penyelesaian perceraian karena isteri...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ
(Studi Pada Pengadilan Agama Serang)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
UWES HUJJATUL ISLAM
NIM: 104044101449
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ
(Studi Pada Pengadilan Agama Serang)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
UWES HUJJATUL ISLAM
NIM: 104044101449
Dibawah Bimbingan:
Pembimbing
Kamarusdiana, S.Ag, M.H
NIP. 150 285 972
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJUIAN
Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ
(Studi pada Pengadilan Agama Serang) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 06 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyah.
Jakarta, 06 April 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA.,
MM.
NIP. 150 210 442
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA
(…….……………)
NIP. 150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH
(.............................)
NIP. 150 285 972
Pembimbing : Kamarusdiana, S.Ag., MH
(.............................)
NIP. 150 285 972
Penguji 1 : Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA
(……….…………)
NIP. 150 169 102
Penguji II : Asmawi, M.Ag
(…….……………)
NIP. 150 282 934
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Februari 2009
Uwes Hujjatul Islam
KATA PENGANTAR
������������������������ �������� �������� ���������������������������� ��������������������������������
Alhamdulillahirobbil’alamin dengan segala kerendahan hati, penulis
panjatkan puji dan syukur kehadirat allah SWT atas segala limpahan taufiq dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan Salam semoga
tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad SAW, keluarga dan
para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan Agama
Islam hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perceraian Karena Isteri Nusyuz (Studi
Pada Pengadilan Agama Serang)”. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana hukum Islam (SHI), pada Konsentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang
telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis
sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Program Studi Peradilan Agama, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan
juga kepada Sekretaris Program Studi Peradilan Agama, Kamarusdiana, S.Ag.,
M.H. yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat membantu selama
penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Pembimbing skripsi penulis, Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi dalam penulisan skripsi serta
tidak jera memberi masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini dan juga
bersedia meluangkan waktu kepada penulis di tengah kesibukannya.
4. Segenap bapak dan ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap jajaran Staf dan Karyawan Akademika Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun
skripsi.
6. Ketua Pengadilan Agama Serang dan seluruh Staf yang telah mengizinkan dan
membantu penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama
Serang guna penyelesaian skripsi ini.
7. Ayahanda Drs. M. Djurdjani dan Ibunda Anisah Zuhri, kakanda (Uyu
Mu’awanah, S.Pd dan Yeti Fikriyati, S.Pdi), adinda (Ima Hikmawati dan Iman
Izzurrohman), Kakek (Alm. KH. Zuhri Darda) serta Nenek dan semua keluarga
yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang penulis hormati dan sayangi yang
senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta memberikan
dorongan moril dan materiil, serta nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis,
semoga hari-hari mereka selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT.
8. Pamanku dan isteri (Drs. Abdul Basit Zuhri, MA. dan Nova Santika) yang selalu
memberikan motivasinya kepada penulis, serta keponakan-keponakanku yang
ganteng-ganteng dan cantik (Fajrul Falah, Miftah Ilmi Rabbani, Aisyah Lutfiah)
9. Zakaria, M. Yusuf, Fajar Abrilian, Azizah, Ulfah Fauziyah, Zuhairi Barata,
Muhammad Isnaini, Indrawan, A. Bafaqih, dan kepada seluruh angkatan 2004
khususnya Peradilan Agama yang telah membantu dan mengisi hari-hari penulis
selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam K.H. Bahruddin beserta keluarga,
dan tidak lupa teman-teman di Pondok Pesantren Daar El-Hikam: Luthfi, Ade,
Maki, Iwan, Hasan, Yayat, Aziz, Toni, Amri, Sani dan semua santri (mohon maaf
tidak bisa sebutin satu-satu).
11. Keluarga besar Al-Barkah: Rohim, Domen, Nian, Aziz, Habib, Majid, dkk.
Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya
khususnya bagi penulis sendiri dan dan bagi para pihak yang turut membantu semoga
amal ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Amin
Jakarta, 27 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 9
D. Metode Penelitian ............................................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13
BAB II SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar hukum Perceraian ............................................ 14
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian .................................................... 18
C. Macam-macam perceraian .................................................................. 20
D. Prosedur Perceraian ............................................................................ 30
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz ................................................ 36
B. Faktor-faktor Isteri Nusyuz ................................................................. 40
C. Akibat Nusyuz .................................................................................... 44
BAB IV PENYELESAIAN PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ DI
PENGADILAN AGAMA SERANG
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Serang ................................... 48
B. Data Perceraian Isteri Nusyuz ........................................................... 53
C. Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ...................................................... 56
D. Analisa Penulis terhadap Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ......... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 67
B. Saran-saran ......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ............................. 73
B. Mohon Data / Wawancara ................................................................ 74
C. Wawancara ....................................................................................... 75
D. Pedoman Wawancara ....................................................................... 76
E. Hasil Wawancara .............................................................................. 77
F. Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2006 .................................... 79
G. Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2007 .................................... 80
H. Putusan No. 58 / Pdt.G / 2006 / PA Srg ............................................ 81
I. Putusan No. 30 / Pdt.G / 2007 / PA Srg ............................................ 87
J. Putusan No. 214 / Pdt.G / 2008 / PA Srg .......................................... 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia yang hidup dimuka bumi ini pasti menginginkan kebahagiaan
dan salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan cara
melakukan perkawinan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Aturan tersebut
dibuat oleh Allah SWT secara sempurna sehingga manusia yang mengikutinya
dapat memperoleh ketentraman dan kebahagiaan.
Islam membangun kehidupan keluarga atas dasar dua tujuan: pertama,
menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk menciptakan wadah yang bersih
sebagai tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri diatas landasan yang kokoh
dan teratur tatanan sosialnya.1
Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang disyari’atkan Allah
SWT kepada hamba-hamba-Nya. Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak hanya
sebagai kebutuhan biologis seksualitas antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita, akan tetapi Islam memandang sebuah perkawinan sebagai institusi untuk
menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
1 Abduttawal Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs Monogami
Barat, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet ke-1, h. 8-9.
Sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Hujurat ayat 13:
������� � !""#� �$�% &'( )*+%,-./ ��01 ��⌧345 6748$9:��
;<'( )*=-.>.?�� 8&�>'A BCE��F4G�� HI�>=�J.>�K�� 6
"L�% ;&'(�1��MN�: .�*� �� ;<'(�4%+�: 6 "L�% A� PQR�-�
ST��F./ �UVW Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Al-Hujurat: 13)
Allah SWT, menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat
berhubungan satu sama lain. Sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan
hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari
Rasul-Nya yaitu dengan perkawinan.
Menurut hukum Islam yang dimaksud perkawinan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-
tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya
bukan muhrim.2
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, baik pada diri manusia, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan.
2 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991), cet.I, h.2
Perkawinan adalah suatu hubungan istimewa yang tentunya berbeda dengan
hubungan perdata lainnya, seperti: hukum kewarisan, hukum benda atau hukum
kekayaan,3 artinya bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut aspek lahiriyah
saja tetapi juga aspek batiniyah dan hal inilah yang membedakan hukum
perkawinan dengan hukum kebendaan atau hukum kewarisan. Selain itu hukum
perkawinan juga mencakup aspek yuridis sosiologis yakni suatu hubungan
interaksi yang memiliki norma-norma tersendiri.
Perkawinan merupakan salah satu yang diplih Allah SWT sebagai jalan
terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan
seorang wanita setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya sebagai
suami isteri.
Hukum bukan hanya sekedar kumpulan peraturan tingkah laku belaka, akan
tetapi merupakan sebuah manifestasi konsep-konsep, ide-ide dan cita-cita sosial
mengenai pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan
masyarakat.
Hal ini tercermin dalam konsep atau cita-cita tentang keadilan sosial,
kesejahteraan hidup bersama, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan
demikian untuk mencapai semua itu, peradilan yang merupakan bagian dari
pranata hukum (Legal Institution) sangat berperan penting terhadap
berlangsungnya keteraturan, kesejahteraan serta ketentraman dan sebagainya.
3 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indo, 1978), h. 7
Dalam pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa perkawinan dapat terputus disebabkan karena: (1). Kematian;
(2). Perceraian; (3). Atas Putusan Pengadilan4. Terutama pada kasus peceraian
dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Dalam hadits shahih dikatakan:
� ��� ا��ازي ���� �� ه�� إ��ا � و��� ���� �� �ی�ن ��� � �!� '&%� ا�� ا�#"��
���� أن�، أ�� �� �"�ان �"�ه�ی�ة أ�� �� ا�#+� �� 7��� ی%�ك �� : و�2�� �4�2 ا0 1�23 ا0 ر��ل .�ل : .�ل
روا ( @��: او.�ل أ<� �>� ر?� <2=� �>� آ�: إن 7��9 : �2�� H(5
Artinya: Hadits Ibrohim ibn musa ar-Razi, hadits Isa ibn Yunus hadits Abdul Hamid ibn
Ja’far dari Imron ibn Abi Annas, dari Umar ibn Hakam dari Abi Hurairah
berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah seorang mu’min laki-laki
membenci seorang mu’min perempuan jika ia membenci sesuatu tingkah
lakunya, tentu ada tingkah lakunya yang lain yang disenanginya. (HR.Muslim)
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya
salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam.
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diharapkan oleh Islam, akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan
seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat
mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan, kasih sayang
dan dapat memelihara anaknya dalam pertumbuhan yang baik.
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
Ke 6, h. 274-275. 5 Shahih Muslim, (Riyadh: Daarus Salam: 1998), Bab Radha, h. 626
Karena itu maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan
paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas
menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, selain daripada
itu Allah SWT sendiri menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan
sebutan “Mitsaqon Ghalidzaa” (perjanjian yang kokoh)6.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 21:
.+Y⌧3�� Z��$�'Y>\=�4 ]�4G�� 67^7+=�: ;<_`_a�>�& 6b,c�% cd�>�&
�eY./�:�� <_`#�1 g% 4hY�01 #_Y�-⌧P �iUW
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
(An-Nisaa’/4:21)
Jika ikatan antara suami isteri itu demikian kokohnya, maka tidak sepatutnya
dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk penyepelekan hubungan perkawinan
dan melemahkannya adalah dibenci Islam, karena ia merusakan kebaikan dan
menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.
