buletin la™o hamutuk · kronologi keadilan dan pertanggungjawaban... 14 rangkuman laporan seminar...

24
La’o Hamutuk, Institut Pemantau dan Analisis Rekonstruksi Timor Lorosa’e P.O. Box 340, Dili, Timor Lorosa’e (via Darwin, Australia) Mobile: +61(408)811373; Telepon: +670(390)325-013 Email: [email protected] Web:http://www.etan.org/lh iBuletin Lao Hamutuk Vol. 2, No. 6 & 7 Oktober 2001 Di dalam . . . Tempat untuk Mengupayakan Keadilan ............... 2 UNTAET dan Kejahatan Berat .............................. 4 Sistem Peradilan Baru Timor Lorosa’e ................. 6 Perempuan dan Keadilan ........................................ 7 Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi ............................................................ 8 Solidaritas dan Keadilan Internasional ............... 10 Siapa itu La’o Hamutuk? ....................................... 11 Pengadilan Internasional untuk Timor Lorosa’e? . 12 Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban ... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan Internasional ........................................................ 18 Berita Singkat ......................................................... 18 Surat dari Wakil Khusus Sekjen PBB Sergio Vieira de Mello ........................................ 20 La’o Hamutuk Menanggapi: Pengungsi Terlalu Lamban Pulang, Strategi Masih Salah ............. 21 Editorial: Kapan Pertanggungjawaban Dimulai? . 23 Editorial: Saatnya Bersungguh-sungguh terhadap Keadilan bagi Timor Lorosa’e .......... 24 Apa itu La’o Hamutuk? ......................................... 24 B aru dua tahun yang lalu militer Indonesia (TNI) dan pasukan-pasukan milisinya melancarkan teror dan penghancuran akhir di Timor Lorosae. Akibatnya telah banyak diketahui: sekitar 70 persen gedung dan infrastruktur negeri ini hancur; lebih dari dua ribu orang mati dibunuh; perempuan yang jumlahnya belum diketahui diperkosa; dan ratusan ribu orang terusir dari tempat tinggal mereka. Kekejaman ini berpengaruh pada pembentukan misi UNTA- ET dan merangsang upaya untuk menjamin pertanggung- jawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan terhadap rakyat Timor Lorosa’e. Pada Tais Timor terbitan bulan September 2000, UNTA- ET memaparkan secara ringkas “dua puluh keberhasilan besar”-nya, yang tidak menyebutkan sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan kejahatan berat. (“Sistem peradilan dan hukum” yang mereka sebutkan, hanya berurusan dengan kejahatan “biasa”.) Diamnya UNTAET mengenai yang telah dicapai dalam hal ini mencerminkan apa yang secara luas dipandang sebagai tidak adanya kemajuan di bidang ini. Tentu saja, ini bukan semata persoalan UNTAET, tetapi lebih merupakan hasil dari kurangnya kemauan politik pada pihak Indonesia dan anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling besar kekuatannya untuk menjamin bahwa Timor Lorosa’e memperoleh keadilan. Tetapi, ada kelemahan serius dalam upaya UNTAET untuk menjamin keadilan bagi kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan dalam konteks invasi dan pendudukan Indonesia. Buletin ini menyoroti upaya-upaya untuk mencapai pertanggungjawaban bagi kejahatan yang dilakukan pada masa Indonesia melakukan penundukan dan “integrasi” Timor Lorosa’e. Kejahatan-kejahatan ini dimulai pada tahun 1975 ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan resminya berakhir tahun 1999 ketika TNI mengundurkan diri dari wilayah ini. Dalam banyak hal, kejahatan internasional yang dilakukan terus berlanjut saat ini ketika milisi dan para pendukungnya dalam tubuh TNI masih menahan ribuan or- ang Timor Lorosa’e sebagai sandera di Timor Barat. Keadilan untuk Timor Lorosa’e? Selain tinjauan atas berbagai upaya mendapatkan keadilan, terbitan nomor ini berisi analisis kritis terhadap penyelidikan dan pengadilan yang dilakukan oleh Unit Kejahatan Berat UNTAET (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan seksual) serta sebuah artikel yang membahas kegiatan gerakan solidaritas internasional untuk mendorong pembentukan pengadilan internasional. Juga ada tinjauan mengenai Komisi untuk Penerimaan, Kebenaraan, dan Rekonsiliasi yang sedang dibentuk, artikel tentang sistem peradilan Timor Lorosa’e (untuk kejahatan “biasa”), dan tinjauan mengenai hubungan antara sistem peradilan tersebut dengan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di Timor Lorosa’e, serta satu tulisan yang menyoroti alternatif untuk pengadilan internasional. Kami memuat surat dari Administrator Transisi Sergio de Mello kepada La’o Hamutuk mengenai krisis pengungsi yang sedang berlangsung, beserta jawaban kami. Suatu kronologi yang memaparkan perkembangan keadilan yang penting selama dua tahun terakhir disertakan sebagai sisipan. v

Upload: trinhdan

Post on 18-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

La’o Hamutuk, Institut Pemantau dan Analisis Rekonstruksi Timor Lorosa’eP.O. Box 340, Dili, Timor Lorosa’e (via Darwin, Australia)

Mobile: +61(408)811373; Telepon: +670(390)325-013Email: [email protected] Web:http://www.etan.org/lh

iBuletin La�o Hamutuk Vol. 2, No. 6 & 7 Oktober 2001

Di dalam . . .Tempat untuk Mengupayakan Keadilan ............... 2UNTAET dan Kejahatan Berat .............................. 4Sistem Peradilan Baru Timor Lorosa’e ................. 6Perempuan dan Keadilan ........................................ 7Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan

Rekonsiliasi ............................................................ 8Solidaritas dan Keadilan Internasional ............... 10Siapa itu La’o Hamutuk? ....................................... 11Pengadilan Internasional untuk Timor Lorosa’e? . 12Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban ... 14Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan

Internasional........................................................ 18Berita Singkat......................................................... 18Surat dari Wakil Khusus Sekjen PBB

Sergio Vieira de Mello ........................................ 20La’o Hamutuk Menanggapi: Pengungsi Terlalu

Lamban Pulang, Strategi Masih Salah ............. 21Editorial: Kapan Pertanggungjawaban Dimulai? . 23Editorial: Saatnya Bersungguh-sungguh

terhadap Keadilan bagi Timor Lorosa’e .......... 24Apa itu La’o Hamutuk? ......................................... 24

Baru dua tahun yang lalu militer Indonesia (TNI) danpasukan-pasukan milisinya melancarkan teror danpenghancuran akhir di Timor Lorosae. Akibatnya telah

banyak diketahui: sekitar 70 persen gedung dan infrastrukturnegeri ini hancur; lebih dari dua ribu orang mati dibunuh;perempuan yang jumlahnya belum diketahui diperkosa; danratusan ribu orang terusir dari tempat tinggal mereka.Kekejaman ini berpengaruh pada pembentukan misi UNTA-ET dan merangsang upaya untuk menjamin pertanggung-jawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatanperang yang dilakukan terhadap rakyat Timor Lorosa’e.

Pada Tais Timor terbitan bulan September 2000, UNTA-ET memaparkan secara ringkas “dua puluh keberhasilanbesar”-nya, yang tidak menyebutkan sesuatu yang berkaitandengan pengadilan kejahatan berat. (“Sistem peradilan danhukum” yang mereka sebutkan, hanya berurusan dengankejahatan “biasa”.) Diamnya UNTAET mengenai yang telahdicapai dalam hal ini mencerminkan apa yang secara luasdipandang sebagai tidak adanya kemajuan di bidang ini. Tentusaja, ini bukan semata persoalan UNTAET, tetapi lebihmerupakan hasil dari kurangnya kemauan politik pada pihakIndonesia dan anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsayang paling besar kekuatannya untuk menjamin bahwa TimorLorosa’e memperoleh keadilan. Tetapi, ada kelemahan seriusdalam upaya UNTAET untuk menjamin keadilan bagikejahatan hak asasi manusia yang dilakukan dalam konteksinvasi dan pendudukan Indonesia.

Buletin ini menyoroti upaya-upaya untuk mencapaipertanggungjawaban bagi kejahatan yang dilakukan pada masaIndonesia melakukan penundukan dan “integrasi” TimorLorosa’e. Kejahatan-kejahatan ini dimulai pada tahun 1975ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugisdan resminya berakhir tahun 1999 ketika TNI mengundurkandiri dari wilayah ini. Dalam banyak hal, kejahatan internasionalyang dilakukan terus berlanjut saat ini ketika milisi dan parapendukungnya dalam tubuh TNI masih menahan ribuan or-ang Timor Lorosa’e sebagai sandera di Timor Barat.

Keadilan untuk Timor Lorosa’e?Selain tinjauan atas berbagai upaya mendapatkan keadilan,

terbitan nomor ini berisi analisis kritis terhadap penyelidikandan pengadilan yang dilakukan oleh Unit Kejahatan BeratUNTAET (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang, pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaanseksual) serta sebuah artikel yang membahas kegiatan gerakansolidaritas internasional untuk mendorong pembentukanpengadilan internasional. Juga ada tinjauan mengenai Komisiuntuk Penerimaan, Kebenaraan, dan Rekonsiliasi yang sedangdibentuk, artikel tentang sistem peradilan Timor Lorosa’e(untuk kejahatan “biasa”), dan tinjauan mengenai hubunganantara sistem peradilan tersebut dengan terjadinya kekerasanterhadap perempuan di Timor Lorosa’e, serta satu tulisan yangmenyoroti alternatif untuk pengadilan internasional. Kamimemuat surat dari Administrator Transisi Sergio de Mellokepada La’o Hamutuk mengenai krisis pengungsi yang sedangberlangsung, beserta jawaban kami. Suatu kronologi yangmemaparkan perkembangan keadilan yang penting selama duatahun terakhir disertakan sebagai sisipan. v

Page 2: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 2 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Ada tiga “tempat” untuk mengupayakan keadilan: internasional(lebih khususnya, di dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa),Indonesia, dan Timor Lorosa’e sekarang di bawah UNTAET.

Perserikatan Bangas-BangsaSecara internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa segera

melakukan penyelidikan mengenai kejahatan yang dilakukandi dalam konteks misi UNAMET. Pada 27 September 1999,United Nation’s Human Rights Commission (UNHRC, KomisiHak Asasi Manusia PBB) mengeluarkan sebuah resolusi yangmeminta kepada Sekretaris Jenderal untuk membentuk KomisiTempat untuk Mengupayakan Keadilan

Penyelidik Internasional tentang Timor Lorosa’e (Interna-tional Commission of Inquiry on East Timor, ICIET) untukmenyelidiki pelanggaran berat hak asasi manusia di TimorLorosa’e. UNHRC juga meminta tiga orang Pelapor Khususuntuk menjalankan misi di Timor Lorosa’e yang difokuskanpada eksekusi di luar hukum, penyiksaan, kekerasan terhadapperempuan, penghilangan, danpemindahan paksa.

Pada laporan bertanggal 10Desember 1999 kepada DewanKeamanan, para Pelapor Khususmenyebut TNI, bersama milisi,melakukan kejahatan termasuk“pembunuhan, penyiksaan,kekerasan seksual, pemindahanpenduduk secara paksa, danpengejaran serta tindakan-tindakan tidak manusiawi,termasuk perusakan harta-benda,” kejahatan-kejahatan“yang dilakukan pada skala luasatau sistematis atau keduanya.”Mereka merekomendasikanDewan Keamanan untukmempertimbangkan pemben-tukan sebuah pengadilan inter-nasional kecuali jika Jakartamenghasilkan hasil yang bisadipercaya dalam penyelidikandan pengadilan yang dijanjikan terhadap mereka yangbertanggungajwab atas teror 1999 di Timor Lorosa’e “dalambeberapa bulan.” Pada saat yang sama, para pelapor menegaskanbahwa pengadilan itu “harus memiliki yurisdiksi atas semuakejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan olehpihak mana pun di Wilayah ini sejak kepergian penguasakolonial [Portugal, pada 1975].”

Kurang dari dua bulan kemudian laporan ICIET menyerukankepada PBB untuk “membentuk pengadilan hak asasi manusiainternasional yang terdiri dari hakim-hakim yang diangkat olehPerserikatan Bangsa-Bangsa” untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan pada 1999. Ketika mengumumkanlaporan ini, Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa ia“diyakinkan oleh tekad yang diperlihatkan oleh PresidenAbdurrahman Wahid untuk menegakkan hukum danmendukung sepenuhnya penyelidikan dan pengadilan terhadappara pelaku melalui proses penyelidikan nasional yang sedangberlangsung di Indonesia.” Tuan Annan juga melaporkan bahwamenteri luar negeri Indonesia “secara kuat meyakinkan” dirinya

tentang “kesungguhan Pemerintah Indonesia bahwa tidak akanada kekebalan hukum bagi para pelaku.”

Kofi Annan selanjutnya menulis bahwa ia bermaksud“menempuh berbagai jalan untuk menjamin bahwa[pertanggungjawaban bagi kejahatan tersebut] dilaksanakandengan memadai, inter alia, dengan memperkuatkemampuan UNTAET untuk melakukan penyelidikan danmemperkuat kerjasama antara UNTAET denganpenyelidikan … KPP HAM Indonesia.”

Dengan pembukaan ini, para anggota Dewan Keamanan –khususnya sekutu-sekutu kuat Indonesia – menjadi semakinmau memenuhi permintaan Indonesia bahwa negara itumemiliki hak untuk mengadili sendiri. Tetapi Dewan Keamananmenyatakan bahwa Indonesia harus membawa para pelaku kepengadilan “secepat mungkin” dan harus “menjalankan proseshukum yang cepat, menyeluruh, efektif, dan transparan, yangmemenuhi standar internasional tentang pengadilan dan proseshukum yang adil.”

Sejak saat itu, sedikit yangtelah terjadi di kalangan resmi– selain kuranya peringatankepada Jakarta bahwalangkanya kemajuan akanmenyebabkan adanya upayauntuk membentuk pengadilaninternasional. Di PerserikatanBangsa-Bangsa tidak adakemajuan ke arah pengadilaninternasional bagi TimorLorosa’e, dan sejumlah negarakuat mundur dari dukunganpasif yang sebelumnya merekaberikan pada gagasan ini.Dalam beberapa pertemuanterakhir mengenai TimorLorosa’e di Dewan Keamanan,misalnya, tidak ada negaraanggota Dewan Keamananyang menyebutkan pengadilan,juga para pejabat UNTAET danpemimpin Timor Lorosa’e

sendiri tidak menyebutkannya dalam kesaksian mereka. Hanyaupaya organisasi non-pemeirntah (NGO) dan gerakan solidaritasinternasional yang tetap menghidupkan masalah ini.

IndonesiaTidak lama sesudah Indonesia secara enggan dan dengan

kekerasan mundur dari Timor Lorosa’e, Jakarta berjanjiuntuk melakukan penyelidikan dan mengadili pelakupelanggaran berat hak asasi manusia dan hukum humaniterinternasional pada 1999. Pada 22 September 1999,pemerintah Habibie memberikan persetujuannya kepadabadan hak asasi manusia resmi Indonesia, Komnas HAM,untuk membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak AsasiManusia Timor Timur (KKP HAM) untuk menyelidikikejahatan-kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan pada1999. Tidak lama kemudian, Habibie menandatanganisebuah peraturan pemerintah yang mengesahkan KomnasHAM untuk membentuk sebuah pengadilan ad hoc (tidaktetap) untuk mengadili orang-orang sipil dan militer yang

Tempat untuk Mengupayakan Keadilan

Tak adakeadilan

Kita perlukeadilan

Page 3: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 3

melakukan kejahatan hak asasi manusia di Timor Lorosa’edan di tempat lain.

Pada 31 Januari 2000 KPP HAM mengeluarkan RingkasanEksekutif laporannya yang menyebutkan bahwa “pelanggaranberat hak asasi manusia yang fundamental telah dilakukandengan cara terencana, sistematis, dan skala luas dalam bentukpembunuhan massal, penyiksaan, serangan, penghilangan paksa,kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak (termasukperkosaan dan perbudakan seksual), pemindahan paksa, politikbumi hangus, dan perusakan harta-benda.” Laporan ini menuduh33 orang melakukan kejahatan berat. Mereka termasuk bekasgubernur Timor Timur, lima orang bupati, enam belas perwiramiliter, seorang perwira polisi, dan sepuluh orang komandanmilisi. Laporan ini secara khusus menyebut Jenderal Wiranto,Menteri Pertahanan dan Panglima TNI pada tahun 1999, MayorJenderal Zacky Anwar Makarim, saat itu kepala intelijen militer.

Pada awal Februari 2000, Jaksa Agung Indonesia MarzukiDarusman menyatakan bahwa diperlukan tiga bulan untukmenyusun berkas untuk mereka yang disangka menjadi pelakuoleh penyelidikan Komnas HAM. Ini belum terwujud. Padabulan November tahun yang sama, ia berjanji bahwa Jakartaakan mengadili 22 orang tersangka yang terlibat dalam kejahatanterhadap Timor Lorosa’e pada Januari 2001. Ini juga belumterwujud.

Pada 23 April 2001, Presiden Indonesia Abdurrahman Wahidmenyetujui pembentukan pengadilan hak asasi manusia untukTimor Lorosa’e, tetapi pengadilan ini hanya akan mengadilikejahatan yang terjadi sesudah referendum Agustus 1999.Menanggapi kritik dari banyak pihak, pada Agustus 2001Megawati mengeluarkan keputusan yang mengubah mandatpengadilan tersebut untuk mencakup kejahatan yang dilakukanbulan April dan September 1999, tetapi tidak mencakupkejahatan yang dilakukan bulan-bulan lain. Keputusan baru inijuga membatasi yurisdiksi pengadilan pada kejahatan yangdilakukan di Dili, Liquiça, dan Suai saja.

Sementara dengan keputusan baru ini pengadilan berpotensimengadili bekas pemimpin milisi Eurico Guterres (sekarangmenjadi ketua organisasi pemuda partai pimpinan Megawati,PDI-P), agaknya perubahan ini bertujuan menenangkan kritikinternasional. Seperti dijelaskan oleh seorang diplomat diJakarta, Megawati mungkin siap untuk mengorbankan Guterresuntuk menenangkan masyarakat internasional. Amnesty Inter-national dalam kritiknya yang lebih langsung menyatakan bahwaketerbatasan pengadilan itu berarti “bahwa ratusan korbankekerasan selama 1999 di seluruh Timor Lorosa’e akan diingkarihaknya atas keadilan sedang kebenaran mengenai apa yangterjadi tidak akan muncul.”

Bulan Agustus 2001, Benjamin Mangkoedilaga (yangbertanggungjawab atas pembentukan pengadilan) menyatakanbahwa ia memperkirakan bahwa sidang pengadilan akan dimulaibulan Oktober. Akan tetapi pada bulan Oktober Indonesiamengumumkan bahwa hakim-hakim untuk pengadilan itu baruakan ditunjuk bulan Desember. Karena kelambanan ini, tidakmengejutkan bila Uskup Belo berkata, “Kami tidak percayapada penyelidikan yang dilakukan di Jakarta. Mereka yangmengesahkan kejahatan-kejahatan di Timor Lorosa’e tidak akanmenghadapi keadilan di sana.”

Timor Lorosa’e (UNTAET)Setelah pasukan InterFET tiba di Timor Lorosa’e pada

20 September 1999, sekitar selusin polisi militer Australiaditunjuk untuk melakukan penyelidikan mengenai kejahatan

hak asasi manusia. InterFET menyerahkan tanggungjawabini dan berkas-berkas yang relevan kepada CivPol pada bulanDesember 1999. Pada 22 Maret 2000, kepala UNTAETSergio Vieira de Mello secara resmi memindahkan tugas inikepada sebuah divisi yang dikepalai oleh Human Rights Unit(Unit Hak Asasi Manusia) UNTAET, tetapi masih di dalamwewenang CivPol.

Pemindahan tanggungjawab kepada HRU ini memilikibanyak kelebihan, khususnya karena HRU mengerti sejarahmasa kini Timor Lorosa’e dan bagaimana kekejahan hakasasi manusia merupakan bagian dari pola politik-militeryang lebih luas, serta memiliki hubungan baik denganorganisasi-organisasi non-pemerintah Timor Lorosa’e. Akantetapi unit ini tidak pernah mendapatkan sumberdaya yangdiperlukan untuk menjalankan tugasnya dengan efektif.

