penatalaksanaan paralisis pita suara

43
Refarat PARALISIS PITA SUARA Nama : dr. Izry Naomi A. Lumbantobing Pembimbing : dr. HR Yusa Herwanto, MKed. ORL-HNS, Sp. THT-KL Moderator : dr. HR Yusa Herwanto, MKed. ORL-HNS, Sp. THT-KL Narasumber : Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K) Hari / Tanggal Pukul : : Senin/ 27 Oktober 2014 08.00 wib Tempat : Ruang Pertemuan THT, Lantai IV RSUP. H. Adam Malik Medan 1

Upload: tina-ong-sinaga

Post on 07-Jul-2016

288 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

penatalaksanaan paralisis pita suara

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

Refarat

PARALISIS PITA SUARA

Nama : dr. Izry Naomi A. Lumbantobing

Pembimbing : dr. HR Yusa Herwanto, MKed. ORL-HNS, Sp. THT-KL

Moderator : dr. HR Yusa Herwanto, MKed. ORL-HNS, Sp. THT-KL

Narasumber : Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K)

Hari / Tanggal

Pukul

:

:

Senin/ 27 Oktober 2014

08.00 wib

Tempat : Ruang Pertemuan THT, Lantai IV

RSUP. H. Adam Malik Medan

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN

2014

1

Page 2: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

2

PARALISIS PITA SUARAIzry Naomi Tobing, HR Yusa Herwanto

PENDAHULUANParalisis pita suara merupakan kondisi yang relatif sering dijumpai. Paralisis

pita suara merupakan hilangnya kemampuan adduksi maupun abduksi pita suara

yang disebabkan oleh lesi yang jauh dari pita suara itu sendiri. Secara umum, lesi

tersebut dapat disebabkan oleh karena prosedur pembedahan, neoplasma maupun

oleh penyebab lain yang masih belum dapat dijelaskan (Chen et al. 2007).

Paralisis pita suara seringkali menyebabkan pengaruh yang besar terhadap

kualitas hidup penderitanya. Bagi penderita paralisis pita suara yang profesinya

mengandalkan suara, penyakit ini dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan

pendapatan sehari-hari (Young & Simpson 2014).

Paralisis salah satu atau kedua pita suara dapat menyebabkan gangguan

pada fungsi fisiologis laring yaitu untuk pernafasan, menelan dan bersuara.

Penderita hemiparese laring biasanya mengeluhkan gejala-gejala yang menandakan

insufisiensi glottis seperti disfonia dan disfagia, terutama terhadap cairan. Bila kedua

pita suara terlibat, gejala yang timbul lebih kepada obstruksi glotis yaitu seperti

stridor dan dispnea (Sulica 2009).

Penanganan paralisis pita suara dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab

dan mengatasi penyebab tersebut, bila memungkinkan. Sebagian besar imobilitas

atau hipomobilitas pita suara disebabkan oleh cedera saraf laring perifer dan jarang

disebabkan oleh kerusakan sistem saraf sentral. Beberapa kasus paralisis pita suara

dapat pulih kembali atau membaik tanpa intervensi, namun kasus lainnya

memerlukan penanganan (Sulica 2009).

Penting bagi kita untuk dapat membedakan paralisis pita suara unilateral atau

bilateral oleh karena gejala utamanya berbeda dan penanganannya pun berbeda

pula (Probst, Grevers & Iro 2006).

Pada paralisis pita suara unilateral terdapat beberapa prosedur yang menjadi

pilihan, seperti pemberian injeksi augmentasi yang bersifat temporer maupun

permanen, laringoplasti medialisasi, reposisi kartilago aritenoid dan prosedur

reinnervasi. Lain halnya dengan penanganan paralisis pita suara bilateral yang

seringkali tidak memuaskan. Tidak jarang intervensi yang dilakukan harus

Page 3: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

3

mengorbankan kualitas suara untuk memperoleh jalan nafas yang adekuat (Sulica

2009).

ANATOMI LARINGLaring memiliki beberapa fungsi yaitu untuk respirasi, proteksi saluran nafas

dan fonasi (Yau 2013). Pada saat pita suara menutup laring dalam keadaan posisi

untuk fonasi, sedangkan pada saat pita suara terbuka laring dalam keadaan posisi

untuk respirasi. Laring juga berperan untuk memisahkan saluran nafas dan saluran

makan saat proses menelan (Probst, Grevers & Iro 2006).

Laring terletak di bagian depan hipofaring yaitu mulai setinggi vertebra

servikalis ketiga sampai vertebra servikalis keenam (Dhingra 2009). Bagian kranial

laring berhubungan dengan bagian inferior dari faring sedangkan bagian kaudal

berhubungan dengan trakea (Hiatt & Gartner 2010).

Laring dibentuk oleh satu tulang, tiga kartilago berpasangan dan tiga kartilago

tidak berpasangan:

a. Tulang hyoid

Tulang hyoid yang berbentuk U merupakan tulang yang menyokong laring

dan mengokohkan hipofaring. Tulang hyoid dihubungkan dengan kartilago

tiroid oleh membrana tirohyoid (Woodson 2014).

b. Epiglotis

Epiglotis berbentuk seperti daun terdiri dari kartilago elastik yang membentuk

pintu masuk dinding anterior laring. Epiglotis menempel pada badan tulang

hyoid dengan adanya ligamen hyoepiglotik yang membagi epiglotis menjadi

suprahyoid dan infrahyoid (Dhingra 2009).

c. Kartilago Tiroid

Kartilago tiroid terdiri dari dua lempeng kuadrilateral, yaitu lamina kiri dan

lamina kanan yang bergabung dan membentuk prominensia laring (Adam’s

apple) (Hiatt & Gartner 2010). Tiroid merupakan kartilago yang paling besar,

dimana pada bagian tengahnya terdapat pita suara (Dhingra 2009).

d. Kartilago krikoid

Merupakan satu-satunya kartilago yang berbentuk cincin dimana bagian

posteriornya lebih lebar daripada bagian anterior (Dhingra 2009; Hiatt &

Page 4: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

4

Gartner 2010). Krikoid merupakan penyokong bagi subglotis (Woodson

2014).

e. Kartilago arytenoid

Kartilago ini berpasangan dan masing-masing memiliki bentuk menyerupai

piramid. Kartilago ini memiliki dasar yang bersendian dengan kartilago krikoid,

memiliki prosesus muskular yang menghubungkannya dengan muskulus

laringeal intrinsik, dan prosesus vokalis di anterior yang menghubungkannya

dengan pita suara, serta memiliki bagian apeks yang menyokong kartilago

kornikulata (Dhingra 2009).

f. Kartilago kornikulata (Santorini)

Kartilago ini berpasangan dan masing-masing bersendian dengan bagian

apeks dari kartilago aritenoid (Dhingra 2009).

g. Kartilago kuneiformis (Wrisberg)

Kartilago ini juga berpasangan dan berbentuk batang. Masing-masing berada

pada lipatan aryepiglotik di depan kartilago kornikulata (Dhingra 2009).

