polio miel it is

54
POLIOMIELITIS DEFINISI Poliomielitis merupakan penyakit virus dengan penularan cepat dan mengenai sel anterior masa kelabu medulla spinalis dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakkan tersebut terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Terdapat banyak terminologi untuk poliomyelitis, antara lain : Poliomielitis Anterior Akuta, Infantile Paralysis, Penyakit Heine dan Medin. Poliomielitis terutama menyerang pada anak di bawah 5 tahun. Pencegahan penyakit ini sangat penting, oleh karena belum ada obat yang efektif terhadap penyakit ini. Namun, akhir-akhir ini dengan begitu agresifnya program vaksinasi di seluruh dunia, tampak bahwa insiden penyakit ini sudah menurun dengan sangat drastis, bahkan 10 tahun terkhir ini sangat jarang dijumpai terutama di Indonesia. EPIDEMIOLOGI POLIOMIELITIS Selama 3 dekade pertama di abad ke 20-,80-90% penderita polio adalah anak balita,kebanyakan dibawah umur 2 tahun. Tahun 1955,di Massachusett Amerika Serikat pernah terjadi wabah polio sebanyak 2.771 kasus dan tahun 1959 menurun menjadi 139 kasus.Hasil penelitian WHO tahun 1972-1982,di Afrika dan Asia Tenggara terdapat 4.214 dan

Upload: andrian-dama

Post on 12-Jan-2016

232 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sad

TRANSCRIPT

POLIOMIELITIS

DEFINISI

Poliomielitis merupakan penyakit virus dengan penularan cepat dan mengenai

sel anterior masa kelabu medulla spinalis dan inti motorik batang otak dan akibat

kerusakkan  tersebut terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.

Terdapat banyak terminologi untuk poliomyelitis, antara lain : Poliomielitis

Anterior Akuta, Infantile Paralysis, Penyakit Heine dan Medin.

Poliomielitis terutama menyerang pada anak di bawah 5 tahun. Pencegahan

penyakit ini sangat penting, oleh karena belum ada obat yang efektif terhadap

penyakit ini. Namun, akhir-akhir ini dengan begitu agresifnya program vaksinasi di

seluruh dunia, tampak bahwa insiden penyakit ini sudah menurun dengan sangat

drastis, bahkan 10 tahun terkhir ini sangat jarang dijumpai terutama di Indonesia.

EPIDEMIOLOGI POLIOMIELITIS

    Selama 3 dekade pertama di abad ke 20-,80-90% penderita polio adalah anak

balita,kebanyakan dibawah umur 2 tahun. Tahun 1955,di Massachusett Amerika

Serikat pernah terjadi wabah polio sebanyak 2.771 kasus dan tahun 1959 menurun

menjadi 139 kasus.Hasil penelitian WHO tahun 1972-1982,di Afrika dan Asia

Tenggara terdapat 4.214 dan 17.785 kasus. Dinegara musim dingin,sering terjadi

epidemic dibulan Mei-Oktober,tetapi kasus sporadic tetap terjadi setiap saat .Di

Indonesia ,sebelum perang dunia II, penyakit polio merupakan penyakit yang

sporadic-endemis,epidemi pernah terjadi di berbagai daerah seperti Bliton sampai ke

banda, Balikpapan,bandung Surabaya,Semarang dan Medan Epidemi terakhir terjadi

pada tahun 1976/1977 di Bali Selatan. Kebanyakan infeksi virus polio tanpa gejala

atau timbul panas yang tidak spesifik.Perbandingan asimtomatik dan ringan

sampaiterjadi paralisis adalah 100:1 dan 1000:1.

1.8 CARA PENULARAN

Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi poliovirus. Penularan dapat terjadi

secara langsung dan tidak langsung. Transmisi langsung melalui droplet dari

orofaring serta fecal-oral. Feses penderita yang menyebar melalui jari yang

terkontaminasi pada peralatan makan, makanan dan minuman. Sedangkan penularan

dengan tidak langsung melalui sumber air, air mandi di mana virus berada dalam air

buangan masuk ke sumber-sumber air tersebut dikarenakan sanitasi yang rendah.

Infeksi poliovirus biasanya meningkat pada musim panas pada daerah yang beriklim

sedang. Namun tidak ada pola khusus pada daerah beriklim tropis.

ETIOLOGI POLIOMIELITIS

Penyebab polio adalah poliovirus. Virus polio merupakan RNA virus dan

termasuk famili Picornavirus dari genus Enterovirus. Virus polio adalah virus kecil

dengan diameter 20-32 nm, berbentuk spheris dengan struktur utamanya RNA yang

terdiri dari 7.433 nukleotida, tahan pada pH 3-10, sehingga dapat tahan terhadap

asam lambung dan empedu. Virus tidak akan rusak dalam beberapa hari pada

temperatur 20 – 80 C, tahan terhadap gliserol, eter, fenol 1% dan bermacam-macam

detergen, tetapi mati pada suhu 500 – 550 C selama 30 menit, bahan oksidator,

formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Selain itu, penyakit ini mudah berjangkit di

lingkungan dengan sanitasi yang buruk, melalui peralatan makan, bahkan melalui

ludah.

Klasifikasi Poliomielitis

Poliomielitis asimtomatis

(Setelah masa inkubasi 7-10 hari), tidak terdapat gejala karena daya tahan

tubuh maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.

Poliomielitis abortif

Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala

berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala,

nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.

• Poliomielitis non paralitik

Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala,

nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini berlangsung 2-10 hari kadang-

kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau

masuk kedalam fase ke2 dengan nyeri otot.

• Poliomielitis paralitik

Gejala sama pada poliomielitis non paralitik disertai kelemahan satu atau

lebih kumpulan otot skelet atau cranial.

KLASIFIKASI POLIOMIELITIS PARALITIK

Bentuk spinal

Gejala kelemahan / paralysis atau paresis otot leher,abdomen, tubuh,

diafragma, thorak dan terbanyak ekstremitas.

Bentuk bulbar

Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak denganatau tanpa

gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.

Bentuk bulbospinal

Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.kadang

ensepalitik dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan

kadang kejang.

GEJALA KLINIS POLIOMIELITIS

Berdasarkan stadiumnya

Pada stadium akut (sejak adanya gejara krinis hingga 2 minggu)

Ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dari 10 hari, kadang

disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari

permulaan sakit. Kelumpuhan ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel-sel motor

neuron di Medula spinalis tulang belakang) yang disebabkan karena invasi virus.

Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan deformitas

(gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat.

Sebagian terbesar kelumpuhan akan mengenai tungkai (78,6 persen), sedangkan 41,4

persen akan mengenai lengan. Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap dan memakan

waktu 2 hari s/d 2 bulan).

Pada stadium sub-akut (2 minggu s/d 2 bulan)

Ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak

terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan

anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi.

Stadium Konvalescent (2 bulan s/d 2 tahun)

Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang lemah. sekitar 50-70 persen dari fungsi

otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun

diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. stadium kronik atau lebih 2

tahun dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai

tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat perrnanen.

FAKTOR RISIKO TERJADINYA POLIO

• Belum mendapatkan imunisasi polio

• Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

• Kehamilan

• Usia sangat lanjut atau sangat muda

• Luka di mulut/hidung/tenggorokan (misalnya baru menjalani pengangkatan

amandel atau pencabutan gigi)

• Stres atau kelelahan fisik yang luar biasa (karena stres emosi dan fisik dapat

melemahkan sistem kekebalan tubuh).

PATOFISIOLOGI

Virus masuk melalui saluran cerna. Setelah masuk, virus akan bereplikasi

(memperbanyak diri). Biasanya penularannya melewati feses, misalnya feses yang

mengandung virus polio mencemari sumber air minum warga kemudian air yang

dikonsumsi oleh manusia tersebut membawa virus polio dan sampai ketubuh

manusia. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tipe sel dan tempat spesifik

yang digunakan virus ini untuk bereplikasi pertama kalinya. Hanya saja, virus ini

dapat diisolasi dari jaringan limfe di saluran cerna, sehingga diduga tempat replikasi

pertama virus tersebut adalah di jaringan limfe saluran cerna terutama plaque peyeri

dan tonsil. Meskipun begitu, tidak jelas apakah virus polio memang bereplikasi di

tempat tersebut atau “hanya terserap” oleh jaringan limfe setelah bereplikasi di sel

epitel saluran cerna. Fase ini berlangsung 3-10 hari, dapat sampai 3 minggu. Virus

polio pada fase ini dapat ditemukan di ludah dan feses, dan berperan dalam proses

penularan

Setelah memperbanyak diri di jaringan limfe saluran cerna, virus polio akan

menyebar melalui darah (viremia) untuk menuju sistem retikuloendotelial lainnya,

termasuk diantaranya nodus limfe, sumsum tulang, hati, dan limpa, dan mungkin ke

tempat lainnya seperti jaringan lemak coklat dan otot

Replikasi poliovirus pada sistem motorik di kornu anterior dan batang otak

menghasilkan destruksi sel dan menyebabkan timbulnya gejala tipikal dari

poliomyelitis.

Mekanisme virus polio menginfeksi sistem saraf pusat masih belum diketahui

secara pasti. Ada 3 hipotesis, yang pertama, virus polio menginfeksi sistem syaraf

pusat melalui transport axon (sel saraf panjang yang menghantarkan signal syaraf)

dengan arah yang berlawanan (signal saraf bergerak dari sistem syaraf pusat ke otot,

virus bergerak dari otot ke sistem saraf pusat). Hipotesis kedua adalah virus

menembus sawar darah otak, independen dari keberadaan reseptor seluler untuk virus

polio (CD155). Dan hipotesis ketiga, virus polio diimpor ke sistem syaraf pusat

melalui sel makrofag. Sampai saat ini, mayoritas bukti ilmiah mendukung hipotesis

yang pertama

Patologi

Gamabaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada sistem

retikuloendotelial (sistem yang berhubungan dengan sel fagotik untuk

mempertahankan imunitas), terutama jaringan limfe. Kerusakan terjadi pada sel

motor neuron karena virus ini sangat neurotropik (merusak ssp), tetapi tidak

menyerang neuroglia (penopang struktural & nutrisional bagi neuron), myelin, atau

pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi.

Kerusakan pada medulla spinalis terutama anterior horn cell (sel kornu anterior).

Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen

Pada Poliomielitis, lesi neuron terjadi pada :

Medulla spinalis ( terutama sel kornu-anterior dan kornu intermedius dan

dorsalis serta ganglia radiks dorsalis );

Batang otak (nukleus vestibuler, nukeus saraf cranial, dan formasi retikularis,

yang berisi pusat-pusat vital);

Serebellum ( hanya nukleus pada atap dan vermis );

Substansia abu-abu tetapi juga substansia nigra dan kadang-kadang nukleus

merah);

Talamus dan hipotalamus

Korteks serebri (korteks motoris)

Gambaran patofisiologi ialah kerusakan motor neuron, pada awalnya memperhatikan

partikel halus yang menyebar dan butiran kasar yang disebut dengan badan-badan

Nissl (sel neuron mengalami kromatolisis dan pembengkakan sitoplasma). Pada

keadaan ini neuron masih dapat membaik. Pada stadium lanjut, badan-badan Nissl

tidak ada dan sitoplasma jadi homogen dan agak basofilik, inti sel mengerut, kadang-

kadang didapati infiltrasi eosinofilik di dalam inti sel.

Pada kerusakan lebih lanjut, bila terjadi kematian neuron, maka sejumlah

fagosit mengelilingi sel, inti sel hilang dan sitoplasma mengerus sehingga batas sel

tidak jelas dan akson terputus. Pada autopsi terlihat adanya serbukan limfosit,

tapi  keadaan akut, fase pertama terlihat infiltrasi sel PMN. Setelah fase akut

berakhir , sel neuron yang mati diganti oleh jaringan ikat, sehingga medula

spinalis  yang terkena menjadi kecil. Terjadinya paralisis asimetris dan atrofi otot

sesuai dengan persarafan medula spinalis yangterkena. Gambaran  mikroskopis ini

tidak patognomonis untuk poliomeitis, karena gambaran lesi ini sama dengan

gambaran mikroskopis yang disebabkan oleh virus neurotropik yang

DIAGNOSA POLIOMEILITIS

• Diagnosis polio ditegakkan dengan manifestasi klinis yang tepat dan dapat

didukung oleh isolasi virus dari tenggorokan, tinja, dan CSF

• Titer antibodi serum dengan virus polio juga dapat diukur, dengan jumlah

peningkatan empat kali lipat dianggap diagnostik infeksi akut dapat

ditegakkan

ANAMNESIS

Anamnesis pada penderita penyakit Poliomielitis dapat diperoleh dari penderita

sendiri (autoanamnesis) pada anak yang sudah bisa bicara dan keluarga atau orang

lain (alloanamnesis) pada penderita yang belum bisa berbicara. Pada anamnesis

penderita poliomielitis akan didapatkan  keluhan antara lain :

Demam

Suhu tubuh meningkat atau demam tinggi kurang lebih 2 minggu.