Antara Juni dan Agustus 2000, UNTAET membentuk dinaspengusutan untuk mengawasi penyelidikan Kejahatan Beratyang awalnya berada dalam Departeman Kehakiman, dankemudian dalam Kementerian Kehakiman. Pembentukan dinasini mengambil alih tanggungjawab dari Unit Hak Asasi Manusia.UNTAET juga membentuk Panel Khusus untuk Kejahatan Beratdi dalam Pengadilan Distrik Dili, yang memiliki wewenangeksklusif di Timor Lorosa’e untuk mengadili kasus-kasusgenosida, kejahatan perang, penyiksaan, dan kejahatan terhadapkemanusiaan (tanpa memandang waktunya) serta pembunuhandan penganiayaan seksual yang terjadi antara 1 Januari dan 25Oktober 1999.

Dengan kedatangan Deputi Wakil Khusus SekretarisJenderal yang baru pada bulan Juli 2001 dan perubahanpemerintah pada September 2001, kembali dilakukanperubahan tanggungjawab Kejahatan Berat. Mereka belummenyelesaikan rinciannya.

Para penyelidik Kejahatan Berat memprioritaskan sepuluhkasus tahun 1999, termasuk pembantaian di gereja KatolikLiquiça dan Suai, dan pembunuhan di rumah ManuelCarrascalão. Sejak pembentukannya, kantor Jaksa Agungtelah mendakwa 42 orang – termasuk beberapa orang TimorLorosa’e dan Indonesia anggota TNI berpangkat rendah –melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan banyaklainnya untuk kasus-kasus pembunuhan individual dankejahatan berat lainnya. Sejauh ini sudah ada sebelas orangyang diadili, semuanya anggota milisi tingkat rendah: tidakada perwira Indonesia yang dihadapkan ke pengadilan.

Banyak yang mengkritik lambannya penyelidikan dan prosespengadilan oleh UNTAET, yang sebagian disebabkan olehkurangnya staf dan sumberdaya lainnya. Penolakan pemerintahIndonesia untuk bekerjasama dengan penyelidikan danpengadilan UNTAET – walaupun telah menandatanganipernyataan kesepakatan pada 6 April 2000 yang mewajibkanIndonesia bekerjasama – telah memperlemah efektivitas UNTA-ET dalam bidang ini. Tetapi pada saat yang sama ada persoalanbesar di dalam dan seputar Unit Kejahatan Berat selainkurangnya sumberdaya dan rendahnya kerjasama dari Jakarta(lihat halaman selanjutnya).

“Tempat” keadilan lainnya bisa di negara ketiga yang bisamenjadi tempat bagi pengadilan perdata atau pun pidana untukkejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dankejahatan-kejahatan lainnya yang berada dalam yurisdiksi uni-versal. Gugatan perdata baru-baru ini dan hukuman dendaUS$66 juta terhadap Letnan Jenderal TNI Johny Lumintang(yang tidak menghadiri sidang pengadilannya) di AmerikaSerikat memperlihatkan potensi upaya-upaya seperti ini. v

Page 4: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 4 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Sejak kedatangan UNTAET, salah satu tanggungjawabpentingnya adalah memulai dan mendapatkanpertanggungjawaban bagi orang-orang yang menjadi pelakukejahatan terhadap rakyat Timor Lorosa’e selama 1999.Sejak awal misi, UNTAET menunjuk orang untukmenyelidiki Kejahatan Berat (pembunuhan, perkosaan,penculikan, dan sebagainya). Ini awalnya adalah bagian dariUnit Hak Asasi Manusia tetapi kemudian pada bulan Juni2000 dipindahkan ke Kementerian Kehakiman. Secarakeseluruhan, pimpinan UNTAET (melalui Wakil Khusus danDeputi Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB)bertanggungjawab atas pengelolaan administratif unit ini.Sampai tulisan ini dicetak, unit ini menjalani perubahanpersonil dan struktur yang besar.

Jaksa Agung meme-gang tanggungjawab ataspenyelidikan dan penun-tutan kejahatan “biasa”dan “berat”, yang masing-masing berada langsung dibawah Wakil JaksaAgung. Wakil JaksaAgung untuk KejahatanBerat mengepalai apayang dikenal sebagai UnitKejahatan Berat, meliputipenuntut umum, pakarforensik, tenaga penge-lolaan data, dan penye-lidik. Tetapi kenyataannyastruktur Unit KejahatanBerat itu membingungkandan tidak didefinisikandengan baik, bahkan buatorang-orang yang bekerjadi sana, dengan pelaporanganda kepada pimpinanUNTAET dan Kemente-rian Kehakiman ETTA.

Sejak Agustus 2000 sampai pertengahan Oktober 2001Mohammed Othman menjadi Jaksa Agung. Dari Juli 2001sampai Oktober 2001 Jean-Louis Gillisen menjadi WakilJaksa Agung untuk Kejahatan Berat, mengisi kekosonganyang telah lama. Øyvind Olsen, yang baru saja mundursebagai kepala penyelidikan Unit Kejahatan Berat, bertugassebagai kepala de facto Unit Kejahatan Berat sebelumkedatangan Gillisen.

Di dalam UNTAET, tanggungjawab tertinggi bagikeadilan sekarang berada di tangan Dennis McNamara (asalNew Zealand), yang menjadi Deputi Wakil KhususSekretaris Jenderal pada bulan Juli 2001. Bulan Septemberdengan pembentukan Kabinet Transisi Kedua yangseluruhnya terdiri dari orang Timor Lorosa’e, Ana Pessoamenjadi Menteri Kehakiman, menggantikan Gita Welch.Jaksa Agung baru adalah seorang sarjana hukum TimorLorosa’e Longinhos Monteiro (33 tahun), yang sebelumnyamenjabat Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Biasa. Sampaitulisan ini dibuat, UNTAET/ETTA belum mengisi duajabatan penting dalam Unit Kejahatan Berat (yangsebelumnya diduduki oleh Jean-Louis Gillisen dan Øyvind

Olsen).Tidak mungkin bagi kita untuk memperkirakan dampak

dari perubahan ini, tetapi kami optimis bahwa pimpinanUNTAET akhirnya memperhatikan persoalan yang telahlama ada. Tulisan ini memaparkan persoalan-persoalan yangada sampai bulan Oktober 2001.

Unit Kejahatan Berat telah menghasilkan lebih dari 40tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan (yang sebagianbesar untuk anggota dan pendukung milisi serta orang TimorLorosa’e anggota TNI), dan menyelidiki beberapa ratuspembunuhan. Yang telah dicapai ini mencerminkankenyataan bahwa penyelidik dan penuntut dalam unit iniberdedikasi dan berkualitas. Namun demikian, banyak or-ang Timor Lorosa’e dan orang internasional di sini merasa

bahwa penyelidikan-penyelidikan danpenuntutan-penuntutanKejahatan Berat berlang-sung sangat lamban, danbahwa tujuan yangditetapkan Unit Kejaha-tan Berat tidak memasuk-kan sifat sistematis danterkoordinasi kejahatanyang berlangsung, dantidak mengeksplorasikejahatan-kejahatan yangterjadi sebelum 1999.

Banyak orang yakinbahwa persoalannyabersumber pada faktor-faktor utama: salah urus,ketidakmampuan, kelema-han visi, kurangnya sum-berdaya, dan rendahnyakemauan politik di pihakmasyarakat internasional.

Salah Urus, Ketidakmampuan, Kelemahan VisiLa’o Hamutuk mewawancara staf dan bekas stafpenyelidikan dan penuntutan Kejahatan Berat. Hampirseragam, mereka sangat mengkritik kepemimpinan ØyvindOlsen, mengatakan bahwa orang ini buruk hubungannyadengan banyak staf. Juga muncul kritik mengenaikomunikasi di dalam divisi ini, dan mengenai tidak adanyakemauan Jaksa Agung Othman dan bekas MenteriKehakiman Gita Welch untuk menangani persoalanpersonil. Semangat staf di dalam Kejahatan Berat sangatrendah, dan telah menyebabkan orang-orang yangberkemampuan baik dan berkomitmen mengundurkandiri.

La’o Hamutuk menemukan ketidakmampuan, strategi dantujuan yang dirumuskan dengan buruk, pengelolaan datayang tidak efektif, dan penilaian yang buruk dalam UnitKejahatan Berat. Seperti ditulis oleh Amnesty Internationaldalam laporan bulan Juli 2001 mengenai keadilan di TimorLorosa’e, “Selain menangani 10 kasus prioritas tampaknyatidak ada strategi untuk menyelidiki kasus-kasus lain yang

UNTAET dan Kejahatan Berat

Page 5: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 5

terjadi selama 1999 atau ribuan pelanggaran hak asasimanusia yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.” Kamijuga mendengar banyak kisah nyata yang menggambarkankurangnya pengetahuan dasar mengenai sejarah masa kiniTimor Lorosa’e di kalangan staf Unit Kejahatan Berat.Karena semua managemen Unit Kejahatan Berat baru-baruini telah mundur, kami tidak akan memaparkan riciannya, tetapiseperti banyak pihak lain, kami mengharapkan terjadinyaperbaikan besar pada bulan-bulan terakhir UNTAET.

Unit Kejahatan Berat tidak punya program ke masyarakat,yang sangat penting dalam masyarakat yang mengalamitrauma pasca konflik dalam dimana korban dan masyarakatmemerlukan dan menginginkan informasi mengenai apayang dilakukan pihak yang berwenang untuk menjaminkeadilan. Banyak yang mengkritik kurangnya kerjasamaantara Unit Kejahatan Berat dengan masyarakat sipil TimorLorosa’e, termasuk kegagalan unit ini untuk bekerjasamadengan organisasi non-pemerintah dan lainnya yangmemiliki informasi, bukti, dan dokumentasi yang luas.

Unit Kejahatan Berat juga tidak bekerjasama dengan UnitHak Asasi Manusia UNTAET, yang staf internasional danlokalnya di seluruh negeri banyak mengetahui sejarah masakini Timor Lorosa’e. Unit Hak Asasi Manusia punyahubungan kuat dengan masyarakat dan organisasi-organisasilokal yang bisa membantu penyelidikan.

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahaya terlaludiandalkannya pakar internasional yang pengetahuannyatentang Timor Lorosa’e sangat tidak memadai, sementarahampir tidak melakukan pengintegrasian orang TimorLorosa’e dalam proses ini. Meskipun baru-baru ini dilakukanperubahan untuk menangani persoalan-persoalan tersebut,banyak yang bertanya mengapa persoalan-persoalan tersebutdibiarkan begitu lama.

Kekurangan SumberdayaAmnesty International menulis, “Terus-menerus terjadikekurangan staf, termasuk penyelidik dan penuntut yangpunya keahlian dan pengalaman di bidang penyelidikan danpenuntutan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dankejahatan terhadap kemanusiaan.” Bulan Desember 2000,misalnya, hanya ada satu orang penuntut untuk KejahatanBerat. Sementara terjadi perbaikan keadaan, penuntutsekarang jumlahnya masih tujuh orang.

Bekas Wakil Jaksa Agung Gillisen memperkirakan bahwadiperlukan sekurang-kurangnya 55 orang penyelidik untukmenangani penyelidikan Kejahatan Berat. Tetapi hanya ada26 penyelidik di Unit Kejahatan Berat, dan hanya 11 darimereka yang bisa berada di lapangan secara bersamaan,karena rotasi kontraknya. Rotasi kontrak (setiap 6-12 bulan)penyelidik (banyak di antaranya adalah CivPol yangdipinjamkan pemerintah-pemerintah untuk kontrak 6 bulan)berarti bahwa keberlanjutan dan pengetahuan bisa hilang.

Pada saat ini hanya satu panel beranggotakan tiga oranghakim yang berfungsi mengadili pelaku Kejahatan Berat.Meskipun UNTAET dalam proses membentuk dua panellagi, banyak keraguan bahwa ada cukup staf pendukung –penerjemah, pembela umum, dan sebagainya – yangdiperlukan untuk menjalankan lebih dari satu sidang secarabersamaan. Sidang pengadilan kasus pertama kejahatanterhadap kemanusiaan telah memasuki bulan ketiga,diperlukan waktu yang panjang untuk mengadili orang-orangyang telah diproses kasusnya.

Sumberdaya material juga langka. Misalnya, setengah daripenyelidik tidak memiliki kendaraan, begitu pula WakilJaksa Agung. Kurangnya sumberdaya manusia dan materialini membuat sulitnya menciptakan sistem peradilan yangefektif.

Kurangnya Kemauan Politik?Selama sekurang-kurangnya satu tahun, telah jelas bahwa UnitKejahatan Berat mengalami banyak persoalan. Pada awal 2001,Administrator Transisi Sergio de Mello meminta Mary Fisk,seorang yang lama berpengalaman dan dihormati dalamPerserikatan Bangsa-Bangsa, untuk melakukan penyelidikaninternal Unit Kejahatan Berat. UNTAET tidak pernahmengumumkan Laporan Fisk, tetapi orang yang mendapatinformasi baik mengatakan bahwa laporan tersebutmerekomendasikan perubahan penting, termasuk managemenbaru. Diperlukan waktu enam bulan sebelum perubahan besardilakukan, yang dalam waktu itu UNTAET memperbaharuikontrak dengan orang-orang yang dalam Laporan Fiskdisebutkan bermasalah, sementara orang-orang lain yangmenyebutkan masalah tersebut pergi karena kecewa.

Ini mengangkat persoalan yang berhubungan dengankemauan politik. Seperti disebutkan oleh bekas staf KejahatanBerat, “Ada pendapat bahwa unsur-unsur UNTAET dan negara-negara donor tidak menghendaki Unit Kejahatan Berat yangkuat. Karena ini bisa mempermalukan Indonesia pada saat ketikamereka tidak mau berbuat demikian.”

Tentu saja kita tidak bisa meneliti kebenaran kecurigaan itu,tetapi fakta bahwa hal itu ada bahkan di dalam Unit KejahatanBerat mengemukakan betapa besarnya persoalan unit ini.Keraguan-keraguan ini diperkuat oleh buruknya kinerjapemerintah negara-negara yang mendominasi PerserikatanBangsa-Bangsa dalam hal keadilan bagi Timor Lorosa’e.

Ketika UNTAET mendekati masa akhirnya, PBBmerencanakan penyelidikan dan penuntutan Kejahatan Beratdalam misi penggantinya, yang diperkirakan meningkatkan stafinternasional dan lokalnya. Tetapi ada persoalan besar dalamhal pendanaan, karena Amerika Serikat dan Prancis tidak maudana sumbangan wajibnya digunakan untuk kegiatan selainpenjagaan perdamaian tradisional yang sangat sempit. SekretarisJenderal telah mengusulkan agar penuntutan Kejahatan Beratdalam UNTAET II didanai dengan dana sumbangan wajib,meskipun sebagian besar fungsi sipil, termasuk lembagaperadilan, akan tergantung pada sumbangan sukarela.

Pada saat ini, Kejahatan Berat adalah satu-satunya tempatpara pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadiselama pendudukan Indonesia dituntut pertanggung-jawabannya. Dengan proses peradilan di Indonesia tidak jelasarahnya, dan dengan PBB belum mau mendirikan pengadilaninternasional untuk Timor Lorosa’e, harapan akan keadilanterletak di sini sekarang. Meskipun unit ini punya prestasi,di banyak bidang kinerjanya rendah, dan para pemimpinUNTAET, serta pemerintah-pemerintah yang berpengaruhenggan untuk bertindak. Meskipun baru-baru ini terjadiperubahan managemen yang mengindikasikan bahwa padaakhirnya ada perubahan, kewaspadaan masyarakat danadvokasi terus-menerus diperlukan untuk menjamin bahwaperubahannya menimbulkan dampak yang berarti danberjangka panjang. Lebih lanjut sampai UNTAET dan PBBmemperluas visinya dan memperdalam tekad mereka,banyak pelaku paling bertanggungjawab akan terusmenikmati kekebalan hukum di Indonesia. v

Page 6: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 6 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Oleh Program Pemantauan Sistem Peradilan

Ketika UNTAET didirikan pada bulan Oktober 1999, sistemperadilan yang ada selama pendudukan Indonesia terhadapTimor Lorosa’e hancur. Militer Indonesia dan milisinyamenghancurkan infrastruktur seperti gedung-gedungpengadilan, dan dokumen-dokuman seperti arsip pengadilan dannaskah-naskah hukum. Birokrasi Indonesia yang menjalankansistem pengadilan telah pergi, dengan membawa serta parahakim, jaksa, dan pengacara. Segera terjadi kekosongan, tidakhanya dalam hal penegakan hukum tetapi juga sistem hukumyang ditegakkan. Akibatnya, bagian yang mendesak dan inte-gral dari mandat UNTAET adalah menciptakan kembali sistempengadilan yang bisa berfungsi, termasuk landasan yang menjadidasar dari sistem tersebut.

Sejak itu, UNTAET menciptakan empat pengadilan distrikdi Dili, Baucau, Suai, dan Oecusse, serta Pengadilan Bandingnasional. UNTAET juga mengangkat 25 hakim, 13 jaksapenuntut umum, dan 9 pembela umum pada awal tahun 2000.Para hakim sekarang menangani kasus pidana dan perdata,termasuk sengketa yang berkaitan dengan kontrak-kontrakkomersial, kesepakatan tanah, dan kegiatan kontrol perbatasan.Dengan perkecualian panel khusus Pengadilan Distrik Dili yangmenangani kasus-kasus “Kejahatan Serius,” yang sebagianbesarnya berkaitan dengan kekerasan tahun 1999 danmenggunakan hakim dan jaksa penuntut internasional, orang-orang Timor Lorosa’e yang menjadi petugas pengadilanmengadili semua kasus hukum. Lebih lanjut, dinas kepolisianTimor Lorosa’e juga telah dibentuk, meskipun masih didukungoleh Polisi Sipil (Civilian Police) internasional. Juga adapembela umum — yaitu pengacara yang diangkat oleh UNTA-ET untuk membela orang di pengadilan jika mereka tidak punyapengacara. Terakhir, gedung-gedung pengadilan dan penjara-penjara umumnya telah dibangun kembali, dan tugas yang lamameningkatkan kemampuan dan pengetahuan tentang bagaimanamenjalankan sistem peradilan telah dimulai.

Akan tetapi, sekalipun ada kemajuan seperti itu, sumberdayayang tidak memadai, dalam hal peralatan dan personil,menghambat administrasi peradilan yang efektif. Hak-hak dasaratas peradilan yang adil, seperti hak atas pembela hukum,misalnya, diabaikan karena sedikitnya jumlah pengacara umum.Sekarang ini hanya ada sembilan pengacara umum untuk seluruhnegeri. Keadaannya diperparah oleh kenyataan bahwa, sebelum1999, hanya sedikit orang Timor Lorosa’e yang berpendidikandi bidang hukum dan hampir semua orang yang berpendidikanhukum tidak diberi kesempatan oleh pemerintah Indonesia untukmenjalankan praktek hukum. Akibatnya para sarjana hukum hanyapunya sedikit atau tidak punya pengalaman praktek sama sekali.

Persoalan yang sama berlaku pada hakim-hakim baru TimorLorosa’e. Mereka hanya mendapatkan pendidikan yang minimal,tetapi harus berjuang keras untuk mengelola beban kasus yang sangatluar biasa banyak. Di negeri-negeri yang memberlakukan tradisihukum Anglo-Amerika, hakim dipilih hanya dari kalanganpengacara yang berpengalaman paling senior. Dalam tradisi hukumsipil Eropa kontinental, yang menjadi dasar dari hukum Indonesia,hakim menjalani program pendidikan yang luas dan memulaikarirnya dengan menangani kasus-kasus kecil.

Hukum yang sekarang berlaku di Timor Lorosa’e adalahkombinasi yang aneh hukum Indonesia, regulasi-regulasiUNTAET, dan hukum hak asasi manusia internasional. Untuksebagian masalah hukum sehari-hari, khususnya pelanggaran-

Sistem Peradilan Baru Timor Lorosa’epelanggaran pidana, hukum Indonesia yang berlaku selamapendudukan terus diberlakukan. Meskipun regulasi-regulasiPBB mengharuskan bahwa hanya hukum Indonesia yang sejalandengan hukum hak asasi internasional yang diberlakukan,sampai sekarang Pemerintah Transisi masih belum melakukanpeninjauan yang menyeluruh terhadap hukum-hukum tersebutuntuk menilai ketidaksesuaiannya dengan standar-standarinternasional. Sistem ini telah menyebabkan kebingungan yangbesar, tidak hanya bagi rakyat biasa yang menjadi subyekhukum, tetapi juga bagi polisi, hakim, jaksa, dan pengacara yangberusaha mengikuti dan menjalankan hukum-hukum tersebut

Karena sebagian besar orang Timor Lorosa’e belum pernahmengalami sistem peradilan formal yang independen dan tidakmemihak, ketidak-tahuan dan ketidak-percayaan terhadapsistem peradilan resmi terus berlanjut. Sama halnya, adakebutuhan yang besar akan pendidikan dan informasi mengenaihak-hak orang yang ditangkap, termasuk hak untuk mendapatpembela hukum dan hak untuk diam. Ada kejadian-kejadian dalamdimana polisi penyelidik menanyai tersangka, kadang-kadangberhubungan dengan sangkaan yang serius, tanpa perlindungan yangdidapatkan dari pengacara yang hadir untuk menjaminditegakkannya hukum yang menjamin hak-hak tersebut.

