serta Pihak Lainnya ............37
Kesimpulan .....................................................................................................38
3
MAHKAMAH KONSTITUSI
HARAPAN BARU, PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM?
Pendahuluan. Takala gagasan perlunya dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam struktur system
ketatanegaraan di Indonesia, ada cukup banyak kalangan yang mendukungnya. Tentu saja,
ada juga kalangan lain yang secara kritis mempersoalkannya. Ada 3 (tiga) isu yang yang
dikedepankan, yaitu : siapa yang akan menjadi Hakim Konstitusi dan bagaimana proses
rekruitmennya, apa cakupan kewenangannya serta bagaimana bisa menjamin agar MK
mampu menjalankan kewenangannya secara amanah dan konsisten sehingga bisa menjadi
elemen penting untuk merealisasikan perwujudan Negara Hukum yang Demokratis. Tulisan
ini akan mencoba memperlihatkan berbagai tantangan MK kedepan melalui sebagian kinerja
dan berbagai proses yang telah dilaluinya dalam kurun waktu satu-dua tahun ini.
Latarbelakang Pembentukan MK. Pembentukan MK dilatarbelakngi, tepatnya, diakselerasi oleh beberapa faktor. Berbagai
faktor itulah yang mempengaruhi diskursusu pembentukan MK. Bagian ini akan
memperlihatkan berbagai factor itu. Setidaknya ada dua aras yang harus dilihat sebagai faktor
penting yang mendorong diskurusus dan pembentukan MK di Indonesia. Pada tingkat
Internasional, perkembangan politik di berbagai negara negara yang tengah mengalami
proses transisi politik pada periode 1990 an, sebut saja : Korea Selatan, Afrika Selatan dan
Cheko (Czech), telah mengakomodasi pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi di dalam
konstitusinya serta pada system kekuasaannya. Alasan utama dari berbagai negara itu
membentuk MK agar nilai-nilai dasar pada konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan
adanya mekanisme yang memungkin terjadinya kontrol pada kekuasaan agar tidak
mengingkari nilai dasar yang telah diatur di dalam konstitusi. Biasanya, berbagai negara itu
membuat kontrak sosial baru melalui proses amandemen konstitusi.
Pada aras nasional, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi dasar pembentukan MK,
yaitu : kesatu, ada lack of authority karena pada system hukum di Indonesia belum ada
mekanisme yang mengatur secara limitative soal hak uji materiil undang-undang terhadap
konstitusi. Karena itu berbagai UU yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa
dipersoalkan; kedua, ada fakta politik, terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga
4
Kepresidenan dan DPR. Di dalam era pemerintahan Gus Dur ada sengketa ketatanegaraan
mengenai pemberhentian dan pengangkatan Kapolri berdasarkan pasal 7 dari TAP MPR No.
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI/Polri, selain, soal pengangkatan Ketua MA yang
didasarkan atas pasal 8 ayat(3) UU No. 14 tahun 1985; ketiga, adanya pandangan bahwa
Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang
melekat pada dirinya sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal
ketatanegeraan lainnya di lyar Mahkamah Agung. Iniperlu dikemukakan karena di dalam
proses pembentukan MK ada gagagasn untuk menempatkan MK menjadi salah satu kamar
saja dari mahkamah Agung.
Dinamika Perkembangan Kelembagaan MK. MK telah hadir, kehadirannya membawa harapan baru, Apakah MK mampu menjawab
ekspetasi itu dan sejauhmana MK membangun lembaga dan kinerjanya untuk memenuhi
harapan itu. Bagian ini akan melihat sebagai kinerja yang telah dilakukan oleh MK.
Soal pertama yang dihadapi MK paska pembentukannya adalah membangun trust building
diantara para Hakim Konstitusi itu sendiri. Kalau MK gagal menangani masalah ini maka
sulit untuk mengharapkan peran dan hasil maksimal dari lembaga ini. Nampaknya, dari satu
sisi, secara relatif, MK telah mempu membangun trust building diantara para hakim
Konstitusi sehingga mereka nampak solid untuk memperlihatkan pada publik bahwa MK
adalah lembaga penting yang mempunyai peran dasar untuk mengatas berbagai masalah
hukum yang menyangkut nilai-nilai dasar di dalam konstitusi maupun problem
ketatanegaraan lainnya.
Beberapa indikasi bisa dikemukakan untuk sampai pada kesimpulan itu. Pada bagian yang
paling awal, MK secara cepat bisa mengatasi persoalan pemilihan pimpinan MK sendiri
secara cepat. Tentu saja, ada ketidakpuasan atas proses itu tetapi dampak dari soal itu bisa
segera diatasi dengan mendorong focus dan prioritas kegiatan pada penanganan berbagai
permohonan yang diajukan pada MK. Yang menarik, para Hakim Konstitusi, nampaknya
sepakat untuk segera bekerja secara maksimal memeriksa berbagai perkara yang telah
disampaikan oleh Mahkamah Agung dan menangani berbagai permohonan lainnya. Proses
trust building ini menjadi fundamen penting untuk mendorong maksmimalisasi kinerja MK.
5
Tantangan kedepan yang dhadapi MK di dalam konteks ini adalah, apakah para Hakim
Konstitusi di MK mampu mengelola trust building menghadapi kompleksitas permohonan
yang diajukan oleh berbagai interst termasuk di dalam kepentingan kekuasaan karena
sebagaian Hakim MK diusulkan oleh pemerintah dan berbagai faksi yang ada di parlemen.
Pada level berikutnya, pengembangan kapasitas kelembagaan menjadi isu utama yang
menjadi prioritas perhatian Hakim Konstitusi. Setidaknya ada 3 (tiga) isu pokok yang
ditangani MK dan sebagiannya telah diselesaiakannya, yaitu : pertama, secara sadar
Pimpinan MK mendorong perumusan visi, misi dan program prioritasnya untuk membangun
kapasitas kelembagaan MK. Disadari atau tidak, perumusan visi dan misi akan menjadi
pedoman pengembangan MK kedepan; kedua, para Hakim Konstitusi juga berusaha untuk
melengkapi prosedur hukum acara agar MK bisa efektif dan efisien di dalam menjalankan
berbagai kewenangan. Bisa dibayangkan, ditengah fasilitas kerja yang masih jauh dari
memadai MK juga berusaha melengkapi kebijakan “soft ware” nya berupa prosedur hukum
acara agar permohonan bisa segera diperiksa dengan tata cara yang jelas; ketiga, MK juga
segera melakukan proses rekruitimen. Yang menarik, MK melakukan rekruitmen pada
Asisten Hakim dan para staf lainnya. Belum jelas betul pola rekruitmennya karena, MK juga
harus menampung “limpahan” staf dari Departemen Kehakiman dan belum dirumuskannya
pola rekruitmen para asisten hakim.
Tantangan MK kedepan di dalam konteks pengembangan kaapasitas kelembaganagan adalah,
apakah MK mampu merumuskan berbagai kebijakannya sehingga bersandar pada sisten
meritokrasi, khususnya di dalam rekruitmen dan promosi serta mampu menerapkan prinsip
keterbukaan, akuntabilitas dengan melibatkan partisipasi publik di sebagian program-
programnya. Dengan demikian, tidak lagi terjadi “gonjang-ganjing” yang tak perlu berkaitan
dengan kesekertariatan karena adanya suatu kebijakan yang tidak jelas sehingga
menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan.
MK dan Kompleksitas Permohonan. Bagian yang paling menarik untuk melihat dinamika perkembangan MK dapat dilihat dari
proses dan putusan permohonan yang dilakukan oleh MK. Pada titik ini kita akan dapat
dilihat sejauhmana proses persidangan bisa secara konsisten menerapkan prinsip cepat,
sederhana dan murah serta meletakan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
6
Secara umum, ada cukup banyak permohonan yang cukup menarik sehingga bisa mengisi
kekosongan hukum atau membangun “intellectual exercising” di bidang konstitusi. Selain itu,
ada ruang dimana, siapapun yang merasa hak-hak konstitusionalitasnya dirugikan bisa
menggunakan MK untuk mempersoalkan dan mengujinya.. Lihat saja, permohonan yang
berkaitan denagn : hak pilih orang yang distigmatisasi PKI, persoalan otonomi Papua,
masalah pemberlakuan surut UU Anti Teroris, problem sengketa hasil pemilu dan alain
sebaginya. Belum lagi persoalan yang berkaitan dengan masalah politik ekonomi karena
adanya peraturan perundangan yang secara substantif dianggap bertentangan dengan nilai-
nilai yang dianut oleh konstitusi, seperti ; UU kelistrikan, UU Sumber Daya Air, UU BUMN
dan lainnya.
Di dalam proses ini ada 3 (tiga) isu utama yang menarik untuk dikaji, yaitu : kesatu, MK
telah membuat suatu putusan yang secara sadar “melawan” ketentuan yang mengatur
kewenangannya sendiri seperti yang dikemukakan secara limitative di dalam UU Mahkamah
Konstitusi.Pasal 50 juncto pasal pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan “undang-undang yang bisa diuji adalah
undang-undang setelah perubahan UUD Negera RI tahun 1945”. Alasan hukumnya cukup
jelas, selain UU Mahkamah Konstitusi itu memperluas kewenangan yang sudah diatur secara
limitative di dalam konstitusi juga diakuinya penggunaan prinsip retroactive. Kendati belum
lagi terjadi kesefahaman dan memang tidak perlu karena adanya dissenting opinion dari
putusan ini oleh sebagian hakim Konstitusi tapi inilah terobosan hukum untuk mencari jalan
keluar dari jebakan fotmalistik hukum dan cara berpikir linier;
kedua, pada seluruh proses persidangan, MK tidak hanya mencatat proses itu dengan tulisn
tangan dan rekaman pembicaraan tapi MK juga merekam dengan menggunakan audio visual.
Proses ini memungkinkan Hakim Konstitusi untuk mendengar kembali segenap proses
persidangan melalui trnaskrip rekaman, rekaman recorder maupu melihatnya melalui rekama
audio sehingga kecil sekali kemungkinan “manipulasi” proses. Pendeknya, para Hakim
Konstitusi mempunyai instrumen yang memandai untuk mereview seluruh proses
persidangan sebelum merumuskan pertimbangan hukum dan membuat putusan. Yang
menjadi soal, apakah prilaku dan kultur untuk mengkaji semua proses dan membaca seluruh
bukti-bukti telah menjadi dasar bertindak sebagian besar hakim, apalagi ditengah tekanan
jumlah permohonan yang terus kian meningkat.
