putusan sengketa laut china selatan serta implikasi

22
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 22-43 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1594 PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI HUKUMNYA TERHADAP NEGARA DISEKITAR KAWASAN TERSEBUT Muhammad Rafi Darajati*, Huala Adolf**, Idris** *Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Korespondensi: [email protected] **Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Korespondensi: [email protected], [email protected] Naskah dikirim: 14 Maret 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Januari 2018 Abstract One of interesting developments about the global security is the issue of territorial disputes in the South China Sea between Philippines and China. Philippines has brought the dispute to the Permanent Court of Arbitration. The ruling from Permanent Court of Arbitration said that China’s claim about a nine-dash line does not have a legal basis. However, China rejects the ruling and remains aggressive which might cause instability in South China Sea region. This research aims to look at the implications of the ruling of the Permanent Court of Arbitration for State Parties and states around the South China Sea region. Authors use juridical normative research method with literature studies. This research shows that States Parties have to implement and respect the ruling because it has already become the source of international law. For the states that located around the region, the ruling also has an effect to facing China’s aggressiveness and rules handling maritime claims in the South China Sea region. Keywords: Arbitration, Legal implication, South China Sea Dispute Abstrak Salah satu perkembangan yang menarik mengenai keamanan global saat ini adalah isu sengketa Laut China Selatan antara Filipina dengan Tiongkok. Filipina telah membawa sengketa tersebut ke Permanent Court of Arbitration. Putusan dari Permanent Court of Arbitration mengatakan bahwa klaim Tiongkok mengenai nine dash line terbantahkan dan tidak memiliki dasar hukum. Akan tetapi Tiongkok menolak putusan tersebut dan tetap agresif di Laut China Selatan sehingga berpotensi menimbulkan instabilitas kawasan Laut China Selatan. Artikel ini bertujuan untuk melihat implikasi putusan Permanent Court of Arbitration bagi negara pihak dan negara sekitar kawasan Laut China Selatan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara pihak yang bersengketa harus melaksanakan dan menghormati putsan Permanent Court of Arbitration tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional. Bagi

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 22-43

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1594

PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

HUKUMNYA TERHADAP NEGARA DISEKITAR KAWASAN

TERSEBUT

Muhammad Rafi Darajati*, Huala Adolf**, Idris**

*Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran,

Korespondensi: [email protected]

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Korespondensi: [email protected], [email protected]

Naskah dikirim: 14 Maret 2017

Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Januari 2018

Abstract

One of interesting developments about the global security is the issue of

territorial disputes in the South China Sea between Philippines and China.

Philippines has brought the dispute to the Permanent Court of Arbitration. The

ruling from Permanent Court of Arbitration said that China’s claim about a

nine-dash line does not have a legal basis. However, China rejects the ruling

and remains aggressive which might cause instability in South China Sea region.

This research aims to look at the implications of the ruling of the Permanent

Court of Arbitration for State Parties and states around the South China Sea

region. Authors use juridical normative research method with literature studies.

This research shows that States Parties have to implement and respect the ruling

because it has already become the source of international law. For the states

that located around the region, the ruling also has an effect to facing China’s

aggressiveness and rules handling maritime claims in the South China Sea

region.

Keywords: Arbitration, Legal implication, South China Sea Dispute

Abstrak

Salah satu perkembangan yang menarik mengenai keamanan global saat ini

adalah isu sengketa Laut China Selatan antara Filipina dengan Tiongkok.

Filipina telah membawa sengketa tersebut ke Permanent Court of Arbitration.

Putusan dari Permanent Court of Arbitration mengatakan bahwa klaim

Tiongkok mengenai nine dash line terbantahkan dan tidak memiliki dasar

hukum. Akan tetapi Tiongkok menolak putusan tersebut dan tetap agresif di Laut

China Selatan sehingga berpotensi menimbulkan instabilitas kawasan Laut

China Selatan. Artikel ini bertujuan untuk melihat implikasi putusan Permanent

Court of Arbitration bagi negara pihak dan negara sekitar kawasan Laut China

Selatan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi

kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara pihak yang

bersengketa harus melaksanakan dan menghormati putsan Permanent Court of

Arbitration tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional. Bagi

Page 2: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

23 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

negara di sekitar kawasan, putusan tersebut juga memiliki pengaruh di dalam

menghadapi agresivitas Tiongkok dan pengaturan mengenai klaim maritim di

kawasan Laut China Selatan.

Kata Kunci: Arbitrase, Implikasi Hukum, Sengketa Laut China Selatan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laut dapat digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi

penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan kemanan, serta

berbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut tersebut telah dirasakan oleh

umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan

pemanfaatan laut oleh masing-masing negara yang didasarkan atas suatu

konsepsi hukum.1

Untuk dapat mengamankan dan menguasai lautnya, serta mencegah

negara lain untuk memanfaatkan atau merusaknya, negara tersebut dapat

menggunakan sea power. Konsep sea power diperkenalkan oleh Mahan, dimana

Mahan menyatakan perlunya enam elemen dasar untuk membangun suatu

kekuatan laut yang besar yaitu geographical territory, physical conformation,

extent of territory, character of the people, number of population, dan character

of government.2 Suatu negara melakukan pengamanan dan penguasaan laut

dikarenakan siapa yang menguasai laut maka ia akan menguasai dunia.

Mengingat pentingnya peran laut baik dari sudut pandang keamanan,

ekonomi, maupun politik, maka dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap

penentuan batas maritim antar negara. Adapun landasan hukum yang digunakan

dalam hal batas maritim ini ini adalah United Nations Convention on the Law of

the Sea 1982 (Konvensi Hukum Laut 1982). Konvensi Hukum Laut 1982

merupakan perjanjian internasional yang berisi 320 pasal dan 9 lampiran yang

mengatur mengenai hampir semua aktivitas dan persoalan tentang kelautan

termasuk di antaranya adalah pengaturan zona-zona maritim dengan status

hukum yang berbeda-beda, penetapan rezim negara kepulauan, pemanfaatan

dasar laut, pengaturan mengenai hak lintas bagi kapal, perlindungan lingkungan

laut, pelaksanaan riset ilmiah kelautan, pengelolaan perikanan, serta

penyelesaian sengketa.

Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut, Konvensi Hukum

Laut 1982 ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha

masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum

internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang

progresif dalam hukum internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut

berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, terutama untuk negara yang

1 Dikdik Mohamad Sodik, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di

Indonesia”, Bandung: Refika Aditama, 2014, hal. 1. 2 A.T. Mahan, “The Influence Of Sea Power Upon History 1660-1783”, Boston: Little,

Brown And Company, 1890, hal. 29.

Page 3: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 24

mendapatkan tambahan wilayah laut. Hal ini dapat terjadi karena potensi sumber

kekayaan laut yang ada tersebut dapat dimanfaatkan dari sisi ekonomi oleh

negara yang bersangkutan.

