pengenalan tafsir al-manar1
DESCRIPTION
asigmentTRANSCRIPT
1.0 PENGENALAN……………………………………………………………………..……1
2.0 BIODATA RASHID RIDHA……………………………………………………………3
3.0 PENGENALAN TAFSIR AL-MANAR………………………………………………...5
4.0 PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT DI DALAM MUQADDIMAH TAFSIR
AL-MANAR…………………………………………………………………………………..7
4.1 Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh.
4.2 Kandungan Al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa
4.3 Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum
4.4 Menentang dan Memberantas Taklid
4.5 Menggunakan Metod Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum
4.6 Penggunaan Logikal Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an
4.7 Tidak Memperincikan Persoalan yang Mubham
4.8 Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur
4.9 Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial
5.0 KESIMPULAN…………………………………………………………………………13
RUUKAN……………………………………………………………………………………..
1.0 PENGENALAN
Perkembangan tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa, baik dalam aspek
metod ataupun paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari setiap masa mempunyai ciri dan
karakteristik tersendiri untuk membezakan satu dengan yang lainnya. Sebut saja, tafsir yang
berkembang pada era modern mempunyai kelebihan tersendiri dari era sebelumnya. Yakni
bahwa tafsir era modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-
sumber tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah tafsir al-Manar yang merupakan
bibit munculnya tafsir era modern.
Tafsir ini merupakan sebuah karya dari tokoh revolusioner di Mesir, yakni Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran al-Quran, mereka lebih
mengutamakan aspek rasionalisasi dan peranan sosial sehingga tidak hanya bertaqlid buta
terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-
kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai
pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan ditirunkanya al-
Quran.
Sebahagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, kerana
penafsiranya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan
kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut dari segi teknik kebahasaan yang
dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh kerana itu kitab-litab tafsir tersebut cenderung
menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir yang
sesungguhnya.
Sebagaimana yang kita ketahui bahawa tafsir al-Manar merupakan bibit dari tafsir
moden, tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun rujukan dalam karya-karya tafsir pada masa
sesudahnya. Secara detail pemakalah belum menemukan referensi atau penjelasan mengenai
sebab penulisan Tafsir al-Manar. Yang jelas dari beberapa keterangan didalam buku
Tafsir al-Manar menyebutkan bahwa, pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari
gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin al-Afgani,
Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiyah dan memberikan
buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya
pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa 1
kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani,
yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di
Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid
Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan
mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah dikatakan bahawa ia adalah ahli waris tunggal bagi
ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya
yang diberi nama Tafsir al-Quran al-Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, nisbah
kepada majalah al-Manar yang diterbitkanya.
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya
sebagai, “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan
pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’at,
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-
Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat. Tafsir ini disusun
dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknik
sehingga dapat difahami oleh orang awam dan juga tidak dapat diabaikan oleh orang-orang
khusus (cendekiawan).
Adapun mengenai sistematikal penulisan dalam tafsir al-Manar adalah penulisan secara
susunan mushafi. Sebagaimana dapat dilihat bahawa dalam penafsiran al-Manar dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan al-Nas. Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan ayat
per ayat yang ada, lalu dikaitkan dengan ayat qur’an lain beserta hadis yang terkait.
Penjelasan yang ada dibuktikan dengan mengemukakan asbabun nuzul, dan keutmaan ayat-
ayat tersebut.
Tafsir al-Manar berawal dari ide Rashid Ridha yang mengusulkan kepada gurunya
yaitu Muhammad 'Abduh agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan idea-
ideanya. Maka terbitlah sebuah majalah dengan judul al-Manar, sebuah judul yang diusulkan
oleh Rashid Ridha yang kemudian judul tersebut dietujui oleh gurunya. Pada terbitan
pertama, dijelaskan bahawa tujuan majalah al-Manar sama dengan majalah al-'Urwah al-
Wusqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala
fahaman yang menyimpang.