7
Ada indikasi, tidak semua bukti dan keterangan saksi di dalam proses persidangan dikaji
secara sistematis dan komprehensif serta segenap perdebatan hukum yang tercatat di dalam
minderheidsnota dijadikan pertimbangan sehingga pertinmbangan hukum suatu permohonan
memuat dan mengkaji problematic secara utuh, sistematis dan mendalam.
Bila dilihat beberapa Putusan MK, seperti misalnya Di dalam Putusan perkara No. 018/PUU-
I/2003 mengenai UU No. 45 Tahun 1999 yang bertentangan dengan pasal 18 B Konstitusi
dibandingkan dengan Putusan yang berkaitan dengan penolakan Perpu Anti Teroris ada
beberapa hal yang menarik untuk dilihat. Pada kasus yang pertama, pertimbangan hukumnya
tidak seelaboratif dan sedalam kasus yang kedua. Pada kasus pertama, dari 140 halaman
putusan hanya 7 (tujuh) halaman saja isi dari pertimbangan hukum.
Di dalam kasus pertama, Putusan menyatakan bahwa UU No. 45 tahun 1999 dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi dan sejak diucapkannya putusan ini undang-undang itu tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, De facto, UU No. 45 tahun 1999 baru berlaku efektif
sejak adanya Inpres No. 1 Tahun 2003 padahal UU Otonomi Khusus Papua sudah efektif
berlaku pada 11 November 2001 melalui UU No. 21 tahun 2001. Fakta juga menunjukan, ada
usaha-usaha politik dari kekuasaan masa lalu untuk terus mendesakan aktifitas politiknya
kendati sudah ada UU Baru yang juga disetujuii dan disahkannya. Putusan yang
menjustifikasi tetap diakuinya provinsi Irian Jaya Barat tengah memperlihatnya adanya
pengakuan MK atas praktek politik kekuasaan yang dilakukan melalui Inpres No. 1 Tahun
2003 yang justru bertentangan secara nyata-nyata bertentangan dengan UU Otsus.
Ada dua isu pokok yang hendak diketengahkan di dalam proses ini, yaitu : putusan tidak
mempertimbangkan secara seksama bukti-buti dan keterangan saksi yang diperiksan di muka
persidangan serta segala catatan pembuatan UU Otsus dan perubahan pasal 18B konstitusi
serta putusan dikuatirkan beroreintasi pada perspektif dan orientasi politis ketimbang berpikir
dengan menggunakan logika hukum. Bila dibandingkan dengan Putusan soal Penerapan UU
terorisme justru sebaliknya, perundangan itu dinyatakan bertentangan karena digunakan
secara retroactive. Bandingkan juga putusan ini dengan butir pertama diatas maka akan
terlihat orientasi yang belum utuh mengenai penerapan hukum retroactive.
8
Uraian di atas akan menjadi tantangan yang menarik bagi para Hakim Konstitusi karena akan
menghadapi kompleksitas permohonan yang kian rumit sehingga diperlukan independensi
dan obyektifitas di dalam membuat suatu pertimbangan hukum dan putusan agar mereka
mampu keluar dari jebakan interestnya sendiri sekecil apapun itu. Lebih dari itu, Mahkamah
Konstitusi dituntut untuk membuat putusan yang jauh melebihi kepentingan dan kebutuhan
zamannya sehingga kelak terbukti secara nyata, putuisan MK adalah solusi bukan justru
membuat problem hukum baru.
Ketiga, proses di MK harus diapresiasi karena bukan hanya keseluruhan proses nya
terdokumentasi dengan baik tetapi juga salinan putusan bisa didapatkan dengan segera paska
persidangan dan putusan itu sudah bersifat final tidak lagi hanya tertulis tangan seperti yang
sering kita lihat di dalam putusan persidangan di seluruh jajaran pengadilan di bawah
Mahkamah Agung. Dokumentasi yang baik itu tidak hanya akan berguna bagi MK tetapi juga
bagi dunia pendidikan dan praktisi hukum yang akan melihat perdebatan dan pertimbangan
hukum yang diputuskan oleh MK sehingga akan menambah kualitas pengetahuan dari
seleuuruh pihak yang punya perhatian pada perkembangan Mahkamah Konstitusi. Yang
masih perlu diperdebatkan lagi, apakah perlu MK membuat press conference paska putusan
sidang karena hal itu bisa mempengaruhi pihak MK untuk mengomentari putusannya sendiri,
Kendati, proses itu juga bisa dianggap penting, jika hanya sekedar menjelaskan secara umum
isi putusan.
Penutup.
Akhirnya, MK proviciat, langkah awal untu membangun MK yang kredibel dan kapabel telah
diletakkan. Ada sejumlah tantangan yang tengah menghadang, tetapi justru disitulah terletak
“lahan” untuk menunjukan integritas, kompetensi dan eksiistensi. Saya percaya dan yakin,
kecerdasan spiritualitas dan emosional para Hakim MK beserta jajarannya jauh melebihi
kemampuan intelekstualitasnya sehingga MK bisa benar-benar menjadi lembaga penting
untuk membangun Indonesia menjadi Negara Hukum yang Demokratis.
9
MAHKAMAH KONSTITUSI
STRATEGISITAS DAN PROBLEMATIKANYA
Belakangan ini, ada berbagai dinamika yang menarik untuk diamati. Sebut saja soal yang
berkaitan dengan penentuan Wakil Ketua MA, pelaksanaan ketentuan darurat di Aceh yang
punya indikasi melanggar spiritualitas perlindungan hak asasi seperti diamanatkan di dalam
konstitusi dan potensi pembubaran parpol karena melanggar ketentuan UU parpol dan UU
Pemilu.
Di dalam penentuan Wakil Ketua MA, ada “pertarungan” antara Ketua MA dengan sebagian
anggota DPR yang mempersoalkan mekanisme pemilihan Wakil Ketua MA. Di satu sisi
Ketua MA mengisyaratkan untuk menggunakan ketenuan di dalam konsitusi yang
memberikan kewenangan kepada Hakim Agung MA untuk memilih sendiri Ketua dan Wakil
Ketuanya. Di sisi lainnya, DPR masih bersikeras agar MA menggunakan ketentuan di dalam
UU No. 14 tahun 1985, dimana DPR masih punya kewenangan untuk menentukan Wakil
Ketua MA. Perselisihan antar kedua lembaga negara ini dapat terus berlangsung tanpa
kesudahan.
Begitupun dengan kebijakan politik pemberlakukan darurat militer di Aceh. Fakta
menunjukan, indikasi pelanggaran hak asasi tengah terjadi karena pelaksanaan terhadap hak-
hak yang dikualifikasi sebagai non derogable rights diingkari. Lebih dari itu, kebijakan
politik darurat militer di Aceh itu diambil tanpa menggunakan rujukan amanat konstitusi
yang berkaitan dengan perlindungan terhadap nilai-nilai hak asasi. Kebijakan politik itu juga
tidak menggunakan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pertahanan Negara No. 3 Tahun 2002 di
dalam “dasar mengingatnya”.
10
Kedua soal di atas tentu perlu ditangani. Kini, sistem kekuasaan kehakiman pada struktur
ketatanegaraan Indonesia menyebutkan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung … dan sebuah Mahkamah Konstitusi” sesuai pasal 24 ayat [2] UUD 45.
Di dalam konteks itu, beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah “memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD dan
menguji UU terhadap UUD” [lihat pasal 24 C ayat {1} UUD].
Karena itu, lembaga yang punya kewenangan untuk menangani perselisihan antar lembaga
negara serta pelanggaran terhadap nilai dan prinsip dasar yang tersebut di dalam konstitusi
seperti terurai di dalam masalah diatas adalah Mahkamah Konstitusi [MK]. Kehadiran
lembaga MK tidak hanya penting secara faktual karena adanya berbagai kasus seperti telah
dikemukakan di atas. Ada cukup banyak soal yang juga potensial menimbulkan masalah yang
memerlukan kehadiran MK.
Berbagai potensi masalah di atas mengisyaratkan bahwa MK harus diletakkan sebagai salah
satu instrumen penting di dalam system kekuasaan untuk mendorong bekerjanya saling
kontrol dan saling imbang diantara lembaga negara. Di dalam konteks situasi transisi seperti
yang kini tengah berlangsung di Indonesia, posisi MK menjadi kian strategis.
Karena itu, fakta pentingnya MK untuk segera dihadirkan telah disebutkan secara tegas di
dalam Pasal III, Aturan Peralihan pada Amandemen UUD yang mengamanatkan bahwa
“Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003…”.
Amanat itu mengisyaratkan, DPR hanya punya waktu satu tahun sejak pasal peralihan itu
disetujui oleh MPR; dan kini, DPR hanya mempunyai waktu satu setengah bulan saja untuk
menyelesaikan perundangan itu. Kalau amanat itu tidak dilakukan secara konsisten, maka
DPR bersama Pemerintah kembali memperlihatkan tradisi yang tidak baik karena secara
sadar melakukan pelanggaran konstitusi.
Berkenaan dengan lambatnya respon DPR dan pemerintah untuk membuat legislasi berupa
UU MK maupun proses pelembagaan MK, kini muncul 3 [tiga] opsi untuk melaksanakan
mandat pasal peralihan pembentukan MK. Opsi pertama, DPR dan Pemerintah bekerja secara
spartan untuk menghasilkan UUMK dan sekaligus melakukan proses rekruitmen sehingga
kebijakan dan hakim MK dapat dihasilkan sebelum tengat 17 Agustus tahun 2003. Opsi
kedua, sidang tahunan mendatang pada bulan Agustus 2003, dilakukan Sidang Istimewa yang
khusus melakukan revisi atas pasal III peralihan UUD dengan memberikan waktu yang lebih
panjang pada DPR dan Pemerintah untuk membuat dan mengesahkan UU MK, Sedangkan
opsi ketiga, pasal 3 peralihan itu diberikan interpertasi bahwa selama MK belum terbentuk
maka tugas-tugas MK akan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
11
Pilihan pada opsi pertama dapat menciptakan masalah, UU MK yang dibuat dengan tergesa-
gesa akan memunculkan problem baru. Namun, hal ini bisa diatasi dengan memberikan
prioritas perhatian pada beberapa isu penting di dalam MK. Hal lainnya bisa dibuat kemudian
melalui suatu revisi atas UU MK itu sendiri. Asumsinya, pembuat legislasi tetap
memprioritaskan UU MK sebagai salah satu perundangan penting yang perlu disempurnakan.