Salah satu perkembangan yang menarik dalam percaturan politik dan

keamanan global saat ini adalah menyangkut perkembangan kawasan Asia

Pasifik. Kawasan Asia Pasifik tidak terlepas dari perkembangan yang

menyangkut masalah keamanan dan politik internasional yang ada di antara

negara kawasan itu sendiri yang berasal dari sejarah, sengketa perbatasan

maupun teritorial. Saat ini, Laut China Selatan (LCS) menjadi flash point di

kawasan Asia Pasifik. Sengketa di LCS tidak hanya melibatkan enam negara

yaitu, Tiongkok3, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia saja,

melainkan juga menyangkut kepentingan kekuatan besar lainnya seperti

Amerika Serikat.

Eskalasi ketegangan di LCS meningkat drastis pada awal Mei 2014 lalu

ketika kilang minyak Tiongkok His Yang Shi You 981 (HYSY 981) memulai

operasi pengeboran minyak yang masih masuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif

dan landas kontinen Vietnam. Sebelumnya, di Mei 2009 Tiongkok

mengeluarkan pernyataan mengenai nine dash line berarti bahwa kedaulatan

yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di LCS dan perairan yang berdekatan,

dan memiliki hak-hak berdaulat dan hukum yurisdiksi atas perairan tersebut

beserta laut dan tanah di bawahnya. Selanjutnya di tahun 2012, setelah

bersitegang dengan Filipina akhirnya Tiongkok mendirikan bangunan permanen

di Karang Dangkal Scarborough dimana posisi karang tersebut berpotensi besar

untuk mengancam keamanan Filipina karena terletak hanya 220kmdari pantai

Filipina.4 Adapun nine dash line juga dapat berfungsi sebagai batas-batas

maritim antara China dengan negara-negara di sekitar kawasan LCS.5

LCS diperebutkan karena bahwa LCS bukan hanya jalur strategis yang

menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, namun juga

sebuah pintu masuk yang vital bagi perdagangan di Asia Timur. 85% impor

energi Tiongkok dan suplai minyak untuk Jepang dan Korea melewati perairan

ini. 55% hasil produk India yang diperdagangkan dengan Asia Pasifik melewati

LCS menuju Tiongkok, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Selain itu, LCS

juga merupakan ekosistem laut yang luas dengan ekosistem keanekaragaman

hayati tertinggi di dunia dan menghasilkan ikan konsumsi terbesar di dunia untuk

keperluan ekspor dan rumah tangga. Daerah LCS menurut mereka disebut

3 Penyebutan istilah Tiongkok berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014

tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967.

Dalam penelitian ini penyebutan istilah Tiongkok hanya merujuk kepada penyebutan negara

saja. Sedangkan penyebutan terhadap istilah Laut China Selatan tidak diubah menjadi Laut

Tiongkok Selatan karena Keputusan Presiden tersebut hanya menetapkan pengubahan terhadap

istilah orang dan atau komunitas, dan penyebutan negara. 4 Mary Fides A. Quintos, “Artificial Islands in the South Tiongkok Sea and their Impact

on Regional Insecurity”,Center For International Relations & Strategic Studies, Vol. II No. 2

(Maret 2015), hal. 7. 5 Zhiguo Gao dan Bing Bing Jia, “The Nine-Dash Line In The South China Sea: History,

Status, And Implications”, American Journal of International Law, 107 Am. J. Int'l L. 98

(Januari 2013), hal. 8.

Page 4: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

25 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

sebagai Second Persian Gulf karena jika perhitungan mereka betul bahwa di

LCS mengandung 130 miliar barel minyak sehingga LCS ini mengandung lebih

banyak minyak daripada wilayah di dunia kecuali di Arab Saudi, selain itu juga

di LCS dikatakan memiliki kandungan lebih dari 20 triliyun kubik gas alam di

dalam isi perut buminya.6

Salah satu negara yang gencar melakukan protes terhadap klaim

Tiongkok atas hampir seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah Filipina.

Pada bulan Januari 2013, Filipina membawa sengketa LCS ke Permanet Court

of Arbitration (PCA). Pada tanggal 12 Juli 2016, PCA, mengeularkan putusan

atas gugatan Filipina melawan Tiongkok mengenai masalah LCS, sesuai

permohonan Filipina, putusan PCA menafsirkan mengklarifikasi persoalan yang

selama ini dianggap rancu dalam pusaran konflik LCS bahwa:7

“The Tribunal concludes that, as between the Philippines and

China, China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or

jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China

Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are

contrary to the Convention and without lawful effect to the extent

that they exceed the geographic and substantive limits of China’s

maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes

that the Convention superseded any historic rights or other

sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed

therein”.

Pada intinya PCA mengklarifikasi klaim Tiongkok mengenai historic

rights sehubungan dengan wilayah maritim di LCS yang diklaim dengan

menggunakan nine-dash line merupakan hal yang bertentangan dengan

Konvensi Hukum Laut 1982. Akan tetapi pihak Tiongkok mengatakan bahwa

mereka tidak menerima dan tidak akan mengakui putusan dari PCA tersebut.

Pihak Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan bahwa putusan itu tak

memiliki kekuatan yang mengikat sehingga Tiongkok tidak akan menerima atau

mengakui putusan tersebut.8 Adapun pernyataan yang dikeluarkan oleh

Tiongkok terkait putusan PCA tersebut adalah: 9

“The ruling is null and void with no binding force. It will in no way

affect China's territorial sovereignty and maritime rights and

interests in the South China Sea. We oppose and refuse to accept any

proposal or action based on the ruling. China will continue to

6 Why the South China Sea is so crucial,http://www.businessinsider.co.id/why-the-

south-china-sea-is-so-crucial-2015-2/?r=US&IR=T#vDHPAcip2MDEl5Sj.97, diakses pada

tanggal 15 November 2016. 7 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 278. 8 Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok

Selatan,http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/beijing.tolak.keputusan.m

ahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.selatan, diakses pada tanggal 19 November 2016. 9 Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by Spokesperson of

US State Department on South China Sea Arbitration

Ruling,http://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/t1380409.htm, diakses pada tanggal 19

November 2016.

Page 5: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 26

safeguard territorial sovereignty and maritime rights and interests,

maintain peace and stability in the South China Sea, and endeavor

to peacefully resolve relevant disputes in the South China Sea with

parties directly concerned through negotiation and consultation on

the basis of respecting historical facts and in accordance with

international law”.

Klaim berbagai negara yang berbatasan dengan LCS yang dilancarkan

telah memunculkan kekhawatiran negara pengklaim dan non pengklaim di

sekitarnya serta negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan

keamanan wilayah perairan di sana. Kekhawatiran yang meningkat kemudian

telah memicu eskalasi ketegangan akibat muncul kegiatan-kegiatan militer dan

saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata serta upaya provokasi di daerah LCS.