Sakit Kepala

Mengalami sakit kepala yang hebat, sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.

Muntah

Muntah disertai rasa mual, setiap diberikan makan akan di muntahkan.

Peradangan Tenggorokan

Mengalami sakit tenggorokan, tidak bisa makan dan minum dengan baik,

makanan yang diberikan tidak dihabiskan.

Sulit buang air besar

Mengalami kesulitan dalam buang air besar, fesesnya cair.

Nyeri

Nyeri di perut dan di bagian belakang serta nyeri di bagian tangan atau kaki.

Kelumpuhan

Anak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti

tengkurap, telentang, berguling, duduk, berdiri, atau berjalan.

Riwayat Imunisasi Polio

Belum mendapat imunisasi polio, tidak lengkap mendapatkan imunisasi polio.

PEMERIKASAAN FISIK

Tanda-tanda vital di nilai pada infeksi virus polio. Gejala dapat bervariasi dari infeksi

yang tidak jelas sampai paralisis.

Pemeriksaan neurologis

Kelemahan otot

Sensorik biasanya normal

Reflek tendon dalam biasanya mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan

menjadi lengkap dalam waktu 12-15 minggu serta bersifat permanen.

Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai dengan retensi urin.

Tanda-tanda rangsang meningeal

Gangguan saraf kranial (poliomielitis bulbar). Dapat mengenai saraf kranial

IX dan X atau III. Bila mengenai retikularis di batang otak maka terdapat

ganguan bernafas, menelan, dan sestem kardiovaskuler.

Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Poliomielitis

Penegakan diagnosis penyakit Poliomielitis pada anak dapat dilakukan pemeriksaan

fisik sebagai berikut :

Pada Bayi

Perhatikan posisi tidur, bayi yang normal menunjukkan posisi tungkai

menekuk pada lutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan menunjukkan

tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.

Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung pensil

pada telapak kaki bayi, bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.

Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan, bayi yang normal akan menunjukkan

gerakan kaki menekuk pada bayi yang lumpuh tungkai tergantung lemas.

Pada anak yang sudah bisa berjalan

Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.

Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit, anak yang mengalami

kelumpuhan tidak bisa melakukannya.

Mintalah anak meloncat pada satu kaki, anak yang lumpuh tidak bisa

melakukannya.

Mintalah anak untuk berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun

kembali, anak yang mengalami kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan

berpegangan merambat pada tungkainya. 

Tungkai yang mengalami kelumpuhan terlihat lebih kecil.

PEMRIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)

Pemeriksaan darah biasanya dalam batas normal. Laju endap darah

meningkatkan sedikit lekopenia/lekositosis ringan terjadi pada stadium

dini.Cairan serebrospinalis

Biasanya tekanan serebrospinalis nermal, cairan liquor jernih; pleositosis

antara 15-500 sel/mm3, dengan sel limposit yang predominan tetapi pada

stadium awal sel PMN lebih dominan. Kadar protein normal pada minggu ke-

1, meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3. Kadar glukosa dan klorida dalam

batas normal.

Isolasi virus polio 

Dapat diperoleh dari hapusan tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah

paralisis Dan dari tinja pada minggu 2-6 minggu bahkan sampai 12 minggu

setelah gejala klinis

Pemeriksaan imunoglobulin mempunyai nilai diagnostik, bila terjadi kenaikan

titer antibodi 4x dari imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M (IgM)

yang positip.

DIAGNOSA BANDING

Poliomielitis nonparalitik harus dibedakan dengan:

Aseptik meningitis

Khususnya dibedakan dengan infeksi oleh virus coxackie dan virus echo serta

virus lain. Karena virus-virus tersebut memberikan gejala klinis yang sama,

perlu ditemukan virus atau titer antibodi dalam serum yang tinggi untuk

membantu menegakkan diagnosis

Meningitis purulenta dan tuberculosis

Perlu dilakukan pemeriksaan cairan serebropinalis; pembiakan kuman.

Penyakit lain seperti

Demam rematik, rheumatoid arthritis, serum sickness, pneumonia dini,

disentri, tifoid, pielitis, tonsillitis akut dapat memberi gejala nyeri cairan

serebrospinalis ternyata dalam batas normal.

Poliomielitis paralitik dibedakan dengan:

Pseudoparalitik

Disebabkan oleh trauma, osteomielitis, dan artritis, biasanya didapatkan nyeri

tekan lokal dan refleksi tendon tidak beracun.

Sindrom Guillain Berre

Gejala khas paralisis simetris, asenden, adanya gangguan sensibilitas. Pada

cairan serebrospinalis, kadar protein meningkat tampa kenaikan sel. Pada

pemeriksaan EMG terdapat penurunan kecepatan hantar syarap motorik.

Transverse myelitis

Penyebabnya transverse myelitis tidak diketahui. Di bawah lesi terdapat

paraplegia dengan arefleksia pada awal gejala, kemudian hiperefleksia,

kehilangan rasa. Di atas lesi didapati hiperestesia ata normal, terdapat paralisis

kandung kemih dan rektum, atrofi saraf optikus atau neuritis. Cairan

serebrospinalis terliahat meningkat dan globulin meningkat, pleositosis

dengan monosit predominan.

PENATALAKSANAAN POLIOMIELITIS

Tidak ada pengobatan yang spesifik. Diberikan obat simtomatis dan suportif. Istirahat

total jangan dilakukan terlalu lama, apabila keadaan berat sudah reda. Istirahat sangat

penting di fase akut, karena terdapat hubungan antara banyaknya keaktifan tubuh

dengan berat nya penyakit.

Poliomielitis Abortif

Cukup diberikan analgetika dan sedatifa, untuk mengurangi mialgia atau nyeri

kepala,

Diet yang adekuat dan Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,

sebaiknya aktivitas yang berlebihan dicegah selama 2 bulan, dan 2 bulan

kemudian diperiksa sistem neuroskeletal secara teliti untuk mengetahui

adanya kelainan.

