pemikiran politik abdullahi ahmed...

97
i KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia dan izin-Nya skripsi ini dapat selesai penulisannya sesuai dengan ketentuan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat serta pembawa panji-panji kebenaran dan pembaharuan bagi kehidupan umat manusia. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengakui banyak menemui kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur bahan dan pengolahan data. Namun, berkat bimbingan, dorongan, masukan serta support yang diberikan, alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerjasama dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini pula perkenankan penulis menyampaikan secara khusus ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua tercinta, H. Kaswir dan Hj. Asnidar yang telah memberikan dorongan moril maupun materil serta do’a yang tulus sampai selesainya penyusunan skripsi ini serta studi penulis. 2. Kakakku Hildayuni, Abangku Zamis, Adik-adikku Elis Marni dan Desmiati dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan, do’a, perhatian, serta bantuannya pada penulis. 3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala kemudahan dan kesulitan urusan administrasi di Jurusan. 5. Bapak Dr. H. Sirojudin Aly, M.A, Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan dan pencerahan yang diberikan 6. Seluruh dosen Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah membimbing, mendidik dan mewariskan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan dapat menjadi amal ibadah dan pahala disisi Allah SWT

Upload: ngonguyet

Post on 15-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia dan

izin-Nya skripsi ini dapat selesai penulisannya sesuai dengan ketentuan.

Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,

sebagai suri tauladan umat serta pembawa panji-panji kebenaran dan

pembaharuan bagi kehidupan umat manusia.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengakui banyak menemui

kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur bahan dan pengolahan

data. Namun, berkat bimbingan, dorongan, masukan serta support yang diberikan,

alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat selesai.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu dan bekerjasama dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Pada

kesempatan ini pula perkenankan penulis menyampaikan secara khusus ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, H. Kaswir dan Hj. Asnidar yang telah memberikan

dorongan moril maupun materil serta do’a yang tulus sampai selesainya

penyusunan skripsi ini serta studi penulis.

2. Kakakku Hildayuni, Abangku Zamis, Adik-adikku Elis Marni dan Desmiati

dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan, do’a,

perhatian, serta bantuannya pada penulis.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag,

Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala kemudahan dan kesulitan

urusan administrasi di Jurusan.

5. Bapak Dr. H. Sirojudin Aly, M.A, Pembimbing Skripsi penulis. Terima

kasih atas bimbingan, pengarahan dan pencerahan yang diberikan

6. Seluruh dosen Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah membimbing,

mendidik dan mewariskan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang telah

diberikan dapat menjadi amal ibadah dan pahala disisi Allah SWT

Page 2: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

ii

7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Usuluddin dan Filsafat UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada

penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.

8. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam khususnya

angkatan 2004 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih

atas bantuan dan kerjasamanya selama studi.

9. Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti HMI,

LPI, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) UIN Jakarta, serta rekan-rekan

lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan akan terus

berlanjut.

10. Kawan-kawan seperjuangan MASAR yang banyak memberikan semangat

bagi penulis dan mendesak segera diselesaikanya penulisan skripsi ini.

Tebarkan selalu semangat dan persahabatan diantara kita.

11. Tak terlupakan kawan satu angkatan penulis Alumni Ponpes Darel Hikmah

Syukron Darsyah, S.Pdi, Jokef, S.Hi, M.Arizan,S.Ei Wahyu Ridas, S.Hi,

Diana Intan Dewi, S.Ei dan Dania Dewi, S.Ei. Terutama kepada Arizan yang

mendesak penulis sesegera mungkin menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Thank you kepada Siti Suraidah, Amar, Salmi, dan Nurul yang banyak

membantu penulis baik dalam memberikan semangat dan bantuan moril

sejak penulisan skripsi ini hingga ujian skripsi.

13. Seluruh teman-temanku dari Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren

Darel Hikmah Pekanbaru (IKAPDH) Jakarta. Bayu Mustafa Arif dan Duta

yang selalu menghibur saat-saat penulis suntuk dan merasa jenuh dalam

penulisan skripsi.

Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa, tekhnik

penulisan, ketelitian, kerapian dan metodologi. Oleh karena itu kritik dan saran

yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan

skripsi ini.

Terakhir, hanya kepada Allahlah semua dikembalikan. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat adanya. Amin.

Jakarta, 10 Juni 2008

Penulis

Page 3: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAAN

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7

D. Tinjaun Pustaka.................................................................................... 7

E. Metode Penelitian ................................................................................ 8

F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 9

BAB II. PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Riwayat Hidup ..................................................................................... 10

B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im........................................... 12

C. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatan............................... 14

BAB III. KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

A. Paradigma Islam Simbolik Formalistik ............................................... 25

B. Paradigma Islam Substantif ................................................................. 31

C. Paradigma Sekuler .............................................................................. 38

Page 4: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

iv

BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Islam, Politik dan Negara .................................................................... 48

B. Islam dan HAM ................................................................................... 57

C. Konstitusionalisme .............................................................................. 67

D. Kewarganegaraan................................................................................. 73

E. Hukum Pidana...................................................................................... 77

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... . 88

Page 5: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

v

Lembar Pernyataan

Dengan ini penulis menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah-Jakarta

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis

cantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah-Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau

merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka penulis bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta

Jakarta, 10 Juni 2008

Hafiz

Page 6: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

viii

PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Hafiz NIM:104033201090

Pembimbing

Dr. Sirojudin Aly, M.A

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

Page 7: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

ix

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H./2008 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI

AHMED AN-NAIM” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 25-6-

2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 25 Juli 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Hamid Nasuhi, M.A Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag NIP: 150326915 NIP: 150270808

Anggota,

Nawiruddin, M.A A. Bakir Ihsan, M.Si NIP: 150317965 NIP: 150326915

Page 8: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang hubungan Islam, politik dan negara belum

menemukan titik temu kesepakatan antara para ilmuan atau kalangan intelektual.

Perdebatan antara Islam dan negara merupakan subyek penting dan tetap belum

terpecahkan secara tuntas1. Pertautan antara Islam, politik, dan negara akan terus

menjadi perdebatan, baik pada tataran akademik maupun praktisi.

Di Indonesia misalnya perdebatan tersebut terlihat adanya pertarungan

yang dimulai dengan pertarungan ideologis antara golongan nasionalis Islam dan

nasionalis sekuler (1920-1930) kemudian diikuti oleh perdebatan antara Soekarno

dan Natsir antara agama dan negara (1940). Hal ini juga berlanjut tatkala

menentukan dasar ideologi negara pada saat kemerdekaan hingga berlangsung

saat ini meskipun berada pada konteks perdebatan yang berbeda.

Kontroversi hubungan Islam, politik, dan negara baik dalam tataran teori

maupun di sekitar implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Di

satu pihak, ada sebagian kecil aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi

syariat Islam dalam kehidupan politik, sedang dipihak lain, sebagian kecil

masyarakat juga cenderung menjalankan politik sekuler dan mendapat dukungan

yang secara politik sangat kuat.

Perdebatan tersebut diisyaratkan dengan persoalan problematik antara

politik (siyasah) dengan syariat yang juga melibatkan ketegangan antara ranah

1 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga

Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1

Page 9: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xi

duniawi dan profane. Banyak kita dapati para pemikir Islam klasik seperti al-

Mawardi, al-Gazali sampai ke Ibnu Taimiyah yang mempunyai keahlian di bidang

fikih siyasah pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika mereka

membangun dan merumuskan konsepsi dan teori politik mereka, dalam banyak

hal dimulai dengan syariat.2 Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan politik

(siyasah) haruslah berpedoman pada syariat yang dilaksanakan dengan baik dan

sempurna, karena itu politik tidak boleh mempunyai norma-norma atau ketentuan-

ketentuan sendiri yang seolah-olah terpisah atau bahkan melengkapi syariat itu.

Seorang pemikir seperti Ibn Khaldun, meskipun menempatkan siyasah

pada posisi yang tinggi namun tetap beranggapan bahwa perlunya penegakan

syariat baik bagi penguasa maupun warga masyarakat. Ini membuktikan bahwa

pentingnya penerapan syariat sebagai pijakan politik. Karena memang syariat

tidak pernah mengekang atau bahkan membatasi hak dan kebebasan masyarakat

selama tindakan dan prilaku masyrakat tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Indonesia, misalnya, dalam peta pemikiran dunia Islam, adalah negara

yang sangat menarik diteliti dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara,

mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Oleh karena itu Islam

telah, sedang dan terus memainkan perannya sesuai dengan proses-proses sosial

politik, meskipun peran itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda.

Tuntutan dan aspirasi memberlakukan syariat Islam, menjadi persoalan

serius setelah sekian lama rezim pemerintahan membungkam aspirasi tersebut.

Keinginan ini lahir berdasarkan fakta, dimana hukum-hukum formal selama ini,

baik di bidang pidana, perdata, pendidikan, dan sebagainya, dikatakan oleh

2 Azyumardi Azra, “Siyasah, Syariah dan Historiografi: Refleksi Sejarah Islam” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 460

Page 10: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xii

kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah gagal dalam

mengemban misi hukum, keamanan dan keadilan serta menjunjung aspirasi

politik umat. Pengabaian nilai-nilai yang dianut dalam masyrakat, khususnya

aspek religiositas telah melahirkan konflik dan reaksi keras komponen

masyarakat.3

Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurus ukhrawi semata,

lebih dari pada itu, Islam juga sebagai sebuah ajaran yang mempunyai konsep

tentang tatanan kehidupan termasuk kepentingan politik. Hal ini dapat kita lihat

bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai

pemimpin sebuah komunitas yang dikenal dengan negara Madinah. Madinah

sebagai sebuah negara memang menimbulkan perdebatan, namun dalam

memahami Madinah sebagai negara saat itu, tidaklah sama dengan memahami

negara dalam konteks zaman modern sekarang ini. Hal yang penting dicacat

dalam memahami Madinah sebagai sebuah negara adalah bahwa ketika itu

Madinah memiliki sebuah konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah yang

mengatur perjanjian antara umat Islam dan non-Muslim, mempunyai sebuah

wilayah dan penduduk yang dapat dikategorikan sebagai sebuah negara pada

konteks sekarang ini.

Namun banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam

adalah agama individu, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas.

Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu

melakukan aksi bersama. 4

3 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 4 4 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Jakarta: Mizan, 1997), h. 27

Page 11: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xiii

Indonesia, misalnya, merupakan negara yang unik karena meskipun

merupakan negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas Islam, namun

Islam tidaklah menjadi agama negara. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam

pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prinsip-

prinsip etika moral Islam. Memang pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk

hukum Islam cukup problematik dan dilematis dalam sebuah negara yang plural

(majemuk). Dalam hal ini kita perlu sedapat mungkin melakukan reinterpretasi

hukum Islam tertentu yang tidak sejalan dengan kondisi sekarang dan

kecenderungan universal untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan (hak asasi

manusia).

Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan penggunaan metodologi yang

diakui para ulama, bukan yang ditawarkan oleh sebagian pemikir yang tak

memiliki latar belakang hukum Islam tetapi melakukan metodologi dan

pemahaman yang tak diakui oleh ulama.5 Hal tersebut menggambarkan bahwa

pentingnya memegang ajaran Islam, tidak selalu menjadikannya sebagai hal yang

harus diletakkan hanya dalam ruang privat saja. Jadi tidak serta merta menolak

hukum Islam tersebut atau hanya beranggapan bahwa syariat Islam hanya berlaku

pada masa lalu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang.

Berdasarkan perdebatan tersebut, pada dasarnya, belum ada kesepakatan

yang mutlak dalam perdebatan tentang hubungan Islam dan negara, dalam hal ini

An-Na’im hadir sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang mencoba

menawarkan sebuah konsep ketidakterkaitan antara agama dan negara. Perlunya

5 Masykuri Abdillah, “Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa

Kini”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 85

Page 12: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xiv

pemisahan antara agama dan negara. Ia hadir sebagai penjembatan antara

pandangan fundamentalis dan sekuler.

Syariat Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian

publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariat karena upaya

memformalkan syariat sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia

kehilangan otoritas dan kesuciannya. Hal itu diungkapkan Abdullah Ahmed An-

Na'im, pemikir Islam dari Sudan yang juga merupakan guru besar hukum Emory

University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, di sela-sela peluncuran bukunya

dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Negara Sekuler:

Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Kamis (2/8/2007) di kantor Lembaga

Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.

Ia mengisyaratkan bahwa syariat Islam bisa mempengaruhi kehidupan

publik dan setiap kebijakan dalam perundang-undangan seperti undang-undang

perkawinan, peradilan agama Islam, dan lain-lain. Namun An-Naim juga

mengatakan bahwa Islam tidak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak dapat

dipisahkan dari kehidupan publik masyarakat-masyrakat Islam.6

An-Naim menjelaskan bahwa masa depan syariat itu cerah dalam

pengertian syariat bisa memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk melakukan

hal-hal yang positif untuk keadilan sosial.