Lebih lanjut, Timor Lorosa’e punya banyak tradisi yang bernilaimengenai mediasi berbasis komunitas dan bentuk-bentuk lainpenyelesaian sengketa yang dengan sah dibanggakan olehmasyarakat lokal. Sebagiannya punya sejarah panjang sebelumpenjajahan Portugis dan dijalankan oleh para pemimpin lokal sepertikatuas lia nain (ahli hukum tradisional). Sebagian dari sistem initelah berkembang atau beradaptasi sebagai alternatif terhadap sistemperadilan Indonesia yang korup dan sewenang-wenang

Di banyak sistem peradilan formal seluruh dunia adapengakuan yang semakin meningkat terhadap kegunaan mediasidan penyelesaian sengketa sebagai alternatif terhadappengadilan, yang seringkali bisa tidak fleksibel dan mahal.Sistem-sistem itu bisa melengkapi sistem peradilan formal kalaudigunakan untuk kasus-kasus yang sesuai. Pada saat yang sama,ada kebutuhan untuk berhati-hati. Seperti yang dicatat olehAmnesty International dalam laporan baru-baru ini tentang TimorLorosa’e, “penggunaan mekanisme-mekanisme peradilan pidanaalternatif non-yudisial bisa mengakibatkan pelanggaran-pelanggaranhak asasi manusia yang serius” jika beroperasi dalam cara yangtidak terkendali tanpa perlindungan yang baik.

Kegiatan kekerasan tertentu, seperti pembunuhan ataupemerkosaan, harus diperlakukan sebagai pelanggaran pidanadan dijatuhi hukuman yang sesuai. Amnesty Internationalmencatat beberapa kasus dalam dimana kejahatan kekerasanterhadap perempuan dan anak-anak “diselesaikan” dengan cara-cara yang mencakup pembayaran uang, yang kadang-kadangbertentangan dengan keinginan korban. Dalam ketiadaan sistemperadilan yang berfungsi yang mendapat kepercayaan rakyat,kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anakmenghadapi tekanan untuk menerima bentuk-bentuk “keadilan”masyarakat yang bisa menempatkan mereka dalam bahaya.

Sistem peradilan yang independen dan tidak memihak adalahsalah satu dari dasar yang paling penting bagi setiap masyarakatyang adil berdasarkan kekuasaan hukum dan penghormatan padahak asasi manusia. Ketika pelaku pelanggaran dan ketidak-adilanlainnya bisa bertindak tanpa mendapatkan hukuman, prinsip dasarpersamaan di depan hukum dirusak. Sementara pencarian keadilanbagi korban-korban kejahatan masa lalu yang dilakukan di Timor

Page 7: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 7

Perempuan dan KeadilanOleh Kate Halliday

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di TimorLorosa’e menurut berita media (lihat Bulletin La’o Hamu-tuk, Vol. 2 No. 1 & 2) meningkat tajam dengan mayoritaspelakunya suami dan saudara laki-laki korban. Para aktivisperempuan Timor Lorosa’e berulang kali menyatakankeprihatinan mengenai masalah ini.

Unit Orang Rentan CivPol di Dili juga mencatat bahwapada tahun lalu terjadi peningkatan jumlah perempuan yangmelaporkan kejahatan kekerasan dalam rumahtangga. Akantetapi unit ini juga melaporkan bahwa perempuan mengalamikesulitan berurusan dengan proses pidana dan bahwa merekasangat rentan terhadap tekanan untuk menarik kembalilaporan mereka tentang kekerasan.

Sistem peradilan bisa menanggapi kekerasan terhadapperempuan dengan berbagai cara yang penting berikut ini:

♦ secara jelas melarang kekerasan;

♦ menjamin bahwa sistem peradilan memperlakukankekerasan dalam rumahtangga dengan cara yang samadengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya;

♦ memberikan perlindungan kepada perempuan darikekerasan yang berkelanjutan;

♦ memberikan ganti rugi yang memadai dan adil untuk lukayang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan.

Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuanmenyatakan bahwa perempuan berhak atas kesamaan di depanhukum. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuanmengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah penghalangkesetaraan dan penikmatan penuh hak asasi manusia.

Pada saat ini keadaan hukum di Timor Lorosa’e dalamhubungannya dengan kekerasan terhadap perempuan sangatrumit karena terus berlakunya hukum Indonesia di berbagaibidang dan pemberlakuan regulasi UNTAET di bidang lain.Tetapi regulasi pertama yang dikeluarkan oleh UNTAETpada 1999 menyebutkan dengan jelas bahwa standar-standarhak asasi manusia, termasuk yang terkandung dalamKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapPerempuan, punya peran yang penting dalam hukum di TimorLorosa’e. Para pejabat publik harus menjalankan tugasnya sesuaidengan standar-standar ini. Hukum Indonesia hanya berlaku diTimor Lorosa’e sejauh tidak bertentangan dengan standar-standar hak asasi manusia internasional atau sampaidigantikan oleh regulasi UNTAET.

Undang-undang hukum pidana Indonesia tidak memberikanperlindungan yang memadai kepada perempuan dari tindakankekerasan. Menurut undang-undang ini, misalnya, tidak dilarangbagi seorang laki-laki untuk memperkosa istrinya. Ancamankekerasan dan upaya penyerangan juga tidak dilarang dalamundang-undang ini. Undang-undang ini tidak memberikan pesanyang jelas kepada masyarakat bahwa kekerasan dalamrumahtangga itu sama saja dengan bentuk-bentuk kekerasanlainnya. Undang-undang ini juga tidak sejalan dengan standarhak asasi internasional, dalam hal bahwa perempuan tidakmendapatkan dukungan hukum yang penuh untuk mencariperlindungan terhadap kekerasan.

Hukum UNTAET mengenai prosedur hukum pidanamemberlakukan sejumlah hak penting untuk korbankekerasan. Menurut hukum ini seorang hakim investigasipunya wewenang untuk melarang pelaku yang ditangkapkarena melakukan kekerasan dalam rumahtangga untuktinggal di rumah keluarga ketika pengadilan menyelidiki danmenuntut kasus kekerasannya. Ketika menuntut seorangpelaku kekerasan, seorang hakim bisa memerintahkan pelakuuntuk membayar ganti rugi kepada korban. Ini adalah hukumyang penting bagi korban-korban kekerasan karena banyakorang tidak mampu mengajukan gugatan perdata memintaganti rugi terhadap para pelaku.

Banyak komunitas Timor Lorosa’e menggunakanmekanisme penyelesaian sengketa tradisional yang jugamelibatkan pembayaran ganti rugi kepada korban olehpelaku. Namun demikian, baru-baru ini ada tuduhan-tuduhanbahwa sejumlah hakim menggabungkan peran tradisionalini dengan wewenangnya dalam sistem hukum formal, dan“menyelesaikan” kekerasan dalam rumahtangga denganmenetapkan pembayaran ganti rugi, bukannya melakukanpenuntutan pidana. Sangat penting bahwa para hakim danpenuntut mendapatkan latihan yang memadai di bidangkekerasan dalam rumahtangga.

Menjamin bahwa hukum melindungi perempuan dansejalan dengan standar hak asasi manusia internasionalhanyalah langkah pertama. Harus ada pendidikan masyarakatyang efektif mengenai hak perempuan dan harus adaadministrasi hukum yang peka.

Semua pihak yang terlibat dalam sistem peradilan – pembuathukum, polisi, penuntut umum, pengacara, dan hakim –bertanggungjawab untuk menjamin bahwa perempuanmendapatkan kesamaan penuh di hadapan hukum. v

Lorosa’e tetap merupakan tujuan yang penting, pembentukan sistemperadilan yang baik yang berkemampuan untuk menyelesaikansengketa dengan adil dan mengadili kejahatan-kejahatan sekarangdan masa depan sesuai dengan hukum juga harus menjadi prioritasdalam proses rekonstruksi.

Sangat penting bahwa masyarakat internasional terusmendukung dan memberikan bantuan material yang jauhmelampaui mandat UNTAET kepada sistem peradilan yang

masih itu. Jika sistem peradilan yang baru tidak mendapatkandukungan yang diperlukan, warisan impunity (kekebalanhukum) dan korupsi yang ditinggalkan Indonesia akan terusmerusak perkembangan kekuasaan hukum di Timor Lorosa’emerdeka. v

JSMP adalah sebuah proyek independen bertujuan untukmeningkatkan mutu keadilan yang di berikan kepada systemperadilan di Timor Lorosa’e.

“Tribunal Internasional ne’e importante tebtebes ba justica.Victima hotu husi militares Indonesia niaviolencia ne’e sai terus bo’ot liu hasoru feto sira. Ne’ebe to’o tempo agora seidauk iha justica bavictima sira espera.”

Husi Rede Feto Timor Oan sira, kona ba asunto feto nian iha Timor Lorosa’e,ba Confrencia Doadores iha Canberra, June 2001

Page 8: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 8 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Sebuah Tinjauan tentang Komisi untukPenerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi

Apa itu KPKR?Pada tanggal 13 Juli, UNTAET mengeluarkan Regulasi No.10/2001 membentuk Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, danRekonsiliasi (KPKR) di Timor Lorosa’e. Komisi ini mempunyaitiga wilayah kegiatan, yang masing-masing bertujuanmemajukan hak asasi manusia di Timor Lorosa’e.

Pertama, Komisi menetapkan kebenaran mengenaipelanggaran-pelanggan hak asasi manusia yang terjadi antara1974 dan 1999, melaporkan pelanggaran-pelanggaran ini danfaktor-faktor yang menyumbang pada terjadinya. Dalam halini, Komisi akan menyelidiki tidak hanya kasus per kasuspelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga tingkat sejauh manapelanggaran-pelanggaran ini merupakan bagian dari suatu polapelanggaran yang sistematis. Karena itu dugaan tentangkejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaanmerupakan bagian dari penyelidikan Komisi. KPKR juga akanmeneliti peran aktor-aktor internasional (seperti pemerintahasing), dan akan melakukan pemeriksaan di luar Timor Lorosa’edalam upaya untuk memberikan gambaran lengkap tentangmengapa pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi. Tetapisumberdaya yang dimiliki KPKR untuk melakukanpenyelidikan itu terbatas. Dan, karena yurisdiksinya terbataspada Timor Lorosa’e, tidak bisa mengajukan gugatan terhadaporang-orang yang menolak bekerjasama, juga tidak bisamemaksa meminta kesaksian atau bukti dari Indonesia ataupemerintah-pemerintan nasional lainnya.

Kedua, KPKR akan membantu “memulihkan martabatkemanusiaan para korban,” sebagaian dengan memberi merekakesempatan untuk menyampaikan kisah-kisah mereka di depanumum. Juga membantu mempromosikan rekonsiliasi antar or-ang Timor Lorosa’e dengan “mendukung penerimaan danreintegrasi orang-orang yang telah menyebabkan kesengsaraanpada komunitasnya” melalui apa yang dianggap sebagaikejahatan tingkat rendah (seperti pencuriaan, serangan kecil-kecilan, pembakaran, dan pembunuhan ternak). Ini akanmembuat para pelaku kejahatan-kejahatan seperti itubertanggungjawab kepada korban. Komisi akan melakukannyamelalui “Prosedur Rekonsiliasi Komunitas” (PRP) dengan apapara pelaku akan mau melakukan tindakan pemulihan yangbermakna bagi para korban yang selamat dan komunitas mereka.Misalnya, kejahatan membakar sebuah rumah bisa diselesaikandengan meminta pelakunya membangun kembali rumahtersebut. “Kesepakatan rekonsiliasi komunitas” yang hasilnyaakan didaftarkan pada pengadilan distrik, yang akan menjamindijalankannya tindakan-tindakan rekonsiliasi yang sesuai dengankejahatan yang telah dilakukan, dan tidak melanggar hak asasimanusia. Komisi akan merujuk Kejahatan Berat (sepertipembunuhan, perkosaan, penghancuran besar-besaran atauperencanaan tindakan tersebut) yang tidak menjadi bagian PRK,kepada Penuntut Umum untuk proses hukum.

Ketiga, KPKR akan melaporkan temuan-temuannya danmembuat rekomendasi kebijakan, yang dengan demikianmendesak pada pemerintah Timor Lorosa’e, masyarakatinternasional, dan badan-badan lain yang berhubungan denganserangkaian persoalan, termasuk kebutuhan dan hak para korban.

KPKR adalah hasil dari usulan yang dirancang oleh sebuahPanita Pengarah yang didukung oleh Kantor Hak Asasi ManusiaUNTAET, setelah adanya inisiatif dari Kongres CNRT. PanitiaPengarah KPKR beranggotakan wakil-wakil pemuda, kelompok

perempuan, kelompok korban; organisasi-organisasi hak asasimanusia dan Gereja; UNHCR, dan departemen-departemenUNTAET yang terkait. Panita Pengarah merancang usulanKPKR dengan dukungan dari bidang hukum UNTAET, danmenjalankan konsultasi-konsultasi masyarakat di setiap distrik.

Komisi-komisi kebenaran telah menjadi resep populer untukrekonsiliasi di sejumlah negeri yang selesai mengalami konflik.Pembentukan komisi kebenaran didasarkan pada asumsi bahwamembuat kebenaran diketahui umum mengenai siapa yangmelakukan apa terhadap siapa dalam konteks pelanggaran berathak asasi manusia akan mendorong rekonsiliasi dalam suatumasyarakat yang sedang berusaha memulihkan diri dari perangdan/atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan luas.

Salah satu fungsi komisi kebenaran ialah menyelidiki pelanggaranhak asasi manusia masa lalu dan membuat laporan yang lengkap,yang memaparkan tidak hanya kasus-kasus individual, tetapi jugapola dan kebijakan yang mendasari pelanggaran-pelanggarantersebut. Selain laporan, komisi kebenaran sering mendorong danmemfasilitasi permintaan maaf kepada korban – kepada orang perorang dan masyarakat secara keseluruhan – oleh para pelakukekejaman. Dalam hal ini, mereka membantu meningkatkankemungkina bahwa para bekas musuh hidup berdampingan secara

damai. Misalnya, diAfrika Selatan, KomisiKebenaran danRekonsiliasi meliputikomponen keadilanrestoratif, dalam manapara pelaku melakukankerja untuk parakorban; Komisi Keben-aran dan Rekonsiliasijuga mengusulkan pro-gram pemulihan. Lebihlanjut, komisi-komisikebenaran bisa mem-berikan rekomendasilangkah-langkah untukmencegah berulangnyapelanggaran hak asasimanusia.

Struktur dan peran KPKR Timor Lorosa’eSebuah Panel Seleksi berkonsultasi dengan masyarakat, setelahitu akan memilih dan merekomendasikan tujuh orang “yangtinggi moral, sikap tidak memihak, dan integritasnya”(sekurangnya tidak darinya adalah perempuan) kepada Admin-istrator Transisi untuk diangkat menjadi Komisaris Nasionalyang mengepalai Komisi. Empat partai politik yang ada sebeluminvasi Indonesia (Fretilin, UDT, KOTA, dan Trabalhista), Fo-rum NGO, Jaringan Perempuan (Rede Feto), Gereja Katolik,Asosiasi Bekas Tahanan Politik, Asosiasi Keluarga OrangHilang, Kantor Hak Asasi Manusia UNTAET, dan Adminis-trator Transisi masing-masing telah mengangkat seoranganggota pada Panel Seleksi. Kelompok-kelompok pro-otonomidi Indonesia diundang dua kali tetapi sejauh ini menolakbergabung dalam panel, meskipun posisi mereka masih terbukayang merupakan isyarat rekonsiliasi.

KPKR akan bekerja selama dua tahun dengan pilihan

Page 9: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 9

perpanjangan enam bulan. Komisi akan memiliki enam kantordaerah yang dikelola oleh Komisaris Daerah yang kualitaspribadi dan profesionalnya sama dengan Komisaris Nasional.

KPKR mengusulkan staf orang Timor Lorosa’e sebanyak 270orang, dengan anggaran hampir US$ 4 juta. Mereka berharapmengambil 10.000 pernyataan dari para korban yang selamat darikekejaman, suatu tujuan yang ambisius. Untuk kantor nasional,mereka merencanakan merehabilitasi Penjara Comarca di Dili, dimana banyak tahanan politik Timor Lorosa’e disiksa selamapendudukan Indonesia. Bekas penjara ini akan menjadi sebuahmuseum dan pusat sumberdaya yang dijalankan oleh Asosiasi BekasTahanan Politik setelah KPKR mengakhiri tugas dua tahunnya.

Pat Walsh, koordinator Kantor Sementara KPKR dari pihakKantor Hak Asasi Manusia UNTAET, menjelaskan kepada La’oHamutuk bahwa salah satu gagasan dasar Komisi ialahmemberikan suatu insentif bagi pengungsi di Timor Barat untukkembali ke kampung halaman. Banyak di antara mereka adalahanggota milisi yang takut mengalami pembalasan dendam kalaumereka pulang ke komunitas mereka. Mereka yang berperanpenting dalam pembentukan KPKR berharap bahwa paraanggota milisi akan memandang “Prosedur RekonsiliasiKomunitas” sebagai mekanisme keadilan yang bisa diterima,sesuatu yang akan menjamin keamanan para pengungsi yangkembali dengan memenuhi tuntutan individu-individu dankomunitas-komunitas atas pertanggungjawaban untukkejahatan-kejahatan tingkat rendah. Tetapi, mereka yang terlibatdalam membantu pengungsi tidak yakin bahwa KPKR akanmembantu, dan khawatir akan menjadi kontra-produktif. Salahsatu faktor KPKR yang lebih unik dibandingkan komisi-komisisejenis di negeri-negeri lain ialah sifat dari konflik di TimorLorosa’e. Karena pelanggaran-pelanggaran berat hak asasimanusia merupakan akibat dari suatu konflik internasionalbukannya konflik dalam negeri, sejumlah besar pelaku kejahatanperang dan kejahatan terhadap kemanusiaan – anggota-anggotatentara Indonesia dan pejabat-pejabat pemerintah Indonesia –berada di luar negeri. Dan bagi orang-orang Timor Lorosa’eanggota kelompok-kelompok milisi yang diarahkan TNI pada1999, kebanyakan mereka yang disangka melakukan kejahatanpaling berat masih berada di Indonesia, tempat mereka melarikandiri setelah ambil bagian dalam tindakan teror setelahpemungutan suara referendum UNAMET. Orang-orang sepertiitu kecil insentifnya untuk bekerjasama dengan KPKR karenamereka tidak berhak untuk berpartisipasi dalam “ProsedurRekonsiliasi Komunitas.”

Sementara Komisi punya wewenang untuk meminta danmengumpulkan informasi dari saksi-saksi, pejabat-pejabatpemerintah dan orang-orang di negeri lain, ia tidak punyakekuasaan untuk memaksa siapa saja di luar Timor Lorosa’euntuk bekerjasama. Akibatnya,mereka yang paling bertang-gungjawab bagi pelanggaran-pelanggaran berat hak asasimanusia dari 1975 sampai 1999 tidak akan ambil bagian dalamproses penyampaian kebenaran. Kerja Komisi tidak dimaksudkanuntuk merekonsiliasikan Timor Lorosa’e dengan Indonesia,meskipun pengkajian yang berwibawa mengenai rekamankekejaman Indonesia di Timor Lorosa’e dari tahun 1975 sampai1999 suatu hari bisa membantu Indonesia menghadapi sejarah ini.

Beberapa KeprihatinanAda keprihatinan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa,pemerintah-pemerintah donor, atau pemimpin-pemimpin politikTimor Lorosa’e bisa menggunakan keberadaan KPKR sebagaialasan untuk tidak bergerak ke depan memproses hukum merekayang melakukan Kejahatan Berat, meskipun kejahatan-

kejahatan itu berada di luar cakupan Komisi. Sebuah pemerintahbaru, yang menghadapi persoalan anggaran serta tuntutan dandesakan (nasional dan internasional) bisa terbujuk untukmenurunkan prioritas proses hukum, khususnya karenaterbatasnya sumberdaya dan pengalaman.