2
2.0 BIODATA RASHID RIDHA.
Muhammad Rashid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rashid Ridha
ibn ‘Ali Ridha ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan
‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau
18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar
tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon. Ayah dan Ibunya berasal dari
keturunan al-Husain bin 'Ali ibn Abi Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah saw. dan ia
wafat pada hari kamis, 23 Jumadi al-Ula 1354 H. yang bertepatan pada tangal 22 Agustus
1935 M pada usia 70 tahun.
Keluarga Rashid Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat
beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan
”Shaikh”. Pada tahun 1882, ia mula berguru dengan Syaikh husain al-Jisr di Madrasahal-
Wataniyah al-Islamiyah, di madrasah inilah Ridha belajar bahasa Arab, Turki dan Prancis
serta mempelajari pengetahuan umam. Kemudian pada tahun 1899, Ridha berguru kepada
Muhammad ‘Abduh di al-Azhar dengan materi kuliah tafsir al-Qur'an. Selain itu
Ridha mendapatkan bimbingan dari beberapa ulama besar seperti, Syaikh 'Abd al-Ghani al-
Rafi'i dan Syaikh Muhamad al-Wawaqiji dengan memberikan bimbimgan ilmu bahasa Arab,
sastra dan tasawuf, kemudian belajar fiqh al-Syafi'i dan hadis dibawah bimbingan syaikh
Mahmud Nasyabah.
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Menurut keterangan, ia
berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah
tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Quran. Pada
tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah
Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama
Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab
diajarkan pula bahasa turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama
juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di
Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah
yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh
3
ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-
Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu
tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia
mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani
itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan
yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat
mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-
Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-
Urwah al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan
ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam,
menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-
faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan
membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang
sesuai dengan idea-idea yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,
Muhammad ‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Oleh kerana selalu didesak, ‘Abduh
akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-
kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh
Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia
tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu
disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian
dikenal dengan Tafsir al-Manar.Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai
pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah
tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang
menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang
menentang politik Inggris dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah
kekuasaan mereka. Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia
tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus
tahun 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.
4
3.0 PENGENALAN TAFSIR AL-MANAR
Tafsir al Manar merupakan tafsir paling modern yang dipraktiskan oleh seorang
pembaharu yaitu Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh
Rasyid Ridha, munculnya tafsir ini dilatar belakangi oleh keadaan sosial pada waktu itu
sangat kaku dan beku model penafsiran. Sehigga para penafsirsangat sempit dalam
menafsirkan al-Qur’an dan belum adanya pekembangan intelektual yang sangat dinamis.
Dengan munculnya tafsir al-Manar yang dijadikan rujukan bagi
para penafsir selanjutnya maka al-Qur’an juga dijadikan rujukan pada masa tersebut dan
berkenaan tentang kehidupan masyarakat. Mereka memandang al-Qur’an bukan hanya teori-
teori yang berkisar antara masalah “kelangitan” dan berputar -putar pada masalah akhirat,
surga dan neraka, namun al-Qur’an juga berbicara tentang hubungan manusia dengan
manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya.
Namun penulis melihat bahawa dalam tafsir al-Manar ini sangat menitikberatkan akal
dan sangat kurang sekali dalam memahami pemahaman syari’at islam secara utuh tetapi
selalu melihat pertentangan syari’ah dengan kondisi dari segi negatif bukandari segi positif,
sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.Kitab tafsir al-Manar
berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui metod budaya
kemasyarakatan dengan menetapkan prinsip baru.
Para penafsir ini walau menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan
menetapkan bahawa al-Qur’an adalah sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan
mazhab harus bersumber dari al-Qur’an, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal
tersebut masih dirasakan Tafsir ini pada dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari
diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi masalah
umat manusia
Tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat
yang mempelajari Al-Quran. Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada
sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan
ayat Al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan
5
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-
Quran, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan dan kemudian merangkaikan pengertian
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah
Syeikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain terutama
Muhammad Mutafa Al-Maraghi.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang
disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh
Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab
ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan
periodik.