Nabi bersabda:
���� ��Cآ �� ��!�, ���� ��"#� �� ���>, ���� ,د��ر �� �#�رب �� ,واE3 �� �&�ف
�"� ا��, �� H1!�4�2 ا0 ��23 ا�� ا�� روا:( ا���2Mق ا0 ا�� ا�#2�ل أJK� :.�ل و2��
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: perbuatan) 7اودد
yang halal akan tetapi dibenci oleh Allah Azza Wajalla ialah Thalaq.
(HR Abu Daud).
6 Slamet Abidin & H. Aminuddin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1996) cet.ke-
2 h.9 7 Sunan Abi Daud (Beirut: Daru Ibn Hizam, 1998), Bab Thalaq, h.334
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya
perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka
kemudhorotan yang akan terjadi8. Meski diperbolehkan untuk bercerai tetapi hal
itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan
kemaslahatan antara suami isteri.
Namun demikian tidak jarang terjadi bahwa tujuan mulia tersebut tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Karena pada kenyataannya membina suatu perkawinan
yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan kandas
ditengah jalan, akibatnya timbullah perceraian. Perceraian merupakan
problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi
anak-anak, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban karena orang tuanya
berpisah.
Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya
perdamaian, maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian,
cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun
kehendak isteri, hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian
memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda,9
perceraian atas kehendak suami disebut cerai talaq sedangkan perceraian atas
kehendak isteri disebut cerai gugat.
8 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003) cet ke-1,
hal.124. 9 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), cet. Ke 1, h.206
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114, menyatakan bahwa:
putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak atau berdasarkan gugatan perceraian.10
Salah satu azas perkawinan yang ada adalah mempersulit terjadinya
perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila
terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula.
Pada dewasa ini dengan berjalannya waktu, perempuan atau isteri dengan isu-
isu gendernya mulai meminta haknya untuk disamakan dengan laki-laki, karena
isteri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan penghasilannya pun lebih tinggi dari
penghasilan suami, sebagai isteri sudah meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang isteri dan ibu rumah tangga yaitu berbakti kepada suami. Berbeda dengan
sekarang tidak sedikit isteri yang berpenghasilan tinggi tidak mau diperintah oleh
suaminya yang penghasilannya pas-pasan, sebagai isteri seharusnya ia
menjalankan apa yang menjadi kewajibannya salah satunya memberikan nafkah
batin kepada suaminya.
Apabila hal ini terjadi maka ini merupakan persoalan yang sangat penting
karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan, dan tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya perselingkuhan
yang dilakukan oleh salah satu pasangan, sehingga kehidupan keluarga tidak
berjalan harmonis.
10 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004), cet. Ke 4, h. 140
Berawal dari penjabaran latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali
mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “Penyelesaian Perceraian Isteri
Nusyuz studi pada Pengadilan Agama Serang”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan
pembahasan ini pada masalah perceraian Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama
Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
214/Pdt.G/2008/PA Srg .
2. Perumusan Masalah
Pada dasarnya kewajiban seorang isteri adalah berbakti kepada suami lahir
dan batin sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 83
ayat 1 “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. Akan tetapi pada
kenyataannya banyak isteri yang acuh terhadap suaminya bahkan diajak ke
tempat tidur dia menolak tanpa ada alasan yang jelas.
Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana majelis hakim Pengadilan Agama Serang dalam memproses
perceraian karena Nusyuz?
b. Bagaimana putusan majelis hakim di Pengadilan Agama Serang
mengenai carai talak tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di
lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara
perceraian dengan alasan Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama Serang.
Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah tersebut, maka yang
akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya Isteri Nusyuz?
b. Memperoleh gambaran atas data dan informasi mengenai bentuk isteri
nusyuz di Pengadilan Agama Serang.
c. Mengetahui prosedur penyelesaian perkara cerai isteri Nusyuz.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dan hasil penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Agar penelitian ini akan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi
peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai
tatacara perceraian di Pengadilan Agama
b. Bagi masyarakat pembaca pada umumnya dan mahasiswa pada
khususnya, tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan
yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan.
c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
hukum Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian.
d. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi pihak yang berwenang saat
mengambil kebijakan dalam upaya peningkatan kesadaran hukum di
masyarakat tentang perceraian di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah penulis menggunakan
pendekatan kualitatif, Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat
mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah-
wilayah konsep mutu.11
yaitu dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan
dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama berupa putusan cerai talak mengenai
perceraian karena alasan Nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama Serang
dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
11 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), cet.I, h.37
214/Pdt.G/2008/PA Srg. Wawancara terhadap hakim, kemudian kedua data
tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan
masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits,
buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta
peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang
diajukan.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Menganalisis terhadap putusan cerai talak karena isteri nusyuz pada
Pengadilan Agama Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg,
30/Pdt.G/2007/PA Srg dan 214/Pdt.G/2008/PA Srg.
b. Wawancara (Interview) yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12
Interview
yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah
12 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
h.186
dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh
informasi dari terwawancara (interviewer).13
Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan responden
yaitu: Hakim Pengadilan Agama Serang dan guna melengkapi data yang
yang dilakukan, penulis akan melakukan wawancara dengan responden
yaitu pihak-pihak yang terlibat langsung pada kasus yang bersangkutan,
dalam hal ini adalah pemohon dan termohon.
4. Analisa Data
Analisa data adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik
transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat
dipresentasikan temuannya kepada orang lain.14
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
putusan perkara perceraian karena alasan isteri Nusyuz yaitu putusan dengan
Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
214/Pdt.G/2008/PA Srg. dan menghubungkan dengan hasil interview dari pihak
yang terlibat langsung pada kasus ini dalam hal ini adalah hakim Pengadilan
Agama Serang yang menangani kasus ini. Sehingga didapat suatu kesimpulan
13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996), cet.ke-10, h.
144 14 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu sosial dan Keagamaan, h.77
yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang
dilakukan penulis dalam penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan
Didalam melakukan penyusunan skripsi ini penulis memberikan gambaran
guna mempermudah pembaca dalam menelaah skripsi ini, maka dalam penulisan
skripsi ini, penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari skripsi ini secara singkat
adalah sebagai berikut:
Bab pertama: Berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Serta
Sistematika Penulisan.
Bab kedua: Menguraikan Sekitar Masalah Perceraian Isteri Nusyuz: Pengertian
dan Dasar Hukum Perceraian, Sebab-sebab terjadinya Perceraian, Macam-macam
Perceraian serta Prosedur Perceraian.
Bab ketiga: Tinjauan Umum Tentang Nusyuz: Pengertian dan Dasar Hukum
Nusyuz, Syarat-syarat Nusyuz serta Akibat dari Nusyuz.
Bab keempat: Penyelesaian perceraian isteri nusyuz di Pengadilan Agama
Serang, Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Serang, sejarah, kedudukan,
letak wilayah yuridiksi. data perceraian isteri nusyuz, penerapan perceraian isteri
nusyuz, serta analisa penulis terhadap putusan perceraian isteri nusyuz.
Bab kelima: Di bab lima ini terdapat kesimpulan dan saran-saran sehubungan
dengan pelaksanaan prosedur perceraian, penulis juga melampirkan daftar pustaka
dan lampiran-lampiran.
BAB II
SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-
Undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini
hidup sebagai suami isteri.15
Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau
“Furqah” talak berarti “membuka ikatan”, “membatalkan Perjanjian”. Furqoh
berarti “bercerai” lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan
istilah oleh ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.16
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara’
adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan antara suami
isteri.17
Sedangkan talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang
sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat
menggantikan kata-kata tersebut.18
15 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 189 16 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), cet. ke-2, h.156 17 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), cet. ke-1, h.134 18 S. Ziyad Abbas, Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h.43
Pengertian kata talak atau perceraian dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari
segi bahasa dan istilah. Secara bahasa, perceraian berarti putusnya suatu hubungan
sebagai suami isteri selagi hidup atau bahkan mati.19
Secara Istilah perceraian
berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami yang telah
ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang disebabkan meninggalnya salah
seorang dari suami atau isteri.
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak sebagai ikrar suami dihadapan
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan
cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.20
Kompilasi
Hukum Islam memberikan pernyataan yang hampir sama dengan UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974, dijelaskan pada bab XVI Pasal 115 yang berbunyi:
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”21
Prof. Subekti, S.H., menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu.22
19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), h.185 20 Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 21 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 115 22 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995), cet. ke-27, h.42
Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam
hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam UU Perkawinan No.1
Tahun 1974 pasal 38 dan KHI pasal 113, hanya menyebutkan sebab-sebab
putusnya perkawinan, yaitu:
a. Karena Kematian;
b. Karena Perceraian; dan
c. Karena Putusan Pengadilan.23
Jadi dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa talak
merupakan pemutus hubungan suami dan isteri serta hilanglah pula hak dan
kewajiban suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan lafaz-
lafaz tertentu, namun penekanannya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu
untuk berpisah antara suami isteri dalam artian putusnya perkawinan.
2. Dasar Hukum Perceraian
Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan
kebahagiaan yang kekal abadi bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan.24
Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk selama-
lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang cinta mencintai, karena itu agama
Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara dalam waktu-
23 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 113 24 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1
Th.1974 dan KHI), (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet.ke-1, h.98
waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah
Mut’ah, nikah Muhalil, nikah Muwaqqat dan sebagainya.
