pengenalan tafsir al-manar1

26
1.0 PENGENALAN……………………………………………………………………..……1 2.0 BIODATA RASHID RIDHA……………………………………………………………3 3.0 PENGENALAN TAFSIR AL-MANAR………………………………………………...5 4.0 PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT DI DALAM MUQADDIMAH TAFSIR AL-MANAR…………………………………………………………………………………..7 4.1 Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh. 4.2 Kandungan Al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa 4.3 Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum 4.4 Menentang dan Memberantas Taklid 4.5 Menggunakan Metod Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum 4.6 Penggunaan Logikal Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an 4.7 Tidak Memperincikan Persoalan yang Mubham 4.8 Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur 4.9 Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial 5.0 KESIMPULAN…………………………………………………………………………13

Upload: lieza-majid

Post on 15-Jul-2016

26 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

asigment

TRANSCRIPT

1.0 PENGENALAN……………………………………………………………………..……1

2.0 BIODATA RASHID RIDHA……………………………………………………………3

3.0 PENGENALAN TAFSIR AL-MANAR………………………………………………...5

4.0 PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT DI DALAM MUQADDIMAH TAFSIR

AL-MANAR…………………………………………………………………………………..7

4.1 Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh.

4.2 Kandungan Al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa

4.3 Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum

4.4 Menentang dan Memberantas Taklid

4.5 Menggunakan Metod Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum

4.6 Penggunaan Logikal Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an

4.7 Tidak Memperincikan Persoalan yang Mubham

4.8 Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur

4.9 Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial

5.0 KESIMPULAN…………………………………………………………………………13

RUUKAN……………………………………………………………………………………..

1.0 PENGENALAN

Perkembangan tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa, baik dalam aspek

metod ataupun paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari setiap masa mempunyai ciri dan

karakteristik tersendiri untuk membezakan satu dengan yang lainnya. Sebut saja, tafsir yang

berkembang pada era modern mempunyai kelebihan tersendiri dari era sebelumnya. Yakni

bahwa tafsir era modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-

sumber tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah tafsir al-Manar yang merupakan

bibit munculnya tafsir era modern.

Tafsir ini merupakan sebuah karya dari tokoh revolusioner di Mesir, yakni Muhammad

Abduh dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran al-Quran, mereka lebih

mengutamakan aspek rasionalisasi dan peranan sosial sehingga tidak hanya bertaqlid buta

terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-

kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai

pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan ditirunkanya al-

Quran. 

Sebahagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, kerana

penafsiranya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan

kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut dari segi teknik kebahasaan yang

dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh kerana itu kitab-litab tafsir tersebut cenderung

menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir yang

sesungguhnya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahawa tafsir al-Manar merupakan bibit dari tafsir

moden, tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun rujukan dalam karya-karya tafsir pada masa

sesudahnya. Secara detail pemakalah belum menemukan referensi atau penjelasan mengenai

sebab penulisan Tafsir al-Manar. Yang jelas dari beberapa  keterangan didalam buku

Tafsir al-Manar menyebutkan bahwa, pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari

gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin al-Afgani,

Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiyah dan memberikan

buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya

pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa 1

kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani,

yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di

Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid

Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan

mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah dikatakan bahawa ia adalah ahli waris tunggal bagi

ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya

yang diberi nama Tafsir al-Quran al-Hakim, populer dengan nama Tafsir  al-Manar, nisbah

kepada majalah al-Manar yang diterbitkanya.

Tafsir al-Manar  yang bernama tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya

sebagai, “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan

pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’at,

serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-

Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat. Tafsir ini disusun

dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknik

sehingga dapat difahami oleh orang awam dan juga tidak dapat diabaikan oleh orang-orang

khusus (cendekiawan).

Adapun mengenai sistematikal penulisan dalam tafsir al-Manar adalah penulisan secara

susunan mushafi. Sebagaimana dapat dilihat bahawa dalam penafsiran al-Manar dimulai dari

surat al-Fatihah dan diakhiri dengan al-Nas. Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan ayat

per ayat yang ada, lalu dikaitkan dengan ayat qur’an lain beserta hadis yang terkait.