Otot-otot laring dibagi atas dua tipe yaitu otot-otot ekstrinsik yang menghubungkan

laring dengan struktur sekitarnya dan otot-otot instrinsik menghubungkan masing-

masing kartilago laring (Dhingra 2009).

1. Otot-otot ekstrinsik dibagi atas (Dhingra 2009):

a. Otot-otot elevator

Otot-otot elevator primer melekat pada kartilago tiroid dan bekerja secara

langsung, yang termasuk diantaranya stylofaringeus, salpingofaringeus,

palatofaringeus dan tirohyoid. Sedangkan otot-otot elevator sekunder melekat

pada tulang hyoid dan bekerja secara tidak langsung, terdiri dari mylohyoid,

digastrik, stylohyoid, dan geniohyoid (Dhingra 2009). Otot-otot ini berfungsi

untuk menggerakkan laring ke atas dan ke depan pada waktu proses

menelan (Sasaki, Kim & Levay 2009).

b. Otot-otot depressor

Terdiri dari sternohyoid, sternothyroid dan omohyoid (Dhingra 2009). Otot-otot

ini menggerakkan laring ke bawah pada saat proses inspirasi (Sasaki, Kim &

Levay 2009).

2. Otot-otot instrinsik dibagi atas (Beasly 2008; Sasaki, Kim & Levay 2009):

Page 5: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

5

a. Otot-otot yang membuka dan menutup glottis, yaitu:

1) Krikoaritenoid posterior, membuka glottis dengan cara abduksi dan

mengangkat prosesus vokalis sehingga pita suara menjadi lebih

panjang dan lebih tipis.

2) Krikoaritenoid lateral, berfungsi sebagai adduktor sehingga pita suara

lebih rendah, lebih panjang dan lebih tipis.

3) Aritenoid transversal, untuk adduksi dan mengatur posisi pita suara.

b. Mengatur ketegangan pita suara

1) Tiroaritenoid vokalis, membuat pita suara lebih rendah, lebih pendek

dan lebih tebal.

2) Krikotiroid, memutar kartilago krikoid di sekitar aksis horizontal.

c. Mengubah bentuk pintu masuk laring

1) Ariepiglotikus, melemahkan sfingter pintu masuk laring.

2) Tiroepiglotikus, melebarkan pintu masuk laring.

Page 6: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

6

Gambar 1. Laring (Hansen & Lambert 2005)

Rongga laring dibagi atas tiga bagian yaitu supraglottis, glottis dan subglottis yang

dipisahkan oleh plika vestibularis dan plika vokalis. Plika vestibularis sering disebut

dengan pita suara palsu, sedangkan plika vokalis sering disebut dengan pita suara

asli.Supraglottis terdiri dari epiglottis, aryepiglottis sampai ke arytenoid. Batas

bawahnya adalah pita suara palsu yang juga merupakan batas atas dari glottis.

Yang termasuk glottis adalah pita suara asli, komisura anterior dan posterior.

Dibawahnya adalah subglottis sampai ke batas bawah krikoid yang berhubungan

dengan trakea (Beasly 2008).

Plika vokalis merupakan suatu struktur yang terletak diantara prosesus

vokalis dari arytenoid dan komisura anterior. Plika vokalis ini terdiri dari 3 lapisan,

Page 7: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

7

yaitu lapisan epitel skuamosa bertingkat, lamina propria (Reinke’s space) yang terdiri

dari lapisan fibrosa protein seperti elastin, kolagen dan elemen ekstraselular lainnya

serta otot-otot vokalis (Sasaki, Kim & Levay 2009; Wooden 2014).

Gambar 2. Mikroanatami pita suara (Probst, Grevers & Iro 2006).

a b

Gambar 3. Gambaran endoskopik laring saat fonasi (a) dan saatrespirasi (b) (Probst, Grevers, & Iro 2006)

Persarafan pada laring berasal dari nervus vagus. Nervus vagus muncul dari medula

batang otak dan keluar dari foramen jugularis. Di leher, nervus vagus berjalan di

bagian posterior diantara vena jugularis dan arteri karotis interna (Yau 2013).

Nervus vagus ini bercabang menjadi nervus laringeal superior dan nervus laringeal

rekuren. Selain itu laring juga dipersarafi oleh nervus glossofaringeus (n. IX )

(Skandalakis 2004).

a. Nervus laringeal superior

Nervus ini meninggalkan ganglion nodosa melewati arteri karotis dan

kompleks laringohyoid. Kemudian akan bercabang menjadi cabang internal

Page 8: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

8

dan eksternal. Cabang internal akan menembus membrana tirohyoid bersama

dengan arteri laringeal superior dan memberikan inervasi sensorik kepada

bagian ipsilateral supraglotis dari laring. Sedangkan cabang eksternal dari

nervus laringeal superior berada dekat dengan arteri tiroidea dan memberikan

inervasi motorik kepada otot krikotiroid dan otot konstriktor inferior (Sasaki,

Kim & Levay 2009). Otot krikotiroid mengubah tegangan pita suara dengan

cara memanjangkan pita suara tersebut. Otot ini bertanggungjawab untuk

meningkatkan frekuensi suara (Rubin & Sataloff 2007).

b. Nervus laringeal rekuren

Nervus laringeal rekuren berjalan ke leher bagian bawah dimana pada sisi

sebelah kiri nervus ini berjalan melewati bagian inferior dan posterior arkus

aorta dan berbalik menuju kembali ke leher. Sedangkan pada sisi sebelah

kanan, nervus laringeal rekuren berputar di belakang arteri subklavia

kemudian naik ke superomedial mendekati lekuk trakeoesofageal. Kedua

nervus laringeal rekuren berjalan ke lateral atau ke dalam lekuk

trakeoesofageal, masuk ke dalam laring bagian posterior sampai ke sendi

krikotiroid (Rubin & Sataloff 2007).

Nervus laringeal rekuren menginervasi seluruh otot-otot intrinsik laring yaitu

muskulus krikoaritenoid posterior, interaritenoid (tidak berpasangan),

krikoaritenoid lateral dan tiroaritenoid, kecuali muskulus krikotiroid. Cabang-

cabangnya memberikan suplai motorik, sensorik dan parasimpatik kepada

mukosa laring dan bagian bawah plika vokalis (Skandalakis 2004; Young &

Simpson 2014).

Page 9: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

9

a b c

Gambar 4. Persarafan laring; laring tampak anterior (a), laring tampak posterior (b), laring tampak lateral (c)

(Probst, Grevers & Iro 2006)

Laring bagian supraglottis dan glottis disuplai oleh arteri laringeal superior yang

berasal dari arteri karotis eksterna. Sedangkan laring bagian subglottis disuplai oleh

arteri laringeal inferior yang berasal dari arteri subklavia dan tiroservikal. Aliran darah

vena pada laring berasal dari vena tiroid superior yang mengalir ke vena jugularis

interna, dan dari vena tiroidea inferior yang mengalir ke vena brakiosefalik (Probst,

Grevers & Iro 2006)

.