Untuk menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu pertengkaran yang
terjadi terus menerus maka agama Islam mensyariatkan perceraian, akan tetapi
bukan berarti bahwa agama Islam menyukai perceraian, agama Islam tetap
memandang perceraian sebagai suatu yang musykil sesuatu yang tidak diharapkan
akan terjadi karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam.25
Adapun dasar hukum perceraian menurut hukum Islam terdapat dalam firman
Allah SWT surat al-Baqarah ayat 229:
k ,-Al� WL4�m4n H oo^�+1�p4= q�rs�>)t�( ���: F⌧ �T]u4 �� ^�]��p�& ( Bv��
JC��4w ;<_`4� L�: H�'Y>\=�4 �u☺�1 u�>y�☺z�s4�' {�+Y⌧A
�v�% L�: �4=4 4w |v�: .☺��% .���� �� H �L�p4= �Q'}+t~/ |v�:
��Y�% .���, �� B⌧4= ..)*? .☺�;T,-� ��Y�=
]<.��K+= ����& ( .F=-� ���, �� B⌧4= .y���K�>4 6 ��1��
u�.>�K� .���, �� .F�� 4���9�4= <>y �L���- A_�
�iiaW
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
25 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, , h.156
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 229)
Surat Al-Baqarah ayat 227 yang berbunyi:
��L�%�� H�1��� �k ,-Al� "L�p4= A� RRY�t⌧� a���-�� �ii�W
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 227)
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami isteri
yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera
dan bahagia sepanjang masa. Setiap pasangan suami isteri selalu mendambakan
agar hubungan yang diikat oleh akad perkawinan itu semakin kokoh terpatri
sepanjang hayat.
Dalam UU No.1 Th 1974 tentang perkawinan pasal 38 disebutkan ada 3 (tiga)
hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan, yaitu:26
a. Karena Kematian;
b. Karena Perceraian; dan
c. Karena Putusan Hakim.
Dalam hal ini, penulis akan menguraikannya secara gamblang.
a. Karena Kematian
26 Undang-Undang No.1 Th.1974 pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 113
Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak
persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan keduanya menjadi
putus. Apabila pihak suami atau isteri yang masih hidup ingin menikah lagi
maka bisa saja asalkan telah memenuhi segala persyaratan yang telah
ditentukan dalam hukum Islam.27
b. Karena Perceraian
Peraturan Pemerintah menggunakan kata perceraian ini dengan istilah
“cerai talak” untuk membedakannya dengan pengertian perceraian atas
keputusan pengadilan, perceraian atas putusan pengadilan menggunakan
istilah “cerai gugat”.28
Sebagaimana ketentuan dari UU No.1 Th.1974 tentang perceraian pasal 39
ayat 1 disebutkan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat
mendamaikan kedua belah pihak”.29
Menurut hemat penulis, maksud dihadapan sidang Pengadilan Agama ini
dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak suami
isteri tersebut, sebagaimana hal tersebut dikaitkan dengan pasal 2 ayat 2 UU
27 Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), h.194 28 Arso Sostroatmodjo, et.al., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), h.60
29 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1
No.1 Th.1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku”.
Maksudnya apabila perkawinan harus dicatatkan, begitu pula bila terjadi
perceraian antara keduanya. Jadi, ketika menikah suami isteri tentu memiliki
akta nikah sebagai bukti otentik perkawinannya dari Kantor Urusan Agama.
Namun, apabila terjadi perceraian akta nikah diganti dengan akta cerai yang
diberikan oleh Pengadilan Agama yang menangani kasus perceraian suami
isteri yang bersangkutan.
c. Karena Putusan Pengadilan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perceraian yang terjadi
karena putusan pengadilan terjadi diluar kehendak suami atau isteri, yaitu
apabila majlis hakim berpendapat atau menilai bahwa perkawinan keduanya
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, Bentuknya berupa fasakh
(pembatalan perkawinan).30
Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan
bukan merupakan talak, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.31
contoh fasakh
30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 197 31 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah., h.268
adalah seperti baru diketahui bahwa pasangannya adalah saudara kandung
maka perkawinan tersebut batal demi hukum.
C. Macam-macam Perceraian
Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian) dapat
terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an, tafwid
dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas macam-macam
perceraian tersebut, yaitu:
1. Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan
atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu: melepaskan tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini
terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan artinya mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua talak
lagi, dari dua menjadi satu talak dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu
terjadi dalam talak raj’i.32
2. Khulu’
32 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), cet.ke-2, h.192
Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’
berarti talak yang dicapkan isteri dengan mengembalikan mahar yang pernah
dibayarkan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh isteri kepada suami
yang telah dibencinya, agar suaminya dapat menceraikannya.33
Talak khulu’ atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami
isteri, yang terjadi dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isterinya dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu’.
Didalam khulu’ disyariatkan adanya ketidaksukaan isteri kepada suaminya.34
Dasar pembolehan talak khulu’ terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat (229):
k ,-Al� WL4�m4n H oo^�+1�p4= q�rs�>)t�( ���: F⌧ �T]u4 �� ^�]��p�& ( Bv�� JC��4w ;<_`4� L�:
H�'Y>\=�4 �u☺�1 u�>y�☺z�s4�' {�+Y⌧A �v�% L�:
�4=4 4w |v�: .☺��% .���� �� H �L�p4= �Q'}+t~/ |v�:
��Y�% .���, �� B⌧4= ..)*? .☺�;T,-� ��Y�= ]<.��K+=
����& ( .F=-� ���, �� B⌧4= .y���K�>4 6 ��1�� u�.>�K�
.���, �� .F�� 4���9�4= <>y �L���- A_� �iiaW
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
33 M. Abdul Ghoffar, EM, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2006), cet.ke-5, h.289 34 M. Jawad Mughryah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), cet.ke-17, h.456
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 229)
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan suci
ataupun tidak. Hal ini disebabkan karena khulu’ terjadi atas kehendak isteri.
3. Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian
rupa, sehingga antara suami dan isteri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua
belah pihak tidak dapat mengatasinya.35
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami
isteri yang diselesaikan dengan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak
suami dan seorang hakam dari pihak isteri.36
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 35
�L�%�� ��z+t~/ 4�4%�A ���W��s�& H�>�.>;&4=
h☺4(.� ]��01 ��:��y�: h☺4(.��� ]��01 �.��-�y�: L�% �.� V�
☯4 ,-]��% Wk��=�� �� �.☺�4�+��& ( "L�% A� �LG⌧3
g☺��-� #T��F./ �V�W
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
35 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat., h.241 36 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h. 187
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(An-Nisaa’ : 35)
4. Fasakh
Fasakh berarti “mencabut” atau “menghapus” maksudnya adalah perceraian
yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau
isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan
kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.37
Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara fasakh ialah:
a. Cacat atau penyakit;
b. Suami tidak memberi nafkah;
c. Meninggalkan tempat kediaman bersama;
d. Menganiaya berat;
e. Murtad;
f. Salah satu pasangan melakukan zina.38
Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan
salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan.39
37 Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, h. 212 38 Ibid., h.195 39 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UIP, 1974), cet.ke-2, h.115
Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses
pengadilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan
atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini
haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.
5. Ta’lik Talak
Arti ta’lik ialah “menggantungkan” dan jika dihubungkan dengan kata-kata
talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang digantungkan jatuhnya
kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang telah disebutkan lebih
dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu.40
Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad
nikah, yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan
kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.41
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam firman Allah
Surat An-Nisa’ (4) ayat 128:
WL�%�� P)�:/m;n ]�4=G4\ 3��1 .��-�>�& ���_�$ ���: #U\s]�% B⌧4= ..)*?
�.☺�;T,-�� L�: .4�-�� .☺���#�s�& ☯4=-� 6 ⌧=-m���� ST;�./ ( �<�T~�]�9:�� �☯_t$z\ u⌧b�� 6 L�%��
40 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 106 41 Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 dan 2
H�#~��4> H�_%�K4�� �e�p4= A� �eG⌧3 .☺�& �e�>-.☺�>4
#T��`./ �UiW Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. An-Nisaa’ : 128)
Maksud diadakannya ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk
melindungi isteri dari tindakan sewanang-wenang suaminya, dengan adanya
sistem ta’lik talak maka nasib dan kedudukan isteri dapat diperbaiki jika suami
menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim agar
perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya sesudah
terbukti kebenaran pengaduannya tersebut.
6. Dzihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum (Zihar, Ila’ dan Li’an), adalah perbuatan
berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang
menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum dinyatakan
berdampak memutuskannya.
Zihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan
isteri sebagai isteri walaupun masih tetap diikat, seperti pernyataan “kamu seperti
punggung ibuku” sambil memulai tidak menggaulinya lagi. Ketika Islam datang,
Islam menyelamatkan kaum perempuan dari kezhaliman, zihar adalah perbuatan
yang mungkar karena bukan berada pada tempatnya.
Sesungguhnya isteri bukanlah ibu sehingga isteri menjadi haram digauli
seperti kedudukan ibu (haram dinikahi), Islam membatalkan hukum ini dan
menjadikan zihar haram bagi perempuan sehingga suami yang mengucapkannya
terkena kifarat.42
Firman Allah SWT surat Al-Mujadilah ayat (2):
���GA� �L���� 4_ <'(#�1 ��01 ���E�^���� "1 ��>y
�����z .�"19: H �L�% ���K .�"19: |v�% J��� A� ����$]�4��� 6 ;<�"��%�� �L�'��_%�Y4� 8�⌧`*1 /��01 ��;�4%+� *J���� 6 |e�%�� A� �_t.>4� ⌦J�_t⌧P �iW
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya
sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
(Q.S. Al-Mujadillah: 2)
Secara etimologi (bahasa), kata Ila’ berarti melarang diri dengan
menggunakan sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologi), kata ila’ berarti
sumpah untuk tidak mencampuri isteri dalam waktu empat bulan atau dengan
tidak menyebutkan jangka waktunya.43
Dr. Peunoh Daly dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan
bahwa: Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak mencampuri isterinya lebih dari
42 Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta:
Kalam Mulia, 1998), cet.ke-1, h.24 43 M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), cet.ke-5,
h.289
empat bulan. Sumpah suami itu boleh dikaitkan dengan batas waktu empat bulan
ataupun tidak dikaitkan dengan waktu yang seperti itu.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 226:
���GA��� �L�'��4 ��1
;<��E�^���� W�&��4
��.>�&;J�: ���]��: H L�p4=
�!'�4= "L�p4= A� ⌦J�_t⌧P a�Y���J
�ii�W
Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. Al-Baqarah:226)
Adapun li’an adalah laknat, yaitu sumpah yang didalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Allah SWT, apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan, li’an merupakan perceraian yang
terjadi akibat sumpah suami bahwa isterinya telah melakukan zina sedangkan dia
tidak mampu mendatangkan empat orang saksi.44
Sumpah li’an ini dapat
mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk selama-
lamanya.