Penjelasan yang ada dibuktikan dengan mengemukakan asbabun nuzul, dan keutmaan ayat-

ayat tersebut.

Tafsir al-Manar berawal dari ide Rashid Ridha yang mengusulkan kepada gurunya

yaitu Muhammad 'Abduh agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan idea-

ideanya. Maka terbitlah sebuah majalah dengan judul al-Manar, sebuah judul yang diusulkan

oleh Rashid Ridha yang kemudian judul tersebut dietujui oleh gurunya. Pada terbitan

pertama, dijelaskan bahawa tujuan majalah al-Manar sama dengan majalah al-'Urwah al-

Wusqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala

fahaman yang menyimpang.

2

2.0 BIODATA RASHID RIDHA.

Muhammad Rashid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rashid Ridha

ibn ‘Ali Ridha ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan

‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau

18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar

tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon. Ayah dan Ibunya berasal dari

keturunan al-Husain bin 'Ali ibn Abi Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah saw. dan ia

wafat pada hari kamis, 23 Jumadi al-Ula 1354 H. yang bertepatan pada tangal 22 Agustus

1935 M pada usia 70 tahun.

Keluarga Rashid Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat

beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan

”Shaikh”. Pada tahun 1882, ia mula berguru dengan Syaikh husain al-Jisr di Madrasahal-

Wataniyah al-Islamiyah, di madrasah inilah Ridha belajar bahasa Arab, Turki dan Prancis

serta mempelajari pengetahuan umam. Kemudian pada tahun 1899, Ridha berguru kepada

Muhammad ‘Abduh di al-Azhar dengan materi kuliah tafsir al-Qur'an. Selain itu

Ridha  mendapatkan bimbingan dari beberapa ulama besar seperti, Syaikh 'Abd al-Ghani al-

Rafi'i dan Syaikh Muhamad al-Wawaqiji dengan memberikan bimbimgan ilmu bahasa Arab,

sastra dan tasawuf, kemudian belajar fiqh al-Syafi'i dan hadis dibawah bimbingan syaikh

Mahmud Nasyabah.

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Menurut keterangan, ia

berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah

tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Quran. Pada

tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah

Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama

Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab

diajarkan pula bahasa turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama

juga diajarkan pengetahuan modern.

Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di

Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah

yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh

3

ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-

Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu

tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia

mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani

itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan

yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat

mempengaruhi jiwanya.

Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-

Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-

Urwah al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan

ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam,

menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-

faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan

membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.

Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang

sesuai dengan idea-idea yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,

Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Oleh kerana selalu didesak, ‘Abduh

akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-

kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh

Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia

tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu

disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian

dikenal dengan Tafsir al-Manar.Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai

pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah

tafsiran muridnya sendiri.

Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang

menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang

menentang politik Inggris dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah

kekuasaan mereka. Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia

tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus

tahun 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.

4

3.0 PENGENALAN TAFSIR AL-MANAR

Tafsir al Manar merupakan tafsir paling modern yang dipraktiskan oleh seorang

pembaharu yaitu Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh

Rasyid Ridha, munculnya tafsir ini dilatar belakangi oleh keadaan sosial pada waktu itu

sangat kaku dan beku model penafsiran. Sehigga para penafsirsangat sempit dalam

menafsirkan al-Qur’an dan belum adanya pekembangan intelektual yang sangat dinamis.

Dengan munculnya tafsir al-Manar yang dijadikan rujukan bagi

para penafsir selanjutnya maka al-Qur’an juga dijadikan rujukan pada masa tersebut dan

berkenaan tentang kehidupan masyarakat. Mereka memandang al-Qur’an bukan hanya teori-

teori yang berkisar antara masalah “kelangitan” dan berputar -putar pada masalah akhirat,

surga dan neraka, namun al-Qur’an juga berbicara tentang hubungan manusia dengan

manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya.

Namun penulis melihat bahawa dalam tafsir al-Manar ini sangat menitikberatkan akal

dan sangat kurang sekali dalam memahami pemahaman syari’at islam secara utuh tetapi

selalu melihat pertentangan syari’ah dengan kondisi dari segi negatif bukandari segi positif,

sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.Kitab tafsir al-Manar

berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui metod budaya

kemasyarakatan dengan menetapkan prinsip baru.