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai
dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil
dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan
mengikuti metode yang digunakan Abduh. Dalam penafsirannya Abduh cenderung
mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa
menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan
yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh yaitu,
Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw, dan Kedua, banyak menukil
pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, kerana ia menilai bahawa Syekh
Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata fikiran dan
hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an. Tafsir
ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang
mengungkap makna ayat dengan mudah dan senang, juga mengilustrasikan banyak masalah
sosial dan menyelesaikannya dengan perspektif al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan
bahawa peletak dasar tafsir Al-Manar adalah Syaikh Muhammad Abduh, kemudian
dikembangkan oleh murid-muridnya. Salah seorang murid Abduh yang percaya dalam
pengembangan tafsri Al-Manar adalah Muhammad Rasyid Ridha. Namun, di dalam
kesamaan corak penafsirannya, terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.6
4.0 PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT DI DALAM MUQADDIMAH TAFSIR AL-MANAR.
Manhaj tafsir Muhamamd Abduh yakni tafsir Al-Manar diimplementasikan berdasarkan
beberapa prinsip, iaitu:
4.2 Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh.
Dengan pandangan ini Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
yang satu dengan lainnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Persesuaian ini
dijadikan sebagai pilihn utama dalam memberikan makna dalam menilai pendapat-
pendapat terdahulu yang berbeza. Dengan keserasian antara ayat ini ia memberikan
penafsiran yang lebih mendalam terhadap hal-hal yang tidak banyak disinggung oleh
ulama-ulama terdahulu.
Muhammad Syaltut menyebutkan, ketika menjelaskan prinsip ini sebagaimana terlihat
saat menafsirkan surat al-Baqarah, ia memandangnya sebagai kesatuan yang utuh yang
mencakupi berbagai permasalahan. Paling tidak pun ada dua tujuan seruan yang ada di
dalamnya. Pertama seruan dakwah kepada bani Israil untuk mengingatkan mereka akan
nikmat Allah dan tunduk akan ajaran-Nya. Kedua seruan kepada muslim agar mengambil
prinsip kebaikan dalam hidup untuk diri mereka dan masyarakatnya.
Muhammad Abdullah Darraz melihat pandangan Muhammad Abduh akan kesatuan
makna pada setiap surat adalah hal yang prinsip. Paling tidak pun ada beberapa hal seperti
yang terdapat dalam surat al-Baqarah, yakni muqaddimah memuat empat tujuan dan
diakhiri dengan penutup. Muqaddimah menguraikan tentang al-Qur'an dan penjelasan
tentang apa yang terkandung di dalamnya, sebagai petunjuk bagi manusia yang memiliki
hati nurani, tidak ada yang membantah kebenarannya kecuali orang-orang yang dalam
hatinya ada penyakit.
Keempat tujuan dimaksud adalah, dakwah kepada seluruh umat manusia untuk
memeluk Islam, dakwah kepada ahli kitab, khusus untuk meninggalkan kepercayaannya
dan masuk kepada agama Islam yang hak, menguraikan syari’at Islam dan menyebutkan
cara penerapan syari’at dan menghukum mereka yang melanggar.
7
Penutup pada surat ini adalah dengan menyebutkan orang-orang yang menjalankan
seruan agama dan tujuannya, dan orang-orang yang melanggar ajaran itu dengan
kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Muhammad Abduh tampaknya ingin membawa
al-Qur'an sebagai saranan membangkitkan nilai-nilai Islam. Setiap surat memiliki
kesatuan jiwa dan ruh yang mampu menghidupkan umat Islam dengan hukum-hukum
yang dibangunnya. Bagaimana ini tidak terjadi sebab ia berasal dari Allah yang mampu
menghidupkan kreativiti manusia.
4.2 Kandungan Al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa
Pandangan ini terawal dari pendapat Muhammad Abduh akan kebenaran al-Qur’an di
segala masa dan tempat. Ia memahami al-Qur’an mempunyai sifat umum. Berpandukan
kepada kaedah bahawa keutamaan lafadz yang harus dipegangi dalam menafsirkan al-
Qur’an dan bukan keterangan sebab turunnya yang membuat ayat itu khusus (al-Ibrah bi
‘Umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab”. Berangkat dari kaedah ini, ia banyak
memberikan pengertian-pengertian dan erti-erti yang umum terhadap suatu ayat.