Dalam laporan Juli 2001 mengenai Keadilan, organisasiAmnesty International menyambut baik ketentuan dalamregulasi KPKR yang memberinya wewenang untuk merujukkasus-kasus Kejahatan Berat kepada kantor Penuntut Umum.Akan tetapi, Amnesty “sangat meragukan apakah kapasitas yangsekarang ada untuk memproses kasus-kasus ini secara efektifdan waktu yang memadai.” Dalam hal ini, dikhawatirkan bahwaKPKR bisa menyerap sumberdaya yang kemungkinandisediakan untuk badan peradilan, yang dengan demikianberpotensi merusak proses keadilan, meskipun menurunkanbeban kasus pengadilan adalah salah satu argumen yangdigunakan untuk membenarkan pembentukan Komisi.

Sementara itu, UNTAET dan para pemimpin politik TimorLorosa’e telah berunding dengan para pemimpin milisi yangdicurigasi melakukan Kejahatan Serius – bahkan kejahatanterhadap kemanusiaan – dengan harapan memfasilitasikembalinya pengungsi dari Timor Barat. Hubungan antaraperundingan-perundingan ini dengan KPKR (serta UnitKejahatan Berat) tidak jelas. Meskipun kebijakan PBBmengabaikan amnesti, sejumlah pemimpin milisi di Timor Barattelah memintanya, dengan dorongan dari sejumlah pemimpinTimor Lorosa’e dan pejabat UNTAET, seperti pengakuan akan“nilai praktis amnesti” oleh seorang pemimpin Timor Lorosa’e.Kata-kata itu meningkatkan kekhawatiran bahwa pemerintahmendatang akan menggunakan KPKR sebagai pengganti keadilan.

Menanggapi keprihatinan-keprihatinan tersebut, pejabat-pejabat UNTAET dan ETTA berjanji bahwa KPKR bukanlahpengganti untuk keadilan, dan bahwa tidak ada amnesti bagiKejahatan Berat. Kenyataannya, menurut mereka, KPKR adalahpelengkap dari proses keadilan: Dengan menciptakan catatanresmi pelanggaran hak asasi manusia, Komisi akan membantumemfasilitasi pertanggungjawaban.

Belakangan, ada sedikit pemahaman lapis bawah tentang KPKR– khususnya di antara pengungsi yang masih di Timor Barat. Sepertidiakui Pat Walsh, “Ada keperluan akan informasi umum danpendidikan mengenai prosesnya. Terjadi kekosongan informasi padasisi lain perbatasan.” KPKR juga akan menjamin bahwa semuasektor masyarakat Timor Lorosa’e sadar mengenai tujuan danalasannya kalau komisi ini berharap untuk menarik partisipasi yangberarti dari mereka dan berdampak nyata pada rekonsiliasi.

Baru-baru ini, Kantor Sementara KPKR mengadakan rapat-rapat dengan pemimpin-pemimpin pro-otonomi untukmenjelaskan alasan di balik KPKR. Seperti dikemukakan olehFrancisco Guterres, seorang anggota Kantor Sementara,“Penting bahwa para anggota milisi melihat KPKR memajukankepentingan jangka panjang mereka. Tanpa partisipasi merekadalam proses rekonsiliasi, mereka akan terisolasi dalamkomunitas mereka.”

Kalau KPKR hendak menarik pengungsi dari Timor Lorosa’euntuk kembali, ia memerlukan kerjasama dari para anggota milisitingkat tinggi yang mengontrol gerak para pengungsi. Tetapikebanyakan pemimpin milisi tidak akan melihat Komisi melayanikepentingan mereka, karena mereka tidak terlibat dalammembangunnya. Karena Komisi akan mengumpulkan kesaksiandalam suatu proses yang tidak diatur oleh hukum pembuktian,mereka yang melakukan kejahatan yang paling berat bisa takutbahwa proses KPKR bisa menurunkan kemungkinan mereka untukmendapatkan pengadilan yang adil. v

Page 10: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 10 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Solidaritas dan Keadilan Internasionalsaat yang sama, ia membatasi yurisdiksi pengadilan padakejahatan yang dilakukan di Dili, Liquiça, dan Suai. Meskipunlangkah ini sedikit subtansinya (penuntutan belum dimulai, yangmembuat pengadilan merupakan bayang-bayang semata),banyak pemerintah sekali lagi mengatakan bahwa Jakarta berhakatas waktu yang lebih panjang lagi untuk menuntut para pelakukekejaman-kekejaman di Timor Lorosa’e.

Banyak kelompok aktivis internasional berpendapat bahwapengadilan harus memiliki yurisdiksi atas semua kejahatanperang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukandi Timor Lorosa’e sejak invasi Indonesia tahun 1975, termasukketerlibatan dan tanggungjawab komando. Meskipun secara takterhindarkan yurisdiksi spesifik dan mandat pengadilaninternasional pasti merupakan hasil dari kompromi politik,kebanyakan penganjur pengadilan internasional yakin bahwasemua orang yang bersalah harus mempertanggungjawabkankesalahannya.

Kerja media oleh kelompok-kelompok solidaritas berperanpenting dalam menjaga agar kemungkinan pengadilaninternasional masuk dalam pemberitaan pers mengenai masalahkeadilan. Para aktivis solidaritas juga telah melakukan kerjapenting di Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.Pernyataan Ketua Komisi Hak Asasi mengenai Timor Lorosa’eyang dikeluarkan 2001 (menyatakan kesepakatan pemerintah-pemerintah yang berkepentingan), misalnya, meskipun jauh darisempurna, lebih baik daripada pernyataan untuk tahun 2000.Meskipun tidak menyebutkan pengadilan internasional,pernyataan tahun ini membuka pilihan tindakan internasional.Untuk sidang berikutnya Komisi ini, Maret/April 2002, jugadiperlukan upaya-upaya pendekatan yang terencana agardesakan untuk keadilan terus dipertahankan.

Gerakan solidaritas internasional bekerja erat dengankelompok-kelompok gereja, yang – bersama dengan Uskup Belo– telah melancarkan inisiatif penting menuntut pengadilaninternasional. Pada Juni 2001, 45 badan bantuan gereja dankelompok hak asasi manusia mengulangi tuntutan ini dalampernyataan yang dikeluarkan di Canberra pada konferensi do-nor internasional mengenai Timor Lorosa’e.

Kelompok-kelompok pendukung Timor Lorosa’e di Asiajuga mendesakkan pengadilan internasional. The Free EastTimor Japan Coalition (Koalisi Timor Lorosa’e MerdekaJepang) baru-baru ini menjadikan tuntutan ini prioritaskampanyenya, dengan fokus pada pemerintah Jepang dananggota-anggota Dewan Keamanan PBB. Di Filipina, Asia-Pacific Coalition for East Timor (APCET, Koalisi Asia-Pasifikuntuk Timor Lorosa’e) mengusulkan digelarnya PengadilanRakyat (dengan penuntut tidak resmi mengajukan bukti kepadasatu panel pakar yang bukan hakim) bisa menjadi jalan yangbaik untuk mengangkat masalah ini, mengembangkan bukti,dan menciptakan momentum ke arah pengadilan hukum yangresmi. Kelompok-kelompok IFET di negeri-negeri lain jugamenjadikan kampanye keadilan sebagai prioritasnya.

Di Amerika Serikat, East Timor Action Network (ETAN,Jaringan Aksi Timor Lorosa’e) memperjuangkan agar Kongresmengeluarkan resolusi mendukung pengadilan internasional.ETAN memfasilitasi gugatan hukum kedalam dimana enamorang korban penyiksaan yang selamat dan keluarga korbanpembunuhan pada 1999 menggugat Letnan Jenderal JohnyLumintang, bekas Wakil Kepala Staf TNI AD. Bulan Septem-ber, hakim di Washington menjatuhkan keputusan hukuman ganti

Oleh Paul Barber“Timor Lorosa’e tidak akan mengikuti jalan orang-orang diNicaragua atau Mozambique yang menganggap bahwadukungan aktivis intenasional tidak lagi penting setelahkemerdekaan dicapai. Kami melancarkan perjuangan TimorLorosa’e dengan bantuan orang-orang dari seluruh dunia,dan kami akan terus mengingat dan mengandalkan andapada tahap baru sejarah Timor Lorosa’e ini.”

José Ramos Horta, surat kepada KonferensiSolidaritas Internasional Utrecht, Mei 2000

Sejak berlangsungnya pembumihangusan Timor Lorosa’e padaSeptember 1999, gerakan solidaritas internasional memberikanprioritas yang tinggi pada dukungan kepada rakyat TimorLorosa’e untuk menuntut pengadilan internasional untukmengadili Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukanoleh militer Indonesia dan milisi-milisi bentukannya di TimorLorosa’e. Karena pertimbangan diplomatik banyak menghalangipimpinan Timor Lorosa’e untuk berbicara keras, dan UNTA-ET tidak menuntut pembentukan pengadilan internasional,suara-suara aktivis global – bersama dengan aktivis-aktivisorganisasi non-pemerintah dan mahasiswa Timor Lorosa’e –sering menjadi yang paling keras.

Pada bulan Mei 2000, aktivis-aktivis dari Eropa, AmerikaSerikat, dan Indonesia mengadakan pertemuan di Utrecht,Negeri Belanda, dan menegaskan kembali bahwa mereka akanmendukung upaya-upaya untuk mengadili militer Indonesia ataskejahatan mereka dan menyerukan pengadilan internasionalkhusus untuk Timor Lorosa’e. Hasilnya, pada bulan Juli 2000International Federation for East Timor (IFET) dan lebih dari80 organisasi serta pejuang hak asasi manusia dari seluruh duniamenulis surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Suratyang senada dikirimkan kepada pemerintah-pemerintah nasionaldan kepada Uni Eropa.

Sebelumnya, pendekatan yang luas oleh aktivis-aktivis ASmerupakan kunci bagi dikeluarkannya hukum yang melarangpendanaan dan pelatihan untuk militer Indonesia oleh Wash-ington (disebut Amandemen Leahy). Ketentuan hukum inimenghalangi AS memulihkan kembali hubungan kerjasamamiliter bilateral sampai orang-orang yang bertanggungjawabatas kekerasan di Timor Lorosa’e dibawa ke pengadilan. Hukumini masih berlaku, meskipun ETAN dan aktivis-aktivis ASlainnya harus terus-menerus mempertahankannya dari upaya-upaya Pemerintah Bush untuk memulihkan hubungan militerdengan militer AS-Indonesia.

Berkembang sebuah pola dalam mana Indonesia telahmelakukan sesuatu untuk mencegah pembentukan pengadilaninternasional sambil tidak melakukan apa-apa untuk kemajuankeadilan yang sejati. Pemerintah-pemerintah asing sangat inginmemulihkan kerjasama militer dengan Jakarta, atau engganmelakukan tindakan efektif untuk memajukan keadilan,semuanya terlalu bernafsu menerima perkembangan simbolisyang sangat kecil di Indonesia dengan menganggapnya sebagaikemajuan besar.

Presiden Megawati melanjutkan taktik ini. Sebagai bagiandari apa yang tampaknya merupakan upaya untuk mendorongAS memulihkan hubungan militer, ia baru-baru ini merevisiyurisdiksi pengadilan ad hoc Indonesia untuk mencakupkejahatan-kejahatan yang dilakukan pada bulan April dan Sep-tember 1999, tidak mencakup periode setelah referendum. Pada

Page 11: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 11

rugi sebesar US$ 66 juta (yang kemungkinan besar tidak akanpernah diterima para korban). Hakim memutuskan bahwa“Lumintang bertanggungjawab ‘langsung’ atas tindakan-tindakan berikut ini: sebagai anggota jajaran ketiga militer In-donesia, ia – bersama-sama dengan anggota-anggota tingkattinggi militer Indonesia lainnya – merencanakan, memerintah-kan, dan melancarkan tindakan-tindakan yang dijalankan oleh anakbuah untuk menteror dan mengusir penduduk Timor Lorosa’e,menindas orang Timor Lorosa’e yang mendukung kemerdekaandari Indonesia, dan menghancurkan infrastruktur Timor Lorosa’esesudah pemungutan suara untuk kemerdekaan.”

Di Negeri Belanda, kelompok-kelompok hak asasi manusiadan pro-demokrasi melancarkan kampanye besar untukmengangkat kekebalan hukum di Indonesia dan mendorongdiajukannya para jenderal yang memimpin kekejaman di Indo-nesia dan Timor Lorosa’e ke pengadilan.

Gerakan solidaritas juga mempertahankan sikap danstrateginya menghadapi kemauan politik internasional yangtidak menentu. Gerakan ini harus terus dilanjutkan untukmenjamin agar tuntutan-tuntutan bagi keadilan internasionaltidak menghilang. Tanpa tuntutan ini tidak akan ada keadilan.Indonesia akan sedikit insentifnya untuk mereformasi sistemperadilannya, sementara masyarakat internasional akanmengurangi dukungan pasca-UNTAET untuk kerja Kejahatan

Siapa itu La�o Hamutuk?

Staf Orang Timor: Inês Martins, Thomas (Ató) Freitas, Mericio Juvenal, Adriano Nascimento, Jesuina (Delly) Soares Cabral

Staf Internasional: Pamela Sexton, Mayumi Hachisuka, Vijaya Joshi, Charles Scheiner, Andrew de Sousa

Dewan Penasehat: Sr. Maria Dias, Joseph Nevins, Nuno Rodrigues, João Sarmento, Aderito de Jesus Soares

Penerjemah: Djoni Ferdiwijaya, José M.C. Belo, Tomé Xavier Jeronimo, Nug Katjasungkana, Antonio M. Lopes

La’o Hamutuk berterima kasih kepada pemerintah Finlandia yang mendukung publikasi ini.

Berat dalam sistem peradilan Timor Lorosa’e yang masih bayi itu.Gerakan solidaritas juga harus mencari cara-cara lain

untuk memajukan strateginya, karena kebutuhan untukmengakhiri kekebalan hukum juga merupakan perhatianutama kawan-kawan di gerakan hak asasi manusia dan pro-demokrasi Indonesia. Kemungkinan mempersiapkan kasusgugatan hukum terhadap jenderal-jenderal terkemuka danmenggunakan pengadilan negara-negara seperti Belgia, yangmemperlihatkan kemauannya untuk melaksanakan yurisdiksiuniversal atas kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah suatugagasan yang harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguholeh gerakan ini. Kelompok-kelompok solidaritas kemungkinanmemiliki kesempatan untuk membahas hal ini dan strategi-strategi lain yang mungkin pada konferensi mengenai kekebalanhukum di Amsterdam, awal Desember nanti.

Pencarian keadilan terus-menerus berlangsung, dangerakan solidaritas internasional masih memiliki dukunganpenting yang banyak untuk mengupayakan hal itu dalamsejarah baru Timor Lorosa’e. v

Paul Barber bekerja dengan TAPOL, organisasi kampanyehak asasi manusia Indonesia di London. tor HAM dariseluruh dunia menulis ke Sekjen PBB Kofi Annan di bulanJuli 2000. Surat-surat yang sama dikirim ke negara-negaraberdaulat dan Uni Eropa.

PengadilanInter-nasional

PengadilanInter-

nasional

SOLIDARITAS INTERNASIONAL

Page 12: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 12 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Pengadilan Internasional untuk Timor Lorosa’e?Oleh Jon Cina

Selama kampanye pemilihan umum Majelis Konstituantebelum lama ini, muncul seruan-seruan agar PerserikatanBangsa-Bangsa membentuk pengadilan internasional untukmenyelidiki dan mengadili para pelaku kejahatan yangdilakukan selama pendudukan Indonesia terhadap TimorLorosa’e. Seruan ini mencerminkan kekecewaan yang luasdan mendalam terhadap upaya-upaya sekarang ini yangdilakukan UNTAET dan Indonesia untuk menghadapkanpara pelaku ke pengadilan. Hasilnya, dalam berbagai sektormasyarakat Timor Lorosae terbangun momentum untukmenjamin terbentuknya lembaga seperti itu.

Meskipun ini bukan tuntutan baru, masih sedikitpembahasan yang dilakukan mengenai apa dan bagaimanasebuah pengadilan internasional bisa benar-benarmemajukan perjuangan keadilan di Timor Lorosa’e. Karenaitu tulisan ini membahas sejumlah pendapat yang mendukungdan menentang pengadilan internasional itu.

Mengapa Pengadilan Internasional?Sebuah pengadilan internasional adalah suatu lembaga yangterdiri dari hakim, penuntutan, penyelidikan, pembelahukum, dan administrasi, yang dibentuk untuk menanganikejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap serius sehinggamemprihatinkan masyarakat internasional seluruhnya.Dewan Keamanan PBB, bertindak demi kepentinganmasyarakat internasional, bisa menggunakan wewenangkhususnya untuk membentuk pengadilan ini. DewanKeamanan juga bisa memberikan kepada pengadilan yangdibentuk kekuasaan hukum untuk memerintahkan negara-negara untuk memberikan bantuan. PBB mengangkat hakimdan jaksa penuntut internasional untuk menjadi stafpengadilan yang dibentuk itu. Jenis lain yang lebih baruadalah PBB mengadakan perjanjian dengan pemerintah suatunegara untuk membentuk pengadilan khusus, yang bisadisahkan oleh Dewan Keamanan. PBB sekarang inimerundingkan perjanjian semacam ini dengan Sierra Leonedan Kampuchea. Berbeda dengan pengadilan yang dibentuklangsung oleh Dewan Keamanan, lembaga ini terdiri darisejumlah hakim lokal, yang dipilih oleh PBB dan pemerintahnasional yang bersangkutan.

Dianggap bahwa pengadilan yang dibentuk oleh PBB atasnama masyarakat dunia akan memiliki legitimasi dan otoritasyang lebih besar daripada pengadilan domestik di TimorLorosa’e dan Indonesia. Pengadilan ini bisa punya wewenanguntuk memerintahkan negara-negara, termasuk Indonesiadan Australia untuk bekerjasama dengan memberikan buktiyang relevan, seperti bahan intelijen, dan mengirimkan or-ang-orang yang disangka sebagai pelaku yang tinggal didalam wilayah mereka. Jika Indonesia atau pemerintah lainmenolak, menurut teori, pengadilan bisa mengajukanketidakpatuhan tersebut kepada Dewan Keamanan agardiambil tindakan tertentu. Pengadilan internasional yangdiusulkan dan kantor penuntutannya secara potensial bisamenjadi pejuang keadilan yang vokal dan secara moral kuat.

Pengadilan internasional juga bisa dipandang sebagaitanggapan yudisial yang tepat untuk kejahatan sistematis,biadab, dan berkelanjutan yang terjadi di Timor Lorosa’e,terutama karena satu unsur dari kebijakan di balik kejahatan

yang terjadi 1999 adalah serangan terhadap UNAMET, yangdengan demikian menentang otoritas Dewan Keamanan.

Laporan Komisi Penyelidik Internasional untuk TimorLorosa’e yang dibentuk PBB pada bulan Januari 2000merekomendasikan pengadilan internasional, tetapiSekretaris Jenderal dan Dewan Keamanan PBBmenginginkan pendekatan paralel yang memfokuskan padasistem-sistem peradilan domestik. Jadi, Indonesia didesakuntuk menyelidiki dan menuntut orang-orang yang beradadi wilayah yurisdiksinya, sementara PBB membentuk UnitKejahatan Berat di dalam UNTAET untuk menjalankanpenuntutannya sendiri.

Apakah Pengadilan Internasional bisaEfektif?Kesulitan yang paling konkret dengan pertangunggjawabanuntuk kejahatan di masa lalu ialah bagaimana mendapatkanorang-orang yang paling bertanggungjawab, yang sebagianbesar tetap berada di Indonesia di bawah kontrol suatupemerintah dan militer yang tidak mau bekerjasama. UnitKejahatan Berat telah gagal untuk mendakwa atau menuntutorang-orang seperti itu. Akan tetapi, sebuah pengadilaninternasional meskipun memiliki kekuasaan besar untukmemerintahkan kepatuhan negara, agaknya mustahil untukmengatasi dilema ini. Hal ini disebabkan karena penolakanJakarta untuk bekerjasama dengan pengadilan internasionaldan ketidakmungkinan sekutu-sekutu kuat Indonesia, yangbanyak di antaranya menjadi anggota Dewan KeamananPBB, untuk melakukan tekanan agar Indonesia maubekerjasama.