Poliomielitis nonparalitik

Sama seperti tipe abortif, Pemberian analgetik sangat efektif

Selain diberi analgetika dan sedatifsangat efektif. Bila diberikan bersamaan

dengan kompres hangat selama 15 – 30 menit, setiap 2 – 4 jam, dan kadang –

kadang mandi air panas juga membantu

Poliomielitis Paralitik

Membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Istirahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut dilampaui

Selama fase akut kebersihan mulut dijaga

Perubahan posisi penderita dilakukan dengan penyangga persendian tanpa

menyentuh otot dan hindari gerakan menekuk punggung.

Fisioterapi, dilakukan sedini mungkin sesudah fase akut, mulai dengan latihan

pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya deformitas.

Interferon diberikan sedinini mungkin, untuk mencegah terjadinya paralitik

progresif.

Poliomielitis bentuk bulbar

Selama fase akut dan berat, dilakukan drainase postural dengan posisi kaki

lebih tinggi (20°- 25°),Muka pada satu posisi untuk mencegah terjadinya

aspirasi, pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan hati – hati, kalau perlu

trakeostomi.

PENCEGAHAN

Jangan masuk ke daerah wabah

Di daerah wabah sebaiknya dihindari faktor – faktor predisposisi seperti

tonsilektomi, suntik, dan lain – lain.

Mengurangi aktifitas jasmani yang berlebihan

Imunisasi aktif

Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai rekomendasi WHO adalah sejak lahir

sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian, diulang usia 1,5 tahun,

dan 15 tahun. Upaya ketiga adalah survailance accute flaccid paralysis atau

penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun.

Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau

bukan.Tindakan lain adalah melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi

massal di daerah yang ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah

lima tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.

IMUNISASI AKTIF :

       Terdapat 2 macam Vaksin yang digunakan dalam mencegah penyakit

poliomielitis

Inactivated Virus Vaccine ( Salk )

Diberikan secara suntikan

Merupakan vaksin Polio pertama yang dipasarkan sekitar tahun 1950 an. Pada

mulanya dibuat bentuk nonen hanced IPV dengan imunogenisitas kurang pada

mukosa usus dan harus diberikan dengan cara parenteral, namun akhir – akhir

ini dibuat bentuk Enhanced IPV dan terbukti bahwa bentuk ini tingkat

imunogenisitasnya sama dengan vaksin polio oral ( OPV ). Vaksinasi dasar

dimulai pada usia 2 – 3 bulan, diberikan 3 kali dengan interval 4 – 6

minggu .diberikan pada umur prasekolah.Suntikan ulangan diberikan pada

umur prasekolah.         

Live Attenuated Virus Vaccine ( Sabin )

Diberikan secara oral

OPV telah digunakan sejak 1960 an, jenis vaksin ini banyak digunakan

sehingga banyak membantu menurunkan prevalensi penyakit polio diseluruh

dunia. OPV ini telah digunakan di Indonesia  dalam program imunisasi

VAKSINASI

Vaksin Poliovirus

Inactivated poliovirus vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan

digunakan sejak saat itu hingga awal 1960-an. Pada tahun 1961, monovalent oral

poliovirus vaccine (MOVP) tipe 1 dan 2 telah dilisensi dan pada tahun 1962 MOPV

tipe 3 dilisensi. Pada tahun 1963 trivalent OPV dilisensi dan secara luas

menggantikan penggunaan IPV. Trivalent OPV merupakan pilihan utama vaksin

pada US dan banyak negara lainnya. IPV yang telah ditingkatkan potensinya dilisensi

pada November 1987 dan pertama kali tersedia pada tahun 1988. Tahun 2000,

penggunaan OVP dihentikan di US.(1)

Inactivated poliovirus vaccine (IPV)

Vaksin ini mengandung tiga serotipe dari vaksin poliovirus. Vaksin ini

mengandung 2-phenoxyethanol sebagai pengawet dan sejumlah neomycin,

streptomycin, dan polymyxin B. Cara pemberiannya adalah dengan suntikan pada

subkutan atau intramuskular.

IPV sangat efektif memproduksi imunitas terhadap poliovirus dan perlindungan

dari poliomielitis paralitik. 90% atau lebih dari penerima vaksin mengembangkan

antibodi proteksi terhadap 3 tipe poliovirus setelah dua kali dosis, dan sekitar 99%

kebal setelah tiga kali dosis. Proteksi terhadap penyakit paralisis berhubungan dengan

adanya antibodi. Durasi kekebalan dengan IPV tidak diketahui jelas, meskipun

mungkin dapat memberikan kekebalan selama beberapa tahun setelah pemberian

komplet.(1)

Kelebihan dari IPV:

Memberikan serokonversi yang sangat tinggi

Pemberiannya dapat dikombinasi dengan antigen/vaksin lain (DPT-HB-

IPV)

Virus mati, sehingga tidak menularkan kepada anak yang kontak

Tidak menyebabkan VAPP

Tidak akan terjadi mutasi virus vaksin menjadi ganas (VDVP)

Menimbulkan kekebalan lokal pada orofaring

Kekurangan dari IPV:

Harga mahal

Pemberiannya lebih sulit karena harus disuntikkan

Sedikit memberikan kekebalan pada intestinum

Oral poliovirus vaccine (OPV)

Vaksin ini mengandung tiga serotipe poliovirus hidup yang dilemahkan. Vaksin

ini mengandung sejumlah neomycin dan streptomycin, dan tidak mengandung

pengawet. Satu dosis tunggal berisikan 0,5 mL. Poliovirus yang dilemahkan ini akan

bereplikasi di dalam mukosa intestinal dan kelenjar getah bening. Virus vaksin

tersebut akan dieksresi dalam tinja selama 6 minggu setelah dosis.

OPV sangat efektif dalam memproduksi kekebalan terhadap poliovirus. OVP

dosis tunggal memproduksi kekebalan terhadap 3 tipe virus pada kira-kira 50%

resipien. Tiga dosis memproduksi kekebalan terhadap 3 tipe poliovirus pada lebih

dari 95% resipien. Kekebalan dari OPV mungkin dapat bertahan seumur hidup. OPV

menghasilkan kekebalan yang sangat baik pada usus, sehingga membantu mencegah

infeksi dari virus liar.(1)

Kelebihan dari OPV:

1. Harga terjangkau

2. Mudah cara pemberiannya

3. Menimbulkan mocosal immunity pada intestinum dan oropharyng (25% anak

mengekskresi virus "challenge").