Al-Qur'an bersifat umum dan menyeluruh maksudnya ialah petunjuknya menyelimuti
hingga hari kiamat. Tuntutan, janji dan ancaman yang ada di dalamnya tidak dapat
diyakini hanya berlangsung di dunia. Contoh kuat dari pandangan Muhammad Abduh ini
ialah ketika ia menafsirkan awal-awal surat al-Baqarah tentang sifat orang munafik, ia
menyatakan sifat ini berlaku bagi orang munafik di masa kini dan setiap masa. Tidak
dibenarkan jika ada mufassir yang menjelaskan bahawa ayat ini turun untuk orang
munafik di masa Nabi s.a.w semata.
4.3 Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum
Al-Qur’an adalah suatu tatapan yang kepadanya akidah harus ditumpukan. Sandaran
utama dalam beristinbath, kepadanya seseorang yang hendak menetapkan sesuatu.
Muhammad Abduh menyatakan bahawa kalangan intelektual muslim terdahulu
mengambil jalan yang serupa, sehingga berkat jasanya petunjuk-petunjuk al-Qur’an dapat
8
dirasakan. Ia mengajak mufassirin agar mengambil cara ini dalam memahami suatu
permasalahan dan tidak mengetepikan kitab suci ini. mempengaruhi jiwanya.
Muhammad Abduh berprinsip demikian sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi s.a.w
ketika hendak mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman. Landasan utama dalam
menetapkan hukum ialah Kitabullah, Sunnah Rasul dan ijtihad. Abduh ingin menjelaskan
kepada mereka yang hanya bertaklid kepada pendahulunya semata dalam menyikapi
permasalahan sehingga ia menulis penjelasan hadis tersebut dengan menyatakan bahawa
hadis ini bukan itujukan atas madzhab al-Syafi’i. Al-Syafi’i sendiri mengatakan bila hadis
ini shahih, itulah madzhabku dan ikutilah itu.
Para imam mujtahid ketika berijtihad berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul,
tetapi tidak dibolehkan bagi kita untuk mendahulukan pendapat mereka atas Kitabullah.
Sebagai contoh saat menafsirkan ayat tentang tayamum, ia mendasarkan pendapatnya
pada firman Allah yang membolehkan siapa saja yang hendak shalat dalam perjalanan
tetapi tidak ditemukan air, baik ia berhadas kecil atau setelah menggauli isterinya, untuk
bertayamum tanpa memberatkan iri orang itu.
Rasyid Ridla berpendapat, agaknya ia berbeza pandangan kali ini dengan gurunya. Ia
mengemukakan bila itu berlaku untuk masa lalu maka sesuai, tetapi untuk sekarang
tampaknya tidak. Alasan Ridla adalah alat pengangkutan dan jarak perjalanan yang
dahulu cukup sukar, untuk sekarang ini telah berbeza, dan sekarang telah mudah untuk
menemui air.
Berpegang kepada Kitabullah adalah benar, tetapi bukan bererti harus meninnggalkan
Sunnah Rasul yang berstatus sebagai penjelas al-Qur’an. Bukankah Allah memerintahkan
kita untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul serta ulul amri. Taat kepada Allah
bererti berhukum dengannya, taat kepada Rasul yakni dengan melakukan sunnahnya.
Sedangkan ulul amri ialah para ulama dan mujtahid yang memiliki kedalaman pandangan,
tentunya berlandaskan kedua sumber di atas.
