pengaruh cognitive-behavior group...

16
PENGARUH COGNITIVE-BEHAVIOR GROUP THERAPY TERHADAP PENINGKATAN ANGER MANAGEMENT ARTIKEL PENELITIAN OLEH SAFIRUDDIN AL BAQI NIM 309112416078 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI MEI 2013

Upload: vannguyet

Post on 08-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGARUH COGNITIVE-BEHAVIOR GROUP THERAPY TERHADAP

PENINGKATAN ANGER MANAGEMENT

ARTIKEL PENELITIAN

OLEH

SAFIRUDDIN AL BAQI

NIM 309112416078

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

MEI 2013

1

Pengaruh Cognitive-Behavior Group Therapy Terhadap Peningkatan

Anger Management

Safiruddin Al Baqi

Jurusan Psikologi, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang

[email protected]

ABSTRAK

Emosi marah merupakan hal yang wajar. Namun ekspresi marah yang keluar dalam bentuk

perilaku sangat bergantung pada anger management yang dimiliki setiap individu. Anger

management merupakan kemampuan individu dalam mengelola kemarahan. Bagi remaja

pengelolaan marah dapat menjadi permasalahan ketika diwujudkan dalam bentuk agresi.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji cognitive-behavior group therapy (CBGT) sebagai

alternatif untuk meningkatkan anger management. Penelitian ini menggunakan rancangan

ekperimen dengan design nonrandomize pretest-posttest control group design. Kelompok

eksperimen diberikan treatmen CBGT untuk meningkatkan tingkat anger management,

sedangkan kelompok kontrol tidak diberi treatment. Alat ukur dalam penelitian ini adalah

Skala Managemen Marah yang diadaptasi dari Anger Management Scale. Subjek penelitian

ini adalah 10 siswa SMK yang memiliki tingkat anger management rendah, yakni 5 siswa

pada masing-masing kelompok. Uji pengaruh terhadap keseluruhan data menunjukkan sig.

0,182 yang berarti tidak ada pengaruh. Meski secara statistik CBGT tidak efektif untuk

meningkatkan anger managementa, tetapi secara akuntabilita CBGT berhasil membantu 5

siswa yang menjadi subjek kelompok kontrol dalam meningkatkan kemampuan mengelola

marah sehingga intensitas marah dapat diturunkan.

Kata kunci: Anger management, Cognitive-behavior Group Therapy

ABSTRACT

Anger is human nature as one kind of emotion, but anger expression depend on anger

management, whether their expession is appropriate or inappropriate for their social living.

Anger management is human ability to control their anger. For adolescent controlling anger

could be a problem when anger manifest to aggression. This study aimed at examine

cognitive-behavior group theraphy to increase anger management. Experimental design is

used in this study by using between subject design. Each group was given in pretest and

posttest, while experimental groupwas treated by cognitive-behavior group therapy as

treatment and control group did not. Maesurement in this study was using Skala Managemen

Marah which adapted from Anger Management Scale used in pretest and posttest. Ten

adolescents with low anger management recruited to complete this study. It was 5 subjects in

each group. Analyses of whole data by using Eta indicated that there was not any effect of

cognitive-behavior theraphy to increase anger management (sig. 0,189). Even statistically

there was no affect, but as accountability cognitive-behavior group therapy made a success of

increasing the anger management of 5 subjects as experimental group, with the result they

could decrease their aggressions.

Key words: Anger management, Cognitive-behavior Group Therapy

2

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu tidak lepas dari hubungan sosial dengan

orang lain. Berbagai kejadian (event) yang terjadi memunculkan emosi dalam setiap individu,

dari emosi tersebut kemudian individu dapat menentukan sikap dan pikiran sehingga mampu

bertindak sesuai dengan dirinya (Lewis & Jones: 2000). Seperti putus pacar pada remaja

memunculkan emosi sedih sehingga berperilaku menarik diri atau murung.

