perubahan sosialrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47523...perubahan sosial dalam...
TRANSCRIPT
31
PERUBAHAN SOSIAL
DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN1
Oleh Suwito
I. Pendahuluan
Sesuai petunjuk al-Qur'an surat al-Ah{zâb, 33:40, ummat Islam
meyakini bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Sebagai nabi terakhir,
Muhammad diutus untuk seluruh ummat manusia (al-Nisa>' 4:79, al-A'ra>f,
7:158). Muhammad adalah manusia yang berakhlak mulia/agung (al-Qalam,
68:4). Oleh karena itu, ia patut dijadikan panutan (al-Ah{za>b,33:21).
Sebagai bukti kerasulan, Muhammad memperoleh wahyu dari Allah swt.
Kumpulan kitab wahyu ini dikenal dengan nama al-Qur'an. Al-Qur'an ini
diterima oleh Nabi Muhammad secara berangsur-angsur sejak Agustus 610
Masehi dan berakhir Maret 632 Masehi.2 Setidaknya ada sembilan ayat yang
menjelaskan secara tegas bahwa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.3
Walau nabi Muhammad dilahirkan di negeri Arab dan bahasa kitab yang
dibawanya juga berbahasa Arab tetapi missi kerasulannya adalah bagi
ummat semesta4.
Al-Qur'an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis
membahas keadaan masyarakat masa lampau tetapi - sebagai buku petunjuk-
di dalamnya didapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang
berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu, di dalamnya didapati
ayat-ayatyang berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat
terdahulu. Di samping itu dalam surat Ibrahim, 14:1 didapati pernyataan
bahwa fungsi utama al-Qur'an adalah untuk melakukan perubahan-perubahan
yangbersifat positif (litukhrij al-na>s min al-z{uluma>t ila> al-nu>r). Dari
keterangan ini diperoleh pemahaman bahwa al-Qur'an mengajarkan kepada
1Diterbitkan dalam buku Kaya Gagasan Miskin Kesulitan oleh Young Progressive
Muslim (YPM) 20 Mei 2018. http://www.ypm-publishing.com/ 2Beberapa ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa al-Qur‟an diturunkan secara
berangsur-angsur antara lain dijumpai dalam surat al-Isra>‟, 17:108, al-Furqa>n, 25:32, dan
al-Insa>n, 76:23. 3Perhatikan antara lain surat Yu>suf, 12:2, al-Ra‟d, 13:37, al-Nah{l, 16:103,
T{a>ha>, 20:113, al-Zumar, 39:28, Fus{s{ilat, 41:3, al-Shu>ra>, 42:7, al-Zukhruf, 43:3, dan
al-Ah{qa>f, 46:12. 4Perhatikan antara lain surat al-An‟a>m, 6:11, al-Taubah, 9:70, T{a>ha>, 20:128, al-
H{ajj, 22:46, al-Naml, 27:14 dan 69, al-Ru>m, 30:9 dan 42, al-Sajdah, 32:26, Fa>t{ir,
35:44, al-S{affa>t, 37:71-74, Muh{ammad, 47:10, Qâf, 50:36-37, dan al-Tagha>bun, 64:56.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
32
para pembacanya untuk bercermin dengan masyarakat masa lalu untuk
dipergunakan panduan bagi hidup masa kini dan masa datang.
Atas dasar pemikiran di atas, permasalahan yang hendak dijawab
melalui tulisan ini adalah bagaimana al-Qur'an memberi wawasan bagi
perubahan masyarakat, dalam arti bentuk antisipasi perubahan yang
kemungkinan bersifat negatif dan sebaliknya memberi motivasi untuk
mengadakan perubahan menuju ke arah positif?
Untuk memperoleh jawaban yang memadai dari permasalahan yang
ditetapkan di atas, sebelumnya diuraikan secara sederhana beberapa hal
mengenai posisi manusia dalam kaitannya sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat, hukum-hukum masyarakat, dan prediksi masyarakat
masa hadapan. Bahasan diakhiri dengan kesimpulan.
II. Manusia Sebagai Individu dan Anggota Masyarakat
Terdapat berbagai permasalahan menyangkut manusia dan
masyarakatnya. Di antara masalah yang dijumpai adalah: apakah secara fitri
manusia diciptakan sebagai bagian dari suatu keseluruhan? Apakah ada
tekanan-tekanan tertentu yang memaksa manusia hidup bermasyarakat?
Apakah karena belajar dari pengalaman bahwa manusia tidak mungkin hidup
menyendiri sehingga ia terpaksa menerima batasan-batasan yang ditentukan
oleh kehidupan bermasyarakat? Atau, apakah karena pemikiran dan
kemampuannya untuk membuat perhitungan yang akhirnya menyimpulkan
bahwa dengan bekerjasama dalam hidup bermasyarakat akan lebih
meninkmati anugerah alam?
Atas dasar beberapa pertanyaan tersebut, diperoleh tiga teori kehidupan
bermasyarakat: 1) manusia bersifat kemasyarakatan, 2) manusia terpaksa
bermasyarakat, dan 3) atas dasar pemikirannya, manusia memilih hidup
bermasyarakat.
Teori pertama berpendapat bahwa bermasyarakat merupakan tujuan
umum, semesta, dan secara fitri ingin dicapai oleh manusia. Menurut teori
kedua, bermasyarakat merupakan gejala tidak tetap dan kebetulan; artinya
bermasyarakat dinilai sebagai tujuan sekunder. Adapun menurut teori ketiga,
bermasyarakat merupakan hasil nalar manusia sendiri.5
5Murtadha Mutahhari, Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan
Teori Lainnya, terjemah M. Hashem dari Society and History, (Bandung: Mizan, 1986), Cet.
I, h. 17.