Sedangkan pilihan pada opsi kedua akan memberi ruang pada parlemen dan pemerintahan
untuk membuat UU MK secara lebih baik, tetapi amandemen konstitusi yang di dasarkan atas
kelalaian parlemen dan pemerintah menjalankan mandat konstitusi bukan merupakan
konvensi yang baik. Kendati disisi lainnya, fakta juga menunjukan ada cukup banyak soal di
dalam hasil perubahan konstitusi, sehingga perubahan pada pasal peralihan akan membuka
ruang untuk melakukan perubahan pada bagian lain konstitusi.
Begitupun dengan opsi ketiga, membuat interpretasi atas rumusan pasal yang sudah jelas dan
tegas justru akan memperlihatkan tindakan sewenang-wenang. Karena di dalam pasal itu
telah secara jelas menyatakan, pembentukan MK selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus
2003 dan sebelum MK terbentuk MA yang akan mengambilalih tugas-tugas dari MK.
Lepas dari pilihan opsi dan mampu-tidaknya Pemerintah-DPR menyelesaikan perumusan
UUMK, MK punya posisi yang sangat strategis di dalam system kekuasaan di Indonesia
pasca amandemen, karena kini kekuasaan kehakiman berpucuk pada dua cabang, yaitu
sebagai constitutional review dan ordinary court.
12
Bifurkasi system kekuasaan itu harus dielaborasi dan dibuat dengan sangat hati-hati dan
seksama. Bila tidak, rivalitas diantara kedua cabang pada system kekuasaan kehakiman akan
terjadi. Ajukan saja suatu contoh problematik, siapakah yang mempunyai kewenangan untuk
menguji peraturan perundangan dibawah UU yang bertentangan nilai dan prinsip yang
tersebut di dalam konstitusi, MA ataukah MK?. Hal ini potensial terjadi di dalam penentuan
kebijakan darurat militer di Aceh, karena kebijakan di Aceh diberi “baju hukum” Kepres; dan
bilamana Kepres itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, apakah proses judicial reviewnya
harus diajukan kepada MA ataukan MK.
Begitupun dengan kejelasan positioning MK, di dalam konteks sistem dan struktur kekuasaan
yang saling imbang dan kontrol dengan lembaga negara lainnya di dalam politik kekuasaan
juga menjadi penting. Contoh yang telah dikemukakan di atas yang berkaitan dengan
“perseteruan” antara MA dengan DPR di dalam menentukan Wakil Ketua MA bisa menjadi
salah satu hal yang menarik. Di masa mendatang, problematik yang akan hadir bisa lebih
rumit dan kompleks lagi. Begitupun dengan kasus “Sukhoi Gate”, bila tidak dikelola dengan
baik bisa berujung pada “pertarungan” antara eksekutif dengan legislatif yang berujung pada
proses impeachment.
Jika di elaborasi lebih mendalam lagi, dimasa mendatang, diduga, perselisihan antara
lembaga negara akan terjadi dengan sangat dinamis, apalagi bila presiden bukan dari partai
mayoritas yang berkuasa di parlemen; atau ada pengelompokan kekuatan politik yang
menyebabkan konfigurasi kekuasaan di parlemen berbeda dengan basis kekuasaan yang
dimiliki presiden. Bisa juga terjadi, lembaga negara lainnya, seperti : BPK bersifat sangat
kritis pada pemerintah dan “bersekutu” dengan DPR mempersoalkan kebijakan penggunaan
keuangan dari eksekutif yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pendeknya, potensi
perselisihan antar lembaga negara menjadi sesuatu yang tak terelakan.
Bisa juga terjadi, akan banyak kasus judicial review yang diajukan karena ada berbagai
kebijakan perundangan yang dibuat oleh DPR yang potensial memperluas kewenangan dari
negara dan mengeliminasi hak-hak masyarakat yang telah dijamin di dalam konstitusi. Bukan
tidak mungkin, judicial review itu diajukan juga oleh faksi atau fraksi di dalam DPR kendati
mereka telah kalah di dalam “pertarungan politik” di parlemen dan mereka mengasumsikan
perundangan itu bertentangan dengan spiritualitas yang terkandung di dalam konstitusi.
Pendeknya, hak menguji UU dihadapan konstitusi menjadi salah satu hal yang potensial akan
terjadi dan intensitasnya bisa kian meningkat di masa mendatang.
13
Selain hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan MK, rekruitmen menjadi salah isu penting
di dalam mewujudkan lembaga MK. Sebaik apapun suatu kebijakan dibuat, tetapi bila proses
rekruitmen tidak dilakukan dengan baik, maka sedari awal lembaga itu dapat dipersepsi
publik secara salah. Karena itu masalah rekruitmen menjadi “rawan”. Sebagai contoh,
misalnya saja, siapakah yang akan melakukan proses rekruitmen hakim konstitusi yang kelak
diajukan oleh tiga lembaga negera sekaligus, yaitu : DPR, Presiden dan MA.
Di dalam proses ini harus diatur secara komprehensif, kriteria dan mekanisme rekruitmen,
apakah proses rekruitmen itu dibuat tersendiri atau bersama-sama antar lembaga negara
tersebut?.
Posisi strategis MK itulah yang menyebabkan MK menjadi rawan untuk di intervensi oleh
berbagai kepentingan politik. Asumsinya sangat sederhana, misalnya saja, siapapun yang
berkuasa sebagai presiden dan wakil presiden di negeri ini, dia memerlukan jaminan bahwa
kekuasaannya tidak rentan untuk di impeach. Dengan begitu, sang presiden harus bisa
memastikan dan memberikan jaminan bahwa kandidat hakim konsitusi akan “berpihak” pada
kepentingannya, bila kelak DPR bermaksud melakukan impeachment berkaitan dengan
dugaan tindak pidana yang dilakukan presiden.
Hal serupa juga bisa terjadi pada lembaga parlemen dan MA. Lembaga parlemen punya
kepentingan agar berbagai produk legislasinya tidak mudah untuk dibatalkan di dalam proses
pengujian di MK karena dinilai bertentangan dengan UUD. Karena itu mereka juga harus
dapat “memastikan” bahwa anggota MK yang dipilihnya memahami betul dinamika proses
politik di DPR. Demikianpun dengan MA, lembaga ini pasti mempunyai keinginan agar
kerjasama diantara dua lembaga yang berada di pucuk kekuasaan kehakiman bisa dilakukan
secara harmonis dan kandidat yang dipilih MA bukan berasal dari mazhab hukum yang
secara diametral bertentangan dengan sebagian besar hakim MA.
Hal penting lain yang perlu dikemukakan, MK di dalam proses transisi politik di Indonesia
juga perlu segera dihadirkan dengan tiga alasan pokok lainnya, yaitu: pertama, hingga kini,
kondisi sosial politik di Indonesia masih rentan terhadap sengketa kewenangan antar lembaga
negara. Political tension yang kian meningkat seiring proses tahapan pemilu memunculkan
banyak kemungkinan. Faksionalisasi dan dinamika di dalam struktur kekuasaan bisa dengan
cepat berubah dan menguat sehingga berbagai kemungkinan itu potensial memicu sengketa
antar lembaga negara. Berbagai contoh di awal tulisan ini memperlihatkan dengan jelas
masalah ini;
14
kedua, bila saja di dalam verifikasi partai yang kini tengah dilakukan Menteri Kehakiman dan
kelak dilakukan oleh KPU, bisa saja terjadi suatu partai tertentu tidak hanya tidak dilegalisasi
keabsahannya sebagai badan hukum atau tidak diperbolehkan untuk ikut pemilu, tetapi juga
terancam dibubarkan karena melanggar ketentuan UU Parpol dan UU Pemilu;
ketiga, pemilu yang kelak akan dilakukan juga rentan terhadap perselisihan hasil pemilu.
Indikasi ini diletakan dengan asumsi, banyak partai yang kecewa terhadap proses
penyelenggaraan pemilu, karena pemilu sarat dengan isu politik uang yang dilakukan oleh
sebagian besar partai besar. Selain itu, mekansime pengawasan dan penegakan hukum tidak
sepenuhnya berjalan efekktif;
Berbagai uraian di atas menegaskan posisi politik MK dan pentingnya MK untuk segera
dihadirkan, karena posisinya begitu signifikan di dalam system dan struktur kekuasaan pasca
amandemen konstitusi. Apalagi di dalam suatu situasi social politik yang masih cukup rentan.
Hal yang juga penting untuk dikemukakan bahwa membangun eksistensi MK bermartabat
dan punya kehormatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan disahkannya UUMK dan untuk
itu diperlukan waktu. Proses rekruitmen dan pembangunan kapasitas kelembagaan MK juga
menjadi hal sangat strategis untuk diperhatikan. Karena itu, pengundangan UUMK akan
menjadi langkah awal untuk dapat melakukan proses rekruitmen dan membangun kapasitas
kelembagan menuju pada MK yang mempunyai citra dan kewibawaan guna menjalankan
fungsi check and balances di dalam system dan struktur kekuasaan di Indonesia.
Setidaknya ada dua isu utama yang menarik untuk diajukan, bila melihat sikap sebagian
anggota dewan dan begitu mepetnya waktu untuk membahas, mengkaji dan membuat
UUMK, yaitu : pertama, ada kesan kuat UUMK “sengaja diabaikan” untuk diprioritaskan
pembahasannya, kendati pembuatan MK merupakan mandat yang secara tegas disebut di
dalam konstitusi. DPR dan Pemerintah, nampaknya, lebih memberikan perhatian pada UU
Politik lainnya, karena itu mereka telah membuat UU Partai Politik dan Pemilu dan tengah
membahas RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan RUU DPR, DPD dan DPRD.
Bahkan, ketika diingatkan untuk segera membahas UUMK, dua orang wakil dari dua partai
terbesar menyatakan di dalam bulan Agustus 2002 “…hampir tidak ada persoalan dengan
pembentukan Mahkamah Konstitusi” dan “…yakin sebelum Agustus 2003 RUU itu selesai
dibahas” serta “selesai dibicarakan sebelum Agustus 2003…lembaga itu bisa lekas didirikan”
[lihat Kompas 21 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi Terbentuk sebelum Agustus 2003].
Pendeknya, pengabaian ini nampaknya berkaitan dengan suatu perspesi bahwa MK bukanlah
prioritas dan menjadi kepentingan langsung dari partai politik pada saat ini.