Menurut Goleman (dalam Sundari, 2005) pada prinsipnya emosi dasar meliputi takut,

marah, sedih dan senang. Perkembangan emosi yang lain merupakan hasil campuran diantara

emosi-emosi dasar tersebut. Sedangkan marah sendiri merupakan reaksi terhadap sesuatu

hambatan yang menyebabkan gagalnya suatu usaha atau perbuatan. Marah yang timbul

seringkali diiringi oleh berbagai ekspresi perilaku.

Banyak dari anak, remaja bahkan orang dewasa sulit mengungkapkan secara lisan

tentang marah yang dirasakan. Mereka mungkin sadar setiap kali mereka mengekspresikan

marah dengan perilaku yang kurang bisa diterima secara sosial, namun mereka tidak mampu

mencegahnya terjadi. Hal ini disebut sebagai emotionally illiterate atau kebutaan emosi yang

diiringi dengan kurangnya kemampuan untuk memahami perasaan dan kurang mampu

memahami bagaimana mengekspresikan marah yang dapat diterima secara norma sosial

(Duffy, 2012)

Lebih lanjut Duffy menambahkan bahwa marah adalah sesuatu yang sangat normal

dan merupakan perasaan yang sehat. Namun sangatlah penting untuk membedakan antara

marah, agresi dan kekerasan yang sering kali disamakan. Marah merupakan perasaan atau

emosi sedangkan agresi dan kekerasan adalah perilaku yang dalam hal ini sering kali tidak

diijinkan oleh norma dan muncul sesuai dengan kemampuan mengontrol marah.

Dalam penelitian Cautin dkk (2001) terhadap 92 remaja menunjukkan bahwa marah

mempunyai peran yang sangat penting bagi timbulnya depresi dan menjadi salah satu faktor

yang menyumbangkan resiko bunuh diri bagi remaja. Mereka menggolongkan ekspresi

3

marah yaitu diinternalisasi atau dipendam sendiri dan dieksternalisasi atau diekspresikan pada

lingkungannya. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang menginternalisasi marahnya

mempunyai kecenderungan terhadap depresi, dan terlebih lagi mengarah pada kemungkinan

bunuh diri. Sedangkan remaja yang mengekspresikan marahnya secara eksternal maka

mempunyai kecenderungan terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.

Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat

mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stres dan fluktuasi emosional secara lebih

efektif, banyak remaja yang tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai

akibatnya, mereka rentan untuk mengalami depresi, kemarahan (anger), kurang mampu

meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah seperti

kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, atau gangguan makan

(Santrock, 2007).

Perilaku yang dapat merugikan seperti melakukan agresi hingga bunuh diri pada

remaja menunjukkan bahwa adanya ketidakmampuan dalam mengelola marah atau anger

management yang rendah. Hal ini terlihat saat emosi, terutama emosi marah yang dirasakan

oleh remaja tidak mampu terwujud sebagai perilaku yang diterima oleh lingkungan atau

masyarakat.

Remaja akhir mempunyai tugas perkembangan yang tidak mudah, yakni ingin

menemukan kenyamanan dalam berperilaku yang ditandai dengan keinginan untuk

didengarkan dan dimengerti sebagai individu yang mandiri (Ericson dalam Crain tahun

1992). Ketika keinginannya sering berbenturan dengan norma sosial dan keinginan

lingkungannya maka sering memunculkan emosi yang kurang nyaman seperti marah dan

sedih. Namun hal itu sesungguhnya bisa di arahkan pada kegiatan yang positif seperti

olahraga atau musik. Tentu saja hal itu tidak mudah jika seorang remaja tidak mempunyai

4

manajemen marah yang baik. Sehingga dapat mengekspresikannya secara wajar dan positif

seperti mengungkapkan pada objek marah dengan komunikasi yang efektif.

Uraian diatas menunjukkan bahwa banyak sekali masalah yang dapat ditimbulkan

karena kurangnya kemampuan seseorang terutama remaja untuk mengatur ekspresi

marahnya, sehingga untuk membantu remaja mengontrol ekspresi marah yang dirasakan,

peneliti menggunakan satu teknik terapi yaitu terapi kelompok. Terapi kelompok dipilih

karena terapi ini memberikan wadah bagi remaja untuk mengekspresikan perasaan, menggali

keraguan yang ada dalam diri serta menyedari masalah mereka dengan berbagi dengan

sesama peserta.