Ada kemungkinan pendekatan moral justru sangat popular dan sangat

dibutuhkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Ini menunjukkan bahwa

perlunya moral dalam urusan politik.7 Pendekatan syariat dan akhlak sangat

fundamental dalam Islam karena agama harus dipahami sebagai spiritual

6 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 78

7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. xxvi

Page 13: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xv

kemudian harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang bersifat moralitas serta

mencakup aturan prosedural (syariah), hal itu sesuai dengan misi Nabi

Muhammad dalam rangka penyempurnaan akhlak umat manusia.

Dari maksud An-Na’im di atas, menunjukkan bahwa umat Islam bergerak

karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti

kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan sehingga

kebijakan yang ditetapkan harus mencerminkan kepentingan umat Islam

khususnya tanpa menghapus hak non-Muslim serta bukan sebagai wujud

kepentingan politik penguasa atau kelompok-kelompok elite tersebut.

Syariat harus dilandasi dengan Iman dan amal saleh sebagai kriteria

perubahan. Begitu juga penerapan syariat Islam baik di Indonesia maupun di

negara lain, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sebuah

kebijakan harus melandasinya dengan sebuah keimanan yang kuat sehingga

menimbulkan kesadaran yang merupakan perubahan yang esensial bukan

berdasarkan pada kondisi materialnya.

Islam bukan agama aqidah semata, yang hanya mngutamakan hubungan

manusia dengan Tuhannya, Islam adalah akidah dan syariat.8 Oleh karena itu

akidah harus dijadikan sebagai pendorong lahirnya syariat dan setiap amalan

syariat harus didasari atas akidah.

Oleh karena itu dari uraian di atas, berdasarkan pandangan dan pemikiran

An-Na’im, penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh tentang

hubungan Islam dan negara perspektif An-Naim. Hal tersebut akan dirangkum

8 Zainun Kamal, “Kontekstualisasi Syariat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan

Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 57.

Page 14: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xvi

dalam sebuah tulisan berbentuk Skripsi dengan Judul : “ Pemikiran Politik

Abdullahi Ahmed An-Na’im”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, serta agar

pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka masalah-masalah

yang diangkat dalam pemikiran ini dibatasi pada pemikiran An-Na’im yang

berkaitan dengan Islam, politik dan negara, bagaimana hubungan Islam dan HAM,

Konstitusionalisme, Kewarganegaraan, dan Hukum Pidana. Berpijak pada

batasan-batasan serta latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu

merumuskan persoalan tersebut dalam pertanyaan: Bagaimana pandangan dan

pemikiran politik An-Na’im tentang hubungan Islam dan Negara

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan lebih spesifik bagaimana

pemikiran An-Na’im tentang Islam dan negara. Sedangkan tujuan penulisan

adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan untuk meraih gelar sarjana

(SI) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta pengembangan

dan sumbangan terhadap khazanah ilmu pemikiran politik Islam khususnya di

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum penulis menyusun skripsi ini yang berjudul Islam dan Negara:

Studi Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, penulis telah melakukan review

Page 15: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xvii

literatur sebagai upaya penulisan ini tidak sia-sia dan tidak dianggap hasil plagiat

skripsi karya orang lain. Menurut tinjauan penulis selama ini dan sejauh yang

penulis ketahui bahwa skripsi yang digarap oleh penulis ini belum ada yang

menulis dengan judul yang sama atau yang membahas tentang hubungan Islam

dan negara perspektif An-Na’im. Oleh karena itu sangat perlu menurut penulis

untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran politik Abdullahi Ahmed An-Naim

terutama tentang hubungan Islam dan negara.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah berupa

pengumpulan data dari berbagai literatur baik data primer maupun data skunder,

penulis menggunakan jenis penelitian Library research (study kepustakaan) yaitu

dengan mengumpulkan karya-karya Primer yang ditulis secara langsung oleh

Abdullahi Ahmed An-Na’im sedangkan sumber sekunder yaitu karya lain yang

menguraikan yang berkaitan dengan tema kajian yang penulis ajukan baik berupa

buku-buku, artikel, maupun media masa yang kemudian dibahas dan dianalisis

lalu ditulis dalam bentuk karya ilmiah.

Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis mengunakan dua metode

yaitu: metode deskriptis dan analistis yaitu dengan mendiskripsikan data-data

yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan tampak

jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok

permasalahan.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

Page 16: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xviii

CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan petunjuk

dari Dosen Pembimbing baik formal maupun informal

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, terarah dan menjadi standar

penulisan skripsi SI, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang

masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu :

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan

pembahasan bab-bab selanjutnya, sekaligus mencerminkan isi skripsi ini secara

global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta

sistematika penulisan.

Bab Kedua akan membahas tentang profil Abdullahi Ahmed an-Na’im

yang menjelaskan riwayat hidup An-Na’im, karya-karyanya serta latar belakang

pendidikan, karier dan kegiatannya.

Bab Ketiga membahas tentang wacana dan kontekstualisasi hubungan

Islam dan negara yang menjelaskan tiga paradigma yaitu paradigma simbolik

formalistik, paradigma substantif dan paradigma sekuler.

Bab Keempat sebagai inti akan dibahas ide sentral yaitu pemikiran

politik Abdullahi Ahmed An-Na’im yaitu pandangannya tentang Islam, politik

dan negara, Islam dan HAM, konstitusionalisme, kewarganegaraan, dan hukum

pidana.

Bab Kelima adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan penulis

berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini.

Page 17: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xix

BAB II

PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Riwayat Hidup

Abdullahi Ahmed An-Na’im dilahirkan di Sudan. Ia merupakan seorang

guru besar di bidang hukum yang mengkaji lebih dalam tentang agama dan hak

asasi manusia (HAM) di The Emory Law School, Atlanta. An-Na’im adalah

pemikir Muslim terkemuka dan ia dikenal sebagai pakar Islam dan hak asasi

manusia dengan perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu- isu

ketatanegaraan di negara-negara mayoritas muslim dan Afrika disamping isu-isu

tentang Islam dan politik. Dia juga telah menerbitkan lebih dari 30 artikel tentang

hak asasi manusia, konstitusionalisme, hukum Islam dan politik.

Sebagai salah seorang mahasiswa hukum di University of Khartoum di

Sudan, An-Na’im aktif di sebuah gerakan reformasi Islam (Islamic reform

movement) yang dipimpin oleh Mahmoud Mohamed Taha dalam sebuah

organisasi Persaudaraan Republik (Republican Brotherhood) sampai gerakan ini

dibubarkan oleh pemerintah Sudan pada tahun 1984. Kemudian ia juga yang

mempopulerkan pemikiran gurunya yang disampaikan dalam sebuah buku “The

Second Message of Islam”.

Organisasi ini didirikan Thaha sebagai partai Republik ditengah-tengah

perjuangan nasionalis Sudan pada akhir perang Dunia II. Keberadaan partai-partai

yang ada ketika itu sangat didominasi oleh kaum konservatif. Thaha mencoba

Page 18: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xx

mengembangkan dasar-dasar pemahamanya melalui penafsiran ulang Islam dalam

sebuah karya nya yang bejudul The Second Massage of Islam yang diterjemahkan

oleh An-Na’im dan diterbitkan pada tahun 1987 serta melalui buku inilah yang

banyak memengaruhi pemikiran An-Na’im. Namun pada tahun 1985, ketika

sebuah gerakan Islam fundamentalis mendapatkan tempat di Sudan dan setelah

dieksekusinya Mahmoud Mohamed Taha oleh rejim Sudan Ja’far Numeiry, An-

Na’im lalu meninggalkan daerahnya. Sejak pengasingannya dari Sudan, ia

memfokuskan pekerjaannya mambantu kaum muslimin menentukan cara hidup

secara islami serta mencakup hak asasi setiap manusia. Projek penelitian

internasionalnya mencakup kajian perempuan, hukum keluarga Islam, Islam dan

hak asasi manusia yang selalu disponsori oleh Ford Foundation.

An-Na’im juga menjadi juru bicara yang fasih tentang ide-ide Mahmoud

Mohamed Taha, menulis artikel dan berbicara dengan berbagai kalangan dalam

rangka melanjutkan pemikiran gurunya. An-Na’im sendiri bergabung dengan

Persaudaraan Republik ketika masih mahasiwa fakultas hukum Universitas

Khartoum. Ia menghadiri sejumlah kuliah yang langsung disampaikan oleh Thaha

dan selalu hadir dalam diskusi-diskusi informal di rumah gurunya. Sehingga buku

The Second Massage of Islam lah yang sangat mempengaruhi pemikiran An-

Na’im selanjutnya.

Sejak terbunuhnya Mahmoud Mohamed Taha, kelompok ini secara tidak

resmi diorganisasikan kembali menjadi komunitas sosial yang bergerak pada

Page 19: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxi

usaha reformasi Islam menurut tradisi Thaha. An-Naim sendiri menekankan

bahwa pesan ini mewakili suatu pendekatan bukan aksi politik.9

B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im.

Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im selain memiliki hasil karya sendiri, ia

juga merupakan salah seorang editor buku sekaligus penerjemah bebarapa buku.

Beberapa karya An-Na’im ini penulis peroleh dari media internet.10

Beberapa karya pribadi yang langsung ditulis Abdullahi Ahmed An-Nai’im

adalah:

1. Islam and The Secular State: Negotiating The Future of Shari’a, kemudian

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Islam dan Negara Sekular:

Menogosiasikan Masa Depan Islam Syariah, yang diterjemahkan oleh Sri

Murniati dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. 2007. Buku ini menegaskan

kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an

Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam

penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat

dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh

penganutnya. Menurut An Na’im, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai

agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga

9 Pengantar LKiS dalam Abdullahi Ahmed An-Nai’m, Dekonstruksi syariah: Wacana

Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanal dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. xiii

10 Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim atau juga dapat dilihat di Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na'im#Main_Publications. Diakses pada taggal 10 April 2008.

Page 20: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxii

netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan antara

Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi

kehidupan umat dan masyarakat Islam

2. African Constitutionalism and the Contingent Role of Islam. Philadelphia, PA:

University of Pennsylvania Press (2006).

3. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and

International Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1990 (soft-cover

edition by American University in Cairo, 1992). Kemudian diterjemahkan

kedalam bahasa Indonesia (1994) oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani

dan diterbitkan oleh LKis Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah:

Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional

dalam Islam. Arab (1994), Rusia (1999), dan Persia 2003.

4. Sudanese Criminal Law: General Principles of Criminal Responsibility

(Arabic). Omdurman, Sudan: Huriya Press, 1985.

Bebarapa karya An-Na’im sebagai editor adalah:

1. Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for

Ourselves. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 2003.

2. Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. London:

Zed Books, 2002.

3. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. London: Zed Books,

2002.

4. Proselytization and Communal Self-Determination in Africa. Maryknoll, NY:

Orbis Books, 1999.

Page 21: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxiii

5. Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under

the Constitutions of African Countries. London: Interights, 1999.

6. The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic). Cairo:

Ibn Khaldoun Center, 1993.

7. Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus.

Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 1992.

Karya An-Na’im sebagai Co. Editor

1. With Ifi Amadiume: The Politics of Memory: Truth, Healing and Social

Justice. London: Zed Books, 2000.

2. With J. D. Gort, H. Jansen, & H. M. Vroom: Human Rights and Religious

Values: An Uneasy Relationship? Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans

Publishing Company, 1995.

3. With Francis Deng: Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives.

Washington, DC: The Brookings Institution, 1990.

Beberapa karya yang pernah diterjemahkan oleh An-Na’im:

1. Terjemahan dalam bahasa Arab: Francis Deng: Cry of the Owl (a political

novel). Cairo: Midlight, 1991.

2. Terjemahan dalam bahasa Inggris: an Introduction: Ustadh Mahmoud

Mohamed Taha: The Second Message of Islam. Syracuse, NY: Syracuse

University Press, 1987.

C. Latar Belakang Pendidikan, Karir dan Kegiatan

Profesor Abdullahi Ahmed An-Na’im memperoleh gelar dibidang Hukum

di Universitas Khartoum, Sudan pada tahun 1970, kemudian melanjutkan ke

Cambridge University, Inggris dalam bidang kriminologi pada tahun 1973 dan

Page 22: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxiv

memperoleh gelar LL.B dan Diploma. Kemudian pindah ke Edinburgh

University, Scotlandia dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1976. Kemudian

dia kembali ke Sudan untuk mengajar di University of Khartoum, hingga tahun

1985. Menjelang tahun 1979, ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di

Fakultas Hukum Universitas Khartoun.