9
4.4 Menentang dan Memberantas Taklid
Muhammad Abduh bukanlah seorang teoritikal, dia seorang reformis yang berusaha
keras untuk membebaskan pemikiran yang pada saat itu dibelenggu dengan tradisi. Ia
ingin membuktikan bahawa al-Qur’an menuntut umat Islam untuk menggunakan akal
mereka serta mengancam orang-orang yang hanya mengikuti apa yang mereka temui
pada generasi terdahulu. Al-Qur’an selalu otentik dan berlaku dalam setiap masa yang
dinamis. Tuntutan al-Qur’an agar umatnya hijrah telah nyata, menggunakan dalil-dalil
dalam menentukan keyakinan dan permasalahan, bukan hanya bertaklid belaka.
Muhammad Abduh tidak meninggalkan pemahaman ayat hanya untuk mengikuti
pendapat orang dahulu tanpa diiringi usaha berfikir. Ia melihat kelemahan kaum muslimin
di bidang politik, kebudayaan dan lainnya adalah berpusat dari kurangnya pengembangan
diri. Ia mengajak umat Islam untuk mencontoh perilaku umat Islam pada kurun waktu
abad ketiga dan keempat hijrah. Mereka jaya dengan ilmu dan kebudayaan, sebab mampu
menggali potensi dan memahami nash al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang mempu menyelesaikan setiap permasalahan apapun
masanya. Berijtihad adalah jalan utama untuk sampai kepada kejayaan, dan memerangi
taklid merupakan suatu jalan menuju kemajuan. Ia mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka
sampai datangnya hari kiamat.
4.5 Menggunakan Metod Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum
Manhaj ini ada kaitannya dengan meninggalkan taklid, dan lebih menekankan kepada
pengunaan cara berfikir falsafi yang menawarkan pemahaman baru dalam berfikir.
Muhammad Abduh memandang cara seperti ini sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an,
banyak sekali ayat yang mengajak menggunakan akal dalam memahami kejadian alam
atau al-Qur’an sendiri. Seperti yang terdapat pada surat al-Thariq ayat ke 5- 8 sebagai
berikut :
بكل وهو سموات سبع فسواهن السماء الى استوى ثم جمبعا االرض في ما لكم خلق الذي هو
البقرة ( عليم )26شيء
10
Ada dua macam kenikmatan yang dapat diambil dari ayat ini, yakni, pertama,
mengambil manfaat dengan memperhatikan segala sesuatu untuk kehidupan jasmaniah.
Kedua, menelaah dan merenungi untuk khidupan akliyah.
4.6 Penggunaan Logikal Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an
Al-Qur’an telah memuliakan akal di berbagai tempat, bahkan menjadikannya sebagai
salah satu sarana penetapan dasar hukum (ijtihad). Akal dapat menghindarkan manusia
terjerumus ke dalam neraka, ini dipahami dari ayat :
السعير أصحاب في كنا ما نعقل أو نسمع لوكنا وقالوا
Untuk menentukan makna ayat atau kata tertentu, Muhammad Abduh banyak
memperhatikan konteksnya. Ini merupakan hal biasa yang dilakukan. Dalam
memecahkan masalah, ia sering mengganti dan mempertimbangkan konterks kalimat.
Wahyu dan akal adalah pemberian Allah dan dijadikan untuk menunjukkan manusia
mana yang terbaik. Sebab itu keduanya tidak akan bertentangan . Muhammad Abduh
sepaham dengan Mu’tazilah dalam menggunakan akal untuk memahami kandungan al-
Qur’an, perbedaannya ialah bila Mu’tazilah bersandar pada akal ketika memahami ayat
untuk menguatkan madzhabnya. Lain halnya dengan Muhammad Abduh,[35] yang
murni bertujuan untuk penggalian hukum dari al-Qur’an bahkan ia sepakat untuk
memerangi bentuk taklid terhadap suatu madzhab.
4.7 Tidak Memperincikan Persoalan yang Mubham
Ia memandang al-Qur’an sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual.
Menurutnya seseorang yang memberikan pejelasan suatu ayat seharusnya tidak
menjelaskan sesuatu yang sengaja tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Seorang mufassir itu
diwajibkan menjelaskan teks sebagaimana adanya atau tidak menambah-nambah.