Dalam masyarakat luas, banyak berkembang pemikiran yang salah mengenai marah,

salah satunya adalah bahwa cara seseorang mengekspresikan marah merupakan hasil dari

keturunan (hereditas) yang diturunkan oleh orang tua dan hal itu tidak bisa dirubah. Salah

satu jenis terapi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cognitive-

behavior yang mengedepankan bahwa proses berpikir dan emosi berpengaruh pada perilaku

yang muncul (apakah sesuai harapan sosial atau tidak). Ketika ada suatu peristiwa maka

pikiran dan emosi akan merespon dan menentukan perilaku apa yang akan ia munculkan

(Beck dalam Duffy, 2012). Penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi marah merupakan

perilaku yang dipelajari, sehingga ekspresi marah yang baik juga bisa dipelajari (Reilly &

Shopshire, 2002).

Kebanyakan perilaku seseorang merupakan hasil dari pembelajaran, yakni dengan

memperhatikan orang lain, terutama orang-orang yang berpengaruh. Orang-orang tersebut

adalah orang tua, anggota keluarga yang lain dan teman. Jika seorang anak memperhatikan

orang tuanya mengekspresikan marah dengan perilaku agresif, seperti mencaci-maki dan

tindak kekerasan, sangat mungkin bahwa anak tersebut akan melakukan hal yang sama ketika

mengekspresikan marah karena ia telah belajar perilaku yang demikian. Untungnya, perilaku

5

ini dapat diubah dengan cara mempelajari perilaku baru dalam mengekspresikan marah,

sehingga tidak perlu lagi mengekspresikan marah dengan cara-cara agresif dan juga keras

(Reilly & Shopshire, 2002).

Terapi kelompok berbasis cognitive-behavior menjadi sangat efektif untuk mengatasi

gangguan ekspresi marah, karena dalam terapi ini anggota kelompok mempelajari strategi

dan teknik untuk membantu mengatur kemarahan, mengekspresikan marah dengan jalan

alternatif, mengubah sikap permusuhan, dan mencegah perilaku agresi seperti makian verbal

dan kekerasan (Reilly & Shopshire, 2002). Tujuan-tujuan tersebut dilakukan dengan

mengubah pemikiran (cognition) mengenai marah dan juga mempelajari perilaku (behavior)

yang baru untuk mengekspresikan marah.

Treatmen cognitive behavior therapy (CBT) telah ditemukan sebagai tretmen yang

efektif, sebagai treatmen yang dibatasi waktu (time-limited treatment) untuk mengatasi

masalah marah (Beck & Fernandes; Deffenbacher; Trafate dalam Reilly & Shopshire, 2002).

Teori belajar sosial sering kali digunakan sebagai dasar penyusunan manual terapi kelompok

berbasis CBT untuk mengatasi masalah dengan kemarahan atau anger management

(Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002).

Dalam terapi kelompok, remaja juga diberi kesempatan untuk bertanya tentang nilai-

nilai yang mereka pahami sehingga jika tidak sesuai dengan teman-temannya dapat di ubah

dengan pemahaman yang benar akan nilai. Partisipan mampu belajar berkomunikasi dengan

daik dan mendapat kesempatan untuk meniru perilaku leader sebagai model (Correy, 2012).

Terapi kelompok juga efektif dikarenakan dalam terapi ini anggotanya mempunyai masalah

yang sama sehingga dapat saling mendukung (Nevid, Rathus, Greene, 2005). Terapi ini

mencakup beberapa karakteristik diantaranya, (1) Intervensi relaksasi, targetnya yaitu

komponen emosi dan fisiologi dari marah, (2) Intervensi kognitif, targetnya yaitu proses

kognitif seperti pandangan mengenai permusuhan dan atribusi, keyakinan yang irasional

6

(irrational beliefs), dan pemikiran yang menghasut, (3) Intervensi keterampilan komunikaasi,

targetnya yaitu mengurangi keasesrtivitasan dan keterampilan resolusi konflik, (4) Intervensi

kombinasi, yaitu menggabungkan dua atau lebih intervensi CBT dengan target respon yang

bermacam (Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002).