Masa Lampau untuk Masa Depan
33
Bagaimanapun ketiga teori di atas tidak mengingkari adanya dua unsur
individu dan masyarakat. Dengan demikian agaknya dapat dipahami bahwa
masyarakat adalah kelompok-kelompok manusia yang saling terkait oleh
sistem, adat istiadat, dan hukum-hukum yang berlaku. Adapun seberapa jauh
eksis masing-masing (individu dan masyarakat), maka terdapat beberapa
pandangan seperti berikut.
Pandangan pertama berpendapat bahwa yang eksis adalah individu
sedangkan masyarakat hanyalah semu. Masyarakat dalam pandangan ini
bukanlah "manusia tunggal" yang lebur dalam suatu senyawa alamiah.
Pandangan kedua juga berpendapat bahwa yang eksis masih individu, tetapi
hubungan antar-individu bersifat agak nyata dalam arti fisik. Karena itu,
hubungan sesama anggota masyarakat diserupakan dengan senyawa
bentukan (bukan senyawa alamiah). Pandangan ketiga berpendapat bahwa
masyarakat merupakan suatu senyawa sejati seperti halnya senyawa alamiah.
Akan tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah senyawa dalam hal jiwa,
pikiran, kehendak dan sifat nonmaterial lainnya, bukan senyawa dalam arti
fisik. Teori ini, baik individu maupun masyarakat dipandang sebagai sama-
sama eksis. Keberadaan dan kemerdekaan individu diakui adanya.
Pandangan keempat berpendapat bahwa masyarakat merupakan suatu
senyawa sejati yang lebih tinggi daripada senyawa alamiah. Keberadaan
masyarakat menjadi sejati dan mutlak. Dalam teori ini, yang ada hanyalah
kebersamaan. Jiwa bersama, berkehendak bersama, dan perasaan bersama.
Akan tetapi individu tidak memiliki kedirian apapun ketika belum ada
masyarakat.6 Murtadha Mutahhari berpendapat bahwa pandangan yang
dinilai qur'ani adalah pandangan ketiga.7
Al-Qur'an suratal-H{ujurât, 49:13 memberikan gambaran bahwa
manusia diciptakan Tuhan tidak dalam arti sama dalam segala-galanya.
Manusia diciptakan dengan jenis kelamin yang berbeda, tempat tinggal dan
etnis yang berbeda pula. Dari adanya perbedaan ini mereka diperintahkan
saling mengenal. Akan tetapi Tuhan pun memberikan peringatan bahwa yang
terbaik adalah mereka yang mampu memelihara diri (bertakwa).
Surat al-Zukhruf, 43:32 secara tegas menggambarkan bahwa Tuhan
tidak menciptakan manusia dalam satu kesamaan. Dengan adanya perbedaan
antara satu dengan lainnya, justru saling melengkapi. Sekiranya manusia
6Ibid., h. 20-24
7Ibid., h. 24
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
34
diciptakan sama dalam hal kecakapan, kecenderungan, kekayaan, atau
lainnya, maka setiap orang akan memiliki kualitas yang sama. Akibatnya,
orang tidak akan saling memerlukan sehingga kerjasama pun tidak mungkin
terjadi.
Sebahagian ayat al-Qur‟an yang dikutip di atas memberi ketegasan
bahwa individu-individu manusia yang berkelompok membentuk suatu
masyarakat, eksistensinya diakui.
Dalam kaitan dengan hidup bermasyarakat, individu diberi rambu-
rambu karena dalam masyarakat terdapat hukum-hukum yang berlaku
universal. Hukum-hukum dimaksud akan terlihat pada uraian berikut.
III. Hukum-hukum Masyarakat
Seperti telah disinggung sebelumnya, ayat al-Qu‟an banyak
menghimbau agar manusia meniti sejarah masyarakat/kaum terdahulu. Selain
itu, surat al-Hasyr, 59:18 secara tegas menyatakan agar setiap individu/diri
memperhatikan sejarahnya. Penitian sejarah ini akan berguna bukan sekedar
untuk hari ini melainkan juga untuk memprediksi masa depan (waltanz{ur
nafs ma> qaddamat li ghadd). Isyarat ayat ini memberikan kejelasan bahwa
secara esensial peristiwa sejarah selalu berulang. Perulangan peristiwa
dengan segala sebab dan akibatnya dapat saja terjadi pada individu ataupun
masyarakat dalam sepanjang sejarah. Al-Qur‟an surat Hûd, 11:120 lebih
lanjut menjelaskan bahwa di dalam sejarah terdapat pelajaran (mau’iz{ah)
dan peringatan (dhikra>) yang akan mengukuhkan hati manusia. Peristiwa
sejarah yang pernah terjadi bukanlah merupakan peristiwa yang mati
melainkan merupakan peristiwa yang masih dan selalu hidup di masa kini
(al-Baqarah, 2:154).
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa masyarakat
memiliki hukum-hukum yang bersifat universal. Hukum-hukum sejarah
dalam masyarakat dinyatakan oleh Tuhan dalam al-Qur‟an tidak mungkin
mengalami perubahan. Pernyataan ini antara lain ditemukan dalam surat al-
Ah{za>b, 33:62, dan Fa>t{ir, 35:43 (lan tajida li sunnatilla>h tabdi>la> wa
lan tajida li sunnatilla>h tah{wi>la>). Ayat-ayat al-Qur‟an yang lain juga
menjelaskan bahwa bangsa dan masyarakat (bukan hanya individu yang
hidup dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip
bersama yang menentukan keteguhan dan kejatuhannya sesuai proses-proses
sejarah tertentu pula.
Masa Lampau untuk Masa Depan
35
Al-Qur‟an surat al-Isra>‟, 17:4-8 antara lain menjelaskan sebab
kehancuran Bani Israil. Dalam ayat ini Tuhan menjelaskan bahwa kaum Bani
Israil akan berbuat kerusakan sebanyak dua kali8 dan akan menjadi tiran-
tiran besar. Ketika hukuman dari kejahatan pertama datang, Tuhan
mendatangkan musuh yang lebih kuat. Akan tetapi setelah Bani Israil
menyesali dosa-dosanya, kembali menjadi orang baik, Tuhan memberi
giliran kepada mereka untuk mengalahkan pihak lainnya. Pada hukuman dari
kejahatan kedua, Tuhan pun mendatangkan kelompok lain yang akan
menindasnya. Tuhan, dalam ayat ini mengingatkan kepada sekumpulan
orang (masyarakat), bukan individu tertentu. Selain itu, ayat ini juga
memberikan gambaran bahwa masyarakat dikuasai hukumnya sendiri.