Para penafsir ini walau menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan

menetapkan bahawa al-Qur’an adalah sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan

mazhab harus bersumber dari al-Qur’an, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal

tersebut masih dirasakan Tafsir ini pada dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari

diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi masalah

umat manusia

Tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat

yang mempelajari Al-Quran. Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada

sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan

ayat Al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan

5

ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-

Quran, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan dan kemudian merangkaikan pengertian

ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan

dunia. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah

Syeikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya,

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain terutama

Muhammad Mutafa Al-Maraghi.

Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang

disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh

Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab

ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan

periodik.

Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai

dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil

dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan

mengikuti metode yang digunakan Abduh. Dalam penafsirannya Abduh cenderung

mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa

menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk

bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan

yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh yaitu,

Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw, dan Kedua, banyak menukil

pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, kerana ia menilai bahawa Syekh

Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata fikiran dan

hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an. Tafsir

ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang

mengungkap makna ayat dengan mudah dan senang, juga mengilustrasikan banyak masalah

sosial dan menyelesaikannya dengan perspektif al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan

bahawa peletak dasar tafsir Al-Manar adalah Syaikh Muhammad Abduh, kemudian

dikembangkan oleh murid-muridnya. Salah seorang murid Abduh yang percaya dalam

pengembangan tafsri Al-Manar adalah Muhammad Rasyid Ridha. Namun, di dalam

kesamaan corak penafsirannya, terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.6

4.0 PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT DI DALAM MUQADDIMAH TAFSIR AL-MANAR.  

Manhaj tafsir Muhamamd Abduh yakni tafsir Al-Manar diimplementasikan berdasarkan

beberapa prinsip, iaitu:

4.2 Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh.

Dengan pandangan ini Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an

yang satu dengan lainnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Persesuaian ini

dijadikan sebagai pilihn utama dalam memberikan makna dalam menilai pendapat-

pendapat terdahulu yang berbeza. Dengan keserasian antara ayat ini ia memberikan

penafsiran yang lebih mendalam terhadap hal-hal yang tidak banyak disinggung oleh

ulama-ulama terdahulu.

Muhammad Syaltut menyebutkan, ketika menjelaskan prinsip ini sebagaimana terlihat

saat menafsirkan surat al-Baqarah, ia memandangnya sebagai kesatuan yang utuh yang

mencakupi berbagai permasalahan. Paling tidak pun ada dua tujuan seruan yang ada di

dalamnya. Pertama seruan dakwah kepada bani Israil untuk mengingatkan mereka akan

nikmat Allah dan tunduk akan ajaran-Nya. Kedua seruan kepada muslim agar mengambil

prinsip kebaikan dalam hidup untuk diri mereka dan masyarakatnya.

Muhammad Abdullah Darraz melihat pandangan Muhammad Abduh akan kesatuan

makna pada setiap surat adalah hal yang prinsip. Paling tidak pun ada beberapa hal seperti

yang terdapat dalam surat al-Baqarah, yakni muqaddimah memuat empat tujuan dan

diakhiri dengan penutup. Muqaddimah menguraikan tentang al-Qur'an dan penjelasan

tentang apa yang terkandung di dalamnya, sebagai petunjuk bagi manusia yang memiliki

hati nurani, tidak ada yang membantah kebenarannya kecuali orang-orang yang dalam

hatinya ada penyakit.

Keempat tujuan dimaksud adalah, dakwah kepada seluruh umat manusia untuk

memeluk Islam, dakwah kepada ahli kitab, khusus untuk meninggalkan kepercayaannya

dan masuk kepada agama Islam yang hak, menguraikan syari’at Islam dan menyebutkan

cara penerapan syari’at dan menghukum mereka yang melanggar.

7

Penutup pada surat ini adalah dengan menyebutkan orang-orang yang menjalankan

seruan agama dan tujuannya, dan orang-orang yang melanggar ajaran itu dengan

kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Muhammad Abduh tampaknya ingin membawa

al-Qur'an sebagai saranan membangkitkan nilai-nilai Islam. Setiap surat memiliki

kesatuan jiwa dan ruh yang mampu menghidupkan umat Islam dengan hukum-hukum

yang dibangunnya. Bagaimana ini tidak terjadi sebab ia berasal dari Allah yang mampu

menghidupkan kreativiti manusia.