DEFINISIImobilitas pita suara merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu pada

berkurang atau tidak dijumpainya gerakan pita suara oleh berbagai hal. Paralisis

pita suara lebih mengacu pada imobilitas plika vokalis yang disebabkan oleh karena

cedera neurologik pada nervus vagus atau pada cabang distalnya yaitu nervus

rekuren laringeal. Sedangkanparese pita suara adalah hipomobilitas plika vokalis

yang disebabkan oleh karena cedera neurologik. Cedera neurologik ini dapat terjadi

secara unilateral maupun bilateral (Rubin & Sataloff 2007; Ernster 2014).

Page 10: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

10

EPIDEMIOLOGIInsiden sebenarnya dari paralisis pita suara tidak diketahui (Rubin & Sataloff

2007). Insiden paralisis pita suara berbeda-beda tergantung pada waktu dan tempat.

Hal ini disebabkan oleh karena berbagai hal. Kebanyakan kasus paralisis pita suara

unilateral tidak terdeteksi karena terjadi pemulihan spontan atau kompensasi pita

suara kontralateral (Pavithran & Menon 2011).

Ahmad et al. (2002) menyebutkan bahwa insiden paralisis pita suara di India

adalah 42% setiap tahunnya. Sebagian besar penderitanya berkisar pada usia 50-60

tahun, dimana laki-laki dijumpai lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan

3:1.

Paralisis pita suara unilateral lebih sering dijumpai dibandingkan paralisis pita

suara bilateral (Mangalgiri, Razvi & Longia 2008).

Pavithran dan Menon (2011) dalam penelitiannya mengenai paralisis pita

suara unilateral, dijumpai sebanyak 61.1% paralisis pita suara kiri dan 38.8%

paralisis pita suara kanan.

Di RSUP H. Adam Malik Medan kasus paralisis pita suara selama 1 tahun

terakhir (September 2013 - September 2014) dijumpai sebanyak 10 kasus.

ETIOLOGI Etiologi paralisis pita suara unilateral dan bilateral hampir sama namun

persentasenya berbeda (Benninger et al. , 1994; Hillel et al., 1999; Mangalgiri, Razvi

& Longia 2008).

Penyebab cedera saraf pada paralisis pita suara terutama disebabkan oleh:

a) kerusakan akibat operasi maupun trauma lainnya; b) kondisi penyakit tertentu; c)

disfungsi oleh faktor-faktor yang belum diketahui atau idiopatik (Sulica 2009).

Paralisis Pita Suara UnilateralEtiologi paralisis pita suara unilateral dapat melibatkan disfungsi pada nukleus

di batang otak, nervus vagus maupun nervus laringeal rekuren yang mempersarafi

bagian laring yang terlibat (Young & Simpson 2014).

Melalui penelitian-penelitian di berbagai negara dapat diketahui etiologi

paralisis pita suara unilateral berbeda-beda tergantung waktu dan lokasi

geografisnya (Ko et al. 2009).

Page 11: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

11

Di negara berkembang pada masa lalu, penyebab utama paralisis pita suara

unilateral adalah keganasan non-laring. Tetapi akhir-akhir ini, berdasarkan suatu

penelitian retrospektif selama 20 tahun terakhir, paralisis pita suara unilateral lebih

sering disebabkan oleh trauma bedah iatrogenik (Young & Simpson 2014).

Rosenthal et al. (2007) merupakan penelitian retrospektif terbesar mengenai

etiologi immobilitas pita suara hingga saat ini, menyebutkan bahwa etiologi utama

paralisis pita suara unilateral telah bergeser dari keganasan ekstralaringeal kepada

dominasi prosedur pembedahan nontiroid.

Penyebab PersentaseIatrogenik Nontiroid TiroidKeganasan Paru Non-paruIdiopatikNeurologikIntubasiTrauma non-bedahAortik/ JantungLainnya

30.615.7

6.6 6.917.6 7.9 4.4 2.2 0.612.6

Tabel 1. Penyebab paralisis pita suara unilateral (Rosenthal, Benninger & Deeb 2007)

Paralisis Pita Suara BilateralImobilitas pita suara bilateral dapat disebabkan oleh paralisis pita suara

bilateral maupun stenosis glottis posterior dengan atau tanpa fiksasi sendi

krikoaritenoid. Sebagian besar paralisis pita suara bilateral juga disebabkan oleh

trauma bedah iatrogenik, dimana penyebab yang paling sering adalah oleh karena

pembedahan tiroid. Sedangkan imobilitas pita suara bilateral tidak disebabkan oleh

satu faktor yang dominan. Hal ini mungkin dikarenakan pasien-pasien pada grup ini

terdiri dari populasi kasus paralisis dan stenosis yang heterogen (Young & Simpson

2014).

Page 12: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

12

Penyebab PersentaseParalisis Pita Suara Bilaterala

Iatrogenik Nontiroid Tiroid Keganasan (Paru/ Non-paru) Intubasi Idiopatik Neurologik Trauma Lainnya

48.6 6.9 9.7 9.7 8.3 6.9 1.4 8.4

Imobilitas Pita Suara Bilateralb

IatrogenikKeganasanNeurologikIntubasiIdiopatikTrauma eksternalArtritis reumatik atau penyakit inflamatorik lainnyaTerapi radiasi

25.7 17

12.815.412.811.1 3.4 1.7

Tabel 2. Penyebab paralisis pita suara bilateral dan imobilitas pita suara bilateral(aRosenthal, Benninger & Deeb 2007; bBenninger, Gillen & Altman 1998)

PATOFISIOLOGITerjadinya paralisis pita suara bergantung pada mekanisme dan derajat

cedera saraf. Sistem klasifikasi Sunderland menjelaskan berbagai derajat cedera

saraf tersebut sebagai berikut (Rubin & Sataloff 2007):

a. Derajat 1 : neurapraksia, fungsi saraf dapat pulih sempurna.

b. Derajat 2 : degenerasi Wallerian terjadi pada bagian distal dari lokasi saraf yang

mengalami cedera (aksonotmesis). Cedera derajat 2 ini juga dapat mengalami

pulih sempurna. Selubung endoneural masih tetap intak sehingga tidak terjadi

sinkinesis.

c. Derajat 3 : terjadi parut endoneural sehingga dapat menyebabkan kesalahan

regenerasi.

d. Derajat 4 : terjadi parut yang dapat menghambat regenerasi akson.

e. Derajat 5 : transeksi total pada saraf.

Imobilitas pita suara disebabkan oleh keterlibatan nervus laringeal rekuren

dengan atau tanpa keterlibatan nervus laringeal superior (Sulica 2009).

Page 13: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

13

Nervus Laringeal RekurenCedera nervus laringeal rekuren unilateral maupun total akan menyebabkan

paralisis seluruh muskulus laringeal intrinsik ipsilateral kecuali muskulus krikotiroid

yang dipersarafi oleh nervus laringeal superior (Skandalakis 2004).