Sejarah bangsa Arab kuno seperti kaum 'Ad, Samud, Madyan, dan
Saba banyak disebut dalam al-Qur'an. Terhadap kaum-kaum ini, agaknya
Tuhan memberikan perintah khusus kepada manusia (terutama kaum
muslimin) agar memperhatikan sebab-sebab kepunahannya.9 Sebelum punah,
keempat kaum ini pernah mengalami kejayaan. Kaum 'Ad dan kaum Samud
dikenal sebagai ahli di bidang arsitektur dan pertanian (al-A'râf, 7:73-75, al-
Syu'arâ', 26:128-129,132-134 dan 151-152). Selain itu, kaum Samud juga
dikenal sebagai kaum yang ahli di bidang pertanian (al-Syu'arâ', 26:147-148)
seperti halnya dengan kaum Saba' (Saba', 34:15). Adapun kaum Madyan
dikenal sebagai kaum pedagang (Hu>d, 11:84-91). Keempat kaum yang
pernah jaya tersebut akhirnya mengalami kehancuran. Secara lafzhi,
kehancuran kaum' Ad digambarkan sebagai ditimpa oleh sesuatu yang luar
biasa, yakni berupa angin topan dan hujan terus-menerus selama tujuh
malam delapan hari sehingga mereka mati bergelimpangan di rumah masing-
masing.10
Senada dengan kaum' Ad, kaum Samud juga hancur ditimpa suara
yang sangat keras, petir dan gempa yang luar biasa dahsyat.11
Seperti halnya
kaum 'Ad dan Samud, kaum Madyan juga punah oleh suara yang
8al-Maraghi menjelaskan bahwa perbuatan Bani Israil yang dinilai merusak dua kali
adalah: Pertama: mengubah kitab Taurat, membunuh Nabi Shu‟ya, dan memenjarakan
Armia. Kedua: membunuh Nabi Zakaria dan bermaksud membunuh Nabi Isa. Lihat Tafsi>r
al-Maraghi>, (Beirut: Da>r Ih{ya>‟ al-Tura>th al-Arabi>, 1985), Cetakan XIII, Juz XV, h.
15. 9Lihat antara lain surat al-A‟ra>f, 7:74, al-Taubah, 9:70, Ibra>hi>m, 14:9, al-
Ah{qa>f, 46:21, al-Fajr, 89:6. 10
Periksa antara lain surat al-Ah{qa>f, 46:24-25, al-Dha>riyat, 51:41-42, al-Qamar,
54:19-21, dan al-H{a>qqah, 69:6-8. 11
Periksa antara lain surat al-A‟ra>f, 7:78, Hu>d, 11:67, al-Dha>riyat, 51:44-45, al-
Najm, 53:51, al-Qamar, 54:31, dan al-H{a>qqah, 69:5.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
36
menggelegar dan gempa yang dahsyat.12
Adapun kehancuran kaum Saba'
ditimpa banjir bandang (Saba', 34: 16).
Yang menjadi tekanan al-Qur'an terhadap perubahan keempat
masyarakat/kaum di atas bukan pada bentuk alat penghancur (seperti
disambar petir, gempa, banjir atau kalah perang) melainkan pada faktor
penyebab masyarakat tersebut dihancurkan. Kalau diperhatikan secara
seksama, ayat-ayat yang menggambarkan faktor penyebab dihancurkannya
keempat kaum tersebut berada pada faktor keyakinan (aqidah) dan akhlaq.
Kaum' Ad dijelaskan oleh al-Qur'an sebagai kaum yang pamer
kekuatan, bengis, dan kejam. Mereka menuruti perintah penguasa yang
zhalim, bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Mereka juga
tidak percaya kepada Allah swt dan mendustakan Rasul.13
Kaum Samud menonjol di bidang rakus harta sehingga tidak mau
memberi kesempatan unta Nabi Shalih untuk minum dan bahkan
membunuhnya. Mereka juga beragama sebagaimana agama nenek
moyangnya, mendustakan kebenaran yang dibawa Rasul dan mengikuti
perintah penguasa yang zhalim.14
Kaum Madyan digambarkan oleh Tuhan sebagai kaum yang suka
berbuat kerusakan, mengurangi takaran dan timbangan, mengurangi hak-hak
orang lain, berbuat sekehendak hati terhadap harta yang dimiliki, dan
mendustakan serta mengesampingkan nasehat Nabi Syu'aib.15
Kaum Saba‟,
di samping melupakan Tuhan Pencipta, mereka justru mempertuhan
matahari. Selain itu, akibat kemakmuran tanah airnya mereka menjadi malas
dan lupa daratan.16
Atas dasar uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa faktor
penyebab dihancurkannya keempat kaum tersebut secara umum memiliki
kesamaan prinsip, yakni mereka sama-sama tidak mempertuhan Allah Yang
Esa, mendustakan dan menolak dakwah Rasul, berbuat zhalim, kemalasan,
menggunakan harta secara tidak tepat, dan berbagai jenis akhlaq buruk
lainnya. Faktor-faktor inilah agaknya yang menjadi hukum perubahan sosial
12
Periksa antara lain surat Hu>d, 11:25, 94, T{a>ha>, 20:40, al-Furqa>n, 25:38, dan
al-Ankabu>t, 29:37. 13
Periksa antara lain surat al-A‟ra>f, 7:65, Hu>d, 11:59-60, al-Shu‟ara>‟, 26:123-
140, Fus{s{ilat, 41:15. 14
Periksa antara lain surat Hu>d, 11:62,65, Ibra>hi>m, 14:9, al-Shu‟ara>‟, 26:141,
151-152, 156-157, al-Qamar, 54:24. 15
Periksa antara lain surat al-A‟ra>f, 7:85-86, Hu>d, 11:84-91. 16
Periksa antara lain surat al-Naml, 27:24.