Selanjutnya diperlihatkan pula perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi

yang dilakukan angkatan laut Tiongkok di wilayah LCS terhadap angkatan laut

dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau sebaliknya. Aksi saling cegah dan

usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu terus meningkat dan

cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala rendah. Konflik

bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi tetap saja terbuka jika

resolusi konflik permanen gagal ditemukan mengingat besarnya dan banyaknya

kepentingan baik dari negara yang mengklaim, negara non pengklaim, serta

negara luar kawasan.10

Walaupun telah terdapat putusan hukum yang mengatakan bahwa nine-

dash line tidak dibenarkan berdasarkan hukum laut internasional, akan tetapi

keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan tersebut juga harus menjadi

kewaspadaan. Keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan dari PCA dan

tetap melakukan agresivitas di kawasan LCS dapat memperparah hubungan

dengan negara-negara sekitar kawasan LCS. Oleh karena itu, di dalam penulisan

ini akan bermaksud untuk melihat implikasi putusan PCA dalam kasus LCS

terhadap negara pihak maupun negara yang berkepentingan di sekitar kawasan

LCS.

B. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Yuridis

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan

penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti.11 Penelitian ini memiliki sifat deskriptif

analitis. Deskriptif analitis mempunyai arti bersifat menggambarkan

sebagaimana adanya untuk kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut

berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan.12 Suatu penelitian deskriptif analitis

10 Poltak Partogi Nainggolan, “Konflik Laut Tiongkok Selatan Dan Implikasinya

Terhadap Kawasan”, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, 2013, hal. x. 11Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat”, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006, hal. 13. 12 Ibid, hal. 50.

Page 6: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

27 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas dan menyeluruh

mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional terkait pematuhan suatu

negara terhadap hukum internasional yang akan dikaitkan analisisnya dengan

ketidakpatuhan Tiongkok terhadap putusan PCAdalam sengketa LCS yang

melibatkan Tiongkok dan Filipina serta menganalisis mengenai implikasi hukum

putusan tersebut terhadap negara di sekitar kawasan LCS.

II. PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Arbitrase

Suatu sengketa merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap hubungan

baik dari ruang lingkup antar individu sampai dengan antar negara. Namun yang

menjadi penting untuk diperhatikan adalah ketika telah terjadi sengketa, para

pihak harus berkomitmen untuk menyelesaikan sengekta tersebut secara damai.

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan

individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin

dengan baik, pergesekan kepentingan, perbedaan pemahaman mengenai suatu

hal dan berbagai faktor lainnya merupakan hal yang biasa terjadi. Sengketa yang

muncul lebih banyak dalam tataran hubungan internasional adalah mengenai

sengketa teritorial. Hal ini dapat dipahami karena isu teritorial berkaitan dengan

bentuk penjelmaan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh setiap negara yang

berdaulat. Seperti yang disampaikan oleh Masako Ikegami bahwa “Territorial

disputes as a normative issue derive from the basic understanding that territory

is a basic source of identity both for state and for the people who live

there”.13Apabila sengketa telah terjadi maka hukum internasional memainkan

peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.

Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa

internasional adalah dengan memberikan cara bagaimana para pihak yang

bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam

perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian

yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang. Adapun yang dimaksud dari

sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai

pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-

kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Suatu sengketa bukanlah suatu

sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak

mempunyai akibat pada hubungan kedua belah pihak.14

Di dalam penelitian ini akan memfokuskan mengenai penyelesaian

sengketa internasional secara damai. Kewajiban negara-negara untuk

menyelesaikan sengketa secara damai terlihat di dalam pasal 2 ayat (3) Piagam

PBB yang berbunyi: “All Members shall settle their international disputes by

13 Davina Oktivana, “Sengketa Kepemilikan Pulau Dokdo/Takeshima dalam Perspektif

Hukum Internasional”, dalam Idris (ed), Peran Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia

Kenyataan, Harapan, dan Tantangan,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, hal. 388. 14 Huala Adolf, “Hukum Penyeleseaian Sengketa Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika

2014, hal. 3.

Page 7: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 28

peaceful means in such a manner that international peace and security, and

justice, are not endangered”.15 Kewajiban yang tercantum di dalam pasal ini

tidak dipandang sebagai suatu kewajiban yang pasif. Kewajiban tersebut

terpenuhi jika negara yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal ini mensyaratkan

negara-negara untuk secara aktif dan dengan itikad baik menyelesaikan

sengketanya secara damai sedemikan rupa sehingga perdamaian dan keamanan

internasional serta keadilan tidak terancam.16 Pengaturan lebih lanjut mengenai

kewajiban untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai terlihat di

dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang berbunyi:

“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to

endanger the maintenance of international peace and security, shall,

first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation,

conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional

agencies or arrangements, or other peaceful means of their own

choice”.

Di dalam hukum internasional terdapat prinsip-prinsip yang berlaku

secara universal mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Prinsip tersebut

terlihat di dalam Declaration on Principles of International Law concerning

Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the

Charter of the United Nations. Prinsip-prinsip tersebut yakni:17

1. The principle that States shall refrain in their international

relations from the threat or use of force against the territorial

integrity or political independence of any State, or in any other

manner inconsistent with the purposes of the United Nations

2. The principle that States shall settle their international disputes

by peaceful means in such a manner that international peace and

security and justice are not endangered

3. The duty not to intervene in matters within the domestic

jurisdiction of any State, in accordance with the Charter

4. The duty of States to co-operate with one another in accordance

with the Charter

5. The principle of equal rights and self-determination of peoples

6. The principle of sovereign equality of States

7. The principle that States shall fulfil in good faith the obligations

assumed by them in accordance with the Charter.

Dari ketentuan pasal 33 ayat (1) Piagam PBB tersebut terlihat bahwa

arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa internasional telah diakui

eksistensinya oleh masyarakat internasional. Bahkan apabila ditarik sejarahnya,

15 Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 16 Op.cit., hal. 13. 17 Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and

Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations.

