pengalaman interaksi sosial pada anak · pdf file10 pedoman wawancara dokter 11 data demografi...
TRANSCRIPT
i
PENGALAMAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK
PENDERITA LEUKEMIA YANG MENJALANI
KEMOTERAPI DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai gelar sarjana keperawatan”
Oleh :
Debby Septiana Pertiwi
NIM S10.008
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Debby Septiana Pertiwi
NIM : S10.008
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada
Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan
Tim Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta, 12 Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
(Debby Septiana Pertiwi)
S10.008
iv
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Pengalaman Interaksi Sosial Pada Anak Penderita Leukemia Yang
Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan
skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta.
2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program
Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan penguji I
yang telah memberikan masukan selama penyusunan skripsi.
3. Ibu Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing I yang
telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
4. Ibu Yuana Dwi Anggraini, S.Kep., Ns, selaku pembimbing II yang juga
telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
5. Bapak Rendy Editya, S.Kep., Ns, yang telah memberikan masukan dan
arahan selama penyusunan skripsi.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
v
7. Direktur dan staf DIKLIT RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah
memberikan ijin dan arahan untuk peneliti dalam melakukan penelitian.
8. Perawat bangsal Melati II RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah
memberikan bantuan selama proses penelitian.
9. Seluruh partisipan yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
10. Orang tua tercinta, yaitu Bapak R. Dodi Satoto Purnomo, Ibu Suhartini,
dan adik tersayang R. Ambeg Parama Artha Legawa yang selalu
memberikan dukungan, motivasi, doa dan kasih sayangnya sepanjang
waktu.
11. Keluarga di Surakarta yaitu Bapak Aris Wibowo dan Ibu Djenitri Hesti
Wulan Prasetyani, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi
dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman angkatan 2010 / S10 tersayang, yang saling mendukung dan
membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Selanjutnya peneliti sangat
mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini sehingga
dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.
Surakarta, 12 Juni 2014
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
ABSTRACT ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
1.5 Keaslian Penelitian .......................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 10
2.1 Konsep leukemia ........................................................................... 10
2.2 Kemoterapi .................................................................................... 14
2.3 Tahap tumbuh kembang anak usia sekolah ................................... 21
2.4 Interaksi Sosial .............................................................................. 23
vii
2.5 Kerangka berfikir ........................................................................... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 27
3.1 Bentuk dan strategi penelitian ....................................................... 27
3.2 Teknik sampling ............................................................................ 28
3.3 Tempat penelitian .......................................................................... 29
3.4 Waktu penelitian ............................................................................ 29
3.5 Sumber data ................................................................................... 29
3.6 Teknik pengumpulan data ............................................................. 31
3.7 Validasi data .................................................................................. 33
3.8 Analisis data .................................................................................. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian.. ...................................................... 38
4.2 Sajian Data ..................................................................................... 41
4.3 Temuan Penelitian ......................................................................... 56
4.4 Pembahasan ................................................................................... 59
4.5 Keterbatasan Penelitian ................................................................. 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 78
5.2 Saran ............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel Halaman
1.1 Keaslian Penelitian 8
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar Halaman
2.1 Kerangka Berfikir Penelitian 23
3.1 Model Analisis Interaktif 34
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Keterangan
1 Usul topik penelitian
2 Pengajuan Judul
3 Pengajuan ijin study pendahuluan
4 Pengajuan ijin penelitian
5 Jadwal Penelitian
6 Penjelasan Penelitian
7 Surat Pernyataan Bersedia Berpartisipasi Sebagai Responden
Penelitian
8 Pedoman Wawancara
9 Pedoman Wawancara Orangtua
10 Pedoman Wawancara Dokter
11 Data Demografi Partisipan
12 Data Demografi Partisipan (care giver)
13 Catatan Lapangan
14 Transkrip Wawancara Mendalam
15 Surat Permohonan Studi Pendahuluan
16 Surat Ijin Studi Pendahuluan
17 Surat Permohonan Ijin Penelitian
18 Surat Pengantar Penelitian
19 Surat Kelayakan Etik
20 Lembar Konsultasi Pembimbing
xi
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2014
Debby Septiana Pertiwi
Pengalaman Interaksi Sosial pada Anak Penderita Leukemia yang Menjalani
Kemoterapi di RSUD Dr.Moewardi Surakarta
Abstrak
Semakin meningkatnya angka kejadian leukemia pada anak usia 6-12
tahun, membuat anak harus menjalani beragam terapi untuk proses kesembuhan.
Proses kemoterapi sebagai terapi yang dijalani memiliki banyak dampak pada
interaksi sosial anak, karena waktu untuk bermain akan digantikan dengan terapi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana interaksi sosial yang terjadi
pada anak yang menjalani kemoterapi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain
fenomenologi. Partisipan penelitian ini terdiri dari 4 partisipan anak yang
menderita leukemia dan menjalani kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Penelitian berlangsung dari tangal 1 April- 30 April 2014. Teknik pengumpulan
data yang digunakan pada penelitian ini ialah wawancara mendalam dan
observasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis interaktif.
Temuan hasil penelitian ini antara lain : respon terhadap penyakit
leukemia dan terapi yang dijalani digambarkan dengan kanker darah dan
kemoterapi sebagai “disuntik”, dampak fisiologis yang dialami ialah mual, rontok,
lemas, moon face dan ulserasi mukosa, dampak psikologis pada anak gangguan
konsep diri, penurunan rasa aman dan nyaman, proses berduka. Terganggunya
hubungan dengan teman sebaya membuat anak lebih senang bermain sendiri.
Simpulan dari penelitian ialah 3 partisipan menunjukkan adanya kesulitan dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan kontak sosial serta komunikasi baru terjalin
setelah hari pertama dikarenakan efek kemoterapi yang membuat mereka merasa
berbeda.
Kata Kunci : Interaksi sosial, Leukemia, Kemoterapi, anak usia sekolah.
Daftar pustaka : 26 (2003-2013)
xii
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA
2014
Debby Septiana Pertiwi
SOCIAL INTERACTION EXPERIENCES OF THE LEUKEMIA
CHILDREN UNDERGOING CHEMOTHERAPY AT DR. MOEWARDI
LOCAL GENERAL HOSPITAL OF SURAKARTA
Abstract
The increasing number of incidences of leukemia in children with Primary
School age of 6 – 12 years old makes them undergo various therapies for their
recovery. One of them is chemotherapy. However, the chemotherapy that they
undergo has many impacts on their social interaction as their time to play shall be
sacrificed for their therapy. The objective of this research is to investigate how the
social interaction of the leukemia children undergoing chemotherapy takes place.
This research used the qualitative research method with the
phenomenological design. It was conducted from April 01st to April 30
th, 2014.
The participants of this research were four children suffering from leukemia and
undergoing chemotherapy at Dr. Moewardi Local General Hospital of Surakarta.
The data of the research were gathered through in-depth interview and
observation. They were analyzed by using the interactive model of analysis.
The results of the research are as follows: The responses toward the
leukemia disease and the therapy that they undergone are described with blood
cancer and “being injected”. The physiological impacts experienced by the
leukemia children include nausea, hair fall, limpness, moon face, and mucosal
ulceration. In addition, the psychological impacts that they experience are self-
concept disorder, safe and comfortable feeling decrease, and grieving process. The
disruption of their peer relationships makes them more excited to play on their
own. Thus, it can be concluded that 3 out of four participants of this research have
a difficulty in their social interaction with their environment, and their social
contact and communication only occur after the first day of their treatment. It is
due to the fact that the effect of chemotherapy makes them feel different.
Keywords: Social interaction, leukemia, chemotherapy, and children with
Primary School age.
References: 26 (2003-2013)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kronik dan hospitalisasi sering kali menjadi masalah pertama
yang harus dihadapi oleh anak. Anak sangat rentan terhadap dampak dari
hospitalisasi yang terjadi karena stress akibat perubahan dari keadaan sehat
biasa dan rutinitas lingkungan, serta sebagian anak memiliki mekanisme
koping yang terbatas dalam penanganan stressor. Stressor utama yang
dihadapi utama oleh anak ialah perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh,
dan nyeri (Wong 2009). Penyakit kronik merupakan keadaan sakit yang
terjadi lebih dari 12 bulan. Penyakit kronik yang banyak terjadi pada anak
diantaranya asma, diabetes, penyakit jantung, kanker, epilepsi, HIV, dan
anemia (Aritonang 2008).
Kanker merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena
angka kejadian dan kematiannya terus merayap naik. World Health
Organisation (WHO) pada tahun 2008 menyatakan bahwa kanker merupakan
penyakit mematikan yang menduduki posisi kedua di dunia setelah penyakit
kardiovaskuler. Angka kematian di dunia yang disebabkan oleh kanker pada
tahun 2008 ialah sebanyak 7,6 juta orang atau 21 % dari jumlah penyakit
tidak mematikan di dunia. WHO (2003) menjelaskan bahwa, setiap tahun
timbul lebih dari 10 juta kasus penderita baru kanker dengan prediksi
peningkatan setiap tahun kurang lebih 20%. Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) pada tahun 2013 menjelaskan bahwa penderita kanker pada
tahun 2020 jumlahnya akan meningkat hampir 20 juta penderita, 84 juta
orang diantaranya akan meninggal pada sepuluh tahun ke depan bila tidak
dilakukan intervensi yang memadai.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan
prevalensi tumor di masyarakat sebesar 4,3 per 1000 penduduk. Prevalensi
tumor atau kanker tertinggi dilaporkan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), yaitu 9,6 per 1000 penduduk, terendah di Provinsi
Maluku, yaitu 1,5 per 1000 penduduk. Prevalensi tumor atau kanker
umumnya lebih tinggi pada perempuan, sebesar 5,7 per 1000 penduduk
dibandingkan dengan pada laki-laki, sebesar 2,9 per 1000 penduduk
(Kemenkes 2013). Insidensi penderita kanker pada tahun 2020 akan mencapai
20 juta jiwa dan mortalitas mencapai 12 juta jiwa dengan peningkatan
pertumbuhan penduduk yang mencapai 80 miliar, dan terjadi di negara
berkembang (Japaries 2013).
Kanker dapat terjadi pada semua kalangan masyarakat tanpa
memandang umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi. Kanker pada anak
sampai saat ini belum diketahui pasti jumlahnya. Penelitian yang dilakukan
oleh Camargo et al (2009) menyatakan bahwa insiden terjadinya penyakit
kanker pada anak dan remaja berkisar antara 92 – 220 per 1 juta anak. Angka
tertinggi ditemukan pada rentang usia anak 1-4 tahun. Penelitian ini juga
menyatakan bahwa kanker terbanyak yang ditemukan pada anak adalah
leukemia, limfoma dan tumor otak.
Kanker terbanyak yang ditemukan pada anak di China ialah leukemia dengan
insidensi sekitar 2,67/100.000, mendekati Negara Asia lain, namun lebih
rendah dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika ( Japaries 2003).
WHO tahun 2008 menyatakan bahwa insidensi penderita leukemia sebesar
350.434 jiwa atau 2.8%, dan prevalensi selama kurun waktu 5 tahun terakhir
jumlah penderita leukemia sebesar 499.874 jiwa atau 1,7%. Penderita
leukemia di Indonesia tercatat sebesar 11.007 jiwa atau 3,8%. Data registrasi
kanker berbasis rumah sakit di DKI Jakarta tahun 2005, kanker pada anak
usia 0-17 tahun terbanyak adalah leukemia (33,7%). Kanker pada anak
merupakan 4,9% dari kanker pada semua usia. Kanker pada anak lebih
banyak menyerang laki-laki (53,5%) daripada perempuan (46,5%). Upaya
pengendalian penyakit kanker di Indonesia telah banyak dilaksanakan oleh
Depkes dan pihak-pihak lain di luar pemerintah, seperti Yayasan Kanker
Indonesia (YKI), Penanggulangan Kanker Terpadu Paripurna (PKTP), Proyek
Female Cancer Control (FcP), Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI),
Yayasan Kasih Kanker Anak Indonesia (YKAKI), dan lain-lain (Depkes
2009).
Hasil pra penelitian yang peneliti lakukan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta pada tanggal 30 November 2013 didapatkan data bahwa jumlah
penderita leukemia pada tahun 2012 sebesar 151 anak dengan kisaran usia 5-
14 tahun sebanyak 64 anak, sementara pada tahun 2013 diketahui bahwa
penderita leukemia meningkat menjadi 355 anak. Jumlah penderita leukemia,
berdasarkan data pada bulan Oktober sampai November 2013 diketahui
sebanyak 59 anak.
Sebagian besar bahkan hampir seluruh penderita kanker harus
menjalani pengobatan yang menghabiskan waktu lama. Pengobatan utama
yang harus dijalani anak penderita leukemia ialah kemoterapi (Wong 2009).
Kemoterapi merupakan terapi sistemik pertama untuk setiap kanker. Terapi
ini sering kali terdiri atas kombinasi beberapa obat, yang lebih efektif darpada
penggunaan obat tunggal. Kemoterapi juga memiliki beberapa efek samping
yang menyebabkan anak merasa kurang nyaman seperti nyeri, mual, muntah,
rambut rontok, dan lainnya (Rudolph 2007).
Pelaksanaan kemoterapi dan pemantauan kemajuan pengobatan secara
rutin membuat anak harus beberapa kali berkunjung dan menginap di rumah
sakit. Rasa sakit dan rumah sakit sering kali menjadi krisis pertama anak yang
harus dihadapi. Krisis ini disebabkan oleh stres anak terhadap perubahan
keadaan sehat, cedera tubuh, nyeri dan perpisahan yang membuat anak
menjadi kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan dan aktivitas
sosialnya (Wong 2009).
Penderita kanker pada anak merupakan suatu masalah yang sangat
penting yang harus diperhatikan, karena pada fase ini anak usia sekolah (6-12
tahun) mulai memiliki kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan
kelompok teman sebaya, keinginan untuk diterima menjadi anggota
kelompok, dan merasa tidak senang apabila ditolak dalam kelompok. Anak
usia sekolah (6-12 tahun) sudah dapat merasakan rangsangan intelektual,
memperluas hubungan sosial dengan teman sebaya (peer group), serta
kemampuan mengontrol emosi (Yusuf 2009).