An-Na’im menjadi guru besar agung dibidang hukum dari Universitas

California, Los Angles pada tahun 1985-1987, dan pada tahun 1988-1991, An-

Na’im juga guru besar agung di bidang HAM dari sebuah Universitas

Saskatchewan, Canada. Pada tahun 1995 An-Na’im memperoleh gelar Profesor

dari Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat dan sejak 15 tahun terakhir ini

beliau menetap dan mengajar di Amerika Serikat.

An-Na’im adalah murid dari Muhamed Thaha, seorang pemikir besar

Sudan, yang memiliki pemikiran yang dianggap oleh pemerintah Sudan sebagai

pemikiran yang aneh dan karena itu beliau dibawa ke pengadilan dan kemudian

digantung. Para pengikutnya juga dikejar-kejar oleh rezim pemerintah waktu itu

pada masa rezim Sudan Ja’far Numeyri. Dalam rangka menyampaikan pesan sang

guru, An-Naim memberikan ceramah dan tulisan-tulisan terutama untuk diluar

Sudan. Dia merasa bahwa merupakan tanggungjawabnya untuk mengambil dasar

ajaran Thaha dan mengembangkannya. Dia telah menulis untuk spesialisasi

bidangnya yaitu hukum publik yang merupakan interpretasi hukum Islam dari

perspektif ajaran gurunya.

Abdullahi Ahmed An-Naim merupakan seorang pakar Islam terkemuka

serta juga menekuni riset di bidang advokasi strategi reformasi melalui

transformasi budaya internal. Saat ini, lelaki kelahiran Khartoum, Sudan, ini

Page 23: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxv

bekerja sebagai Profesor Hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika

Serikat.

Pemikirannya sangat kontroversial. Ia berkali-kali menegaskan tidak

pernah ada dan tidak perlu ada negara Islam. "Kita butuh negara sekuler untuk

menjadi muslim yang baik," kata Naim kepada VHRmedia.com di Hotel Kristal,

Jakarta Selatan kepada Fathiyah Wardah Alatas, Rabu (1/8/2007). Ia

mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di

berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat

dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Dalam

riset yang disponsori Ford Foundation ini, Na’im hanya ingin mengulangi

sikapnya bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan

hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan

dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh

penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara dan

memisahkannya secara kelembagaan dari agama.

Pengalaman Professional dan Pengalaman Mengajar11

Sejak dibubarkannya organisasi Persaudaraan Republik (Republican

Brotherhood) yang didirikan oleh gurunya, perjuangan An-Na’im dalam

mensosialisasikan ajaran gurunya tidaklah melalui sebuah partai politik yang

dilakukan oleh gurunya, tetapi melalui diskusi-diskusi publik, seminar-seminar,

terutama melalui mengajar di sebuah perguruan tinggi maupun universitas yang

memang menjadi profesi keahlian sehari-hari An-Na’im. Di bawah ini beberapa

pengalaman professional mengajar An-Na’im:

11 Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim

Page 24: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxvi

• Juni 1995 sampai sekarang, Professor of Law, Emory University, Atlanta,

GA, U.S.A.

• Global Legal Scholar, School of Law, The University of Warwick,UK,

September 2007 sampai Agustus 2010.

• Scholars-in-Residence, the Ford Foundation, New York, NY, USA, May

sampai December, 2007.

• G.J. Wiarda Chair, Utrecht University Institute for Legal Studies, the

Netherlands, September 2005 to August 2006.

• Jeremiah Smith, Jr. Visiting Professor of Law, Harvard Law School,

Cambridge, MA, USA, Januari sampai Juni 2003.

• Juli 1993-April 1995 Executive Director, Human Rights Watch/Africa,

Washington, DC. U.S.A.

• Juli 1992 - Juni 1993 Scholar-in-Residence, The Ford Foundation, Office for

the Middle East and North Africa, Cairo, EGYPT

• Agustus 1991-Juni 1992 Olaf Palme Visiting Professor, Faculty of Law,

Uppsala University, Swedia

• Agustus 1988-January 1991 Ariel F. Sallows Professor of Human Rights,

College of Law, University of Saskatchewan, Saskatchewan, Kanada.

• Agustus 1985-July 1987 Visiting Professor of Law, School of Law, University

of California at Los Angeles (UCLA), Los Angeles, U.S.A.

• November 1976-Juni 85 Dosen and Guru Besar Hukum Luar Biasa; (Kepala

Departemen Hukum Publik 1979-85) University of Khartoum, Sudan.

Kuliah Umum dan Presentasi Internasional12

12 Ibid

Page 25: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxvii

Dibawah ini beberapa kuliah umum, seminar, dan presentasi internasional

yang dilakukan oleh An-Na’im dalam rangka membumikan pemikirannya serta

memberikan pemahaman kajiannya tentang Islam, politik, dan negara,

konstitusionalisme, dan HAM (hak asasi manusia ).

• Kuliah Umum dan Launching Buku “African Constitutionalism and the Role

of Islam,” Centre for the Book, Cape Town, Africa Selatan, 9 Oktober , 2007.

• Kuliah , “Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari`a”, 30th

Convention of German Orientalist Society, Albert-Ludwigs-Universsitat,

Freiburg, Germany, 26 September , 2007.

• Kuliah Umum “Human Rights, Global Citizenship and Refugees,” Forced

Migration and Refugee Studies, American University in Cairo, 6 December,

2006.

• Kuliah Umum , “Interdependence of Islamic Philanthropy and Secularism,”

The John D. Gerhart Center for Philanthropy and Civic Engagement,

American University, Cairo, 5 Desember , 2006.

• Presentasi, “The Future of Shari`a is with a Secular State,” and “Shari`a and

Human Rights,” Conference on Shari`a in a Modern Context, The Association

of Democratic Muslims of Demark and Institute for Cross-cultural and

Regional Studies, University of Copenhagen, Denmark, 25-26 November ,

2006.

• Kuliah Umum “African Constitutionalism and the Role of Islam in State,

Politics and Society”, Faculty of Law and Departments of Religious Studies

and Political Science, University of Jos, 11 Nigeria, 1 September, 2006.

Page 26: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxviii

• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics,

Economics and Society”, Centre for Democratic Research and Training,

Bayero University, Mambayya House, Kano, Nigeria, 31 Agustus, 2006.

• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Islamic

Legal Studies and Faculty of Law, Ahmado Bello University, Zaria, Nigeria,

30 Agustus, 2006.

• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics

and Society”, University of Abuja, Nigeira, 29 Agustus , 2006

• Keynote presentation, “Citizenship and Legal Pluralism: An Islamic

Perspective,” Conference on the Possibility of Intercultural Law, Annual

Meeting of Association of Legal Philosophy, Conference Center Kaap Doorn,

Diebergen/Zeist, The Netherlands, 9-10 Juni, 2006.

• Keynote lecture, “Protection of Human Rights of Vulnerable Groups in the era

of Terrorism,” 4th National Roundtable on Anti-terrorism and Protection of

Minorities, Utrecht, the Netherlands, 7 Juni, 2006.

• Public lecture, “Cross-Cultural Dialogue Re-visited: Islam and Human

Rights,” Society for International Development – Netherlands Chapter, Free

University, Amsterdam, 15 May, 2006.

• Presentasi, “Islam, State and Politics: Separate but Interactive”, International

Conference on Human Rights and Renewal of Religious Discourse”, Cairo

Institute for Human Rights Research and Swedish Institute, Alexandria,

Egypt, 18-20 April, 2006.

Page 27: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxix

• Kuliah Umum, “State Secularism: Reality and Experience”, Khartoum Center

for Human Rights and Development, Sharijah Hall, Institute of Afro-Asian

Studies, University of Khartoum, Sudan, 26 Desember, 2005.

• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Women

Studies, State Institute for Islamic Studies, Yogyakarta, Indonesia, 9 Februari ,

2005.

• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Languages

and Cultures, State Islamic University, Jakarta, Indonesia, 27 Januaryi, 2005.

• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,”

Conference Hall, India Tea Center, Mumbai, India, 8 January, 2005.

• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,”

General Education Centre, Aligarh Muslim University, Aligarh, India, 3

Januari, 2005.

• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” India

International Centre, New Delhi, India, 5 Januari, 2005.

Page 28: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxx

BAB III

KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya

kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literatur mengenai pendekatan

Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi

pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi

Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literatur yang banyak dibaca

kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan

masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya.

Wacana tentang relasi agama dan negara selalu mewarnai perdebatan fiqh

siyasah (fiqh politik) dalam Islam13. Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi

dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup

masyarakat diwilayah tertentu. Suatu negara diperlukan untuk mengatur

kehidupan sosial secara bersama-bersama dan untuk mencapai cita-cita suatu

masyarakat. Disini otoritas politik memiliki urgensi dan harus ada yang

terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Sehingga dirasa perlu

oleh kaum muslimin untuk merumuskan konsep negara.

Diskursus negara agama sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana

Islam Politik. Implementasi syariat Islam dalam negara modern jadi polemik

publik yang pasang surut. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama

13 Perdebatan antara relasi Islam dan politik (negara) muncul pada abad Modern dan

Kontemporer yaitu ketika pertemuan Islam dengan Barat pada abad ke- 19 dan ke- 20 yaitu setelah terjadi penjajahan Barat ke dunia Islam. Abdul Rashid Molten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 30-32

Page 29: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxi

negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari

maraknya organisasi keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara agama di

pelbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India,

Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Historisitas negara agama tersebut

dapat disebut sebagai pilihan termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam

Politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan.

Kebanyakan diskusi tentang Islam dan politik mengasumsikan bahwa

Islam tidak membedakan antara agama dan politik. Dunia keilmuan Barat pada

tingkat lebih luas juga dunia keilmuan Muslim menegaskan ketidak terpisahan

antara keduanya melalui perbandingan antara pemikiran politik Muslim dan

Kristen. Meskipun metaphor semacam ini mengalami perubahan dalam tulisan-

tulisan Kristen masa awal dan masa abad pertengahan, tetapi ide pemisahan

kekuasaan tetap berjalan, urusan Tuhan dan urusan Kaisar. Sebaliknya, di dalam

pemikiran Islam kerangka rujukannya adalah kesatuan keduanya: din wa-daulah,

“agama dan negara”.

Dalam merumuskan sebuah konsep negara terdapat beberapa pandangan

yang berbeda dari kaum muslimin itu sendiri. Hal ini disebabkan bukan karena

kompleksitas hubungan antara keduanya. Tetapi, lebih disebabkan oleh kenyataan

bahwa Islam tidak mungkin diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal.

Doktrin Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah satu.

Namun, bagaimana umat menerjemahkan ajaran-ajaran tersebut dan

mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi,

meskipun tetap ada benang merah yang menghubungkan antara satu penafsiran

Page 30: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxii

dengan penafsiran yang lain. Multitafsir merupakan ciri dari Islam yang tak

terhindarkan.

Kelompok pertama menawarkan sebuah konsep negara yang berdasarkan

pada agama yaitu menyatunya antara agama dan negara (integralistik) dimana

Islam diakui bukan hanya sekedar agama yang mengurus urusan ukhrawi lebih

dari itu Islam juga mengurus persoalan-persoalan duniawi termasuk persoalan

politik. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi

politik dan negara. Sehingga kelompok ini menolak bahkan sangat mengecam

sekali adanya pemisahan agama dan negara.

Namun sampai sekarang negara mana yang dapat dijadikan sebagai

representasi negara Islam, apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain juga

belum dapat dipastikan atau dianggap sample sebagai negara Islam. Hal ini

disebabkan perbedaan pendapat para pemikir politik Islam dalam mendefinisikan

tentang hubungan agama dan negara.

Azyumardi menjelaskan bahwa beragam perbedaaan pemikirian tersebut

tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Barat. Pada masa modern ekspansi dan dan

imprealisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah Islam tidak hanya menciptakan

desintegrasi politik Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri umat Islam.14

Salah satu dampak terbesar dari penetrasi Barat ke dunia Islam adalah

menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dan sistem politik

Barat tentu saja asing dan karena itu bersifat ahistoris bagi masyarakat muslim

pada umumnya. Sebab itulah terjadi perdebatan dikalangan pemikir dan penguasa

muslim tentang konsep Barat seperti nation state, nasionalisme, dan lain-lain.

14 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.

Page 31: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxiii

Kelompok kedua mempunyai pandangan bahwa Islam lebih dimaknai

pada penerapan nilai-nilai substansinya, agama tidak mesti dilembagakan dalam

sebuah institusi negara, namun tetap mengedepankan nilai-nilai Islam yang

bersifat universal sehingga bisa diterima oleh pihak manapun diluar Islam.

Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahawa antara agama dan negara

harus dipisahkan satu sama lain (sekuler) karena memahami agama hanya pada

aspek pengurusan persoalan-persolan akhirat sementara masalah dunia (politik)

diserahkan pada manusia sesuai zaman masing-masing tanpa mengikutsertakan

agama dalam persoalan politik.

Namun meskipun ketiga-tiganya mempunyai pandangan yang berbeda

dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi ketiga pandangan tersebut

sama-sama mengakui peran penting negara. Dalam proses pencarian konsep

negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada juga yang menolak Barat.

Maksudnya jika mereka menganggap bahwa Barat adalah segalanya, maka corak

pemikiran mereka akan meniru Barat. Namun sebaliknya, ada juga yang menolak

cara pandang Barat dan berasumsi bahwa Islam telah memiliki konsep negara

yang jelas.

Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang

ekstrem, ada yang moderat. Pendukung yang bergaris ekstrem sampai

mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik menjadi

khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak

perlucutan total negara dari anasir agama

Page 32: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxiv

Kamaruzzaman dalam tulisannya15 membagi pandangan relasi agama dan

negara menjadi dua gerakan. Pertama gerakan Fundamentalisme yaitu kalangan

yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara, sedangkan kelompok

kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi dalam dua kelompok yaitu

modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan

bahwa antara agama dan negara dapat diintegrasikan namun tidak mempersoalkan

jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler,

memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh

gaya Barat dalam sistem kenegaraan.

Disini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada

dalam memahami relasi antara agama dan negara, yang akan diklasifikasi

berdasarkan tiga paradigma yaitu pertama, Paradigma Islam Simbolik Formalistik,

kedua, Paradigma Islam Substantif, dan yang ketiga Paradigma Sekuler.

A. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik

Pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya

terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik

akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Pengaruh

yang paling besar dalam politik bangsa-bangsa Muslim dapat dilacak dengan jelas

pada kecenderungan partisipasi politik yang amat luas dikalangan penduduknya.

Jelas bahwa setiap hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang

mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan

dan menegakkan sangsinya. Oleh karena itu Islam (syariat) juga membutuhkan

15 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis

(Indonesia Tera, Magelang, 2001), h. 50.

Page 33: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxv

sebuah negara untuk menegakkan sangsinya16. Ini memberikan pemahaman

bahwa syariat membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa

diimplementasikan. Di pihak lain, hubungan yang maksimal antara agama dan

politik memerlukan komitmen total dan keterlibatan negara terhadap isi sebuah

agama yang spesifik.

Pemikiran ini yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa

dipisahkan muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu,

termasuk persoalan negara dan politik. Din wa-daulah marupakan salah satu

jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini,

Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya

memiliki sistem dan teori tentang politik, ekonomi, negara, dan sebagainya.

Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat Islam

mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk

kekhalifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di Madinah dan

juga para khulafaurrasyidin pada kurun setelahnya.. Karena kepercayaan yang

teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi

penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.17

Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa pandangan kelompok yang

menginginkan menyatunya agama dan negara dilatarbelakangi oleh dua hal18.

Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi

16 Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab (Jakarta:

Citra, 2006), h. 8. 17 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara

yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8. 18 Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler?,” diakses pada tanggal 5

April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=148. html

Page 34: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxvi

alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami.

Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas

Dalam tulisannya itu, Zuhairi Misrawi memasukkan Yusuf al-Qardlawi

sebagai pemikir muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan

negara sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak-

porandakkan nilai dan moralitas. Menurut Qardlawi tegasnya, Islam mempunyai

seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan

dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya.19

Dalam menyikapi sekularisasi dan westernisasi atas nama modernisasi,

kaum Muslim dapat dipilah dalam dua kelompok besar, yaitu yang menerima dan

yang menolak. Masing-masing dapat dibagi lagi: ada yang cenderung bersikap

ekstrim, dan ada pula yang bersikap moderat. Yang ekstrim dari kelompok

penerima biasanya disebut secularist seperti Ataturk, sedangkan yang bersikap

moderat disebut reformist atau modernist seperti Muhammad Abduh, Ahmad

Khan, Fazlur Rahman. Adapun yang ekstrim dari pihak yang menolak biasanya

dicap revivalist atau fundamentalist seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb,

sementara yang moderat dijuluki conservative atau tradisionalist seperti

Muhammad bin Abd al-Wahhab.

Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh

sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekulerisasi

adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang

mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama

dan takhyul. Penentangan yang paling kentara muncul dari Islam Fundamentalis.

19 Ibid

Page 35: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxvii

Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka

membantah bahwa pemerintahan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari

pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah

lebih baik.

Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan

mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib

sosial yang Islami sesuai ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, dan

berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi

publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.

Paradigma ini memahami Islam sebagai agama yang sempurna pada

prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Merefleksikan adanya

kecenderungna untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam.

Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan

syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Ada semacam kesadaran

teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat

menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam.

Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa penganut aliran ini pada umumnya

berpendirian bahwa Islam merupakan:

• Sebuah agama yang serba lengkap dimana terdapat sistem kenegaraan dan

poltik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada

sistem ketatanegaraan Islam

• Sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah

dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.20

20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1.

Page 36: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxviii

Kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok revivalisme atau

fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrim terhadap meluasnya ide-ide

pemikiran Barat kedalam dunia Islam. Aliran agama yang lebih fundamentalis

menentang sekulerisme. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang

dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah

sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak.

Kelompok ini juga sering dikategorikan sebagai kelompok muslim

skriptualis yang berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam

pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi

sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya

mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan

mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la Al-

Maududi (W. 1979), mereka yang dalam istilah John L. Esposito (1990),

menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan

negara Islam menjadi doktrin agama.

Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme dan ideologi-

ideologi Barat lainnya. Mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari

sumber-sumber yang bersifat ilahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk

mengakhiri hegemoni Barat, dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah

sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.

Tujuan utama dari sebuah pemerintahan Islam adalah untuk membentuk

sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya tidak memandang masyarakat

Islam sekumpulan orang, tetapi masyarakat juga dilihat dari sisi hubungan sosial

Page 37: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xxxix

dan tertib sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu, sebuah

masyarakat Islam secara definitif adalah sebuah masyarakat yang ideal dimana

tertib sosial telah dibentuk dan diatur sesuai dengan nilai-nilai Islam, ajaran-

ajaran, dan aturan-aturannya.21

Pemikiran akan penyatuan agama dan negara setidaknya terlihat pada

tokoh seperti Abu A’la Al-Maududi yang sangat tidak tertarik dengan yang terjadi

di Turki yaitu adanya pemisahan agama dan negara yang pada gilirannya posisi

Islam terletak pada titik subordinat, jika tidak boleh dikatakan dikikis sama sekali.

Al-Maududi menulis teori-teori politiknya dilatari penolakan terhadap

teori-teori politik Barat dan memberi label Islam kepada sistem yang

dirumuskannya. Persoalan inilah yang membuat Al-Maududi sangat berlawanan

dengan kalangan sekuler, karena dia sangat anti terhadap sekularisme, oleh karena

itulah Al-Maududi mendukung berdirinya negara Islam.

Kelompok yang menginginkan formalisasi Islam dalam bentuk formal

dimana menyatunya agama dan negara beranggapan bahwa integrasinya agama

dan negara juga dibangun atas contoh dari Nabi, yang pada saat bersamaan

bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin komunitas politik.

Dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa

kekuasaan agama dan politik harus digabungkan dalam satu atap, sehingga

memungkinkan syariat bisa diterapkan dan kominitas muslim terlindungi.

Adnin Armas menyatakan bahwa sekularisasi akan menggiring kepada

sekularisme, sebuah ideologi yang mengeyampingkan peran Tuhan dalam

kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikutif Adnin Armas dari Syed

21 Vaezi, Agama Politik, h. 10.

Page 38: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xl

Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama

Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan

bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi

oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan

dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya22.

Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai

ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam

yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan

agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk

kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat

dan tak terpisahkan.23

B. Paradigma Islam Substantif

Kelompok ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang

serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga

menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya

mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian

bahwa dalam Islam tidak terdapat system kenegaraan tetapi terdapat seperangkat

tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.24

Jenis pemikiran ini sebagaimana dikatakan Bachtiar Efendi, adalah sebagai

pikiran yang tengah-tengah25 yang mampu sebagai penengah antara pemikiran

22 Adnin Armas dalam “ Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox”, dalam

sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 32. 23 Syamsudi Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama. Dalam sebuah Jurnal Islamia,

Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 42. 24 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2 25 Efendi, Jalan Tengah Politik Islam, h. 9.

Page 39: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xli

sekuler dan pemikiran teokrasi. Perhatian utama dari kelompok ini adalah bahwa

meskipun Islam meliputi nilai-nilai dan ide-ide tertentu, namun hal itu tidak serta

merta menggabungkan spritualitas dan politik. Sehingga mereka tidak

menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Mereka percaya bahwa

politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara keduanya

tidak mesti harus dihubungkan atau dipisahkan. Secara legal-formal dan simbolik

barangkali antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima.

Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak mewajibkan pengikutnya

dengan cara apapun untuk mewujudkan ide-idenya dalam ranah politik. Mereka

berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan politik

dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin spritualitas dan bukanlah

sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian, secara substansial keduanya

sulit untuk dipisahkan. Menjadi sekuler, dalam pengertian yang sebenarnya bukan

perkara gampang-kalau tidak bisa sama sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang

akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Termasuk

dalam hal ini nilai-nilai agama.26

Aliran dan model pemikiran yang kedua ini lebih menekankan substansi

daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang

substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan,

musayawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan

yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara

bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.

26 Ibid., h.10

Page 40: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlii

Refleksi kaum substansialis dalam bidang politik, pada dasarnya adalah

melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang

menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.27

Pandangan mereka tersebut tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam

format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Kalangan subtantif cenderung

menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat,

tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan

institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama,

sehingga bersifat sakral.

Tentang negara Islam pandangan kelompok ini mengakui bahwa Nabi

memang telah membentuk tertib politik sesudah migrasi nya ke Madinah. Akan

tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa ini bukan merupakan hubungan intrinsik

antara Islam dan politik. Timbulnya otoritas Nabi di Madinah dianggap sedikit

banyak sebagai event historis, suatu situasi khusus dimana keadaan sosial politik

mendorong kearah itu, dan bukan merupakan suatu tugas agama yang termasuk

dalam wahyu Ilahi.

Kemudian bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at Islam,

paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada sistem kulturalisasi,

biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui

pensisteman sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum simbolik formalistik.

Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom

Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma simbolik

27 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.

Page 41: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xliii

formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem

negara.

Nurcholis Madjid sebagaimana yang dijelskan oleh Fachri Ali bahwa

Islam yang dimaksudkan itu adalah sebuah ajaran teologis dimana artikulasinya

tidaklah harus selalau dibatasi oleh sekat-sekat kelembagaan dan peraturan formal

yang mengedepankan label Islam. Sehingga Islam menyatu dalam nilai-nilai

masyarakat umum. Dalam hal ini Nurcholis Madjid tidak melepaskan nilai-nilai

Islam dalam dirinya, melainkan lebih mengarahkan pengejawantahannya kepada

sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif: pengembangan etika publik

berdasarkan nilai-nilai Islam. Nilai Islam yang dapat berlaku pada dataran

nasioanal itu hanyalah nilai Islam yang bisa dan orang Islam sanggup

merumuskannya secara universal dan dan inklusif. Karena itu orang tidak

berbicara tentang negara Islam lagi. Negara Islam itu ekslusif tidak inklusif dan

merupakan penemuan manusia.28

Ia mencontohkan bahwa dulu waktu zaman Umayyah dan Abbasiyah tidak

ada ekspresi seperti itu. Negara Umayyah disebut daulah Umayyah, zaman

Abbasiyah disebut Daulah Abbasiyah. Tidak mungkin mengatakan daulah

Umayyah dan Abbasiyah itu lepas dari Islam. Sampai sekarang pun ahli sejarah

mengatakan bahwa Daulah Umayyah dan Abbasiyah itu dijiwai oleh Islam atau

dikatakan negara Islam tapi dalam makna negara yang dijiwai oleh nilai-nilai

Islam. Kemudian Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa orang Islam sekarang

berbicara tentang keadilan, persamaan antar manusia, hak pribadi, yang semuanya

ada dalam ajaran Islam namun inklusif dan inilah substansi dari ajaran Islam.

28 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana

Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. 173.

Page 42: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xliv

Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif,

bahwa urusan agama biarlah berjalan secara kultural, maka yang bertugas

menjaga keberlangsungan syari’at Islam adalah umat Islam itu sendiri, terutama

para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan

Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya.

Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri

dan ulamanya, bukan orang lain, apalagi negara, selain ia tidak bertatap muka

secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan

individu dan golongan. Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagai

penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan

kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain negara hanya mengurus Sesuatu yang

berkaitan dengan kemashlahatan publik saja, bukan ikut campur dalam masalah

prifat.

Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara

tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan

Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan

keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan

suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format

kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung

ajaran-ajaran normatif suatu agama. Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama

hanya puas menerapkan hal-hal simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang

menjadi inti (core) agama.

Ketika Nurcholis Madjid memberi perumpamaan Pancasila, bahwa

Pancasila bukanlah Islam namun konsep musyawarah yang ada dalam butir

Page 43: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlv

Pancasila sudah melambangkan dan mengedapankan nilai-nilai Islam. Sementara

musyawarah bukanlah hanya ajaran Islam bahkan orang selain Islam juga

mengakui musyawarah sehingga tanpa pun musywarah diberi label Islam, hal itu

sudah mencerminkan etika Islam. Inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid Islam

yang hadir dan diterima Publik.

Nurcholis Madjid menyesali kecenderungan mereduksi Islam hanya pada

tata cara ibadah. Tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana Islam dalam

konteks substansialisasi artikulasi ajaran-ajarannya. Memberikan makna yang

lebih luas dan dinikmati secara maknai bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri.

Sehingga Islam benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam sebuah konsep

Rahmat-an lil alamin dan inilah yang menjadi kunci dari pemikirannya.29

Caknur ingin membebaskan pengertian Islam dari penjara-penjara

partikularisme. Karena akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang

berawal dari pemaksaan generalisasi. Maka dalam konteks pemikirannya, satu-

satunya jalan membebaskan Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah

dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada konteks universal dan

abadi: Rahmata-an lil alamin.

Semangat universalisme memfokuskan perhatian pada masalah-masalah

yang menjadi agenda manusia secara universal tanpa tapal batas agama dan

budaya.30 Bagi Caknur bahwa corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik

itu adalah bersifat nisbi dan tak harus dimutlakkkan. Pemutlakan pemikiran-

pemikran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam

29 Pengantar Fachri Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-

Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. xxxix. 30 Ibid., h. xi.

Page 44: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlvi

kehidupan riil tapi juga sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang

sesunguhnya yang sangat dinamis.

Nurcholis Madjid melihat bahwa pemutlakan pemikiran dan lembaga

tersebut sangat bahaya karena akan menimbulkan ideologisasai agama yang

menghambat inklusivitas Islam sehingga akan menghambat percepatan

perkembangan dan penerimaan publik terhadap Islam. Gagasan politik dan negara

berlabel Islam merupakan representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam.

Sebagaimana dijelaskan Fachry Ali bahwa pendirian negara Islam lebih

merupakan respons sosiologis dalam struktur kejadian sosial politik.

Apakah lantas apa yang disampaikan dan dijabarkan Caknur keluar dari

nilai-nilai Islam dan beranjak dari pemikiran sekuler? Fachri Ali menjelaskan

bahwa partisipasi Caknur dalam menyumbangkan pikiran dan kritik-kritiknya

terhadap dunia politik Indonesia, tidaklah beranjak dari kesadaran sekular,

melainkan merupakan perwujudan dan konsekuensi logis dari persepsi

keislamannya sendiri.31

Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia,

dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan

beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM

adalah partikular dari maqhasidus syariah inilah sesungguhnya secara substansial

dengan nilai-nilai Islam.

Azyumardi dalam buku "Islam Substantif Agar Umat Tidak Menjadi Buih"

menuliskan, politik Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku

karena pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif. Jadi, katanya,

31 Ibid., h. xivi.

Page 45: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlvii

apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu

mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan

egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol.32

Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif

dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan

pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama

mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus

dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan

perdamaian rakyat bisa tercapai.

Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan

tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan

demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara,

meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan

kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam.33 Islam

memberikan perhatian penting terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang

membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus

ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.

C. Paradigma Sekuler

Kata sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagai cara dalam

sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme

diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara

32 Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan,

2000), h. 145. 33 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati

(Bandung, Pustaka, 2001), h. 25

Page 46: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlviii

Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah

tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama dan digunakan dalam hubungannya

dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan antara

gereja dan negara.

Masalah yang cukup menyita perhatian kaum Muslimin saat ini adalah

masalah hubungan agama dan negara. Masalah ini menjadi mendesak disebabkan

oleh munculnya negara-negara bangsa (Nation State) dan berhembusnya semangat

sekularisme yang dibawa oleh Barat modern. Modernisasi dunia Islam dimulai

pada abad ke -19. Berbagai perlawanan yang dilakukan untuk menandingi Barat

dimulai pertama kali oleh kekhalifahan Usmani dibawah pimpinan sultan

Mahmud II (1808- 1839).

Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah

ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri

terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan

beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan

sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak

menganakemaskan sebuah agama tertentu34.

Pemikiran tentang sekulerisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Harvey

Cox dalam bukunya yang berjudul The secular City. Sehingga gagasan sekuler

nya tampak lebih popular dan terformulasi dengan lebih sistematis. Harvey Cox

berpendapat sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan

metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. (Secularization is the

liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his

34 Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008

Page 47: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xlix

attention away from other worlds and toward this one)35. Harvey Cox

menegaskan bahwa sekularisasi membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan

pandangan alam metafisik.

Di dunia Islam sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah

menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap

secara sistematis dan terencana. Sekularissai dianggap sebagai prasyarat

transformasi masyarakat tradisional menjadi modern. Pendukung arus sekular

menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan

mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan

peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.36

Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan

antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi

keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum

keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil

dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi

hak-hak kalangan beragama minoritas.37

Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan

memainkanm peranan utama dalam Peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan

gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari

sekulerisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus

dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam

adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik

35 Dikutip dari Adnin Armas dalam tulisannya Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi

Harvey Cox, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, hal. 28.

36 Vaezi, Agama Politik, hal. 3. 37 Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008

Page 48: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

l

atau pemerinthan. Pola pemisahan agama dan negara ini, menolak eksistensi

“negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan.

Pandangan An-Naim tentang sekuler, memang harus ada pemisahan antara

negara dan agama supaya dapat dijalankan oleh pemeluknya dengan suka rela

tanpa ada paksaan dari negara. Namun dalam pengertian sekulernya An-Naim

mendefinisikannya sebagai netralitas negara terhadap semua agama, sebagai

kerangka untuk mengatur peran politik agama, dan bukan sebagai alat untuk

meminggirkan agama dari domain publik.38

Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi saw

pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik.

Bagi mereka kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern,

termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketidak mampuan

melihat dan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda

dan terpisah. Dalam sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiakan

dengan praktik politik Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga

dirujukkan kepada pemikiran-pemikiran Ali ibn Abd Raziq, pemikir Mesir pada

dasawarsa 1920-an.

Ali Abd Al-Raziq ( 1888-1966), seorang syaikh di Universitas al-Azhar

Kairo Mesir, telah memicu kontroversi yang meledak pada tahun 1952 ketika

bukunya, Al-Islam wa-Ushul Al-Hukm ( Islam dan Akar Pemerintahan),

menyatakan bahwa kekuasaan Agama dan administratif Nabi adalah terpisah.

Pemerintahan Muhammad atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari

38 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan masa depan

syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 436

Page 49: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

li

misi kenabiannya, dan para penerusnya, para khalifah hanyalah meneruskan

kekuasaan temporalnya.

Ia mengklaim bahwa khalifah tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits

maupun ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistem

pengaturan dan pengelolaan negara. Baginya Muhammad hanyalah seorang Nabi,

bukan penguasa. Ia Cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama,

bukan politik dan tata negara. Oleh karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa

dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara

dan lain-lain tidak ada sangkut pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan

dengan agama.

Ali Abd Al-Raziq berargumen bahwa Nabi adalah pembawa misi agama,

ia tidak mempunyai sebuah pemerintahan dan juga tidak berusaha mendirikan

sebuah kerajaan dalam arti politik atau semacamnya. Sehingga ia berpendapat

bahwa upaya pendirian sebuah pemerintahan tidak dipandang sebagai bagian dari

ajaran Islam.

Penulis Pakistan Qamaruddin Khan, telah berpendapat bahwa teori politik

Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan dan bahwa negara

bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara ilahiyah ataupun yang sangat

dibutuhkan sebagai sebuah institusi sosial. Konstitusi muslim bersifat fleksibel

dan tidak semestinya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan

secara intelektual sebagaimana yang sudah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk

mempertahankan status quo politik di dalam masyarakat muslim.

Menurut Al-Jabiri pertanyaan apakah Islam itu agama atau negara adalah

merupakan sebuah pertanyaan palsu karena tidak memantulkan realitas kaum

Page 50: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lii

Muslimin itu sendiri. Kemudian Al-Jabiri menjelaskan bahwa jika kita mau jujur

menalaah Al-Qur’an dan sejarah Islam, maka kita akan menemukan dengan jelas

fakta-fakta yang menunjukkan dengan jelas bahwa Islam sama sekali tidak

menentukan jenis dan bentuk negara. Masalah negara adalah merupakan sebuah

ijtihad. Singkatnya masalah negara menurut Al-Jabiri adalah masalah yang

tergolong pada apa yang dikatakan Nabi bahwa kamu lebih tahu tentang urusan

dunia mu.

Lebih jauh Al-Jabiri mengatakan: Sesungguhnya bentuk negara dalam

Islam bukanlah termasuk hal-hal yang diatur dalam Islam. Ia termasuk masalah

yang diserahkan kepada kaum muslimin agar mereka berijtihad sesuai dengan

pertimbangan manfaat dan kemaslahatan serta berbagai standar yang ada pada

setiap zaman. Karena itu mengatakan bahwa Islam agama sekuler menurut saya

sama salahnya dengan mengatakan bahwa Islam bukan agama sekuler karena

sekularisme dalam arti memisahkan agama dari negara tidak dikenal dalam Islam

karena tidak ada gereja dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan

adalah terpisahnya ulama dari umara, tentara dari rakyat, yakni apa yang kita

sebut sekarang sebagai pemisahan agama dari politik dan tiadanya izin bagi

tentara untuk terlibat dalam partai-partai politik, maka inilah yang secara aktual

telah terjadi sejak muawiyah, dan inilah yang membentuk bagian terbesar dari

pengalaman historis umat Islam.39

Dalam pengertian Amien Rais bahwa sekularisme merupakan suatu

ideologi ataupun paham hidup yang mengajarkan bahwa agama merupakan

masalah pribadi dan masalah subyektif setiap individu yang hanya bermanfaat

39 Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Penerjemah

Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 19

Page 51: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

liii

untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan.40 Para pendukung sekularisme

berpendirian bahwa agama harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia.

Dalam pandangan mereka, konsep negara agama merupakan sebuah konsep yang

sudah usang dan tertinggal dan hanya terbatas pada zaman dimana manusia masih

miskin ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur tertib sosialnya,

sehingga mereka memerlukan agama dalam mengatur hubungan-hubungan antara

mereka dalam masalah hukum, ekonomi, politik ,dan kebudayaan.

Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu

kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut

kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula mewajibkan untuk

mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslim.41

Para pemburu sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari

politik karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan

pribadi.42

Mereka menitikberatkan pandangan mereka pada sebuah konsep

rasionalitas. Rasionalitas sekuler beranggapan bahwa intelektual manusia sanggup

untuk membentuk pengetahuannya sendiri tanpa bantuan wahyu. Oleh karena itu

manusia mampu membangun ilmu pengetahuan alam, humaniora, filsafat, hukum

dan lain-lain tanpa bantuan Tuhan ataupun agama.

Hal inilah yang menyebabkan cara berpikir sekuler hanya menyisakan

sedikit ruang untuk agama. Sehingga pemikiran seperti ini telah membatasi peran

agama sebagai hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya,

40 Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Mizan: Bandung,

1998), hal. 75. 41 Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, h. 19. 42 Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 8.

Page 52: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

liv

tanpa harus turut campur dalam masalah tertib sosial dan politik. Hal ini

disebabkan karena hubungan sosial merupakan bagian dari urusan manusia bukan

urusan wahyu. Pemisahan agama dari politik hanyalah salah satu bagian saja dari

sekularisme. Menurut mereka, pemisahan agama bukan hanya dari poltik saja,

tetapi juga dari etika, seni, hukum, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu

mereka tidak hanya mendukung negara sekuler, tapi juga hukum sekuler,

kebudayaan sekuler, ilmu pengetahuan sekuler dan seterrusnya.43

Anggapan tentang penyatuan agama dan politik, din wa-daulah, adalah

tidak berguna karena tiga alasan:44

Pertama, ia melebihkan keunikan politik muslim. Karena menurutnya

agama jelas merupakan hal yang sentral bagi kehidupan politik rakyat di seluruh

dunia, bukan hanya bagi kaum muslimin.

