puisi

9
1 Pematang Sawah Joko Dwiatmoko Rumput liar tumbuh di antara pematang sawah. Sisa lumpur pagi masih memberi rasa dingin di ujung kaki. licin, geli terasa menyusur pori-pori telapak kaki.. Ketika pematang telah liar biang-biang rumputnya dan padi menggunung di seluruh tebingnya saat itu petani mulai menghela hari, mengurai tanah, menata dengan lajur-lajur yang teratur. Itulah perjuangan setengah mati setengah hidup sampai panen tiba. Rumpun hijau adalah nyawa dari sebuah desa agraris jauh melebihi sihir mal yang meranggas di kota- kota besar. Hawa desa adalah senyawa yang mampu menghadirkan sensasi yang membawa otak manusia sejenak istirahat dari nafsu merampok dan menjarah harta sesama. Merapatlah. Dedaunan yang bergoyang ke kiri dan ke kanan akan memainkan irama melebihi lagu bethooven Simpony 9 (Scherzo). Sebutlah Palaran pada musik diatonis. Rumput dan

Upload: jessica-angelina

Post on 26-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ytytytyt

TRANSCRIPT

Pematang Sawah

1

Pematang Sawah

Joko Dwiatmoko

Rumput liar tumbuh di antara pematang sawah. Sisa lumpur pagi masih memberi rasa dingin di ujung kaki. licin, geli terasa menyusur pori-pori telapak kaki.. Ketika pematang telah liar biang-biang rumputnya dan padi menggunung di seluruh tebingnya saat itu petani mulai menghela hari, mengurai tanah, menata dengan lajur-lajur yang teratur. Itulah perjuangan setengah mati setengah hidup sampai panen tiba.Rumpun hijau adalah nyawa dari sebuah desa agraris jauh melebihi sihir mal yang meranggas di kota- kota besar. Hawa desa adalah senyawa yang mampu menghadirkan sensasi yang membawa otak manusia sejenak istirahat dari nafsu merampok dan menjarah harta sesama. Merapatlah. Dedaunan yang bergoyang ke kiri dan ke kanan akan memainkan irama melebihi lagu bethooven Simpony 9 (Scherzo). Sebutlah Palaran pada musik diatonis. Rumput dan angin yang bermesraan terus mendaraskan birama yang mendayu sekaligus melankoli. Silahkan berimajinasi, silahkan meditasi, aku akan membawamu menyusuri jagad yang belum kau sentuh sebelumnya. Dunia yang akan merentangkan warna-warna pelangi hidup. Jika kau tengah rindu untuk dicinta sentuhlah dengan lembut ketiak padi yang setengah menguning dan sedang merayakan keremajaannya siap menyambut bulir padi yang berimpitan di pucuk batang . Bila tengah gulana goreslah ujung jarimu bawa bulu-bulu lembut punggung daunku untuk merangsang ranah refleksimu, maka kau akan tersenyum geli, menggelinjang dalam penyadaran akan rahasia tubuh yang selalu rindu untuk disentuh dan dibelai.Pernahkah kau lihat lukisan tentang pematang sawah. Lihat garis - garis yang mengurai keteraturan akan garis kehidupan. Dari dekat garis yang memanjang akan bersentuhan dengan tingkatan garis yang memendek di atasnya sampai perspektif gambarnya memburai warna untuk dikaburkan dan garis semakin dirapatkan. Alur itu adalah birama dan disitulah makna kehidupanmu akan menemu. Jagat besarmu akan terserap pada saat kau tengah terpatri pada keindahan misteri hidup akan berpendaran selanjutnya kedewasaanmulah yang membawamu untuk merasakan betapa kuasanya Tuhan atas ciptaan Nya.Kutunggu kau di sungai mari menyusur di tebing-tebingnya. Lihat dan telisik suara-suara yang beradu memainkan patet yang sering menjadi inspirasi seniman untuk menggubah tembang-tembang yang mampu menyihir pendengar untuk merasakan keindahan komposisi titi nadanya. Kercik air adalah sebuah hukum alam. Air akan mencari sangkan paraning dumadi, mencari kesejatian. Dari keheningannya akan menimbulkan daya bila alur hidup yang semestinya sudah tersurat, dipaksa berbelok kemudian tersimpan sementara lama daya dobraknya mampu meruntuhkan jagad kepongahan.Cobalah susuri kali di tengah-tengahnya rasakan pijitan pucuk kerikil yang mampu menyentuhi seluruh peredaran tubuhmu yang tersumbat. Biarkan kesakitan menjalar hingga kau hanya merasakan kenikmatan dari gerigil-gerigil bebatuan karang atau sesekali kulit kakimu tersentuh lumpur pasir yang terbawa arus.