Bersumpah untuk tidak menggauli isteri itu merupakan kebiasaan orang Arab
jahiliyah dan yang demikian dimaksudkan untuk memutus hubungan perkawinan.
Kebiasaan tersebut dilanjutkan dalam Islam namun dalam bentuk dan cara yang
44 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 241
berbeda dengan yang berlaku sebelumnya. Dalam pandangan Islam Ila’ itu
memang menyebabkan suami tidak boleh lagi menggauli isterinya, namun tidak
dengan sendirinya memutus hubungan perkawinan.45
Firman Allah SWT surat An-Nuur ayat 6 dan 7 :
���GA��� �L�1;�� ;<�.?{��+��: ��4��� �'(� ;<¢£
!'�.���_� �v�% ;<�¤�_t$�: ').� .���4= ���y���,�: R�&;J�: ¥<{.� ��⌧A ���& � Z��$�%
/��☺4� �¦§�G�� ¨�� ��W >�^��☺ 4 +©�� "L�: ^��#�>4�
�� ��+Y,-� L�% �LG⌧3 /��1 ��§�&�Y 4(+� ��W
Artinya: (6). Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.
(7). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta
7. Tafwidh
Tafwidh talak artinya menyerahkan talak. Yakni seorang suami memberikan
hak talak kepada isterinya. Syarat-syaratnya ditentukan oleh keduanya secara
sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat mutlak. Apabila syarat-syarat yang
telah ditentukan secara sukarela tersebut terpenuhi, maka isterinya mempunyai
hak untuk menjatuhkan talak kepada suaminya, maka terjadilah talak.46
45 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 276
Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 28:
������� � m7�c"#� C>G .F~?{��+��\ L�% u�z#'3 �e����>
,)6���.4+� �Y�$J�� .��z�ª ���� �¦�§4�.>�z4= u�'(�>�,K�19: ��'(]���T^�9:��
G☯,�T^� �⌧���4y �iW
Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (Q.S. Al-Ahzab:28)
8. Riddah (murtad)
Kata riddah merupakan isim masdar dari kata “ إر��اد” yang berarti mundur,
kembali ke belakang. Sedangkan dari segi istilah adalah keluar dari agama Islam
menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun perbuatan yang menyebabkan
orang yang bersangkutan dikategorikan kufur.47
Jadi riddah atau murtad ialah
keluar dari agama Islam, baik pada agama lain ataupun tidak beragama. Di
Indonesia, putusnya perkawinan karena murtadnya salah satu baik suami maupun
isteri termasuk fasad atau batal demi hukum, dan pemutusannya dilakukan
didepan sidang Pengadilan Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang
dinyatakan bukan didepan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.48
D. Prosedur Perceraian
46 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.56 47 Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.63 48 Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, h.72
Sebelum membahas perceraian karena isteri nusyuz secara khusus, terlebih
dahulu penulis akan menggambarkan prosedur perceraian baik penerimaan
perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara
dikepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani
diajukan ke kepaniteraan Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub
kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan
permohonan). Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak
suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum
Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.49
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian
atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut hukum Islam suamilah yang
memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali
perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Permohonan cerai talak meskipun
bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara
gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.50
Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk
dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan.
49 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2003), cet.ke-4, h.206
50 Ibid., h.208
Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan
arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila
terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan
sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh
posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.51
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih
dahulu harus diperbaiki, Panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam
meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian
tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara,
lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan
(dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya
berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.52
Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir
besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 182
ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 2006 perubahan dari
Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
51 Ibid., h.76 52 Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada,
2001), ed.ke-2, cet.ke-8, h.129
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain.
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.53
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk
mengajukan gugatan perkara secara Prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuannya
dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala
Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon
menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian
surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian
menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua
Pengadilan melalui panitera.54
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada
Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk
hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya
pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk
seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.55
53 Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang No.3Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang No.7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.74 54 M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet.ke-2, h.14
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Pasal 121 HIR,56
untuk membantu Majelis Hakim dalam
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam
hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.57
Tata cara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.58
55 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), cet.ke-6, h.39 56 M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13 57 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h.214 58 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.40
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui
tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU
No.3 tahun 2006 perubahan dari UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pasal 5459
:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa
mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus
sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum
dilanjutkan ketahap pemeriksaan, diawali dengan membaca surat gugatan.60
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat
melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya
yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-
59 Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.202-203 60 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.41-42
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat
menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.61
Tahap Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat
memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap
pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang
dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak
menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat
akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan
dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.62
61 Ibid., h.43 62 Ibid., h.45
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz
Nusyuz berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan isteri nusyuz
terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya
dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara
definitif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.63
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusyuz seorang berarti: “Perbuatan
tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan)
yang tidak dibenarkan oleh Hukum Islam”.64
Selanjutnya dijelaskan
membangkang artinya: tidak mau menuruti (perintah), mendurhakai, menentang
dan menyanggah.65
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah penyelewengan
63 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.190-191 64 Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai
Pustaka, 1998), h.619 65 Ibid., h.76
dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.66
Padahal
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 83 ayat 1 menyebutkan:
“Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”.
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang
menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak mentaati
suaminya atau menolak diajak ketempat tidur.67
Didalam kitab Fathul Mu’in
disebutkan bahwa termasuk perbuatan nusyuz, jika isteri enggan bahkan tidak
mau memenuhi ajakan suami sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84
Ayat 1
Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1, kecuali dengan alasan yang
sah.
Ayat 2
Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada
pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya.
Ayat 3
Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah isteri
tidak nusyuz.
66 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2006), cet. Ke-3, h.209
67 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.185
Ayat 4
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan
atas bukti yang sah.68
Artinya jika suami melanggar hukum Islam seperti: berjudi, minum khamar
(mabuk-mabukkan), melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan dan
sebagainya, maka isteri tidak dianggap nusyuz.
Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis dapat pula memberikan contoh
nusyuznya seorang isteri seperti: tidak mau diajak tidur bersama, anak terlantar
akibat isteri sering keluar malam bahkan sampai larut malam, isteri acuh setiap
suami menyuruh mengambilkan sesuatu, meninggalkan rumah tanpa izin dari
suami dan lain sebagainya.
2. Dasar Hukum Nusyuz
Berkenaan dengan hal ini Allah SWT memberi tuntunan bagaimana
mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian. Firman Allah Surat An-
Nisaa’ : 34
�G.�V��� �e�1{��4G b,� �'�^��0*� .☺�& BC|a4= ��
���Ba�>�& 6b,� cd�>�& �.☺�&�� H�_%⌧t$�: ]��1
;<����{��+1�: 6 _� .4�- ¨��4= R� �K�# 4G S� 4_�t .� �-+Y��=-���
.☺�& ⌧r�t.� �� 6
68 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84
7�Q A��� �L�>=4 �1 ��>y.��_�>� ��>y�¤_�>4=
u�>y��_«�y�� b�� �R~?Ba.☺+�
u�>y�&�T]�� H �L�p4= ;<_`�#�>4�: B⌧4= H�'�;F4 u��;T,-� g⌧Y�`. ( "L�% A�
�eG⌧3 v��-� #T��`BN �VW
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
(Q.S. An-Nisaa’: 34)
Dan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ (4) ayat 128:
WL�%�� P)�:/m;n ]�4=G4\ 3��1 .��-�>�& ���_�$ ���: #U\s]�% B⌧4= ..)*?
�.☺�;T,-�� L�: .4�-�� .☺���#�s�& ☯4=-� 6 ⌧=-m���� ST;�./ ( �<�T~�]�9:�� �☯_t$z\ u⌧b�� 6 L�%��
H�#~��4> H�_%�K4�� �e�p4= A� �eG⌧3 .☺�& �e�>-.☺�>4
#T��`./ �UiW
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q. S. An-Nisaa’ : 128)
Dalam sebuah hadits nabi SAW yang berbunyi:
�4 ا0 ر?1 ه�ی�ة أ�� ��و �� H1!�4�2 ا0 ��23 ا���د اذإ :.�ل و�2�� �
� �ن!U@ �ت!P2� OSO4 P, 4اP�Q ��إ O4أ�إ� E'ا���2�<� ,�&V<� �2"اW�+9 ��V�
OX!Y ):�2 روا� )ا�"
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila
seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur, tetapi ia menolak
untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang marah, maka para
malaikat melaknatnya (isteri) hingga datang pagi”. (H.R. Muslim)69
Dijelaskan pula dalam sebuah hadits nabi SAW:
� ا0 1?ر ة�ی�ه ��أ ��و4 � ىZا��و :�ل. �2��و 2�4� اH1 3�2� 0!ا�� �
ىZا�� �نآ ���إ ,2�4� �PVS�, �>اP�Q ��إ O4أ�إ� ���ی E'ر �� �� ,:��� ��%ن
P� ��� ��M<� �ء"ا�2�<�, ��V� ی�?� � )ا�"��2 روا: (�>
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa nabi SAW bersabda: “Demi
Dzat jiwaku ada dalam genggaman tangan-Nya, setiap lelaki (suami)
yang mengajak isterinya ketempat tidur lalu sang isteri tidak mau, maka
69 Imam Abu Hasan Muslim bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, t.th), juz II, h.585
yang ada dilangit akan terus murka kepadanya (isteri) hingga suami
meridhoinya”. (H.R. Muslim)70
Berangkat dari surat An-Nisa’ ayat 34 al-Qur’an memberikan opsi sebagai
berikut:71
a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
b. Bila dinasehati tidak berhasil, maka pisah ranjang (tempat tidur), cara
ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam
kesendiriannya tersebut, ia dapat melakukan koreksi diri terhadap
kekeliruannya.
c. Apabila kedua cara diatas tidak berhasil, langkah berikutnya adalah
memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tetapi dengan
pukulan yang tidak membahayakan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80
Ayat 2
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Ayat 4
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
70 Ibid., h.585 71 Nuruddin, Hukum Perdata Islam, h.209-210
a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Ayat 5
Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan b
diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
Ayat 7
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 2 gugur apabila isteri nusyuz.