4.2 Kandungan Al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa

Pandangan ini terawal dari pendapat Muhammad Abduh akan kebenaran al-Qur’an di

segala masa dan tempat. Ia memahami al-Qur’an mempunyai sifat umum. Berpandukan

kepada kaedah bahawa keutamaan lafadz yang harus dipegangi dalam menafsirkan al-

Qur’an dan bukan keterangan sebab turunnya yang membuat ayat itu khusus (al-Ibrah bi

‘Umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab”. Berangkat dari kaedah ini, ia banyak

memberikan pengertian-pengertian dan erti-erti yang umum terhadap suatu ayat.

Al-Qur'an bersifat umum dan menyeluruh maksudnya ialah petunjuknya menyelimuti

hingga hari kiamat. Tuntutan, janji dan ancaman yang ada di dalamnya tidak dapat

diyakini hanya berlangsung di dunia. Contoh kuat dari pandangan Muhammad Abduh ini

ialah ketika ia menafsirkan awal-awal surat al-Baqarah tentang sifat orang munafik, ia

menyatakan sifat ini berlaku bagi orang munafik di masa kini dan setiap masa. Tidak

dibenarkan jika ada mufassir yang menjelaskan bahawa ayat ini turun untuk orang

munafik di masa Nabi s.a.w semata.

4.3 Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum

Al-Qur’an adalah suatu tatapan yang kepadanya akidah harus ditumpukan. Sandaran

utama dalam beristinbath, kepadanya seseorang yang hendak menetapkan sesuatu.

Muhammad Abduh menyatakan bahawa kalangan intelektual muslim terdahulu

mengambil jalan yang serupa, sehingga berkat jasanya petunjuk-petunjuk al-Qur’an dapat

8

dirasakan. Ia mengajak mufassirin agar mengambil cara ini dalam memahami suatu

permasalahan dan tidak mengetepikan kitab suci ini. mempengaruhi jiwanya.

Muhammad Abduh berprinsip demikian sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi s.a.w

ketika hendak mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman. Landasan utama dalam

menetapkan hukum ialah Kitabullah, Sunnah Rasul dan ijtihad. Abduh ingin menjelaskan

kepada mereka yang hanya bertaklid kepada pendahulunya semata dalam menyikapi

permasalahan sehingga ia menulis penjelasan hadis tersebut dengan menyatakan bahawa

hadis ini bukan itujukan atas madzhab al-Syafi’i. Al-Syafi’i sendiri mengatakan bila hadis

ini shahih, itulah madzhabku dan ikutilah itu.

Para imam mujtahid ketika berijtihad berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul,

tetapi tidak dibolehkan bagi kita untuk mendahulukan pendapat mereka atas Kitabullah.

Sebagai contoh saat menafsirkan ayat tentang tayamum, ia mendasarkan pendapatnya

pada firman Allah yang membolehkan siapa saja yang hendak shalat dalam perjalanan

tetapi tidak ditemukan air, baik ia berhadas kecil atau setelah menggauli isterinya, untuk

bertayamum tanpa memberatkan iri orang itu.

Rasyid Ridla berpendapat, agaknya ia berbeza pandangan kali ini dengan gurunya. Ia

mengemukakan bila itu berlaku untuk masa lalu maka sesuai, tetapi untuk sekarang

tampaknya tidak. Alasan Ridla adalah alat pengangkutan dan jarak perjalanan yang

dahulu cukup sukar, untuk sekarang ini telah berbeza, dan sekarang telah mudah untuk

menemui air.

Berpegang kepada Kitabullah adalah benar, tetapi bukan bererti harus meninnggalkan

Sunnah Rasul yang berstatus sebagai penjelas al-Qur’an. Bukankah Allah memerintahkan

kita untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul serta ulul amri. Taat kepada Allah

bererti berhukum dengannya, taat kepada Rasul yakni dengan melakukan sunnahnya.