Kembali ke pematang sawah. Di galur pematang kira-kira sedepa dengan bukit gembur tegalan melompatlah sejenak dan pandang matamu nanar sepelemparan batu. Pada matamu kau akan mengerti bahwa terlalu sayang menghindari perasaan cintamu padaku. Kau pasti akan kembali dan merajut mimpi mimpi.

Ya aku akan kembali seperempat abad lagi, akan kuwujudkan mimpi untuk mencoba bersetubuh denganmu pucuk- pucuk padi. Hidupku akan kupasrahkan untuk kau belai lembut dan kau bukakan jalur-jalur darahku yang mampat. Akan ku bawa segepok uang untuk membangun alur yang lebih indah dari yang sekarang ini kuinjaki. Aku janji akan menyiangimu pagi sampai petang sampai warna jingga kemerahan muncul di ujung cakrawala barat. Matahari akan kuantar sampai balik bukit dimana pandanganku menemu titik terjauh dan siluet gegunungan menyembunyikan cahaya berganti kelam.***Aku datang kekasihku, aku datang membawa janji atas kesadaranku bahwa nafas kehidupan lebih terasa bila angin lembut membelai pori-pori tubuhku. Dan punggungmu yang berbulu telah mengembalikan keperkasaanku untuk melawan penyakit yang membebat tubuhku. Aku lebih tersentuh dan akan selalu terharu mendengar pucuk dedaunan menari di terpa angin sepoi-sepoi. Tak perlu banyak mengeluarkan uang hanya untuk berendam air tujuh rupa, tak perlu datang ke spa hanya untuk sekedar merasakan pijatan lembut nona cantik mengeja tubuhku yang tercacah kelelahan oleh kesibukan kota besar.Biarkan api cemburu merayap di ujung kepala istriku. Aku tak peduli bila istriku akan sangat murka sebab aku telah mencoba mengkianati cintanya dan berselingkuh dengan alam. Apa peduliku sebab semuanya akan kupersembahkan lagi kepada cintaku dan suatu saat istriku akan lebih menyayangi Namun sekarang, perselingkuhan harus tetap berlangsung karena aku telah berjanji untuk datang menemuimu kekasihku. Jika aku datang ku yakin kau akan menatapku dengan penuh kerinduan. Telah seperempat abad berlalu dan aku telah menemu kehidupan baru sebagai pekerja di kota Jakarta. Terik matahari yang membakar gelaran gedung-gedung tinggi yang berderet pernah kusinggahi. Ya sempurna. Tapi seperti telah menjadi takdirku bahwa gemerlap kota besar bukanlah impianku untuk merenda hari, aku tetaplah harus pulang dan mengurai benang kasih dengan alam yang membawaku pada penyadaran akan Yang Khalik. Kukatakan kekaguman pada - Nya dengan harapan, berkat keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaiku.Ah, semakin dekat semakin salah tingkahlah aku, seperti debu yang bertebaran di jalanan terasa kecil artinya bagi pekerja seperti aku. Sedang kutata hatiku,kutata jiwaku. Barangkali dengan terhenyak dia akan terkagum bahwa aku telah beda, menjadi lebih tampan dan menarik. Waduh kayalku mulai kumat aku sudah tak sanggup lagi menyembunyikan diri.Satu dua kilo darimu aku sudah membayangkan kicau burung sriti dan emprit akan selalu mengingatkan bahwa