15
Kedua, para anggota dewan dan pemerintah merasa yakin tidak akan banyak soal di dalam
melakukan pembahasan UUMK, sehingga tidak merasa perlu untuk membuat draf dan
membahas RUUMK sesegera mungkin. Perasaan ini, bisa jadi, karena mereka berasumsi
Amandemen Konstitusi tidak banyak problematiknya dan telah jelas mengatur berbagai
kewenangan MK. Asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena konsitusi masih punya banyak
masalah dan sebagiannya cukup krusial. Misalnya saja, di dalam proses impeachement, sesuai
pasal 7 B ayat [1] UUD disebutkan beberapa jenis pelanggaran yang menjadi dasar DPR
untuk meminta MK memeriksa pelanggaran yang diduga dilakukan Presiden/Wakil Presiden,
yaitu : “pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan
perbuatan tercela”.
Ketentuan di dalam konstitusi itu, ternyata, secara hukum masih belum jelas, khususnya,
maksud dari pelanggaran hukum berupa “tindakan pidana berat lainnya” dan juga “perbuatan
tercela”. Apakah pelanggaran lalu lintas yang menyebakan beberapa orang meninggal karena
ditabrak oleh kendaraan yang disupiri sendiri Presiden, termasuk di dalam kualifikasi
tindakan berat lainnya?. Apakah tindakan mantan Presiden AS, Kennedy, misalnya, suka
gonta-ganti pacar, sering menyelinap pada malam hari untuk “menikmati” kehidupan malam
dan mungkin alcoholic, bisa disebut sebagai perbuatan tercela sesuai amandemen konstitusi?.
Fakta ini menunjukan, konstitusi masih mengandung cacad yuridis yang cukup mendasar. Di
dalam konteks pasal 7 B ayat [1] UUD, ada berbagai alasan yang menjadi dasar bagi MK
untuk melakukan salah satu kewenangannya [impeachment] mengatur hal yang tidak cukup
jelas, sehingga harus dielaborasi lagi.
Selain problematik yang bersumber dari konstitusi, ketentuan yang mengatur hukum acara
juga banyak yang mesti dirumuskan. Untuk sekedar menghadirkan problematic itu bisa
diajukan beberapa contoh misalnya : pertama, pihak yang bisa menjadi subyek hukum di
dalam mengajukan gugatan. Di dalam kewenangan yang berkaitan dengan pengujian UU
terhadap UUD , siapakah yang disebut sebagai pihak yang dapat mengajukan pengujian?.
Apakah ada pembatasan tertentu atau siapapun bisa mempersoalkannya?. Lalu, siapakah yang
mesti menjadi pihak untuk membela kepentingan dari UU yang tengah diuji dan dipersoalkan
itu?. Apakah DPR dan Presiden;
16
Kedua, limit waktu seluruh proses pengujian. Limit waktu ini harus dibedakan menjadi 3
[tiga] tahapan, yaitu : tahap pengajuan, pemeriksaan dan pelaksanaan putusan. Apakah limit
waktu pemeriksaan ini harus disesuaikan dengan asas pemeriksaan seperti tersebut did aalm
KUHAP yang menyatakabn : sederhana, murah dan cepat. Limit waktu ini kelak akan
menjadi salah satu indicator yang bisa menunjukan kinerja dari lembaga MK;
Ketiga, akibat hukum dari keputusan MK. Pembatalan suatu UU mempunyai berbagai variasi
selain mempunyai dampak hukum. Apakah UU itu batal seluruhnya atau sebagiannya saja?.,
apakah dinyatakan batal demi hukum [null and void] atau dapat dibatalkan [voidable]?.
Apakah keputusan ini hanya mengikat para pihak saja semua pihak [interpartes atau erga
omnes]?. Apakah keputusan itu dapat berlaku surut atau non-retroaktive?. Lalu, bagaiamana
dengan kekosongan hukum yang timbul dari keputusan itu. Apakah MK diharuskan
mengajukan pertimbangan hukum yang bisa mengatasi kevakuman hukum yang muncul dari
keputusannya.
Berkenaan dengan berbagai alasan yang diajukan diatas, terlihat jelas strategisitas posisi
politik MK. Karena itu tidak ada alasan lain untuk menunda terus pembahasan MK. Bahkan,
DPR dan pemerintah harus secara spartan dan maraton menyelesaikan pembahasan RUU MK
ini. Bila tidak, merekalah yang kelak harus bertanggungjawab karena telah melanggar
amandemen konstitusi yang dibuat sendiri oleh DPR yang juga merupakan anggota MPR.
Lebih jauh dari itu, parlemen dan pemerintah bisa dituduh, sedari awal dan secara sadar
hendak “mengingkari” keberadaan MK di dalam sistem politik nasional.
17
Selain soal diatas, ada berbagai soal penting yang harus dirumuskan secara baik di dalam UU
MK. Perumusan yang tidak komprehensif akan membuat problematik baru di dalam
memfungsikan lembaga MK, Dikuatirkan, MK justru bisa menjadi masalah baru di dalam
system kekuasaan yang memerlukan kehadirannya. Kebijakan yang sistematis dan
komprehensif itu juga harus ditopang oleh proses rekruitmen dan pelembagaan yang baik dari
MK. Rekruitmen yang tidak menghasilkan hakim konstitusi yang punya integritas dan
kapasitas yang baik akan merusak persepsi publik atas lembaga ini.
Semoga saja, di dalam pembahasan MK, ada berbagai kontribusi signifikan dari banyak
kalangan non-parlemen. Kontribusi itu tidak hanya akan memperkaya materi pembahasan
tetapi juga untuk bisa memastikan bahwa tidak terjadi proses politisasi yang punya potensi
“menghancurkan” MK sedari awal lembaga ini dipersiapkan.
MEMBANGUN INDEPENDENSI DAN INTEGRITAS
MAHKAMAH KONSTITUSI1
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang hadir di dalam
proses transisi politik yang dimulai pada tahun 1999. Ada cukup banyak harapan diletakan
pada lembaga ini untuk tidak hanya mampu mengawal konstitusi tetapi bisa menginterpretasi
konstitusi sesuai dengan konteks kebutuhan zaman, tidak hanya sebagai the guardian of
constitution tetapi juga the interpreter of constitution. Lebih jauh dari itu, Mahkamah
Konstitusi diharapkan mampu menjadi salah lembaga penting yang mampu memperlihatkan
bahwa mewujudkan Negara Hukum bukanlah sesuatu yang tidak dapat dicapai. Untuk sampai
pada kehendak itu, Mahkamah Konstitusi harus dijaga dan dibangun independensi dan
integritasnya.
Di dalam penjelasan Pasal 24 naskah Konstitusi 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa
“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka”. Di dalam pejelasan itu juga
dikemukakan, kekuasaan yang merdeka diartikan “terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah” dan untuk itu “harus ada jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para
hakim”.
18
Bila naskah di atas itu dibandingkan dengan konstitusi 1945 paska amandemen disebutkan di
dalam konstitusi “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka…”. Ini artiya, teks
di dalam pasal konstitusi tidak ada yang berbeda dengan pasal konsitusi sebelum
1 Makalah pada program Pascasarjana pada Universitas Padjadjaran. Makalah sudah pernah dipresentasikan dalam suatu diskusi yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi.
amandemen. Hanya saja, di dalam naskah sebelum amandemen ada penjelasan yang
memaknai maksud dari kekuasaan yang merdeka.
Kekuasaan kehakiman di dalam konstitusi paska amandemen harus dimaknai bukan hanya
meliputi lembaga Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya tetapi juga
termasuk Mahkamah Konstitusi.
Di dalam konsitusi paska amandemen ada kalimat lain yang menjelaskan kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu dengan menyatakan “…kekuasaan yang merdeka…” itu
ditujukan untuk “…menegakkan hukum dan keadilan…”. Bila dilakukan penafsiran bebas
maka keseluruhan kalimat konstitusi yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka haruslah ditujukan untuk menjamin dan memastikan agar digunakan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal inilah yang membedakan pasal konstitusi sesudah
amandemen dengan yang sebelumnya.
Jaminan agar kekuasaan kehakiman itu mereka atau mempunyai independensi merupakan
suatu prasyarat yang tidak bisa ditawar lagi. Berbagai instrumen hukum internasional juga
menyebutkan secara tegas pentingnya suatu independensi peradilan.
Lihat saja beberapa dokumen yang dikemukakan di dalam Universal Declaration on the
independence of justice, Monteral 1983. Di dalam salah satu alenia pada preambul
declaration itu dikemukakan “…independence must be quaranteed to internastional judges,
national judges…”. Begitupun di dalam Beijing Statement of Principle of the Independence
of the judiciary in the Law Asia Region yang mengemukakan di dalam point 2 “…An
independent judiciary is indispensable to the implementation of this rights”2.
19
Di dalam dokumen internasional lainnya independensi juga dikemukakan secara limitatif
seperti juga tersebut di dalam International Bar Association Code of Minimum Standards of
Judicial Independence, New Delhi 1982; Viena Declaration and Programme for Action 1993,
Declaration of Human Rights aticle 10); dan International Convenant on Civil and Political
Rights (article 14).
2 Lebih jauh lihat Beijing Statement of Principle of the Independence of the judiciary in the Law Asia Region di telah diamandemen di Manila pada tanggal 28 Agustus 1997
Di dalam konstitusi Indonesia paska amandemen digunakan kata “…kekuasaan kehakiman
yang merdeka …” untuk menggunakan dan menunjuk makna independensi. Independensi
dimaksudkan sebagai bebas dan lepas dari campur tangan, tekanan atau paksaan dari
kekuasaan lembaga lain. Di dalam konstitusi sebelum amandemen kekuasaan kehakiman
yang merdeka adalah kekuasaan yang lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Di dalam
perkembangnnya, pemerintah tidak disebutkan sebagai satu-satunya lembaga yang
mempunyai potensi melakukan intervensi pada kekuasaan kehakiman tetapi juga kekuasaan
lembaga lainnya. Bahkan, kemudian, independensi juga dimaknai sebagai bebas atau lepas
dari campur tangan atau intervensi kolega dan/ atau atasan atau pihak-pihak lainnya.
Di dalam konteks Indonesia, diskursus yang berkembang, kekuasaan kehakiman yang
independen masihlah kurang. Independensi harus dipadankan dengan dengan kata
akuntabilitas. Di dalam berbagai kasus ada sejunmlah fakta yang sulit diingkari, jaminan
independensi tidak serta merta menghasilkan sebuah putusan yang secara konsisten
memperlihatkan kehendak kuat untuk menegakkan hukum sehingga juga menghasilkan
keadilan. Pada titik itu ada isu akuntabilitas. Pendeknya, independensi itu penting tapi tidak
cukup, kekuasaan kehakiman juga harus mampu menunjukan akuntabilitasnya.