Masalah utama seorang anak terhadap penyakit yang dideritanya ialah
ancaman terhadap stressor dan koping yang belum terkontrol. Anak pada usia
sekolah ini sering kali merasa cemas akibat perpisahan dan perubahan akibat
cedera tubuh. Secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan
koping terhadap perpisahan ataupun stres namun anak pada usia sekolah
pertengahan ini memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi dan kerap
tidak sesuai dengan lingkungan rumah sakit, mereka kehilangan rutinitas, dan
merasa khawatir tidak mampu berkompetisi atau “menyesuaikan diri” dengan
teman sebayanya. Kesepian, isolasi sosial, kesulitan berinteraksi dengan
lingkungan dan depresi umum terjadi pada mereka (Wong 2009). Penelitian
yang dilakukan oleh Moore et al (2003) di Amerika menyatakan bahwa anak
yang menderita leukemia dan menjalani kemoterapi mengalami kecemasan
dan kegelisahan yang cukup tinggi dibandingkan anak tanpa kanker.
Penderita leukemia ini cenderung mengalami depresi, penarikan diri, dan
stress sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Katz et al (2010) menjelaskan
bahwa anak yang berusia 7-12 tahun yang mengalami leukemia limfosit akut
memiliki interaksi yang kurang saat bermain dengan teman sebayanya
dibandingkan dengan anak yang sehat.
Penelitian Rizkiana dan Retnaningsih (2009) menyatakan bahwa
leukemia pada anak dan remaja kerap kali menyebabkan keterbatasan pada
semua aktivitas dan perubahan pada kepribadian anak. Banyak hal yang
mempengaruhi keadaan psikologis anak dengan kanker, diantaranya anak
akan merasa bersalah kepada keluarga sementara disisi lain anak sangat
membutuhkan perhatian dikarenakan ketidakberdayaannya.
Berdasarkan penelitian dan litelatur yang ada menjelaskan bahwa
terdapat gangguan interaksi sosial dan koping pada anak yang menderita
kanker, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengalaman interaksi
sosial pada anak yang menderita leukemia disertai terapi kemoterapi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana respon anak mengenai penyakit leukemia dan terapi yang
dijalani ?
2. Bagaimana dampak kemoterapi yang dijalani oleh anak penderita
leukemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ?
3. Bagaimana pengalaman interaksi sosial penderita leukemia pada anak
yang menjalani kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ?
4. Bagaimana mekanisme interaksi sosial penderita leukemia pada anak
yang menjalani kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman dan mekanisme
interaksi sosial penderita leukemia pada anak yang menjalani kemoterapi
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui respon anak mengenai leukemia dan terapi yang dijalani
2. Mengetahui dampak kemoterapi pada anak yang menderita leukemia
3. Mengetahui pengalaman interaksi sosial pada anak penderita leukemia
yang menjalani kemoterapi
4. Mengetahui mekanisme interaksi sosial pada anak penderita leukemia
yang menjalani kemoterapi
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan yang berharga bagi
peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
mengembangkan penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam ilmu
keperawatan khususnya keperawatan anak terhadap interaksi sosial
penderita leukemia yang menjalani kemoterapi
1.4.3 Manfaat bagi Praktisi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan strategi dalam
pemberian dan pendekatan asuhan keperawatan pada anak yang memiliki
penyakit kronik.
1.5 Keaslian Penelitian
Berikut beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian yang peneliti
lakukan yaitu :
Table 1.1 Keaslian penelitian
Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Metode yang
digunakan
Hasil penelitian
Moore IM,
Challinor
J, Pasvogel
A,
Matthay
K, et all
2003
Online
exclusive:
behavioral
adjustment
of children
and
adolescents
with cancer:
teacher,
parent, and
self-report
Metode
penelitian
yang
digunakan
ialah
kuantitatif
dengan desain
descriptive,
cross sectional
design.
Hasil dari
penelitian ini
menjelaskan
bahwa dari 47
anak dan remaja
yang menderita
kanker dan
melakukan semua
terapi terdapat
20% anak dan
remaja yang
mengalami
masalah dalam
kemampuan
beradaptasi,
kecemasan,
menarik diri, dan
depresi.
Katz LF,
Leary A,
Breiger D,
and
Friedman
D 2010
Pediatric
Cancer and
the Quality of
Children’s
Dyadic Peer
Interactions
Penelitian ini
menggunakan
metodologi
jenis Kualitatif,
dengan desain
fenomenologi
Hasil dari
penelitian ini
menjelaskan
bahwa anak yang
berusia 7-12
tahun yang
mengalami
leukemia limfosit
akut memiliki
interaksi yang
kurang saat
bermain dengan
teman sebayanya
dibandingkan
dengan anak yang
sehat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Leukemia
2.1.1 Pengertian Leukemia
Kanker adalah jaringan baru (neoplasma) yang tumbuh dalam
tubuh akibat pengaruh berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan
jaringan setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas
pertumbuhannya (Japaries 2013). Leukemia merupakan istilah luas yang
diberikan pada sekelompok penyakit ganas sumsum tulang dan system
limfatik (Wong 2009).
2.1.2 Penyebab Leukemia
Penyebab leukemia pada manusia tetap belum diketahui, akan
tetapi, beberapa faktor predisposisi atau faktor yang berperan telah
dipengaruhi, termasuk faktor lingkungan dan genetik serta keadaan
imunodefisiensi (Rudolph 2007).
2.1.3 Patofisiologi Leukemia
Leukemia merupak poliferasi tak terbatas sel darah putih yang
imatur dalam jaringan tubuh yang membentuk darah. Sel leukemia bukan
“tumor” namun, memperlihatkan sifat neoplastik yang sama seperti sel
kanker yang solid. Keadaan patologi dan manifestasi klinisnya disebabkan
oleh infiltrasi dan penggantian setiap jaringan tubuh dengan sel leukemia
nonfungsional. Semua tipe pada leukemia, sel yang berpoliferasi menekan
produksi terbentuknya dalam sumsum tulang melalui kompetisi dengan sel
normal dan perampasan hak dalam mendapatkan unusr gizi yang esensial
bagi metabolisme (Wong 2009).
Satu sel induk mutan leukemia mampu memperbaharui diri secara
tidak terhingga, dan menimbulkan precursor hematopoietic berdeferensiasi
buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih
lambat daripada pasangannya yang normal. Pada studi glucosa 6-
phospatdehidrogenase (G6PD), perkembangan uniselular dari neoplasma
telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis G6PD dalam sel ganas
dari pasien hetetrozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan
normal mereka. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal
granulosit, eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi,
anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ
dan menyebabkan pembesaran dan gangguan fungsi organ tersebut
(Rudolph 2007).
Limpa, hati dan kelenjar limfe memperlihatkan infiltrasi,
pembesaran yang nyata, dan pada akhirnya mengalami fibrosis.
Hepatosplenomegali secara khas lebih sering terjadi dari pada
limfadenopati. Lokasi invasi yang paling penting berikutnya adalah system
saraf pusat (SSP) yang terjadi sekunder karena infiltrasi leukemia, yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sel leukemia juga
dapat menginvasi testis, ginjal, prostat, ovarium, saluran gastrointestinal
(GI) dan paru-paru. Semakin banyaknya pasien yang bertahan hidup dalam
jangka waktu lama, lokasi invasi leukemia, khususnya testis, menjadi
semakin penting secara klinis (Wong 2009).
2.1.4 Klasifikasi Leukemia
Menurut Rudolph (2007), leukemia sering diklasifikasikan sesuai sel yang
terkena, seperti:
1. Leukemia Mielogenus Akut (AML)
Merupakan suatu kelompok penyakit heterogen yang
memberikan prognosis buruk. AML terjadi kurang lebih 20% dari
leukemia akut pada anak. Tanda dan gejala yang muncul pada AML
meliputi pucat, demam, nyeri tulang dan perdarah kulit serta mukosa.
2. Leukemia Mielogenus Kronik (CML)
CML adalah suatu keganasan hematologis yang jarang, ditandai
dengan pertumbuhan sel myeloid yang berlebihan dengan
progenitornya, bertanggung jawab kira-kira 1% dari semua anak yang
menderita leukemia. CML merupakan suatu gangguan klonal pada sel
induk hematopoietic pluripoten.
3. Leukemia Limfoblastik Akut (ALL)
ALL dianggap sebagai suatu proliferasi ganas limfoblas. Paling
sering terjadi pada anak, dengan laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan, dengan puncak insiden pada usia 4 tahun. Setelah usia 15
tahun, ALL jarang terjadi. Manifestasi yang sering muncul ialah nyeri
karena pembesaran limpa atau hati, sakit kepala, muntah karena
keterlibatan meninges, dan nyeri tulang.
4. Leukemia Limfoblastik Kronik (CLL)
CLL merupakan kelainan ringan yang terutama mengenai
individu antara usai 50 sampai 70 tahun. Manifestasi yang mungkin
terjadi adalah sehubungan dengan adanya anemia, infeksi, atau
pembesaran nodus limfe dan organ abdominal. Jumlah eritrosit dan
trombosit mungkin normal atau menurun, namun terjadi penurunan
jumlah limfosit.
2.1.5 Penatalaksanaan Terapi Leukemia
Menejemen kanker pada anak dapat dilakukan dengan terapi
modalitas yaitu, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan (Rudolph 2007).
1. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi sistemik pertama untuk setiap
kanker. Kemoterapi bertujuan untuk membunuuh sel kanker dengan
beragam jenis obat (agen antineoplastik). Obat ini digunakan karena sel
kanker memiliki kemampuan untuk berkembang melawan kemoterapi.
Kemoterapi dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuscular,
subkutan, atau intrathecal (melalui sumsum tulang belakang).
2. Radioterapi
Terapi radiasi dapat memberikan kesembuhan untuk menghapus
penyakit atau meringankan penggunaan dosis dalam mencegah
pertumbuhan lanjut dari tumor. Radiasi dapat diberikan dengan dosis
yang sedikit, dimana dosis harian dibagi menjadi dosis yang lebih kecil
lalu diberikan untuk meminimalisirkan efek samping dan meningkatkan
proses pembunuhan sel tumor dengan cara menurunkan waktu
perbaikan sel diantara dosis tersebut.
3. Pembedahan
Pembedahan merupakan tindakan atau terapi yang juga sering
digunakan pada anak. Namun, pembedahan tertentu diperlukan untuk
berbagai alasan. Pembedahan mungkin dipilih sebagai metode
pengobatan primer atau mungkin sebagai metode diagnostik, profilakif,
paliatif, atau rekonstruktif.
4. Terapi Biologis
Terapi biologis merupakan metode terapi sistemik yang sangat
prospektif, namun pada saat ini efektivitasnya masih kurang sehingga
belum dapat dipakai luas secara klinis.
2.2 Kemoterapi
2.2.1 Pengertian
Kemoterapi adalah metode terapi sistemik terhadap kanker sistemik
(misal, leukemia, myeloma, limfoma, dll) dan kanker dengan metastasis
klinis ataupun subklinis. Pada kanker stadium lanjut kemoterapi sering
menjadi pilihan metode terapi yang paling efektif (Japaries 2013).
Kemoterapi adalah penggunaan preparat antineuplastik sebagai upaya
untuk membunuh sel kanker dengan menggunakan fungsi dan reproduksi
selular (Wong 2009).
2.2.2 Tahapan Kemoterapi
Kemoterapi terdiri atas 4 fase, yaitu fase induksi, terapi profilaksis
Sistem Saraf Pusat (SSP), terapi intensifikasi, terapi rumatan (Wong
2009).
Pengobatan pada fase induksi dimulai dan berlangsung selama 4
hingga 6 minggu. Obat utama yang digunakan pada induksi adalah
glukokortikoid (deksametason atau prednisone), alkaloid tumbuhan
(vinkristin), dan enzim asparaginase. Obat ini segera berfungsi
menghancurkan sel leukemia, dengan toksisitas organ yang minimal dan
gangguan hematopoesis normal yang minimal. Kemoterapi modern dan
terapi supportif, menunjukkan 97-98% anak dapat mencapai remisi yang
sempurna. Tercapai remisi yang sempurna yaitu, jika sel leukemia tidak
ditemukan lagi secara morfologi, maka tujuan selanjutnya adalah
meneruskan perusakan sisa-sisa limfoblas sampai kadar yang sesuai
dengan keadaan sembuh (Rudolph 2007).
Penanganan SSP terdiri atas terapi profilaksis melalui kemoterapi
intratekal dengan metotreksat, sitarabin, dan hidrokortison. Terkadang
metotreksa dan sitarabin dapat disuntikan secara intratekal sebagai agen
tunggal, karena adanya kekhawatiran terhadap efek samping iradiasi
kranial, terapi ini hanya dilakuakan pada pasien yang beresiko tinggi dan
yang memiliki penyakit SSP (Wong 2009).
Terapi intensifikasi atau konsolidasi dilakukan setelah remisi total
tercapai sempurna, terapi intensifikasi atau konsolidasi dilaksanakan untuk
menghilangkan sel leukemia yang masih tersisa. Terapi ini diikuti oleh
terapi intensifikasi lambat (delayed intensification) untuk mencegah
munculnya klon leukemia yang resisten. Obat yang biasa diberikan pada
tahap ini adalah L- asparaginase, metotreksat dosisi tinggi atau sedang,
sitarabin, vinkristin, dan merkaptopurin, selama beberapa bulan (Wong
2009).
Terapi rumatan dimulai sesudah terapi induksi dan konsolidasi
selesai dan berhasil dengan baik untuk memelihara remisi, selanjutnya
mengurangi jumlah sel leukemia. Terapi ini berlangsung intensif selama 2
sampai 3 tahun. Hal ini ditujukan untuk membunuh sel blast disamping
mempertahankan system imun penderita. Obat yang biasa digunakan pada
fase ini adalah merkaptopurin (6 MP) yang diberikan setiap hari disertai
metotreksat dosis mingguan. Prednison dan vinkristin juga sering
diberikan karena membantu menurunkan angka kekambuhan.
2.2.3 Komplikasi
2.2.3.1 Komplikasi Biologis
Wong (2009) menjelaskan bahwa efek samping yang sering terjadi akibat
dari kemoterapi yaitu:
1. Mual dan muntah
Mual dan muntah yang terjadi sesaat setelah pemberian
beberapa obat kemoterapi dan yang disebabkan oleh radiasi
cranium atau abdomen setelah dilakukannya terapi radiasi.
Ondansetrol merupakan salah satu contoh obat yang sering
digunakan untuk mengurangi mual dan muntah sesudah kemoterapi
dan radioterapi.
2. Anoreksia
Penurunan selera makan merupaan akibat langsung yang
ditimbulkan oleh kemoterapi atau iradiasi. Keadaan ini merupakan
persoalaan untama bagi orang tua karena mereka merasa bahwa
selera makan adalah tanggung jawab mereka. Jika penurunan selera
makan dan berat badan terus terjadi, maka harus diselidiki situasi
keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang
menyebabkan anak tidak mau makan (misal, stress, perilaku
mengontrol, kemarahan) yang akan menimbulkan masalah.