METODE

Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah 10 siswa SMK Negeri 2 Malang kelas X atau

tingkat satu. Subjek sebelumnya telah di-sreeneng oleh guru BK, yakni yang memiliki tingkat

anger management rendah. Subjek dibagi menjadi 2, yakni 5 siswa sebagai kelompok kontrol

(4 laki-laki; 1 perempuan) dan 5 siswa sebagai kelompok eksperimen (4 laki-laki; 1

perempuan).

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian ekperimen dengan menggunakan

pendekatan between subject design dalam pengambilan datanya, yakni dengan membagi

subjek menjadi dua, sebagai kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Design ekperimen

penelitian ini adalah nonrandomize pretest-posttest control group design, dimana dua

kelompok subjek yakni kontrol dan eksperimen masing–masing diberikan soal posttest dan

posttest. Kelompok eksperimen diberikan treatmen terapi kelompok berbasis cognitive-

behavior therapy untuk meningkatkan tingkat anger management, sedangkan kelompok

kontrol tidak diberikan treatment.

7

Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan adalah Skala Managemen Marah, yang merupakan adaptasi

dari Anger Managemant Scale (AMS) yang sebelumnya dibakukan oleh Sandra M. Smith

dan Serry L. Hamby. AMS adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat Anger

Management pada remaja dengan indikator Escalating Strategies, Negative Attribution, Self-

Awareness, Calming Strategies. Indikator-indikator tersebut telah memenuhi karakteristik

perilaku (behavior) dan kognisi (cognitive) pada subjek yang akan di ukur. Item-item asli

berupa item yang tertulis dalam bahasa Inggris sehingga penulis menterjemhkan kedalam

bahasa indonesia dan dikoreksi oleh seorang ahli bahasa Inggris sedangkan isi (content)

diperiksa oleh ahli psikologi.

Skala yang telah dialihbahasakan dan diperiksa oleh kedua ahli kemudian diujikan

kepada pilot study yang memiliki karakteristik yang mirip dengan subjek penelitian yang asli.

Pilot study dilakukan di SMAN 8 Malang dan di SMKN 2 Malang, dengan pemilihan subjek

berdasar rekomendasi pihak BK Sekolah. Subjek pilot studi berjumlah 50 remaja yang

tersebar di 5 kelas di 2 sekolah. Setelah melalui tahap uji coba maka skala dapat digunakan.

Berdasarkan uji coba yang dilakukan diperoleh 18 item valid dari keseluruhan 36 item

asli. Dari penghitungan menggunakan perhitungan menggunakan SPSS 17.0 maka diperoleh

koefisien reliabilitas Anger Management Scale sebesar 0.72. Berdasarkan hasil reliabilitas

diatas dapat disimpulkan bahwa Anger Management Scale berada dalam kategori tinggi.

Prosedur

Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan terapi adalah melakukan

diagnosis. Subjek yang bersedia menjalani terapi kemudian di tindak lanjuti dengan asesmen

dengan menggunakan self report yang berupa Skala Managemen Marah untuk mengetahui

8

sejauh mana tingkat anger management yang dimiliki. Skor pada Skala Managemen Marah

juga digunakan sebagai pretest yang selanjutnya akan dibandingkan dengan posttest.

Langkah selanjutnya yakni pelaksanaan terapi kelompok yang digawangi oleh terapis

dan para anggota yang telah dipilih. Terapi berjalan selama kurang lebih 5 minggu dengan

intensitas 2 kali dalam seminggu dengan durasi + 1 jam tiap sesinya untuk mampu

melaksanakan silabus yang telah direncanakan. Terapi dilaksanakan pada bulan Maret hingga

April. Setelah terapi berakhir maka subjek diberikan postest.Sedangkan pada kelompok

kontrol diberikan pretest tanpa diberi tretmen (Cognitive-behavior group therapy) dan selang

1,5 bulan kelompok ini biberikan posttest.