Masa Lampau untuk Masa Depan
37
yang universal seperti yang dapat ditangkap dari isyarat ayat-ayat al-Qur'an.
Dipahami demikian karena masa hidup keempat kaum yang dijadikan
pembahasan di atas tidak bersamaan. Di samping itu, tempatnya juga
berbeda.
Kaum 'Ad sebagai kaum Nabi Hud - yang disebut oleh al-Qur'an
sebanyak 24 kali dalam19 surat- diperkirakan hidup tahun 2200-1700
sebelum Masehi. Kaum ini hidup di Yaman dan Hadramaut dan tersebar di
pantai teluk Persia sampaiperbatasan Mesopotamia. Mereka pernah juga
menguasai Babilonia, Mesir, Asyiria, Persia, Punisia, Kartago, Yunani, dan
Creta. Kaum Samud sebagai kaum Nabi Shalih - yang disebut dalam al-
Qur'an sebanyak 26 kali dalam 21 surat - diperkirakan hidup tahun 1600-
1500 sebelum Masehi. Kaum ini adalah penguasa di Arabia Barat Laut.
Kaum Madyan sebagai kaum Nabi Syu'aib - yang disebut dalam al-Qur'an
sebanyak 10 kali dalam 7 surat - diperkirakan hidup tahun 1600-900 sebelum
Masehi. Kaum Madyan ini tinggal antara teluk Aqabah dengan laut Merah di
balik kota Hijr yang pernah menjadi tempat berlindung Musa (sebelum
menjadi Nabi) dan akhirnya dijadikan menantu Nabi Syu'aib (al-Qas{as{,
28: 22-25). Adapun kaum Saba' yang dipakai nama salah satu surat dalam al-
Qur'an adalah penguasa dari teluk Persia sampai laut Merah setelah
mengalahkan Mina. Pusat pemerintahan Saba' ialah Ma'arib yang letaknya
dekat dengan kota San'a (ibukota Yaman sekarang). Kaum Saba'
diperkirakan hidup antara tahun 900-300 sebelum Masehi.17
Akan tetapi diakui bahwa untuk menangkap makna di balik peristiwa
sejarah bukan merupakan hal yang mudah. Kesulitan menangkap peristiwa
sejarah secara jelas disinggung oleh Allah swt dalam surat Yusuf, 12:111
bahwa yang akan mampu menangkap maknanya adalah kalangan al-albâb.18
IV. Gerak Masyarakat
Teori tentang penyebab gerak (perubahan) masyarakat setidaknya
dapat dilihat dari dua tinjauan: tinjauan teologi dan tinjauan ilmu sejarah.
17
Lihat uraian lebih lanjut pada Suwito, “Sejarah dalam al-Qur‟an: Studi tentang
Perubahan Sejarah dalam Kasus Kaum „Ad, Samud, Madyan, dan Saba”, dalam Mimbar
Agama dan Budaya, (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1988), No. 14 Th. VI, h.
47-57. 18
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengartikan al-albab sebagai “kaum intelektual beriman”.
Lihat al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah: Sebuah Refleksi, (Bandung: Pustaka,
1985), Cet. I, h. 17.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
38
Tinjaun Pertama
Secara sederhana, aliran teologi dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
kelompok teologi rasional dan kelompok teologi tradisional. Yang tergolong
aliran teologi rasional adalah Maturidiah Samarkand dan Mu'tazilah. Adapun
yang tergolong aliran teologi tradisional adalah Asy'ariah dan Maturidiah
Bukhara. Walaupun kedua kelompok aliran teologi ini mendasarkan diri
pada ayat-ayat al-Qur'an dan al-Sunnah, aliran teologi rasional memberi
peran yang kuat akan usaha manusia, sedangkan aliran teologi tradisional
kurang memberi peran yang kuat akan usaha manusia. Bila dikaitkan dengan
teori penyebab perubahan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa aliran
teologi rasional akan berpendapat "penyebab perubahan masyarakat adalah
manusia sendiri (qadarî).
Sementara itu, aliran teologi tradisional akan menyatakan bahwa
penyebab perubahan masyarakat (sosial) adalah kehendak Tuhan (jabarî).
Terhadap masalah ini tampaknya M. Quraish Shihab mencoba memberikan
jalan keluar walau pada ujungnya tetap lebih cenderung pada aliran teologi
rasional. Ia menjelaskan bahwa maksud surat al-Ra'd, 13: 11 (Innalla>ha
la> yughayyiru ma> bi qaumin hatta> yughayyiru> ma> bi anfusihim
(...sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum/masyarakat
sampai mereka mengubah terlebih dahulu-apa yang ada pada diri mereka;
sikap mental mereka), terdapat dua macam perubahan dengan dua pelaku.
Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua,
perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Namun
demikian lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perubahan masyarakat yang
dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang
ditetapkan-Nya. Hukum-hukum ini sebagaima hukum alam - tidak mungkin
mengalami perubahan.19
Tinjauan Kedua
Murtadha Mutahhari menyebutkan bahwa teori gerak masyarakat
setidaknya ada enam: 1) teori rasial, 2) teori geografis, 3) teori peranan
19
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, diedit oleh Ihsan Ali-Fauzi, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. I, h. 245-
246.
Masa Lampau untuk Masa Depan
39
jenius dan pahlawan, 4) teori ekonomi, 5) teori keagamaan, dan 6) teori
alam.