kebebasan bergerak itu wajib hukumnya.Sudah tak sabar aku untuk merasakan bagaimana lumpur kecoklatan berlelehan di seputar telapak kaki sampai betis. Pematang yang hanya satu setengah depa memanjang berkelok mengikuti alur bukit, di kiri kanannya benar-benar wuiihh.Secara tak sengaja aku berhenti untuk melepaskan lelah. Capai seharian ada di belakang kemudi. Aku keluar mencari tempat berlindung. Benar-benar sudah kebelet pingin buang air kecil. Ada pohon cukup besar, buru-buru aku berdiri di sudut sebelah dalam pohon sehingga orang tak bisa melihatku lagi. Ehm lega. Aku kembali ke mobil. Iseng-iseng aku melihat sesobek Koran di bawah mobilku, . Koran daerah tampaknya. Terpaku sejenak menyaksikan deretan tulisan yang sudah kumal. Mata ini coba kulebarkan, ah yang benar. Kembali ku baca deretan tulisannya yang hanya beberapa kolom. Masak belum pernah dengar peristiwa itu. Bukankah sudah ada televisi, koran, tapi apa aku yang tak mengikuti atau. Ah, ya dua bulan aku di luar kota, tak pernah buka Koran dan tak pernah melihat televisi. Istriku pasti tahu tapi pasti tak ngeh bahwa aku sangat punya hubungan emosional dengan berita yang barusan ku baca ini.Dengan gamang ku parkir mobilku. Tak berani menatap jauh ke bukit dan pesawahan yang menagih janji untuk kembali. Lantak, yang kulihat hanyalah jurang yang menganga dan pohon-pohon yang bertumbangan, kesiur angin yang menerpakupun seperti berbisik, tamat sudah kenanganmu, kekasihku. Terlambat kau datang. Seperempat abad berlalu waktu yang cukup lama untuk mengaduk-aduk dan membabat pohon-pohon perdu di atasku. Ketika akar-akar telah meranggas dan sekarat bukitku tak bisa menahan air yang menderas sepanjang musim. Longsor membawa bencana dan penderitaan petani yang hanya menggantungkan hidup dari sepanjang jalur pematang sawah dari utara ke selatan pada lingkar bukit ini. Sumpah kukutuki manusia yang berani mengaduk-aduk hutan ini. Upsh. Aku baru sadar kayu-kayu yang menumpuk di pabrik tempatku bekerja adalah kayu yang didapat dari penebangan hutan di sekitar pulau jawa. Salah satunya adalah hasil pembabatan hutan Rejosari, tepat di atas pematang sawah Margorejo desaku. Tapi mengapa aku sampai tidak tahu?Tamat sudah perselingkuhanku, aku tak mungkin lagi datang hanya untuk menginjak tanah, yang secara tak langsung telah kurusak sendiri.Maafkan aku. Aku malu menengok, takut kau akan melemparku pada penyesalan yang tak termaafkan.Jakarta, 19 Mei 2006.

Nama saya Joko Dwiatmoko lahir dan dibesarkan di kampung yang penuh sawah dan rumpun hijau. Dengan keelokan alam wajar bila ada selalu kerinduan untuk mengurai lagi sebentuk memori tentang tanah kelahiran. Aku mencoba berfantasi dan menggarap keterbatasan imajinasiku menjadi sebuah cerpen. Harapanku cerpen ini mampu di nikmati pembaca.Cukup lama aku mencintai dunia tulis-menulis namun keberanian mempublikasikan adalah hal yang mesti aku perjuangkan.