Page 8: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

29 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

arbitrase merupakan mekanisme yang pertama dan merupakan suatu cikal bakal

dari timbulnya mekanisme pengadilan yang permanen.18

Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage

(Belanda/Perancis), arbitration (Inggris), dan schiedspruch (Jerman), yang

berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau

perdamaian melalui arbiter atau wasit.19

Peran arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa nasional maupun

internasional dewasa ini menjadi semakin meningkat. Peran arbitrase di sini

tidak lagi semata-mata dibatasi oleh para pihak, yaitu pedagang, tetapi juga

menyelesaikan sengketa antar negara, individu, dan perusahaan.20 Arbitrase

merupakan suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa

atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau

lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan

memperoleh satu keputusan final dan mengikat.21

Arbitrase memiliki definisi sebagai salah satu mekanisme alternatif

penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh

undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya

dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbiter atau lebih ahli yang

profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan

menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara

hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut

terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat.22 Salah satu

kelebihan arbitrase terletak pada sifat putusannya dimana putusan arbitrase

adalah bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, proses

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselesaikan dengan lebih cepat

dibandingkan dengan proses peradilan umum yang berlangsung lebih lama

karena dapat dilakukan upaya hukum atas putusan peradilan dan bertingkat-

tingkat.23

Berdasarkan pengertian di atas pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur arbitrase sebagai berikut yaitu:24

a. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan

b. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak

c. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang

sudah terjadi

18 J.G. Merrills, “International Dispute Settlement”, Cambridge: Cambridge

University Press, 2011, hal. 83. 19 Susanti Adi Nugroho, “Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan

Hukumnya”, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 78. 20 Huala Adolf, “Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase”, Bandung: Keni

Media, 2014, hal. 1. 21 Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

Suatu Pengantar”, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011, hal. 61. 22Ibid, hal. 49. 23 Frans Hendra Winarta, “Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 60. 24op.cit., hal. 80.

Page 9: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 30

d. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang

berwenang mengambil keputusan

e. Sifat putusannya final dan mengikat.

Menurut Gary B. Born, terdapat empat karakteristik yang dimiliki oleh

arbitrase. Karakteristik tersebut adalah:25

“First, arbitration is consensual, the parties must agree to arbitrate

their differences. Second, arbitrations are resolved bynon

governmental decision makers, arbitrators do not act as government

agents, but are private persons selected by parties. Third, arbitration

produces a definitive and binding award, which is capable of

enforcement through national courts. Finally arbitration is

comparatively flexible, as contrasted to most court procedures”.

Arbitrase adalah mekanisme atau cara penyelesaian sengketa yang

diputus oleh pihak ketiga yang disebut arbitrator. Di dalam memutus sengketa,

arbitrator berperan penting di dalam upayanya mencari penyelesaian yang win-

win solution. Dalam upaya untuk mencari upaya penyelesaian yang win-win

solution inilah tercermin maksud atau tujuan mulia dari arbitrase yaitu mencari

upaya perdamaian di antara pihak. Dengan terciptanya perdamaian, maka akan

terhindar dari rasa permusuhan terhadap para pihak. Penekanan pada perdamaian

ini menghasilkan teori hukum perdamaian. Jika arbitrase yang digunakan adalah

arbitrase internasional maka teori hukum ini dapat disebut dengan teori hukum

perdamaian dunia. Teori perdamaian tercermin dari adanya kehendak dari sang

pencipta yang terdapat di dalam setiap kitab suci agama-agama, yaitu terciptanya

perdamaian di dunia.26

Arbitrase internasional memiliki definisi sempit dan definisi yang luas.

Arbitrase internasional dalam arti sempit adalah arbitrase sebagai suatu lembaga

penyelesaian sengketa yang khusus menangani dan menyelesaikan sengketa-

sengketa di bidang perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah arbitrase yang

pengaturannya tunduk pada pengaturan di bawah United Nations

commissionInternational Trade Law (UNCITRAL). Sedangkan arbitrase

internasional dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga penyelesaian

sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa seperti yang tercantum di dalam

pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.27

Adapun pembahasan dalam penulisan ini berfokus pada kategori

arbitrase internasional dalam arti luas. Badan arbitrase internasional publik ini

adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan

arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk

memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan

mengikat. Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara

yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized)

atau kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase

25 Gary B. Born, “International Commercial Arbitration Commentary and

Material”, The Hague: Kluwer Law International, 2001, hal. 1. 26 Op.cit., hal. 73. 27 Ibid, hal. 6.

Page 10: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

31 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah bediri sebelumnya dan memiliki

hukum acaranya. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat

oleh para pihak untuk sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini berakhir

tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.28

Salah satu bentuk badan arbitrase internasional publik ini adalah

Permanent Court of Arbitration (PCA). PCA didirikan berdasarkan Konferensi

Perdamaian DenHaag I tahun 1899 dan Konferensi Den Haag II tahun 1907.

Kedua Konferensi tersebut menghasilkan dua konvensi yaitu: the 1899

Convention for the Pacific Settlement of International Disputes dan the 1907

Convention for the Pacific Settlement of International Disputes. Adapun

pelaksanaan konferensi tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang

mendapat manfaat perdamaian yang nyata dan abadi serta bertujuan untuk

membatasi perkembangan dari penggunaan persenjataan.29 Didirikannya PCA

memiliki tujuan sebagaimana tercantum di dalam pasal 41 the 1907 Convention

for the Pacific Settlement of International Disputes, yaitu:30

“With the object of facilitating an immediate recourse to arbitration

for international differences, which it has not been possible to settle

by diplomacy, the Contracting Powers undertake to maintain the

Permanent Court of Arbitration, as established by the First Peace

Conference, accessible at all times, and operating, unless otherwise

stipulated by the parties, in accordance with the rules of procedure

inserted in the present Convention”.

PCA berkedudukan di Gedung Peace Palace, Den Haag, Belanda.

Didirikannya badan arbitrase ini merupakan prestasi masyarakat internasional

yang luar biasa. Badan arbitrase permanen ini, pada saat itu merupakan badan

peradilan arbitrase pertama yang menyelesaikan sengketa antar negara.31 Dasar

dari kewenangan yang dimiliki oleh PCA terdapat di dalam pasal 42 the 1907

Convention for the Pacific Settlement of International Disputes yang berbunyi:

“the Permanent Court is competent for all arbitration cases, unless the parties

agree to institute a special Tribunal”.32 Pasal tersebut menyebutkan bahwa

sengketa yang diselesaikan oleh PCA adalah segala sengketa. Frasa for all

arbitration cases menunjukkan bahwa PCA masuk dalam kategori arbitrase

pengertian secara luas.

Oleh karena isu penelitian ini adalah sengketa mengenai kelautan, maka

akan dilihat juga ketentuan mengenai arbitrase di dalam Konvensi Hukum Laut

1982. Arbitrase telah lama dikenal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di

bidang laut internasional. Praktik negara dalam menyelesaikan sengketa

mengenai atau terkait dengan laut menunjukkan bahwa arbitrase telah lama

dikenal dan dimanfaatkan negara-negara untuk menyelesaikan sengketa di

28 Op.cit., hal. 40. 29 Introduction to the PCA, https://pca-cpa.org/en/about/introduction/history/,

diakses pada tanggal 21 Februari 2017. 30 Pasal 41 the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes. 31 Op.cit., hal. 46. 32 Pasal 42 the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes.