Teori rasial berpendapat bahwa perubahan masyarakat disebabkan oleh
ras tertentu. Teori geografis lebih cenderung kepada pendapat bahwa yang
menjadi faktor utama penyebab perubahan masyarakat adalah lingkungan
fisik (geografi). Perangai moderat dan pikiran-pikiran kuat misalnya,
menurut teori ini berkembang di kawasan beriklim sedang. Lain halnya
dengan teori peranan jenius dan pahlawan. Menurut teori ini, perubahan
masyarakat seperti perkembangan ilmiah, politik, teknologi ditimbulkan oleh
orang-orang jenius dan pahlawan. Lain lagi dengan pendangan teori
ekonomi. Manurut teori ini, faktor penggerak perubahan sejarah bukan
ditentukan oleh ras, geografi, peranan orang jenius dan pahlawan, melainkan
ekonomi. Semua ragam masyarakat termasuk segi-segi budaya, agama,
politik, dan lainnya mencerminkan ragam dan hubungan produksi. Adapun
teori keagamaan berpendapat bahwa segala bentuk perubahan ditentukan
oleh kebijaksanaan sempurna Tuhan. Tampaknya teori yang terakhir ini
hanya mengambil satu sisi aliran teologi yang telah dibahas di atas.
Murtadha Mutahhari selanjutnya berpendapat bahwa teori yang sangat tidak
relevan dengan perubahan masyarakat adalah teori keagamaan, yakni
perubahan masyarakat dalam sejarah berasal dari Tuhan. Dengan kata lain
dapat diketahui bahwa Murtadha Mutahhari menentang aliran teologi
tradisional. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan teori alam di sini adalah
teori sifat manusia. Menurut teori ini, manusia mempunyai sifat-sifat
melekat tertentu yang bertanggungjawab atas perubahan masyarakat.20
Jika
diperbandingkan dengan tinjauan pertama di atas, agaknya teori yang
dimaksudkan di sini adalah aliran teologi rasional karena memberi peran
besar pada manusia sendiri. Dua teori yang akhir ini tampaknya sesuai
dengan maksud pada "tinjauan pertama". uraian di atas.
Keenam teori tersebut yang kurang memberi peran akhlaq manusia
adalah teori geografis. Akan tetapi seperti uraian tentang keempat kaum di
atas – persoalan geografis tidak dapat dipisahkan dengan ulah manusia. Di
sini tampaknya terdapat perbedaan mendasar antara teori perubahan
masyarakat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an dengan teori yang
tidak didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an. Ayat ayat al-Qur'an memberikan
penjelasan bahwa akhlaq manusia akan berpengaruh pada peristiwa alam
20
Murtadha Mutahhari, op. cit., h. 208-214.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
40
raya yang sifatnya fisik. Surat al-Rûm, 30:41 misalnya, menyatakan bahwa
akibat perbuatan manusia berpengaruh besar pada perubahan alam (z{ahara
al-fasa<d fî al-barr wa al-bah{r bima> kasabat aidi> al-na>s... = telah
tampak kerusakan di darat dan laut dikarenakan ulah manusia...). Atas dasar
ini dapat diambil pelajaran bahwa setiap terjadi peristiwa alam seperti
gempa, banjir besar, angin topan yang membawa kerusakan, manusia
diingatkan untuk meninjau ulang perbuatan yang tidak diridai.
V. Masyarakat Mesa Hadapan
Khusus bagi negara berkembang seperti Indonesia, pada mesa hadapan
ini diprediksikan akan mempunyai tiga ciri utama. Pertama, masyarakat
Indonesia berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.
Kedua, globalisasi informasi, dan ketiga, semakin tingginya tingkat
intelektualitas terutama di kalangan kaum muda. Kondisi yang akan dialami
Indonesia tersebut bukannya tidak ada tantangan yang akan dihadapi,
khususnya bagi para agamawan. Setidaknya tantangan yang akan dihadapi
bangsa Indonesia dalam kondisi semacam itu diprakirakan antara lain
sebagai berikut.21
Pertama, masyarakat akan jauh dari agama. Seperti halnya masyarakat
Barat yang maju dan modern, masyarakat agraris menjadi masyarakat
industri, akan jauh dari agama. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa
masyarakat agraris masih sangat menggantungkan kehidupannya kepada
alam. Faktor-faktor yang di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya
seperti kemarau panjang dan banjir besar, secara psikologis membuat
masyarakat agraris cenderung taat kepada agama. Mereka selalu
mendekatkan diri kepada Tuhan dan berharap diselamatkan dari berbagai
bencana. Sebaliknya, masyarakat industri akan tidak terlalu bergantung
kepada alam. Mereka lebih otonom dalam mengatasi perekonomian yang
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara kejiwaan, situasi
yang demikian akan membawa mereka untuk cenderung kurang merasa perlu
pada agama dan berkecenderungan pada pola hidup mewah. Selain itu, akan
terjadi pula urbanisasi besar-besaran ke daerah-daerah pusat industri.
Akibatnya, pola kehidupan kota bertambah banyak. Sementara itu, kontrol
21
Disadur antara lain dari Munawir Sjadzali, “Agama dan PJPT II”, Pelita, 10 dan 11
November 1993. Dipo Alam, Interrelasi Iptek dan Agama dalam Pendidikan: Sudut
Pandang Kecenderungan Iptek dan Islam Masa Kini, Bahan Seminar Sehari “Interrelasi
Iptek dan Agama”, IKIP Muhammadiyah Jakarta (kini UHAMKA), Jakarta, 18 Mei 1993.
Masa Lampau untuk Masa Depan
41
sosial dalam kehidupan kota hampir kurang ada. Atas dasar ini maka terbuka
lebar peluang sebahagian besar masyarakat untuk berperilaku yang tidak
sesuai dengan ajaran agama.
Kedua, masyarakat lebih cenderung berperilaku tidak sopan.