Mufassir, tambah Muhammad Abduh tidak mempunyai hak untuk mengidentifikasi
segala sesuatu yang sengaja disebutkan secara mubham, selayaknya hanya melihat
konteks ayat tersebut dalam menentukan maknanya. mempengaruhi jiwanya.
11
Hal-hal yang disebutkan secara mubham di antaranya seperti keadaan “shirath, mizan,
jannah, nar” dan lainnya. Dalam menentukan dan memahami makna kata-kata tersebut,
Abduh menjelaskan secara jelas dan singkat seperti yang dikemukakan para salaf, yakni
kita hanya diwajibkan mengimaninya, sedangkan makna hakikinya diserahkan Allah.
Pada kenyataannya tidak selama prinsip ini dipegang, terbukti Muhammad Abduh
telah berusaha memperincikan kandungan ayat 3 dan 4 dari surat al-fiil yang berbicara
tentang burung ababil dan bebatuan yang diturunkan Allah untuk menghancurkan tentara
gajah. M. Quraish Shihab menjelaskan, ini adalah salah satu ketidak-konsistenan Abduh
dalam memegang prinsip tidak memperincikan hal yang disebutkan secara mubham,
apakah ia sengaja dengan penjelasan ini atau memang lupa akan hal tersebut.
Muhammad Abduh memperincikan pengetian (thairan ababil” dengan sejenis lalat
atau nyamuk yang membawa bakteria-bakteria dan mengakibatkan penyakit cacar dan
campak. Keterangan ini dikemukakannya berdasarkan sebuah riwayat yang dinilai
mutawatir. Ia menutup huraiannnya dengan menyatakan, tidak ada salahnya untuk
mempercayai burung tersebut dari jenis nyamuk dan lalat yang membawa benih penyakit
tertentu.
4.8 Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur
Ungkapan yang tepat ialah bahwa Muhammad Abduh tidak sefahaman dengan cara
penafsiran yang menggunakan hadis-hadis tertentu dalam memahami ayat, seperti
tentang sihir dan kisah-kisah tentang israiliyyat. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Arab, ini selayaknya dipahami melalui bahasa Arab, tidak usah mencari keterangan dari
kisah atau riwayat yang masih dipertentangkan kebenarannya.
Ada ungkapan menarik dari Muhammad Abduh saat menyikapi pola penafsiran bil
ma’tsur. Ini dapat dilihat pada pernyataannya bahawasannya Allah tidak akan bertanya
kepada kita tentang perkataan orang-orang dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, yang
ditanyakan ialah tentang kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Pertanyaan itu ialah
apakah kamu telah sampai risalah itu? Apakah kamu telah merenungi apa yang
disampaikannya kepadamu ? Apakah kamu memikirkan apa yang Kami larang untukmu
dan apa yang Kami perintahkan?
12
4.9 Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial
Ciri ini merupakan salah satu sebab dimasukkannya tafsir Muhammad Abduh ke
dalam corak adab ijtima’i. Ia berusaha memahami ayat dikaitkan dengan kehidupan
sosial, alasannya adalah al-Qur’an sebagai sumber petunjuk tentunya memiliki petunjuk
untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Dengan corak inilah ia meyakini bahawa al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah
manusia dalam kehidupannya. Al-Qur’an dapat menawarkan jalan keluar dan
membimbing ke arah kemajuan. Semua ini dapat dilihat tatkala beliau menafsirkan ayat
yang berbunyi " تقهر فال اليم dengan jangan kamu menghinanya, tetapi pergauli ia"فاما
dengan adab dan akhlak yang mulia.
Ada beberapa saranan yang menjadi penekanan penafsiran Muhammad Abduh saat
menyinggung permasalahan sosial kemasyarakatan, iaitu, pembentukan perundang-
undangan hidup sosial yang Islami, hak-hak inividu dan masyarakat, hikmah
pensyari’atan ibadah, mengukuhkan kepribadian muslim, ajakan untuk menuntut ilmu,
membrantas gaya hidup mewah dan megah-megahan, mudaratnya beristeri banyak dan
kebebasan pergaulan Islami.