Page 11: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 32

bidang ini.33 Dimungkinkannya penyelesaian sengketa kelautan dilakukan

melalui mekanisme arbitrase terlihat di dalam pasal 279 Konvensi Hukum Laut

1982 yang berbunyi:34

“States Parties shall settle any dispute between them concerning the

interpretation or application of this Convention by peaceful means

in accordance with Article 2, paragraph 3, of the Charter of the

United Nations and, to this end, shall seek a solution by the means

indicated in Article 33, paragraph 1, of the Charter”.

Pasal tersebut secara jelas merujuk pada pasal 33 ayat (1) Piagam PBB

di dalam setiap penyelesaian sengketa antara negara pihak Konvensi Hukum

Laut 1982 dimana arbitrase merupakan salah satu pilihannya. Ketentuan

selanjutnya yang memungkinkan keterlibatan mekanisme arbitrase di dalam

menangani sengketa kelautan adalah pasal 287 ayat (1) Konvensi Hukum Laut

1982 yang menyebutkan bahwa:35

“When signing, ratifying or acceding to this Convention or at any

time thereafter, a State shall be free to choose, by means of a written

declaration, one or more of the following means for the settlement

of disputes concerning the interpretation or application of this

Convention:

a. the International Tribunal for the Law of the Sea established in

accordance with Annex VI;

b. the International Court of Justice;

c. an arbitral tribunal constituted in accordance with Annex VII;

d. a special arbitral tribunal constituted in accordance with Annex

VIII for one or more of the categories of disputes specified

therein”.

Pasal di atas dapat dijadikan pintu masuk bagi negara pihak dalam

Konvensi Hukum Laut 1982 untuk memanfaatkan mekanisme arbitrase, dalam

hal ini adalah PCA, sebagai penyelesaian sengketa mengenai interpretasi atau

penerapan Konvensi Hukum Laut 1982.

B. Yurisdiksi dalam Arbitrase Internasional

Menurut Robert Cryer yurisdiksi adalah “the power of the state to

regulate affairs pursuant to its laws. Exercising jurisdiction involves asserting a

form of sovereignty”.36Selanjutnya Oppenheim mendefinisikan yurisdiksi

sebagai: “Jurisdiction is the term that describes the limits of legal competence

of a State or other regulatory authority (such as the European Community) to

make, apply and enforce rules of conduct upon persons. It concerns essentially

33 Op.cit., hal. 8. 34 Pasal 279 Konvensi Hukum Laut 1982. 35 Pasal 287 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982. 36 Robert Cryer (et.al.), “An Introduction to International Criminal Law and

Procedure”, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 43.

Page 12: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

33 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

the extent of each State’s right to regulate conduct or the consequences of

events”.37 Sedangkan menurut Malcolm N. Shaw, yurisdiksi berarti:38

“Jurisdiction concerns the power of the state to affect people,

property and circumstances and reflects the basic principles of state

sovereignty, equality of states and non-interference in domestic

affairs. Jurisdiction is a vital and indeed central feature of state

sovereignty, for it is an exercise of authority which may alter or

create or terminate legal relationships and obligations”.

Yurisdiksi merupakan isu penting di dalam arbitrase. Dengan adanya

yurisdiksi, suatu badan arbitrase tidak dapat melaksanakan tugasnya melebihi

dari yurisdiksi yang dimilikinya. Apabila suatu badan arbitrase tidak memiliki

yurisdiksi dan tetap melanjutkan pemeriksaan sengketa dan membuat

putusannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan unutuk

melawan putusan arbitrase tersebut. Perlawanan putusan arbitrase tersebut dapat

mengakibatkan batal demi hukum. Konsekuensi hukumnya putusan itu dianggap

sejak semula tidak ada. Untuk putusan arbitrase internasional, ketidakadaan

yurisdiksi dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya putusan. Atau

suatu negara dapat menolak atau mengesampingkan putusan arbitrase

internasional.39

Yurisdiksi suatu badan arbitrase lahir dari instrumen hukum yang

melandasi lahirnya badan arbitrase itu atau instrumen hukum yang memberi

dasar hukum mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan hukumnya

untuk memutus sengketa; atau kesepakatan para pihak. Instrumen hukum baik

internasional atau nasional merupakan prasyarat utama untuk lahirnya

kewenangan hukum atau yurisdiksi arbitrase.40 Sedangkan kesepakatan para

pihak juga merupakan akar yang menentukan yurisdiksi badan arbitrase. Tujuan

dan masalah yang harus diselesaikan badan arbitrase juga ditentukan oleh para

pihak. Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama merupakan landasan

keabsahan ikatan perjanjian arbitrase.41

Dalam kasus sengketa LCS ini, PCA memiliki yurisdiksi untuk memutus

permohonan yang diajukan oleh Filipina. Hal tersebut dipertegas dalam putusan

kasus sengketa LCS pada paragraf 4 bahwa:42

“The basis for this arbitration is the 1982 United Nations

Convention on the Law of the Sea (the “Convention” or

“UNCLOS”).Both the Philippines and China are parties to the

Convention, the Philippines having ratified it on 8 May 1984, and

China on 7 June 1996. The Convention was adopted as a

37 Oppenheim, “International Law Volume 1: Peace Edited by Sir Robert Jennings and

Sir Arthur Watts”, Harlow: Longman, 1992, hal. 456. 38 Malcolm N. Shaw, “International Law Fifth Edition”, Cambridge: Cambridge

University Press, 2003, hal. 572. 39 Op.cit., hal. 140. 40 Ibid, hal. 142. 41 Op.cit., hal. 37. 42 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 4 .

Page 13: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 34

“constitution for the oceans,” in order to “settle all issues relating

to the law of the sea,” and has been ratified by 168 parties. The

Convention addresses a wide range of issues and includes as an

integral part a system for the peaceful settlement of disputes. This

system is set out in Part XV of the Convention, which provides for a

variety of dispute settlement procedures, including compulsory

arbitration in accordance with a procedure contained in Annex VII

to the Convention. It was pursuant to Part XV of, and Annex VII to,

the Convention that the Philippines commenced this arbitration

against China on 22 January 2013.”

C. Gambaran Sengketa Laut China Selatan antara Filipina dengan

Tiongkok di PCA

Secara geografis kawasan LCS dikelilingi sepuluh negara pantai

(Tiongkok dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura,

Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos,

dan dependent territory yaitu Macau. Luas perairan LCS mencakup Teluk Siam

yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin

yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan LCS merupakan perairan yang

memanjang dari barat daya ke arah timur laut. Sebelah selatan berbatasan dengan

3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, tepatnya

Selat Karimata, dan disebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan. Letak

geografis yang tidak menentu inilah yang menyebabkan beberapa negara merasa

ikut memiliki hak atas perairan dan kepulauan tersebut. Serta ditambah lagi

dengan pedoman aturan ZEE 200 mil, dimana semua negara yang berbatasan

dengan LCS memiliki batas berdasarkan ZEE yang saling tumpang tindih

sehingga menimbulkan masalah penentuan batas dan klaim wilayah.43

LCS termasuk kategori semi-enclosed sea. Menurut pasal 122 Konvensi

Hukum Laut 1982, yan dimaksud dengan semi-enclosed sea adalah:

“enclosed or semi-enclosed sea means a gulf, basin or sea

surrounded by two or more States and connected to another sea or

the ocean by a narrow outlet or consisting entirely or primarily of

the territorial seas and exclusive economic zones of two or more

coastal States”.44

Terhadap dinamika yang terjadi di LCS ada dua isu yang harus dipahami.