Pemberian makan melalui sonde atau selang nasogastrik (NGT)
atau total parentral nutrision (TPN) dapat dilakukan dengan anak
yang mengalami masalah nutrisi signifikan.
3. Ulserasi Mukosa
Salah satu efek samping yang paling menimbulkan distress
dalam pemberian obat kemoterapi adalah kerusakan sel mukosa
gastrointestinal, yang dapat menimbulkan ulkus dimana pun di
sepanjang saluran pencernaan. Ulkus pada mulut akan
memperberat gejala anoreksia pada anak karena proses makan
menjadi tidak menyenangkan.
4. Sistitis Hemoragical
Sistitis hemoragical merupakan efek samping dari iritasi
kimiawi pada kandung kemih akibat penggunaan siklofosfamid dan
obat oral lainnya. Hal ini dapat dikurangi dan dicegah dengan
meningkatkan asupan cairan (sedikitnya satu setengah kali dari
kebutuhan cairan yang dianjurkan per hari), sering berkemih
dengan segera setelah pasien merasa ingin berkemih, sebelum tidur,
ataupun bangun tidur, dan memberikan obat pada dinihari untuk
memungkinkan asupan cairan yang memadai dan memungkinkan
berkemih.
5. Alopesia
Kerontokan rambut merupakan efek samping yang lazim
terjadi pada pemberian beberapa kemoterapi dan iradiasi kranial,
walaupun tidak semua anak mengalami kerontokan rambut sewaktu
menjalani terapi. Mengingatkan orang tua dan anak mengenai
kemungkinan efek samping ini lebih baik daripada membiarkan
mereka berfikir bahwa kemungkinan tersebut hanya kecil sekali.
Topi dari kain katun yang lembut merupakan tutup kepala yang
paling nyaman bagi anak. Topi dari kain polyester akan
meningkatkan perspirasi dan rasa gatal. Pilihan tutup kepala yang
lain ialah kerudung, kopiah, atau wig (rambut palsu).
6. Moon Face
Terapi steroid jangka pendek tidak akan menimbulkam
toksisitas akut tetapi menghasilkan dua reaksi yang
menguntungkan, yaitu pengingkatan selera makan dan perasaan
lebih sehat. Steroid akan mengakibatkan perubahan citra tubuh,
walaupun secara klinis tidak signifikan tetapi dapat menimbulkan
distress yang bermakna bagi anak yang lebih besar. Salah satu
perubahan citra tubuh yang terjadi ialah wajah anak menjadi lebih
bulat dan tembam (moon face), karena perubahan ini anak sering
kali mendapat ejekan dari teman sebayanya. Kita harus menghibur
anak dan menjelaskan bahwa setelah pemberian obat dihentikan
maka wajah akan kembali seperti semula.
2.2.3.2 Komplikasi Psikologis
Komplikasi psikologis yang sering terjadi pada anak diantaranya
dijelaskan oleh Moore et al (2003), bahwa dari 47 anak dan remaja yang
menderita kanker dan melakukan semua terapi terdapat 20% anak dan
remaja yang mengalami masalah dalam kemampuan beradaptasi,
kecemasan, menarik diri, dan depresi. Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Katz et al (2010), bahwa anak yang berusia 7-12 tahun yang
mengalami leukemia limfosit akut memiliki interaksi yang kurang saat
bermain dengan teman sebayanya dibandingkan dengan anak yang sehat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Larouche SS, dan Peuckert C, (2006)
menyatakan bahwa anak yang menjalani perawatan kanker mengalami
gangguan terhadap citra dirinya, hal ini ditandai dengan perkataan bahwa
mereka “jelek”, “saya tampak sakit”, “saya tidak normal”, dan hal tersebut
berujung pada penarikan diri dari lingkungan sosialnya. Hal berbeda
diungkapkan oleh penelitian Rizkiana U dan Retnaningsih (2008), bahwa
anak mampu menerima dirinya dengan baik. Hal tersebut ditunjukan
dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri dan mengenali apa yang
menjadi kekurangan dan kelebihannya serta adanya harapan yang realistis
terhadap keadaan diri dan tidak merasa rendah diri dengan adanya
penyakit yang dialami. Selain itu anak memiliki keluarga yang sangat
mendukung harapannya dan teman-teman serta lingkungan yang bersikap
baik sehingga anak mempunyai penerimaan diri yang baik sebagai
penderita leukemia.
Setiap anak memiliki cara tersendiri dalam mengatasi stresor yang
mereka alami terhadap hospitalisasi dan pengobatan kenker yang
memerlukan waktu yang panjang dan lama (Wong 2009). Penelitian Fitri
AR dan Fensi (2008) menerangkan bahwa anak yang menjalani
pengobatan kanker mengatasi tingkat stres mereka dengan berfokus pada
aspek positif yaitu, jika mereka sembuh maka mereka akan dapat kembali
melakukan semua aktivitas yang biasa mereka lakukan, selain itu juga
mereka berfikiran bahwa mereka rela mengikuti pengobatan dalam jangka
waktu lama demi kesembuhan. Rizkiana U dan Retnaningsih (2009)
menjelaskan bahwa penanganan stressor pada anak dapat diatasi dengan
baik jika mereka mampu menerima dirinya dengan baik, hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri dan mengenali
apa yang menjadi kekurangan dan kelebihannya serta adanya harapan yang
realistis terhadap keadaan diri dan tidak merasa rendah diri dengan adanya
penyakit yang dialami.
2.3 Tahap Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
2.3.1 Pengertian Perkembangan
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif
dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir
sampai mati. Pengertian lain perkembangan adalah perubahan yang
dialami individu atau organisme untuk menuju tingkat kedewasaannya
atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progesif, dan
berkesinambungan, baik fisik maupun psikis (Yusuf 2012).
2.3.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
Yusuf (2012) menjelaskan bahwa tugas perkembangan pada anak
usia sekolah (6-12 tahun) yaitu:
1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai
makhluk sosial
3. Belajar bergaul dengan teman sebaya
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin
5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung
6. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari
7. Mengembangkan kata hati
8. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok social dan
lembaga.
2.3.3 Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial pada anak sekolah ditandai dengan adanya
perluasan hubungan, selain dengan keluarga dia mulai membentuk
hubungan ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman
sekelas. Pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan untuk
menyesuaikan diri sendiri kepada sikap yang koopratif (bekerja sama) atau
sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak mulai
berminat terhadap kegiatan teman sebayanya, dan bertambah kuat
keinginannya untuk dapat diterima menjadi anggota kelompok, mereka
merasa tidak senang apabila tidak diterima di kelompoknya (Yusuf 2012).
2.3.4 Perkembangan Emosi
Pada fase ini anak mulai menyadari penggunaan emosi secara kasar
tidaklah diterima oleh masyarakat. Kemampuan mengontrol emosi
diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses
peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah
berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluaga yang
suasana emosinya stabil maka perkembangan emosi anak akan stabil.
Emosi yang secara umum dilamai oleh anak usia sekolah ini adalah marah,
takut, cemburu, iri hati, kasih saying, rasa ingin tahu, dan kegembiraan.
2.4 Interaksi Sosial
2.4.1 Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang menyangkut
hubungan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok dalam bentuk kerja sama, persaingan, ataupun
pertikakian (Sunaryo 2013).
2.4.2 Jenis Interaksi Sosial
Menurut Maryati dan Suryawati (2003) interaksi sosial dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Interaksi antara individu dan individu
Dalam hubungan ini bisa terjadi interaksi positif ataupun negatif.
Interaksi positif, jika jika hubungan yang terjadi saling menguntungkan.
Interaksi negatif, jika hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau
keduanya (bermusuhan).
2. Interaksi antara individu dan kelompok
Interaksi ini pun dapat berlangsung secara positif maupun negatif.
Bentuk interaksi sosial individu dan kelompok bermacam - macam sesuai
situasi dan kondisinya.
3. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok
Interaksi sosial kelompok dan kelompok terjadi sebagai satu
kesatuan bukan kehendak pribadi. Misalnya, kerja sama antara dua
perusahaan untuk membicarakan suatu proyek.
2.4.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Sunaryo (2013) menjelaskan bahwa syarat terjadinya interaksi sosial terdiri
dari dua syarat, yaitu :
1. Kontak sosial, yaitu hubungan sosial antara individu satu dengan
individu lain yang bersifat langsung, seperti dengan sentuhan, percakapn,
maupun tatap muka sebagai wujud aksi dan reaksi.
2. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari seseorang kepada
orang lain yang dilakukan secara langsung maupun dengan alat bantu
agar orang lain memberikan tanggapan atau tindakan tertentu.
2.4.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial
Soekanto (2013) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi
sosial terdiri dari :
1. Sugesti yaitu, proses pemberian pandangan atau pengaruh kepada orang
lain dengan cara tertentu sehingga pendangan atau pengaruh tersebut
diikuti tanpa berfikir panjang. Contoh : Seorang remaja putus sekolah
akan dengan mudah ikut-ikutan terlibat kenakalan remaja. Tanpa
memikirkan akibatnya kelak .
2. Imitasi yaitu, pembentukan nilai melalui dengan meniru cara-cara orang
lain. Contoh: Seorang anak sering kali meniru kebiasan-kebiasan orang
tuanya .
3. Identifikasi yaitu, menirukan dirinya menjadi sama dengan orang yang
ditirunya. Contoh: Seorang anak laki - laki yang begitu dekat dan akrab
dengan ayahnya suka mengidentifikasikan dirinya menjadi sama
dengan ayahnya .
4. Simpati yaitu, perasaan tertarik yang timbul dalam diri seseorang yang
membuatnya merasa seolah-olah berada dalam keadaan orang lain.
Contoh: mengucapkan ulang tahun pada hari ulang tahun merupakan
wujud simpati pada seseorang.
5. Empati yaitu, rasa haru ketika seseorang melihat orang lain mengalami
sesuatu yang menarik perhatian. Empati merupakan kelanjutan rasa
simpati yang berupa perbuatan nyata untuk mewujudkan rasa
simpatinya. Contoh: apabila kita melihat seseorang yang kecelakaan
kita berempati untuk ikut membantu korban kecelakaan itu.
6. Motivasi yaitu, dorongan yang mendasari seseorang untuk melakukan
perbuatan berdasarkan pertimbangan rasionalistis. Motivasi dalam diri
seorang muncul disebabkan faktor atau pengaruh dari orang lain
sehingga individu melakukan kontak dengan orang lain. Contoh :
Pemberian tugas dari seorang guru kepada muridnya merupakan salah
satu bentuk motivasi supaya mereka mau belajar dengan rajin dan
penuh rasa tanggung jawab.
2.5 Kerangka Berfikir
Gambar 2.1 Kerangka pikir penelitian
Kanker
leukemia pada
anak
Psikologis
Hospitalisasi
Penatalaksanaan
Kemoterapi
Gangguan interaksi kelompok
teman sebaya
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bentuk dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan
strategi atau desain fenomenologi. Sumantri (2011) menegaskan bahwa
penelitian kualitatif merupakan sejenis penelitian formatif yang secara
khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban atau informasi
mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang. Dalam penelitian ini
juga bermaksud untuk memahami fenomena yang sesungguhnya terjadi pada
anak yang menderita leukemia dan dalam pengobatan kemoterapi.
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah
fenomenologi, dimana desain ini memandang perilaku manusia, apa yang
mereka katakan dan apa yang mereka lakukan, adalah sebagai suatu produk
dari bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri
(Sutopo 2006). Penelitian fenomenologi menjelaskan atau mengungkapkan
makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran
yang terjadi pada beberapa individu (Sumantri 2011).
Responden yang peneliti pilih dalam penelitian ini ialah pasien anak
usia 6-12 tahun yang terdiagnosa leukemia dan dalam masa pengobatan
kemoterapi. Tahap awal yang peneliti lakukan ialah mengidentifikasi kriteria
partisipan sesuai keinginan peneliti, setelah itu peneliti memulai menjalin
hubungan saling percaya dengan calon partisipan dan keluarga partisipan,
serta menjelaskan maksud dan tujuan proses penelitian yang dilakukan.
Apabila calon partisipan merasa setuju maka peneliti memberikan lembar
persetujuan (informed consent). Selanjutnya, setelah partisipan setuju secara
sukarela untuk mengikuti penelitian ini barulah peneliti memulai tahap awal
membina hubungan dengan orang tua partisipan, maka langkah selanjutnya
peneliti memulai wawancara dengan partisipan.
3.2 Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan purposive sampling. Dimana teknik
penelitian ini menekankan pada pengambilan sample sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut
yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin
sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek
atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono 2013). Teknik sampling bersifat
purposive karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan
kedalaman data didalam menghadapi realitas yang tidak tunggal (Sutopo
2006).
Narasumber yang digunakan pada penelitian ini ialah 4 orang anak
yang menderita leukemia dan dalam masa pengobatan. Kriteria sampel yang
peneliti tentukan antara lain:
1. Anak usia sekolah (6-12 tahun)
2. Anak yang menderita leukemia dan dalam masa pengobatan
kemoterapi
3. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik
4. Partisipan yang bersedia menjadi responden serta, mau memberikan
informasi mengenai interaksi sosialnya.
3.3 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan daerah
Surakarta.
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Provinsi Jawa Tengah selama 4 minggu yaitu pada tanggal 1 April 2014
sampai dengan 30 April 2014.
3.5 Sumber Data
Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan
bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan
menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan
data atau kedalaman informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa
diperoleh tanpa adanya sumber data (Sutopo 2006). Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini berasal dari:
1. Informan
Sumber data yang berasal dari informan pada penelitian
kualitatif memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber
informasi. Informan yang digunakan pada penelitian ini ialah partisipan
anak usia 6-12 tahun yang terdiagnosa leukemia dalam masa
pengobatan kemoterapi, orangtua narasumber (anak) dan seorang dokter
yang menangani anak di rumah sakit
2. Tempat dan Peristiwa
Penelitian ini dilakukan di ruang Melati II RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dengan mengobservasi perubahan perilaku anak usia 6-12
tahun yang terdiagnosa leukemia dan dalam masa pengobatan
kemoterapi terhadap interaksi sosianya kepada lingkungan sekitar.