Dan Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 76
Ayat 1
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan siqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang yang dekat dengan suami isteri.
Ayat 2
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-
masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2
menyatakan bahwa: “Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku
kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
B. Faktor Isteri Nusyuz Terhadap Suami
Ada beberapa faktor mengapa isteri durhaka terhadap suami. Dibawah ini
akan diuraikan secara terperinci sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Persoalan ekonomi adalah suatu hal yang sangat urgen dalam rumah tangga.
Sebagai kepala keluarga suami harus mampu mencukupi biaya hidup isteri, yakni
belanja sandang dan papan, perhiasan, bahkan pada kebutuhan dandan. Dengan
begitu, isteri dapat melakukan kewajibannya dalam mengurus rumah tangga.
Namun terkadang isteri tidak mensyukuri atas penghasilan suami. Ketika
suami telah berusaha maksimal, isteri tetap menuntut lebih dari kemampuan
suaminya.
Dengan melihat kondisi kemampuan suami terbatas, isteri tidak boleh
membebaninya dengan menuntut yang berlebihan apalagi sampai bersikap acuh
terhadap suami.
2. Faktor Seksual
Salah satu penyebab isteri bersikap acuh terhadap suami ialah ketika isteri
mengetahui bahwa suaminya menderita impotensi. Impotensi adalah cacat seksual
yang mengakibatkan seorang suami tidak mempunyai potensi untuk melakukan
hubungan seksual.72
72 Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islam, (Surabaya: Pustaka Anda,
1997), h.105
Adapun dengan kesibukan suami dalam bekerja, isteri tidak diperhatikan
kebutuhan seksualnya. suami yang bekerja berlebihan mengakibatkan energi dan
minat terhadap seks menjadi menurun, sebagai akibatnya kebutuhan libido isteri
tidak terpenuhi yang dapat berdampak isteri mencari kepuasan diluar.73
3. Faktor Cemburu yang Berlebihan
Rasa cemburu yang datang dari pihak suami, seringkali suami terbakar api
cemburu sebab dengan kemolekan wajah dan bentuk tubuh isterinya yang
membuat laki-laki lain menggodanya.
Hal yang alami, isteri merasa cemburu kepada suaminya, selama dilakukan
dalam batas-batas yang logis serta masing-masing memaksudkannya untuk
memelihara keutuhan rumah tangganya dan mendatangkan kebahagiaan. Akan
tetapi rasa cemburu yang hingga mencapai batas keraguan dan kecurigaan, maka
hal itulah yang salah. Dengan demikian, bahwa rasa cemburu itu ada yang
mendatangkan kemaslahatan serta kesejahteraan dan ada juga yang mendatangkan
kerusakan serta kehancuran dalam rumah tangga.
Faktor cemburu yang berlebihan itulah yang menyebabkan isteri lepas kontrol
dan dapat melakukan tindakan diluar akal sehat. Sehingga dengan kondisi yang
demikian menjadikan isteri nusyuz. “Rasa cemburu yang didasari tanpa keraguan
73 Abu Al-Ghifari, Selingkuh Nikmat yang Terlaknat, (Bandung: Mujahid, 2003), h.28
akan mendorong seorang isteri melakukan perbuatan dosa dan berbuat maksiat,
seperti: ghibah, adu domba, hasut, dengki dan lain-lain”.74
4. Faktor Kejenuhan yang Menimbulkan Konflik
Perkawinan yang penuh dengan kebahagiaan antara suami isteri selama
membina rumah tangga, seiring waktu mengalami kejenuhan yang menimbulkan
konflik. Kehidupan ibarat gelombang, pasang surut hal biasa. Begitu pula dalam
membina rumah tangga, terutama saat cinta sebagai simbol kebahagiaan tengah
memudar. Rumah tangga mulai mengalami gonjang-ganjing, seribu masalah
datang menghantui. Rasa saling memiliki dan cinta sehidup semati hanya tinggal
kenangan. Maka sabar hal yang sangat penting.75
Pada saat terjadi konflik, terkadang isteri arogan namun hal ini tidak terlepas
dari sifat wanita pada umumnya. Bahwa didalam diri seorang wanita terdapat
suatu keganjilan dalam beberapa segi. Kenyataan ini bukanlah ditimbulkan karena
adanya sikap fanatik, akan tetapi dia merupakan sebuah tabiat penciptaan Allah
SWT yang diciptakan untuk wanita.
5. Fakrot Karier
74 Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al-Mani’, Cemburu Terhadap Wanita, Penerjemah
Zubaidah Barhan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), h.118 75 Al-Ghifari, Selingkuh Nikmat Yang Terlaknat, h.15
Sesuai dengan perkembangan zaman, persamaan jender menjadi landasan bagi
seorang wanita yaitu hak untuk dapat bekerja atau berkarier. Seiring dengan
landasan hukum Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (1):
“hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat”.76
Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, menulis: Islam tidak menentang
perempuan bekerja. Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah bahwa pekerjaan
pokoknya adalah membina rumah tangga dengan kasih sayang mereka.
Perempuanlah yang mendidik anak-anak mereka.
Cukup jelas bahwa hak isteri untuk bekerja tidak ada larangan baik menurut
Undang-Undang maupun hukum Islam. Hanya saja tetap pada kewajibannya yaitu
mengurus rumah tangga. Dan ini kerap diabaikan oleh isteri dengan
mengutamakan pekerjaannya ketimbang mengurus suami dan anak-anaknya.
C. Akibat Nusyuz
1. Menggugurkan Nafkah
Agama Islam mewajibkan suami untuk memberi nafkah kepada isterinya, baik
nafkah lahir maupun batin. Oleh karena adanya ikatan perkawinan yang sah,
seorang isteri menjadi terikat semata-mata pada suaminya dan tertahan sebagai
76 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 34 ayat 1
miliknya, karena itu ia berhak menikmatinya terus menerus. Isteri wajib taat
kepada suami, tinggal dirumah dan mengatur rumah tangganya, memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami berkewajiban memenuhi
kebutuhan isteri dan keluarganya dan memberi belanja selama ikatan perkawinan
masih berjalan, dan isteri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang dapat
menghalangi penerimaan belanja.
2. Menggugurkan Giliran
Dasar hukum pembagian giliran tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat (3):
�L�%�� �Q'}+t~/ |v�: H�'l~�+%> b�� 6J�� �K�Y+� H�4~($4= �1 /q4 <'(4� /��01
�'�^��0*� 67)?���1 .� ,->��� .R �&!J�� H �L�p4= ��z+t~/ |v�:
H�'����>4 g).��,{��4= ���: �1 ]�4(,-�1 ;<'(* .☺� �: 6 .F��{45
b)®���: |v�: H�'��>4 �VW Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.(Q. S. An-Nisaa’ : 3)
Yang dimaksud adil dalam ayat diatas adalah perlakuan adil dalam meladeni
isteri-isterinya, seperti: pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah. Apabila suami khawatir terhadap dirinya untuk tidak dapat berlaku adil
terhadap isteri-isterinya maka tidak dapat dibenarkan oleh agama Islam untuk
berpoligami, karena akan berakibat kesengsaraan saja.
Jika isteri itu durhaka (nusyuz) yaitu tidak melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagai seorang isteri, maka hak pembagian giliran menjadi gugur.
Akan tetapi jika ia kembali mentaati suaminya, maka hak menerima giliran
berlaku sebagaimana biasa.