4. Memberikan kekebalan humoral seumur hidup.

Kekurangan dari OPV :

1. Dapat menyebabkan kelumpuhan pada penerima vaksin (VAPP)

2. Virus hidup diekskresi lewat feces dan dapat menularkan pada anak yang

kontak dengan penerima vaksin (kontak VAPP).

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling berat dari penyakit polio adalah kelumpuhan yang menetap.

Post-polio syndrome adalah komplikasis yang berkembang pada beberapa

pasien, biasanya pada 30 tahun atau lebih setelah pertama terinfeksi. Otot

yang sebelumnya sudah lemah jadi bertambah lemah dan kelemahan otot bisa

mengenai otot yang lain yang sebelumnya tidak terkena

Aspiration pneumonia

Cor pulmonale (a form of heart failure found on the right side of the

circulation system)

Lack of movement

Lung problems

Myocarditis

Paralytic ileus (loss of intestinal function)

Permanent muscle paralysis, disability, deformity

Pulmonary edema

Shock

Urinary tract infections

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita poliomielitis antara lain :

Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin

diakibatkan erosi usus superfisial.

Dilatasi lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut atau

konvalesen (dalam keadaan pemulihan kesehatan/ stadium menuju

kesembuhan setelah serangan penyakit/ masa penyembuhan

Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa minggu,

biasanya pada stdium akut, akibat lesi pusat vasoregulator dalam medula

Ulkus dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring yang lama di

tempat tidur, sehingga terjadi pembususkan pada daerah yang tidak ada

pergerakan (atrofi otot) sehingga terjadi kematian sel dan jaringan)

 Hiperkalsuria, yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur dari

tulang/ gigi) akibat penderita tidak dapat bergerak

Kontraktur sendi,yang sering terkena kontraktur antara lain sendi paha, lutut,

dan pergelangan kaki

Pemendekan anggota gerak bawah, biasanya akan tampak salah satu tungkai

lebih pendek dibandingkan tungkai yang lainnya, disebabkan karena tungkai

yang pendek mengalami atrofi otot

Skoliosis, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, disebabkan

kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga kebiasaan duduk atau berdiri

yang salah

 Kelainan telapak kaki, dapat berupa kaki membengkok ke luar atau ke dalam

PROGNOSIS

Prognosis tergantung kepada jenis polio (subklinis, non-paralitik atau paralitik)

dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak menyerang otak dan korda spinalis,

kemungkinan akan terjadi pemulihan total. Jika menyerang otak atau korda spinalis,

merupakan suatu keadaan gawat darurat yang mungkin akan menyebabkan

kelumpuhan atau kematian (biasanya akbiat gangguan pernafasan).

Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian mana yang terkena. Bentuk spinal

dengan paralisis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe

bulber prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat

pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Otot-otot yang lumpuh dan tidak

pulih kembali menunjukkan paralisis tipe flasiddengan atonia (tidak ada kontraksi

otot), arefleksi (tidak adanya refleks), dan degenerasi (kemunduran fungsi sel).

1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI(11,12,13)

Medula spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf yang

berjalan dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci) dan garis

tengah 2 cm. Medula spinalis dibungkus oleh tiga lapisan mening: duramater,

arachnoid, dan piamater. Lapisan pamater melekat pada seluruh kontur permukaan

medula spinalis, berakhir kira-kira setinggi bagian bawah L1. Bagian akhir medula

spinalis berbentuk seperti kerucut dan dinamakan konus medularis. Suatu filamen

piamater yang ramping dinamakan filum terminale memanjang dari konus

medularis. Arachnoid terletak di atas kontur ini dan melekat pada lapisan dura di

atasnya. Lapisan duramater merupakan serabut fibrosa protektif yang sangat kuat.

Ketiga radiks ini menjangkau ke arah luar hingga ke radiks. Duramater terus berlanjut

hingga vertebra sakralis kedua, dan di sini bersatu dengan filum terminale

membentuk ligamentum koksigealis.

Dari medula spinalis keluar pasangan-pasangan nervus spinalis melalui ruang-

ruang yang terbentuk antara lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang

berdekatan. Nervus spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis

tempat keluarnya. Terdapat 8 pasang nervus servikalis (C1-C8), 12 pasang nervus

torakalis (T1-T12), 5 pasang nervus lumbalis (L1-L5), 5 pasang nervus sakralis (S1-

S5), dan 1 pasang nervus koksigeus (Co1). Total 31 segmen. Medula spinalis

berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras konduksi impuls dari

atau ke otak.

Medula spinalis memanjang hanya setinggi vertebra lumbalis pertama atau

kedua (sekitar pinggang) sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang, untuk

keluar dari kolumna vertebrallis di celah padanannya. Berkas tebal akar-akar saraf

yang memanjang di dalam kanalis vertebralis bawah ini disebut sebagai kauda

equina (ekor kuda).

Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian

substansia grisea dan substansia alba. Berbeda dari substansia grisea yang

membentuk selubung luar pembungkus substansia alba di otak, substansia grisea pada

medula spinalis membentuk suatu regio berbentuk kupu-kupu di sebelah dalam

dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Substansia grisea terutama terdiri dari

badan sel neuron dan dendrit-dendritnya, antarneuron pendek, dan sel glia. Substansia

alba tersusun membentuk banyak jaras (traktus), yaitu berkas serat-serat saraf (akson

antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas tersebut

berkelompok menjadi kolom (kolumna) yang berjalan di sepanjang medula. Masing-

masing jaras ini berawal atau berakhir di daerah tertentu di otak, dan masing-masing

menyalurkan jenis informasi tertentu. Sebagian adalah traktus asendens (medula

spinalis ke otak) yang menyalurkan sinyal dari masukan aferen ke otak. Yang lain

adalah traktus desendens (otak ke medula spinalis) yang menyampaikan pesan dari

otak ke neuron.

Substansia grisea dibagi menjadi 3:

1. Kornu posterior (dorsal horn), lokasi utama untuk proses sensorik

2. Kornu intermediolateral (substansia grisea intermediat dan kornu lateralis),

tempat badan-badan sel preganglionik simpatis (torakolumbal) dan

parasimpatis (sakral), serta lokasi utama proses interneuronal

3. Kornu anterior (ventral horn), tempat lower motor neuron (LMN) dan

tempat terjadinya konvergensi refleks dan kontrol descendens LMN.