Teknik observasi yang digunakan pada penelitian ini ialah untuk
melihat respon anak mengenai penyakit dan terapi yang harus dijalani,
dampak dari kemoterapi yang terdapat pada anak, dan proses anak
untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya
3. Dokumen
Sumber data berupa dokumen atau arsip biasanya merupakan
bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas
tertentu. Sumber yang telah disebutkan kebanyakan merupakan
rekaman tertulis, namun juga bisa berupa gambar atau benda
peninggalan (Sutopo 2006). Sesuai dengan penjelasan diatas, penelitian
ini menggunakan dokumen yang berupa rekam medis yang mencatat
semua perkembangan dan terapi yang dilakuakan pada anak.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan atal re-cheking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian kualitatif adalah
wawancara mendalam (Sumantri 2011). Informasi dari sumber data ini
dikumpulkan dengan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif
khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam
(in-depth interviewing). Wawancara akan dihentikan oleh peneliti
ketika semua jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo 2006).
Selama penelitian peneliti melakukan wawancara kepada
partisipan anak, orangtua partisipan dan seorang dokter yang
menangani anak dirumah sakit.
a) Partisipan
Pengumpulan informasi menggunakan teknik wawancara
mendalam (in-depth interviewing) dengan pertanyaan yang bersifat
terbuka. Peneliti akan menggali informasi tentang pengetahuan
partisipan mengenai penyakitnya dan terapi yang harus dilakukan,
dampak yang dirasakan oleh partisipan selama melakukan
kemoterapi, cara partisipan menangani masalah yang dihadapi,
hubungan partisipan dengan keluarga sebelum dan selama sakit
dan hubungan partisipan dengan teman sebayanya sebelum dan
selama sakit.
b) Orangtua Partisipan
Pengumpulan informasi menggunakan teknik wawancara
mendalam (in-depth interviewing) dengan pertanyaan yang bersifat
terbuka. Peneliti akan menggali informasi tentang berapa lama
partisipan menderita leukemia sejak awal didiagnosa, perubahan
yang terjadi pada partisipan selama sakit, hubungan partisipan
dengan keluarga dan teman-teman sebayanya, kerjasama partisipan
saat melakukan terapi dan cara partisipan untuk meringankan
masalah yang dihadapinya.
c) Dokter Residen Anak
Pengumpulan informasi menggunakan teknik wawancara
mendalam (in-depth interviewing) dengan pertanyaan yang bersifat
terbuka. Peneliti akan menggali informasi tentang dampak yang
ditimbulkan dari kemoterapi baik secara fisiologi ataupun
psikologi anak, gangguan interaksi yang terjadi pada partisipan,
intervensi yang dilakukan agar partisipan tetap berinteraksi dan
menjalankan tugas perkembangan seperti anak normal, penerimaan
psikologi partisipan terhadap penyakitnya, fasilitas yang diberikan
kepada partisipan agar tetap dapat bermain dan berinteraksi, dan
solusi untuk mempertahankan interaksi yang baik kepada anak
yang menjalani kemoterapi.
2. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data pada
penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung. Dalam
observasi ini peneliti mendatangi langsung tempat penelitian dan
mengamati secara langsung proses interaksi pada anak baik dengan
keluarga dan teman sebaya, dampak langsung yang ditimbulkan dari
kemoterapi dan proses anak untuk menjalin interaksi yang baru dengan
teman sebaya. Selain itu, peneliti mengamati ekspresi wajah, kontak
mata, dan keterbukaan dalam pembicaran.
3. Analisis Dokumen
Sumber data dan dokumen pada penelitian ini diperoleh dari
rekam medis rumah sakit yang mencatat perekembangan dan terapi
yang dijalani oleh partisipan. Data dari sumber tersebut kemudian
dianalisis sehingga dapat memperkuat hasil penelitian peneliti.
3.7 Validitas Data
Data yang telah berhasil digali di tempat penelitian, dikumpulkan
dan dicatat dalam kegiatan penelitian, bukan hanya untuk kedalaman dan
kemantapannya tetapi juga kemantapan dan kebenarannya, karena hal
tersebut maka peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara yang tepat
untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas data ini
merupakan jaminan bagi kematangan simpulan dan tafsir makna sebagai
hasil penelitian (Sutopo 2006).
Adapun dalam penelitian kualitatif karena pengambilan sampelnya
secara purposive dan jumlahnya sedikit, maka agar validitas data tetap
terjaga perlu dilakukan beberapa strategi. Uji validitas data yang digunakan
dalam penelitian kualitatif disebut triangulasi (Sumantri 2011).
Penelitian kualitatif memiliki beberapa cara yang dapat digunakan
untuk mengembangkan validitas data penelitian. Cara tersebut antara lain
berupa beberapa macam teknik triangulasi (triangulation) yaitu :
1. Triangulasi Data
Teknik triangulasi data yang peneliti gunakan pada penelitian ini
ialah partisipan berusia 6-12 tahun yang menderita leukemia dan sedang
dalam masa pengobatan, orangtua partisipan, dan seorang dokter
residen anak. Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam
mengumpulkan data wajib menggunakan beragam sumber data yang
berbeda dari yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan
lebih mantap kebenarannya bila diganti dari beberapa sumber data yang
berbeda. Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu,
bisa lebih teruji kebenarannya bila dibandingkan dengan data sejenis
yang diperoleh dari sumber yang berbeda, baik kelompok sumber
sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo 2006).
2. Triangulasi Metode
Teknik triangulasi ini lebih menekankan pada penggunaan
metode pengumpulan data yang berbeda, peneliti menggunakan metode
wawancara untuk mendapatkan informasi secara jelas dan rinci dan
juga menggunaka metode observasi untuk memperkuat hasil dari
wawancara yang telah peneliti lakukan. Memantapkan validitas data
mengenai suatu keterampilan seseorang dalam bidang tertentu,
kemudian dilakukan wawancara mendalam pada informan yang sama,
dan hasilnya diuji dengan pengumpulan data sejenis menggunakan
teknik observasi pada saat orang tersebut melakukan kegiatan atau
perilakunya (Sutopo 2006).
3. Triangulasi Peneliti
Triangulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun
simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji
validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan jurnal penelitian yang membahas masalah yang sama
dengan penelitian yang peneliti lakukan, hasil skripsi dan tesis dari
universitas lainnya. Pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa
peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan
yang berupa catatan, dan bahkan sampai dengan simpulan sementara,
diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa
lebih memantapkan hasil akhir penelitian (Sutopo 2006).
4. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan
menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas
permasalahan yang dikaji. Peneliti menggunakan beragam teori yang
membahas mengenai leukemia pada anak, dampak dari kemoterapi dan
proses dalam berinteraksi sosial.
3.8 Analisis Data
Proses analisis data yang digunakan pada penelitian kualitatif ialah
bersifat induktif, dalam hal ini dijelaskan bahwa analisis sama sekali tidak
dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian,
tetapi semua simpulan yang dibuat sampai dengan teori yang mungkin
dikembangkan, dibentuk dari semua data yang telah berhasil ditemukan dan
dikumpulkan di lapangan (Sutopo 2006).
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis
terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai
setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan
pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap
kredibel (Sugiyono 2013).
Sifat analisis induktif ini sangat berkaitan dengan kelenturan dan
keterbukaan penelitian seperti telah dinyatakan sejalan dengan karakteristik
metodologi penelitian kualitatif. Sifat analisis indukif sangat menekankan
pentingnya apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang
pada dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam
kondisi alamiahnya. Dalam penelitian ini analisis induktif yang digunakan
adalah teknik analisis interaktif, yaitu setiap data yang diperoleh dari
lapangan selalu diinteraksikan atau dibandingkan dengan unit data yang lain
(Sutopo 2006).
Adapun model analisis interaktif ini digambarkan dalam bagan sebagai
berikut :
Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Miles & Huberman (Sutopo 2006).
Pengumpulan
data
Penarikan
kesimpulan/verifikasi
Reduksi data Sajian data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1 Lokasi Penelitian
RSUD Dr. Moewardi merupakan salah satu rumah sakit tipe A
terbesar negeri yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang
berada di daerah Surakarta. RSUD Dr. Moewardi terletak di jalan Kolonel
Sutarto No 132 Surakarta. RSUD Dr. Moewardi terdiri dari banyak SMF/
bagian, mulai dari SMF kesehatan anak sampai dengan SMF jiwa.
SMF/ bagian yang peneliti gunakan pada penlitian ini ialah SMF/
bagian anak, atau yang lebih sering dikenal dengan ruang perawatan anak.
Ruang perawatan anak tersebut terletak di lantai II, ruang Melati II. Jenis
pelayananan yang disediakan di ruang Melati II ialah pelayanan pasien
kelas III yang terdiri dari pasien askes, umum, jamkesmas, jamkesda dan
PKMS. Kapasitas ruang Melati II terdiri dari 62 tempat tidur yaitu 40
tempat tidur untuk anak, dan 22 tempat tidur untuk onkologi yang akan
dilakukan tindakan kemoterapi. Ruang Melati II juga memiliki ruang
bermain yang bernama “Indria Husada” dan ruang isolasi.
Ruang Melati II memiliki 8 kamar rawat inap, dan yang peneliti
gunakan pada penelitian ini ialah kamar 7. Kamar 7 terletak di depan
ruang bermain “Indria Husada” dan berada di samping belakang counter
perawat. Kamar 7 merupakan kamar khusus yang digunakan oleh anak
yang menderita kanker dan harus menjalani kemoterapi. Ruangan ini
berukuran 3x6m yang terdiri dari 8 tempat tidur, yaitu 6 tempat tidur
berada diluar dan 2 tempat tidur berada di ruang isolasi yang dibatasi
dengan pintu kaca.
Kamar 7 merupakan kamar yang berudara panas, dikarenakan
hanya terdapat 4 buah jendela dan banyaknya jumlah pasien yang harus
melakukan kemoterapi. Setiap tempat tidur pada kamar ini hanya dibatasi
dengan gorden anatara satu tempat tidur dan tempat tidur lainnya.
Peneliti menggunakan RSUD Dr. Moewardi karena RSUD Dr.
Moewardi merupakan rumah sakit rujukan sekarisidenan Surakarta yang
bertipe A. Rumah sakit ini juga memiliki angka kejadian kanker leukemia
terbanyak pada anak dibandingkan dengan rumah sakit lainnya yang
berada di Surakarta.
4.1.2 Karakteristik Partisipan
Partisipan pada penelitian ini ialah anak yang menderita kanker
leukemia yang terdiri dari 4 orang, yaitu 2 orang laki-laki dan 2 orang
perempuan. Rentang usia partisipan pada penelitian ini ialah mulai dari 7-
12 tahun. Jenis kanker yang diderita partisipan pada penelitian ini ialah 1
orang partisipan menderita Leukemia Mielogenus Akut (AML), dan 3
orang partisipan menderita Leukemia Limfoblastik Akut (ALL). Sebagian
besar tingkat pendidikan partisipan pada penelitian ini adalah Sekolah
Dasar. Lama proses pengobatan yang dialami partisipan pada penelitian ini
bervariasi mulai dari 2 minggu-28 minggu.
1. Partisipan 1 (P1)
Partisipan 1 adalah seorang anak berjenis kelamin perempuan
dengan usia 7 tahun 6 bulan. Partisipan ini menderita Leukemia
Limfoblastik Akut (ALL) dengan lama pengobatan 14 minggu dan
sudah menjalani kemoterapi sebanyak 24 kali. Tingkat pendidikan
partisipan ini ialah kelas 1 Sekolah Dasar. Partisipan merupakan anak
pertama dari dua bersaudara.
2. Partisipan 2 (P2)
Partisipan 2 adalah seorang anak berjenis kelamin laki-laki
dengan usia 12 tahun. Partisipan ini menderita Leukemia Mielogenus
Akut (AML) disertai dengan bronkopnemonia, lama pengobatan yang
sudah dijalani ialah 4 minggu dan sudah menjalani kemoterapi
sebanyak 10 kali. Tingkat pendidikan partisipan ialah kelas 6 Sekolah
Dasar. Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
3. Partisipan 3 (P3)
Partisipan 3 adalah seorang anak yang berjenis kelamin
perempuan dengan usia 11 tahun 4 bulan. Partisiapan menderita
Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) dengan lama pengobatan 28
minggu, partisipan sudah menjalani kemoterapi selama 78 kali.
Tingkat pendidikan partisipan ialah kelas 6 Sekolah Dasar. Partisipan
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
4. Partisipan 4 (P4)
Partispan 4 merupakan anak yang berjenis kelamin laki-laki
dengan usia 7 tahun. Partisipan menderita Leukemia Limfoblastik
Akut (ALL) dengan lama pengobatan 4 minggu dan sudah menjalani
kemoterapi sebanyak 12 kali. Tingkat pendidikan partisipan ialah
kelas 1 Sekolah Dasar. Partisipan merupakan anak kedua dari dua
bersaudara.
4.2 Sajian Data
Pengalaman interaksi sosial pada anak yang menderita leukemia dan
menjalani kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta diperoleh data
melalui wawancara dan observasi kepada 4 orang partisipan. Wawancara ini
digunakan untuk memperoleh data mengenai interaksi sosial anak yang
menjalani kemoterapi. Berikut sajian data mengenai pengalaman interaksi
sosial pada anak penderita leukemia yang menjalni kemoterapi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta meliputi : (1) respon terhadap penyakit leukemia dan
terapi yang dijalani, (2) dampak kemoterapi pada anak penderita leukemia,
(3) pengalaman interaksi sosial anak penderita leukemia dan (4) mekanisme
interaksi sosial pada anak penderita leukemia yang menjalani kemoterapi.
4.2.1 Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani
Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani pada
anak yang melakukan kemoterapi diperoleh data berdasarkan hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti digolongkan
menjadi dua yaitu pengetahuan terhadap penyakit dan pengetahuan
terhadap terapi yang dijalani. Berdasarkan pengetahuan terhadap penyakit
yang diderita anak diperoleh bahwa 2 dari 4 partisipan, yaitu partisipan 1
(P1) dan partisipan 3 (P3) dapat menjelaskan pengertian dari leukemia
ialah kanker darah. Sementara 2 partisipan lainnya hanya terdiam saat
peneliti mengajukan pertanyaan. Pada penelitian ini peneliti juga
melakukan wawancara kepada orangtua partisipan mengenai pengetahuan
tentang pengertian leukemia.
Berikut adalah pernyataan partisipan saat diwawancarai :
Partisipan 1 (P1) : “leukemia itu kanker darah”
Pernyataan diatas didukung oleh orangtua dari partisipan :
Orangtua (P1) : “iya mba, dia tau kalau dia sakit leukemia.
tapi cuma sebatas kanker darah gitu aja
mba”
Hasil pernyataan diatas didukung dari observasi yang dilakukan
peneliti bahwa partisipan menjawab pertanyaan peneliti dengan singkat
dan hanya berdasarkan pengetahuannya. Tidak terjalinnya kontak mata
selama proses wawancara berlangsung antara peneliti dan partisipan 1
(P1), kontak mata hanya terjalin pada Partisipan 3 (P3). Partisipan
hanya berbaring ditempat tidur saat menjawab pertanyaan peneliti dan
ekspresi wajah responden terlihat datar, namun hal tesebut tidak terlihat
pada Partisipan 3 (P3), ekspresi wajah Partisipan 3 (P3) terlihat senang
dan ceria saat diwawancarai.