Pengadilan-pengadilan internasional lain umumnyaberhasil dalam mendapatkan tersangka. Tetapi ini lebihmerupakan hasil dari keadaannya yang khusus, bukan daristatusnya sebagai pengadilan internasional: di Jerman danJepang, tentara asing menguasai kedua negeri ini dan bisamenjamin kehadiran para pelaku utama di pengadilanNuremberg dan Tokyo, sedang di Rwanda, pemerintah-pemerintah nasional dan regional yang bersikap mendukungtelah menangkap para tersangka dan membuat mereka bisadiajukan ke pengadilan.

Timor Lorosa’e menghadapi keadaan yang lebih miripYugoslavia, dimana sejumlah negeri memberikanperlindungan kepada orang-orang yang diduga melakukankejahatan oleh Pengadilan Kejahatan Internasional untukBekas Yugoslavia. Meskipun mandat Pengadilan KejahatanInternasional untuk Bekas Yugoslavia dari PBB meliputikekuasaan untuk memerintahkan pemerintah-pemerintahmemberikan bantuan kepadanya, dan ada pasukan militermultinasional di wilayah ini yang memiliki wewenang untukmenangkap para tersangka, diperlukan waktu bertahun-tahununtuk mengubah prioritas negeri-negeri Barat yang kuat agarakhirnya mereka mau melakukan desakan kepadapemerintah-pemerintah untuk menyerahkan orang-orangyang paling tinggi tanggungjawabnya sebagai pelaku. Artipenting ekonomi dan strategis Indonesia bagi negara-negarayang mendominasi Perserikatan Bangsa-Bangsa umumnyajauh lebih besar dibandingkan Yugoslavia. Itulah sebabnya,otoritas pengadilan internasional sekalipun tidak bisamengatasi hambatan-hambatan politik terhadap tekanan

Page 13: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 13

internasional yang efektif kepada pemerintah Indonesia untukmengirimkan tersangka.

Hambatan besar lain yang akan dihadapi pengadilaninternasional adalah dana. Sejak dibentuk pada 1993 dan1994, Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yu-goslavia dan saudara kembarnya Pengadilan KejahatanInternasional untuk Rwanda menghabiskan dana sebesar US$700 juta. Pengadilan untuk Yugoslavia diperkirakanberoperasi sampai 2020. Pengeluaran dan masa kerjamerupakan tanda dari keberhasilan kedua pengadilan tersebutdalam menciptakan sistem keadilan pidana internasionalyang bisa bekerja meskipun terbatas, suatu keberhasilan yangjauh melampaui perkiraan atau tujuan mereka yangmenciptakan dua pengadilan itu. Tetapi keberhasilan ini jugamerupakan jaminan tertinggi bahwa masyarakatinternasional tidak akan kembali memasuki komitmen yangterbuka ujungnya untuk menemukan dan mengadili parapelaku dalam keadaan apa pun. Upaya-upaya yang sekaranguntuk membentuk pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsadi Kampuchea dan Sierra Leone mengisyaratkan bahwahanya akan ada dukungan yang memadai untuk badan pidanainternasional yang bentuknya sangat terbatas bagi TimorLorosa’e.

Keputusan yang sulit mengenai siapa yang akan diadilidalam keadaan seperti itu, bisa membuat banyak orang tidakpuas, sama dengan proses UNTAET dan Indonesia sekarangini. Memang sebuah pengadilan internasional bisamemperparah ketegangan yang sudah ada mengenai siapayang bertanggungjawab. Timor Lorosa’e bisa menghadapikeadaan yang sama dengan Rwanda, dimana para pelakutingkat rendah diadili relatif lebih cepat tetapi denganpenegakan hukum yang tidak kuat oleh sistem sistemperadilan Rwanda yang lemah, sementara para pelaku tingkattinggi tetap bebas atau diadili dengan jangka waktu yanglama, dengan penghormatan penuh pada proses hukum yangadil oleh Pengadilan Internasional untuk Rwanda, yangbertempat di luar negeri. Oleh karena itu, hubungan antarapengadilan internasional, Unit Kejahatan Berat, dan KomisiPenerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi memerlukanpertimbangan yang rinci.

Juga akan ada jeda waktu yang tak terhindarkan antarakeputusan pembentukan pengadilan internasional danpelaksanaan penyelidikan dan sidang pengadilan.Pengalaman pengadilan-pengadilan lain memperlihatkanbahwa diperlukan waktu bertahun-tahun untukmerundingkan kesepakatan tentang pandangan berbagainegara mengenai mandat dan kekuasaan hukum pengadilanuntuk memaksakan kerjasama. Mendapatkan dana dan mem-pekerjakan staf yang berkeahlian — yakni menerjemahkankomitmen menjadi tindakan – biasanya juga merupakanproses yang lamban dan rumit.

Alternatif untuk Pengadilan Internasional?Sistem Indonesia dan UNTAET sangat cacat; banyakdukungan untuk pengadilan internasional didasarkan padakegagalan keduanya. Meskipun demikian ada pendapatbahwa tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikikemampuannya. Ini mungkin benar untuk Indonesia; dalamjangka pendek dan menengah beralasan untukmemperkirakan bahwa Jakarta akan terus menghindarpemeriksaan peradilan terhadap peranan para pejabat tinggi,atau mengirimkan mereka ke yurisdiksi alternatif. Pada pihak

lain, Unit Kejahatan Berat yang direstrukturisasi punyapotensi untuk mencapai banyak dari tujuan yang berusahadicapai para pendukung pengadilan internasional.

Diperparah oleh managemen yang lemah, mandat yangditafsirkan secara sempit dan dukungan politik serta finansialyang tidak memadai, Unit Kejahatan Berat kecil kredibilitasnyadi depan mata orang Timor Lorosa’e atau aktor-aktorinternasional. Tetapi ada alasan-alasan persuasif untuk terusmendukungnya. Bertindak bersama-sama Panel Khusus untukKejahatan Berat, unit ini adalah suatu proses dengan mandatdari Dewan Keamanan untuk menyelidiki dan mengadili parapelaku. Karena itu ia memiliki banyak otoritas dan legitimasiyang akan diberikan oleh pengadilan internasional, danpendekatan yang lebih kreatif dan aktif bisa dilakukan denganmenggunakan mandatnya untuk meningkatkan tekanan terhadapIndonesia, melalui UNTAET, Dewan Keamanan, dan diskusi-diskusi bilateral langsung.

Lagi pula, Unit Kejahatan Berat dan Panel Khusus KejahatanBerat berada di Timor Lorosa’e dan perlu sepenuhnyamelibatkan orang Timor Lorosa’e dalam kerjanya, dua unsursangat penting dalam menjamin bahwa keadilan bisa diperoleh,dan melibatkan masukan dari, rakyat Timor Lorosa’e. Akantetapi tidak ada jaminan bahwa sebuah pengadilan internasionalakan berlokasi di Timor Lorosa’e atau akan melibatkan stafTimor Lorosa’e dengan efektif. Tanpa keterlibatan itu, setiapupaya untuk menggunakan mekanisme peradilan untukmenangani kekerasan massal yang dilakukan di Timor Lorosa’epasti akan merendahkan harapan rakyat Timor Lorosa’e.

Oleh karena itu, potensi sistem yang sekarang harus diujisebelum menerapkan mekanisme keadilan pidana alternatif. Iniharus dimulai dengan reformasi radikal dan sungguh-sungguhstruktur, personil, dan pendanaan Unit Kejahatan Berat dankantor-kantor yang terkait.

Sebagai bagian dari upaya ini, PBB pertama-tama harusmemerintahkan peninjauan pakar terhadap operasi UnitKejahatan Berat dan Panel Khusus Kejahatan Berat sertabersungguh-sungguh menjalankan rekomendasinya. UNTAETjuga harus merelokasi Unit Kejahatan Berat, Panel Khusus, danpembela hukum di luar struktur pemerintah untukmemperlihatkan pentingnya pertanggungjawaban bagikejahatan masa lalu. Lebih jauh, UNTAET harus menambahpenuntut, pembela, penyelidik, dan staf profesional lainnya sertaharus merekrut personil Timor Lorosa’e untuk mendampingiorang internasional.

Selain itu, Unit Kejahatan Berat harus segera menyusunkebijakan tentang kejahatan yang dilakukan sebelum 1999.UNTAET harus memulai program pendidikan masyarakat yangmenyeluruh untuk menyebarluaskan informasi mengenai prosespertanggungjawaban pidana di seluruh Timor Lorosa’e,sementara para staf Unit Kejahatan Berat harus berbasis, danPanel Khusus harus mampu bersidang, di luar Dili secepatmungkin. Harus dipertimbangkan pembentukan komitekonsultasi yang terdiri dari organisasi-organisasi non-pemerintah Timor Lorosa’e dan internasional serta kelompok-kelompok lain yang berkepentingan untuk memfasilitasipengiriman informasi dan pandangan-pandangan dari UnitKejahatan Berat, Panel Khusus, dan pembela hukum tersangka.

Untuk mempertimbangkan pilihan keadilan setelahkemerdekaan, UNTAET harus mensponsori sebuah konferensiyang baik yang akan melibatkan wakil-wakil organisasi-organisasi Timor Lorosa’e dan internasional, berbagai sektormasyarakat sipil, dan pakar hukum internasional. v

Page 14: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 14 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

1999

22 September: Pemerintah Habibie memberikan persetujuanpada Komnas HAM untuk membentuk Komisi PenyelidikPelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM) untukmenyelidiki kejahatan hak asasi manusia yang terjadi antaraJanuari dan Oktober 1999.

23 September: Mary Robinson, Komisaris Tinggi PBB UrusanHak Asasi Manusia, menyerukan penyelidikan internasionaluntuk pembantaian orang sipil di Timor Lorosa’e, mengatakanbahwa pasukan keamanan Indonesia terlibat dalampenghancuran.

27 September: Komisi PBB Urusan Hak Asasi Manusia(UNCHR) mengeluarkan resolusi 1999/S-4/1 dalam sidangluar biasa di Jenewa. Resolusi ini meminta Sekretaris JenderalKofi Annan untuk membentuk komisi internasionalpenyelidikan pelanggaran berat hak asasi manusia di TimorLorosa’e. Resolusi ini juga meminta Pelapor Khusus tentangeksekusi di luar hukum, cepat atau sewenang-wenang, PelaporKhusus tentang penyiksaan dan Pelapor Khusus tentangkekerasan terhadap perempuan, sebab-sebab dan akibat-akibatnya untuk menjalankan misi ke Timor Lorosa’e danmelapor kembali kepada UNCHR dan Majelis Umum.

28 September: Pemerintah Indonesia menolak penyelidikinternasional, tetapi meminta kerjasama UNCHR denganpenyelidikannya sendiri. UNCHR menerima.

8 Oktober: Presiden B.J. Habibie menandatangani peraturanpemerintah yang memungkinkan Komnas HAM membentukpengadilan untuk menuntut orang-orang sipil dan militer yangmelakukan pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.Parlemen Indonesia menolak peraturan ini pada Maret 2000.

15 Oktober: Kantor Komisaris Tinggi Urusan Hak AsasiManusia mengangkat suatu tim terdiri dari lima pakar untukmelakukan penyelidikan internasional.

25 Oktober: Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi1272/1999, membentuk UNTAET. Pada hari yang sama,Indonesia secara resmi mundur dari Timor Lorosa’e danmenyerahkan otoritas kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

4-10 November: Tiga Pelapor Khusus PBB mengunjungi TimorLorosa’e. Meskipun ada keinginan untuk mengunjungi Jakartadan Timor Barat sebagai bagian dari penyelidikannya, merekatidak melakukannya karena pemerintah Indonesia tidakmenanggapi permintaan mereka.

21 November: Richard Holbrooke, dutabesar pemerintahClinton untuk PBB, menyerukan Indonesia untukbertanggungjawab penuh atas kejahatannya pada konferensipers di Jakarta.

Desember: INTERFET menyerahkan otoritas penuh ataspenyelidikan kejahatan berat dan berkas-berkas kasusnyakepada CivPol.

10 Desember: Laporan para Pelapor Khusus PBB menyebutkanTNI, bersama milisi, melakukan “pembunuhan, penyiksaan,kekerasan seksual, pemindahan penduduk secara paksa, danpersekusi serta tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi,termasuk perusakan harta-benda,” kejahatan-kejahatan “yang

Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban untuk Timor Lorosa’e

September 1999 – Oktober 2001dilakukan pada skala luas atau sistematis atau keduanya.”Mereka merekomendasikan “Dewan Keamanan … untukmempertimbangkan pembentukan pengadilan kejahataninternasional” kecuali Jakarta menghasilkan hasil yang bisadipercaya dari penyelidikan dan penuntutan yang dijanjikanterhadap mereka yang bertanggungjawab atas teror 1999 di TimorLorosa’e “dalam beberapa bulan.” Pengadilan ini, tegas mereka,“harus memiliki yurisdiksi atas semua kejahatan berdasarkanhukum internasional yang dilakukan oleh pihak mana pun diWilayah ini sejak kepergian Penguasa kolonial [Portugal].”

2000

Januari: UNTAET mengangkat sejumlah hakim dan jaksapertama Timor Lorosa’e.

31 Januari: Laporan Komisi Penyelidikan Internasional untukTimor Lorosa’e yang dibentuk PBB menyimpulkan denganmenyerukan kepada PBB untuk “membentuk sebuahpengadilan hak asasi manusia internasional yang terdiri darihakim-hakim yang diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa” – satu langkah, menurut Komisi ini, “yangfundamental bagi stabilitas sosial dan politik masa depanTimor Lorosa’e.” Komisi ini menemukan bukti “polapelanggaran berat hak asasi manusia” dan mengungkapkan“pandangan bahwa Angkatan Bersenjata Indonesiabertanggungjawab atas intimidasi, teror, pembunuhan, dantindakan-tindakan kekerasan lainnya.” Bahwa ““tindakan-tindakan melanggar hukum hak asasi manusia dan hukumhumaniter internasional di Timor Lorosa’e diarahkan terhadapkeputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ...dan bertentangan dengan kesepakatan yang dicapai olehIndonesia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untukmenjalankan keputusan Dewan Keamanan.”

Pada hari yang sama, KPP-HAM mengeluarkan laporannyayang menyatakan bahwa “pelanggaran-pelanggaran berat hakasasi manusia fundamental telah dilakukan dengan cara terencana,sistematis, dan skala luas dalam bentuk pembunuhan massal,penyiksaan dan penyerangan, penghilangan paksa, kekerasanterhadap perempuan dan anak-anak (termasuk perkosaan danperbudakan seksual), migrasi paksa, politik bumi hangus, danpenghancuran harta-benda.” Laporan ini secara khusus menyebutnama Jenderal Wiranto, panglima TNI pada 1999 dan MayorJenderal Zacky Anwar Makarim.

Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid menolakrekomendasi ICIET mengenai pengadilan internasional, tetapimengemukakan dukungan bagi penyelidikan dan pengadilannasional terhadap sekurang-kurangnya 33 orang yangdisangka melakukan kejahatan berat.

Februari : Jaksa Agung Indonesia Marzuki Darusmamenyatakan bahwa diperlukan tiga bulan untuk memutuskanapakah mengajukan tuntutan hukum terhadap mereka yangdisangka melakukan kejahatan oleh penyelidikan Komnas HAM.

18 Februari: Menanggapi laporan tersebut, Dewan Keamanan PBBmenyerukan Indonesia agar mengadili para pelaku “secepatmungkin” dan “melakukan proses hukum yang cepat, menyeluruh,efektif, dan transparan, yang sesuai dengan standar internasionaltentang keadilan dan proses hukum yang adil.”

Page 15: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 15

22 Maret: Administrator Transisi Timor Lorosa’e Sergio deMello secara resmi memindahkan tanggungjawab ataspenyelidikan “kejahatan berat” kepada unit khusus di dalamCivPol yang diketuai oleh Unit Hak Asasi Manusia UNTAET.

6 April : UNTAET dan pemerintah Indonesia menandatanganisebuah Memorandum Kesepahaman (Memorandum ofUnderstanding) tentang pertukaran dan kerjasama hukum.Dokumen ini mewajibkan kedua pihak untuk “melakukantindakan saling membantu yang seluas mungkin.” Tetapipenguasa Indonesia tidak bekerjasama, tidak memberikanakses kepada para penyelidik UNTAET untuk menemui saksi-saksi ketika para penyelidik ini beberapa kali pergi ke Jakartauntuk melakukan wawancara.

6 Juni: UNTAET membentuk kantor penuntut untuk memimpinpenyelidikan kejahatan berat. Juga membentuk Panel Khususuntuk Kejahatan Berat di Pengadilan Distrik Dili. Setiap panelterdiri dari satu orang hakim Timor Lorosa’e dan dua oranghakim internasional. Panel punya wewenang untuk mengadilikasus-kasus genosida, kejahatan perang, penyiksaan dankejahatan terhadap kemanusiaan (tanpa memandangwaktunya) serta pembunuhan dan penyerangan seksual antara1 Januari dan 25 Oktober 1999.

4 Juli: Lebih dari 50 orang Timor Lorosa’e yang menyebutdirinya “Aliansi 1975-1999 untuk Keadilan” berkumpul didepan Kantor Penghubung Amerika Serikat di Dili. Kelompokini mengajukan serangkaian tuntutan yang berkaitan denganketerlibatan AS dalam invasi dan pendudukan Indonesiaterhadap Timor Lorosa’e, termasuk pembukaan dokumen-dokumen pemerintah, penyelidikan dan permintaan maafresmi, ganti rugi, dan dukungan aktif bagi pengadilankejahatan internasional.

5 Juli: The International Federation for East Timor (FederasiInternasional untuk Timor Lorosa’e) mengirimkan suratkepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan yangditandatangani oleh 80 kelompok dari seluruh dunia. Parapenandatangan menyerukan kepada Sekretaris Jenderal“untuk merekomendasikan kepada Dewan Keamanan agarmengambil langkah segera untuk membentuk pengadilaninternasional bagi Timor Lorosa’e.”

Awal Agustus: Sebuah pertemuan umum di Dili denganKomisaris Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Manusia MaryRobinson, orang Timor Lorosa’e menyerukan pengadilaninternasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan sebelum 1999.

18 Agustus: Parlemen Indonesia mengeluarkan amandemenkonstitusi yang melarang pengadilan sesuatu yang pada saatdilakukan tidak merupakan pelanggaran hukum, ini berpotensimelarang pengadilan kejahatan perang atau kejahatan terhadapkemanusiaan yang dilakukan di Timor Lorosa’e sebelumdilakukannya amandemen ini.

28 Agustus: Berbagai organisasi solidaritas dan aktivisindividual menulis surat kepada delegasi-delegasi KongresCNRT, menyatakan keprihatinan mengenai tidak adanyapembahasan CNRT mengenai pembunuhan massal danpenghancuran yang dilakukan selama kurun waktu 1975-1999, dan perlunya pertanggungjawaban bagi kejahatan-kejahatan tersebut.

31 Agustus: Dalam pertemuan dengan delegasi anggotaParlemen Eropa yang berkunjung, Menteri Kehakiman danHak Asasi Manusia Indonesia Yusril Ihza Mahendramemperingatkan bahwa tekanan internasional terhadap

Jakarta untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran hak asasimanusia yang terjadi di Timor Lorosa’e bisa menimbulkanpukulan balik. “Kami juga bisa menuntut [ganti rugi]pemerintah Belanda dan Jepang untuk kejahatan perang yangdilakukan selama perang kemerdekaan dan pendudukanmereka di sini,” katanya.

30 Oktober: Xanana Gusmão memperingatkan agar tidakterlalu memusatkan perhatian pada pribadi-pribadi pemimpinmilisi, menyatakan bahwa pertanggungjawaban untukkejahatan 1999 tidak bisa “dipribadikan.” Ia menyatakanbahwa harus dilakukan usaha yang lebih besar untukmenghadapkan para jenderal Indonesia ke pengadilan.

4 November: Sergio Vieira de Mello menyatakan bahwa Jakartaberhak atas “waktu yang lebih panjang” untuk membuktikankesungguhannya mengenai penyelidikan dan pengadilanmereka yang bertanggungjawab atas kejahatan 1999.

6 November: Parlemen Indonesia mengeluarkan undang-undang mengenai pembentukan pengadilan hak asasi manusia.

November: Jaksa Agung Indonesia Marzuki Darusmanmenyatakan bahwa pemerintahnya akan mengadili 22 orangtersangka yang terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan diTimor Lorosa’e pada Januari 2001.