5.0 KESIMPULAN
Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-
Qur’an pada segi-segi ketelitian rasionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni
membawa petunjuk dalam kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.
Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an,
yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi masalah-masalah umat manusia,
kerana itu tafsir al-Manar tidak memperincikan hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal,
selain itu kitab tafsir ini memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani
dan mencegah untuk bersikap taklid buta.
13
Muhammad Abduh seorang mujtahid, mujaddid dan ilmuan muslim berwawasan luas
yang menawarkan pemikirannya untuk kemaslahatan, kemajuan dan kejayaan umat Islam.
Manhaj Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an lebih ditekankan kepada
pengenalan al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan petunjuk bagi manusia. Penafsiran terhadap
al-Qur’an harus ditujukan untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi dan tidak
membahas ilmu-ilmu lain yang dapat menjauhkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada
pemahaman bahasa Arab dan ketajaman akal dalam mengangkap kandungan ayat.
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya
sebagai Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan
pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-
Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta
membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada masa
diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-
istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat
diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof
Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.
Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak dan gaya bahasa yang
terhitung baru. Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk dalam kategari
kitab modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang belum pernah berlaku pada
masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan (al-adab al-
ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak dasar corak tafsir al-adabi al-ijtima’i ini adalah
Muhammad Abduh yang kemudian dikembangkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
Dengan melihat dan mengamati kandungan tafsir al-Manar, Ulama’
mengatakan bahawa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur (bi al-riwayat)
dan tafsir bi al-Ra’yi (logika). Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi
sumber utama dalam penafsirannya, dan hadis-hadis Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu
hadits menjadi sumber berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an sesuai dengan
masalah yang terjadi di masyarakat.
14
RUJUKAN
Al-‘Adawy, Ibrahim Ahmad Rasyid Ridha: Al-Imam Al-Mujahid, Kairo: Mathba’ah Mishr,
1964.
Al-Faramawy, Abd. Al-Hay Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdu’iy, Kairo: Al-Hadharah
Al-‘Arabiyah, 1977.
Ridha, Sayyid Muhammad Rasyid, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, Juz I.
Mesir: Percetakan Al-Manar, 1931.
Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://keluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/04/tafsir-
al-manar.html pada 18 hb Jun 2015.
Mengenal Tafsir Al-Quran Modern, Al-Manar. Diperoleh dari web:
http://aatshoem.blogspot.com/2014/01/mengenal-tafsir-al-quran-modern-al.html pada 20 hb
Jun 2015.
Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-al-
manar.html pada 20 hb Jun 2015.
Biografi karya - Rashid Ridha. Diperoleh dari web:
http://syaichuhamid.blogspot.com/2009/08/biografi-karya.html pada 22 hb Jun 2015.
Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh. Diperoleh dari web: http://laboratoriumstudial-
quran.blogspot.com/2013/09/pemikiran-tafsir-muhammad-abduh.html pada 22 hb Jun 2015.
Metodologi Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar.
https://ummuslimah.wordpress.com/2009/10/17/metodologi-penafsiran-muhammad-abduh-
dan-muhammad-rasyid-ridha-dalam-tafsir-al-manar/ pada 24 hb Jun 2015.
Metod Tafsir Modern Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:
http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metod-tafsir-modern-tafsir-al-manar.html pada 27 hb
Jun 2015.
15
Metod dan Aliran Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:
http://hasyim-aq.blogspot.com/2013/07/metode-dan-aliran-tafsir-al-manar.html pada 27 hb
Jun 2015.
Prinsip-Prinsip dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web:
http://digilib.uinsby.ac.id/8782/5/bab%202.pdf pada 27 hb Jun 2015.
Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-al-
manar.html pada 27 hb Jun 2015.
Latar Belakang dan Sejarah Hidup Rasyid Ridha. Diperoleh dari web:
http://ms.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha pada 29 hb Jun 2015.
Sekilas Tentang Tafsir Al-Manar. Diperoleh dari web: http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?
option=com_content&task=view&id=23&Itemid=28 pada 29 hb Jun 2015.
16