Pengetahuan mengenai jenis terapi yang harus dijalani pada
anak penderita leukemia diperoleh hasil melalui wawancara bahwa 3
dari 4 partisipan dapat menjelaskan bahwa penatalaksanaan yang harus
dilakukan ialah dengan kemoterapi, dan partisipan mengistilahkan
kemoterapi sebagai “di suntik”. Partisipan pada penelitian ini juga dapat
mengekspresikan kemoterapi dengan rasa sakit.
Berikut pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan :
Partisipan 2 (P2) : “kemo itu disuntik.. sakiiit mba”
Partisipan 3 (P3) : “di kemo mba, kemo itu dikasih obat lewat
suntikan mba, rasanya panas”
Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data
bahwa Partisipan 1 (P1) dan Partisipan 2 (P2) menunjukkan ekspresi
wajah yang muram dan tidak ada kontak mata saat peneliti melakukan
wawancara. Partisipan lebih banyak diam selama proses wawancara
berlangsung. Partisipan terlihat lemas dan hanya berbaring ditempat
tidur. Sementara pada partisipan 3 (P3) menunjukkan ekspresi wajah
yang santai dan ceria. Partisipan menunjukkan adanya kontak mata
selama proses wawancara.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa 2 partisipan
dapat menjelaskan pengertian leukemia dengan kanker darah, dan 3
partisipan dapat menjelaskan jenis terapi yang harus dijalani ialah
dengan kemoterapi dengan istilah disuntik dan berdampak kurang
menyenangkan karena terasa sakit.
4.2.2 Dampak kemoterapi yang dijalani oleh anak penderita leukemia
Penatalaksanaan kemoterapi memberikan dampak yang beragam
pada penggunanya. Berdasarkkan hasil wawancara, peneliti
menggolongkan dampak kemoterapi yang dialami anak penderita leukemia
menjadi dua yaitu dari dampak fisiologis dan dampak secara psikologis.
1. Dampak Fisiologis Kemoterapi
Dampak fisiologis kemoterapi yang dialami oleh anak pada
penelitian ini sangat beragam dan berpengaruh pda cara anak untk
berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Peneliti membagi dampak
fisiologis kemoterapi menjadi tiga yaitu penurunan kemampuan
melakukan aktivitas, gangguan keseimbangan nutrisi dan perubahan
bentuk tubuh.
Penurunan kemampuan melakukan aktivitas pada anak
diperoleh data bahwa partisipan mengalami lemas dan sakit. Hasil
wawancara dan observasi menunjukkan bahwa 4 partisipan mengalami
perubahan kondisi tubuh menjadi lemas dan 2 partisipan menyatakan
merasa sakit selama proses terapi. Berikut pernyataan pasrtisipan saat
diwawancarai :
Partisipan 1 (P1) : “... lemas badannya mba”
Partisipan 2 (P2) : “... sakit “
Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti diperoleh bahwa
partisipan terlihat berbaring ditempat tidur selama peneliti melakukan
wawancara dan partisipan hanya menjawab pertanyaan peneliti dengan
singkat serta terlihat bermalas-malasan. Tidak terjalin adanya kontak
mata antara peneliti dan partisipan selama proses wawancara.
Dampak fisiologis yang lain ialah gangguan keseimbangan
nutrisi. Dua partisipan yaitu partisipan 1 (P1) dan partisipan 2 (P2)
merasakan mual setelah melakukan kemoterapi, dan satu partisipan
yaitu partisipan 1 (P1) terlihat adanya ulserasi mukosa pada bibir
sebelah kiri. Mual yang dirasakan anak dapat mengganggu asupan
nutrisi yang masuk kedalam tubuh dikarenakan anak mengalami
penurunan selera makan dan tersebut diperparah dengan adanya ulserasi
mukosa yang semakin membuat anak merasakan tidak nyaman untuk
makan. Berikut pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan :
Partisipan 1 (P1) : “gak enak, suka mual..”
Partisipan 3 (P3) : “ rasanya itu mual, gak enak..”
Hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh data bahwa pada
partisipan 1 (P1) terlihat adanya ulserasi mukosa pada bibir sebelah kiri
dan berwarna pink karena minimnya perawatan oral hygiene yang
dilakukan. Selama wawancara partisipan 1 (P1) tidak menunjukkan
adanya kontak mata dan kontak mata hanya terajalin pada partisipan 3
(P3) dan peneliti.
Dampak fisiologi yang ketiga yaitu perubahan tampilan tubuh.
Perubahan tampilan tubuh yang dialami oleh partisipan ialah adanya
kerontokan pada rambut kepala dan perubahan bentuk wajah (moon
face). Pada penelitian ini peneliti mendapatkan bahwa 2 dari 4
partisipan yaitu partisipan 1 (P1) dan partisipan 3 (P3) mengalami
kerontokan rambut yang cukup banyak dan perubahan bentuk wajah
(moon face). Berikut pernyataan peneliti :
Partisipan 3 (P3) : “... rambutnya juga rontok banyak mba..”
Sumber data tersebut didukung oleh hasil observasi yang
peneliti lakukan bahwa partisipan 1 (P1) dan partisipan 3 (P3)
mengalami kerontokan cukup banyak, hal tersebut terlihat dari tipisnya
rambut partisipan. Kontak mata hanya terjalin pada Partisipan 3 (P3).
Wajah partisipan 1 (P1) dan partisipan 3 (P3) tampak lebih tembam
dibandingkan dengan partisipan lain atau biasa dikenal dengan istilah
moon face.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak fisiologis
yang dialami oleh partisipan terlihat bahwa pada penurunan
kemampuan aktivitas, 4 partisipan mengalami lemas dan 2 partisipan
merasakan sakit selama proses terapi berlangsung. Gangguan
keseimbangan nutrisi yang dialami oleh partisipan ialah 2 partisipan
merasakan mual dan satu partisipan mengalami ulserasi mukosa.
Sementara pada perubahan tampilan tubuh, 2 partisipan mengalami
kerontokan rambut dan perubahan bentuk wajah (moon face).
2. Dampak Psikologis Kemoterapi
Dampak psikologis pada penelitian ini merupakan pengalaman
yang umum dirasakan oleh partisipan. Dampak psikologis ini muncul
karena panjangnya waktu pengobatan yang harus dijalani anak. Pada
penelitian ini peneliti menemukan dampak psikologis yang dialami oleh
anak penderita leukemia, yaitu gangguan konsep diri, penurunan rasa
aman dan nyaman, serta berduka akibat penyakit. Berikut ini dampak
psikologis yang terjadi pada pasrtisipan yaitu :
a) Gangguan Gambaran Diri
Gangguan gambaran diri yang dialami oleh partisipan pada
penelitian ini ialah adanya perasaan malu dan menjadi pendiam.
Perasaan malu muncul pada anak yang mengalami efek kemoterapi
secara fisiologis yang dijalani. Perubahan penampilan secara fisik
menjadi gemuk dan yang semula sehat kini menjadi sakit-sakitan
membuat mereka merasa malu, berikut pernyataan partisipan yang
mengatakan merasa malu :
Partisipan 1 (P1) : “malu mba, badannya sekarang jadi
gemuk, suka diliatin orang juga.. “
Partisipan 2 (P2) : (mengangguk) saat ditanya peneliti,
“saya kan beda mba sekarang jadi
sakit-sakitan “
Sementara pada partisipan 4 (P4) selama sakit mengalami
perubahan menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Respon yang
ditunjukkan oleh anak dalam mengatasi stressor yang dihadapi
berbeda-beda termasuk pada partisipan 4 (P4) yang megalami
perubahan menjadi lebih pendiam. Berikut pernyataan orangtua
partisipan :
Orangtua (P4) : “perubahannya apa ya mba, gak ada sih
mba, cuma ya itu sekarang jadi lebih
pendiam aja anaknya.. “
Hasil observasi yang peneliti dapatkan bahwa partisipan 4
(P4) terlihat hanya diam, saat peneliti mengajukan pertanyaa
partisipan lebih banyak diam dan tidak menjawab pertanyaan
peneliti, beberapa pertanyaan hanya dijawab dengan singkat oleh
partisipan. Partisipan tidak menunjukkan adanya kontak mata
dengan peneliti selama berkomunikasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 2 dari 4
partisipan merasakan malu dengan perubahan yang terjadi pada
dirinya yang semula sehat kini berubah menjadi sakit, dan
perubahan bentuk tubuh yang menjadi gemuk. Dari 4 partisipan,
hanya ada satu partisipan yang mengalami perubahan menjadi lebih
pendiam yaitu partisipan 4 (P4). Perubahan partisipan menjadi
lebih pendiam dikarenakan partisipan belum dapat mengelola
stressor yang dialami dengan baik.
b) Penurunan Rasa Aman dan Nyaman
Penurunan rasa aman dan nyaman yang dialami oleh
partisipan terdiri dari rasa sepi, bosan dan sakit selama melakukan
terapi di rumah sakit. Rasa sepi yang dirasakan oleh partisipan
dikarenakan tidak adanya aktivitas bermain yang dilakukan.
Lamanya pengobatan yang harus dilakukan membuat partisipan
merasa jenuh karena aktivitas yang dapat dilakukan sangat terbatas
dan tidak dapat bermain. Pada penelitian ini satu partisipan yaitu
partisipan 1 (P1) merasakan sepi selama di Rumah Sakit dan 3
partisipan yaitu partisipan 1 (P1), partisipan 2 (P2) dan partisipan 4
(P4) merasakan bosan dan 2 partisipan merasakan sakit selama
melakukan terapi yaitu partisipan 1 (P1) dan partisipan 2 (P2),
sementara Perasaan tersebut diungkapkan partisipan dalam
percakapn berikut ini :
Partisipan 1 (P1) : “sepi mba..”
Partisipan 2 (P2) : “disuntik, sakit..”
Orangtua (P4) : “.. ya itu, paling sering dia ngajakin
pulang, gak betah udah dia mba.. “
Hasil observasi yang peneliti lakukan didapatkan data
bahwa partisipan terlihat hanya berbaring ditempat tidur dan
menghabiskan waktunya dengan bermain sendiri. Partisipan terlihat
murung, lebih banyak diam dan sesekali mengelus tangannya yang
terpasang selang infus saat diberikan injeksi, serta tidak adanya
kontak mata saat berkomunikasi dengan peneliti. Aktivitas
partisipan terbatas dikarenakan kondisi fisik yang lemah dan
partisipan terlihat merengut. Dalam menjawab pertanyaan peneliti,
partisipan terlihat malas dan menjawabnya dengan singkat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari 4
partisipan, satu partisipan merasakan sepi selama berada dirumah
sakit, 3 partisipan merasa bosan karena minimnya aktivitas bermain
yang dilakukan serta lamanya waktu pengobatan yang harus
dijalani partisipan dan 2 partisipan merasakan sakit selama proses
terapi berlangsung.
c) Tahap Berduka
Dampak psikologis yang ditemukan pada penelitian ini
termasuk pada proses berduka yaitu perasaan emosional dan
menerima penyakitnya. Proses berduka terdiri dari 5 tahapan yaitu
denial, anger, bargaining, depression dan acceptance. Tiga
partisipan pada penelitian ini masih berada pada tahap anger atau
emosional yaitu partisipan 1 (P1), partisipan 2 (P2) dan partisipan 4
(P4). Sementara pada partisipan 3 (P3) sudah berada pada tahap
acceptance, sehingga partisipan dapat melakukan aktifitas seperti
biasa tanpa terganggu. Berikut pernyataan orangtua partisipan :
Orangtua (P1) : “ .. terus sekarang jadi sering marah
mba kalo maunya gak keturutan
gitu..”
Hal berbeda terjadi pada partisipan 3 (P3) yang sudah
berada pada tahap acceptance. Berikut percakapan partisipan 3
(P3) dan orangtuanya (P3) :
Partisipan 3 (P3) : “kalo ke mall gak pernah pake topi
mba., ya gak malu, biasa aja kok”
Orangtua (P3) : “iya mba, dia sukanya jalan- jalan ke
mall. Jadi kalo abis pulang kemo
pasti ngajak ke mall dulu. Dia mah
cuek aja mba orangnnya, disuruh
pake topi juga gak pernah mau, saya
sih ikut anaknya aja mba”
Hasil observasi berdasarkan data diatas diperoleh bahwa
partisipan 1 (P1), partisipan 2 (P2) dan partisipan 4 (P4) terlihat
ngambeg, cemberut dan marah saat keinginannya tidak dituruti.
Partisipan terlihat menangis dan memberontak agar keinginannya
dituruti, serta tidak adanya kontak mata selama berkomunikasi
dengan peneliti. Pada partisipan 3 (P3) terlihat cuek dengan
keadaanya, ekspresi wajah partisipan terlihat ceria, partisipan
menunjukkan adanya kontak mata selama beromunikasi dengan
peneliti dan partisipan terlihat terbuka selama proses wawancara,
hal tersebut terlihat dengan partisipan dapat menjawab pertanyaan
peneliti dengan lugas, partisipan dapat menceritakan apa yang
dirasakan dan partisipan dapat bercanda disela-sela proses
wawancara.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 3 dari 4
partisipan masih berada pada tahap anger sehingga partisipan
terlihat lebih emosional sementara pada partisipan 3 (P3) sudah
berada pada tahap acceptance yang memungkinkan partisipan
dapat menerima keadaanya dan dapat beraktifitas seperti biasa.
4.2.3 Pengalaman interaksi sosial pada anak penderita leukemia yang
menjalani kemoterapi
Pengalaman interaksi sosial pada anak yang menjalani kemoterapi
di RSUD Dr. Moewardi terdiri dari hubungan dengan orangtua dan
hubungan denngan teman sebaya. Berikut interaksi sosial yang terlihat
pada anak :
1. Hubungan dengan orangtua
Anak yang sakit akan sangat memerlukan orangtuannya untuk
selalu berada disampingnya baik untuk berbagi cerita ataupun untuk
membantu memenuhi kebutuhannya. Pada penelitian ini 4 partisipan
memiliki kedekatan yang sama pada orangtua dan bergantung dalam
memenuhi kebutuhan partisipan, sehingga hubungan yang terbangun
antara partisipan dan orangtua semakin erat. Berikut hasil wawancara
partisipan dan orangtua :
Partisipan 1 (P1) : “ ibuk semua yang bantuin mba”
Partisipan 3 (P3) :”iyaa mba, selama sakit semuanya dibantuin
ibu.. mau makan juga disuapin ibu.