Sedangkan ulul amri ialah para ulama dan mujtahid yang memiliki kedalaman pandangan,

tentunya berlandaskan kedua sumber di atas.

9

4.4 Menentang dan Memberantas Taklid

Muhammad Abduh bukanlah seorang teoritikal, dia seorang reformis yang berusaha

keras untuk membebaskan pemikiran yang pada saat itu dibelenggu dengan tradisi. Ia

ingin membuktikan bahawa al-Qur’an menuntut umat Islam untuk menggunakan akal

mereka serta mengancam orang-orang yang hanya mengikuti apa yang mereka temui

pada generasi terdahulu. Al-Qur’an selalu otentik dan berlaku dalam setiap masa yang

dinamis. Tuntutan al-Qur’an agar umatnya hijrah telah nyata, menggunakan dalil-dalil

dalam menentukan keyakinan dan permasalahan, bukan hanya bertaklid belaka.

Muhammad Abduh tidak meninggalkan pemahaman ayat hanya untuk mengikuti

pendapat orang dahulu tanpa diiringi usaha berfikir. Ia melihat kelemahan kaum muslimin

di bidang politik, kebudayaan dan lainnya adalah berpusat dari kurangnya pengembangan

diri. Ia mengajak umat Islam untuk mencontoh perilaku umat Islam pada kurun waktu

abad ketiga dan keempat hijrah. Mereka jaya dengan ilmu dan kebudayaan, sebab mampu

menggali potensi dan memahami nash al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang mempu menyelesaikan setiap permasalahan apapun

masanya. Berijtihad adalah jalan utama untuk sampai kepada kejayaan, dan memerangi

taklid merupakan suatu jalan menuju kemajuan. Ia mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka

sampai datangnya hari kiamat.

4.5 Menggunakan Metod Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum

Manhaj ini ada kaitannya dengan meninggalkan taklid, dan lebih menekankan kepada

pengunaan cara berfikir falsafi yang menawarkan pemahaman baru dalam berfikir.

Muhammad Abduh memandang cara seperti ini sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an,

banyak sekali ayat yang mengajak menggunakan akal dalam memahami kejadian alam

atau al-Qur’an sendiri. Seperti yang terdapat pada surat al-Thariq ayat ke 5- 8 sebagai

berikut :

بكل وهو سموات سبع فسواهن السماء الى استوى ثم جمبعا االرض في ما لكم خلق الذي هو

البقرة ( عليم )26شيء

10

Ada dua macam kenikmatan yang dapat diambil dari ayat ini, yakni, pertama,

mengambil manfaat dengan memperhatikan segala sesuatu untuk kehidupan jasmaniah.

Kedua, menelaah dan merenungi untuk khidupan akliyah.

4.6 Penggunaan Logikal Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an

Al-Qur’an telah memuliakan akal di berbagai tempat, bahkan menjadikannya sebagai

salah satu sarana penetapan dasar hukum (ijtihad). Akal dapat menghindarkan manusia

terjerumus ke dalam neraka, ini dipahami dari ayat :

السعير أصحاب في كنا ما نعقل أو نسمع لوكنا وقالوا

Untuk menentukan makna ayat atau kata tertentu, Muhammad Abduh banyak

memperhatikan konteksnya. Ini merupakan hal biasa yang dilakukan. Dalam

memecahkan masalah, ia sering mengganti dan mempertimbangkan konterks kalimat.

Wahyu dan akal adalah pemberian Allah dan dijadikan untuk menunjukkan manusia

mana yang terbaik. Sebab itu keduanya tidak akan bertentangan . Muhammad Abduh

sepaham dengan Mu’tazilah dalam menggunakan akal untuk memahami kandungan al-

Qur’an, perbedaannya ialah bila Mu’tazilah bersandar pada akal ketika memahami ayat

untuk menguatkan madzhabnya. Lain halnya dengan Muhammad Abduh,[35] yang

murni bertujuan untuk penggalian hukum dari al-Qur’an bahkan ia sepakat untuk

memerangi bentuk taklid terhadap suatu madzhab.

4.7 Tidak Memperincikan Persoalan yang Mubham

Ia memandang al-Qur’an sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual.