HASIL

Dari hasil perhitungan terhadap data pretest dan posttest kelompok eksperimen

diperoleh mean dari pretest sebesar 55,20 dengan SD sebesar 5,17, sedangkan mean dari

posttest sebesar 61,80 dengan SD sebesar 1,92. Dari perolehan mean maka dapat dilihat

bahwa ada perbedaan antara hasil pretest dan posttest pada kelompok eksperimen, yang

menunjukkan efektifitas Cognitive-Behavior Group Therapy (CBGT) untuk meningkatkan

anger management. Hasil hipotesis kemudian dianalisis dengan menggunakan uji komparasi

Wilcoxon signed rank guna mengetahui apakah secara statistik CBGT efektif terhadap

peningkatan kemampuan kontrol marah atau anger management, dilihat dari perbedaan

pretest dan posttest pada kelompok eksperimen. Hasilnya menunjukkan sign. = 0,042 maka

hipotesis alternatif diterima yang berarti ada perbedaan antara pretest dan posttest pada

kelompok eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa Cognitive-Behavior Group Therapy efektif

untuk meningkatkan kemampuan anger managemant pada kelompok eksperimen.

9

Dari hasil perhitungan terhadap data pretest dan posttest kelompok kontrol diperoleh

mean dari pretest sebesar 50,80 dengan SD sebesar 9,42, sedangkan mean dari posttest

sebesar 49,60 dengan SD sebesar 4,50. Dari perolehan mean maka dapat dilihat bahwa tidak

ada perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest pada kelompok kontrol, yang

menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan anger management pada subjek yang tidak

diberikan CBGT. Hasil hipotesis kemudian dianalisis dengan menggunakan uji komparasi

Wilcoxon signed rank guna mengetahui apakah secara statistik ada peningkatan kemampuan

kontrol marah atau anger management pada kelompok kontrol yang tidak diberi tretmen atau

CGBT untuk anger managemen. Hasil perhitungan menunjukan sign. = 0,892 maka

hipotesis alternatif ditolak yang berarti tidak ada perbedaan antara pretest dan posttest pada

kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan tidak ada peningkatan kemampuan anger

management pada kelompok kontrol yang tidak diberikan Cognitive-Behavior Group

Therapy untuk anger management.

Dari hasil perhitungan terhadap data pretest kelompok eksperimen dan pretest

kelompok kontrol diperoleh mean dari pretest kelompok eksperimen sebesar 55,20 dengan

SD sebesar 5,17 sedangkan mean dari pretest kelompok kontrol sebesar 50,80 dengan SD

sebesar 9,42. Dari perolehan mean maka dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang

berarti antara hasil pretest kelompok eksperimen dan pretest pada kelompok kontrol, yang

menunjukkan bahwa kelompok eksperiment dan kelompok kontrol mempunyai tingkat anger

management yang setara sebelum dilakukan tretmen CBGT. Hasil hipotesis kemudian

dianalisis dengan menggunakan uji komparasi Wilcoxon signed rank guna mengetahui

apakah secara statistik ada persamaan pada kemampuan kontrol marah atau anger

management antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebelum dilakukan tretmen

berupa Cognitive-Behavior Group Therapy untuk anger management pada kelompok

eksperimen. Hasil menunjukkan sign. = 0,416 maka hipotesis alternatif ditolak yang berarti

10

tidak ada perbedaan antara pretest pada kelompok eksperimen dan pretest pada kelompok

kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada kemampuan anger

management antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebelum diberikan

Cognitive-Behavior Group Therapy untuk anger management.

Dari hasil perhitungan terhadap data posttest kelompok eksperimen dan posttest

kelompok kontrol diperoleh mean dari pretest kelompok eksperimen sebesar 61,80 dengan

SD sebesar 1,92 sedangkan mean dari posttest kelompok kontrol sebesar 49,60 dengan SD

sebesar 4,50. Dari perolehan mean maka dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang berarti

antara hasil posttest kelompok eksperimen dan posttest pada kelompok kontrol, yang

menunjukkan bahwa kelompok eksperiment dan kelompok kontrol mempunyai tingkat anger

management yang berbeda setelah dilakukan tretmen CBGT. Hasil hipotesis dianalisis

dengan menggunakan uji komparasi Wilcoxon signed rank guna mengetahui apakah secara

statistik ada perbedaan pada kemampuan kontrol marah atau anger management antara