..ceritanya ya cuma sama ibu aja mba, kan
ibu yang ada disini terus.. yaa cerita apa aja
mba”
Hasil wawancara dengan orangtua sebagai berikut :
Orangtua (P3) : “sama keluarga baik kok mba, kalo cerita
paling sama saya. Ya paling ceritanya
pengen jalan-jalan ke mall, gitu lah
namanya juga anak-anak mba (sambil
tertawa)”
Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai
hubungan partisipan dengan keluarganya ialah partisipan selalu
didampingi oleh kelurganya terutama orangtuanya, walau bergantian
dalam menjaga partisipan, namun partisipan tidak pernah ditinggalkan
seorang diri. Partisipan terlihat lebih bisa terbuka dengan orangtuanya
dibandingkan dengan orang yang baru dikenal, hal tersebut
ditunjukkan ketika peneliti berusaha berkomunikasi dengan partisipan
dan hanya sedikit ucapan yang keluar dari partisipan. Semua
kebutuhan partisipan dibantu sepenuhnya oleh orangtua, hal tersebut
dikarenakan kondisi partisipan yang lemas. Kontak mata terlihat saat
partisipan berkomunikasi dengan orangtua.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 4
partisipan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan orangtuanya.
Hal tersebut terlihat dari keterbukaan anak untuk bercerita dan tetap
berkomunikasi dengan baik serta terjalin kontak mata saat
berkomunikasi dengan orangtua.
2. Hubungan dengan teman sebaya
Hubungan dengan teman sebaya pada penelitian ini terlihat
adanya gangguan yang dialami oleh partisipan. Keempat partisipan
pada penelitian ini cenderung menghabiskan waktunya seorang diri
dan hanya bermain di dalam ruangannya saja. Partisipan jarang
melakukan interaksi dengan pasien lainnya yang berada dalam satu
ruangan. Jenis permainan yang biasa dimainkan oleh partisipan ialah
bermain lego, bermain hp (telephon genggam), membaca buku cerita
dan menonton film kartun. Berikut pernyataan partisipan :
Partisipan 2 (P2) : “gak pernah main, cuma nonton upin ipin..”
partisipan 3 (P3) : “gak pernah, ke ruang bermain juga
nggak..”
Hasil observasi yang peneliti dapatkan ialah partisipan terlihat
jarang bermain, partisipan lebih sering menghabiskan waktu di tempat
tidur sambil membaca buku, bermain hp (telephon genggam),
menonton film kartun dan bermain lego. Partisipan terlihat sesekali
berbincang dengan pasien lainnya, namun tidak berlangsung lama.
Tidak banyak partisipan yang mau diajak untuk bermain di ruang
bermain, partisipan lebih memilih memainkan mainannya sendiri
daripada harus berbaur dengan pasien-pasien lain yang dilihat dari
umur lebih muda dari partisipan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 4
partisipan jarang bermain dengan partisipan yang lain dan lebih sering
menghabiskan waktu dengan bermain sendiri. Hal tersebut
dikarenakan kondisi fisik yang lemas dan terpasangnya selang infuse
ditangan atau kaki. Selain itu cara anak mengahadapi stressor dan tipe
kepribadian anak memiliki peranan penting pada proses berinteraksi.
4.2.4 Mekanisme interaksi sosial penderita leukemia pada anak yang
menjalani kemoterapi
Mekanisme interaksi sosial pada penderita leukemia didapatkan
data berdasarkan proses wawancara dan observasi ialah interaksi mulai
terlihat pada hari ketiga penelitian. Dari 4 partisipan, hanya satu partisipan
yang memiliki interaksi yang baik yaitu partisipan 3 (P3) dikarenakan
partisipan sudah terbiasa dengan penyakitnya dan sudah dapat menerima
keadaannya. Pada awal penelitian peneliti tidak melihat adanya interaksi
yang baik antara partisipan dengan lingkungan sekitarnya. Partisipan tidak
pernah bermain berasama dengan pasien-pasien lain yang berada satu
ruangan, partisipan lebih senang bermain sendiri daripada harus bermain
bersama-sama. Partisipan juga jarang mengunjungi ruang bermain yang
telah disediakan oleh Rumah Sakit. Partisipan tidak menunjukkan adanya
kontak mata selama berkomunikasi dengan peneliti, dan selama peneliti
melakukan wawancara partisipan terlihat lebih banyak diam dan hanya
menjawab pertanyaan peneliti dengan singkat dan terlihat malas-malasan.
Pada hari berikutnya, partisipan mulai mau berkomunikasi dengan
peneliti. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan partisipan yang lebih banyak
saat menjawab pertanyaan peneliti. Kontak mata mulai terjalin antara
partisipan dan peneliti namun belum bertahan lama. Hal ini berbanding
terbalik dengan partisipan 3 (P3) yang sejak awal tidak menunjukkan
adanya gangguan pada interaksi sosial. Partisipan 3 (P3) mampu
berkomunikasi dengan baik ditandai dengan adanya feedback, kontak mata
terjalin selama berkomunikasi dan partisipan mampu diajak berkerja sama
dalam hal memperoleh data.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa partisipan mulai
mengalami perubahan pada interaksi sosial menjadi lebih baik terjadi pada
hari ketiga penelitian yang ditunjukkan dengan adanya kontak mata yang
terjalin selama berkomunikasi, keterbukaan, kerjasama dan komunikasi
yang baik.
4.3 Temuan Penelitian
4.3.1 Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani
Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani oleh
partisipan diperoleh hasil bahwa 2 partisipan dapat menjelaskan pengertian
leukemia dengan kanker darah, dan 3 partisipan dapat menjelaskan jenis
terapi yang harus dijalani ialah dengan kemoterapi dengan istilah disuntik
dan berdampak kurang menyenangkan karena terasa sakit.
4.3.2 Dampak kemoterapi yang dijalani oleh anak penderita leukemia
1. Dampak Fisiologis
Dampak fisiologis yang dialami oleh partisipan terlihat bahwa
pada penurunan kemampuan aktivitas, 4 partisipan mengalami lemas
dan 2 partisipan merasakan sakit selama proses terapi berlangsung.
Gangguan keseimbangan nutrisi yang dialami oleh partisipan ialah 2
partisipan merasakan mual dan satu partisipan mengalami ulserasi
mukosa. Sementara pada perubahan tampilan tubuh, 2 partisipan
mengalami kerontokan rambut dan perubahan bentuk wajahn (moon
face).
2. Dampak Psikologis
a. Gangguan Gambaran Diri
Dua dari 4 partisipan merasakan malu dengan perubahan
yang terjadi pada dirinya yang semula sehat kini berubah menjadi
sakit, dan perubahan tampilan tubuh yang menjadi gemuk. Dari 4
partisipan, hanya ada satu partisipan yang mengalami perubahan
menjadi lebih pendiam yaitu partisipan 4 (P4). Perubahan
partisipan menjadi lebih pendiam dikarenakan partisipan belum
dapat mengelola stressor yang dialami dengan baik.
b. Penurunan rasa aman dan nyaman
Penurunan rasa aman dan nyaman yang ditemukan pada 4
partisipan ialah satu partisipan merasakan sepi selama berada
dirumah sakit, 3 partisipan merasa bosan karena minimnya
aktivitas bermain yang dilakukan serta lamanya waktu pengobatan
yang harus dijalani partisipan dan 2 partisipan merasakan sakit
selama proses terapi berlangsung.
c. Tahap berduka
Tiga dari 4 partisipan masih berada pada tahap anger
sehingga partisipan terlihat lebih emosional sementara pada
partisipan 3 (P3) sudah berada pada tahap acceptance yang
memungkin partisipan dapat menerima keadaanya dan dapat
beraktifitas seperti biasa.
4.3.3 Pengalaman interaksi sosial pada anak penderita leukemia yang
menjalani kemoterapi
1. Hubungan anak dengan keluarga
Empat partisipan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan
orangtuanya. Hal tersebut terlihat dari keterbukaan anak untuk
bercerita dan tetap berkomunikasi dengan baik serta terjalin kontak
mata saat berkomunikasi dengan orangtua.
2. Hubungan anak dengan teman sebaya
Empat partisipan jarang bermain dengan partisipan yang lain
dan lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain sendiri. Hal
tersebut dikarenakan kondisi fisik yang lemas dan terpasangnya selang
infuse ditangan atau kaki. Selain itu cara anak mengahadapi stressor
dan tipe kepribadian anak memiliki peranan penting pada proses
berinteraksi.
4.3.4 Mekanisme interaksi sosial penderita leukemia pada anak yang
menjalani kemoterapi
Mekanisme interaksi pada anak penderita leukemia mulai
megalami perubahan pada interaksi sosial menjadi lebih baik terjadi pada
hari ketiga penelitian yang ditunjukkan dengan adanya kontak mata yang
terjalin selama berkomunikasi, keterbukaan, kerjasama dan komunikasi
yang baik.
4.4 Pembahasan
4.4.1 Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani
Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani oleh
partisipan diperoleh hasil bahwa 2 partisipan dapat menjelaskan pengertian
leukemia dengan kanker darah, dan 3 partisipan dapat menjelaskan jenis
terapi yang harus dijalani ialah dengan kemoterapi dengan istilah disuntik
dan berdampak kurang menyenangkan karena terasa sakit.
Anak usia sekolah sudah memiliki kemampuan untuk
menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, termasuk ketika mereka
sedang sakit. Anak usia sekolah dapat mendefinisikan penyakit sebagai
serangkaian gejala nyata yang banyak, seperti tanda-tanda flu, dan
menganggap penyebabnya adalah kuman atau bakteri (Wong 2009).
Anak jangan sekali-sekali diberi tahu bahwa dampak dari suatu
tindakan terapi tidak akan menimbulkan rasa sakit bila kenyataannya
tidak demikian (Rudolph 2007). Secara umum anak telah mempelajari
metode koping untuk menghadapi rasa tidak nyaman, seperti
berpegangan tangan dengan erat, mengepalkan tangan atau
mengatupkan gigi. Anak usia sekolah mampu mengkomunikasikan
secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letak,
intensitas, dan deskripsinya (Wong 2009).
Anak usia sekolah mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap
kemungkinan efek menguntungkan dan merugikan suatu prosedur.
Selain itu apakah prosedur tersebut akan menyakitkan atau tidak,
mereka juga akan ingin tahu untuk apa prosedur itu, bagaimana
prosedur tersebut dapat membuat mereka lebih baik, dan cidera atau
bahaya apa yang dapat terjadi (Wong 2009). Sesuai dengan yang
terjadi pada penelitian ini, bahwa partisipan dapat mengekspresikan
rasa nyeri yang dirasakannya. Partisipan 2 (P2) dapat mengekspresikan
proses kemoterapi dengan rasa sakit, begitu juga dengan partisipan 3
(P3) menjelaskan bahwa kemoterapi menyebabkan rasa panas pada
tubuhnya.
Ungkapan diatas didukung oleh Rudolph (2007), yang
menjelaskan bahwa anak yang menderita kanker dan keluarganya
menjalani masa-masa yang sulit. Mereka membutuhkan seorang dokter
ataupun tenaga kesehatan yang penuh harapan, jujur, penghibur, penuh
pengertian, mudah didatangi, informatif dan berpengetahuan banyak.
Menyembunyikan penyakit dari anak terutama mereka yang dalam
masa usia sekolah adalah merugikan diri sendiri dan tidak akan
berhasil karena mereka sering kali akan menduga atau diberi tahu
mengenai hal yang sebenarnya oleh teman bermainnya. Beberapa
gagasan tentang asal kanker dapat diterangkan dengan analog. Sebagai
contoh, kita dapat membandingkan leukemia dengan ladang tani
(sumsum tulang) yang ditumbuhi secara berlebihan oleh rumput liar
(sel kanker) sehingga menghambat pertumbuhan dan ekspor hasil
panen (sel darah normal). Karena rumput liar itu tidak dapat dibuang
secara manual dari sumsum tulang, maka digunakan bahan kimia untuk
menghancurkan rumput liar itu dan memungkinkan hasil panen untuk
tumbuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri RA dan Fensi (2008),
menjelaskan bahwa anak usia sekolah yang menderita leukemia sudah
dapat memahami karakteristik dasar dari penyakit, seperti definisi dari
‘sakit’, penyebab penyakit, dan perbedaan penyakit lain dengan penyakit
kanker. Partisipan pada penelitian ini dapat menjelaskan bahwa penkayit
leukemia yang diderita sebagai kanker darah.
Berdasarkan konsep diatas dapat disimpulkan bahwa anak usia
sekolah memiliki rasa keingintahuan yang kuat tentang apa yang
terjadi pada dirinya, termasuk ketika sedang merasakan sakit. Anak
cenderung akan meminta informasi mengenai apa yang terjadi pada
dirinya. Dalam hal ini tenaga kesehatan dapat meberikan penjelasan
mengenai penyakit yang diderita oleh anak dengan cara mengubahnya
kedalam bahasa yang ringan dan dapat dimengerti oleh anak.
Anak usia sekolah memiliki koping yang lebih baik dibandingkan
dengan anak usia prasekolah dalam merespon rasa nyeri yang
ditimbulkan dari suatu prosedur terapi pengobatan. Anak usia sekolah
mampu mengomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka rasakan.
Tidak seperti anak yang lebih kecil, yang mengalami kesulitan memilih
kata-kata untuk menggambarkan nyeri.
4.4.2 Dampak kemoterapi yang dijalani oleh anak penderita leukemia
Dampak yang ditimbulkan dari kemoterapi pada anak penderita leukemia
yaitu dapat berdampak secara fisiologi dan secara psikologi. Berikut
pemaparan mengenai dampak dari kemoterapi pada pasien leukemia.
1. Dampak fisiologi
Dampak fisiologis yang dialami oleh partisipan terlihat bahwa
pada penurunan kemampuan aktivitas, 4 partisipan mengalami lemas
dan 2 partisipan merasakan sakit selama proses terapi berlangsung.
Gangguan keseimbangan nutrisi yang dialami oleh partisipan ialah 2
partisipan merasakan mual dan satu partisipan mengalami ulserasi
mukosa. Sementara pada perubahan bentuk tubuh, 2 partisipan
mengalami kerontokan rambut dan perubahan bentuk wajahn (moon
face).