Menurutnya seseorang yang memberikan pejelasan suatu ayat seharusnya tidak

menjelaskan sesuatu yang sengaja tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Seorang mufassir itu

diwajibkan menjelaskan teks sebagaimana adanya atau tidak menambah-nambah.

Mufassir, tambah Muhammad Abduh tidak mempunyai hak untuk mengidentifikasi

segala sesuatu yang sengaja disebutkan secara mubham, selayaknya hanya melihat

konteks ayat tersebut dalam menentukan maknanya. mempengaruhi jiwanya.

11

Hal-hal yang disebutkan secara mubham di antaranya seperti keadaan “shirath, mizan,

jannah, nar” dan lainnya. Dalam menentukan dan memahami makna kata-kata tersebut,

Abduh menjelaskan secara jelas dan singkat seperti yang dikemukakan para salaf, yakni

kita hanya diwajibkan mengimaninya, sedangkan makna hakikinya diserahkan Allah.

Pada kenyataannya tidak selama prinsip ini dipegang, terbukti Muhammad Abduh

telah berusaha memperincikan kandungan ayat 3 dan 4 dari surat al-fiil yang berbicara

tentang burung ababil dan bebatuan yang diturunkan Allah untuk menghancurkan tentara

gajah. M. Quraish Shihab menjelaskan, ini adalah salah satu ketidak-konsistenan Abduh

dalam memegang prinsip tidak memperincikan hal yang disebutkan secara mubham,

apakah ia sengaja dengan penjelasan ini atau memang lupa akan hal tersebut.

Muhammad Abduh memperincikan pengetian (thairan ababil” dengan sejenis lalat

atau nyamuk yang membawa bakteria-bakteria dan mengakibatkan penyakit cacar dan

campak. Keterangan ini dikemukakannya berdasarkan sebuah riwayat yang dinilai

mutawatir. Ia menutup huraiannnya dengan menyatakan, tidak ada salahnya untuk

mempercayai burung tersebut dari jenis nyamuk dan lalat yang membawa benih penyakit

tertentu.

4.8 Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur

Ungkapan yang tepat ialah bahwa Muhammad Abduh tidak sefahaman dengan cara

penafsiran yang menggunakan hadis-hadis tertentu dalam memahami ayat, seperti

tentang sihir dan kisah-kisah tentang israiliyyat. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa

Arab, ini selayaknya dipahami melalui bahasa Arab, tidak usah mencari keterangan dari

kisah atau riwayat yang masih dipertentangkan kebenarannya.

Ada ungkapan menarik dari Muhammad Abduh saat menyikapi pola penafsiran bil

ma’tsur. Ini dapat dilihat pada pernyataannya bahawasannya Allah tidak akan bertanya

kepada kita tentang perkataan orang-orang dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, yang

ditanyakan ialah tentang kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Pertanyaan itu ialah

apakah kamu telah sampai risalah itu? Apakah kamu telah merenungi apa yang

disampaikannya kepadamu ? Apakah kamu memikirkan apa yang Kami larang untukmu

dan apa yang Kami perintahkan?

12

4.9 Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial

Ciri ini merupakan salah satu sebab dimasukkannya tafsir Muhammad Abduh ke

dalam corak adab ijtima’i. Ia berusaha memahami ayat dikaitkan dengan kehidupan

sosial, alasannya adalah al-Qur’an sebagai sumber petunjuk tentunya memiliki petunjuk

untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat.

Dengan corak inilah ia meyakini bahawa al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah

manusia dalam kehidupannya. Al-Qur’an dapat menawarkan jalan keluar dan

membimbing ke arah kemajuan. Semua ini dapat dilihat tatkala beliau menafsirkan  ayat

yang berbunyi   " تقهر فال اليم dengan jangan kamu menghinanya, tetapi pergauli ia"فاما

dengan adab dan akhlak yang mulia.

Ada beberapa saranan yang menjadi penekanan  penafsiran Muhammad Abduh saat

menyinggung permasalahan sosial kemasyarakatan, iaitu, pembentukan perundang-

undangan hidup sosial yang Islami, hak-hak inividu dan masyarakat, hikmah

pensyari’atan ibadah, mengukuhkan kepribadian muslim, ajakan untuk menuntut ilmu,

membrantas gaya hidup mewah dan megah-megahan, mudaratnya beristeri banyak dan

kebebasan pergaulan Islami.