BAB IV
PENYELESAIAN PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ
DI PENGADILAN AGAMA SERANG
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Serang
1. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Serang
Sejarah dan dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Serang sedikitnya
dapat dibagi menjadi empat masa penting sebagai berikut :
1. Masa Kesultanan Banten (1526-1816),
2. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942),
3. Masa Pendudukan Balatentara Jepang (1942-1945), dan
4. Masa Kemerdekaan (1945-sekarang).77
A. Masa Kesultanan Banten (1526-1816)
Sejalan dengan laju perkembangan umat Islam, Pengadilan Agama pun
tumbuh dan berkembang menjadi lembaga yang tidak hanya mengurus perkara-
perkara yang berhubungan dengan perkara pribadi saja (al-Ahwalusy
Syahsiyah), akan tetapi hukum perdata dalam arti luas dan juga mengurus hukum
pidana (jinayah). Tegasnya, Pengadilan Agama merupakan Peradilan Umum
bagi Umat Islam pada waktu itu dan hukum Islam merupakan hukum yang
hidup di tengah-tengah masyarakat.78
77 Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Serang pada tanggal 10 Januari 2009
78 Ibid
Sementara itu di Banten, Peradilan Agama muncul berbarengan
dengan berdirinya Kesultanan Banten pada pertengahan paro pertama dalam
abad XVI, atau tepatnya tahun 1526. Pada masa Maulana Hasanudin
memegang kekuasaan (tahun 1552-1570), pengaruh hukum Hindu warisan
Kerajaan Sunda Pajajaran dalam pemerintahan sudah tidak berbekas lagi, sebab
di Banten hanya dikenal satu lembaga pengadilan (al-Qadha) yang dipimpin oleh
Qadhi sebagai Hakim tunggal, atau menurut keterangan lain didampingi oleh
‘Alim ‘Ulama sebagai Anggota Majelis. Lembaga pengadilan itu dikenal juga
sebagai “Pengadilan Surambi”. Disebut demikian, karena sidang-sidangnya
dilakukan di serambi masjid.79
B. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)
Pemerintah Hindia Belanda dengan suatu Keputusan Raja Belanda
(Konninklijk Besluit atau KB) yaitu Raja Willem III No. 24 tanggal 19 Januari
1882 yang dimuat dalam Staatsblaad 1882 No.152, membentuk Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura (Bepaling Betreffende de Priesteraaden op Java en
Madura). Badan peradilan ini disebut Priesteraaden yang kemudian lazim
disebut “Raad Agama” atau “Rapat Agama” dan terakhir disebut “Pengadilan
Agama”.80
79 Ibid 80 Ibid
C. Masa Pendudukan Balatentara Jepang (1942-1945)
Pemerintah Balatentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1942 yang menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan
Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-
namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang untuk
nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan
wewenangnya tetap sama dengan masa kolonial Belanda. Dalam Pasal 3,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 itu menyebutkan bahwa untuk sementara
waktu Gun Sei Hooin (Pengadilan Balatentara) terdiri atas :
a. Tito Hooin (Pengadilan Negeri),
b. Keizai Hooin (Hakim Polisi),
c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten),
d. Gun Hooin ( Pengadilan Kewedanaan/Distrik),
e. Kiaikoyo Kootoo Hooin ( Mahkamah Islam Tinggi),
f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).81
D. Masa Kemerdekaan (1945-sekarang)
Dalam perkembangan berikutnya, untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1964 Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan
81 ibid
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 itu menentukan kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh empat lingkungan peradilan, yaitu :
a. Peradilan Umum,
b. Peradilan Agama,
c. Peradilan Militer, dan
d. Peradilan Tata Usaha Negara.82
Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974, Pemerintah mensahkan dan
mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatur yuridiksi Pengadilan Agama. Adapun peraturan pelaksananya
diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 68 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu, dinyatakan bahwa yang
dimaksud pengadilan dalam Undang-Undang ini adalah :
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.83
2. Letak Geografis dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Serang
Pengadilan Agama Serang terhitung mulai tanggal 1 April 1998 sampai sekarang
telah menempati gedung baru yang terletak di Jalan Raya Petir Km. 03 Cipocok
82 Ibid 83 Ibid
Jaya Serang, dengan Kabupaten Serang sebagai wilayah hukumnya. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang tahun 2002,
Kabupaten Serang mempunyai luas wilayah 172.403,75 Ha atau 188.716 Km2,
yang menurut penggunaannya dipakai untuk lahan pertanian seluas 135.162,65 Ha
(78 %), perkantoran 4.058,25 Ha perumahan dan pemukiman seluas 22.670,50 Ha (13 %),
Industri seluas 7.971,55 Ha (5 %), dan lain-lain seluas 2.540,80 Ha (4 %).84
Secara astronomis, Kabupaten Serang terletak antara 1050
7’-1060 22’ Bujur
Timur dan 50
50’- 6
0 21’ Lintang Selatan, Sedangkan secara geografis, Kabupaten
Serang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Jawa,
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Tangerang,
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Pandeglang,
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda.
Selain meliputi wilayah Kabupaten Serang, pada awalnya wilayah hukum
Pengadilan Agama Serang juga meliputi wilayah Kota Cilegon. Namun sejak
diresmikannya Pengadilan Agama Cilegon oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji (BIPH) Departemen Agama RI pada tanggal 26 Maret 2003,
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 62. Tahun 2002 tentang Pembentukan 12
Pengadilan Agama (termasuk Pengadilan Agama Cilegon), maka kemudian wilayah hukum
84 Ibid
Pengadilan Agama Serang hanya mencakup wilayah Kabupaten Serang saja. Sedangkan
wilayah Kota Cilegon menjadi wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon.85
B. Data Perceraian Istri Nusyuz
Dalam penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Serang bahwa
perkara perdata (kekeluargaan) yang banyak ditangani adalah masalah perceraian
dibandingkan dengan masalah perdata lain. Masalah perceraian yang banyak
diajukan oleh para pencari keadilan dari tahun ketahun adalah perkara cerai gugat.
Untuk mengetahui seberapa banyak kasus-kasus perceraian yang diajukan ke
pengadilan Agama yang dalam hal ini lebih dikonsentrasikan dilingkungan
Pengadilan Agama Serang. Penulis telah mengambil dari beberapa putusan
perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama Serang mulai dari tahun 2006
sampai tahun 2008.
Yang menjadi catatan disini adalah data yang diambil hanyalah perkara
perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Serang dan tidak termasuk
didalamnya perkara yang lainnya, seperti: waris, izin poligami, pembagian harta
bersama, dan lain-lain.
Mengenai banyaknya perkara perceraian yang masuk di pengadilan Agama
Serang dalam rentang waktu dari tahun 2006 sampai tahun 2008 dapat dilihat
tabel berikut ini.
85 Ibid
Tabel 1
DAFTAR PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SERANG
TAHUN 200686
No Bulan Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah
1 Januari 8 20 28
2 Februari 9 17 26
3 Maret 10 17 27
4 April 12 16 28
5 Mei 6 24 30
6 Juni 13 14 27
7 Juli 4 20 24
8 Agustus 5 23 28
9 September 12 14 26
10 Oktober 7 14 21
11 November 88 12 20
12 Desember 7 20 27
Jumlah 101 211 312
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa selama rentang waktu 1 (satu) tahun
yaitu tahun 2006, permohonan cerai (cerai talak) yang masuk ke Pengadilan
Agama Serang sebanyak 101 perkara, sedangkan gugatan cerai (cerai gugat) yang
masuk sebanyak 211 perkara.87
Dalam penelitian ini, penulis ingin membandingkan tingkat kenaikan perkara
gugatan cerai dan permohonan talak dari tahun ketahun yang masuk ke
Pengadilan Agama Serang karena hal inilah yang menjadi salah satu latar
belakang penulis hanya mengambil perkara perceraian saja.
86 Data ini diambil dari arsip Pengadilan Agama Serang yang terjadi pada tahun 2006 87 Ibid
Tabel 2
DAFTAR PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SERANG TAHUN 2007
88
No Bulan Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah
1 Januari 11 32 43
2 Februari 14 28 42
3 Maret 16 38 54
4 April 12 17 29
5 Mei 11 24 35
6 Juni 19 20 39
7 Juli 14 36 50
8 Agustus 13 31 44
9 September 9 43 52
10 Oktober 9 23 32
11 November 14 27 41
12 Desember 9 30 39
Jumlah 151 349 500
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 jumlah permohonan
talak (cerai talak) yang masuk ke Pengadilan Agama Serang sebanyak 151
perkara, sedangkan perkara gugatan perceraian (cerai gugat) adalah sebanyak 349
perkara dan semua perkara tersebut telah diputus di Pengadilan Agama Serang
serta telah berkekuatan hukum tetap.89
Seperti yang tercantum dalam tabel diatas bahwa perkara gugatan cerai pada
tahun 2007 juga memang lebih banyak terjadi dibandingkan dengan permohonan
talak sebagaimana perkara gugatan cerai yang terjadi pada tahun 2006.
88 Data ini diambil dari arsip Pengadilan Agama Serang yang terjadi pada tahun 2007 89 Ibid
Selain perbandingan gugatan cerai yang memang lebih banyak terjadi dari
pada perkara cerai talak, kita juga dapat melihat perbandingan gugatan cerai dari
tahun 2006 dan tahun 2007 yang mengalami peningkatan jumlah perkara gugatan
cerai tahun 2006 sebanyak 101 perkara dan tahun 2007 sebanyak 151 perkara.
Begitu juga permohonan talak mengalami peningkatan dari tahun 2006 sebanyak
211 perkara dan tahun 2007 sebanyak 349 perkara.90
C. Putusan perceraian Istri Nusyuz
Setelah duduk perkara dan alasan-alasan dari masing-masing pihak tersebut
diatas, ada beberapa hal yang hendak dipelajari melalui tulisan singkat ini.
Menurut hemat penulis, bahwa diantara alasan-alasan yang diajukan seorang
suami, yang paling prinsipil adalah tentang tingkah laku isteri yang dinilainya
tidak lagi memperhatikan anak-anaknya, karena kesibukannya dan keluar malam
tanpa izin suaminya sehingga anak-anak menjadi terlantar.
Penulis akan mengurai beberapa putusan yang berkaitan dengan masalah
Perceraian Isteri Nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama Serang, yaitu:
Kasus Pertama Nomor: 58/Pdt.G/2006/PA.Srg.
Pada tanggal 20 Juni 2002 Djamhari bin Marjuk (Pemohon) menikah
dengan Sutiah Wati binti Safpiri (Termohon) di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Serang Kabupaten Serang dengan kutipan akta nikah nomor:
552/80/VI/2002.
90 Ibid
Sebelum menikah Pemohon (Djamhari bin Marjuk) bertempat tinggal di Jalan
Tb. Bakri RT.01/04, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten
Serang, sedangkan Termohon (Sutiah Wati binti Safpiri) bertempat tinggal
dilingkungan Cimuncang Cilik, Kelurahan Cimuncang, Kecamatan Serang,
Kabupaten Serang.91
Setelah menikah mereka (pemohon dan termohon) bertempat tinggal di
rumah pemohon, dan selama menikah mereka belum dikaruniai anak. Pada
awalnya kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja akan tetapi sejak tahun
2002 kehidupan rumah tangga mulai goyah.