Kecenderungan ini muncul antara lain diakibatkan oleh derasnya globalisasi
informasi. Semakin canggih sarana informasi berupa media cetak dan
elektronik, dimungkinkan budaya lain yang negatif sukar diadakan sensor
dan sebaliknya akan mudah dibaca ataupun dilihat di tempat tinggal masing-
masing penduduk. Berita ataupun hiburan yang berisi semacam kejahatan
atau perilaku menyimpang lain yang diperdengarkan, ditulis ataupun
digambar (gerak atau diam) media tersebut akan semakin banyak dinikmati.
Informasi yang disajikan oleh media-media tersebut bisa menjadi pendorong
bagi pembaca, pendengar, ataupun pemirsa untuk melakukan hal yang sama
dengan alasan apapun (kemasyhuran, kenikmatan, iseng, dll.). Hal ini
semakin jelas karena kecenderungan meniru perilaku kurang baik lebih
mudah daripada meniru perilaku yang terpuji.
Ketiga, masyarakat tidak mudah menerima pendapat orang lain, guru
agama sekalipun, kalau suatu pendapat tidak diberikan argumentasi yang
rasional yang dapat diterima oleh pikirannya. Hal semacam ini antara lain
diakibatkan oleh semakin luasnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hakekatnya lebih banyak
untuk konsumsi rasio akan semakin digandrungi para kaum muda yang
sedang mencari jatidiri. Mereka lebih cenderung tidak mudah menerima
kritik ataupun nasehat kalau tidak secara mudah diterima oleh rasionya.
Sementara itu, tidak semua ajaran agama mudah diterima oleh rasio.
Itulah di antara sisi negatif dari ciri khusus yang diprakirakan akan
terjadi di Indonesia pada masa hadapan. Selain itu, Indonesia dalam babak
baru nanti juga akan mempunyai masa depan yang sebetulnya dapat
dimasukkan sebagai tantangan yang positif. Di antaranya adalah: 1) karena
ketinggian intelektualitas semakin banyak maka orang yang bodoh terpaksa
harus minggir. Mereka hanya akan bisa hidup dari belas kasihan orang lain.
Kondisi semacam ini akan mendorong manusia untuk mau belajar lebih
banyak; Kejujuran prima menjadi ajang persaingan. Orang yang tidak jujur
akan segera dikucilkan; 3) disiplin tinggi sangat diperlukan karena nilai
waktu semakin mahal; 4) diperlukan kejelian/kearifan untuk memilih karena
semakin banyaknya pilihan yang ada. Kesalahan dalam memilih akan rugi
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
42
sendiri atau dirugikan oleh pihak lain; 5) karena persaingan yang begitu
ketat, maka orang yang berkemauan kuatlah yang akan memperoleh
keuntungan.22
Kalau diperbandingkan antara masa keemasan Islam terdahulu dan
masa hadapan, al-Qur'an masa keemasan Islam periode klasik justru menjadi
pemicu bagi munculnya masa keemasan tersebut. Sebaliknya, masa hadapan
yang diprediksikan sebagai masa globalisasi informasi justru al-Qur'an
tampak mendapat tantangan. Jika benar demikian, maka akan timbul
pertanyaan: mengapa demikian?
Al-Qur'an surat Fa>t{ir, 35:27-28 menyatakan 'bahwa hanya para
ilmuwanlah yang benar-benar taqwa (khas{yah) kepada Allah. Ayat ini
justru tampak memberikan pemahaman yang bertentangan dengan
pernyataan bahwa masa hadapan yang diprakirakan akan semakin banyak
kaum intelektual, dikatakan sebagai tantangan bagi agama. Ayat al-Qur‟an
tersebut justru memberikan legitimasi bahwa hanya orang yang
intelektualitasnya tinggi (ilmuan) yang paling bertaqwa kepada Allah swt.
Menurut isyarat ayat ini – seharusnya – semakin tinggi ilmu seseorang maka
akan semakin dekat kepada agama.
VI. Al-Qur’an dan Masyarakat Masa Hadapan
Dari uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa masyarakat akan selalu
mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Seperti
telah disinggung di atas, al-Qur‟an telah memberi motivasi kepada ummat
Islam klasik (650-1250) menjadi ummat yang bangsa lain justru mengalami
zaman kegelapan. Dari sisi politik, ummat Islam menjadi penguasa daerah-
daerah antara India di Timur dan Spanyol di Barat. Pada masa ini
berkembang pula ilmu pengetahuan baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang non-agama. Pada masa ini pula ulama-ulama besar di bidang hukum
seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad
ibn Hanbal muncul. Di bidang teologi telah lahir tokoh-tokoh seperti Washil
ibn Atha‟, al-Nazzam, Imam al-Maturidi, dan Imam al-Asy‟ari. Di bidang
mistik dan tasawuf telah lahir tokoh-tokoh seperti Zu al-Nun al-Mishri, Abu
Yazid al-Bustami, dan al-Hallaj. Di bidang falsafat telah lahir para filosof
seperti al-Kindi, al-Farabi, ibn Sina, ibn Miskawaih. Ibn Hisyam, ibn
22
Diringkas dari Mastuhu, Kesiapan Madrasah Aliyah dalam Menyongsong Tahun
2000, Bahan Seminar Sehari di STIT al-Hikmah Jakarta, 9 November 1991.
Masa Lampau untuk Masa Depan
43
Hayyan, al-Khawarizm, al-Mas‟udi, dan al-Razi juga di antara para ahli di
bidang ilmu pengetahuan yang lahir pada masa klasik Islam.23
Setelah masa
klasik, ummat Islam mulai menurun pamornya tetapi mulai abad XIX ada
tanda-tanda kebangkitan kembali.
Kemunduran ummat Islam tersebut menyadarkan para tokoh muslim
untuk berpendapat mengenai faktor utama apa saja yang menyebabkan
kemunduran ummat Islam masa lalu. Masing-masing ahli tampaknya
mempunyai kesimpulan yang beragam sesuai keahliannya. Para teolog
misalnya, akan berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan
oleh karena teologi yang dianutnya bukan lagi teologi yang membawa
dinamika. Ahfi fikih mempunyai penilaian bahwa faktor penyebab
kemunduran mereka adalah Islam yang mereka anut bukan lagi Islam dalam
arti sebenarnya. Bid'ah atau semacamnya telah menguasai kehidupan
mereka. Politisi lebih cenderung berpendapat bahwa faktor yang menjadi
penyebab mundurnya ummat Islam adalah faktor perebutan kekuasaan.