Isu yang pertama adalah mengenai sengketa kepemilikan pulau dimana di LCS

itu banyak karang dan pulau-pulau kecil, yang berkepentingan terhadap isu

kepemilikan pulau ini adalah Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Brunei

Darussalam. Sedangkan isu yang kedua adalah isu mengenai delimitasi batas

martim, dimana dalam isu ini yang menjadi persoalan adalah bukan pulau-

43 S.M. Noor, “Sengketa Laut Cina & Kepulauan Kuril”, Makassar: Pustaka Pena Press,

2015, hal. 201. 44 Pasal 122 Konvensi Hukum Laut 1982.

Page 14: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

35 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

pulaunya, melainkan soal batas-batasnya.45 Di antara negara-negara yang

bersengketa, hanya Filipina yang membawa sengketa LCS ke ranah hukum.

Pada tanggal 22 Januari 2013, Filipina membawa sengketa LCS ke PCA. Ada

tiga dasar materi gugatan yang diajukan oleh Filipina, yakni:46

(1) declares that the Parties’ respective rights and obligations in

regard to the waters, seabed and maritime features of the South

China Sea are governed by UNCLOS, and that China’s claims

based on its “nine dash line” are inconsistent with the

Convention and therefore invalid

(2) determines whether, under Article 121 of UNCLOS, certain of

the maritime features claimed by both China and the Philippines

are islands, low tide elevations or submerged banks, and

whether they are capable of generating entitlement to maritime

zones greater than 12 M;

(3) enables the Philippines to exercise and enjoy the rights within

and beyond its exclusive economic zone and continental shelf

that are established in the Convention.

Dari tiga dasar materi gugatan di atas, pada 12 Juli 2016 PCA

mengeluarkan putusan terkait sengketa antara Filipina dengan Tiongkok di LCS,

di antaranya adalah:

a. Tiongkok tidak memiliki hak histois di perarian LCS dan berdasarkan

Konvensi Hukum Laut 1982 konsep nine dash line dinyatakan tidak

memiliki landasan hukum

“the Tribunal concludes that, as between the Philippines and China,

China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or

jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China

Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are

contrary to the Convention and without lawful effect to the extent

that they exceed the geographic and substantive limits of China’s

maritime entitlements under the Convention. The Tribunal

concludes that the Convention superseded any historic rights or

other sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed

therein”.47

b. Tidak ada apa pun di Kepulauan Spratly yang memberikan China hak Zona

Ekonomi Ekslusif

“The Tribunal also concludes that none of the high-tide features in

the Spratly Islands are capable of sustaining human habitation or an

economic life of their own within the meaning of those terms in

Article 121(3) of the Convention. All of the high-tide features in the

45 Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan, http://www.cnnindonesia.com/

nasional/20160624092606-75-140606/indonesia-dan-china-di-pusaran-laut-china-selatan/,

diakses pada tanggal 1 Maret 2017. 46 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 28. 47The South China Sea Arbitration Award Paragraf 278.

Page 15: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 36

Spratly Islands are therefore legally rocks for purposes of Article

121(3) and do not generate entitlements to an exclusive economic

zone or continental shelf. There is, accordingly, no possible

entitlement by China to any maritime zone in the area of either

Mischief Reef or Second Thomas Shoal”.48

c. Tiongkok telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk

menangkap ikan, terutama di Scarborough Shoal

“the Tribunal finds that China has, through the operation of its

official vessels at Scarborough Shoal from May 2012 onwards,

unlawfully prevented Filipino fishermen from engaging in

traditional fishing at Scarborough Shoal. The Tribunal records that

this decision is entirely without prejudice to the question of

sovereignty over Scarborough Shoal”.49

d. Eksplorasi minyak Tiongkok di dekat Reed Bank melanggar kedaulatan

Filipina

“the Tribunal finds that China has, through the operation of its

marine surveillance vessels with respect to M/V Veritas Voyager on

1 to 2 March 2011 breached Article 77 of the Convention with

respect to the Philippines’ sovereign rights over the non-living

resources of its continental shelf in the area of Reed Bank”.50

e. Tiongkok merusak ekosistem di Kepulauan Spratly dengan aktivitas seperti

penangkapan ikan berlebihan dan menciptakan pulau buatan

“the Tribunal finds that China has, through its toleration and

protection of, and failure to prevent Chinese fishing vessels

engaging in harmful harvesting activities of endangered species at

Scarborough Shoal, Second Thomas Shoal and other features in the

Spratly Islands, breached Articles 192 and 194(5) of the

Convention”.51

f. Tindakan Tiongkok telah memperburuk konflik dengan Filipina

“the Tribunal finds that China has in the course of these proceedings

aggravated and extended the disputes between the Parties through

its dredging, artificial island-building, and construction activities.

In particular, while these proceedings were ongoing:

• China has aggravated the Parties’ dispute concerning their

respective rights and entitlements in the area of Mischief Reef by

building a large artificial island on a low-tide elevation located

in the exclusive economic zone of the Philippines.

48 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 646. 49 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 814. 50 The South China Sea Arbitration Award Paragraf 716. 51The South China Sea Arbitration Award Paragraf 992.

Page 16: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

37 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

• China has aggravated the Parties’ dispute concerning the

protection and preservation of the marine environment at

Mischief Reef by inflicting permanent, irreparable harm to the

coral reef habitat of that feature.

• China has extended the Parties’ dispute concerning the

protection and preservation of the marine environment by

commencing large-scale island-building and construction works

at Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North),

Johnson Reef, Hughes Reef, and Subi Reef.

• China has aggravated the Parties’ dispute concerning the status

of maritime features in the Spratly Islands and their capacity to

generate entitlements to maritime zones by permanently

destroying evidence of the natural condition of Mischief Reef,

Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North), Johnson

Reef, Hughes Reef, and Subi Reef”.52

D. Implikasi Hukum Putusan PCA dalam Sengketa LCS terhadap Para

Pihak maupun Negara yang Berkepentingan terhadap Kawasan

LCS

Dalam hukum internasional dikenal beberapa sumber hukum yang dapat

dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah

Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur

tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional

dan sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum

internasional. Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-

bahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan

suatu hukum yang berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.53

Adapun sumber hukum internasional yang dimaksud di dalam pasal 38

ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut:54

“The Court, whose function is to decide in accordance with

international law such disputes as are submitted to it, shall apply:

a. International conventions, whether general or particular,

establishing rules expressly recognized by the contesting states;

b. International custom, as evidence of a general practice accepted

as law;

c. The general principles of law recognized by civilized nations;

d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the

teachings of the most highly qualified publicists of the various

nations, as subsidiary means for the determination of rules of

law.