Substansia alba dibagi dalam 3 daerah yang disebut funikulus:

1. Funikulus posterior

2. Funikulus lateral

3. Funikulus anterior (ventral)

Tiap funikulus dibagi lagi dalam kelompok-kelompok serabut yang disebut

fasikulus atau traktus. Pada funiculus posterior terdapat dua fasikulus, yaitu fasikulus

gracilis dan fasikulus cuneatus.

Traktus asendens:

Fasikulus grasilis dan kuneatus

Traktus ini menyampaikan informasi mengenai sentuhan, tekanan,

vibrasi, posisi tubuh, dan gerakan sendi dari kulit, persendian dan

tendon otot.

Impuls dan sentuhan dari reseptor peraba masuk ke medula spinalis

melalui radiks dorsal (neuron I). Akson memasuki korda, berasenden

untuk bersinapsis dengan nuklei grasilis dan kuneatus di medula bagian

bawah (neuron II). Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan

bersinapsis dalam talamus lateral (neuron III). Terminasinya berada

pada area somestetik korteks serebral.

Spinosereberalis ventralis

Traktus spinosereberalis ventralis membawa informasi mengenai

gerakan dan posisi keseluruhan anggota gerak. Impuls dari reseptor

kinestetik (kesadaran akan posisi tubuh) pada otot dan tendon memasuki

medula spinalis melalui radiks dorsal (neuron I) dan bersinapsis di

dalam tanduk posterior (neuron II). Akson berasenden di sisi yang sama

atau berlawanan dan berterminasi pada korteks serebelar.

Spinoserebelaris dorsalis

Membawa informasi mengenai propriosepsi bawah sadar (kesadaran

akan posisi tubuh, keseimbangan, adn arah gerakan). Impuls dari traktus

spinosereberal dorsal memiliki awal dan akhir yang sama dengan

traktus spinosereberalis ventralis; walaupun demikian akson pada

neuron II dalam tanduk posterior berasenden di posisi yang sama

menuju serebelar.

Spinothalamicus ventralis

Membawa informasi mengenai sentuhan, suhu, dan nyeri. Impuls dari

reseptor taktil pada kulit masuk ke medula spinalis melalui radiks dorsal

(neuron I) dan bersinapsis dalam tanduk posterior di sisi yang sama

(neuron II). Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan berasenden

untuk bersinapsis dalam talamus (neuron III). Akson berujung dalam

area somestetik korteks serebral.

Spinothalamicus lateralis

Traktus desendens:

Kortikospinalis lateralis

Menghantar impuls untuk ketepatan koordinasi dan ketepatan gerakan

volunter. Neuron I berasal dari area motorik korteks serebral. Akson

saraf berdesenden ke medula, tempat sebagian besar serabut (85%)

berdekusasi dan terus memanjang sampai ke tanduk posterior untuk

bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan neuron motorik

bagian bawah (neuron II) dalam tanduk anterior. Akson berterminasi

pada lempeng ujung motorik otot rangka.

Kortikospinalis ventralis

Memiliki fungsi yang sama dengan traktus kortikospinal lateral, yaitu

menghantar impuls untuk ketepatan koordinasi dan ketepatan gerakan

volunter. Neuron I berasal dari sel piramidal pada area motorik korteks

serebral dan berdesenden sampai ke medula spinalis. Di sini, akson

menyilang ke sisi yang berlawanan sebelum bersinapsis, secara

langsung maupun melalui interneuron dengan neuron II dalam tanduk

anterior.

Ekstrapiramidal (traktus retikulospinal, vestibulospinal lateral,

vestibulospinal medial, rubrospinal)

Fungsi utama sistem ekstrapiramidal adalah mengatur secara kasar otot-

otot voluntar (sistem piramidalis dan sistem kortikospinal mengatur

secara halus). Sistem ekstrapiramidal akan mempermudah atau

menghambatnya sesuai kebutuhan guna menghasilkan gerakan-gerakan

otot yang bertujuan, terkoordinasi, dan teerkontrol. Bila pengaruh

ekstrapiramidal terganggu, akan timbul gerakan-gerakan otot abnormal

dan tidak terkontrol.

Seluruh sistem itu bekerja sebagai satu unit dan merupakan sarana

integrasi pada tiga tingkatan: kortikal, striatal, dan tegmental. Efek

utamanya adalah inhibisi.

Masing-masing belahan substansia grisea terbagi menjadi tanduk (kornu)

dorsal, tanduk ventral, dan tanduk lateral. Tanduk dorsal mengandung badan sel

antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Tanduk ventral mengandung badan

sel neuron motorik eferen yang menyarafi otot rangka. Serat-serat saraf otonom yang

menyarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan sel

yang terletak di tanduk lateral.

Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medula spinalis melalui akar

dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa sinyal datang dari

reseptor perifer masuk ke medula spinalis melalui akar dorsal. Badan sel untuk

neuron aferen di masing-masing level berkumpul menjadi satu membentuk ganglion

akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron eferen berasal dari substansia grisea dan

mengirim akson keluar melalui akar ventral. Akar dorsal dan ventral di masing-

masing level menyatu untuk membentuk nervus spinalis yang keluar dari kolumna

vertebralis. Sebuah nervus spinalis mengandung baik serat aferen dan eferen yang

berjalan antara regio tertentu tubuh dan medula spinalis. Akar dorsal pada tiap saraf

spinal yang mengurus persarafan sensorik pada segmen tubuh disebut dermatom.

SISTEM SARAF PERIFER

Sistem ini terdiri dari jaringan saraf yang berada di bagian luar otak dan medula

spinalis. Sistem ini juga mencakup saraf kranial yang berasal dari otak; saraf spinal

yang berasal dari medula spinalis; dan ganglia serta reseptor sensorik yang

berhubungan

a. Saraf kranial. Terdiri dari 12 pasang saraf kranial (Olfaktori, Optik,

Okulomotorik, Troklear, Trigeminal, Abdusen, Fasial, Vestibulokoklear,

Glosofaringeal, Vagus, Aksesori Spinal, Hipoglosal

b. Saraf spinal. Pada bagian distal radiks ganglion dorsal, dua radiks

bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf tersebut adalah saraf

gabungan (sensorik dan motorik), membawa informasi ke korda melalui

neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron eferen.