Mereka tidak lagi bersatu di bawah satu kekuasaan. Filosof berpendapat
bahwa yang menjadi sebab kemunduran ummat Islam adalah adanya
pengekangan berfikir dan bahkan pengharaman falsafat. Kemerdekaan
berfikir tidak lagi memperoleh tempat dalam kehidupan ummat Islam.
Ekonom bisa berpendapat lain. Menurutnya, ummat Islam mundur karena
mereka tidak lagi mampu menguasai perekonomiannya. Pendidik juga
berpendapat yang lain lagi. Menurutnya, penyebab kemunduran ummat
Islam disebabkan adanya pendidikan yang salah. Pendidikan yang
diselenggarakan tidak lagi menghasilkan anak didik yang dinamis dan
tanggap terhadap kemajuan zaman. Para ahli di bidang ilmu lain tentunya
juga mempunyai pendapat yang lain lagi. Akan tetapi kalau diperhatikan
lebih dalam agaknya mereka dapat menerima pernyataan bahwa faktor utama
penyebab kemunduran ummat Islam adalah kurang memanfaatkan daya pikir
yang dimiliknya, sementara ajaran Islam sendiri sangat mendorong
penggunaan daya pikir tersebut.24
Istilah lain yang lebih sederhana dapat
dikatakan bahwa pintu ijtihad yang pernah ditutup perlu dibuka kembali dan
dihidupkan dan dikembangkan bukan sekedar dalam hukum tetapi mencakup
semua bidang.
23
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. IV, h. 13. 24
Lihat uraian lebih lanjut pada Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
(Jakarta, UI Press, 1983), Cet. II, h. 5-8.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
44
Ijtihad dalam Islam semestinya selalu dihidupkan mengingat ayat-ayat
al-Qur‟an memberi peluang dan bahkan mendorong untuk itu. Ayat-ayat al-
Qur‟an yang seluruhnya berjumlah 6236 buah (4780 ayat Makkiyah dan
1456 ayat Madaniyyah),25
khusus menyangkut persoalan hidup
kemasyarakatan hanya memberikan tuntunan secara garis besar atau prinsip-
prinsip. Hanya kurang lebih 8%.
Dari seluruh ayat al-Qur'an mengandung ketentuan tentang iman,
ibadah, dan hidup kemasyarakatan. Ayat-ayat menyangkut ibadat berjumlah
140 ayat dan mengenai hidup kemasyarakatan berjumlah 228 ayat. Ayat-ayat
yang berbicara tentang hidup kemasyarakatan dirinci sebagai berikut.
1. Soal kekeluargaan (al-ah{wal al-skakhs{iy>ah) seperti perkawinan,
perceraian, dan hak waris ada70 ayat.
2. Hukum perdata (al-ah{ka>m al-madaniy>ah) seperti perdagangan,
perekonomian, sewa menyewa, pinjam meminjam, perseroan, dan
kontrak ada 70 ayat.
3. Hukum pidana (al-ahka>m al-jina>'iy>ah) ada 30 ayat.
4. Hukum acara (al-ahka>m al-mura>fa'ah) ada 13 ayat.
5. Soal pengadilan (al-ahka>m al-dustu>riy>ah) ada 10 ayat.
6. Soal kenegaraan (al-ahka>m al-dawliy>ah) ada 25 ayat.
7. Soal ekonomi dan harta benda (al-ahka>m al-iqtis{adiy>ah wa al-
ma>liy>ah) menyangkut hubungan orang kaya dan orang miskin ada 10
ayat.26
Muhammad 'Abduh meninjau dari sisi lain yang berbeda dengan cara
yang ditempuh oleh ahli hukum di atas. Menurutnya, Islam memang
memerintahkan kepada ummatnya untuk berijtihad dan melarang taqlid.
Adanya ketentuan hukum akal dan terdapatnya ayat-ayat mutasha>biha>t
memberikan peluang kepada para pemikir untuk melakukan ijtihad.27
Dalam kaitan dengan hidup kemasyarakatan, ayat-ayat al-Qur'an
memang tidak memberi ketentuan baku seperti dalam hal bentuk
pemerintahan apakah harus berbentuk kerajaan atau republik. Dalam bidang
25
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Cetakan Saudi Arabia,
1412H, h. 16. 26
„Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Us{u>l al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-
Isla>miy>ah, 1990), Cet. VIII, h. 32-33. 27
Muhammad „Abduh, Risa>lat al-Tawh{i>d, (Tanpa nama kota dan penerbit, 1969),
h. 10.
Masa Lampau untuk Masa Depan
45
perekonomian, ayat-ayat al-Qur'an juga tidak memberikan model baku
apakah sistem sosialisme, komunisme, atau kapitalisme. Yang ditemukan
dalam ayat-ayat al-Qur'an perihal prinsip pemerintahan adalah adanya
musyawarah. Adapun menyangkut perekonomian ditemukan prinsip
haramnya riba dan keadilan wajib dilaksanakan.28
Dalam bidang-bidang lain
akan dapat pula ditemukan prinsip-prinsipnya dari ayat-ayat al-Qur'an.
Perubahan masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan
teknologi atau sebaliknya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
akan membawa perubahan masyarakat, agaknya telah diantisipasi oleh al-
Qur'an. Yang berperan besar dalam kehidupan masyarakat adalah manusia.