Efek toksik kemoterapi terdiri atas efek toksik jangka pendek
dan jangka panjang. Efek toksik jangka pendek yang dapat ditimbulkan
ialah pada reaksi gastrointestinal akan menimbulkan mual, muntah
dengan derajat yang bervariasi. Namun hal tersebut dapat
diminimalisir dengan diberikannya obat antiemetik. Dampak lain yang
terjadi pada gastrointestinal ialah adanya ulserasi mukosa mulut,
selama kemoterapi anak harus meningkatkan perawatan oral hygiene
untuk mengurangi ulserasi mukosa pada mulut (Japaries 2013).
Meeske et al (2007) menjelaskan bahwa anak yang menjalani
kemoterapi memiliki kelemahan fisik yang hebat, yang berdampak
pada ketidakmampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Penurunan kekuatan fisik ditandai dengan perasaan lemah dan lemas.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramini, Brown, dan Buckner
(2008) menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan oleh kemoterapi
pada pasien kanker ialah adanya mual muntah yang tidak terkontrol,
nyeri, dan kelemahan yang berlebih tidak dapat teratasi secara efektif
dengan pengobatan. Sehingga pada penelitian tersebut sangat
dianjurkan untuk istirahat yang cukup agar tetap mempertahankan
kondisi fisiologis penderita kanker tetap optimal. Pada penelitan ini
didapatkan data bahwa semua partisipan mengalami kelemahan yang
sama, partisipan 1 (P1) dan partisipan 3 (P3) sudah mengalami
kerontokan pada rambut yang cukup banyak.
Menurut Wong (2009), kemoterapi akan memberikan efek
samping yang kurang menyenangkan bagi anak. Efek samping yang
ditimbulkan ialah menyebabkan anak merasakan mual dan muntah
karena obat anti kanker dapat mengiritasi lambung anak, kemudian
anak akan mengalami penurunan selera makan dan menyebabkan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh akan semakin berkurang, beberapa
anak akan mengalami ulserasi mukosa mulut yang dapat memperberat
penurunan selera makan pada anak, dampak lain yang ditimbulkan
ialah anak akan mengalami kerontokan rambut yang cukup banyak dan
perubahan pada bentuk wajah (moon face) yang disebabkan oleh
penggunaan obat steroid (Wong 2009). Penurunan selera makan
hampir terjadi pada semua partisipan dikarenakan rasa mual akibat
efek samping dari obat anti kanker, begitu juga yang terjadi pada
Partisipan 1 (P1), selain terjadi penurunan selera makan hal tersebut
diperparah dengan adanya ulserasi mukosa yang semakin
memperburuk penurunan selera makan partisipan.
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa banyak dampak
secara fisiologi yang akan ditimbulkan dari kemoterapi. Tujuan utama
dari pemberian kemoterapi ialah untuk menghambat proses
pembelahan sel kanker sehingga dapat berkurang. Terapi medikasi
dengan kemoterapi memerlukan waktu yang sangat panjang untuk
dilakukan, anak akan melakukan berulangkali kemoterapi untuk
mengurangi jumlah sel kanker dalam tubuh anak, bukan hanya dalam
hitungan hari, atau mingguan bahkan tahunan, karena setiap anak
memiliki respon yang berbeda terhadap sel kanker.
Penggunaan obat anti kanker yang secara berkelanjutan ini akan
memberikan efek samping yang kurang menyenangkan bagi anak dan
juga bagi keluarganya. Secara fisiologi dampak yang dapat
ditimbulkan dari kemoterapi ialah anak akan mengalami kerontokan
pada rambut, tubuh menjadi lemas. adannya mual dan muntah,
perubahan bentuk wajah (moon face) dan ulserasi mukosa pada mulut.
2. Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang terjadi pada partisipan terlihat lebih
pendiam dan murung, partisipan tidak menunjukkan adanya kontak
mata saat berkomunikasi dengan peneliti, selain itu partisipan terlihat
malu saat peneliti mengajukan pertanyaan. Tiga partisipan terlihat
marah apabila keinginannya tidak dituruti dan masih berada pada tahap
anger sementara satu partisipan sudah berada pada tahap acceptance.
Dampak lain yang terlihat pada anak ialah sebagian anak merasa
kurang percaya diri dengan keadaan yang berbeda dengan anak yang
lain.
Wong (2009), yang menjelaskan bahwa dalam menghadapi
stressor anak usia sekolah memiliki kemampuan yang lebih baik. Anak
usia sekolah memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi dan kerap
kali menemukan ketidaksesuaian dengan lingkungan Rumah Sakit.
Kesepian, bosan, isolasi dan depresi umum terjadi pada anak. Selain
lingkungan Rumah Sakit, penyakit juga dapat menyebabkan perasaan
hilang kendali pada anak. Salah satu masalah yang paling signifikan
dari anak-anak dengan kelompok usia ini berpusat pada kebosanan.
Jika keterbatasan fisik atau yang dipaksakan menghalangi kemampuan
mereka untuk merawat diri sendiri atau untuk terlibat dalam aktivitas
yang disukainya, anak-anak usia sekolah biasanya berespon dengan
depresi, bermusuhan atau frustasi.
Partisipan pada penelitian ini juga menunjukkan adanya
penarikan diri dengan cara malas untuk berbicara dan lebih memilih
untuk bermain sendiri. Masalah ini terjadi pada partisipan 1 (P1),
partisipan 2 (P2), dan partisipan 4 (P4) yang menunjukkan adanya
penarikan diri.
Hinds, et al (1991) dalam Hooke (2009) menjelaskan bahwa
kelelahan memiliki dampak yang berbeda pada setiap kelompok usia.
Pada usia sekolah kelelahan lebih mengarah pada penurunan
kemampuan fisik, yang mengakibatkan anak kesulitan untuk bermain
dan berkonsentrasi sehingga menimbulkan rasa sedih dan marah.
Penelitian yang dilakukan oleh Moore et al (2003), bahwa dari
47 anak dan remaja yang menderita kanker dan melakukan semua
terapi terdapat 20% anak dan remaja yang mengalami masalah dalam
kemampuan beradaptasi, keterampilan sosial, menarik diri, dan
depresi. Dampak psikologis yang dialami anak dipengaruhi oleh proses
berduka yang dialami.
Kubler Ross (1969) dalam Wong (2009) menjelaskan bahwa
terdapat 5 tahapan proses berduka :
1. Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah
syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu
terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu
terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang
mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari
informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase
pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus
berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa tahun.
2. Anger (Marah)
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan
kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan
yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada
di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya
sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar,
menolak pengobatan, dan menuduh dokter dan perawat yang tidak
becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain,
muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Bergaining (Tawar Menawar)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa
marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar
menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering
dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda
maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami
oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai
”kalau yang sakit bukan anak saya”.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain
menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai
pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang
menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik
yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, susah tidur,
letih, dorongan libido menurun.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai
berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan
kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang
hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada
objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan
kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang
hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya
lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Pada penelitian ini partisipan 3 (P3) memiliki interaksi yang
lebih baik dikarenakan partisipan 3 (P3) sudah berada pada tahap
acceptance, sehingga partisipan dapat melanjutkan hidupnya dan
kembali beraktivitas seperti layaknya anak normal. Sementara pada 3
partisipan lainnya yaitu partisipan 1 (P1), partisipan 2 (P2) dan
partisipan 4 (P4) masih berada pada tahap anger, sehingga ketiga
partisipan belum memiliki interaksi yang baik karena masih terfokus
pada perubahan kesehatannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theofanidis (2007) yang
menyatakan bahwa diganosa kronis yang diterima oleh seorang anak
dapat menyebabkan anak merasakan syok, stress, sentimen atau marah
serta adanya peningkatan intensitas hubungan dengan orangtua.
Partisipan pada penelitian menunjukkan hal yang sama seperti
sentimen dan cepat marah, sangat terlihat pada partisipan 1 (P1) dan
partisipan 2 (P2) yang akan marah jika keinginannya tidak dituruti.
Penelitian berbeda dilakukan oleh Rizkiana U dan Retnaningsih
(2008), bahwa anak mampu menerima dirinya dengan baik. Hal
tersebut ditunjukan dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri dan
mengenali apa yang menjadi kekurangan dan kelebihannya serta
adanya harapan yang realistis terhadap keadaan diri dan tidak merasa
rendah diri dengan adanya penyakit yang dialami. Partisipan 3 (P3)
pada penelitian ini memiliki pemahaman yang sama mengenai
penyakitnya, partisipan 3 (P3) dapat menerima keadaanya sehingga
tidak terjadi gangguan pada interaksi sosial, hal tersebut terlihat
dengan adanya kontak mata antara partisipan dengan peneliti saat
proses komunikasi berlangsung.
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa kemoterapi memiliki
dampak yang tidak menyenangkan pada aspek psikologis anak. Anak
usia sekolah memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi dan kerap
kali menemukan ketidaksesuaian dengan lingkungan Rumah Sakit.
Kesepian, bosan, isolasi dan depresi umum terjadi pada anak. Interaksi
sosial anak selama berada di Rumah Sakit dipengaruhi oleh tahap
proses berduka yang dialami anak sehingga dapat menghasilkan
interaksi yang berbeda pada setiap anak.
4.4.3 Pengalaman interaksi sosial pada anak penderita leukemia yang
menjalani kemoterapi
1. Hubungan dengan keluarga
Hubungan partisipan dengan keluarganya ialah partisipan selalu
didampingi oleh kelurganya terutama orangtua, walau bergantian
dalam menjaga partisipan namun partisipan tidak pernah ditinggalkan
seorang diri. Empat partisipan memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan orangtuanya. Hal tersebut terlihat dari keterbukaan anak untuk
bercerita dan tetap berkomunikasi dengan baik serta terjalin kontak
mata saat berkomunikasi dengan orangtua.
Mencegah atau meminimalkan perpisahan merupakan tujuan
keperawatan utama pada anak yang dihospitalisasi. Salah satu
pendekatan terbaik adalah menganjurkan orangtua untuk tetap
mendampingi anak. Kehadiran orangtua selama hospitalisasi, termasuk
selama prosedur terapi, memberi dukungan emosional pada anak dan
meningkatkan rasa pemberdayaan orangtua dalam peran pemberi
asuhan (Wong 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Till (2004), menjelaskan bahwa
keluarga dan orangtua merupakan orang yang paling penting bagi
penderita kanker, karena keluarga dan orangtua merupakan orang yang
selalu memberikan dukungan sosial.
Dari konsep diatas dapat diambil kesimpulan bahwa saat
seorang anak mengalami sakit, dan sakit tersebut merupakan sakit yang
memerlukan pengobatan jangka pendek ataupun jangka panjang,
keluarga dan orangtua merupakan orang yang pertama dalam
memberikan dukungan baik secara emosional ataupun secara sosial.
2. Hubungan dengan teman sebaya
Hubungan dengan teman sebaya yang terlihat pada partisipan
ialah 4 partisipan jarang bermain dengan partisipan yang lain dan lebih
sering menghabiskan waktu dengan bermain sendiri. Hal tersebut
dikarenakan kondisi fisik yang lemas dan terpasangnya selang infuse
ditangan atau kaki. Selain itu cara anak mengahadapi stressor dan tipe
kepribadian anak memiliki peranan penting pada proses berinteraksi.
Bermain adalah satu aspek penting dari kehidupan anak dan
salah satu alat paling efekif untuk menatalaksana stress, karena saat
sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan
arena situasi tersebut sering disertai dengan stress berlebih, maka anak
perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka
alami sebagai alat koping dalam menghadapi stress tersebut (Wong
2009).
Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan
kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan perkembangan mereka,
kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat anak-anak sakit atau ada di
Rumah Sakit. Sebaliknya, bermain di Rumah Sakit memberikan
banyak manfaat (Rudolph 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Katz et al (2010), menjelaskan
bahwa anak yang berusia 7-12 tahun yang mengalami leukemia
limfosit akut memiliki interaksi yang kurang saat bermain dengan
teman sebayanya dibandingkan dengan anak yang sehat. Pada
penelitian ini partisipan 1 (P1), partisipan 2 (P2), dan partisipan 4 (P4)
mengalami hal yang sama, yaitu menurunnya minat bermain secara
bersama, mereka lebih memilih untuk bermain sendiri dan
menghabiskan waktu di tempat tidur.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Larouche SS, dan Peuckert
C, (2006) menyatakan bahwa anak yang menjalani perawatan kanker
mengalami gangguan terhadap citra dirinya, hal ini ditandai dengan
perkataan bahwa mereka “jelek”, “saya tampak sakit”, “saya tidak
normal”, dan hal tersebut berujung pada penarikan diri dari lingkungan
sosialnya. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa anak yang
mengalami leukemia mengalami interaksi yang kurang, ditunjukkan
dengan anak mengatakan bahwa merasa malu dengan bentuk tubuhnya
yang menjadi gemuk, merasa berbeda karena sakit-sakitan.
Penelitian yang dilakukan oleh Vannatta, Zeller et al., 1998
dalam Katz et al (2010), menjelaskan bahwa anak yang menderita
kanker mengalami kesulitan dalam fungsi sosial, perbedaan terlihat
pada anak kanker dan anak yang sehat tidak menunjukkan adanya
penyesuaian dengan teman sebaya namun, justru menunjukkan sikap
menarik diri (isolasi sosial). Ungkapan diatas didukung oleh penelitian
Yeates et al (2007) yang menjelaskan bahwa dampak biologis yang
berhubungan dengan kemoterapi secara langsung dapat mempengaruhi
sosial dan proses kognitif yang diperlukan untuk negosiasi antar
pribadi dalam interaksi, terutama pada anak-anak yang disarankan
menjalani perawatan sistem saraf pusat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gottman dalam Katz et al (2010)
menjelaskan bahwa, korban kanker anak telah dicatat menjadi lebih
sensitif dan terisolasi, dapat meningkatkan kemungkinan bahwa
mereka mungkin memiliki kesulitan dengan keterlibatan sosial.
Seperti, kemampuan anak-anak tersebut untuk intim terlibat dengan
teman mereka yang terbaik dan sebaliknya, mereka kecenderungan
untuk melepaskan diri dari teman mereka. Kemampuan untuk tetap
terlibat dalam bermain telah diidentifikasi sebagai kualitas penting
interaksi dengan rekan sebaya yang sukses, dan terdiri dari beberapa
keterampilan komponen, termasuk mempertahankan percakapan,
membangun kegiatan umum, mengungkapkan informasi pribadi, dan
terlibat dalam fantasi bermain
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa bermain sangat
penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak. Anak
yang menderita kanker mengalami kesulitan dalam fungsi sosial,
perbedaan terlihat pada anak kanker dan anak yang sehat tidak
menunjukkan adanya penyesuaian dengan teman sebaya namun, justru
menunjukkan sikap menarik diri (isolasi sosial).