Independensi juga dimaknai bukan sesuatu hak begitu eksklusif sehingga tidak ada pihak lain
yang boleh turut serta mencampuri segala hal yang berkaitan dengan hakim dan pengadilan.
Hakim dan pengadilan untuk hal-hal tertentu juiga harus terikat atau berkoordinasi dengan
pihak lainnya untuk menjalankan otoritas yang melekat pada dirinya, seperti : proses
rekruitmen para hakim, sistem penggajian, prosedur pembuatan putusan dan beracara dan
lainnya.
20
Ada 3 (tiga) isu lain yang berkaitan erat dengan makna independensi, yaitu : kesatu,
kualifikasi obyektif soal indpendensi, maksudnya, independensi tidak hanya diletakan pada
kebebasan di dalam memutus suatu perkara yang diperiksanya; tetapi juga independensi
berkaitan pada syarat-syarat dasar yang bisa menjamin kekuasaan kehakiman secara
langsung-tidak langsung dipengaruhi kebebasannya, misalnya, tiadanya jaminan masa kerja
dan jabatan, pola hubungan kerja dengan atasan3;
kedua, independensi bukanlah persoalan dari hakim semata tetapi juga menjadi persoalan
yang tak terpisahkan dari aparat penegak hukum lainnya serta para pencari keadilan.
Maksudnya, mereka juga harus menjaga dan membangun situasi yang kondusif untuk
memastikan independensi bisa dilakukan secara konsisten oleh para hakim; ketiga,
independensi secara tidak langsung juga berkaitan dengan proses rekruitmen. Pola seleksi
yang tidak menjamin adanya fairness akan potensial mempengaruhi sikap dan prilaku hakim
di dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya, bila menyangkut kepentingan “lord” yang
pernah memberikan konsesi hakim tertentu itu di dalam proses rekruitmen.
Yang juga patut mendapatkan perhatian, independensi biasanya hanya diarahkan pada
sikap, perilaku dan kinerja para hakim saja. Padahal, independensi juga harus diarahkan pada
lembaga peradilannya. Itu artinya, elemen atau unsur-unsur lainnya di dalam lembaga
peradilan selain para hakim juga harus menjadi bagian penting yang perlu diperhatikan,
karena mereka baik langsung dan tidak langsung juga bisa mempengaruhi pelaksanaan
independensi.
Di dalam konteks independensi Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Khususnya pada soal
rekruitmen perlu dicermati secara baik. Di dalam konstitusi dikemukakan bahwa “Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden yang diajukan oleh masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan rakyat dan tiga orang lainnya diusulkan oleh Presiden”.
21
Ada dua hal penting yang perlu mendapatkan perhatian di dalam konteks di atas, yaitu:
kesatu, proses rekruitmen para hakim konstitusi dari masing-masing lembaga yang
berkompeten (DPR, Mahkamah Agung dan Presiden) belum sepenuhnya dilakukan secara
terbuka dengan kriteria yang tegas dan jelas. Proses yang masih berbau “favoritism” di dalam
menyeleksi para hakim konstitusi potensial mempengaruhi independensi para hakim terlebih
di dalam kasus yang melibatkan kepentingan para pihak yang kewenangan menyeleksi hakim
konstitusi itu;
3 Lihat Shimon Shetreet di dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and Contemprary Challenges di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, 2003.
kedua, ada isu kultur dan mind set di sebagian masyarakat kita. Akibat proses yang tidak
sepenuhnya transparan dengan kriteria yang jelas pada proses rekruitmen para hakim
konstitusi dapat potensial mengakibatkan komitmen untuk menegakkan hukum dan keadilan
memperoleh masalah. Pertanyaan dasar yang ingin diajukan, apakah para hakim konsitusi itu
(kultur dan mind setnya) dapat sepenuhnya melepaskan diri untuk hanya berkehendak
menegakkan hukum dan keadilan atas permohonan itu?
Secara umum, membangun independensi secara tegak lurus bukanlah pekerjaan yang mudah.
Kepastian untuk menjamin adanya suatu independensi yang akuntabel bebrupa bebas atau
lepas dari campur tangan atau intervensi pemerintah, kolega dan/atau atasan atau pihak-pihak
lainnya harus dirumuskan melalui mekanisme prosedur hukum acara dalam kaitannya dengan
pelaksanaan kewenangan judisial dan atmosfir kerja yang kondusif yang bisa mempengaruhi
prinsip independensi.
Di dalam Universal Declaration on the Independence of Justice, di salah satu bagiannya,
khusus diatur hal-hal yang berkaitan dengan independence. Setidaknya ada 10 (sepuluh) point
penting yang dikemukakan di bagian itu, beberapa diantaranya antara lain menyatakan :
pertama, “judges shall promote the principle of due process of law as being an integral part
of independence of justice”; kedua, “no reservations shall be made or admitted to teraty
provisions relating to the fundamental principles of independence of judiciary” dan ketiga,
the ethical standards required of national judges in the exercise of their judicial function
shall be apply to judges.4
22
Pendeknya, jaminan atas independensi harus dirumuskan melalui suatu perundangan yang
bisa menjamin kewenangannya secara langsung di dalam bidang judisial maupun hal lainnya
yang menyangkut atmosfir penggunaan kewenangan lainnya seperti telah diuraikan diatas.
Dengan membangun independensi di dalam Mahkamah Konstitusi tidak sekedar adanya kata
bahwa kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan
yang merdeka saja tetapi juga harus disertai dengan beberapa hal lainnya :
4 Universal Declaration on the Independence of Justice dideklarasikan di Monteral 10 Juni tahun 1983
kesatu, adanya suatu aturan yang secara limitatif dan elaboratif mengatur tindakan yang
melindungi dan menterjemahkan prinsip-prinsip penting dari independensi; kedua, ada upaya
yang kongkrit dari pihak lain di luar mahkamah Konsitusi, baik di dalam kapasitas sebagai
aparatur penegak hukum lainnya serta para user atau pencari keadilan di MK yang
mempunyai itikad dan upaya menjamin independensi itu; ketiga, para hakim konstitusi dan
unsur lainnya di dalam MK juga mempunyai kepentingan, tekad dan upaya tidak meletakkan
dirinya di bawah “pengampuan” orang lain, baik dari sisi sikap, prilaku, dan mind set dan
kulturnya.
Integritas adalah bagian lain yang juga sangat penting yang harus dimiliki oleh para hakim
konstitusi. Di dalam konstitusi disebutkan “hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawanan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Kriteria ini agak berbeda
dengan yang dirumuskan konstitusi untuk hakim agung yang dikemukakan “hakim konstitusi
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan
berpengalaman di bidang hukum”. Artinya, hakim agung tidak perlu seorang negarawan dan
memahami konstitusi dan ketatanegaraan.
Lebih dari itu, integritas bisa diletakkan di dalam dua perspektif, yaitu : kesatu, standar
kompetensi dan kedua, standar spiritualitas. Di dalam konteks kompetensi, integritas hendak
mengacu pada kehendak kuat untuk meningkatkan pengetahun sesuai dengan perkembangan
pengetahuan yang menyangkut segenap aspek yang diatur di dalam konstitusi dan dinamika
perkembangan masyarakat. Integritas di dalam aspek ini bisa menjadi bermasalah bila hakim
konstitusi atau Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai mekanisme yang memungkin para
hakim dan unsur-unsurnya untuk terus menerus meningkatkan kapasitas pengetahuannya
sesuai dengan dinamika problematika yang berkembang. Bila hal ini tidak dilakukan,
dikuatirkan, pertimbangan hukum dan putusan atas permohonan tidak mampu menjawab
tantangan problematika yang diajukan serta sekaligus tidak mampu memberikan putusan
yang mampui memberikan kepastian hukum dan keadilan.
23
Integritas juga bisa diletakan di dalam perspektif spiritualitas, maksudnya, ada serangkaian
upaya yang secara sistematis dilakukan oleh untuk memperlihatkan bahwa hakim konstitusi
yang mengedepankan fairness, obyective, honestly dan knowledgeable untuk hanya
mengabdikan pada keinginan untuk mewujudkan penegakan dan kepastian hukum serta
keadilan. Pendeknya, nilai-niali yang secara inheren dimiliki oleh hakim untuk bisa
memperlihatkan sikap adil, kenegarawanan dan tidak mempunyai kepribadian yang tercela.
Pengembangan dan pendalaman integritas tidak bisa lagi menjadi upaya para hakim
konstitusi sendiri, sudah saatnya diupayakan suatu program yang lebih sistematis untuk
menjamin proses peningkatan integritas ini serta dirumuskannya satu standar etik dan prilaku
yang akan menjamin aspek integritas selalu melekat di setiap hakim konstitusi. Tentu saja,
seperti juga telah diuraikan diatas, para user pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi harus
berperan aktif untuk menjaga integritas para hakim konstitusi ini.
24
ANALISIS TENTANG UNSUR MELAWAN HUKUM (wederrechtelijkheid)
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 003/PUU/2006
1. Pendahuluan Tulisan ini adalah respon atas permohonan yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi
berkaitan dengan Uji Materiil Undang Undang Pemberantasan Korupsi. Ada kekuatiran,
Mahkamah akan melakukan penafsiran hukum dan membuat putusan yang melebihi
kebutuhan dan kepentingan pemberantasan korupsi sehingga dapat merugikan upaya
pemberantasan korupsi. Berpijak pada alasan itulah, permohonan yang dajukan tersebut perlu
dikaji secara utuh dan sistematis. Tindakan ini juga sebagai upaya dari pegiat anti korupsi
untuk mendukung gerakan anti korupsi, khususnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang sebagian kewenangannya terus menerus dipersoalkan oleh ”koruptor” melalui jalur
hukum.
2. Melanggar prinsip Ultra Posita dan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan “…Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum
permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus
terhadap bagian tersebut…”.
Di dalam posita dan petitum permohonan seperti tersebut pada Putusan Mahkamah
Konstitusi dikemukakan :
”...materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan
Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan terhadap Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat...”.
25
Posita permohonan lebih banyak mempersoalkan materi muatan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 15
UU Pemerantasan Tindak Korupsi sesuai alasan permohonan. Posita dimaksud sama sekali
tidak mempersoalkan penjelasan pasal Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3. Dengan tidak benar,
jika permohonan tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus karena permohoinan
memang tidak membahas penjelasan pasal dimaksud.
Pasal 51 ayat (3), huruf b, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan ”Dalam permohonan..., pemohon wajib menguraikan dengan jelas... materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Nnegera RI Tahun 1945”.