Terdiri dari 5 pleksus:

- Pleksus servikal terbentuk dari ramus ventral keempat saraf servikal

pertama—C1, C2, C3, C4—dan sebagian C5. Menginervasi otot leher

dan kulit kepala, leher, serta dada.

- Pleksus brakialis terbentuk dari ramus ventral saraf servikal C5, C6,

C7, C8, dan T1, dengan melibatkan C4 dan T2. Mensuplai lengan atas

dan beberapa otot pada leher dan bahu.

- Pleksus lumbal terbentuk dari ramus saraf L1, L2, L3, dan L4 dengan

bantuan T12. Saraf dari pleksus ini menginervasi kulit dan otot dinding

abdomen, paha, dan genitalia eksterna

- Pleksus sakral terbentuk dari ramus ventral saraf sakral S1, S2, dan S3,

serta kontribusi dari L4, L5, dan S4. Menginervasi anggota gerak

bawah, bokong, dan regia perineal.

- Pleksus koksiks terbentuk dari ramus ventral S5 dan saraf spinal

koksiks, dengan kontribusi dari ramus S4. Pleksus ini merupakan awal

koksiks yang mensuplai regia koksiks

c. Sistem saraf otonom

SIRKULASI MEDULA SPINALIS

Suplai pembuluh arteri utama pada medula spinalis berasal dari arteri spinalis

anterior (ASA) dan sepasang arteri spinalis posterior (ASP), di mana keduanya

merupakan cabang dari arteri vertebralis. Aliran darah yang terbentuk dari sistem

arterial ini sebenarnya tidak cukup untuk mempertahankan medula spinalis setelah

segmen servikal. Arteri-arteri radikuler, yang berasal dari aorta, memberikan

anastomosis utama dengan ASA dan ASP sehingga menambah aliran darah untuk

medula spinalis.

ASA dan ASP berjalan dalam ruang subarachnoid dan memberikan cabang-

cabang segmental pada medula spinalis. ASA memberi cabang melalui fissura

mediana anterior untuk menyuplai 2/3 anterior medula spinalis.

Cabang-cabang ASP menyuplai 1/3 dorsal medula spinalis. Kedua cabang

ASP mendapat anastomosis dari cabang-cabang arteri radikuler posterior. Cabang-

cabang ini membentuk sebuah pleksus pembuluh-pembuluh darah yang diskontinyu

pada permukaan posterior medula spinalis, medial terhadap radiks dorsalis.

Suatu pleksus vena eksternal dan internal yang berjalan sepanjang kolumna

vertebralis membentuk serangkaian ‘cincin’ vena dengan anastomosis yang ekstensif

seputar tiap segmen vertebra. Darah dari medula spinalis, vertebra, dan ligamen-

ligamen mengalir ke dalam pleksus-pleksus ini. Perubahan pada tekanan intratorakal

dan tekanan CSS (cairan serebrospinal) dapat dihantarkan melalui pleksus-pleksus

vena tersebut sehingga memengaruhi volume vena.

Pada akhirnya darah dari pleksus-pleksus vena tersebut akan mengalir ke dalam

vena-vena intervertebralis, vertebralis, intercostalis posterior, subcostalis, dan

lumbalis serta sakralis lateral.

1.2 HISTOLOGI

Secara struktural jaringan saraf dibedakan:

1. Sel saraf/neuron sebagai penyalur/penghantar impuls

2. Sel glia/neuroglia sebagai sel penyokong saraf

3. Jaringan penyambung antarsel: antarsel, pembungkus jar. Saraf

Jaringan saraf tersusun dari sel-sel yang merupakan satuan fungsional (satuan

terkecil) yang disebut neuron. Neuron pada manusia jumlahnya sekitar 10 miliar.

Neuron tidak membelah, setelah lahir tidak dibentuk neuron baru. Kelompok neuron

yang terdapat dalam SSP disebut nukleus, di luar SSP disebut ganglion.

Klasifikasi neuron dibagi berdasarkan tiga: banyaknya percabangan

neuroplasma, panjangnya percabangan neuroplasma, dan berdasarkan fungsinya.

Berdasarkan banyaknya percabangan neuroplasma:

d. Neuron unipolar: pada retina tingkat embrio, cacing

e. Neuron bipolar: pada retina mata, sel ganglion spiral, sel ganglion

vestibular, epitel olfaktoris

f. Neuron multipolar: sel saraf motoris, sel purkinje serebelum, sel piramid

(sel Betz di area motorik), ganglion Auerbach di usus

g. Neuron pseudo-unipolar (sel T/Y): sel ganglion spinalis dan kraniospinalis

Neuron terdiri atas: (i) badan sel/soma/perikarion, (ii) cabang neuroplasmanya

yaitu dendrit dan axon/neurit. Badan sel berbentuk lonjong/bulat dan bersudut. Inti

biasanya bulat/lonjong, relatif besar, gambaran kromatin halus/jarang sehingga

tampak pucat. Anak inti (nukleolus) kadang-kadang satu atau dua, dan jelas.

Cabang yang pendek disebut dendrit, sedang satu cabang yang panjang

(biasanya) disebut neurit. Sitoplasmanya disebut neuroplasma, di dalamnya terdapat

benang-benang halus yang disebut neurofibril. Selain neurofibril, dalam neuroplasma

terdapat butir-butir yang berwarna biru lembayung, kasar pada sel-sel saraf yang

besar atau halus pada sel-sel saraf yang kecil dan disebut substansia Nissl. Pada

pangkal neurit tidka mengandung substansia Nissl disebut Axon Hillock. Substansia

Nissl merupakan kelompokan retikulum endoplasma kasar (granular endoplasmic

reticulum). Dalam neuroplasma terdapat banyak sekali ribosom bebas. Bila neuron

mengalami trauma kemudian putus, maka substansia Nissl akan hilang dan/atau

berkurang yang disebut kromatolisis. Bagian distal yang putus tersebut mengalami

degenerasi dan hilang, disebut degenerasi Waller. Susunan saraf pusat, susunan

saraf tepi, dan susunan saraf otonom disokong oleh neuroglia, jadi neuroglia

menopang seluruh saraf.