Paralisis yang terjadi pada salah satu nervus laringeal rekuren akan

menyebabkan suara serak yang dapat membaik seiring waktu oleh karena pita

suara kontralateral mengalami kompensasi, yaitu dengan cara adduksi melewati

garis tengah tubuh (Skandalakis 2004; Rubin & Sataloff 2007). Apabila terjadi

reinnervasi maka paralisis tersebut sulit diketahui secara dini. Gejala yang timbul

selanjutnya tergantung pada derajat reinnervasi dan sinkinesis (Rubin & Sataloff

2007).

Reinnervasi pada saraf yang cedera akan mencegah terjadinya atrofi otot-otot

laring. Sinkinesis dihasilkan oleh innervasi nonselektif dari otot-otot adduktor dan

abduktor. Crumley menjelaskan mengenai sinkinesis laring sebagai berikut (Rubin &

Sataloff 2007):

1. Tipe I disebut juga sebagai sinkinesis yang menguntungkan karena tidak

dijumpai atau hanya sedikit getaran dari pita suara. Jalan nafas pasien dan

suara yang dihasilkan cukup baik.

2. Tipe II,III dan IV disebut sebagai sinkinesis yang tidak menguntungkan. Tipe II

ditandai dengan pita suara yang spastik dan bergetar tidak terkontrol. Kualitas

suara pada tipe ini sangat buruk. Pada tipe III dijumpai adduksi tonik pada pita

suara. Kualitas suara pada tipe ini cukup baik, namun jalan nafas cenderung

terganggu. Tipe III, sinkinesis mungkin disebabkan oleh reinnervasi muskulus

krikoaritenoid lateral yang lebih baik dibandingkan muskulus krikoaritenoid

posterior sedangkan pada tipe IV terjadi sebaliknya.

Pita suara kiri lebih sering mengalami cedera bila dibandingkan dengan pita

suara kanan dengan rasio 60:40. Hal ini disebabkan oleh karena nervus laringeal kiri

lebih panjang dan lebih jauh masuk ke dalam toraks sehingga lebih rentan terhadap

penyakit dan tindakan pembedahan (Sulica 2009).

Cedera nervus laringeal rekuren bilateral akan menyebabkan obstruksi dan

depresi saluran nafas (Skandalakis 2004).

Page 14: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

14

Nervus Laringeal SuperiorCedera nervus laringeal superior biasanya terjadi oleh karena

penyalahgunaan suara maupun adanya lesi pada struktur saraf tersebut (Rubin &

Sataloff 2007).

Cedera nervus laringeal superior cabang eksternal unilateral akan

menyebabkan muskulus krikotiroid sisi yang terkena menjadi lumpuh. Hal ini akan

menyebabkan parese parsial pada segmen posterior pita suara. Komisura anterior

akan jatuh ke bawah dan mendekati sisi yang cedera (Skandalakis 2004).

Dalam keadaan normal, muskulus krikotiroid berkontraksi cepat pada nada

tinggi, perubahan nada dan fonasi untuk meningkatkan tegangan pada pita suara.

Pada parese dan paralisis nervus laringeal superior, fungsi tersebut akan hilang

sehingga suara menjadi lebih rendah dan monoton serta terdengar kurang baik pada

nada-nada tinggi. Parese dan paralisis nervus laringeal superior juga akan

menyebabkan kelelahan bersura, suara serak, gangguan volume suara dan

pernafasan. Gejala klinis ini seringkali lebih mengganggu pada penderita yang

pekerjaannya adalah sebagai penyanyi atau pembicara profesional. Pasien-pasien

ini biasanya akan mengalami muscle tension dysphonia untuk menghasilkan suara

yang lebih baik (Rubin & Sataloff 2007).

Selain menyebabkan paralisis krikotiroid dengan fonasi yang melemah,

cedera pada nervus laringeal superior juga dapat menyebabkan perubahan sensorik

pada mukosa laring yang akan menyebabkan akumulasi sekret pada saluran nafas

dan resesus piriformis dan hilangnya sensasi pada resesus piriformis sehingga

tidakmampu merasakan adanya kehadiran benda asing (Skandalakis 2004).

GEJALA DAN TANDAParalisis Pita Suara Unilateral

Gejala pada penderita paralisis pita suara unilateral timbul oleh karena

insufisiensi glotis yang disebabkan oleh bergesernya plika vokalis yang mengalami

paralisis ke arah lateral (Sulica & Blitzer 2006; Young & Simpson 2014). Gejala

utama berupa disfonia dan suara serak. Gejala suara serak yang dialami bervariasi,

mulai dari kelelahan suara ringan sampai dengan afonia. Paralisis pita suara yang

mengalami atrofi dan tidak terkompensasi dengan baik dapat menimbulkan suara

yang terkesan sesak dan lemah oleh karena adanya udara yang luput (Young &

Page 15: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

15

Simpson 2014). Namun apabila terkompensasi dengan baik suara yang timbul dapat

berupa disfonia dengan nada tinggi oleh karena pita suara memanjang agar glotis

menutup lebih baik (Carroll 2013). Selain itu suara dapat juga terkesan ‘basah’ atau

‘berair’ oleh karena sekret yang menumpuk pada sinus piriformis. Terkadang

dijumpai kesulitan menelan, terutama cairan dan sering disertai dengan gejala batuk

(Young & Simpson 2014).

Penderita paralisis pita suara unilateral ini kadang mengeluhkan ‘sesak

nafas’. Hal ini disebabkan oleh laring yang tidak menutup sempurna, sehingga

aktifitas muskulus laring dan usaha bernafas semakin meningkat (Young & Simpson

2014). Anamnesa yang teliti akan menunjukkan bahwa penderita sebenarnya tidak

mengalami obstruksi saluran nafas seperti pada penderita paralisis pita suara

bilateral (Simpson & Cheung 2006).

Paralisis Pita Suara BilateralParalisis pita suara bilateral adalah kondisi dimana laring kehilangan

kemampuan geraknya sehingga tidak lagi dapat memberikan proteksi dan patensi

yang adekuat terhadap jalan nafas serta fonasi yang optimal (Sulica & Blitzer 2006).

Keluhan utama yang dapat timbul pada penderita paralisis pita suara bilateral

dapat berupa stridor yang semakin memburuk dan menjadi dispnoe atau dispnoe

yang semakin lama semakin parah dengan tanpa perubahan kualitas suara (Pinto et

al. 2011). Kedua pita suara akan bergeser ke arah garis tengah tubuh sehingga

kualitas suara cenderung normal oleh karena posisi pita suara yang berdekatan.

Namun area glotis yang sempit akan menyebabkan gejala stridor, mulai dari yang

ringan sampai obstruksi saluran nafas yang dapat mengancam jiwa (Ernster 2014;

Young dan Simpson 2014).

Hal penting yang perlu ditanyakan pada penderita paralisis pita suara bilateral

ini adalah apakah adanya riwayat operasi sebelumnya. Khususnya operasi yang

melibatkan leher, dada ataupun prosedur bedah saraf lainnya. Pada kebanyakan

kasus, pasien penderita paralisis pita suara bilateral ini mengalami stridor beberapa

jam setelah ekstubasi (Young & Simpson 2014).