52The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1181. 53 J.G. Starke, “Introduction to International Law”, London: Butterworth & Co., 1989,

hal. 292. 54 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1).

Page 17: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 38

Salah satu sumber hukum yang erat dengan artikel ini adalah putusan

badan peradilan. Putusan badan peradilan dapat dikemukakan untuk

membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan

yang didasarkan atas perjanjian internasional, hukum kebiasaan, dan prinsip

hukum umum.55 Putusan badan-badan peradilan mencakup seluruh putusan

badan peradilan. Jadi tidak hanya terbatas pada putusan-putusan badan peradilan

internasional saja seperti putusan Mahkamah Internasional, putusan badan-

badan arbitrase internasional maupun putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia

dan putusan badan-badan peradilan internasional yang lainya, melainkan

termasuk pula di dalamnya, putusan badan-badan peradilan nasional negara-

negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional

lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.56

Terhadap putusan badan peradilan internasional, ditegaskan di dalam

pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional bahwa: “The decision of the Court has

no binding force except between the parties and in respect of that particular

case”.57 Meskipun putusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan

mengikat bagi para pihak yang berperkara, namun seringkali nilai hukum yang

dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum.

Putusan badan peradilan internasional juga ada yang merupakan pengukuhan

atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa, dan semangat yang terkadung di

dalam putusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada

pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Sehingga putusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi

para pihak yang berperkara saja, seiring dengan perkembangan zaman menjadi

norma hukum internasional yang berlaku umum.58

Oleh karena putusan badan arbitrase internasional termasuk ke dalam

golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA juga merupakan suatu

sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional khususnya

bagi negara yang berperkara. Khusus dalam sengketa LCS ini, PCA

menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 di dalam menangani sengketa ini.

Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII

Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi: “The award shall be final and

without appeal, unless the parties to the dispute have agreed in advance to an

appellate procedure. It shall be complied with by the parties to the dispute”.59

Di dalam pasal tersebut terdapat frasa final and without appeal yang berarti

bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan

kembali. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan arbitrase

yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase. Selanjutnya dari pasal tersebut

juga dapat dikatakan bahwa kedua pihak baik Filipina maupun Tiongkok wajib

untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan mematuhi Konvensi Hukum

55 T. May Rudy, “Hukum Internasional 1”, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 6. 56 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung: Mandar Maju,

2003, hlm. 286. 57 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 59. 58op.cit., hal. 287. 59 Pasal 11 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982.

Page 18: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

39 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Laut 1982 dan putusan dari PCA dalam sengketa LCS dengan itikad baik.

Terlebih kedua negara baik Filipina maupun Tiongkok merupakan negara pihak

dari Konvensi Hukum Laut 1982.

Prinsip itikad baik berarti bahwa para pihak harus melaksanakan

ketentuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan tujuan perjanjian itu

sendiri, menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing

pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan atau kewajiban dan

tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha

mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum berlaku atau

ketika para pihak dalam proses penantian akan multi berlakunya perjanjian atau

juga setelah perjanjian berlaku.60

Khusus bagi Tiongkok yang secara konsisten menolak untuk mengakui

putusan PCA tersebut maka hal tersebut dapat dibantah dengan pasal 9 Lampiran

VII Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa:61

“If one of the parties to the dispute does not appear before the

arbitral tribunal or fails to defend its case, the other party may

request the tribunal to continue the proceedings and to make its

award. Absence of a party or failure of a party to defend its case

shall not constitute a bar to the proceedings. Before making its

award, the arbitral tribunal must satisfy itself not only that it has

jurisdiction over the dispute but also that the claim is well founded

in fact and law”.

Dari pasal di atas telah jelas bahwa ketidakhadiran salah satu pihak tidak

menghalangi proses dari arbitrase tersebut asalkan arbitrase yang bersangkutan

memiliki yurisdiksi untuk memeriksa sengketa. Dalam hal ini, PCA memiliki

yurisdiksi untuk memeriksa sengketa LCS.

Suatu negara baik yang sedang bersengketa ataukah tidak memiliki

kewajiban untuk taat kepada hukum internasional. Untuk menumbuhkan

ketaatan negara pada hukum internasional, terdapat dua alternatif yang diberikan

oleh Chayes. Pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan banyak

sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi unilateral.

Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa

penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat

menimbulkan masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan.

Alternatif kedua yang ditawarkan Chayes adalah management model, dimana

ketaatan tidak dipacu olehberbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui model

kerjasama dalam ketaatan, yaitu melalui proses interaksi dalam justification,

discourse and persuasion. Kedaulatan tidak lagi bisa ditafsirkan bebas dari

intervensi eksternal, akan tetapi menjadi sebuah kebebasan untuk melakukant

hubungan internasional sebagai masyarakat internasional. Dengan demikian

kedaulatan yang baru ini tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi

pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsa-

60 Sefriani (1), Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional

Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016, hlm. 84. 61 Pasal 9 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982.

Page 19: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 40

bangsa. Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan

sanksi tetapi lebih pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya

reputasi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik.62

Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan

suatu kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut mengurangi

kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal

mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran seperti ini

dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt

servanda dalam hukum internasional.63

Oleh karena itu terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka

Tiongkok harus menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber

hukum internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka

masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan

kedamaian. Sebaliknya apabila Tiongkok tetap konsisten untuk menolak

mematuhi putusan PCA dan terus melakukan agresivitas di kawasan LCS maka

akan terjadi instabilitas kawasan yang bisa saja berujung pada konflik terbuka.

Pematuhan terkait dengan penyelesaian sengketa juga menjadi salah satu

poin putusan yang dikemukakan pihak PCA, bahwa:64

“The Tribunal considers it beyond dispute that both Parties are

obliged to comply with the Convention, including its provisions

regarding the resolution of disputes, and to respect the rights and

freedoms of other States under the Convention. Neither Party

contests this, and the Tribunal is therefore not persuaded that it is

necessary or appropriate for it to make any further declaration”.

Putusan PCA memang bersifat final and binding, akan tetapi di dalam

Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 tidak ada ketentuan mengenai

pelaksanaan putusan, dalam kata lain PCA tidak memiliki kekuatan untuk

melakukan pemaksaan sehingga akhirnya kembali lagi ke itikad baik para pihak

untuk melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu terkait dengan penegakan

hukum maka banyak bergantung pada Filipina, apa sekarang siap untuk tegas

terhadap Tiongkok didasarkan pada tanggapan Tiongkok yang menolak hasil

putusan PCA.