5.0 KESIMPULAN

Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-

Qur’an pada segi-segi ketelitian rasionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya

dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni

membawa petunjuk dalam kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat

tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan

dunia.

Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an,

yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi masalah-masalah umat manusia,

kerana itu tafsir al-Manar tidak memperincikan hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal,

selain itu kitab tafsir ini memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani

dan mencegah untuk bersikap taklid buta.

13

Muhammad Abduh seorang mujtahid, mujaddid dan ilmuan muslim berwawasan luas

yang menawarkan pemikirannya untuk kemaslahatan, kemajuan dan kejayaan umat Islam.

Manhaj Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an lebih ditekankan kepada

pengenalan al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan petunjuk bagi manusia. Penafsiran terhadap

al-Qur’an harus ditujukan untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi dan tidak

membahas ilmu-ilmu lain yang dapat menjauhkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada

pemahaman bahasa Arab dan ketajaman akal dalam mengangkap kandungan ayat.

Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya

sebagai Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan

pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah

serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-

Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta

membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada masa

diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.

Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-

istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat

diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof

Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.

Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak dan gaya bahasa yang

terhitung baru. Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk dalam kategari

kitab modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang belum pernah berlaku pada

masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan (al-adab al-

ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak dasar corak tafsir al-adabi al-ijtima’i ini adalah

Muhammad Abduh yang kemudian dikembangkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha

Dengan melihat dan mengamati kandungan tafsir al-Manar, Ulama’

mengatakan bahawa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur (bi al-riwayat)

dan tafsir bi al-Ra’yi (logika). Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi

sumber utama dalam penafsirannya, dan hadis-hadis Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu

hadits menjadi sumber berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an sesuai dengan

masalah yang terjadi di masyarakat.

14

RUJUKAN

Al-‘Adawy, Ibrahim Ahmad Rasyid Ridha: Al-Imam Al-Mujahid, Kairo: Mathba’ah Mishr,

1964.

Al-Faramawy, Abd. Al-Hay Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdu’iy, Kairo: Al-Hadharah

Al-‘Arabiyah, 1977.

Ridha, Sayyid Muhammad Rasyid, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, Juz I.

Mesir: Percetakan Al-Manar, 1931.

Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://keluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/04/tafsir-

al-manar.html pada 18 hb Jun 2015.

Mengenal Tafsir Al-Quran Modern, Al-Manar. Diperoleh dari web:

http://aatshoem.blogspot.com/2014/01/mengenal-tafsir-al-quran-modern-al.html pada 20 hb

Jun 2015.

Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-al-

manar.html pada 20 hb Jun 2015.

Biografi karya - Rashid Ridha. Diperoleh dari web:

http://syaichuhamid.blogspot.com/2009/08/biografi-karya.html pada 22 hb Jun 2015.

Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh. Diperoleh dari web: http://laboratoriumstudial-

quran.blogspot.com/2013/09/pemikiran-tafsir-muhammad-abduh.html pada 22 hb Jun 2015.

Metodologi Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar.

https://ummuslimah.wordpress.com/2009/10/17/metodologi-penafsiran-muhammad-abduh-

dan-muhammad-rasyid-ridha-dalam-tafsir-al-manar/ pada 24 hb Jun 2015.

Metod Tafsir Modern Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:

http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metod-tafsir-modern-tafsir-al-manar.html pada 27 hb

Jun 2015.

15

Metod dan Aliran Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:

http://hasyim-aq.blogspot.com/2013/07/metode-dan-aliran-tafsir-al-manar.html pada 27 hb

Jun 2015.

Prinsip-Prinsip dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:

http://digilib.uinsby.ac.id/8782/5/bab%202.pdf pada 27 hb Jun 2015.

Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-al-

manar.html pada 27 hb Jun 2015.

Latar Belakang dan Sejarah Hidup Rasyid Ridha. Diperoleh dari web:

http://ms.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha pada 29 hb Jun 2015.

Sekilas Tentang Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?

option=com_content&task=view&id=23&Itemid=28 pada 29 hb Jun 2015.

16