Page 16: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

16

PEMERIKSAAN KLINISPemeriksaan Umum

Leher sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda

adenopati atau massa pada tiroid (Simpson & Cheung 2006; Sullica 2009; Young &

Simpson 2014). Kompresi dan infiltrasi pada nervus laring rekuren atau vagus yang

disebabkan oleh karena adanya massa di leher atau tiroid dapat menyebabkan

paralisis pita suara. Gerakan palatum saat mengatakan |a| sebaiknya diperhatikan.

Paralisis palatum dapat terjadi bersamaan dengan paralisis pita suara yang

menandakan adanya lesi pada nervus vagus. Pada paralisis palatum, palatum akan

tertarik ke arah sisi yang sehat (Simpson & Cheung 2006; Young & Simpson 2014).

Selain itu, deviasi lidah ke arah ipsilateral dan dijumpainya sindroma Horner

sebaiknya meningkatkan kecurigaan terhadap lesi pada dasar tengkorak.

Pemeriksaan terhadap nervus kranialis lainnya juga perlu dilakukan, terutama pada

nervus XI dan XII karena dekat dengan nervus vagus di dasar tengkorak (Simpson &

Cheung 2006; Young & Simpson 2014).

Pemeriksaan LaringLaringoskopi indirek maupun laringoskopi kaku dengan teleskop 70 atau 90

derajat akan membantu pemeriksaan terhadap paralisis pita suara, namun evaluasi

yang paling tepat adalah dengan menggunakan laringoskopi fiberoptik. Laringoskopi

fiberoptik adalah satu-satunya cara untuk dapat melihat gerakan pita suara pada

kondisi alaminya. Menarik lidah pada saat melakukan pemeriksaan laringoskopi

indirek atau laringoskopi kaku akan mengubah biomekanik laring dan mempengaruhi

hasil pemeriksaan laring, khususnya saat penutupan glotis yang merupakan

parameter dalam menentukan penatalaksanaan (Simpson & Cheung 2006).

Untuk mengevaluasi paralisis pita suara unilateral, pasien diminta untuk

mengucapkan huruf |i| dan mengendus dengan kuat secara bergantian. Manuver ini

akan menyebabkan pita suara adduksi dan abduksi maksimal secara bergantian

sehingga derajat parese atau paralisis dapat dievaluasi dengan baik (Simpson &

Cheung 2006; Young & Simpson 2014).

.Abduksi pita suara menunjukkan adanya parese atau paralisis inkomplit yang

memiliki prognosis lebih baik dibandingkan paralisis total. Lumpuhnya nervus

laringeal rekuren menyebabkan paralisis pada muskulus tiroaritenoid, krikoaritenoid

Page 17: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

17

posterior dan krikoaritenoid lateral ipsilateral tetapi tidak demikian pada muskulus

interaritenoid. Muskulus interaritenoid merupakan otot pada garis tengah tubuh

dimana otot tersebut diinervasi oleh kedua nervus laringeal kiri dan kanan.

Pemeriksa sebaiknya tidak salah menginterpretasi gerakan pita suara yang dapat

timbul baik oleh karena inervasi parsial dari muskulus intearitenoid kontralateral ini

(Simpson & Cheung 2006; Sullica 2009; Young & Simpson 2014).

Pemeriksaan sederhana untuk mengevaluasi derajat inkompetensi glotis

adalah mengukur waktu fonasi maksimal. Hal ini dilakukan dengan cara

menginstruksikan pasien untuk menarik nafas dalam kemudian pasien diminta untuk

mengucapkan |i| selama mungkin. Waktu fonasi maksimal yang normal untuk pasien

dewasa adalah sekitar 25 detik. Pada paralisis pita suara, waktu fonasi maksimal

pasien menjadi < 10 detik. Waktu fonasi maksimal yang lebih singkat menunjukkan

inkompetensi glotis yang berat, suara yang lebih buruk dan kelelahan suara

meningkat (Simpson & Cheung 2006; Young & Simpson 2014).

Pemeriksaan PenunjangParalisis pita suara merupakan suatu temuan klinis dan bukan diagnosa. Oleh

karena itu, penyebab utama imobilitas pita suara haruslah ditentukan. Pemeriksaan

penunjang lainnya seperti pemeriksaan laboratorium dan tomografi komputer

sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan videostroboskopi dapat dilakukan untuk

menilai gerakan abnormal dari pita suara, menentukan perbedaan puncak pita suara

dan keadaan prosesus vokalis pada saat fonasi. Parameter ini berguna untuk

rencana penatalaksanaan pasien (Young & Simpson 2014).

Pemeriksaan lainnya adalah elektromiografi laring. Elektromiografi laring

adalah pemeriksaan elektrofisiologis terhadap otot-otot laring. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan jarum elektromiografi secara perkutaneus baik dengan anestesi

lokal maupun tanpa anestesi (Carroll 2013). Pemeriksaan ini berfungsi penting untuk

menentukan prognosa, membedakan paralisis pita suara unilateral dengan

gangguan sendi krikoaritenoid, diagnosa parese pita suara serta menentukan

perencanaan penatalaksanaan selanjutnya (Young & Simpson 2014).

Page 18: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

18

PENATALAKSANAANParalisis Pita Suara Unilateral

Penanganan pada paralisis pita suara unilateral dapat dibagi atas 3 yaitu

(Young & Simpson 2014):

a. Observasi selama 6-12 bulan dan menyiapkan strategi penanganan apabila

keluhan tetap berlanjut.

b. Merujuk ke ahli patologi bicara untuk meningkatkan kemampuan bersuara atau

terapi menelan.

c. Intervensi yang bersifat:

- Temporer : Plika vokalis disuntik dengan zat yang bersifat sementara

- Permanen : Laringoplasti medialisasi (dengan atau tanpa adduksi aritenoid)

atau injeksi plika vokalis dengan zat yang dapat bertahan lebih lama

Ketersediaan elektromiografi laring akan sangat membantu pasien maupun

dokter untuk mengambil keputusan penatalaksanaan yang menyangkut: a) terapi

atau observasi, atau b) terapi sementara atau permanen.

A. ObservasiObservasi dapat dilakukan bila dijumpai faktor-faktor seperti di bawah ini

(Sulica 2009):

1. Tidak ada aspirasi

2. Nervus laringeal yang cedera diketahui masih intak

3. Ketidakmampuan atau kebutuhan bersuara minimal

4. Fungsi pita suara memiliki prognosis yang baik

5. Kondisi medis lainnya yang dapat menghambat tindakan intervensi

Terapi bicara dan menelan dapat dilakukan selama periode observasi ini

(Sulica 2009). Observasi selama minimal 6-9 bulan dapat dilakukan sebelum

mengambil keputusan untuk terapi yang bersifat lebih permanen (Young dan

Simpson 2014).

B. Intervensi Suntikan Augmentasi

Suntikan augmentasi dengan zat-zat yang bersifat sementara pada prinsipnya

bertujuan untuk menanamkan suatu zat yang dapat mengisi ruang pita suara,

Page 19: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

19

mengembalikan karakteristik pita suara yang bertahan terhadap getaran tanpa

menimbulkan efek samping (Cooper & Ford 2006).