Adapun sebab-sebab perselisihan tersebut adalah:
1. Termohon tidak terbuka yang berawal dari masalah perhiasan berupa
kalung, gelang, dan anting yang dibelikan pemohon, ternyata oleh
termohon, tidak pernah dipakai dan kalau ditanya pemohon marah-
marah;
2. Setiap kali cekcok termohon pulang ke Cimuncang;
3. Pemohon berupaya mempertahankan rumah tangganya;
4. Bulan Desember 2004, termohon pulang ke Cimuncang yang sejak itu
tidak pernah rukun kembali;
5. Bahkan Pemohon mendengar termohon sudah menikah lagi.
91 Ibid
Kasus Kedua Nomor: 30/Pdt.G/2007/PA.Srg
Pada tanggal 05 Februari 2004 Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Bojonegara, kabupaten Serang mencatatkan pernikahan antara Jalaluha bin
Rebani (pemohon) dengan Sunaroh binti Semidin (termohon) dengan kutipan
akta nikah nomor: 21/05/11/2004.92
Setelah menikah mereka bertempat tinggal di Kp. Sumur Wuluh RT.09/03
Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang. Dan dari pernikahan
tersebut mereka dikaruniai seorang anak yang bernama Emilia Safitri (umur 2
tahun).93
Awalnya hubungan rumah tangga mereka baik-baik saja akan tetapi lama
kelamaan mulai goyah (tidak harmonis) dan puncak ketidak harmonisan mereka
terjadi pada tanggal 04 Januari 2007, pemohon menjatuhkan talak dibawah tangan
terhadap termohon.
Sebab perselisihan tersebut adalah pemohon merasa tidak diurus oleh
termohon dan juga faktor ekonomi.
Permohonan pemohon mohon dikabulkan, memberi izin kepada pemohon
untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon, membebankan biaya perkara
menurut hukum dan apabila majlis hakim berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya.
92 Ibid 93 Ibid
Kasus Ketiga Nomor: 214/Pdt.G/2008/PA.Srg
Tanggal 28 Februari 2006 Rathmad Bayu Abji bin Supomo (pemohon)
bertempat tinggal di Komp. Bumi Agung Permai Blok. L4 No.16 RT.003
RW.012, Kelurahan Unyur, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, menikah
dengan Rachmawati bin Supardi (termohon) bertempat tinggal di Lingk. Kebon
Sayur RT.06 RW.02, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten
Serang.94
Setelah menikah mereka bertempat tinggal di kediaman pemohon, dari
pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak yang bernama Resa Oktaviani
Putri umur 1,5 tahun. Pada awalnya keluarga mereka harmonis dengan seiringnya
waktu keluarga mereka mulai goyah dan puncak ketidak harmonisan terjadi pada
pada tanggal 04 Januari 2007. Pemohon menjatuhkan talak dibawah tangan.95
Adapun sebab-sebab perselisihan tersebut adalah:
1. Termohon masih mempunyai sifat kekanak-kanakan, kalau ada masalah
rumah tangga suka pulang dan mengadukan kepada ibunya.
2. Termohon mempunyai sifak keras, tidak menghargai pemohon (selaku
suami), karena selama pernikahan berlangsung, termohon kalau sama
teman-temannya suka mengaku janda, kalau dinasehati termohon marah.
94 Ibid 95 Ibid
3. Termohon selingkuh dengan laki-laki lain dan salah seorang
selingkuhannya diketahui pemohon bernama Edo.
4. Sejak bulan maret 2008, pemohon dan termohon telah pisah tempat
tinggal tetapi komunikasi masih berjalan baik demi anak.
5. pemohon telah berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan
rumah tangga dengan termohon dengan cara meminta bantuan nasehat
keluarga.
D. Analisa Penulis terhadap Putusan Perceraian Istri Nusyuz
Dalam bagian ini penulis akan menganalisa masalah perceraian isteri nusyuz
yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Serang, ketiga kasus ini diperiksa oleh
Pengadilan Agama Serang yang mengambil sumber hukum Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No.9 tahun 1975 serta instruksi Presiden No.
1991 Kompilasi hukum Islam (KHI). Dimana ketiga perUndang-Undangan ini
adalah yang dipakai pada Pengadilan Agama seluruh Indonesia.
Setiap orang yang memasuki pintu gerbang kehidupan keluarga pastilah harus
melalui pintu perkawinan terlebih dahulu sehingga perkawinan merupakan bagian
dari ibadah, maka menjadi kewajiban bagi pasangan suami isteri untuk menjaga
kelestarian perkawinannya. Apabila kehidupan rumah tangga itu tidak lagi
harmonis maka perkawinan tersebut bisa dipisahkan dengan perceraian, yang
telah diatur menurut Undang-Undang yang berlaku.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38
yaitu: “Perkawinan dapat putus karena: (a). Kematian, (b). Perceraian, dan (c).
Atas putusan pengadilan”.96
Begitu juga dengan pasal 115 Kompilasi Hukum
Islam, yaitu: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan keduanya”.97
Dalam kasus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud
nusyuz ialah perbuatan tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap
suaminya (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum Islam.98
Selanjutnya
dijelaskan membangkang artinya tidak mau menuruti (perintah), mendurhakai,
menentang dan menyanggah.99
Perceraian karena isteri tidak patuh terhadap suami (nusyuz), maka isteri
tersebut akhlaknya tidak ada karena telah durhaka kepada suaminya. Kepatuhan
ini untuk keharmonisan semata dalam rumah tangga sehingga keluarga tersebut
menjadi bahagia. Perasaan dan anggapan isteri bahwa ketaatannya terhadap suami
adalah semacam perendahan terhadap martabatnya, merupakan pengaruh buruk
dari tayangan-tanyangan televisi dan pola pikir orang-orang non-muslim bahwa
wanita sama seperti laki-laki. Ini berarti tidak melebihkan kaum laki-laki, tetapi
96 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115 98 Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, h.619. 99 Ibid., h. 76
justru sebuah pembebanan terhadap kaum laki-laki sehingga kehidupan rumah
tangga akan baik bila disertai ketaatan isteri terhadap suaminya.100
Padahal dalam Islam memberikan hak kepemimpinan kepada kaum laki-laki.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
__� 4%�-4l☺+��� �����&�T�¯� u���~�_t$���& 4�4� ,-�� :'t��>G
6 Bv�� JC��4w u�¢� L�: /�]☺z(� �1 �k,-.\ �� Ib��
u����1G�,;J�: L�% u�'3 u��1�4 ���& �°;��Y+��� V�~/z.
6 u��☺4��>&�� Jk.��: u��y������& b�� .F��{45 �L�% Ht���J�: ☯4 ,-]��% 6
u�¢� �� C���1 ��GA� u��;T,-� ~�rs�>�$=°�& 6
��.?V��-���� u��;T,-� S�.?�J.� ( ���� P� ±� PQR~(.�
�iiW
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah ayat: 228).
Isteri harus mentaati suaminya dalam hal kebaikan, bukan dalam hal
kemaksiatan kepada Allah SWT. Namun demikian, seorang suami hendaknya
tidak memberatkan ataupun menyusahkan isterinya.101
100 Nabil Mahmud, Problematika Rumah Tangga dan Kunci penyelesaiannya, (Jakarta: Qisthi
Press, 2004), h.48
Dalam pasal 83 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yaitu “kewajiban utama bagi
seorang isteri adalah berbakti lahir batin kepada suaminya didalam batas-batas
yang dibenarkan dalam hukum Islam”. Perceraian karena isteri nusyuz tidak akan
terjadi kalau dilandasi saling menghormati diantara pasangan dan khususnya isteri
harus hormat kepada suami.
Perceraian karena isteri nusyuz ini berarti isteri telah melakukan perbuatan
durhaka terhadap suaminya. Dalam hal ini suami harus banyak mengingat Allah
SWT dan mengingatkan isteri mengenai siksa Allah SWT. Bahwa berpalingnya
seorang isteri dari suaminya hanya akan menjadi bencana dan musibah bagi isteri
didunia dan akhirat.
Para Ahli Fiqh dari kelompok Hanafiyyah telah mengartikan nusyuz dengan
“kebencian salah satu suami atau isteri terhadap pasangannya”. Sedangkan para
ulama Malikiyyah memberikan arti “salah satu dari suami atau isteri telah
melakukan permusuhan atas yang lainnya”.102
Menurut ulama Syafii’yyah “Nusyuz merupakan perselisihan yang terjadi
diantara suami isteri”. Adapun ulama Hambaliyyah mengatakan bahwa nusyuz
adalah “kebencian salah satu dari pasangan suami isteri dapat menyebabkan
interaksi yang tidak baik terhadap pasangannya”.103
101 A. A Human Abdurrahman, Merajut Kehidupan Pasca Pernikahan, (Jakarta: Wahyu
Press, 2003), cet.ke-1, h.52 102 Salih ibn Ghanim, Kesalahan-kesalahan Isteri, penerjemah Abdullah farid Mansur,
(Jakarta: Pustaka Progresif, 2004), h.6
Syaikh Wahbah al-Zuhayliy memberikan definisi nusyuz yaitu “ketidak
patuhan seorang isteri yang memandang rendah dan meremehkan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak suami isteri.104
Kemudian dapat disimpulkan bahwa nusyuz adalah segala bentuk
kedurhakaan yang dilakukan oleh seorang isteri terhadap suaminya baik itu
disengaja maupun tidak disengaja, hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran
perintah penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan
rumah tangga.105
Jika perhatikan, tujuan dari perkawinan pada mulanya adalah untuk
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana yang
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)106
dan merupakan cita-cita setiap
insan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Akan tetapi tidak semua orang akan dapat mencapai cita-cita tersebut dengan
mudah, karena dalam perjalanannya sering kali bahtera rumah tangga kandas
ditengah jalan. Dan tidak semudah dengan apa yang mereka bayangkan seperti
membalikkan telapak tangan.
103 Salih ibn Ghanim, Nusyuz Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya, Penerjemah.
Muhammad Abdul Ghafar, (Jakarta: Pustaka kautsar, 1993), h.25 104 Wahbah al-Zuhayliy, Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh, vol.5 (Beirut: Daar al-Fikr, 1993),
h.56 105 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.209 106 Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3
Dari putusan yang penulis dapatkan, isteri nusyuz dijadikan alasan perceraian
padahal dalam KHI serta PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan dari UU No.1
tahun 1974 tentang perkawinan tidak menyebutkan nusyuz sebagai alasan
perceraian. Tentu ada pertanyaan mengapa hakim membuat putusan demikian.