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen setelah dilakukan tretmen berupa Cognitive-

Behavior Group Therapy untuk anger management pada kelompok eksperimen dan tidak

diberikan tretmen pada kelompok kontrol. Hasil menunjukkan sign. = 0,043 maka hipotesis

diterima yang berarti ada perbedaan antara posttest pada kelompok eksperimen dan posttest

pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada kemampuan anger

management antara kelompok eksperimen yang telah diberikan Cognitive-Behavior Group

Therapy untuk anger management dan kelompok kontrol yang tidak diberikan tretmen.

Hasil hipotesis dianalisis dengan menggunakan uji asosiasi Eta guna mempertajam

analisa, apakah secara statistik ada pengaruh dari pemberian tretmen berupa Cognitive-

Behavior Group Therapy terhadap kemampuan anger management pada kelompok

eksperimen dan tidak ada peningkatan kemampuan anger management pada kelompok

kontrol yang tidak diberikan tretmen. Hasil menunjukkan sign. = 0,189 maka hipotesis

11

ditolak yang berarti bahwa Cognitive-Behavior Group Therapy tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap peningkatan kemampuan anger management.

DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengujikan pengaruh Cognitive-Behavior Group

Therapy (CBGT) untuk meningkatkan anger management, yakni salah satu pendekatan

dalam terapi yang berasumsi bahwa kebanyakan masalah perilaku, kognisi, dan emosi

merupakan sesuatu yang dipelajari dan dapat dimodifikasi dengan pembelajaran yang baru

(Correy, 2012). Dalam pelaksanaan CBGT, ada berbagai hal yang perlu diperhatikan.

Pertama adalah hubungan terapeutik. Meskipun hubungan terapeutik masih menjadi hal yang

asing dalam pendekatan cognitive-behavior, bahkan masih diabaikan karena memang belum

terbyukti secara akurat (Stewart, 2007). Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kenyamanan dan

keterbukaan selama menjalani terapi (Stewart, 2007). Dalam penelitian ini, hububungan

terapeutik sangat sulit dimunculkan antara terapis dan anggota terkait dengan pertemuan

yang sangat singkat.

Salah faktor penentu dari kekompakan dan keterbukaan adalah tipe kelompok dari

CBGT. Freeman dkk. dalam Stewart dkk. (2007) menggambarkan kelompok terbuka dan

tertutup. Kelompok tertutup acap kali memiliki jumlah pertemuan atau sesi yang telah

ditentukan dan memiliki batasan waktu, dan ketika telah dimulai tidak diperkenankan adanya

penambahan anggota baru. Dalam kelompok ini, ada kesempatan yang lebih besar untuk

terwujudnya kesatuan dalam kelompok. Disisi lain dalam kelompok terbuka terdapat

kemungkinan adanya penambahan anggota baru yang masih harus memulai dari awal.

Dalam kelompok ini, terapis telah mendisain modul dari tretmen yang akan selesai

dilakukan dalam kurun waktu 8 sampai 10 minggu. Tidak masalah apakah seorang anggota

12

kelompok masuk pada pertemuan keberapa, namun yang terpenting adalah ia menyelesaikan

modul yang ada. Kelompok ini sering digunakan untuk setting sekolah sebagai alternatif anak

tidak dapat mengikuti sebuah sesi (Stewart dkk., 2007).

Pemberian tugas atau pekerjaan rumah merupakan komponen utama dari model

CBGT, diberikan untuk memberikan penekanan terhadap pengembangan keterampilan,

membuat otomasisasi terhadap keterampilan baru yang talah dipelajari, generalisasi

keterampilan disetiap setting, dan memberikan kesiapan pada anggota kelompok dalam

menghadapi peristiwa di lingkungan masing-masing.

Dalam kelompok terapi terdapat kemungkinan bagi anggota kelompok untuk tidak

aktif berpartisipasi dikarenakan meraka berpikir bahwa yang lain akan melakukannya dan

hanya sekedar memenuhi kewajiban (social loafing). Sehingga amat penting bagi fasilitator

atau terapis untuk dapat membangun suasana sehingga semua anggota mampu berkontribusi

dan mempunyai persepsi bahwa kesuksesan kelompok membutuhkan pendapat dan

kontribusi dari semua pihak (Stewart, 2007).