Suntikan augmentasi merupakan prosedur yang sederhana. Dengan suntikan

augmentasi diharapkan pita suara yang paralisis akan mengalami medialisasi secara

pasif ke arah garis tengah tubuh sehingga penutupan glottis tercapai melalui adduksi

aktif dari pita suara kontralateral (Cooper & Ford 2006).

Melalui suntikan augmentasi ini juga diharapkan suara penderita dapat

membaik selama beberapa minggu sampai beberapa bulan sambil menunggu fungsi

pita suara kembali seperti semula. Lama efek dari masing-masing zat yang

diinjeksikan bervariasi dan tidak dapat diprediksi (Young & Simpson 2014).

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan suntikan

augmentasi ini adalah (Sulica 2009):

1. Disfagia

2. Ketidakmampuan atau kebutuhan bersuara cukup tinggi

3. Fungsi pita suara memiliki prognosis yang baik atau tidak dapat dinilai

4. Gap glottis relatif kecil (< 2-3 mm)

5. Tidak dijumpai gap glottis posterior

6. Harapan hidup singkat (kurang dari masa kerja zat yang diharapkan)

Prosedur ini dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Hasilnya dapat

langsung dirasakan pasien yaitu fonasi dan kompetensi glottis yang membaik

(Cooper & Ford 2006).

Tindakan ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal menggunakan panduan

laringoskopi fleksibel maupun kaku, baik secara transkutaneus maupun secara

transoral. Keuntungan menggunakan pendekatan ini adalah pasien merasa nyaman

dan suara semakin membaik saat disuntikkan zat tersebut (Young & Simpson 2014).

Teknik ini dilakukan dengan cara pasien duduk dengan posisi kepala

ekstensi, diberikan anestesi topikal yang disemprotkan pada palatum lunak dan

bagian posterior dinding orofaring. Dengan menggunakan kasa, pasien menarik

lidahnya dan lidokain 4% diteteskan pada pangkal lidah, permukaan laringeal

epiglotis dan pita suara pada saat fonasi masing-masing sebanyak 0.3 ml hingga

total 1.2 ml dan dibiarkan selama 1 menit. Komponen alloplastik disuntikkan ke

bagian dalam muskulus tiroaritenoid dan ruang paraglottis (Cooper & Ford 2006).

Page 20: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

20

Suntikan ke bagian sepertiga anterior pita suara dan subglottis sebaiknya

dihindari oleh karena hal ini dapat menyebabkan komplikasi suara yang semakin

memburuk dan bahkan dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas (Cooper & Ford

2006).

Selain itu, tindakan ini juga dapat dilakukan dengan anestesi umum baik

dengan panduan teleskop maupun mikroskop. Keuntungan teknik ini adalah

ketepatan tindakan dan ketenangan pasien. Sedangkan kerugian teknik ini adalah

tidak didapat umpan balik suara untuk mengukur injeksi yang telah diberikan (Young

& Simpson 2014).

Bahan disuntikkan melalui Bruening syringe, injektor orotrakeal atau jarum

transoral tergantung jenis zat yang dipakai dan ukuran jarum yang diperlukan.

Suntikan sebaiknya mencapai bagian dalam plika vokalis untuk menghindari

kerusakan lapisan superfisial dari lamina propria. Lokasi suntikan ini sebaiknya pada

aspek medial dari muskulus tiroaritenoid yaitu di bagian tengah membran dan

posterior dari plika vokalis. Sebaiknya hati-hati jangan sampai menyuntikkan ke

bagian superfisial dari ruang Reinke karena hal ini dapat menyebabkan gangguan

fungsi vibratorik secara permanen (Young & Simpson 2014).

Zat-zat yang disuntikkan terdiri dari: preparat berbagai kolagen dan asam

hialuronat, lemak autolog, partikel dermis manusia yang telah dimikronisasi dan gel

karboksimetilselulosa-gliserin (Sulica 2009).

Komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan ini adalah 1) kegagalan

medialisasi pita suara yang paralisis yang ditandai dengan disfonia persisten yang

disertai kesan sesak nafas; 2) suntikan pada sepertiga anterior pita suara

menyebabkan kekakuan sehingga mucosal wave pita suara kontralateral berkurang

dan penutupan glottis posterior semakin memburuk; 3) munculnya granuloma

khususnya akibat penyuntikan Teflon (Cooper & Ford 2006).

Page 21: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

21

Gambar 5. Lokasi suntikan augmentasi dan teknik suntikan augmentasi (Hartegard et al. 2006; Young & Simpson 2014))

Intervensi PembedahanApabila hasil temuan serial elektromiografi laring tidak baik atau diketahui

telah dilakukan reseksi nervus laring rekuren misalnya pada kasus-kasus onkologi,

maka intervensi pembedahan lebih dini dapat dilakukan, yaitu 4-5 bulan setelah

diagnosa paralisis pita suara unilateral ditegakkan (Young & Simpson 2014).

Intervensi pembedahan secara dini dilakukan pada pasien yang mengalami

aspirasi oleh karena paralisis pita suara, cedera denervasi saraf yang berat (grade

V) pada gambaran elektromiografi laring dan pada pasien-pasien yang pekerjaannya

bergantung pada penggunaan suara (misalnya guru, pengacara, pengkotbah)

(Young & Simpson 2014).

Intervensi pembedahan ini dilakukan bila dijumpai (Sulica 2009):

1. Disfagia

2. Ketidakmampuan atau kebutuhan bersuara cukup tinggi

3. Fungsi pita suara memiliki prognosis yang jelek

Page 22: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

22

4. Gap glottis cukup besar (> 2-3 mm)

5. Dijumpai gap glottis posterior

6. Harapan hidup masih panjang

1. Laringoplasti Medialisasi Laringoplasti medialisasi disebut juga dengan tindakan tiroplasti,

merupakan prosedur yang sudah sering dipakai untuk mengatasi insufisiensi

glottis yang menimbulkan gejala. Tujuan tindakan ini adalah untuk meningkatkan

kualitas suara dan melindungi jalan nafas dengan cara memperoleh penutupan

glottis yang sempurna selama proses fonasi dan menelan (Simpson & Sulica

2006).

Indikasi tindakan ini adalah insufisiensi glottis yang menimbulkan gejala

seperti disfonia dan aspirasi. Insufisiensi glottis dapat disebabkan oleh paralisis

pita suara unilateral, parese pita suara unilateral maupun bilateral dan atropi pita

suara. Sedangkan kontraindikasi dari tindakan ini adalah: keganasan pada

komplek laringotrakeal, abduksi pita suara kontralateral buruk, riwayat radiasi

pada daerah laring (Simpson & Sulica 2006).

Para ahli lebih sering memilih melakukan laringoplasti medialisasi ini

setelah 6-12 bulan. Hal ini dikarenakan waktu tersebut mencerminkan waktu

yang diperlukan pita suara untuk pulih secara spontan. Pada kasus-kasus

tertentu laringoplasti medialisasi dapat dilakukan lebih dini (< 6 bulan)

khususnya apabila elektromiografi menunjukkan degenerasi neuron yang berat

tanpa menunjukkan adanya penyembuhan neuronal atau apabila jelas diketahui

adanya riwayat transeksi neuron (Simpson & Sulica 2006).