Berpijak pada pasal dimaksud, Putusan MK dapat dikualifikasi telah melakukan ultra posita
dan ultra petita karena membahas penjelasan pasal yang dimohonkan tetapi tidak pernah
diiuraikan dengan jelas materi muatan penjelasan pasal. Hal ini bertentangan dengan Pasal 51
ayat (3), huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
1. Tidak menjelaskan secara cukup alasan dan pertimbangan mengenai ajaran
“melawan hukum materiil”.
Pertimbangan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan “...Pasal 2 ayat (1)
tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana, tidak lagi
hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele
wederrechtelijkheid...”
Suatu perbuatan tidak hanya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil
dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, tetapi juga dapat berupa ukuran yang dianut
dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai
perbuatan tercela karena dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan
yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat. Perbuatan dimaksud
dipandang sebagai perbauatn yang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk).
Dengan demikian, ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan
tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma
moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut
merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil.
26
Alasan di atas dikonfirmasi dengan Konstitusi Pasal 28D yang juga dikaitkan dengan Pasal 1
ayat (1) KUHP, Prinsip Lex Sripta dan Lex Certa serta kemudian disimpulkan konsep
melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan,
kehati-hatian dan kecermatan yang hidup di dalam masyarakat sebagai norma keadilan adalah
ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke
lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin
di tempat lain diterima dan/ atau diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum
Ada beberapa hal penting yang perlu diajukan berkenaan dengan pertimbangan dan
kesimpulan diatas, yaitu sebagai berikut:
A. Pertimbangan diatas kurang cukup membahas perdebatan kalangan ahli
berkenaan dengan ajaran melawan hukum formil dan materiil;
Ada kaitan yang erat antara norma materiil dengan hukum pidana. Pada perkembangannya
ada cukup banyak norma materiil yang kemudian dikukuhkan menjadi norma hukum;
Pengukuhan menjadi norma hukum dimaksudkan tidak bersifat legalitas tetapi ditujukan
untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas bukan sekedar kepentingan orang
perorangan semata
Pada abad ke 19 ada ”perdebatan keras” antara aliran sejarah dengan positivis oleh dua orang
Yuris Jerman (Von Savingy dan Thibaut). Hukum harus lahir dari jiwa rakyat dan kodifikasi
selalu membawa efek negatif karena menghambat perkembangan hukum (Von Savingy)
Suijling mencoba mendamaikan kedua pendapat diatas dengan menyatakan :
”kekakuan dari naskah yang diagung-agungkan dari UU tidak selalu memungkinkan
hakim memberikan putusan yang adil”
”masyarakat tidak dapat berjalan tanpa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis”
”tidak hanya UU atau hanya hukum kebiasaan saja, ...keduanya secara bersama-sama
memberikan dasar hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan. Hakim
mendasarkan putusannya atas keduanya, hakim adalah mulut dari hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis” (J. PH Suijing, Levend en Stervend Recht, De Erven F Bohn
NV Haarlem, 1952 hlm. 76 di dalam Komariah Emong Soepardjaja; Ajaran Sifat Melawan
Hukum Materiil di Indonesia, Hlm. 14).
27
Bregstein menyatakan ”...undang-undang dapat sangat memberikan kepastian hukum tetapi
kepastian hukum tidak selalu memberikan keadilan...”. Pembuat UU melahirkan
kehendaknya dalam kata-kata...kehidupan sosial yang mereaksi...membuat kata-kata menjadi
hidup ... memberikan arti...”
Perdebatan yang diajukan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan Mazhab Utilitarian dan
Mazhab Legal Pragmatism mungkin menjadi sangat menarik untuk memastikan apa dasar
filosofis dan teori hukum yang dijadikan pilihan hakim konstitusi dikaitkan dengan konteks
sosial yang berkembang di masyarakat serta pilihan paradigma keadilan yang dijadikan dasar
argumentasi pertimbangan hukumnya.
B. Pertimbangan tidak mengelaborasi pasal 28D ayat (1) secara komprehensif serta
”tidak dapat” mengkonfirmasi Pasal 28D ayat (1) UUD dengan asas legalitas
yang dimuat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP;
Asas ini diintroduksi di zaman Ancien sebagai respon atas kebutuhan fungsional atas
kesewenang-wenangan penguasa sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum. Perumusan
delik diperlukan untuk asas legalitas. Jika dilihat Pasal 28D ayat (1) dikemukakan ”setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di muka hukum”
Bandingkan dengan pernyataan yang tersebut di dalam pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi yang hanya menyatakan ”Pasal 28D ayat {1} mengakui dan melindungi hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang
pasti...”
Pertimbangan Mahkamah hanya menekankan pada aspek-aspek yang bersifat: mengakui,
menjamin dan melindungi hukum yang pasti. Tidak mengutip sesuai teks UUD 1945 dan
menghilangklan teks dan konteks kepastian hukum yang adil. Pasal dimaksud tidak hanya
mengemukakan kepastian hukum tetapi kepastian hukum yang adil.
Teks dan konteks keadilan tidak dibahas sedikitpun oleh pertimbangan hukum sehingga
kepastian hukum telah kehilangan dasar otentitasnya. Ada cukup banyak teori keadilan bisa
ditelaah untuk kemudian sampai pada suatu kesimpulan tertentu. Selain perdebatan klasik
mengenai keadilan retributif dan komutatif, Mahkamah Konstitusi merujuk pada UN
Convention Against Corruption mengenai kerugian negara yang tidak lagi mutlak merupakan
unsur tindak pidana korupsi.
28
Bila saja Mahkamah Konstitusi mengkaji teks rumusan pasal dimaksud secara cermat serta
dikaitkan dengan konteks keberpihakan dan filosofi keadilan maka jelas dapat dilihat akibat
korupsi tidak hanya merugikan negara saja tetapi juga sangat merugikan masyarakat
kebanyakan karena melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakaat secara luas. Maksudnya,
kesatu, keberpihakkan lebih diletakan pada kepentingan publik karena merekalah yang
menerima dampak sosial dan ekonomi dari suatu tindak korupsi; dan kedua, pada dimensi
keadilan transitional maka kepentingan korban yang lebih diperhatikan dan bahkan korban
mempunyai keleluasaan untuk menentukan ”settlement disputes” yang terjadi. Pada titik
inilah keadilan komutatif memperoileh dasar justifikasinya.
Bila kemudian pasal konstitusi dikonfirmasi dengan pasal 1 ayat (1) KUHP dengan konteks
asas legalitas, maka ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu:
Kesatu, apakah Mahkamah Konstitusi masih berpijak pada asas diintroduksi sejak zaman
Ancient padahal ada cukup banyak pendapat ahli yang menyatakan ”masyarakat tidak dapat
berjalan tanpa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis” dan ”tidak hanya UU atau
hanya hukum kebiasaan saja, ... keduanya secara bersama-sama memberikan dasar
hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan...”. Pada perkembangannya, prinsip
legalitas ini dipandang tidak akurat dan tidap sensistif terhadap kenyataan hukum yang
tengah berkembang
Kedua, apakah relevan membandingkan KUHP yang Lex Generale dengan UU
Pemberantasan Korupsi yang Lex Speciallis. KUHP mempunyai asas tersendiri yang
berkaitan dengan legalitas dan UU Pemberantasan Korupsi juga mempunyai asas legalitas.
Pada konteks legalitas itu, UU Pemberantasan Korupsi telah menegaskan diakuinya prinsip
ajaran melawan hukum formil dan materiil.
Ketiga, bukankah pada UU Pemberantasan Korupsi juga sudah dirumuskan secara tegas
adanya unsur ”melawan hukum”. Secara Lex Scripta yang menegaskan orang hanya dapat
dituntut dan diadili atas dasar suatu perundangan yang tertulis yang telah lebih dahulu ada
telah terpenuhi; Juga telah memenuhi Lex Certa dan Lex Stricta, yaitu harus jelas dan tidak
ditafsirkan secara analogi.
29
C. Pertimbangan hukum menyimpulkan secara sepihak dan tidak utuh dengan
langsung menyatakan konsep melawan hukum formil mewajibkan pembuat UU
merumuskan secara cermat dan rinci merupakan syarat untuk menjamin
kepastian hukum (lex Certa)
Pernyataan di atas terlalu bias karena dua hal, yaitu: kesatu, konsep melawan hukum formil
seolah hanya dimasudkan untuk menjamin kepastian hukum padahal konstitusi menginginkan
kepastian hukum yang adil; kedua, Mahkamah langsung menyimpulkan bahwa konsep
melawan hukum materiil tidak dapat dirumuskan secara cermat. De facto sudah dipenuhinya
aspek forseebility (dapat diperkirakan akibatnya) dan accessibility (mudah difahami) pada
UU Pemberantasan Korupsi.
Bukankah yang dirumuskan di dalam pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi hanya
menyatakan secara lex certa ”melawan hukum” saja, tidak menyebutnya sebagai melawan
hukum formil dan/ atau materiil. Jadi mengapa kemudian disimpulkan, ada perumusan norma
baru yang padahal menjelaskan apa yang dimaksud dengan melawan hukum dimaksud.
De facto di dalam praktek pengadilan di Indonesia dan khususnya Mahkamah Agung sudah
kerap kali menggunakan ajaran melawan hukum materiil di dalam memutus perkara. Fakta
inipun bukan khas Indonesia saja. Beberapa kasus telah diputus oleh Mahkamah Agung
dengan menggunakan ajaran melawan hukum materiil, seperti antara lain:
a. Perkara No. 275K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983 dalam Perkara Korupsi di
bank Bumi Daya. Seorang pegawai negeri yang menerima fasilitas berlebihan serta
keuntungan lainnya dari seseorang ia menggunakan kewenangan yang melekat pada
jabatannya. MA menyatakan ”,,,menurut kepatutan perbuatan itu merupakan
perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat...”;
b. Perkara No. 14K/Pid/1992 tanggal 2 Mei 1992 dalam Perkara Bank Duta. Di dalam
perkara dimaksud MA menyatakan ”...walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta
tetapi karena telah menerima/ menggunakan dana-dana yang berasal dari masyarakat
yang diperuntukan bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka UU Korupsi dapat
diterapkan di dalam perakara ini...”.
30
Undang-Undang Mengenai Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 juga telah secara
eksplisit menyatakan bahwa hakim diberikan keleluasaan untuk menggali rasa keadilan yang
berkembang di masyarakat
2. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi telah telah menambahkan
norma baru dan memuat susbtansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang
dijelaskan.