Malekoff dalam Stewart (2007) menggarisbahwahi bahwa terdapat hambatan yang

mungkin muncul dari para anggota kelompok. Perlawanan dapat termanifestasi dalam

beberapa cara, seperti menyangkal permasalahan, pura-pura bersedia, menguji kesabaran

yang lain, diam, menyalahkan yang lain, dll.. Kebanyakan perlawanan berbentuk perkataan

dan perilaku yang bersumber dari cognitive errors atau cognitive distortion. Sebagai contoh,

seorang anak yang ingin memjadi pusat perhatian dengan merespon semua pertanyaan namun

dengan cara yang mengganggu dan terkadang penuh kepura-puraan, hal ini disebut juga

active challenger. Disisi lain, silent challenger merupaka anggota yang memilih diam dan

tidak atau jarang merespon terpanyaan dan tanggapan (Stewart, 2007).

Dalam penelitian ini cognitive-behavior group therapy dilaksanakan selama sembilan

sesi dengan memperhatikan hal-hal di atas. Sebelum dan sesudah terapi dilakukan

13

pengukuran menggunakan Skala Managemen Marah. Skala ini digunakan sebagai instrumen

untuk mengukur anger management saat pretest dan posttest pada kedua kelompok. Hasil

analisis uji Eta terhadap data yang diperoleh menunjukkan signifikansi sebesar 0.189 atau

tidak signifikan, hal ini berarti memang tidak ada pengaruh pemberian tretmen berupa

Cognitive-Behavior Group Therapy terhadap peningkatan anger management. Tidak adanya

pengaruh secara statistik ini dimungkinkan karena adanya beberapa faktor yang

mempengeruhi tingkat anger management individu, seperti usia, keluarga, teman sebaya,

budaya dan gender.

Santrock menyebutkan bahwa pada usia remaja individu telah mengalami

perkembangan kognisi yang signifikan dari perkembangan sebelumnya yakni masa kanak-

kanak, hal ini mempengaruhi individu dalam memahami emosi yang di rasakan sehingga

lebih mampu mengekspresikannya. Meskipun kognisi dan kesadaran akan emosi telah

meningkat, namun banyak diantara remaja tidak mampu mengekspresikannya dengan tepat

sehingga muncul dalam perilaku agresi yang cenderung merugikan diri dan orang lain

(Santrock, 2007).

Perilaku yang dipelajari oleh remaja dalam keluarga sangat berpengaruh tidak hanya

dalam perilaku secara umum, namun juga dalam pengekspresian emosi marah yang merujuk

pada kekerasan. hal ini terkalit dengan pola asuh (parental monitoring) dan juga kelekatan

(attachment) dengan anggota keluarga khususnya orang tua. Quigley dkk. menambahkan

bahwa teman sebaya juga berpengaruh terhapat pengelolaan dan pengekspresian marah,

karena remaja cenderung membuat perkumpulan dan memunculkan suatu norma kelompok

yang secara tidak langsung harus diikuti oleh setiap anggotanya (Quigley dkk., 2006).

Ramirez dkk. (2001) menyebutkan bahwa marah dan agresi dipengaruhi oleh budaya

atau masyarakat dimana individu tinggal. Ada beberapa masyarakat yang menganggap bahwa

agresi verbal berupa makian dan bentakan adalah hal yang umum atau biasa dilakukan,

14

sedangkan masyarakat lain menganggap bahwa hal tersebut dapat melukai seseorang. Skala

yang berasal dari bahasa Inggris yang di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia merupakan

perbedaan budaya yang mungkin menjadi faktor yang mengurangi keakuratan skala.

Kinney dkk. (2001) menyebutkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap

kemarahan dan agresi verbal, namun gender berpengaruh terhadap keduanya. Seseorang

dengan gender maskulin akan cenderung memiliki kemarahan dan agresifitas verbal yang

tinggi, begitu pula sebaliknya pada individu feminim akan cenderung memiliki kemarahan

dan agresifitas verbal yang rendah.