Dan didalam putusan tersebut pemohon menyanggupi untuk membayar iwadh
sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), dengan persyaratan khulu yang
pemohon ajukan di PA Serang akibat isteri nusyuz.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2 menyebutkan “untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri”.
Para ulama Mazhab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak
atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang
mengakibatkan gugurnya nafkah.
Seluruh mazhab selain imam Hanafi, sepakat bahwa manakala isteri tidak
memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat
dengannya tanpa alasan berdasarkan syara’ maupun rasio dia dipandang sebagai
wanita yang nusyuz.107
Bahkan imam Syafi’i mengatakan bahwa: sekedar kesediaan digauli dan
berkhalwat, sama sekali belum dipandang cukup kalau siisteri tidak menawarkan
107 Muhammad jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
hambali, (jakarta: Lentera, 2006), cet.ke-17, h.402
diri kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas “Aku menyerahkan diriku
kepadamu”.
Imam Hanafi berpendapat bahwa: “manakala isteri mengeram dirinya dalam
rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka dia masih
disebut patuh, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa sadar syara’ yang
benar.108
Ditinjau dari hukum positif, putusan Hakim tidak semena-mena untuk
mengabulkan permohonan cerai yang diajukan suami karena Majelis Hakim telah
melalui beberapa tahap agar suami isteri tersebut dapat memperbaiki rumah
tangganya tetap hidup rukun dan damai sebagaimana tujuan perkawinan.
Dengan demikian apabila melihat amar putusan tersebut berarti Pengadilan
Agama Serang telah memberikan pengabulan permohonan kepada pemohon
untuk menceraikan isterinya (termohon). Karena dalil yang telah diajukan
pemohon dalam permohonannya adalah dalil yang benar, dan telah dilengkapi
dengan alat bukti dan saksi yang sah menurut Undang-Undang.
108 Ibid., h.402
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu
tentang Perceraian karena Isteri Nusyuz khususnya di Pengadilan Agama Serang,
penulis dapat menyimpulkan, sebagai berikut:
1. Proses penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Serang
sudah sesuai dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh Undang-Undang
yaitu mulai membuka persidangan dan terbuka untuk umum. kemudian
dilanjutkan dengan usaha perdamaian, jika usaha perdamaian tersebut
berhasil maka hakim akan membuatkan penetapan perdamaian
berdasarkan kesepakatan mereka, tetapi jika perdamaian yang dilakukan
oleh hakim tersebut tidak berhasil, sidang dilanjutkan ketahap pembacaan
gugatan, kemudian jawaban tergugat, selanjutnya replik penggugat dan
duplik tergugat, setelah itu masuk ketahap pembuktian, kesimpulan dan
yang terakhir adalah pembacaan putusan hakim.
2. Pada dasarnya hukum Islam dan Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, mempunyai pandangan yang sama tentang
perceraian, bahwa perceraian adalah alternatif terakhir untuk
menyelesaikan ketegangan rumah tangga yang sudah tidak dapat
diperbaiki lagi meskipun dengan berbagai cara untuk mendamaikan sudah
ditempuh.
3. Sedangkan faktor-faktor isteri nusyuz yaitu: pertama masalah seksual,
biasanya isteri bersikap acuh dengan alasan suaminya menderita
impotensi, bahkan ada pula disebabkan suami terlalu sibuk bekerja
sehingga isteri tidak terpenuhi kebutuhan seksnya. Kedua masalah
ekonomi, hal ini biasanya karena isteri tidak mensyukuri dengan
penghasilan suaminya yang minim, bahkan selalu menuntut agar
kebutuhan isteri terpenuhi diluar kemampuan suami. Ketiga masalah isteri
yang berkarir, terkadang isteri yang berkarier merasa telah mampu
menghidupi dirinya sendiri sehingga isteri menjadi lebih tinggi dan
bersikap sombong terhadap suaminya dan tidak mau menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. Keempat kejenuhan yang menimbulkan
konflik, hal ini sering terjadi dalam rumah tangga ketika mengalami titik
kejenuhan dan sering timbul percekcokan, terkadang isteri bersikap arogan
dan keras kepala bahkan selalu membantah nasehat suami. Dan Kelima
masalah cemburu, faktor cemburu yang berlebihan itulah yang
menyebabkan isteri lepas kendali (lepas kontrol) dan dapat melakukan
tindakan diluar akal sehat.
B. Saran-saran
Disamping beberapa kesimpulan diatas, penulis juga ingin memberikan
beberapa saranyang berkaitan dengan Perceraian karena Isteri Nusyuz, saran-
saran tersebut adalah:
1. Hendaklah niat pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri
haruslah dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Pernikahan tersebut
juga diniatkan untuk membentuk keluarga yang kekal dan abadi agar
tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
2. Memaksimalkan lagi fungsi dari lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
pernikahan untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan tidak hanya bagi
pasangan yang ingin menikah, tetapi juga bagi anak-anak muda agar
mereka mengetahui peran mereka masing-masing setelah menikah dan
juga agar mereka dapat mengantisipasi persoalan yang biasanya muncul
pada saat mereka menikah nanti.
3. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan isteri dalam pernikahan,
maka upayakanlah perdamaian antara keduanya secara mandiri (personal).
Apabila jalur perdamaian secara personal suami isteri tidak mampu
diatasi, maka utuslah seorang hakam dari pihak suami atau isteri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. Ziyad. Fiqh Wanita Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.IV. Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
--------------, Fiqh Munakahat II. cet.II. Bandung: Pustaka Setia, 1996.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI
Arto, Mukri. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Asqalani, al, Ibnu Hajar. Bulugh Al-Maram. Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah,
2002.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998.
Daud, Sunan Abi. Bab Thalaq. Beirut: Daru Ibn Hizam, 1998
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1998.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006, cet.ke-1
Fauzan, M. Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah
Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005, cet.ke-2
Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. cet.V.
Bandung: Bina Cipta, 1987.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. cet.II. Jakarta: Kencana, 2003.
Ghifari, AL, Abu. Selingkuh Nikmat yang Terlaknat. Bandung: Mujahid, 2003
Haikal, Abduttawal. Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam islam vs
Monogami Barat. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. cet.XII. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Latif, Jamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Mughryah, M. Jawad Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2006, cet.ke-17
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. cet.II. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Moleong, Leky. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Muslim, Imam Abu Hasan bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim,
Beirut: Maktabah al-Ma’arif, t.th, juz II.
Nur, Djaman. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam diIndonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974
sampai KHI. cet.III. Jakarta: Kencana, 2006.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1
Th.1974 dan KHI). Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996, cet.ke-1.
Rasidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo
Persada, 2001. ed.ke-2, cet.ke-8
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. cet.VI. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 8. cet.XIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.
--------------, Fiqh Sunnah Tarjamah. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996.
Saleh, Wantjik, K. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indo, 1978.
Selamet, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan).
Jakarta: Kalam Mulia, 1998, cet.ke-1
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan.
Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet.ke-6
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995.
Suma, Muhammad Amin. dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003.
--------------, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan. cet.II. Jakarta: Kencana, 2006.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995.
T. Yanggo, Chuzaemah dan Anskary, Hafidz, A, A.Z, Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UIP, 1974, cet.ke-2
Zamroni, Anang dan Ma’ruf Asrori. Bimbingan Seks Islam. Surabaya: Pustaka Anda,
1997
HASIL WAWANCARA
1. Selama Bapak / Ibu bertugas di Pengadilan Agama Serang, apakah pernah
Bapak / Ibu menangani perkara perceraian karena isteri nusyuz?
Jawab: Pernah, namun pada waktu itu kedua belah pihak berdamai jadi
persidangan tersebut dihentikan.
2. Apa tindakan Bapak / Ibu Hakim, agar mereka tidak bercerai?
Jawab: Hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua
belah pihak, kalau dahulu hanya cukup didalam persidangan saja,
tetapi sekarang setelah ada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Jadi di
Pengadilan ada tempat khusus untuk mediasi, kalau para pihak mau
berdamai maka persidangan dihentikan akan tetapi jika tidak berhasil
maka persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.
3. Bagaimana dasar hukum Hakim dalam memutuskan Perceraian karena Nusyuz?
Jawab: Dasar hukumnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hakim selalu
menggunakan kedua dasar hukum diatas dalam menyelesaikan perkara
dipersidangan.
4. Apakah perceraian akibat isteri nusyuz masih banyak terjadi di Pengadilan
Agama Serang?
Jawab: Kasus isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang sangat sedikit,
kebanyakan perceraian karena tidak tanggung jawabnya seorang
suami. Ini berarti para wanita di Serang masih patuh pada suami, jadi
pada intinya di Pengadilan Agama Serang lebih banyak cerai gugat
dari pada cerai talak.
5. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya nusyuz (bagi isteri)?
Jawab: Sejauh ini faktor nusyuz yang paling banyak di Pengadilan Agama
Serang adalah karena faktor ekonomi, jadi faktor ekonomi itu sangat
urgen bagi kelangsungan rumah tangga.
6. Dalam permohonan cerai talak, nusyuz apa saja yang dilakukan isteri terhadap
suami?
Jawab: Isteri membangkang, isteri keluar rumah tanpa izin suami, isteri tidak
mau diajak tidur padahal dia tidak sibuk, isteri sering pulang malam,
isteri tidak mau diperintah oleh suami, isteri boleh menolak jika
perintah tersebut bertentangan dengan agama, pada intinya isteri tidak
menjalankan hak-haknya sebagai isteri.
7. Apakah Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) suami karena isteri
nusyuz?
Jawab: Hakim tidak semena-mena mengabulkan permohonan tersebut, akan
tetapi lihat dahulu bukti-buktinya, jika buktinya kuat hakim bisa
mengabulkan permohonan tersebut jika tidak terbukti maka
permohonan tersebut ditolak. Jadi sebelum mengambil keputusan
hakim melihat-melihat dahulu bukti-bukti tersebut.
Pewawancara Terwawancara
Uwes Hujjatul Islam (H. Ubaidillah, S.H)
Hakim PA Serang