Terhadap implikasinya dengan negara-negara yang berkepentingan di

sekitar kawasan LCS, putusan PCA terkait sengketa LCS merupakan klarifikasi

atau interpretasi PCA terhadap Konvensi Hukum Laut 1982 sehingga dapat

menjadi sumber hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara.

Intrepetasi ini sebenarnya dapat memudahkan para pihak yang bersengketa di

LCS untuk merundingkan klaim mereka masing-masing.65

62 Sefriani (2), “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional

dalam Perspekti Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18(Juli 2011), hal. 417. 63 Huala Adolf , “Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Bandung: Keni

Media, 2011, hal. 219. 64The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1201. 65 Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China

Selatan”,http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-152034/mengingat-

putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses pada tanggal 1 Maret 2017.

Page 20: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

41 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Interpretasi PCA mengenai nine dash line yang tidak memiliki dasar dan

bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982 bisa digunakan oleh negara-

negara di sekitar kawasan LCS apabila Tiongkok kembali melanggar kedaulatan

negara lain. Putusan PCA tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah

argumen Tiongkok.

PCA juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh

Tiongkok yang mampu menghasilkan apa yang disebut ZEE yang memberikan

negara hak berdaulat untuk sumber daya, seperti perikanan, minyak, dan gas

dalam 200 mil laut. Dampaknya, negara-negara di kawasan LCS dapat

mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut. Putusan

ini juga akan berguna dan dirujuk oleh negara-negara dalam praktiknya maupun

oleh putusan lembaga ajudikasi di masa mendatang.

Negara-negara di sekitar kawasan LCS harus bisa secara konsisten

mendukung pentingnya penegakan hukum dan penggunaan cara damai, bukan

kekerasan, dalam mencari penyelesaian perselisihan maritim. Karena sifat

putusan yang final dan mengikat, masyarakat interansional dapat mendorong

Filipina dan Tiongkok untuk mematuhi putusan PCA itu.

III. PENUTUP

Suatu putusan pengadilan internasional merupakan salah satu sumber

hukum internasional yang tentunya harus dipatuhi dan dihormati oleh

masyarakat internasional khususnya negara sebagai subjek hukum internasional.

Penghormatan dan pematuhan terhadap hukum internasional akan meweujudkan

ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian internasional. Hal tersebut

tidak terkecuali di dalam sengketa Laut China Selatan (LCS) antara Filipina

dengan Tiongkok. Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai lembaga yang

menangani sengketa telah mengeluarkan putusan. Sifat putusan yang bersifat

final and binding tentunya harus dihormati dan dipatuhi para pihak yang

bersengketa. Putusan terkait sengketa LCS ini juga berdampak bagi negara-

negara di sekitar kawasan dikarenakan PCA menginterpretasikan ketentuan

Konvensi Hukum Laut 1982 yang diajukan oleh Filipina. Dampak yang

dirasakan adalah dapat memperlemah argumen Tiongkok mengenai nine dash

line dan dapat digunakan negara sekitar kawasan LCS untuk mengatur ulang

mengenai klaim maritimnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Born, Gary B. International Commercial Arbitration Commentary and Material,

The Hague: Kluwer Law International, 2001.

Cryer, Robert (et.al.). An Introduction To International Criminal Law And

Procedure, Cambridge: Cambridge University Press, 2010.

Page 21: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 42

Davina Oktivana, “Sengketa Kepemilikan Pulau Dokdo/Takeshima dalam

Perspektif Hukum Internasional”, dalam Idris (ed), Peran Hukum Dalam

Pembangunan Di Indonesia Kenyataan, Harapan, dan

Tantangan,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di

Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2014.

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional,Bandung: Keni

Media, 2011.

------------------, Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase, Bandung: Keni

Media, 2014.

------------------, Hukum Penyeleseaian Sengketa Internasional,Jakarta: Sinar

Grafika 2014.

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional,Bandung: Mandar Maju,

2003.

Mahan, A.T., The Influence Of Sea Power Upon History 1660-1783,Boston:

Little, Brown And Company, 1890.

Merrills, J.G. International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge

University Press, 2011.

Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut Tiongkok Selatan Dan Implikasinya

Terhadap Kawasan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi, 2013.

Oppenheim, International Law Volume 1: Peace Edited by Sir Robert Jennings

and Sir ArthurWatts,Harlow: Longman, 1992.

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

Suatu Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.

Sefriani, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional

Kontemporer,Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.

Shaw, Malcolm N. International Law Fifth Edition, Cambridge: Cambridge

University Press, 2003.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006.

Starke, J.G., Introduction to International Law, London: Butterworth & Co.,

1989.

Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan

Hukumnya,Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

S.M. Noor, Sengketa Laut Cina & Kepulauan Kuril, Makassar: Pustaka Pena

Press, 2015.

T. May Rudy, Hukum Internasional 1,Bandung: Refika Aditama, 2010.

Jurnal/Artikel/Makalah

Gao, Zhiguo dan Bing Bing Jia, “The Nine-Dash Line In The South China Sea:

History, Status, And Implications”, American Journal of International

Law, 107 Am. J. Int'l L. 98, Januari 2013.

Page 22: PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI

43 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Quintos, Mary Fides A., “Artificial Islands in the South Tiongkok Sea and their

Impact on Regional Insecurity”, Center For International Relations &

Strategic Studies, Vol. II No. 2, Maret, 2015.

Sefriani, “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional

dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18, Juli,

2011.

Instrumen Hukum Internasional

Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (Charter of the United Nations).

Statuta Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice).

the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes.

Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea).

Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations

and Cooperation among States in accordance with the Charter of the

United Nations.

Putusan Badan Peradilan

The South China Sea Arbitration Award.

Website/Internet

Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok

Selatan, http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/

beijing.tolak.keputusan.mahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.s

elatan, diakses pada tanggal 19 November 2016.

Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China

Selatan”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-

152034/mengingat-putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses

pada tanggal 1 Maret 2017.

Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by

Spokesperson of US State Department on South China Sea Arbitration

Ruling, http://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/t1380409.htm,

diakses pada tanggal 19 November 2016.

Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan,

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160624092606-75-140606/

indonesia-dan-china-di-pusaran-laut-china-selatan/, diakses pada

tanggal 1 Maret 2017.

Introduction to the PCA, https://pca-cpa.org/en/about/introduction/history/,

diakses pada tanggal 21 Februari 2017

Why the South China Sea is so crucial, http://www.businessinsider.co.id/why-

the-south-china-sea-is-so-crucial-2015-2/?r=US&IR=T#vDHPAcip2

MDEl5Sj.97, diakses pada tanggal 15 November 2016.