Aspek-aspek tersebut merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap

kemampuan anger management individu yang tidak mampu dikontrol oleh peneliti. Sehingga

sangat dimungkinkan bahwa tidak adanya pengaruh secara statistik dalam pemberian tretmen

(Cognitive-Behavior Group Therapy) dalam penelitian ini disebabkan oleh hal-hal diatas.

Selain skor yang diperoleh dari Skala Managemen Marah, terapis memberikan

penilaian berdasar observasi selama terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada peningkatan

anger management pada subjek kelompok eksperimen yang terpantau dari pertemuan pertama

hingga terakir, peningkatan ini terutama terjadi pada 5 subjek yang antusias dan terus

menghadiri terapi secara penuh

Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan terapi seperti yang disebutkan diatas,

memberikan dampak yang sangat besar terhadap keefektivitasan CBGT. Meskipun hasil

analisis statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh yang berarti dari pemberian Cognitive-

Behavior Group Therapy terhadap peningkatan anger management, namun dari data kasar

didapatkan beberapa kelebihan dari kelompok eksperimen dalam tiga aspek, yaitu Escalating

Strategies, Self-Awareness, Calming Strategies yang banyak dipelajari selama proses terapi.

15

DAFTAR RUJUKAN

Cautin, Robin L., Overholser, James C. & Goetz Patricia. 2001. Assesment of Mode of Anger

Expression In Adolescent Psychiatric Inpatients. Proquest Sociology, (Online), 36

(141): 163-170, (http://www.search.proquest.com), diakses pada 10 November 2012.

Christner, Ray W., Stewart, Jessica L. & Freeman Arthur. 2007. Handbook of Cognitive-

Behavior Group Therapy with Children and Adolescent. New York: Taylor & Francis

Group, LLC.

Correy, Gerald. 2012. Theory and Practice of Group Counseling Eighth Edition. Belmonth

CA: Brooks/ Cole.

Duffy, Joe. 2012. Managing Anger and Aggression : Practical Guidance for Schools. South

Eastern Education and Library Board: Psychology/ Behavior Support Section.

Hurlock, E. B. 2000. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Terjemah oleh Isti Hidayanti dan Soejarwo. Jakarta: Erlangga.

Kinney, Terry A., Smith, Brian A. & Donzella, Bonny. 2001. The Influence of Sex, Gender,

Self-Discrepancies, adn Self-Awareness on Anger an Verbal Aggressiveness Among

U. S. College Students. The Journal of Social Psychology, (Online), Vol. 141(2): 245-

275, (http://www.search. proquest.com), diakses pada 15 April 2013.

Lewis, Michael & Haviland-Jones, J. M. 2000. Handbook of Emotion 2nd Edition. New

York: The Guilford Press.

Quigley, Denise D. dkk. 2006. Peer and Family Influences on Adolescent Anger Expression

and the Acceptance of Cross-Gender Aggression. Violevce and Victim, (Online), Vol.

21:597-610, (http://www.search.proquest.com), diakses pada 10 April 2013.

Ramirez, J Martin., Fujihara, Takehiro. & Van Goozen, Stephanie. 2001. Cultural and Gender

Differences in Anger and Aggression: A Comparason Between Japanase, Dutch, and

Spanish Students. The Journal of Social Psychology, (Online), Vol. 141(1): 119-121,

(http://www.search. proquest.com), diakses pada 15 April 2013.

Riley, Patrick M. & Shopshire, Michael S. 2002. Anger Management for Substance Abuse

and Mental Health Clients: A Cognitive Behavior Theraphy Manual. Washington:

U.S. Department of Health and Human Service.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkmbangan Masa Hidup. Jakarta:

Erlangga.

Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta: Erlangga.

Stith, Sandra M. & Hamby, Sherry L. 2002. The Anger Management Scale: Development and

Preliminari Psychometric Properties. Proquest Sociology, (Online), Vol.17: 383-402,

(http://www.search.proquest.com), diakses pada 10 November 2012.

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Citra