Berdasarkan panjangnya percabangan neuroplasma, neuron digolongkan

menjadi:

Neuron Golgi tipe 1

Neuron Golgi tipe 2

Berdasarkan fungsinya, neuron dibagi menjadi: neuron motorik (eferen),

interneuron, dan neuron sensorik (aferen)

Neuroglia merupakan jaringan penyokong pada jaringan saraf. Pada susunan

saraf tepi adalah sel schwann dan sel satelit. Pada susunan saraf pusat yaitu:

1. Astroglia (Astrosit)

Bentuk astrosit seperti bintang, punya banyak cabang-cabang protoplasma.

Ada dua macam yaitu astrosit protoplasmatis dan astrosit fibrosa baik di

otak maupun di medula spinalis.

2. Oligodendroglia

Mempunyai sedikit cabang protoplasma, inti bulat, lebih kecil dari pada inti

astrosit, sebagai satelit perineural, berfungsi untuk mielinisasi di susunan

saraf pusat. Lokasinya di substansia grisea dan substansia alba SSP. Karena

banyaknya oligodendroglia, maka dalam SSP, ada pembuluh darah yang

rapat sehingga tidak dapat ditembus oleh partikel-partikel sehingga disebut

blood brain barrier.

3. Mikroglia (sel Hortega)

Merupakan sel yang paling kecil dari seluruh neuroglia, inti gepeng sampai

lonjong. Protoplasma pada kedua ujungnya bercabang tebal. Fungsi sel ini

selain menyokong juga sebagai makrofag, memfagosit benda-benda asing

yang terdapat dalam jaringan saraf. Mikroglia berasal dari mesodermal,

terdaapat di substansia alba dan grisea, letaknya perivaskular.

4. Sel Ependim

Terdapat pada kanalis sentralis medula spinalis, berbentuk torak/silindris.

Meninges pada medula spinalis terdiri dari tiga lapisan:

Duramater

Merupakan selaput paling keras dan kaku, tersusun atas jaringan

penyambung padat fibrosa.

Arachnoidemater

Tersusun atas jaringan penyambung padat kolagen yang lebih tipis,

membentuk cabang-cabang ke dalam yang disebut trabekula. Trabekula

ini melekat pada selaput lunak yaitu piamater. Di antara trabekula ada

celah-celah yang disebut ruangan subarachnoid dan ruangan-ruangan ini

terisi oleh CSF/LCS.

Piamater

Tersusun dari serat kolagen yang lebih halus dan tidak berhubungan

langsung dengan neuron-neuron cortex cerebri, sebaliknya dia

berhubungan langsung dengan prosesus (kaki-kaki astrosit) dan

membentuk suatu membran yaitu lapisan pia-glia. Jadi jaringan saraf

pusat ini seolah-olah terapung pada LCS yang berguna untuk mencegah

benturan (absorber). Lapisan pia-glia ini adalah lapisan yang mencegah

masuknya benda-benda

PEMERIKSAAN FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS

A.Pemeriksaan Reflek Fisiologis

Pemeriksaan reflek fisiologis dilakukan pada kasus orang yang mudah lelah,

sulit berjalan, kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan atrofi otot

anggota gerak , nyeri punggung atau pinggang dan gangguan fungsi otonom.

Dasar pemeriksaan reflek :

a. Pemeriksaan menggunakan alat reflek hammer

b. Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai, sehingga gerakan otot

akan dapat mucul secara optimal.

c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, keras pukulan harus

dalam batas nilai ambang tidak perlu terlalu keras.

d. Karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus

dalam keadaan sedikit kontraksi.

Jenis-jenis pemeriksaan reflek fisiologis :

Pemeriksaan Reflek pada Lengan

Pemeriksaan Reflek Biseps

a. Pasien duduk dengan santai, lengan dalam keadaan lemas, siku dalam posisi

sedikit fleksi dan pronasi.

b. Letakkan ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, lalu pukul ibu jari tadi

dengan menggunakan reflek hammer.

c. Reaksinya adalah fleksi lengan bawah

Pemeriksaan Reflek Triseps

a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep

b. Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep

tidak terabategang) pukullah tendon yang lewat di fossa olekranon.

c. Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.

Pemeriksaan Reflek pada Tungkai

Pemeriksaan Reflek Patella

a. Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai

b. Daerah kanan-kiri tendon patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan

daerah yang tepat.

c. Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang

lain memukul tendon patella tadi dengan reflek hammer secara tepat.

d. Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,

dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak

untuk kemudian berayun sejenak, apabila pasien tidak mampu duduk, maka

pemeriksaan reflek patella dapat dilakukan dalam posisi berbaring.

Pemeriksaan Reflek Achiles

a. Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring atau dapat pula

penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di

luar kursi pemeriksaan.

b. Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achilles dengan cara

menahan ujung kaki ke arah dorso fleksi.

c. Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.

d. Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak

B. Pemeriksaan Reflek Patologis

Pemeriksaan reflek patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai

pada individu normal. Reflek patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan,lebih

mudah muncul, lebih reliable dan lebih mempunyai korelasi secara klinis

dibandingkan pada ektremitas atas.

Dasar pemeriksaan reflek :

a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan reflek ekstremitas atas, bisa

juga dengan menggunakan reflek hammer.

b. Pasien harus dalam posisi enak dan santai.

c. Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung.

Jenis-jenis pemeriksaan reflek patologis :

1. Reflek Hoffman Trommer

Cara pemeriksaan, tangan penderita dipegang pada pergelangannya dan pasien

melakukan fleksi ringan pada jari-jarinya, kemudian jari tengah pasien

diregangkan dan dijepit diantara jari telunjuk dan jari tengah pemeriksa.

Kemudian lakukan:

a. Hoffman “ Goresan” , pada ujung jari tengah pasien lakukan reaksi fleksi dan

adduksi ibu jari disertai dengan fleksi telunjuk dan jari-jari lainnya.

b. Tromner “ Colekan”, pada ujung jari pasien maka akan muncul reaksi yang

sama dengan Hoffman.

2. Reflek Babinski Sign

Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu reflek.

Reaksi yang terjadi pada penderita dorsofleksi ibu jari kaki disertai

plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya.

Reflek Babinski, di antaranya :

a. Cara Chaddock

Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah

lateral dengan palu reflek ujung tumpul.

b. Cara Gordon

Pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat.

c. Cara Schaefer

Pemeriksa menekan tendon Achilles dengan kuat.

d. Cara Oppenheim

Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada

permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal.

Interpretasi pada pemeriksaan patologis normal (-)

asing ke dalam jaringan SSP