Kedua, tekanan pada din wa-daulah secara tidak sengaja mengabadikan

asumsi para orientalis bahwa politik Muslim, tidak seperti politik yang lain, tidak

dibimbing oleh perhitungan rasional berbasis kepentingan. Akibatnya, disebabkan

oleh selalu terlibatnya agama, Muslim lalu dianggap terlalu bernafsu, tak

terkendali, tak kenal kompromi, dan tak mungkin untuk diajak bernegosiasi.

Ketiga, asumsi din wa-daulah ikut menyumbang pandangan bahwa politik

merupakan sebuah jaring tak berjahit, yang bagian-bagiannya tidak dapat

dibedakan karena adanya interpenetrasi yang alami dan mutual antara agama dan

politik. Karena Islam dianggap memasukkan semua aspek kehidupan dan segala

sesuatu lalu diasumsikan bersifat politis, maka struktur politik menjadi

teremehkan.

43 Vaezi, Agama Politik, hal. 13. 44 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan,

1998), hal. 71.

Page 53: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lv

Turki sebagai salah satu contoh negara sekuler, apakah bentuk negara

sekuler mereka yang digagas Mustafa Kemal Ataturk sejak 1920an dapat

dijadikan salah satu model terbaik dari penerapan sekularisme? Meskipun dalam

banyak hal, banyak yang setuju dengan penerapan sekularisme di Turki. Namun,

untuk persoalan larangan mengenakan hijab (atau jilbab) bagi mahasiswi di

universitas, banyak muslim lainnya sangat tidak sepakat.

Negara paling sekuler pun harus tetap menjamin kebebasan menjalankan

keyakinan agama bagi setiap warga negaranya. Dalam hal ini, negara tidak perlu

mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama

mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti

hijab, kalung salib, dan lain lain. Ini seharusnya menjadi bagian terpenting dalam

penerapan sekularisme, yaitu jaminan atas kebebasan dan hak individu.

Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, sebagai ajaran suci, Syariah

haruslah dilaksanakan setiap Muslim secara sukarela. Karena itu, penerapannya

oleh negara secara formal dan paksa dalam bentuk formalisasi syariah akan

membuat ia kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Na'im dengan tegas

menolak formalitas syariah Islam yang dipaksakan oleh negara. Sebaliknya,

penerapan syariah harus sukarela agar bisa berperan positif dan mencerahkan bagi

kehidupan umat Islam sendiri.

Na'im juga menuturkan, harus ada pemisahan agama dan negara. Negara

haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. "Syariah

harusnya menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap

kebijakan negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang

memihak kepada Islam saja. An-Na'im menawarkan pandangan jalan tengah

Page 54: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lvi

antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara

dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya.

Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan.45 Menurut An-Naim pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa

Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya

masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-

undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang

berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara

tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.46

Syariah Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian

publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariah karena upaya

memformalkan syariah sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia

kehilangan otoritas dan kesuciannya. Namun betapa pun, dia yakin bahwa Islam

tak dapat dislenggarakan oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan

publik masyarakat-masyarakat Islam.47

45 Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im

di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/telaga_hikmah/message. html.

46 An-Naim, Islam dan Negara Sekuler, h. 212. 47 Ibid., h. 78

Page 55: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lvii

BAB IV

PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Islam, Politik dan Negara

Subyek kajian Islam, politik, dan negara memang belum mencapai

finalnya di antara kalangan politikus Muslim, intelektual Muslim dan beberapa

tokoh lainnya serta masih menyelimuti perdebatan yang mendalam tentang

bagaimana idealnya hubungan antara Islam, politik, dan negara. Antara satu

pemikiran dengan pemikiran yang lain sudah mencerminkan perbedaan yang

sangat mencolok. Penerapan syariah Islam masih terus menjadi perdebatan.

Sejumlah kalangan menganggap syariah perlu diadopsi secara resmi dan

diterapkan oleh negara. Kalangan lainnya, menilai syariah cukup dijalankan

secara individual maupun komunal.

Memang Keterkaitan antara Islam dan politik sudah berlangsung sejak

masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam didakwahkan, nuansa-nuansa

politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa Nabi Muhammad ini. Baik

mereka yang sejak awal menerima Islam dan karenanya berkewajiban untuk

membelanya atau mereka yang pada mulanya menolak Islam dan kerenanya ingin

menghentikanya- sama-sama mengambil langkah yang bersifat politik.

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik.

Antony Black dalam bukunya Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga

Masa Kini yang diterjemahkan dari judul aslinya The History of Islamic Political

Page 56: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lviii

Though: From the Prophet to the Present terbitan Edinburgh University Press,

2001, menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika

politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga

mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran

politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.48 Tapi keragaman khazanah pemikiran

politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan

agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir Muslim yang

menginginkan pemisahan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran politik

Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam, politik, dan negara

sebagai pemikiran Islam politik.

Sebagaimana sudah dijelaskan di Bab III, bahwa setidaknya ada tiga

paradigma dalam menjawab hubungan Islam, politik, dan negara oleh karena itu

melalui paradigma ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah

pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.49 Dalam

Bab ini penulis mencoba mendsikripsikan pandangan salah satu intelektual

muslim yaitu Abdullahi Ahmed An-Na’im sebagai salah seorang guru besar di

Emory Law University, Atlanta, Amerika Serikat yang konsen membicarakan

tentang subyek tersebut.

Abdullahi Ahmed An-Na’im sendiri menyatakan sebaiknya syariat

diterapkan oleh umat Islam tanpa harus melalui sebuah penerapan yang dilegalkan

oleh negara. Ia bahkan menyatakan, tak diformalkannya syariah akan menjadikan

umat Islam lebih baik. Karena pelaksanaannya, didasari oleh kesadaran umat

48 Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.

Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), h. 17-25 49 Istilah politik Islam sering digunakan untuk sebutan gerakan Islam kultural tanpa

menjadikan Islam sebagai sebuah idologi sementara Islam politik sering diistilahkan dengan Islam struktural yang menghendaki Islam sebagai sebuah Ideologi.

Page 57: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lix

Islam sendiri bukan karena paksaan negara.50 Menurut dia, syariah memiliki masa

depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat

berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina

lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting

dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang

dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik

melalui proses politik yang demokratis51. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-

aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara

sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan

aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah, dan apabila pemberlakuan

syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan

bukan hukum Islam.

Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip

agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja

memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan

semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung,

berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau

prinsip-prinsip agama. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Abdul

Rasyid Moten tentang sekularisme dunia ketiga ketika mengutip argumen

Gajendragadkar bahwa sekularis bukan berarti hilangnya agama dalam arena

umum. Sekularisme semata-mata berarti kenetralan negara dari agama, yang

50 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 16 51 Ibid.,h. 15

Page 58: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lx

kemudian diinterpretasikan, sebagai kesempatan bagi semua agama untuk

melindungi negara dan berpartisipasi dalam urusan-urusan umum52.

Modernis Fazlurrahman yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan

agama telah bersifat merusak. Dia menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus

mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi

dan konsep Islam oleh kelompok dan elit politik. Hasilnya adalah politik “hasutan

omong kosong”, bukannya politik yang terilhami oleh moral53. Slogan agama dan

politik dalam Islam tak terpisahkan kadang-kadang hanya dipergunakan untuk

menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara

yang melayani tujuan jangka panjang Islam, tetapi pada kenyataannya bahwa

Islam justru hanya dijadikan untuk melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai

politik. Nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-

moral keagamaan.

Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organya.54 Ide negara Islam menurut An-Naim merupakan suatu yang kontradiktif.

Negara adalah institusi politik. Islamic state adalah suatu kontradiksi. Istilah

Islamic di situ menurutnya digunakan secara ceroboh. Jadi gagasan itu merupakan

suatu gagasan yang sangat tidak koheren. Itu adalah suatu kesalahan sejarah. Ide

negara Islam adalah suatu ide pasca-kolonial. Ini bukan ide yang muncul dari

sejarah Islam. Negara adalah institusi politik dan birokratik dengan suatu hierarki

52 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati

( Bandung: Pustaka, 2001), h. 7 53 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan,

1998), hal. 68 54 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 28.

Page 59: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxi

dan kekuasaan yang ekspansif yang mengontrol hampir semua aspek kehidupan

kita, terlepas dari apakah kita menyukai hal ini atau tidak.

Syariah adalah sistem norma dalam Islam. Otoritasnya adalah religius dan

bukan sekular. Dalam arti ia tidak ada dalam wewenang negara. Dengan kata lain,

negara menyimpang jika ia menerapkan syariah. Menurut An-Na’im, bahwa

mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan

umat Muslimin, bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan

negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan

secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan

otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara55. Karena itu, pemisahan

Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan

positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut An-Na’im sebagai

netralitas negara terhadap agama. Azyumardi Menjelaskan bahwa alasan An-

Na’im ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun, baik sebagai mayoritas

maupun minoritas-dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian dari

kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala

negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha

menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.56

Menurut saya, saya membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan57.

55 Ibid., h. 18 56 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli 2007. 57 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari

http://apri23.multiply.com/journal/item/7/ Buat_Pak_PeAceMan_Tuh_Kan_Pak.An_Naim_Liberal_Abiss. html

Page 60: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxii

Negara sekular adalah negara yang netral dalam hal doktrin-doktrin

keagamaan. Dia tidak berpihak pada agama tertentu. Dia juga tidak mendukung

atau memusuhi agama tertentu. Kenetralan negara dalam hal doktrin keagamaan

inilah yang membuat agama mungkin berkembang dalam masyarakat. Karena

hanya masyarakat yang merupakan tempat di mana agama bisa berkembang dan

berada58. Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional

dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan

menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu. An-Na’im

hanya ingin menjelaskan bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan

peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya

bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan

sukarela oleh penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara

dan memisahkannya secara kelembagaan dari agama.

Kemudian Azyumardi dalam tulisannya tentang An-Na’im itu melanjutkan

bahwa negara tetap tidak bisa dihindari dari kepentingan politik masyarakat yang

tinggal dalam sebuaha negara. Ungkapan itu dikutif sebagai berikut:

Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis An-Na’im, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu.59

58 Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Naim di Freedom Institute, Rabu 1 Agustus 2007. Daikses pada tanggal 27 April

2008 dari http://www.freedom-institute.org. html

59 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,”

Page 61: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxiii

Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan.

Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi

korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu, tegas An-Na’im.

Alasan utama lainnya menurut An-Na’im untuk menekankan pentingnya

netralitas negara atas agama karena hal itu merupakan syarat mutlak pemenuhan

ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan

bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau

perundang-undangan yang bersumber dari agama atau keyakinnanya,

sebagaimana seluruh warga negara memiliki hak yang sama, mereka harus

mendahulukan nalar public ( public reason ).

Nalar publik adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijkan publik atau

perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran warga yang pada umumya

bisa menerima atau menolak60. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan

dan motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum muslim, baik sebagai penduduk

mayoritas atau minoritas, karena sekalipun muslim sebagai mayoritas mereka

tidak lantas bersepakat terhadap kabijakan dan perundang-undangan yang cocok

dengan kayakinan Islam mereka. Keseluruhan proses formulasi dan implementasi

kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan dan

kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar

kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persolan kebijakan dan

perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di

kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti

itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka.

60 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 22-23

Page 62: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxiv

Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus

dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam adalah

produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berperilaku secara politik

sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

publik. Namun sebagai produk politik, negara harus dipisahkan dari Islam.

Pernyataan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan bukan hanya pernyataan

menyangkut Islam, tapi itu berkaitan dengan semua agama. Semua agama bisa

mengklaim hal yang serupa. Sifat agama menjadikan orang yang beriman akan

bertindak secara politik sebagai orang yang beriman. Perilaku orang beriman akan

diresapi dengan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka.

Di samping itu, negara menurutnya adalah institusi politik, warganya

diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti mengesampingkan

kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Dalam sistem negara

sekular, dalam pandangannya bahwa kita tidak bisa melakukan diskriminasi

terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada

dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab apa

yang diharamkan (illegitimate) dan dianggap salah, hanya didasarkan dari sudut

pandang Islam. Inilah yang dimaksud An-Na’im bahwa negara syariah jelas

melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya dalam artikel-

artikelnya.