Laringoplasti medialisasi ini pada prinsipnya bertujuan untuk medialisasi

pita suara pada 3 dimensi yaitu: antero-posterior, medial-lateral dan supero-

inferior. Sebaiknya dihindari meletakkan implan terlalu ke anterior atau ke

superior (Young & Simpson 2014). Pada tindakan ini, hal penting yang harus

dilakukan adalah mengidentifikasi level pita suara yang berhubungan dengan

lamina tiroid sehingga dapat dibuat suatu jendela kartilago untuk memasukkan

bahan implan (Simpson & Sulica 2006).

Pita suara terletak pada batas bawah lamina kartilago tiroid. Faktor jenis

kelamin dapat membedakan konfigurasi kartilago tiroid ini. Pada laki-laki pita

Page 23: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

23

suara lebih memanjang dan ala tiroid membentuk sudut yang lebih tajam

dibandingkan pada laring wanita.Sehingga pada laki-laki, jendela kartilago yang

dibentuk harus lebih ke posterior untuk menghindari pergeseran sepertiga

anterior pita suara yang berlebihan (Simpson & Sulica 2006).

Gambar 6. Anatomi laring pada wanita (atas) dan pria (bawah) (Simpson & Sulica 2006).

Bahan implan medialisasi yang banyak digunakan adalah: Gore-Tex,

sistem Montgomery silikon, blok silastik Netterville Phonoform, sistem VoCom

hidroksiapatit dan implan titanium Kurz (Young & Simpson 2014).

Komplikasi serius yang dapat timbul akibat tindakan ini adalah obstruksi

jalan nafas, dan perforasi lumen laring. Perforasi dapat menimbulkan infeksi

maupun bergesernya bahan implan. Perforasi biasanya dapat terjadi pada

bagian mukosa ventrikular yang lunak yang berada dekat dengan lamina tiroid,

atau pada bagian anterior dimana hanya sedikit dijumpai lapisan jaringan lunak.

Komplikasi yang paling sering dijumpai dapat berupa hasil suara yang tidak

optimal dan seringkali membutuhkan tindakan revisi. Faktor yang paling sering

menyebabkan hal ini adalah: gap posterior yang persisten, pita suara masih

kurang termedialisasi, malposisi implan yaitu terlalu ke anterior atau terlalu ke

posterior (Simpson & Sulica 2006; Sulica 2009).

Page 24: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

24

A. Pengukuran batas anterior dari jendela tirotomi (A) B. Mengukur kedalaman medialisasi (B)

C. Membentuk impan segitiga D. Membentuk dan membuang kelebihan silastik

E. Membentuk implan dengan alat pemegang implan F. Membuat marker untuk implan medialisasi

G. Membuang kelebihan silastik sesuai zona medialisasi

Gambar 7. Laringoplasti medialisasi menggunakan blok silastik, sebuah silikon gel terpolimerisasi (Simpson 2006)

Page 25: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

25

A) lempeng lateral untuk mencegah lateralisasi, B) lempeng tengah untuk stabilisasi implan dan C) lempeng medial melindungi bagian dalam lamina tiroid dan mencegah implan bergeser keluar D)

Bagian segitiga intralaringeal dari implan yang berfungsi untuk medialisasi pita suara

Gambar 8. Sistem Tiroplasti Montgomery (Varvares & Bransted 2006)

Gambar 9. Tiroplasti menggunakan implan VoCom (Meyer & Blitzer 2006)

Page 26: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

26

a) insisi kulit b) setelah flap subplatisma diangkat, muskulus dipisahkan dan diretraksi ke lateral c) laring dikait kemudian dilakukan identifikasi jendela kartilago

d,e) jendela tersebut dapat dibentuk dengan skalpel, Kerrison atau bor otologis

f) jaringan paraglottis disisihkan dari bagian dalam kartilago tiroid g) implan diselipkan sesuai ukuran dan posisi

h) implan dapat diletakkan baik secara vertikal maupun horizontal untuk fonasi yang optimal tercapai

Gambar 10. Teknik tiroplasti menggunakan VoCom (Meyer & Blitzer 2006)

Page 27: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

27

Gambar 11. Medialisasi menggunakan implan titanium (Schneider 2006)

Gambar 12. Implan Gore-Tex, suatu bahan biokompatibel yang mengandung politetrafluoroetilen, pemakaiannya dapat mengurangi efek respon inflamatorik.

(McCulloch & Hoffman 2006)

2. Adduksi AritenoidAdduksi aritenoid atau reposisi aritenoid merupakan prosedur yang

bertujuan untuk mengatasi inkompetensi glottis posterior akibat paralisis laring.

Gap posterior yang persisten merupakan tanda kegagalan yang paling sering

dijumpai pada prosedur medialisasi. Apabila dijumpai prosesus vokalis dari

aritenoid yang tidak mendekati garis tengah tubuh sehingga terbentuk gap glottis

yang lebar saat fonasi maupun menelan dan tidak dapat diatasi dengan tindakan

Page 28: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

28

suntikan augmentasi maupun tiroplasti, maka reposisi aritenoid merupakan

tindakan yang tepat untuk mengatasi hal ini (Woodson 2006).

Adduksi aritenoid ini bertujuan untuk rotasi internal dan atau menahan

kartilago aritenoid pada posisi fonasi yang fisiologis. Hal ini dapat tercapai

dengan cara menjahitkan benang non-absorbable ke dalam prosesus

muskularis melalui muskulus konstriktor inferior dan melewati bagian belakang

lamina tiroid mengikatnya pada lamina tiroid tersebut, sehingga prosesus vokalis

dapat berputar ke medial dan kaudal (Sulica 2009).

Tindakan ini biasanya lebih sulit dibandingkan tindakan tiroplasti dan

lebih sering menyebabkan komplikasi obstruksi saluran nafas akibat edema dan

perdarahan pada ruang paraglottis (Sulica 2009).

3. Reinnervasi LaringProsedur reinnervasi untuk paralisis pita suara sering dilakukan

menggunakan ansa servikalis, nervus frenikus, neuron preganglionik simpatetik,

nervus hipoglossus, nervus muskulus pedikulus. Tujuan reinnervasi ini adalah

untuk mencegah denervasi atropi dari muskulus laring (Rubin & Sataloff 2007).

Paralisis Pita Suara BilateralMeskipun kualitas suara biasanya baik pada penderita paralisis pita suara

bilateral, namun saluran nafas mengalami obstruksi oleh karena posisi paramedian

pita suara. Bila akut maka sebaiknya dilakukan trakeostomi, diikuti dengan intervensi

pembedahan untuk melebarkan saluran nafas glottis. Kualitas suara akan berkurang

saat pita suara dilakukan lateralisasi (Rubin & Sataloff 2007).

Kordotomi dan aritenoidektomi dengan atau tanpa lateralisasi pita suara

merupakan prosedur yang paling sering dilakukan pada paralisis pita suara bilateral.