4.4.4 Mekanisme interaksi sosial penderita leukemia pada anak yang
menjalani kemoterapi
Mekanisme interaksi pada anak penderita leukemia mulai
mengalami perubahan pada interaksi sosial menjadi lebih baik terjadi pada
hari ketiga penelitian yang ditunjukkan dengan adanya kontak mata yang
terjalin selama berkomunikasi, keterbukaan, kerjasama dan komunikasi
yang baik. Pada awal penelitian partisipan masih sulit untuk diajak
berkomunikasi dengan peneliti, saat dilakukan wawancara partisipan tidak
menunjukkan adanya kontak mata yang terjalin antara partisipan dengan
peneliti, begitu juga dengan jawaban singkat yang diberikan oleh
partisipan saat peneliti mengajukan pertanyaan dan belum ada kerja sama
yang terjalin antara penliti dengan partisipan.
Pada hari berikutnya, partisipan mulai mau berkomunikasi dengan
peneliti, ini ditunjukkan dengan ucapan partisipan yang lebih banyak saat
menjawab pertanyaan peneliti. Kontak mata mulai terjalin antara
partisipan dan peneliti namun belum bertahan lama. Sementara,
berbanding terbalik dengan partisipan 3 (P3) yang sejak awal tidak
menunjukkan adanya gangguan pada interaksi sosial. Partisipan 3 (P3)
mampu berkomunikasi dengan baik ditandai dengan adanya feedback,
kontak mata terjalin selama berkomunikasi dan partisipan mampu diajak
berkerja sama dalam hal memperoleh data.
Hospitalisasi merupakan krisis yang dihadapi anak, karena anak
akan mengalami stress pada perubahan dari sehat menjadi sakit dan segala
aktivitas anak akan terbatasi. Anak usia sekolah akan jarang memulai
percakapan tentang perasaan mereka atau meminta seseorang untuk
menemani mereka disaat periode kesendirian atau stress. Penampilan
ketenangan, dan penerimaan mereka terlihat seringkali menyamarkan
kebutuhan terhadap dukungan. Penting untuk mewaspadai petunjuk-
petunjuk nonverbal, seperti ekspresi wajah yang serius, menjawab
pertanyaan dengan setengah hati “saya baik-baik saja”, diam, kurang
aktivitas, isolasi sosial, sebagai tanda membutuhkan bantuan (Rudolp
2007).
Interaksi sosial dimulai ketika dua individu bertemu, misalnya
saling menyapa, saling berjabat tangan, bercakap-cakap, atau bahkan
saling berkelahi. Interaksi sosial juga dapat terjadi ketika ada perubahan
dalam diri seseorang yang disebabkan oleh keadaan sakit. Interaksi dapat
terjadi apabila memiliki dua syarat berikut, yaitu kontak sosial dan
komunikasi (Sunaryo 2013). Hal tersebut terlihat pada partisipan yang
menunjukkan adanya kontak sosial dengan teman sebayanya atau dengan
peneliti, dalam hal ini kontak sosial yang dimaksud ialah tersenyum,
bercakap-cakap, dan bertatap muka. Partisipan mulai menunjukkan adanya
kontak mata walau belum bertahan lama.
Dalam berkomunikasi, individu dituntut untuk memahami makna
dari pesan yang disampaikan oleh komunikator. Komunikasi hampir sama
dengan kontak sosial. Akan tetapi, komunikasi belum tentu terjadi walau
pun kontak sudah ada. Kontak tanpa komunikasi tidak memiliki arti.
Kontak lebih ditekankan pada orang atau kelompok yang berinteraksi,
sedangkan komunikasi lebih ditekankan pada pemrosesan pesan (Sunaryo
2013).
Kedua syarat terjadinya interaksi sosial pada awalnya belum
ditemukan pada partisipan, partisipan hanya melakukan kontak tanpa
adanya komunikasi. Namun, dengan pendekatan yang cukup sering
dilakukan oleh peneliti selama 4 hari kontak yang pada awalnya hanya
muncul tersenyum, kini partisipan mulai terlihat adanya kontak mata dan
perlahan komunikasi mulai ada diantara peneliti dan partisipan. Namun,
kedua syarat terjadinya interaksi ini sudah ditemukan pada partisipan 3
(P3), hal ini dikarenakan tipe kepribadian pada partisipan sangat
berpengaruh terhadap interaksi sosial anak.
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua syarat
untuk terjadinya interaksi yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kedua
syarat tersebut belum ditemukan pada partisipan pada hari pertama
bertemu peneliti. Kedua syarat tersebut mulai ada saat peneliti melakukan
pendekatan yang lebih pada hari berikutnya, namun satu partisipan yang
lain sejak awal sudah memiliki kedua syarat terjadinya interaksi sehingga
lebih memudahkan peneliti dalam menjalin pertemanan.
4.5 Keterbatasan Penelitian
Peneliti menemukan beberapa keterbatasan dalam proses penelitian
ini, diantaranya : waktu penelitian, strategi dalam menjalin hubungan dengan
anak, dan proses wawancara. Keterbatasan pada waktu penelitian ialah
minimnya waktu penelitian yang peneliti gunakan sehingga peneliti belum
mendapatkan hasil yang lebih mendalam. Sementara keterbatasan dalam
stretegi pendekatan pada anak, peneliti mengalami kesulitan untuk menjalin
hubungan pada anak yang pendiam, sehingga memerlukan pendekatan yang
lebih ekstra untuk mendapatkan informasi. Keterbatasan pada proses
wawancara yang terdapat pada penelitian ini ialah tergantung pada mood
anak dan kondisi anak yang lemah, sehingga menyulitkan peneliti untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan disajikan mengenai kesimpulan dan saran berdasarkan dari
penelitian yang telah dilakukan. Secara lebih lengkap sebagai berikut :
5.1 Kesimpulan
Interaksi yang terjadi pada anak leukemia yang menjalani kemoterapi
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta belum memenuhi syarat yang ada pada
proses terjadinya interaksi sosial yaitu kontak sosial dan komunikasi. Tiga
orang partisipan menunjukkan adanya kontak sosial dan komunikasi setelah
hari pertama karena efek dari kemoterapi membuat partisipan merasa berbeda
dengan yang lain. Satu partisipan mempunyai interaksi sosial yang baik
walaupun partisipan mengalami dampak yang sama dari kemoterapi, karena
mempunyai tipe kepribadian yang berbeda dalam menghadapi stressor.
5.1.1 Respon terhadap penyakit leukemia dan terapi yang dijalani
Anak usia sekolah memiliki rasa keingintahuan yang kuat
tentang apa yang terjadi pada dirinya, termasuk ketika sedang
merasakan sakit. Anak cenderung akan meminta informasi mengenai
apa yang terjadi pada dirinya. Dalam hal ini tenaga kesehatan dapat
meberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita oleh anak
dengan cara mengubahnya kedalam bahasa yang ringan dan dapat
dimengerti oleh anak.
5.1.2 Dampak kemoterapi yang dijalani oleh anak penderita leukemia
1. Dampak Fisiologis
Secara fisiologi dampak yang dapat ditimbulkan dari kemoterapi
ialah anak akan mengalami kerontokan pada rambutnya, adannya
mual dan muntah, badan menjadi lemas, perubahan bentuk wajah
(moon face), dan ulserasi mukosa pada mulut.
2. Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang ditimbulkan dari kemoterapi ialah
memberikan rasa tidak menyenangkan pada aspek psikologis anak.
Anak usia sekolah memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi
dan kerap kali menemukan ketidaksesuaian dengan lingkungan
Rumah Sakit. Kesepian, bosan, isolasi dan depresi umum terjadi
pada anak. Interaksi sosial anak selama berada di Rumah Sakit
dipengaruhi oleh tahap proses berduka yang dialami anak sehingga
dapat menghasilkan interaksi yang berbeda pada setiap anak.
5.1.3 Pengalaman interaksi sosial pada anak penderita leukemia yang
menjalani kemoterapi
1. Hubungan anak dengan keluarga
Hubungan anak dengan keluarganya tidak memiliki gangguan.
Keluarga dan orangtua merupakan orang pertama yang selalu
memberikan dukungan sosial dan emosional.
2. Hubungan dengan teman sebaya
Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan
kesejahteraan sosial anak. Anak yang menderita kanker mengalami
kesulitan dalam fungsi sosial, perbedaan terlihat pada anak kanker
dan anak yang sehat tidak menunjukkan adanya penyesuaian
dengan teman sebaya namun, justru menunjukkan sikap menarik
diri (isolasi sosial).
5.1.4 Mekanisme interaksi sosial penderita leukemia pada anak yang
menjalani kemoterapi
Terdapat dua syarat untuk terjadinya interaksi yaitu kontak
sosial dan komunikasi. Kedua syarat tersebut belum ditemukan pada
partisipan pada hari pertama bertemu peneliti. Kedua syarat tersebut
mulai ada saat peneliti melakukan pendekatan yang lebih pada hari
berikutnya, namun satu partisipan yang lain sejak awal sudah memiliki
kedua syarat terjadinya interaksi sehingga lebih memudahkan peneliti
dalam menjalin pertemanan.
5.2 Saran
5.2.1 Penelitian dibidang keperawatan
Masih sangat banyak kekurangan yang terdapat pada hasil
penelitian ini, terkait dengan hal tersebut peneliti memberikan saran
kepada penelitian selanjutnya untuk membuat strategi dalam menjalin
hubungan dengan partisipan seorang anak, menambahkan interaksi dengan
adik dan kakak dari anak, dan jangka waktu yang lebih lama dari yang
peneliti lakukan, selain itu untuk menambahkan hasil dari penelitian yang
telah peneliti lakukan.
5.2.2 Pendidikan keperawatan
Masih sangat minimnya literatur yang membahas mengenai
interaksi sosial pada anak yang menjalani kemoterapi, terutama dampak
terhadap tumbuh kembangnya. Sehingga sangat diperlukan pendidikan dan
penelitian yang lebih banyak lagi dalam membahas interaksi sosial anak.
5.2.3 Pelayanan keperawatan
Kanker merupakan penyakit keganasan yang cukup sulit untuk
diterima secara lapang dada oleh anak dan keluarganya. Kemoterapi yang
harus dijalani juga berperan sangat penting terhadap terganggunya
interaksi yang terjadi pada anak. Diharapkan dengan adanya penelitian ini
sebagai seorang perawat bisa lebih memahami dan melakukan pendekatan
yang jauh lebih baik lagi sehingga anak tetap merasakan nyaman walau
berada di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, MV 2007, ‘Pengalaman keluarga dengan anak yang menderita
penyakit kronik’, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Camargo, B, Santus, MO, Rebelo, MS, et all 2009, ‘Cancer incidence among
children and adolescents in brazil : first report of 14 population based
cancer registriesn’, International Journal of Cancer, vol 126, hal 715-720.
Departemen Kesehatan RI 2013, ‘Aktivitas fisik dan diet seimbang mencegah
kanker’, diakses 7 November 2013,
<.http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=170>.
Fitri, RA dan Fensi 2008, ‘Representasi penyakit dan strategi pengatasan pada
anak yang menderita kanker’, Jurnal Psikologi, vol 2, no 1, hal 8.
Hooke, MC 2009, ‘Fatigue, physical, performance, and carnitene levels in
children and adolescent receiving chemotherapy. A Dissertation Doctor of
Philosophy. Diakses tanggal 21 Februari 2014, <http://
conservancy.umn.edu/bitstream/pdf>.
Japaries, W 2013, Buku ajar onkologi klinis, Edisi 2, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Katz, LF, Leary, A, Breiger, D, Friedman, D 2010, ‘Pediatric cancer and the
quality of children’s dyadic peer interactions’, Journal of Pediatric
Psychology, vol. 36, no. 2.
Larouche, SS, dan Peuckert, CL 2006, ‘Changes in body image experienced by
adolescents with cancer’, Journal Pediatri Oncol Nurs, vol. 23, no 4.
Maryati dan Suryawati 2003, Sosiologi I, Erlangga, Jakarta.
Meeske, KA, Patel, SK, Palmer, SN, Nelson, MB, & Parow AM 2007, ‘Factor
associated with health-related quality of life in pediatric cancer survivor’,
Pediatric Blood and Cancer, vol. 49, 298-305.
Moore, IM, Challinor, J, Pasvogel, A, and Matthay, K, et all 2003, ‘Online
exclusive : Behavioral adjustment of children and adolescent with cancer:
teacher; parent, and self-report’, Oncol Nurs Forum, vol. 30, no 5.
Ramini, SK, Brown, R, &Buckner, EB 2008, ‘Embracing change : adaptation by
adolescents with cancer’, The Practice Aplication of Research, vol. 34, 72-
79.
Rizkiana, U, dan Retnaningsih 2009, ‘Penerimaan diri pada remaja penderita
leukemia’, Jurnal Psikologi, vol. 2, no. 2.
Rudolph, AM 2007, Buku ajar pedriati rudolph, Edisi 20, Vol. 2, EGC: Jakarta.
Soekanto, S 2013, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Sugiyono, 2013, Memahami penelitian kualitatif, Cetakan kedelapan, Alfabeta,
Bandung.
Sumantri, A 2011, Metodologi penelitian kesehatan, Edisi 1, Kencana prenada
media group, Jakarta.
Sunaryo 2013, Psikologi untuk keperawatan, Edisi 2, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Sutopo, HB 2006, Metodologi penelitian kualitatif, Edisi 2, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Theofanidis, D 2007, ‘Chronic illness iin childhood : psychosocial adaptation and
nursing support for the child and family’, Health Science Journal, vol. 1,
1-9.
Till, T 2004, ‘Coping with cancer : the adolescent experience’, Australian
Catholic University.
WHO 2003, ‘If Not Controlled 26 Million People In the World Suffers Cancer’,
diakses 6 November 2013,
<http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=137>.
WHO 2008, ‘Global cancer rates could increase by 50% to 15 million by 2020’,
diakses 6November 2013,
<http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2003/pr27/en/>.
Williamson, H, Harcourt, D, Halliwell, E, and Frith, H, et al 2010, ‘Adolescents'
and parents' experiences of managing the psychosocial impact of
appearance change during cancer treatment’, Journal Pediatr Oncol Nurs,
vol 27, no 3
Wong, DL 2009, Buku ajar keperawatan pediatrik, Edisi 6, Vol.2, EGC : Jakarta.
Yeates, KO, Bigler, ED, Dennis, M, Gerhardt, CA, Rubin, KH, Stancin, T, &
Vannatta, K. (2007), Social outcomes in childhood brain disorder: A
heuristic integration of social neuroscience and developmental psychology.
Psychological Bulletin, 133, 535–556.
Yusuf, S 2009, Psikologi perkembangan anak dan remaja, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.