Penegasan An-Na’im bahwa pemisahan Islam dan negara bukan berarti

tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijkan publik, perundang-undangan

atau kehidupan publik secara umum, tapi peran itu harus didukung oleh apa yang

disebut Nalar Publik, dan harus tunduk kepada prisai-prisai konstitusonal serta

Page 63: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxv

perlindungan hak-hak asasi manusia. Karena menurut An-Na’im bahwa tuntutan

pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah

realistis dan menyesatkan.61

Dalam sebuah wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im, ketika

ditanya apakah negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah?

An-Na’im menjawab bahwa:

Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah62. Menurut pendapat saya bahwa pelaksanaan syariat Islam berdasarkan

kesadaran umat Islam itu sendiri sebagaimana yang dimaksud An-Na’im, secara

teori benar tetapi realitasnya sulit dilaksanakan dan bahkan Islam akan terus

meredup, tidak berpengaruh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran ulama dalam

memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat agar tidak menyalahi dan

menyelewengkan ajaran Islam (syariat) sehingga masyarakat tidak hanya

memahami atau melaksanakan ajaran Islam berdasarkan kemauannya sendiri.

Pemisahan Islam dari negara harus dilakukan demi menjaga netralitas negara

terhadap ajaran agama lain, tetapi bukan menghilangkan peran ulama dalam

masyarakat Islam.

B. Islam dan HAM

61 Ibid., h. 62

62 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com

Page 64: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxvi

Manusia pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang

sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia

(HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang

melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan

harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok

yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, hak-

hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Tujuan utama HAM bagi An-Na’im adalah untuk meyakinkan

perlindungan yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak

semua manusia di mana pun berada, termasuk di negara yang tidak menjamin

keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar63. Sehingga bagaimanapun dan

dalam bentuk apa pun bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia

tetap menjadi hak setiap manusia. Deklarasi HAM bertujuan melindungi

keluhuran manusia dan menaikkan taraf kesejahteraannya di manapun berkat

universalitas nilai moral dan politik yang dikandungnya. Dengan universalitsas

yang dikandungnya, maka setiap kekuasaan hukum dan konstitusi di sebuah

negara bertugas untuk melindunginya. HAM mengatur hubungan antar individu

dan semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang

lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan

bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah

dilakukan oleh masyarakat.

Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang

menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.

63 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 179

Page 65: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxvii

Melalui deklarasi universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak

bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Islam

sebagai agama, pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life

yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan

konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga

dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, Islam pun mengatur mengenai hak

asasi manusia. Harmonisasi antara tradisi Islam dan konsep HAM modern adalah

sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra-modern yang menghambat

kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang64. Mereka yang mendukung gagasan

HAM menegaskan bahwa hukum-hukum (Islam pra-modern) itu adalah rumusan

manusia, karena itu perumusannya kembali bukan saja tidak boleh, bahkan

diperlukan.

Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri

dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam

sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena

dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang

spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita

temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam

telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu65. Fakta ini mematahkan

bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM.

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, hal ini

terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagai cara.

64 Budhy Munawar Rahman, “HAM dan Persoalan Relativitas Budaya” dalam

Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 471

65 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), h. 91

Page 66: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxviii

Menurut Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, setidaknya ada tiga hal yang

membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.66 Pertama, dalam al-Qur’an

memang tidak dipaksakan untuk memeluk agama Islam dan “dibebaskan untuk

tidak beragama.” Seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 29

yang berarti : “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin

beriman, hendaklah ia beriman. Barangsiapa ingin kafir, biarlah ia kafir.” Kedua,

model masyarakat yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam

Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut

setiap masyarakat Madinah dibolehkan menganut agama masing-masing dan tidak

mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para sarjana memandang bahwa

piagam ini merupakan teks sebagai pengakuan Hak Asasi Manusia. Walaupun

kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui

sumbangsih Islam terhadap cetak biru HAM di muka bumi ini. Sebab teks-teks

tentang HAM di barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya Magna

Charta (1215). Ketiga, dalam Islam dikenal 5 prinsip hak asasi manusia yang

seringkali kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih: a) Hak perlindungan terhadap jiwa

atau hak hidup; b) Hak perlindungan keyakinan; c) Hak perlindungan terhadap

akal pikiran; d) Hak perlindungan terhadap hak milik; e) Hak berkeluarga atau

hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.67 Lima prinsip inilah

yang selalu menjadi nafas dalam pengkajian hukum Islam. Artinya semua

ketentuan hukum harus berlandaskan lima prinsip tersebut.

66 Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105

67 Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan

Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67.

Page 67: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxix

Rasulallah Muhammad SAW mengatur perlindungan hak-hak sipil

golongan Islam dan non-Muslim dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah

suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika Ia masuk ke

Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan

jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama.

Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama,

dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi

bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang

menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap

kelompok yang lain.

Hukum Islam, syari’ah, memiliki reputasi yang buruk – terutama di Barat,

dan juga dibeberapa negara Muslim sekuler. Ia dianggap sebagai sebuah konsep

yang merepresi perempuan, melanggar hak asasi manusia, dan terbelakang.

Namun Abdullah An-Na’im, professor ilmu hukum pada Emory University di

Atlanta, Amerika Serikat mengatakan bahwa para fundamentalis memang

memahami konsep syari’ah secara lain. Menurutnya syari’ah justru memiliki segi

positif dan masa depan. Menurut cendekiawan muslim dan aktivis yang pernah

diusir dari negaranya, Sudan, karena prinsipnya tentang penegakan HAM, prinsip

dan nilai-nilai HAM sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar terlindungi diri

secara pribadi dan masyarakat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.68

Pakar hukum Islam asal Sudan ini, Abdullah Ahmed An-Na’im

menegaskan, semangat hukum Islam tidak berbeda dengan Hak Asasi Manusia

(HAM). Ia berpendapat masalah HAM dan syari’ah lebih baik dipahami dengan

68 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 17

Page 68: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxx

menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam

pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain.

Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan

kecocokan atau ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya

dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan

perkembangan hubungan Islam dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam

sebenarnya sangat mendukung HAM.69 Untuk merealisasikan tujuan-tujuan

tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui

HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis

kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.70

Guru Besar Hukum Islam yang menjadi guru besar di sejumlah

universitas di Amerika Serikat itu berulang kali menyatakan bahwa hukum Islam

mempunyai semangat serupa dengan HAM. Namun pada saat yang sama, An-

Na’im mengingatkan, hukum Islam tidak bisa dijadikan hukum nasional dengan

alasan apa pun. Jika itu yang terjadi maka negara cenderung menafsirkan hukum

Islam sesuai dengan kepentingan politiknya, kata An-Na’im yang diusir dari

Sudan karena pandangan-pandangannya yang dinilai tidak sesuai dengan

kepentingan politik pemerintah.

Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh saja (berhak) menerapkan

hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam

maupun di luar komunitas Islam. Artinya dalam mengklaim dan menggunakan

hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum Muslimin

juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain.

69 Ibid., h. 177 70 Ibid

Page 69: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxi

Persoalannya, menurut Na’im, jika syari’ah historis (Na’im menggunakan

istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam) diterapkan sekarang,

akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah

konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi

manusia. Dan menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat

non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan

menjadi masyarakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka

akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses

ke dalam kehidupan publik. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan

merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat

berbagai undang-undang.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Na’im mengajukan konsep perubahan

dalam hukum publik di negara-negara Islam dengan membangun suatu versi

hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum

pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern. Untuk tujuan itu,

Na’im menafikan kesakralan syari’ah, karena syari’ah bukanlah bersifat ilahiyyah

(wahyu yang langsung datang dari Allah). Syari’ah, menurutnya, adalah “the

product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the

Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil dari proses penafsiran, derivasi

melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain).71 Oleh

karena nya Pemahaman atas syari’ah seperti apapun selalu merupakan produk

ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk

memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

71 Abdullah Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human

Right, And International Law.(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), h. 11

Page 70: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxii

An-Na’im begitu simpatik kepada HAM dan tidak begitu simpatik kepada

syariah. Syariah dalam makna baru versi An-Na’im yang punya masa depan,

bukan syari’ah seperti yang diyakini kaum Muslimin pada umumnya. An-Na’im

menitikberatkan pemahamannya tentang hak asasi manusia melalui dua kekuatan

utama yang menjadi sumber motivasi seluruh tingkah laku manusia yaitu

kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.72 Dengan kata lain, syari’ah

sebagai hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi

manusia yang berlaku pada suatu waktu.

Menghubungkan Islam dan HAM bagi An-Na’im merupakan hal yang

sangat penting bagi mayoritas umat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang

pada norma-norma HAM tidak hilang begitu saja hanya karena memahami norma

tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena apabila

mereka percaya bahwa hak-hak tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan

mereka, komitmen dan motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan

bertambah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk bisa menjustifikasi secara

moral atas klaim HAM, tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, umat

Islam harus menyadari bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengan

umat Islam.

Adnin Armas mengatakan bahwa An-Na‘im, menghabiskan waktu

menulisnya tentang Islam dan Negara Sekuler dalam rangka menegosiasikan masa

depan syariah selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation.73

Dalam persoalan hubungan Islam dan HAM, An-Na’im menjelaskan bahwa

72 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan sipil, Hak Asasi

Manusia, dan Hubungan Internasional Dalam Islam ,(Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 313 73 Adnin Armas, “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM ketimbang

syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html

Page 71: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxiii

apabila dihadapkan dengan pilihan antara HAM dan Islam, maka An-Naim akan

lebih berpihak pada Islam, kalau ajaran Islam tersebut tidak bertolak belakang

dengan konsep universalitas HAM, namun apabila ajaran Islam bertolak belakang

bahkan bertentangan dengan konsep HAM, An-Na’im tidak ragu akan berpihak

pada HAM dibandingkan pada Islam. An-Na’im dalam pernyataannya sebagai

berikut:

“Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.” 74

Menurut An-Na’im, semua umat Islam tunduk pada hukum Islam.

Pertanggungjawaban umat Islam atas pelaksanaan hukum Islam tidak boleh

melibatkan negara atau pemerintah. Pertanggungjawaban umat Islam menurut

peneliti masa depan hukum Islam itu ditujukan hanya kepada Allah. Bahkan ia

menegaskan bahwa, Tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan bahwa orang

lain itu murtad atau musyrik. Masalah tersebut merupakan wilayah otonomi orang

yang bersangkutan. An-Na’im, oleh karenanya, mendukung sekularisme, sebuah

negara yang secara netral membuat hukum yang berlaku bagi seluruh warganya,

seraya memberikan cukup ruang kebebasan bagi mereka untuk tetap

mempraktekan agama yang mereka percayai dalam kehidupan mereka sehari-hari.

74 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 50-51

Page 72: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxiv

An-Na’im menyoroti bahwa adanya ketegangan antara syari’ah dan HAM

terutama berkaitan tentang perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender dan

agama serta hak non-Muslim. Kemudian mengeksplorasi cara-cara menyelesaikan

ketegangan tersebut melalui reformasi Islam bahwa ia tidak menerima aspek

syari’ah ini sebagai hukum Islam yang final dan konklusif. Menurut An-Na’im

bahwa secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan bagi syariah untuk

melanjutkan pengabsahan perbudakan75. Adapun diskriminasi hukum keluarga

dan hukum perdata syariah dalam pandangan An-Na’im mencakup hal-hal sebagai

berikut:76

• Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi,

tetapi seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan

Muslim

• Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan. Sehingga

seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun mewariskan kepada

non-Muslim

Adapun diskriminasi berdasarkan gender dalam hukum keluarga dan perdata

mencakaup hal-hal sebagai berikut:

• Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu

bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki-

laki dalam waktu bersamaan.

• Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-

istrinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa

berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya.

75 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 329-335 76 Ibid., h. 337

Page 73: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxv

Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan kerelaan

suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan

dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk

mengurus istri.

• Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit

dari bagian laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang

sama dalam hubungannya dengan seorang yang meninggal.

Mengenai hal diatas itu An-Na’im menekankan tentang tidak adanya

pembenaran historis berbagai hal berkenaan dengan diskriminasi berdasar agama

atau gender tersebut dan menilai bahwa perbudakan dan diskriminasi atas dasar

agama dan gender adalah melanggar penegakan hak asasi manusia. Hal tersebut

adalah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara syari’ah dan hak

asasi manusia universal.77 Karena menurutnya pengakuan Deklarasi Universal

HAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih merupakan hasil proses

konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan. Deklarasi HAM tidak

mewakili suatu kerangka kerja teologis atau metafisis tertentu karena ia tidak

menetapkan agama apapun sebagai sumber justifikasi. Ini memungkinkan

penganut agama manapun untuk membangun komitmen atas deklarasi tersebut

berdasarkan norma yang dianut.78

Dalam berbagai hal, ide An Na’im ini sangat absurd, sebab beberapa

perangkat hukum dalam syari’ah Islam meniscayakan campur tangan negara,

untuk mencegah terjadinya kekacauan dan keonaran. Dalam pelaksanaan hukum

77 Ibid, h. 340 78 Sukron Kamil dan Chaeder S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda

Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim (CSRC: Jakarta, 2007), h. 10

Page 74: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxvi

kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya,

rasanya sulit

membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan

Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah

melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja. Na’im juga

terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong

Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human

Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting

sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. pemikiran

An Na’im ini bisa menuntun orang untuk menganggap bahwa Islam adalah hasil

rekayasa manusia.