Prosedur ini biasanya dilakukan secara endoskopik dan menggunakan laser CO2

(Rubin & Sataloff 2007).

Usaha yang dilakukan pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan

membran pita suara selebar mungkin, namun gangguan suara dan bahkan menelan

dapat terjadi sebagai efek samping. Prosedur ini bersifat destruktif dan ireversibel,

sehingga perlu pertimbangan yang matang dalam pelaksanaannya (Sulica 2009).

Page 29: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

29

KESIMPULANParalisis pita suara biasanya lebih sering disebabkan oleh karena cedera

nervus perifer yaitu salah satu atau kedua nervus laringeal. Paralisis dapat

menyebabkan gangguan klinis yang signifikan terhadap fonasi, menelan dan

respirasi.

Oleh karena laring cenderung akan mengalami reinnervasi, maka paralisis

akan membaik seiring waktu dan dapat pulih secara spontan. Namun bila tidak

terjadi, terdapat beberapa pilihan intervensi untuk mengatasi insufisiensi glottis pada

paralisis pita suara unilateral sehingga mengurangi gejala seperti disfonia dan

disfagia. Sedangkan penatalaksanaan paralisis pita suara bilateral masih merupakan

tantangan yang besar oleh karena restriksi pernafasan yang terjadi, dan intervensi

pembedahan bersifat destruktif dan ireversibel bahkan dapat menyebabkan

gangguan fonasi dan menelan sebagai efek sampingnya.

Page 30: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

30

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S, Muzamil, A & Lateef, M 2002, ‘A study of incidence and etiopathology of vocal cord paralysis of vocal cord paralysis’, Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, vol. 54, no. 4, p.294-295.

Beasly, N 2008, Anatomy of The Larynx And Tracheobronchial Tree in M Gleeson, Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed., Hodder Arnold, London.

Benninger, MS, Crumley, RL, Ford, CN, Gould, WJ, Hanson, DG, Ossoff, RH, Sataloff, RT 1994, ‘Evaluation and treatment of the unilateral paralyzed vocal cord’, Otolaryngology Head Neck Surgery, vol. 111, pp.497–508.

Benninger, MS, Gillen, JB & Altman, JS, 1998, ‘Changing etiology of vocal fold immobility’ Laryngoscope, vol. 108, no. 9, pp.1346-50.

Carrol, TL 2013, Unilateral Vocal Fold Paralysis,  viewed 14 October 2014 in http://emedicine.medscape.com/article/863779-overview.

Chen, HC, Jen, YM, Wang, CH, Lee, JC & Lin, YS 2007, ‘Etiology of vocal cord paralysis’, ORL, vol. 69, pp. 167-171.

Cooper, KA & Ford, CN 2006, Injection augmentation in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Dhingra, P 2009, Diseases of Ear, Nose and Throat, Elsevier, India.Ernster, JA 2014, Bilateral Vocal Fold Paralysis, viewed 15 September 2014 in

http://emedicine.medscape.com/article/863885-overview.Hartegard, S, Dahlqvist, A, Hallen L, Laurent, C 2006, Treatment of glottal

insufficiensy using hyaluronan in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Hiatt, J & Gartner, L 2010, Textbook of Head and Neck Anatomy, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.

Hillel, AD, Benninger, M, Blitzer, A, Crumley, R, Flint, P, Kashina, HK, Sanders, I, Schaefer, S 1999, ‘Evaluation and management of bilateral vocal cord immobility’, Otolaryngology Head Neck Surgery, vol. 121, pp.760–65.

Hansen, JT & Lambert, DR 2005, Netter’s Clinical Anatomy, Icon Learning System LLC, New Jersey.

Ko, CH, Lee, LA, Li, HY, Fang, TJ 2009, ‘Etiologic Features in Patients with Unilateral Vocal Fold Paralysis in Taiwan’, Chang Gung Med J, vol. 32, pp. 290-6.

Mangalgiri, AS, Razvi, R, Longia, GS 2008, ‘Clinical anatomy of the vocal cord’, People’s Journal of Scientific Research, vol. 1, p. 35-38.

McCulloch, TM & Hoffman, HT 2006, Medialization laryngoplasty with gore-tex (expanded polytetrafluoroethylene), in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Meyer, TK & Blitzer, A 2006 Medialization thyroplasty using the vocom vocal cord medialization system, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Pavithran, J, Menon, JR 2011, ‘Unilateral vocal cord palsy: an etiopathological study’, International journal of Phonosurgery and Laryngology, vol. 1, no. 1, 5-10.

Page 31: Penatalaksanaan Paralisis Pita Suara

31

Pinto, JA, de Mello Godoy, LB, Marquis, VW, Sonego, TB & de Farias Aries Leal, C 2011, ‘Bilateral vocal fold immobility’, Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, vol. 77, no. 5, pp. 594-9.

Probst, R, Grevers, G, & Iro, H 2006, Basic Otorhinolaryngology: A Step-By-Step Learning Guide, Georg Thieme Verlag, Germany.

Rosenthal, LHS, Benninger, MS, Deeb, RH 2007, ‘Vocal fold immobility: a longitudinal analysis of etiology over 20 years’, Laryngoscope, vol. 117, pp. 1864-1870.

Rubin, AD & Sataloff, RT 2007, ‘Vocal fold paresis and paralysis’, Otolaryngologic Clinics of North America, vol. 40, pp. 1109-1131.

Sasaki, CT, Kim, YH & Levay, AJ 2009, Development, anatomy and physiology of the larynx in JB Snow & PA Wackym, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, People’s Medical Publishing House, Shelton, Connecticut.

Schneider, B 2006, Titanium medialization implant, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Simpson, CB 2006, Silastic medialization laryngoplasty, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Simpson, CB & Cheung EJ 2006, Evaluation ofvocal fold paralysis, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Simpson, CB & Sulica L 2006, Principles of medialization laryngoplasty, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Skandalakis, JE, Colborn, GL, Weidman, TA, Foster, RS, Kingsnorth, AN, Skandalakis, LJ, Skandalakis, PN, Mirilas, PS 2004, Larynx.

Sulica, L 2009, Laryngeal Paralysis in JB Snow & PA Wackym, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, People’s Medical Publishing House, Shelton, Connecticut.

Sulica L & Blitzer A, 2006, Decisions point in the management vocal fold paralysis in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Varvares, MA & Brandsted, RM 2006 Medialization thyroplasty using the montgomery thyroplasty system, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Woodson, GE 2006, Arytenoid repositioning surgery, in L Sulica & A Blitzer, Vocal Cord Paralysis, Springer, Heidelberg, Germany.

Woodson, GE 2014, Upper Airway Anatomy and Function in B. Bailey, J. Johnson, & S. Newlands, Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins,Philadelphia.

Yau, A 2013, Laryngeal Nerve Anatomy, viewed 14 October 2014 in http://emedicine.medscape.com/article/1923100-overview.

Young, VN & Simpson, CB 2014, Treatment of Vocal Fold Paralysis in B Bailey, J Johnson & S Newlands, Head & Neck Surgery - Otolaryngology, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.