Pada bagian ini Mahkamah telah membuat suatu kesimpulan dengan menggunakan Butir E
Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar rujukannya.
Beberapa bagian penting dari perundangan dimaksud telah dikutip oleh Mahkamah antara
lain:
a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya
memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh.
Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh,
tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan
lebih lanjut;
c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;
Mahkamah kemudian menyimpulkan bawah penjelasan pasal 2 ayat (1) a quo tidak hanya
menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal tetapi telah menambahkan norma
baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang
dijelaskan.
31
Jikalau digunakan uraian dan alasan di atas sebagai dasar hukum untuk mengkaji
penjelasan Pasal 2 ayat (1) a quo maka yang dilakukan oleh Mahkamah adalah tindakan
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang lainnya, bukan bagian yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan hak uji materiil karena suatu Undang-
Undang bertentangan dengan Konstitusi. Tidak dijelaskan apa ukurannya penjelasan
dimaksud memuat memuat substansi norma baru yang bertentangan dengan norma yang
ada.? Bukankah yang dirumuskan di dalam pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi
hanya menyatakan secara lex certa ”melawan hukum” saja, tidak menyebutnya sebagai
melawan hukum formil dan/ atau materiil. Jadi mengapa kemudian disimpulkan, ada
perumusan norma baru.
Jikapun penjelasan pasal dimaksud dihapus sepanjang frasa ”Yang dimaksud dengan ’secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana” tidak serta merta diartikan bahwa ajaran melawan hukum materiil
tidak dapat digunakan oleh para hakim karena praktek pengadilan selama ini telah melakukan
hal tersebut dan para hakim masih terikat dengan ketentuan yang tersebut pada pasal 28 UU
No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang justru memberikan keleluasaan pada
hakim untuk memutus suatu perkara sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
PERTENTANGAN KEWENANGAN
ANTAR LEMBAGA NEGARA PASKA AMANDEMEN
Pendahuluan Sejak reformasi terjadi, keadaan menjadi lebih terbuka dan setiap pihak menjadi lebih berani
mengemukakan pendapatnya. Situasi ini mendorong proses demokratisasi menjadi lebih maju
karena diterapkannya prinsip keterbukaan tetapi disisi lainnya juga menyebabkan suatu
sengketa atau sifat konflik menjadi lebih terbuka. Problematikanya bukan terletak pada
situasi yang terbuka tetapi, apakah kita mampu membangun sistem dan mekanisme yang
dapat menyediakan instrumen untuk mengelola konflik yang ada.
Di dalam konteks itu, fakta adanya sengketa antar lembaga negara adalah keniscayaan, lebih-
lebih setelah amandemen UUD 1945 yang meniadakan lagi peran lembaga tertinggi negara.
Pada situasi tersebut lembaga negara yang ada mempunyai kedudukan yang sejajar sehingga
potensial mendorong terjadinya dinamika yang intensif pada proses ketatanegaraan yang
dapat menimbulkan friksi, rivalitas dan ketegangan diantara lembaga negara yang ada.
Amandemen UUD 1945 bukan tidak mengantisipasi masalah seperti tersebut diatas. Oleh
karena itu, amandemen konstitusi menjustikasi pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi
yang salah satu kewenangannya berkaitan dengan ”memutuskan sengketa kewenangan antar
lembaga negara...”. Persoalnnya terletak pada, apakah lembaga yang ada telah diproyeksikan
32
memiliki kemampuan untuk mengelola berbagai potensi konflik yang akan hadir pada masa
mendatang.
Di makalah ini akan dikemukakan, potensi sengketa apa saja yang muncul di dalam suatu
proses transisi demokratik dan akan dijelaskan apa saja akar-akar masalah dari sengketa
dimaksud. Berdasarkan hal tersebut maka kemudian akan dikaji, apakah mekanisme
ketatanegaraan untuk menyelesaian sengketa yang secara faktual terjadi seperti telah
dirumuskan di dalam UUD sudah cukup mampu mengelola sengketa dimaksud.
Potensi Sengketa dan Akar Masalah Di awal tulisan telah dikemukakan bahwa sengketa adalah keniscayaan. Yang menjadi
pertanyaan, apakah amandemen konstitusi dapat serta merta dituduh menjadi penyebab utama
terjadinya suatu sengketa; dan pertanyaan lain yang juga dapat diajukan adalah, apakah
amandemen suatu konstitusi telah merumuskan adanya sistem dan mekanisme yang ditujukan
untuk menyelesaikan potensi sengketa antar lembaga negara yang muncul dari proses
ketatanegaraan yang secara dinamis muncul dan terjadi di masyarakat.
Secara umum dapatlah dikemukakan, situasi yang lebih terbuka, di satu sisi dapat
memunculkan potensi sengketa lebih terbuka tetapi disisi lainnya dapat lebih cepat mengatasi
sengketa tersebut sehingga tidak menimbulkan dampak dan kerugian lain yang
berkepanjangan. Yang lebih esensial dari proses keterbukaan adalah kontrol publik dapat
ditingkatkan secara lebih maksimal sehingga dapat meminimaliasi potensi penyimpangan
yang dilakukan oleh pejabat publik.
33
Indonesia belum sepenuhnya menyelesaikan proses transisi demokratiknya. Sebagian
kalangan bahkan melakukan penilaian yang bersifat pesimistis dengan menyatakan bahwa
reformasi politik di Indonesia bergerak pada aras yang tak jelas serta cendrung merugikan
kepentingan rakyat. Lepas dari berbagai penilaian tersebut, ada fakta yang tak dapat
diingkari, dinamika yang terjadi selama proses reformasi dan transisi kekuasaan ini
menggambarkan, sengketa yang kini terjadi dapat dikemukakan sedemikian luasnya dan
mudah diakses publik.
Fakta tersebut dapatlah dimaknai sebagai berikut: kesatu, adanya keleluasan di dalam
berekspresi memberikan kemungkinan orang menyatakan pendapat dan kepentingan secara
lebih bebas tetapi disisi lainnya ketidakmampuan untuk mengelolanya secara
bertanggungjawab potensial menimbulkan kesenjangan dan sengketa; kedua, kebebasan
informasi dan politik keterbukaan telah memungkinkan media mengemukakan informasi
secara lebih terbuka, cepat dan bahkan sebagiannya cendrung bersigfat insinuatif. Fakta ini
menyebabkan seolah-olah sengketa menjadi kian banyak dan meluas; ketiga, keterbukaan
memungkinkan kontrol dan partisipasi publik atas penggunaan kekuasaan sehingga dapat
meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan dari penguasa.
Disisi lainnya, ada juga suatu kenyataan bahwa tidak ada bangsa yang dalam membangun
proses kebangsaannya tidak mengalami perbedaan pendapat dan menimbulkan ketegangan,
Jika hal tersebut diletakan pada situasi transisional seperti yang tengah terjadi di Indonesia
maka dapat saja terjadi, perbedaan pendapat dan ketegangan yang belum mampu dikelola
secara demokratik dapat memicu sengketa dalam derajat konflik tertentu yang mungkin saja
menyebabkan bangsa ini ”terbelah”, hancur dan berkeping-keping.
Kendati ada juga fakta lainnya, perbedaan pendapat yang meningkat menjadi ketegangan dan
kemudian menjurus pada konflik dapat dikelola sedemikian rupa melalui proses dan
mekanisme demokratis justru dapat membangun kohesifitas sosial dan soliditas bangsa secara
lebih baik. Di dalam perspektif yang positif, kendati sengketa atau konflik menyebabkan
kerugian tetapi konflik juga dapat menjadi energi sosial untuk mendorong suatu perubahan di
dalam masyarakat menuju kearah yang lebih baik. Pada sistem demokratik yang baik,
perbedaan pendapat didorong sebagai kompetisi politik yang sehat untuk meningkatkan
daulat dan kesejahteraan rakyat. Pendeknya, konflik dapat dikelola secara positif dengan cara
yang bijak untuk menghasilkan kebajikan dan kemasalahatan bagi rakyat.
34
Dengan demikian, sengketa dapat dimaknai sebagai suatu perbedaan pendapat yang lazim
terjadi di dalam suatu komunitas masyarakat atau sistem pemerintahan, dia dapat muncul
kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja mengenai berbagai soal. Pada Suatu sengketa
dapat berkaitan dengan banyak hal, misalnya saja, sengketa yang disebabkan oleh isu yang
berkaitan dengan identitas atau konflik etnis atas dasar perebutan sumber ekonomi,
primordialisme dan relasi sosial antar minoritas-mayoritas. Sengketa yang disebutkan
tersebut dapat berkembangnya menjadi konflik yang mengakar dan sulit diselesaikan secara
tuntas dalam waktu yang singkat, lebih-lebih bila tidak adanya mekanisme demokratis yang
dapat mengakomodasi konflik dimaksud.
Di dalam suatu negara yang tengah mengalami krisis politik maka situasi konflik tersebut
dapat mengarah pada krisis legitimasi. Di dalam situasi sedemikian maka ada berbagai faksi
dan kepentingan saling ”bertarung” mendesakan kepentingannya masing-masing. Di dalam
kedaan tersebut bukan tidak mungkin negara atau pemerintahan atau faksi tertentu di dalam
pemerintahan turut sereta berselisih dan mendorong derajat konflik lebih dalam dan luas.
Yang menarik, ditengah situasi dimana potensi destruktif sangat mungkin terjadi tetapi
biasanya ada cukup banyak pihak dan penyelenggara negara yang senantiasa berikhtiar dan
berupaya untuk mencari dan mendesakan untuk digunakannya instrumen dan mekanisme
kelembagaan yang ada dan/ atau dibuat secara sengaja untuk mengatasi sengketa atau konflik
yang terjadi.