20 November: Sebuah misi Dewan Keamanan PBB ke TimorLorosa’e dan Indonesia mengeluarkan laporan, mencatatbahwa ”UNTAET menghadapi kesulitan berat dalammembawa ke pengadilan orang-orang yang bertanggungjawabatas pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di TimorLorosa’e tahun 1999.” Laporan ini mendesak “agar dilakukanlangkah-langkah untuk mengatasi masalah ini untukmenanggapi keinginan rakyat Timor Lorosa’e akan keadilan.”Selama kunjungan ke Indonesia, pemerintah Indonesiamenegaskan kembali komitmennya untuk menyelidiki danmengadili mereka yang disangka terlibat kejahatan 1999.

1 Desember: Sebuah koalisi “organisasi-organisasi dan gereja-gereja Kristen yang telah lama bermitra dengan kongregasi-kongregasi Katolik dan Protestan di Timor Lorosa’e”mengeluarkan pernyataan menyerukan “pengadilan ad hocinternasional dengan partisipasi Indonesia dan TimorLorosa’e.”

11 Desember: UNTAET mengumumkan 12 dakwaan pertamauntuk kejahatan berat yang dilakukan 1999. Kebanyakan yangdidakwa adalah anggota milisi tingkat rendah yang telahditahan. Salah satu dakwaan menyebut kejahatan terhadapkemanusiaan dan melibatkan pejabat Indonesia yang sekarangberada di Indonesia.

2001

Januari: Pengadilan Kejahatan Berat pertama dibuka oleh PanelKhusus Pengadilan Distrik Dili. Bekas anggota milisi JoãoFernandes mengakui melakukan pembunuhan terhadapseorang aktivis pro-kemerdekaan.

25 Januari: Human Rights Watch mengeluarkan pernyataanmengungkapkan bahwa “Tidak ada bukti – di Jakarta maupunDili – tentang strategi sistematis untuk mengadili komandan-komandan tertinggi milisi atau perwira-perwira militerIndonesi di belakang mereka.” “Semua pelaku kuncikekerasan 1999 masih tetap di Indonesia, dan pengadilansepenuhnya tidak bisa dijalankan,” kata seorang jurubicaraorganisasi ini.

Page 16: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 16 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Sebuah panel terdiri dari tiga hakim menghukum JoãoFernandes 12 tahun penjara.

30 Januari: Dua puluh sembilan anggota Kongres AS menulis suratkepada Menteri Luar Negeri AS Colin Powell menyatakan,“Sekarang waktunya bagi pemerintah AS untuk mendukung tanpasyarat pengadilan internasional untuk kejahatan perang dankejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Lorosa’e.”

6 Februari: Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili mengeluarkandakwaan kedua kejahatan terhadap kemanusiaan, mendakwa limaorang, termasuk seorang perwira TNI atas pembunuhan,perkosaan, penyiksaan, pencabutan kebebasan secara melawanhukum, perlakukan dan persekusi tidak manusiawi danmerendahkan martabat, kejahatan-kejahatan tersebut terjadisebelum dan sesudah konsultasi rakyat di sub-distrik Lolotoe,distrik Bobonaro, oleh para anggota TNI dan milisi lokal.

14 Februari: Menteri Luar Negeri Alwi Shihab kepada para anggotaParlemen Indonesia mengaku bahwa pemerintah telah berhasilmengubah pelanggaran hak asasi manusia di Timor Lorosa’e darimasalah internasional menjadi masalah nasional. “Pokoknya,Indonesia menolak menyerahkan warganegaranya [kepada badanperadilan internasional],” katanya.

5 Maret: José Ramos Horta mengatakan bahwa “Kalau Indonesiamembuktikan tidak mampu membawa para tersangka kepengadilan, kami yakin bahwa Dewan Keamanan PBB akan tidakpunya alternatif selain membentuk pengadilan ad hoc untuk TimorLorosa’e.”

14 Maret: The Free East Timor Japan Coalition (Koalisi TimorLorosa’e Merdeka Jepang) menulis surat kepada Menteri LuarNegeri Jepang Yohei Kono. Kelompok ini menyerukanpemerintah Jepang mengupayakan keluarnya resolusi yangmenyerukan “pembentukan pengadilan internasional untukmengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perangyang terjadi di Timor Lorosa’e” pada pertemuan Komisi HakAsasi Manusia PBB mendatang. Koalisi juga menyerukanpemerintah Jepang untuk mengupayakan “klarifikasi, sebagaibagian dari penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan dankejahatan perang yang dilakukan di Timor Lorosa’e, tentangpertanggungjawaban negara-negara yang memberikan bantuanfinansial, senjata, dan dukungan diplomatik kepada pemerintahdan militer Indonesia.”

Maret: UNTAET meminta Markas Besar PBB mengirimkan pakarMary Fisk ke Timor Lorosa’e untuk menyelidiki persoalan yangdihadapi Unit Kejahatan Berat. Laporannya, yang tidak bisadiperoleh La’o Hamutuk, menyebutkan beberapa orang di UnitKejahatan Berat sebagai penghalang bagi efektivitas. Tujuh bulankemudian, orang-orang yang disebutkan ini masih berada padaposisinya, dan sangat sedikit yang dilakukan untuk melaksanakanrekomendasi Mary Fisk, meskipun kesimpulannya secara pribadidiakui oleh pimpinan UNTAET.

18 April : Sekretaris Jenderal Komnas HAM Asmara Nababanmenyatakan untuk pertama kalinya ia menyetujuipembentukan pengadilan internasional untuk Timor Lorosa’e,menyatakan bahwa “itu adalah satu-satunya jalan untukmendapatkan keadilan.”

19 April : Ketua Komisi Hak Asasi Manusia PBB, LeandroDespouy memperingatkan bahwa kalau Jakarta tidakmelakukan tindakan menentukan untuk mengadili parapemimpin militer, polisi, dan milisi yang bertanggungjawabbagi kekejaman-kekejaman di Timor Lorosa’e, PBB bisamemutuskan membentuk pengadilan internasional.

Ketika mengunjungi Jakarta, Xanana Gusmão mengatakankepada wartawan bahwa pembentukan pengadilaninternasional “bukan prioritas bagi saya,” dan bahwa“mangatasi masalah sosial dan ekonomi Timor Lorosa’e itulebih penting.”

23 April : Forum NGO Timor Lorosa’e mengkritik pernyataanXanana dan menegaskan bahwa pengadilan internasionalharus “sungguh-sungguh dipertimbangkan” karena tidakadanya kemajuan Indonesia dalam mengadili mereka yangterlibat kejahatan di Timor Lorosa’e.

23 April : Presiden Indonesia Abdurrahman Wahidmengesahkan pembentukan pengadilan hak asasi manusiauntuk Timor Lorosa’e yang hanya akan mengadili kejahatanyang dilakukan setelah konsultasi rakyat Agustus 1999.

23 April : Uskup Carlos Belo menyerukan pengadilaninternasional untuk mengadili kejahatan terhadapkemanusiaan yang terjadi di Timor Lorosa’e, sama denganyang dibentuk untuk Rwanda dan bekas Yugoslavia. “Kamitidak mempercayai penyelidikan yang sedang dilakukan diJakarta,” katanya.

24 April : Suratkabar-suratkabar di Australia menyiarkanlaporan yang dibocorkan “Crimes Against Humanity in EastTimor, January to October 1999: Their Nature and Causes”[Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Lorosa’e, Januarisampai Oktober 1999: Sifat dan Penyebabnya”] yang disusunoleh diplomat pensiunan Australia James Dunn. Jaksa AgungUNTAET telah memintanya menyusun laporan sepanjang 60hamaman itu, tetapi memutuskan untuk tidakmengumumkannya. Dunn menyimpulkan bahwa“penghancuran besar-besaran, deportasi, dan pembunuhan dibulan September pada dasarnya adalah suatu operasi yangdirencanakan dan dilaksanakan oleh TNI, dengan partisipasimilisi, untuk menghukum rakyat Timor Lorosa’e atas pilihanmereka menolak integrasi.”

25 April : Amnesty International menanggapi “dengan cemas”pengadilan hak asasi manusia di Jakarta, menyebutnya sebagaitindakan “satu langkah maju, dua langkah

28 April : Sydney Morning Herald memperoleh dan menyiarkan“laporan rahasia” yang dibuat oleh Kejaksaan AgungIndonesia yang menegaskan bahwa militer mengarahkankekerasan dan teror sesudah rakyat Timor Lorosa’e memilihkemerdekaan dengan dukungan dana pemerintah.”

2 Mei: Sekretaris Jenderal Komnas HAM Asmara Nababanmenyerukan revisi terhadap keputusan presiden mengenaipengadilan kejahatan yang terjadi di Timor Lorosa’e sebelumpemungutan suara konsultasi rakyat 1999.

2 Mei: Sebuah pengadilan Timor Lorosa’e mengeluarkandakwaan lain kejahatan tehadap kemanusian, yang berkaitandengan tindakan yang dilakukan di distrik Liquiça oleh TNIdan milisi.

3 Mei: Patrick Burgess, kepada Unit Hak Asasi ManusiaUNTAET mengkritik sempitnya mandat pengadilan hak asasimanusia yang akan dibentuk Indonesia. “Agar yurisdiksipengadilan ad hoc hak asasi manusia bisa dipercaya,mandatnya harus diperluas untuk mencakup seluruh tahun1999,” katanya.

4 Mei: Sebuah pengadilan di Jakarta mengadili enam orangIndonesia untuk perbuatan “memancing kekerasan” dalamkonteks pembunuhan tiga orang pekerja internasional

Page 17: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 17

UNHCR di Atambua, September 2000. Mereka dijatuhihukuman dari 10 sampai 20 bulan. Meskipun sekurang-kurangnya tiga dari enam orang tersebut mengaku menikamkorban, hakim memutuskan bahwa tidak cukup bukti untukmenyatakan mereka bersalah melakukan pembunuhan.Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyebut hukuman itu“sepenuhnya tidak bisa diterima.”

7 Mei: Suratkabar-suratkabar menyiarkan bahwa beberapaanggota TNI yang disebut sebagai tersangka kejahatanterhadap kemanusiaan mendapatkan promosi sesudahIndonesia mundur dari Timor Lorosa’e. “Promosi inimerupakan bukti tidak adanya kemauan untuk mengadili siapapun,” kata seorang diplomat di Jakarta yang memfokuskanperhatiannya pada Timor Lorosa’e.

23 Mei: Pihak yang berwenang di Indonesia membebaskanEurico Guterres setelah menjalani 23 hari dari enam bulanhukuman penjara untuk tuduhan pemilikan senjata denganalasan bahwa ia telah menjalani tahanan rumah sebelumpengadilan.

30 Mei: José Ramos-Horta, menteri luar negeri ETTA,menyebut hukuman rendah terhadap enam orang Indonesiayang terlibat dalam pembunuhan pekerja UNCHR “suatukebiadaban” dan mengatakan bahwa sekarang sudah saatnyabagi masyarakat internasional untuk membentuk pengadilaninternasional bagi Timor Lorosa’e.

6 Juni: Sebuah pengadilan Timor Lorosa’e mengeluarkandakwaaan kejahatan terhadap kemanusiaan, berkaitan dengantindakan yang dilakukan di distrik Liquiça oleh TNI dan milisi.

8 Juni: Menteri luar negeri Australia Alexander Downermemperingatkan akan dilakukannya tindakan internasionalkecuali Indonesia mengadili orang-orang yang terlibatkekerasan 1999 di Timor Lorosa’e.

9 Juli: Pengadilan pertama dengan dakwaan kejahatanterhadap kemanusiaan dimulai di Dili. Surat dakwaan,menuduh sebelas orang atas tindakan kejahatan meliputipembunuhan, penyiksaan, deportasi dan pemindahan paksapenduduk sipil di Lospalos antara 21 April dan 25September 1999.

13 Juli: Menteri Urusan Politik UNTAET yang sedangmeninggalkan jabatannya Peter Galbraith mengatakanbahwa dirinya “melihat sangat sedikit bukti” bahwaIndonesia bersungguh-sungguh dalam upayanya untukmengadili mereka yang terlibat kekerasan, dan menyerukanpembentukan pengadilan kejahatan perang internasional.

26 Juli: Sejumlah penyerang tidak dikenal membunuhHakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, yangbertanggungjawab bagi penunjukan hakim untukpengadilan hak asasi manusia di Jakarta.

2 Agustus: Presiden baru Indonesia Megawati Sukarnoputrimenandatangani keputusan presiden yang mengubah cakupanpengadilan ad hoc hak asasi manusia untuk Timor Lorosa’emencakup kejahatan-kejahatan yang terjadi bulan April danSeptember 1999, tetapi tidak mencakup bulan-bulan lainnya.Keputusan ini juga membatasi yurisdiksi pengadilan padakejahatan yang dilakukan di Dili, Liquiça, dan Suai saja.

9 Agustus: Ketua baru tim pembentukan pengadilan ad hochak asasi manusia Indonesia Benjamin Mangkoedilagamengatakan bahwa menurut perkiraannya pengadilan bisadimulai bulan Oktober.

24 Agustus: Amnesty International menulis surat kepadaMegawati Sukarnoputri dan mengajukan keberatanterhadap kelambanan dalam mengadili orang-orang yangdiduga terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan sebelumdan sesudah pemungutan suara 30 Agustus 1999.Organisasi ini mengkritik terbatasnya yurisdiksi pengadilanini, dan mendesak peninjauan terhadap keputusan tersebutserta segera dimulainya sidang pengadilan.

31 Agustus: James Kelly, Asisten Menteri Luar Negeri untukAsia Timur dan Pasifik ketika mengunjungi Indonesiamengatakan bahwa Washington tidak akan memulihkanhubungan militer penuh dengan Indonesia kecuali jika parapembunuh tiga orang pekerja UNHCR di Atambua bulanSeptember 2000 – salah satunya adalah warganegara AS– dijatuhi hukuman yang setimpal.

September: Dalam wawancara dengan Tempo, sebuahmajalah Indonesia, Xanana Gusmão mengatakan bahwa“kita harus ke belakang ke 24 tahun yang lalu dan tidakhanya berkonsentrasi pada yang terjadi bulan September1999” ketika ditanya mengenai kemungkinan pengadilaninternasional bagi Timor Lorosa’e.

Tempo juga melaporkan bahwa Jaksa Agung Indonesiatelah menutup penyelidikan untuk pembunuhan jurnalisBelanda Sander Thoenes di Dili September 1999. Pejabat-pejabat Indonesia mengatakan bahwa mereka belum secararesmi menghentikan penyelidikan, tetapi hanya sedikitkemajuan yang dicapai.

2 September: Kristyo Wahyono, kepala Kantor UrusanKepentingan Republik Indonesia, mengatakan bahwa iamenyesalkan adanya orang-orang di Timor Lorosa’e danluar negeri yang meminta PBB membentuk pengadilaninternasional untuk Timor Lorosa’e. Menurutnya tidak adakeperluan untuk membentuk pengadilan internasionalkarena Indonesia sedang membentuk pengadilan untukTimor Lorosa’e yang akan bekerja pada akhir tahun ini.

10 September: Sebuah pengadilan federal di AmerikaSerikat mengadili gugatan enam orang Timor Lorosa’e danmemutuskan agar Letnan Jenderal TNI Johny Lumintangmembayar ganti rugi sebesar US$ 66 juta. Keputusanpengadilan ini menetapkan bahwa Lumintang “secaralangsung maupun tidak langsung bertanggungjawab ataspelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap”para penggugat pada 1999. Menteri Luar Negeri IndonesiaHasan Wirayudha menyebut keputusan ini “lebih bersifatsimbolis daripada substansial” dan mengatakah bahwaJakarta “akan mengabaikannya.”

27 September: Para penuntut UNTAET mendakwa duaorang tentata Indonesia dan sembilan milisi untukkejahatan “pembunuhan massal terencana” terhadap 47orang di Oecussi pada 10 September 1999. Mereka jugadidakwa melakukan pembunuhan lain dan menculikratusan orang melintasi perbatasan. Salah satu tersangkaberada dalam tahanan; UNTAET meminta ekstradisitersangka lainnya dari Indonesia, yang tampaknya tidakmungkin terjadi.

3 Oktober: Menteri Kehakiman Indonesia Yusril IhzaMahendra mengatakan bahwa parlemen akan memilihhakim untuk pengadilan ad hoc hak asasi manusia padabulan November, dan bahwa Jakarta akan secara resmimembentuk pengadilan itu pada bulan Desember. v

Page 18: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 18 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Pada 21 Agustus, Kejaksaan Timor Lorosa’e mendakwaseorang petugas Polisi Sipil dari Jordania melakukanperkosaan atas seorang perempuan Timor Lorosa’e.Polisi menangkap tersangka pada 5 Juli sesudah terjadinyainsiden perkosaan di sebuah hotel di kota Dili. Para penuntuttelah meminta Pengadilan Distrik Dili untuk secepatmungkin menyidangkan kasus ini.

Laporan pers dari akhir Agustus mengindikasikan bahwapemerintah Australia berpihak kepada Phillips Petro-leum untuk menekan Timor Lorosa’e agar menyepakatiketentuan pajak yang menguntungkan perusahaanminyak itu . Sementara Canberra menyatakan bahwa merekatidak akan campur tangan dalam perundingan antara TimorLorosa’e dengan Phillips, dan dilaporkan menolakpermintaan perusahaan minyak ini agar langsungmempengaruhi Dili, Canberra terus melakukan tekanansecara tidak langsung. Menteri Luar Negeri AlexanderDowner mengatakan bahwa Australia akan mendorong

perusahaan minyak ini untuk mengadakan “debat yang lebihintens” dengan pejabat-pejabat di Dili. Menteri SumberdayaAlam Nick Minchin mengatakan bahwa ia berharap Phillipsberhasil membujuk Dili untuk bersikap “lebih realistis danpragmatis” mengenai pajak minyak dan gas alam Laut Timordengan menghormati suatu kesepakatan yang dibuat padabulan Oktober 1999 antara perusahaan-perusahaan minyakdengan para pemimpin perlawanan Timor Lorosa’e (lihatBulletin, Vol. 2 No. 5). Kalau tidak, menurut Minchin, TimorLorosa’e akan kehilangan pendapatan yang bernilai.Pendapat ini mengimplikasikan bahwa perusahaan-perusahaan minyak tidak akan melakukan investasi jikakesepakatan diubah. Pejabat UNTAET menyebut kata-kataCanberra “sombong” dan Mari Alkatiri meminta Australiatidak campur tangan dalam perundingan, menyebutkanbahwa Timor Lorosa’e “tidak akan membolehkannya [Aus-tralia] mempengaruhi keputusan kami, terutama tentangsistem perpajakan kami.” Sementara yang berusaha dicapaiTimor Lorosa’e tidak diketahui publik, laporan-laporan pers

Berita Singkat

Keadilan dan Pertanggungjawaban di Timor Lorosa’e:Pengadilan Internasional dan opsi-opsi lain

Seminar LSM dilaksanakan di Dili, 16 Oktober 2001

Rangkuman presentasi dari kelompok-kelompok kerja

Ada konsensus bahwa sebuah Pengadilan Internasional diperlukan. Kesepakatan ini didapatkan dari berbedakelompok kerja dengan alasan-alasan yang berbeda, termasuk:

♦ Menegakan nilai-nilai kemanusiaan

♦ Menjamin hak memperoleh keadilan

♦ Untuk dokumentasi sejarah

♦ Untuk menghalangi kejahatan seperti ini pada masa depan

♦ Untuk membantu proses rekonsiliasi

Untuk bertindak atas kesepakatan ini, kita mendiskusikan beberapa tujuan untuk jangka waktu pendek dan jangkawaktu panjang.

Untuk jangka waktu panjang (dan daftar ini tidak diatur dengan prioritas tertentu), kita perlu:

♦ Mengumpulkan, mendokumentasikan dan menjaga bukti

♦ Mengorganisir kelompok korban dan keluarga korban

♦ Membangunkan kesadaran masyarakat atas kepentingan pertanggung-jawaban untuk kejahatan masa lalusebagai jaminan keadilan dan kekuasaan hukum, sekarang dan untuk masa depan

♦ Melaksanakan kampanye pada tingkat lokal, nasional dan internasional

Untuk jangka waktu pendek (dan sekali lagi daftar ini tidak diatur dengan prioritas tertentu), kita perlu:

♦ Membangun sistem pengumpulan data/bukti

♦ Membuat pernyataan untuk diberikan kepada Dennis McNamara, Wakil SRSG, sebelum kunjungannya ke Indonesia.