Sudah jauh-jauh hari dinyatakan oleh al-Qur'an dan disetujui para filosof
Muslim bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah
karena akalnya. Dalam banyak ayat al-Qur'an,29
akal manusia dijunjung
tinggi. Dengan akal manusia pula, ilmu pengetahuan dan teknologi maju dan
berkembang. Atas dasar ini barangkali Muhammad 'Abduh mempunyai
pendapat bahwa ilmu pengetahuan yangdihasilkan oleh akal tidak mungkin
bertentangan dengan wahyu Tuhan. Keduanya bersendikan akal dan
keduanya mempelajari alam. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Tuhan telah
menurunkan dua kitab: yang satu dijadikannya adalah alam dan yang satu
lagi diwahyukan-Nya adalah al-Qur'an.30
Wahyu tidak dapat membawa hal-
hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zhahir ayat bertentangan dengan
akal maka wajiblah bagi akal untuk mengi'tikadkan bahwa yang dimaksud
sebenarnya bukanlah arti yang zhahir itu.31
Atas dasar ini pula para ahli di
bidang tafsir al-Qur'an sering menghimbau kepada para ahli untuk
menafsirkan secara kontekstual.32
28
Bandingkan dengan uraian Harun Nasution, “Sekitar Pendapat al-Qur‟an
Mengandung Segala-galanya”, dalam Studia Islamika, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1976), Nomor I, Tahun I, h. 6. 29
Kata akal dalam al-Qur‟an bukan berbentuk isim (Kata benda) melainkan kata
kerja. Setidaknya ada 50 kali kata berakal disebut dalam al-Qur‟an. Selengkapnya periksa
Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi‟ dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-
Kari>m, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), h. 468-469. 30
Periksa Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, (London: Oxford
University Press, 1933), h. 134 dan 136. 31
Muhammad „Abduh, Risa>lat al-Tawh{i>d, op. cit., h. 114. 32
Periksa antara lain pendapat Umar Syihab, al-Qur’an dan Rekayasa Sosial,
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), Cet. I, h. 22. Lihat juga M. Quraish Shihab, “Tafsir
Kontekstual itu Mutlak Diperlukan”, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: 21 Juli 1987),
Nomor, 456, h. 56.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
46
VII. Kesimpulan
Uraian sederhana di atas dapat diambil kesimpulan bahwa “banyak
kejujuran banyak teman”,. Hal ini al-Qur'an memberikan dorongan kepada
manusia untuk selalu mengadakan perubahan yang bersifat positif, karena
fungsi utamanya memang mengajak manusia untuk kebaikan (litukhrij al-nâs
min al-zhulumât ilâ al-nûr).
Manusia yang berpedoman pada al-Qur'an dituntut untuk selalu
mengadakan perubahan dan pembaharuan. Salah satu cara untuk itu adalah
dengan meniti sejarah masyarakat terdahulu untuk dasar berpijak pada hari
ini dan menyongsong masa depan. Masyarakat terdahulu digambarkan oleh
al-Qur'an selalu mengalami perubahan. Perubahan yang membawa akibat
negatif di bidang aqidah dan akhlaq akan selalu mengalami kehancuran.
Hukum-hukum perubahan dalam masyarakat berlaku universal dan
tidak akan mengalami perubahan. Karena masyarakat selalu bergerak maka
jumlah ayat-ayat al-Qur'an yang membicarakan hidup bermasyarakat sangat
sedikit. Selain itu, isi ayat-ayatnya pun hanya memberikan patokan dasar
yang sifatnya relatif, tidak absolut.
DAFTAR PUSTAKA
„Abduh, Muhammad, Risa>lat al-Tawh{i>d, Tanpa nama kota dan penerbit,
1969
Masa Lampau untuk Masa Depan
47
Adams, Charles C., Islam and Modernism in Egypt, London: Oxford
University Press, 1933.
Alam, Dipo, Interrelasi Iptek dan Agama dalam Pendidikan: Sudut Pandang
Kecenderungan Iptek dan Islam Masa Kini, Bahan Seminar Sehari
“Interrelasi Iptek dan Agama”, IKIP Muhammadiyah Jakarta (kini
UHAMKA), Jakarta, 18 Mei 1993.
al-Baqi‟, Muhammad Fu‟ad „Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z{ al-
Qur’a>n al-Kari>m, Beirut: Da>r al-Fikr, 1981
al-Khallaf, „Abd al-Wahhab, ‘Ilm Us{u>l al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-
Dakwah al-Isla>miy>ah, 1990, Cet. VIII.
Al-Maraghi, Tafsi>r al-Mara>ghi>, Beirut: Da>r Ih{ya>‟ al-Tura>th al-
Arabi>, 1985, Cetakan XIII, Juz XV.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Cetakan Saudi Arabia,
1412H.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah:
Sebuah Refleksi, Bandung: Pustaka, 1985, Cet. I.
Mastuhu, Kesiapan Madrasah Aliyah dalam Menyongsong Tahun 2000,
Bahan Seminar Sehari di STIT al-Hikmah Jakarta, 9 November 1991.
Mutahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme
dan Teori Lainnya, terjemah M. Hashem dari Society and History,
Bandung: Mizan, 1986, Cet. I.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta, UI Press, 1983, Cet.
II
--------------, “Sekitar Pendapat al-Qur‟an Mengandung Segala-galanya”,
dalam Studia Islamika, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1976, Nomor
I, Tahun I
--------------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1986) Cet. IV
Shihab, M. Quraish, “Tafsir Kontekstual itu Mutlak Diperlukan”, dalam
Panji Masyarakat, Jakarta: 21 Juli 1987, Nomor, 456
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Quran
48
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, diedit oleh Ihsan Ali-Fauzi, Bandung:
Mizan, 1992, Cet. I.
Sjadzali, Munawir, “Agama dan PJPT II”, Pelita, 10 dan 11 November 1993.
Suwito, “Sejarah dalam al-Qur‟an: Studi tentang Perubahan Sejarah dalam
Kasus Kaum „Ad, Samud, Madyan, dan Saba”, dalam Mimbar Agama
dan Budaya, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1988
Syihab, Umar, al-Qur’an dan Rekayasa Sosial, Jakarta: Pustaka Kartini,
1990, Cet. I.