Sengketa yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sengketa yang terjadi dan ditujukan
pada subyek hukum yang bernama lembaga negara dan hanya berkaitan dengan kewenangan
yang melekat pada lembaga dimaksud. Bila dibuat suatu katagorisasi berdasarkan subyek dan
obyek hukum yang bersengketa maupun disengketakan, maka dapatlah dikemukakan sebagai
berikut: kesatu, lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; kedua, lembaga
negara yang kewenangannya tidak didasarkan dan atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar
1945; ketiga, lembaga negara yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UUD;
35
Ada cukup banyak fakta dapat diajukan mengenai jenis sengketa seperti katagorisasi tersebut
diatas, misalnya: ketegangan atau sengketa yang terjadi antara Presiden dengan Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai penunjukan Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dan
penunjukan Kepala Kepolisian RI, Konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat
dengan Dewan Perwakilan Daerah serta antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
juga dapat dikualifikasi sebagai konflik dalam katagorisasi pertama. Konflik antara Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dengan lembaga Penegakan Hukum atau Dewan Perwakilan
Rakyat soal penentuan ada-tidaknya kejahatan berat hak asasi manusia atau konflik antara
Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan mengenai otoritas pencetakan uang dapat
dikualifikasi sebagai jenis konflik dalam katogori kedua; Sedangkan konflik antara Komisi
Penyiaran dengan Menteri Informatika dan Komunikasi tentang kewenangan pengaturan
pemberian izin frekwensi dan antara pemrrintah daerah satu dengan lainnya mengenai
cakupan wilayah yang menjadi bagian dari wilayah administratifnya dapat dikualifikasi
sebagai konflik untuk katagori ketiga.
Di dalam sengketa seperti dikemukakan di atas, ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan untuk memahamai pola konflik, yaitu antara lain:
1. Pada suatu sengketa yang melibatkan lembaga tertentu, misalnya: Dewan Perwakilan
Rakyat dengan Pihak Eksekutif, biasanya ada cukup banyak kelompok yang terlibat
sehingga juga perlu diketahui siapa dan apa saja faksi-faksi yang ada di antara para
pihak; Pemahaman atas faskionalisasi itu akan memudahkan untuk membaca motif
politik, kepentingan yang hendak diperjuangkan mereka atau faksi di dalam
kelompok;
2. Di dalam sengketa juga perlu dikualifikasi, apa isu yang terlibat di dalam konflik.
Tidak jarang soal kewenangan bukanlah isu utamanya karena bisa saja terjadi isu
dasarnya adalah adanya monopoli atau oligopoli suatu kewenangan, diskriminasi
dan/atau ketimpangan yang terjadi di dalam proses distribusi sumber daya ekonomi,
politik dan sosial. Di dalam konteks ini, juga akan berhimpitan dengan faktor lainnya
sebagai motif lain dari konflik, seperti misalnya: political bargaining, meminta share
tertentu di dalam proses alokasi dan distrubsi sumber ekonomi dan lainnya;
3. Faktor lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah perimbangan kekuatan
diantara para pihak yang bersengketa. Pada peta perimbangan tidak hanya dilihat
kekuatan diantara para pihak tetapi juga dukungan dan perspesi publik atas konflik
yang terjadi karena hal ini akan membuat konfigurasi perimbangan yang berbeda satu
dan lainnya.
36
Yang menguatirkan, jika sengketa dan faktor-faktor yang menyertainya seperti tersebut di
atas itu berkembang menjadi konflik yang bersifat masif, memicu problematik baru,
melibatkan berbagai kalangan di masyarakat, dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan
direspon oleh aparat juga dengan kontra kekerasan. Sementara itu, kualitas kekuatiran akan
meningkat bila, sistem sosial, politik dan hukum yang ada belum memiliki prosedur,
mekanisme dan sistem demokratik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa
dimaksud. Di dalam situasi sedemikian maka perbedaan pendapat yang seharusnya dikelola
secara demokratik dan diarahkan menjadi faktor positif penting mendewasakan bangsa dan
mennciptakan kemaslahatan dapat justru berbalik menjadi bersifat destruktif.
Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara serta Pihak Lainnya Jika menggunakan pendekatan normatif seperti termaktub di dalam UUD 1945 dan
UU Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sengketa kewenangan, maka yang dimaksud
dengan sengketa adalah ”sengketa kewenangan dari suatu lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD”. Berpijak dari rumusan eksplisit tersebut ada beberapa
isu pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Sengketa yang dimaksudkan hanyalah sengketa diantara lembaga negara;
2. Sengketa sesuai butir satu diatas berupa sengketa kewenangan; dan
3. Kewenangan sesuai butir satu dan dua diatas adalah kewenangan dari lembaga negara
yang diberikan oleh UUD.
Rumusan yang dikemukakan secara eksplisit tersebut di atas sangat terbatas lingkupnya serta
belum menjelaskan secara kongkrit beberapa hal penting yang berkaitan dengan sengketa,
yaitu: kesatu, apakah yang dimaksud dengan lembaga negara; kedua, apakah kewenangan
yang diberikan UUD pada lembaga negara adalah kewenangan yang dikemukakan secara
langsung dan kongkrit ataukah kewenangan yang tidak secara eksplisit diberikan oleh UUD.
Jika lingkup kewenangan seperti dirumuskan diatas menjadi kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi, pertanyaan lain juga dapat diajukan berkaitan dengan adanya keadaan yang secara
faktual memperlihatkan munculnya sengketa yang tidak hanya berkaitan dengan kewenangan
suatu lembaga, misalnya saja: sengketa mengenai kejahatan yang terjadi pada masa lalu,
sengketa distribusi kekuasaan berkaitan dengan alokasi dana atas sumber daya alam antara
pusat dan daerah; atau juga sengketa yang dapat terjadi diantara berbagai lembaga yang
kendati disebut secara jelas di dalam konstitusi tetapai tidak disebutkan kewenangannya
secara eksplisit, seperti: lembaga Kepolisian, TNI, Dewan Penasehat Presiden dan Kejaksaan
Agung; dan/ atau munculnya potensi sengketa dari lembaga yang secara eksplist tidak
disebutkan oleh UUD dan mempunyai kewenangan tertentu yang secara langsung diberikan
oleh UUD. Siapakah yang memiliki kewenangan untuk menangani berbagai sengketa
dimaksud?
37
Secara umum, kekuasaan suatu negara dapat dikualifikasi melalui suatu pembagian
kekuasaan yang kemudian melekat pada suatu lembaga tertentu yang memiliki kekuasaan dan
kewenangan tertentu dan secara klasikal, kekuasaan dibagi diantara kekuasaan yudikatif,
legislatif dan eksekutif kendati ada badab lain yang tidak dapat dimasukan dalam kelmopok
kekuasaan yang ada, yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan.
Di dalam perkembangannya, ada cukup banyak lembaga lain yang muncul dan bersumber
dari 3 (tiga) cabang kekuasaan yang ada, misalnya saja: Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada juga
berbagai badan lain yang muncul dan dibentuk karena adanya dinamika tuntutan publik
maupun kebutuhan ketatanegaraan. serta sebagiannya tidak serta merta dapat dikelompokkan
kedalam cabang kekuasan yudikatif, legislatif dan eksekutif, misalnya antara lain: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Ombudsman dan lainnya.
Berbagai lembaga negara yang ada yang ditujukan untuk membagi habis kekuasaan yang
sebelumnya tidak dapat dibagi habis oleh lembaga yudikatif, legsilatif dan eksekutif agar
dapat meningkatkan kualitas negara hukum yang demokratis dapat saja konflik satu dan
lainnya. Konflik yang timbul tersebut tidak sepenuhnya dapat dikelola oleh sistem dan
mekanisme yang ada karena Mahkamah Konstitusi mempunyai cakupan kewenangan yang
terbatas di dalam memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga negara. Berkenaan
dengan hal tersebut maka diperlukan sistem dan mekanisme demokratik lainnya yang dapat
memutuskan dan mengelola konflik diantara lembaga negara yang ada.
Kesimpulan Berdasarkan segenap uraian di atas dapat dikemukakan bahwa amandemen UUD 1945 belum
mengatur secara komprehensif sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa diantara
lembaga negara yang ada. Amandemen Konstitusi baru mengatur secara terbatas sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Untuk itu
diperlukan mekanisme lain yang dapat mengakomodasi dan menangani konflik dari lembaga
negara lainnya.
Adapun mekanisme dimaksud dapatlah dikemukakan sebagai berikut: kesatu sistem check
and balance haruslah diatur sedemikan rupa sehingga benar terjadi saling kontrol dan saling
imbang kekuasaan sehingga potensi konflik terserap habis di dalam sistem dmaksud;
38
kedua, segala sengketa di luar kewenangan Mahmakah Konstitusi dapat melalaui proses
negosisasi dan konsensus serta untuk itu perlu dibuat suatu sistem dan mekanisme yang
memungkin terjadinya negosiasi politik yang dapat saja diletakan di dalam Mahkamah
Konstitusi;
ketiga, Mahkamah Konstitusi diberikan kekuasaan yang lebih luas untuk dapat
menyelesaikan segala macam konflik yang potensial terjadi pada lembaga negara. Untuk itu
agar akuntabilitas Mahkamah Konstitusi kian meningkat maka akuntabilitas proses
rekruitmen para hakim konstitusi dan proses governance di dalam pengambilan keputusan
harus ditingkatkan;
keempat, Mahkamah Agung mempunyai satu ”kamar khusus” di dalam lembaganya untuk
menyelesaikan sengketa antara lembaga negara minus lembaga negara yang ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi. Kamar khusus dimaksud hanya ada di Mahkamah Agung dan
putusannya bersifat final serta mengikat.
39
40
2009 WSA
6/10/2009
QUO VADIS MAHKAMAH KONSTITUSI
Berbagai potensi masalah di atas mengisyaratkan bahwa MK harus
diletakkan sebagai salah satu instrumen penting di dalam system
kekuasaan untuk mendorong bekerjanya saling kontrol dan saling imbang
diantara lembaga negara. Di dalam konteks situasi transisi seperti yang
kini tengah berlangsung di Indonesia, posisi MK menjadi kian strategis.
Belakangan ini, ada berbagai dinamika yang menarik untuk diamati. Sebut
saja soal yang berkaitan dengan penentuan Wakil Ketua MA, pelaksanaan
ketentuan darurat di Aceh yang punya indikasi melanggar spiritualitas
perlindungan hak asasi seperti diamanatkan di dalam konstitusi dan
potensi pembubaran parpol karena melanggar ketentuan UU parpol dan
UU Pemilu.
Di dalam penentuan Wakil Ketua MA, ada “pertarungan” antara Ketua
MA dengan sebagian anggota DPR yang mempersoalkan mekanisme
pemilihan Wakil Ketua MA. Di satu sisi Ketua MA mengisyaratkan untuk
menggunakan ketenuan di dalam konsitusi yang memberikan kewenangan
kepada Hakim Agung MA untuk memilih sendiri Ketua dan Wakil
Ketuanya. Di sisi lainnya, DPR masih bersikeras agar MA menggunakan
ketentuan di dalam UU No. 14 tahun 1985, dimana DPR masih punya
kewenangan untuk menentukan Wakil Ketua MA. Perselisihan antar kedua
lembaga negara ini dapat terus berlangsung tanpa kesudahan.