♦ Membuat pernyataan untuk dikirim kepada pertemuan Dewan Keamanan PBB yang akan datang padatanggal 27 and 31 Oktober.

♦ Meminta solidaritas internasional dalam dukungan pendirian sebuah Pengadilan (Tribunal) Internasional

♦ Melihat kemungkinan untuk mensisipkan syarat dalam konstitusi yang bisa menjaminkan keadilan dalam masa depan

♦ Melobbi dan berkampanye

♦ Persiapan untuk pertemuan donor pada bulan Desember

Page 19: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 19

kepada orang Timor Lorosa’e, Pemerintah Indonesia, danpengungsi itu sendiri bahwa keadaan pengungsi telahdiselesaikan atau tidak bisa diselesaikan.” Karena alasan itu,Kelompok Kerja menuntut agar UNHCR “terus menjaminperlindungan dan reintegrasi jangka panjang pengungsi yangpulang” dengan mempertahankan kehadirannya danmelanjutkan bantuan kemanusiaannya kepada pengungsiyang pulang setidak-tidaknya sampai bulan Juni 2002.Kelompok juga menyerukan agar badan PBB meningkatkan“kordinasi dan kerjasamanya dengan organisasi-organisasipemerintah dan non-pemerintah” yang bekerja menanganipengungsi di Timor Barat, serta NGO lokal yang membantuproses reintegrasi pengungsi yang pulang ke masyarakatnya.Karena keprihatinan-keprihatian yang dikemukakan dalamsurat ini, UNHCR harus meninjau kembali rencananya.(Lihat artikel pada halaman 17.)

Pada 11 September, Megawati Sukarnoputri menyatakanmenerima rencana Jepang yang kontroversial untukmenyumbang pasukan tentara pada misi penjagaanperdamaian di Timor Lorosa’e (lihat Bulletin, Vol. 2, No. 5)ketika menerima kunjungan Jenderal Nakatani, kepala BadanPertahanan Jepang, di Jakarta. Pertemuan ini terjadi delapanhari setelah organisasi-organisasi non-pemerintah TimorLorosa’e, termasuk La’o Hamutuk menulis surat kepada PerdanaMenteri Jepang Koizumi Junichiro dan Menteri Luar NegeriTanaka Makiko mengenai rencana tersebut. Mengingat“pengalaman pahit” rakyat Timor Lorosa’e dengan militerJepang pada masa Perang Dunia II dan dukungan Tokyo kepadapendudukan ilegal Timor Lorosa’e dari 1975 sampai 1999,organisasi-organisasi tersebut mendesak pemerintah Jepanguntuk membuang rencananya mengirim pasukan tentara keTimor Lorosa’e. Sebaliknya, mereka mengusulkan agarpemerintah Jepang menggunakan dana yang akan dikeluarkanuntuk pengiriman tentara tersebut “untuk ganti rugi kepada parakorban penganiayaan selama Perang Dunia II dan pendudukanIndonesia.” Selain itu, mereka menyerukan agar Tokyo“mengakui di depan umum bahwa kebijakannya di masa lalutelah mengakibatkan penderitaan yang luar biasa terhadap rakyatTimor Lorosa’e.” Mereka menyimpulkan bahwa lebih baikJepang membantu meningkatkan keamanan Timor Lorosa’edengan menekan Jakarta untuk menstabilkan keadaan sepanjangperbatasan Timor Barat dan membangun hubungan diplomatikyang konstruktif dengan Dili.

Sejak 8 Oktober, tambahan 88 penumpang bisabepergian antara Dili dan Oecussi setiap minggunya.UNTAET telah menyediakan kapal terbang dan menambahtempat duduk pada dua helikopter yang terbang setiapminggu setelah terjadinya penghentian pelayaran kapaltambang (ferry) antara wilayah kantong tersebut dengandaratan utama pada awal September. Tempat duduktambahan itu bebas biaya dan bisa digunakan oleh orangTimor Lorosa’e maupun internasional. Perundingan sedangdiadakan antara UNTAET/ETTA, pemerintah Jerman danpemerintah Portugal, badan-badan internasional, danperusahaan-perusahaan transport. Kemajuan ke arah solusipermanen mengenai persoalan transportasi, termasuk trans-port darat dan/atau laut, diperkirakan akan dicapai padapertengahan November. Pemerintah Portugis telahmemberikan US$ 200.000 kepada UNTAET untuk biayatranport ke wilayah kantong, yang sebagian sedangdigunakan sekarang. v

mengindikasikan bahwa Dili berharap menetapkan pajak 40persen atau lebih. Phillips Petroleum berencana untuk segerakembali ke meja perundingan, dan berharap mencapaikesepakatan pajak dengan Majelis Konstituante TimorLorosa’e pada awal November.

Pada 3 September, Catholic Institute for International Re-lations (CIIR, Institut Katolik untuk HubunganInternasional) yang berpusat di Londonmemperingatkan bahwa demokratisasi Timor Lorosa’ebisa terhambat kecuali UNTAET dan MajelisKonstituante “memperhatikan penuh masukan darikaum perempuan.” Berdasarkan pengamatan delegasi CIIRyang berada di Timor Lorosa’e pada pemilihan umum 30Agustus 2001, CIIR prihatin bahwa “kebanyakan partaipolitik tidak memprioritaskan kebutuhan perempuan dalamprogram mereka” dan bahwa banyak pemimpin partai kepadadelegasi mengaku tidak tahu mengenai kebijakan partaimasing-masing tentang perempuan. Lebih jauh, delegasimengangkat keprihatinan mengenai kegagalan banyak pihakuntuk mengakui seriusnya kekerasan dalam rumahtangga didalam masyarakat Timor Lorosa’e. Delegasi jugamenyimpulkan bahwa program pendidikan kewarganegaraantidak sampai pada banyak perempuan, khususnya yangtinggal di desa-desa.

Pada 4 September 2001, suratkabar Suara Timor Lorosaemelaporkan bahwa Panglima Forças Armadas de TimorLorosa’e (FDTL) Brigadir Jenderal Taur Matan Ruakmenerima tawaran dari TNI untuk melatih angkatanbersenjata Timor Lorosa’e. Hari sebelumnya, MayorJenderal Kiki Sjahnakrie mengatakan bahwa TNI inginmembantu melatih FDTL. Taur Matan Ruak memberikanpenjelasan berikut ini: “Dari sudut pandang politik, kita tidakbisa terus-menerus berperang. Sampai sekarang, kitamenghadapi banyak persoalan politik, kita tidak bisaselamanya saling berperang sebagai musuh.”

Komentar La’o Hamutuk: Selama pendudukan 24 tahun,TNI melakukan kekerasan besar-besaran terhadap rakyatTimor Lorosa’e, termasuk penculikan, perkosaan,penyiksaan, dan pembunuhan. TNI melatih danmempersenjatai milisi yang menghancurkan Timor Lorosa’epada tahun 1999 dan memindahkan secara paksa lebih darisepertiga penduduk. Latihan bersama seperti ini terlalu awaldilakukan dan Tentara Pertahanan Timor Lorosa’e tidakboleh mempelajari teknik-teknik yang kejam dan tidakberperikemanusiaan yang dilakukan oleh TNI.

Kelompok Kerja Pengungsi NGO Timor Lorosa’emenulis surat kepada Ruud Lubbers, Komisaris TinggiPBB Urusan Pengungsi, menyatakan “keprihatinan danrekomendasi mengenai pengurangan dan penutupanoperasi UNHCR di Timor Lorosa’e.” Surat bertanggal 8September itu menyebut rencana untuk menutup kantorlapangan UNHCR di Baucau dan Maliana pada 31 Septem-ber dan penghentian bantuan kemanusiaan kepada pengungsiyang pulang sebagai “waktunya tidak tepat,” khususnyakarena perkiraan bahwa orang yang kembali akan meningkatsetelah selesainya pemilihan umum 30 Agustus. KoalisiNGO yang memperkirakan bahwa proses pemulangan iniakan berlanjut sampai tahun 2002, dalam suratnyamengatakan bahwa pengurangan besar “staf UNHCR dankepergiannya dari Timor Lorosa’e … akan menjadi indikasi

Page 20: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 20 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

U N I T E D N A T I O N S

N A T I O N S U N I E S

U N T A E T

Pemerintah Peralihan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosa’e16 Agustus 2001

Dengah hormat,Saya menulis surat ini menanggapi tajuk rencana anda berjudul, �United Nations: Aiding or Undermining a Resolution of

the Refugee Crisis?� [�Perserikatan Bangsa-Bangsa: Membantu atau Melemahkan Penyelesaian Krisis Pengungsi?�], yangdimuat dalam terbitan bulan Juli Buletin La�o Hamutuk. Saya sangat keberatan terhadap sikap yang diambil tulisan tersebutyang merugikan kerja keras dan keberanian yang diperlihatkan oleh banyak staf di UNTAET dan sistem PBB yang telahbekerja terus-menerus untuk mencari penyelesaian untuk persoalan pengungsi di Timor Barat.

Krisis pengungsi sering termasuk persoalan yang paling sulit yang harus dihadapi oleh masyarakat internasional:ratusan ribu orang Kampuchea masih berada di kamp-kamp di Thailand selama lebih dari sepuluh tahun; masalahmanusia perahu Vietnam baru saja diselesaikan; pengungsi Afghan masih berada di Pakistan bertahun-tahun setelahmereka meninggalkan kampung halaman. Daftarnya masih panjang. Tetapi dalam waktu dua puluh bulan � harusdiakui, bagi orang-orang yang tinggal dalam penderitaan sebuah kamp pengungsi terasa lamanya seperti seumurhidup � sekitar 185.000 pengungsi telah kembali atau dikembalikan ke Timor Lorosa�e, dan hampir semua diterimadengan tangan terbuka. Saya setuju bahwa persoalan ini belum selesai: beribu-ribu orang masih tinggal di TimorBarat, tetapi mengatakan bahwa terus berlanjutnya pengungsi adalah �bukti yang sangat kuat ketidakmampuan UNTAETdan masyarakat internasional, dan mungkin, ketidakmauan untuk mendukung hak asasi manusia orang Timor Lorosa�e�itu adalah tuduhan yang absurd dan bersifat menyerang. Apakah Samson Aregahegn, Carlos Carceres, dan PeroSimundza, tiga rekan UNHCR yang dibunuh di Atambua, kurang �kemauan� dalam hal ini?

Mendekati naif pendapat Anda bahwa karena UNTAET tidak mencegah terorisasi terhadap pengungsi oleh orang-orang yang kami tidak punya kontrol atas mereka di wilayah yang di luar wewenang kami maka ini merupakan buktikuat jeleknya pendekatan kami terhadap dilema ini. Krisis pengungsi sering merupakan akibat dari, dan kemudianmembantu menciptakan, keadaan politik yang rumit dan bergejolak. Krisis pengungsi Timor Lorosa�e tidak berbeda.Tekanan sedang terus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Ini dilakukan di tingkat internasional,regional, dan lokal. Kemajuan yang dibuat ditunjukkan oleh jumlah pengungsi yang pulang. Upaya-upaya lebih lanjutdiperlukan untuk menangani masalah ini, lebih-lebih oleh pemerintah Indonesia untuk menjamin bahwa pengungsiyang masih tinggal diberi kesempatan untuk memutuskan masa depan mereka dengan cara yang bebas dari ketakutandan paksaan. Tetapi pada analisis terakhir, saya berharap bahwa mayoritas orang yang masih berada di kamp-kampakan memutuskan untuk kembali setelah pelaksanaan pemilihan umum yang damai di Timor Lorosa�e. Ada peranpenting yang harus mereka jalankan bagi masa depan negeri mereka.

Keberatan saya terhadap tajuk rencana buletin Anda tidak sebatas itu saja. Saya juga berkeberatan atas kritik Andaterhadap tanggapan UNTAET pada pelaksanaan pendaftaran baru-baru ini di Timor Barat. Menyatakan bahwapelaksanaan pendaftaran itu dijalankan secara profesional tetapi mengkritik konteks terjadinya pendaftaran itu samasekali bukan sikap yang �tidak konsisten�. Anda mengkritik kami karena tidak menolak pendaftaran tetapi apasesungguhnya yang Anda inginkan agar kami tolak?

Saya lebih jauh menyesalkan kritik Anda � walaupun dengan tidak langsung mengutip sumber lain � dan menyebutseorang petugas UNTAET, yaitu Kepala Staf saya, N. Parameswaran, tanpa meminta pendapatnya atau pendapat sayasebelum penerbitan buletin tersebut. Sedikit orang bekerja sama kerasnya dan sama tak kenal hentinya untukmenyelesaikan persoalan pengungsi. Karena kerja keras beliau sendiri beratur-ratus orang, jika bukan beribu-ribu,pengungsi bisa kembali. Kenyataan bahwa Anda tidak mengetahui hal ini bukan merupakan indikasi bahwa kerjakeras itu tidak ada tetapi merupakan indikasi bahwa prioritas kami adalah menyelesaikan krisis ini secara tuntasbukannya membesar-besarkan setiap hasil yang kami peroleh menuju sasaran tersebut. Kepada staf UNTAET yangpernah mengkritik Parameswaran karena mencari hubungan baik dengan Jakarta, saya hanya bertanya apa yangmereka inginkan dilakukan beliau dalam keadaan seperti itu?

Terakhir, tolong beritahu saya kapan kami menyatakan bahwa pengungsi yang masih ada di Timor Barat adalah�pendatang sukarela�? Saya tidak tahu adanya perubahan kebijakan ini. Sebaliknya, diharapkan tidak lama lagiPerserikatan Bangsa-Bangsa bisa kembali ke Timor Barat dan untuk waktu yang tetap. Kami sedang bekerja kerasmencapai tujuan itu. Kami tidak menelantarkan siapa pun.

Setelah tidak berkonsultasi dalam persiapan tajuk rencana Anda, saya yakin bahwa Anda memberi saya hak jawabdan mencetak surat ini secara lengkap dalam terbitan berikutnya buletin Anda.

Sergio Vieira de MelloWakil Khusus Sekretaris Jenderal

dan Administrator Transisi

Yth. RedakturBuletin La�o HamutukDili

Page 21: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 21

La’o Hamutuk Menanggapi:Pengungsi Terlalu Lamban Pulang, Strategi Masih Salah

La’o Hamutuk menghargai surat dari Wakil Khusus SekretarisJenderal PBB (WKSJ) yang menanggapi tajuk rencana kami.Kami sependapat dengan keprihatinannya mengenai betapapentingnya persoalan pengungsi. Kami berharap suratnya danjawaban ini akan memperjelas lebih lanjut persoalan sulit yangmembuat sepersepuluh penduduk Timor Lorosa’e terjebak di In-donesia, tersingkir dari pemilihan umum dan pembangunan bangsa.

Dalam demokrasi, organisasi-organisasi bisa menyatakanpendapatnya mengenai kebijakan pemerintah tanpa bertanyapada pejabat. Meskipun kami tidak menghubungi kantor WKSJsebelum menulis tajuk rencana kami, kami mendasarkannyapada informasi publik dan diskusi-diskusi dengan staf dan bekasstaf UNTAET. Kami telah memperlihatkan jawaban kepadaWKSJ ini sebelum menerbitkannya sebagai penghargaan.

Kami sependapat dengan apresiasi Tuan de Mello bahwa185.000 orang Timor Lorosa’e yang dibawa ke Timor Barattelah kembali, dan bahwa orang di sini menyambut baik mereka.UNTAET, UNHCR, IOM dan badan-badan internasionallainnya berhak dihargai karena membantu mereka kembali,tetapi sepertiga dari pengungsi masih berada di kamp-kampyang buruk di Indonesia, dan kepulangan telah merosot (lihatbagan). Pada tingkatannya yang sekarang (sekitar 1.000/bulan)akan diperlukan lebih dari enam bulan untuk memulangkan merekakembali – lama setelah UNTAET meninggalkan Timor Lorosa’e.

Kami sangat meragukan strategi UNTAET berunding denganpenjahat-penjahat seperti pemimpin milisi Mahidi CancioCarvalho. Meskipun Mahidi mengizinkan lebih dari 900pengungsi Ainaro dan Covalima untuk kembali pada bulan Sep-tember (hasil positif pertama dari pendekatan ini), taktik inimenghancurkan kekuasaan hukum dan bisa membuatpengembalian pengungsi menjadi sandera bagi tuntutan-tuntutanyang tidak bisa diterima (seperti amnesti bagi pemimpin milisiyang bersalah melakukan Kejahatan Berat). Strategi itu jugamembuat bingung pengungsi Timor Lorosa’e mengenai prosespengadilan, bisa menghalangi kemampuan mereka untukmembuat pilihan bebas kembali atau tidak (pemimpin milisi

yang memilih untuk mereka), dan meningkatkan kekuasaan dankeabsahan para pemimpin milisi.

Jika UNTAET membujuk penguasa Indonesia untukmembawa para pemimpin milisi ke pengadilan, para pengungsidi bawah kontrol mereka harus bebas pulang. Sebaliknya, parapengungsi melihat pejabat-pejabat PBB berunding dengan parapemimpin milisi, dan PBB kehilangan kepercayaan pengungsi.Pengungsi yang sebenarnya masih berada di Timor Barat,sementara para pengikut dan pemimpin milisi, serta orang TimorLorosa’e yang menjadi tentara Indonesia kembali ke TimorLorosa’e dengan kekebalan hukum. Banyak pengungsi, yangtelah disesatkan dan bingung mengenai keadaan TimorLorosa’e, takut bahwa mereka yang telah menindas dirinya selamadua tahun terakhir akan mengambil kembali peran itu jika dan ketikapara pengungsi akhirnya pulang. Tak mengherangkan hanya 61pengungsi yang pulang secara spontan pada bulan September, angkayang paling rendah dalam enam bulan.

Kami bergabung dengan Tuan de Mello dalam kekagu-mannya dan kemarahannya atas tiga orang pekerja UNHCRyang dibunuh secara kejam oleh milisi-milisi pro-Jakarta diAtambua pada 6 September 2000. Kami juga meratapi banyakorang Timor Lorosa’e dan Timor Barat yang dibunuh padapembantaian itu. Kebalikan dari yang tersirat dikemukakan Tuande Mello, tajuk rencana kami tidak mengkritik mereka yangberada di garis depan yang menghadapi risiko besar danmemberikan pengorbanan yang luar biasa. Tetapi, tajuk kamimenempatkan tanggungjawab pada pejabat-pejabat politik danmiliter Indonesia yang gagal melakukan tindakan yang berartiuntuk membawa para pembunuh mereka ke pengadilan, untukmelucuti senjata dan menyingkirkan milisi dari kamp-kamp,atau untuk menciptakan keadaan yang aman bagi badan-badaninternasional untuk beroperasi di seluruh Timor Barat.Tanggungjawab mencakup para pemimpin internasional –khususnya para anggota Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa – yang tidak memberikan tekanan politik yang cukupterhadap pemerintah Indonesia.

Rak

yat k

emba

li se

tiap

bula

n

Para Pengungsi Kembali ke Timor Lorosa’e

Sumber: UNHCR

Page 22: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 22 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Setiap orang dari sekitar 75.000 orang Timor Lorosa’e yangmasih di Timor Barat (NGO memperkirakan sekurang-kurangnya 2.000 orang telah meninggal dunia di kamp-kamp)sama manusianya dengan tiga orang pekerja UNHCR yangdibunuh, bersama-sama dengan sejumlah orang Timor, olehmilisi-milisi pro-Jakarta dalam taktik yang sedihnya berhasilmenakut-nakuti badan-badan internasional yang mengurusipengungsi. Penghargaan yang terbaik untuk para martir iniadalah dengan memungkinkan semua pengungsi TimorLorosa’e yang memilih pulang bisa melakukannya.

Kami tidak menulis bahwa WKSJ “menyatakan bahwapengungsi yang masih tinggal itu ‘migran sukarela’” Tetapi,tajuk rencana kami menyatakan keprihatinan mengenai skenariomasa depan, yang berasal dari tekanan donor untuk mengubahprioritas badan-badan pengungsi ke tempat-tempat lain, danmengenai konsekuensi buruk bagi orang Timor di kedua sisijika pengungsi dilupakan. Kami mendapat penegasan kembalibahwa WKSJ menganggap skenario ini tidak baik sama denganpandangan kami, dan bahwaUNTAET “tidak menga-baikan siapa pun.” TetapiUNTAET adalah misisementara, dan IOM danUNHCR sedang membahaspengurangan kehadirannya.

Pada 8 September,Kelompok Kerja NGOmengenai Pengungsi danPengungsi Yang Kembalimenulis kepada KomisarisTinggi PBB UrusanPengungsi “menyatakankeprihatinan dan rekomen-dasi kami mengenai pengurangan dan penutupan operasiUNHCR di Timor Lorosa’e,” yang dijadwalkan pada akhir bulanOktober 2001. Menanggapi surat ini dan kebutuhan nyata,UNHCR sedang mempertimbangkan apakah akan melanjutkansebagian operasi Timor Lorosa’e sampai 2002, meskipundengan pengurangan besar dan tanpa kehadiran permanen diTimor Barat. Kami masih khawatir bahwa pendekatan yangsekarang akan membiarkan puluhan ribu orang Timor Lorosa’eterperangkap di Indonesia ketika UNHCR memiliki prioritaslain dan mandat UNTAET berakhir.

UNTAET harus lebih tegas dalam memberi tahu masyarakatinternasional mengenai persoalan pengungsi yang terus berlanjutdan dalam meminta bantuan. Pada 30 Juli 2001, Tuan de Melloberpidato di hadapan Dewan Keamanan PBB. Ia tidak menyebutpengungsi dalam pidato 4.500 kata. Setelah sekitar selusinpemerintah mengemukakan masalah ini (sebagian memujipendaftaran dan “kerjasama” Indonesia), Tuan De Mellomenjawab bahwa ia yakin bahwa pendaftaran tidak mencer-minkan keingingan sesungguhnya pengungsi, dan bahwa sampai80% akhirnya akan kembali. Kami berharap ini benar, tetapikami khawatir bahwa ini tidak akan terjadi tanpa tekananinternasional yang terpadu, dan kami berhadap Tuan De Mellomeminta hal itu di New York.

Sekretariat PBB memberi para pengungsi perhatian yanglebih. Pada pertemuan Dewan Keamanan tersebut, SekretarisJenderal Kofi Annan memberikan laporan sepanjang 64 paragrafdengan tiga paragraf mengenai pengungsi. Sekretaris Jenderalmenyebutkan bahwa meskipun laporan-laporan Indonesiatentang registrasi memperlihatkan bahwa “98 persen memilihtetap di Indonesia … ada persoalan apakah hal itu mencerminkan

maksud jangka panjang mereka. Disinformasi dan intimadasiyang berlanjut di kamp-kamp sebelum proses pendaftaran,perasaan ketidakpastian pada pihak pengungsi mengenai prosespolitik di Timor Lorosa’e, dan kurangnya kejelasan mengenaiapakah jaminan-jaminan yang mereka dapatkan di Indonesiabisa berlanjut di Timor Lorosa’e, mungkin telah menyumbangpada keengganan mereka untuk pulang. Dalam sidang DewanKeamanan PBB, dutabesar Indonesia tidak menyebutkanpengungsi, meskipun ia menegaskan bahwa “Indonesia telahmembubarkan dan melucuti senjata apa yang pada saat itudisebut ‘milisi.’”

Kami mendorong WKSJ untuk mengarahkan perhatian padaorang-orang di Jakarta yang bertanggungjawab atas paroditersebut, bukannya pada NGO seperti La’o Hamutuk yangmenyerukan tindakan yang lebih efektif untuk mengatasinya.Kami memahami kesulitan menyelesaikan persoalan pengungsidi sini dan di tempat-tempat lain, tetapi berharap bahwa UNTA-ET akan mengarahkan perhatian penuhnya pada penyelesaian

sesuatu yang berada dibawah mandatnya. UNTA-ET adalah suatu misi jenisbaru, dengan otoritas yangbelum dikenal sebelumnya,dan harus menggunakankekuasaannya untukmemenuhi tugas yangdiberikan padanya olehDewan Keamanan pada1999: “ … untuk menjamin… kepulangan yang amanpengungsi dan orang-orangyang terusir dari kampunghalamannya.”

La’o Hamutuk menegaskan kembali seruan kami untukmelucuti dan membubarkan milisi agar para pengungsi bisadengan aman memilih tinggal atau pulang – suatu kebebasanmemilih yang diabaikan oleh proses perundingan UNTAET-milisi. Kami merasa gembira pada bulan Agustus ketika TuanParameswaram mengatakan kepada organisasi non-pemerintahlokal bahwa UNTAET sekarang tidak menerima hasil registrasi,suatu sikap yang diam-diam disetujui pemerintah Indonesia.Kami mendorong UNTAET untuk menginformasikan kepadaDewan Keamanan tentang sikap UNTAET, dan untuk menekanIndonesia untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan kepadapengungsi, sekaligus pada saat yang sama mendesak Jakartauntuk mengadili para pemimpin militer dan milisi yangmenciptakan persoalan pengungsi.

La’o Hamutuk menyambut kesempatan kerjasama denganUNTAET untuk mendesak mereka yang berada di Indone-sia dan dengan masyarakat internasional untuk menjaminsemua orang Timor Lorosa’e berpartisipasi dalam perayaankemerdekaan tahun depan. Seperti dikemukakan dalambagian lain Buletin La’o Hamutuk ini, kami berpendapatbahwa Indonesia telah menyia-nyiakan kemauan baikmasyarakat internasional untuk menangani keadilan danpemulangan pengungsi dengan proses nasional merekasendiri. Tanggungjawab sekarang terletak pada masyarakatinternasional, yang diwakili oleh Dewan KeamananPerserikatan Bangsa-Bangsa, untuk memberikan keadilandengan pengadilan internasional dan memberikan kebebasandengan menuntut pemerintah Indonesia untuk memung-kinkan semua orang Timor Lorosa’e yang ingin pulang untukpulang dengan aman. v

Timor BaratTimor Lorosa�e

Page 23: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Buletin La’o Hamutuk Oktober 2001 Halaman 23

Sampai sekarang, suara-suara di Timor Lorosa’e dan dikalangan hak asasi manusia dan solidaritas internasional belumcukup, juga belum mampu menantang kehendak PerserikatanBangsa-Bangsa untuk menerima sesuatu yang jelas tidak adil:pengadilan pelaku tingkat rendah sebagian tindakan kejahatanterhadap kemanusiaan yang dilakukan tahun 1999, tetapi bukanterhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatanyang dilakukan dari 1975 sampai 1998.

“Seminar tentang Keadilan dan Pertanggungjawaban bagi TimorLorosa’e” di Dili, 16 Oktober menyatukan para aktivis yang denganbulat mendukung seruan bagi pengadilan internasional. Kamiberharap semangat mereka akan memberi nafas baru dan efektivitasbagi kampanye di sini dan di dunia internasional.

Seperti dikemukakan Jon Cina (lihat halaman 12-13), sebuahpengadilan internasional yang dibentuk secara konvensionalbukanlah satu-satunya jalan untuk keadilan bagi Timor Lorosa’e.Sebuah pengadilan internasional bukanlah tujuan pada dirinya,tetapi alat untuk menjamin keadilan dan pertanggungjawabanpara pelaku kejahatan yang luar biasa biadab itu. Dalam hal ini,ada sejumlah mekanisme potensial, yang masing-masingmemerlukan dukungan politik dan sumberdaya dari masyarakatinternasional. Tetapi apa pun mekanisme keadilan yangdiangkat, harus ada komitmen sejati untuk bekerja dalammasyarakat sipil sambil menjamin partisipasi yang tinggi danpemilikan proses oleh masyarakat Timor Lorosa’e.

Dialog luas di dalam Timor Lorosa’e, bersama dengan parapendukung internasional, mulai mengidentifikasi mekanismeyang paling memadai dan sarana yang paling baik untuk mem-perjuangkannya. Aktivis-aktivis internasional dan pejabat

pemerintah bisa membantu di bidang ini. Pemimpin politikTimor Lorosa’e sangat dihambat oleh perlunya memeliharahubungan kerja dengan Indonesia dan menghindari pengasinganoleh anggota-anggota masyarakat internasional yang besarkekuatannya. Oleh karena itu wajib bagi pendukunginternasional Timor Lorosa’e untuk menciptakan ruangansehingga para aktivis Timor Lorosa’e bisa menanggapi seruankeadilan yang disuarakan di seluruh Timor Lorosa’e.

Seperti ditulis oleh para aktivis solidaritas kepada KongresCNRT pada bulan Agustus 2000, “persoalan keadilan itumelampaui jangkauan Timor Lorosa’e. Kejahatan yangdilakukan oleh TNI di Timor Lorosa’e bukanlah kejahatan biasa.Kejahatan-kejahatan itu adalah Kejahatan terhadapKemanusiaan. Karenanya, kejahatan itu … keprihatinankemanusiaan secara menyeluruh. Tidak menangani kejahatanini akan merusak upaya internasional untuk pertanggungjawabandan pencegahan lebih lanjut kejahatan seperti itu.” Dalam halini, keadilan penting tidak hanya bagi masyarakat TimorLorosa’e tetapi juga bagi Indonesia, dan bagi seluruh dunia.

Mengupayakan pertanggungjawaban penuh untuk kejahatanperang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukandari 1975 sampai 1999 adalah kerja yang penting. Ini artinya,satu tantangan bagi UNTAET dan PBB, tetapi lebih pentinglagi menantang negara-negara paling berkuasa di dunia,termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jepang – yangsemuanya mendukung kejahatan Indonesia di Timor Lorosae.Tidak mengejutkan, mereka berbuat sangat sedikit untukmenjamin bahwa Timor Lorosa’e memperoleh keadilan yangdiperlukan dan yang merupakan haknya itu. v

Editorial: Saatnya Bersungguh-sungguh terhadap Keadilan (melanjukan dari halaman 24)

Editorial: Kapan Pertanggungjawaban Dimulai?Kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki yurisdiksi univer-sal dan tidak mengenal ketentuan pembatasan; kejahatan-kejahatan ini bisa diadili tanpa memandang pelaku, waktu,tempat, dan konteksnya. Dari awalnya, upaya-upayaPerserikatan Bangsa-Bangsa mengandung kelemahanmendasar. Masyarakat internasional, mengikuti Indonesia,mengabaikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum1999. Karena itu tidak ada upaya resmi oleh PerserikatanBangsa-Bangsa, negara-negara anggotanya, atau Indonesiauntuk menyelidiki atau menuntut kejahatan yang dilakukanantara 1975 dan 1999.

Kami khawatir bahwa sikap Perserikatan Bangsa-Bangsatidak hanya mencerminkan pandangan sekutu-sekutu kuat In-donesia di Dewan Keamanan, tetapi juga hasil dari komitmenyang terbatas pada pihak tokoh-tokoh kunci PBB, termasukKomisaris Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia Mary Robinson.Pada bulan Agustus 2000 Robinson dalam sebuah pertemuandi Dili mengatakan bahwa PBB hanya memberi perhatian padaperistiwa-peristiwa September 1999 karena terjadi dalam masaadanya misi PBB.

Meskipun sikap itu tidak ada dasarnya dalam hukuminternasional, sejumlah organisasi hak asasi manusia tampakmenerima parameter ini, agaknya karena percaya bahwa seruanuntuk pertanggungjawaban penuh akan merusak dukunganinternasional yang telah menurun untuk keadilan bagi TimorLorosae. Beberapa pihak juga berpendapat bahwa memulaidengan tuntutan kecil – keadilan untuk 1999 – akan membukapintu bagi penuntutan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukansebelumnya.

Meskipun kami memahami motivasi politik para diplomatyang mendukung kerangka sempit untuk keadilan bagi TimorLorosa’e, organisasi-organisasi hak asasi manusia punyakewajiban untuk mengkritik kerangka seperti itu – sertamelakukannya secara umum dan tegas. Kompromi pada diri-sendiri itu berbahaya: ketika seseorang membatasi tuntutannyasendiri, yang didapatkannya akan lebih rendah lagi.

Jumlah yang tak terhitung kejahatan terhadap kemanusiaandilakukan selama kurun waktu 1975-1999 di Timor Lorosa’e.Meskipun pengadilan internasional tidak bisa mengadilisemuanya, pengadilan ini bisa mengadili jumlah tertentukejahatan-kejahatan tertentu yang paling berat – seperti invasi1975, pembunuhan massal di Matebian 1979, Lacluta 1981 danKraras 1983, pembantaian di Kuburan Santa Cruz 1991, dansejumlah kekejaman luar biasa yang dilakukan tahun 1999.Pendekatan seperti itu memiliki keuntungan membatasi jangkawaktu dan biaya pengadilan sementara meliput seluruh periodeinvasi dan pendudukan Indonesia, yang dengan demikianmeningkatkan kemungkinan bahwa banyak dari perencanautama dan pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban.

Juga akan menegaskan bahwa invasi, pendudukan, danpenghancuran Timor Lorosa’e oleh Indonesia adalah konspirasikriminal yang lama, sistematis, terencana, dan diperintahkanpada tingkat pemerintahan tertinggi. Banyak dari pelaku terusmemegang kedudukan penting dan berpengaruh di negeritetangga Timor Lorosa’e yang terdekat. Masa depanperdamaian, keadilan, dan demokrasi di Timor Lorosa’e danIndonesia tergantung pada dihadapkannya para pelaku tingkattinggi ke pengadilan. v

Page 24: Buletin La™o Hamutuk · Kronologi Keadilan dan Pertanggungjawaban... 14 Rangkuman Laporan Seminar Pengadilan ... ketika Indonesia melancarkan agresi terhadap Timor Portugis dan

Halaman 24 Oktober 2001 Buletin La’o Hamutuk

Apa itu La�o Hamutuk?La’o Hamutuk adalah organisasi Timor Loro Sa’e-Internasional yang bertujuan memantau dan melaportentang kegiatan-kegiatan dari institusi-institusi utamayang ada di Timor Loro Sa’e dalam rangka pembangunankembali sarana fisik dan sosial. Institut La’o Hamutuk iniberoperasi dengan dasar pemikiran bahwa rakyat TimorLoro Sa’e harus menjadi pemutus utama dari prosespembangunan kembali tersebut dan, prosesnya harusse-demokratis dan se-transparan mungkin. Dalam hal ini,La’o Hamutuk melakukan suatu analisis yang tidakberpihak terhadap kegiatan Internasional di Timor LoroSa’e dengan tujuan memfasilitasikan partisipasi yangefektif dan bertingkat oleh rakyat Timor Loro Sa’e dalamproses pembangunan kembali. Selain memberi informasidan analisis tentang proses rekonstruksi dan pembangunan,La’o Hamutuk bekerja untuk meningkatkan komunikasiantara institusi-institusi dan organisasi-organisasiinternasional dengan masing-masing bidang dalammasyarakat Timor Loro Sa’e. Akhirnya, La’o Hamutukmenjadi pusat sumber informasi dengan berbagaibacaan, tentang model pembangunan, pengalaman danpraktek yang berlainan, dan juga mengfasilitasi jaringanantara kelompok-kelompok Timor Loro Sa’e dengan ahli-ahli dan pelaksana-pelaksana yang terlibat dalam halproses pembangunan di seluruh dunia.

Di dalamnya roh menganjurkan transparensi yang lebihkuat. La'o Hamutuk ingin sekali mengundang individualuntuk kontak kami bila anda punya naskah-naskah dan/atau informasi yang harus dikemukakan perhatian buatrakyat Timor Loro Sa’e dan juga para anggota masyarakatinternasional.

Editorial: Saatnya Bersungguh-sungguh terhadap Keadilan bagi Timor Lorosa’e

Seperti semua orang di dunia ini, rakyat Timor Lorosa’eberhak atas keadilan. Ketika negeri ini memulihkan diridari 24 tahun konflik dan pelanggaran berat hak asasi

manusia, sekarang saatnya bagi keadilan dan pertanggungjawabandengan dukungan penuh internasional. Invasi 1975 dan pendudukanIndonesia adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukuminternasional, yang menimbulkan korban kematian yangproporsinya terhadap penduduk salah satu yang tertinggi di duniadalam setengah abad terakhir.

Tindakan teror terakhir pendudukan Indonesia – penghancuranSeptember setelah suara terbanyak dalam referendum memilihkemerdekaan – adalah pelanggaran yang mencolok terhadapkewajiban pemerintah Indonesia. Seperti dikemukakan oleh KomisiPenyelidik Internasional untuk Timor Lorosa’e pada bulan Januari2000, “tindakan-tindakan melanggar hukum hak asasi manusia danhukum humaniter internasional di Timor Lorosa’e diarahkanterhadap keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa... dan bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dicapaioleh Indonesia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untukmenjalankan keputusan Dewan Keamanan.”

Banyak pihak masyarakat sipil Timor Lorosa’e menuntutpengadilan internasional untuk menghadapkan mereka yangmelakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae kepertanggungjawaban atas tindakan mereka. Pada sebuah konferensidi Dili, 16 Oktober, 75 aktivis Timor Lorosa’e dan para korbanyang selamat secara bulat menyerukan proses tersebut. Ini adalahkelanjutan dari seruan dari Dewan Nasional Timor Lorosa’e (badanlegislatif sebelumnya), banyak organisasi non-pemerintah TimorLorosa’e, semua 16 partai politik, dan tokoh-tokoh terkemuka, sepertiUskup Carlos Belo. Komisi Penyelidik Internasional membuatrekomendasi yang sama dalam laporannya kepada DewanKeamanan. Meskipun Pemerintah UNTAET telah melaksanakantugas menyelidiki dan mengadili kejahatan tertentu yang terjadi pada1999, sumberdayanya sangat terbatas dan kemampuannya untukmendapatkan kerjasama dari Indonesia juga sangat rendah.

Bulan Januari 2000, mengikuti kemauan Indonesia, DewanKeamanan memutuskan untuk tidak membentuk pengadilan.Dewan Keamanan juga menyatakan bahwa Jakarta harusmengadili para pelaku “secepat mungkin,” yang menyiratkanbahwa kalau mereka tidak melakukannya, Dewan Keamanan akanmembentuk pengadilan internasional untuk Timor Lorosa’e.

Lebih dari 20 bulan kemudian, Indonesia belum mengadilisatu orang pun untuk kejahatan di Timor Lorosa’e. Meskipundemikian, Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak bergerakmelaksanakan janjinya untuk membentuk sebuah pengadilankalau Jakarta gagal memenuhi janjinya. Oleh karena itu, selainbeberapa pengadilan kecil UNTAET terhadap anggota-anggotamilisi Timor Lorosa’e, proses peradilan telah menguap.

Megawati Sukarnoputri yang menjadi presiden Indonesiabulan Juli, menjanjikan pembentukan pengadilan ad hoc untukmengadili sejumlah kejahatan yang dilakukan di Timor Lorosa’e1999. Kami meragukan komitmennya. Segera setelahmenduduki jabatannya, Megawati mengubah cakupanpengadilan ad hoc hanya meliput kejahatan yang dilakukanbulan April dan September 1999. Keputusannya juga membatasipengadilan terhadap kasus yang terjadi di Dili, Liquiça, danSuai. Amnesty International menanggapi dengan “cemas”keputusan baru ini dan menyebutnya “satu langkah maju, dualangkah mundur,” tetapi menteri luar negeri Australia AlexanderDowner menyebutnya sebagai “langkah maju yang sangatpositif,” dan kebanyakan pemerintah lain diam membisu.

(Melanjukan di halaman 23)

Megawati kemudian mengangkat M.A. Rahman sebagaiJaksa Agung. Tahun yang lalu, sebagai kepala tim yangmenyelidiki kejahatan yang dilakukan di Timor Lorosa’e,Rahman merekomendasikan pengadilan terhadap perwira-perwira rendah saja, mengabaikan mereka yang memegangpertanggungjawaban tertinggi untuk kejahatan tersebut. Sementarapihak menyebut Rahman menghalangi kerja tim tersebut.

Jakarta berharap menghindari tindakan serius sampai akhirnyaPBB kehilangan perhatian, atau memuaskan negara-negara yangmendominasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan mengadilisejumlah kecil pelaku tingkat rendah, terutama milisi, untuk beberapatindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi tahun 1999.Mereka yakin bahwa penundaan terus-menerus akan menghilangkankemungkinan bahwa Dewan Keamanan akan mengeluarkansumberdaya politik dan keuangan yang diperlukan untukmembentuk sebuah pengadilan internasional. Sejumlah pemimpinTimor Lorosa’e enggan mendesak keras pembentukan pengadilaninternasional, atau menghadapi kekerasan pendirian Indonesia,karena tanpa dukungan kuat PBB Timor Lorosa’e akan lemah.

Karena alasan itulah advokasi yang terus-menerus danterkoordinasi untuk pengadilan internasional harus dilakukandi Timor Lorosa’e – karena potensinya lebih besar sekarangsetelah adanya badan legislatif yang terpilih dan kabinet TimorLorosa’e – dan seluruh dunia.