C. Konstitusionalisme

Konstitusi adalah simbol dari kedaulatan rakyat. Konstitusi adalah acuan-

acuan tetap yang harus dipatuhi oleh negara agar bisa mengoperasikan

kekuasaannya dengan persetujuan warga negaranya. Hanya dengan demikian

negara bisa dan absah menarik kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh

warganegara, maka dalam artian ini, konstitusi berarti sarana bagi rakyat untuk

mengontrol operasi kekuasaan negara. Konstitusi adalah sarana bagi demokrasi.

Inilah inti pengertian dari konstitusionalisme. Hal yang sama pentingnya menurut

An-Na’im adalah Kemampuan masing-masing dari setiap warga negara secara sah

menentang kebijakan atau hukum apapun lewat cara perundang-undangan, juga

lewat alat politik79.

79 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160

Page 75: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxvii

Konstitusionalisme, sebagai paham dan semangat (spirit) sebenarnya

menegaskan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi

yang tidak bisa dicukupkan dari akomodasi tekstual. Artinya, memperbincangkan

problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas

semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat

untuk terus menerus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran

akar konstitusionalisme. Di sinilah tantangan para teoritisi konstitusi untuk secara

terus menerus mengoreksi dan menggali akar-akar konstitusi dengan

mentransmisikannya dalam merespon situasi-situasi kekinian.

Konstitusionalisme bukanlah sekadar urusan bongkar pasang teks berikut

institusinya melalui konstitusi, melainkan sebagai lompatan pemikiran kritis dan

tindakan nyata untuk memberikan kepastian jaminan hak-hak kesejahteraan sosial

sebagai hak-hak dasar warga negara yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh

penyelenggara kekuasaan. Begitulah salah satu cara memaknai teori dan hukum

konstitusi agar kian lebih maju secara substantif, bermartabat dan membumi bagi

seluruh warga bangsa.

Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk

merealisasikan dan melindungi persamaan status, HAM, dan kesejahteraan

seluruh warga negara. Sedikit negara-negara kontemporer yang bisa dikualifikasi

sebagai penganut sistem konstitusionalisme dalam arti yang sepenuhnya maupun

secara parsial.80 Hal ini dimaksudkan An-Na’im adalah karena negara tersebut

gagal dalam memenuhi tuntutan hak asasi manusia serta adanya perlakuan

diskriminasi terhadap status warga negara terutama terhadap status perbudakan,

80 Ibid., h. 141

Page 76: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxviii

perempuan dan non-Muslim bahkan kadang-kadang hilangnya hak

kewarganegaraan penuh mereka. Sehingga yang harus pertama-tama dipahami

adalah filosofi dari konstitusionalisme, yaitu sebagai prinsip keutamaan hak

rakyat.

Karena konstitusionalisme berpendirian bahwa kekuasaan sungguh-

sungguh terbatas dan hak-hak warga negara benar-benar ada, maka sebuah

konstitusi harus bersifat membebaskan. Fungsi pembebasan dari sebuah konstitusi

hanya bisa berjalan apabila konstitusi itu memenuhi dua syarat. Pertama, memiliki

paradigma emansipatoris yang menekankan pentingnya penegakan hak-hak dasar

setiap warga negara. Kedua, konstitusi itu bersifat terbuka baik untuk didialogkan

dengan kenyataan riil yang berkembang maupun untuk diperbaiki.

Penolakan maupun penerimaan terhadap konstitusioanalisme menurur An-

Naim harus berpedoman pada dua argumen yaitu pertama bersifat moral dan

kedua bersifat empirik. Yang dimaksud moral di sini adalah bahwa dalam

mengambil keputusan harus menempatkan posisi diri kita berada dalam posisi

orang lain sehingga tidak terjadi keberatan di antara dua pihak dan saling

mendapatkan keadilan dari prinsip konstitusionalisme sedangkan argument

empiris adalah kenyataan bahwa konstitusionalisme telah menjadi pilihan bebas

mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk umat Islam.81

Konstitusionalisme merupakan suatu perangkat aturan yang memuat

prinsip dasar dan impian bangsa mewujudkan masa depan. Oleh sebab itu,

perubahan terhadap konstitusi memerlukan paradigma yang jelas sesuai dengan

prinsip konstitusionalisme yang antara lain adalah: (1) pembatasan wilayah

81 Ibid., h. 143

Page 77: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxix

kekuasaan negara, (2) pengaturan cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan

terhadap hak asasi manusia, (4) prinsip kedudukan politik yang demokratis, (5)

independensi peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip

desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi, serta (9) melibatkan

masyarakat.82

Konstitusionalisme adalah paham moderen tentang perlindungan warga

negara. Ia bukan pertama-tama sebagai aturan-aturan ketatanegaraan, melainkan

prinsip final tentang hak warga negara. Itulah sebabnya di dalam sejarah awal

perkembangan paham itu, eksplisit diakui hak warga negara untuk melakukan

perlawanan bersenjata terhadap penguasa yang otoriter. Baru kemudian konstitusi

dipahami sebagai sarana untuk mengatur kehidupan politik secara permanen, yaitu

dengan berfungsi sebagai lembaga intermediasi di dalam mengatur hubungan

antara pemerintah dan rakyat. Paham konstitusionalisme lalu menjadi identik

dengan prinsip negara hukum, karena pasangan prinsip itu beroperasi untuk tujuan

yang sama, yaitu ketertiban dan kepastian. Dengan itu kita dibiasakan untuk

menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural. Dan demokrasi

dalam konteks ini juga dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin

berlanjutnya ketertiban politik dan kepastian hukum. Dari sinilah kemudian

diterima suatu kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi,

negara hukum dan konstitusionalisme. Saling mengandalkan dan saling

membutuhkan.

Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang

perkembangan moderen dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa

82 J. Kristiadi, “Kambing hitam itu bernama UUD 1945,” artikel diakses pada tanggal 14

Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=623&id=29&tab=3. html

Page 78: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxx

manusia merupakan mahluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan

berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri

tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideal dari sebuah

kehidupan politik, atau dari sebuah tujuan hidup (common good) yang sudah final,

melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan dan hak

individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial di

antara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak

dan kebebasan individu haruslah dianggap primer. Di sini jelas bahwa

konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan

kebebasan individu dari hambatan dan tekanan-tekanan kekuasaan, yang contoh-

contoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia.

Melihat fenomena kedaulatan yang mendasari problem konstitusionalisme

dalam syariah, An-Na’im berpandangan bahwa terjadi ambivalensi83. Meskipun

merupakan kepercayaan bagi Islam bahwa otoritas tertingggi berada di tangan

Tuhan, namun tidak dengan sendirinya menunjukkan siapa yang berwenang atas

kedaulatan itu. Pada waktu Nabi masih hidup klaim tersebut masih mungkin dan

tidak diperselisihkan namun setelah Nabi wafat kalim tersebut lantas

menimbulkan masalah terutama setelah masa khulafaurrasyidin bahwa kalim

tersebut telah terdistorsi dan bahwa mereka ini sebagai instrumen kehendak Ilahi

yang diapresiasikan melalui syariah juga mengundang masalah bagaimana

khalifah itu mempertanggungjawabkan perbuatannya.84

An-Na’im berpandangan bahwa perlu rumusan baru tentang batasan-

batasan kedaulatan yang pada akhirnya dapat berjalan beriringan dengan

83 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160 84 Ibid., h. 161

Page 79: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxi

konstitusi. Pembatasan hak non-Muslim dan partisipasi perempuan Muslim dalam

penyelenggaraan urusan negara. Ini tentu saja tidak konsisten dengan konstitusi

modern yang mensyaratkan persamaan dan tidak ada diskriminasi diantara warga

negara85. Sehingga menurut An-Na’im semua aspek syariah historis yang

berhubungan dengan perempuan dan dzimmi adalah melanggar prinsip persamaan

di depan hukum konstitusi.

D. Kewarganegaraan

Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara,

maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseoarang yang

dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara.

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur

warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga

negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan

mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari

dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud

dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum

mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada

prinsip hubungan darah.

Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah

hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan

85 Ibid., h. 162

Page 80: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxii

dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan

negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan

kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara

otomatis diakui sebagai warga negara. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di

beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor

pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.

Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis

kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan

orangtuanya itu.

Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu

ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau

pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang

ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu

negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di

atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status

kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau

mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status

kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi).

Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan

kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat

mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang

bersangkutan menjadi warganegara yang sah.

Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik

(negara), dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik.

Page 81: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxiii

Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara

umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki

kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum

merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak

berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa

menjadi bangsa dari suatu negara.86

Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara

merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap

negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik

terhadap negaranya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka adanya hak dan

kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan suatu yang niscaya.87

An-Na’im mengajukan HAM sebagai kerangka untuk menggarisbawahi

dan menyelesaikan ketegangan yang ada ketimpangan pemahaman masyarakat

Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan. Istilah kewarganegaraan yang

digunakannya sebagai sebuah bentuk keanggotaan dalam komunitas politik dalam

sebuah wilayah negara. Konsep kewarganegaraan harus menandakan adanya

pemahaman bersama tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi

politik yang inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam

menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak. Dengan demikian

individu maupun komunitas, di mana pun berada harus mengakui adanya

kesamaan warga negara. Karena itulah menurut An-Na’im kesediaan menerima

86 Dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada tanggal 6 Mei 2008. 87 Tim ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat

Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005), h. 83

Page 82: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxiv

paham kewarganegaraan berdasarkan HAM universal adalah merupakan prasyarat

moral, hukum, dan basis politik.88

Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan hak dan

kewajiban masyarakat. Menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang

dilahirkan dan menetap sebagai penduduk di dalam wilayah suatu negara menurut

An-Na’im tidak dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu

memilih dan memperoleh kewarganegaraan lain. Bagi An-Na’im adalah hak

seluruh warga negara untuk secara terus menerus dan signifikan mempengaruhi

formulasi dan penetapan kebijakan publik serta pengundangan hukum-hukum

publik. Hal tersebut adalah pembenaran moral dan pragmatis bagi kedaulatan

negara.89 An-Naim menjelaskan meskipun adanya pembenaran politik dan

sosiologis di masa lalu menyangkut pembatasan dan diskualifikasi terhadap

perempuan, perbudakan dan non- Muslim pada saat ini pembenaran tersebut tidak

sah.

Konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Tuhan dan kedaulatann

manusia itu, dapat menjadi landasan konstitusionalme aktif hanya jika cakupan

ummah dalam syariah direvisi dengan memasukkan seluruh warga negara atas

dasar kesamamn mutlak, tanpa diskriminasi karena perbedaan agama maupun

jenis kelamin.90 Oleh karena itu An-Na’im secara tegas menolak adanya status

kewarganegaraan yang bersifat mayoritas dan minoritas dalam hak dan kewajiban.

Prinsip aturan berdasarkan mayoritas, tak dapat dipertahankan kecuali jika

minoritas memperoleh hak hukum dan kesempatan menjadi mayoritas sehingga

pandangan-pandangannya suatu saat dapat diberlakukan.

88 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 198 89 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 163 90 Ibid., h. 164

Page 83: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxv

Dengan adanya kebebasan bagi setiap warga negara tanpa adanya

diskriminasi antara minoritas dan mayoritas dalam menjalankan keyakinan dan

kepercayaan keagamaan, maka negara tidak dapat memaksakan seseorang untuk

meninggalkan atribut esensial bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya

hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Sehingga manurutnya bahwa suatu

kebijakan dan hukum selalu dibangun atas dasar rasional yang dihormati dan

didukung oleh seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama

dan kepercayaan.

An-Na’imi menolak adanya istilah dzimmah sebagai warga negara tidak

penuh dalam sebuah status kewarganegaraan dan tidak bisa dipertahankan lagi

sebagaimana yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Baginya umat Islam tidak

saja harus menghapus sistem dzimmi dalam syari’ah secara formal, tapi juga

menolak nilai-nilai diskriminasi yang terdapat di dalammya.91 Pandangan ini

menunjukkan bahwa adanya persamaan status kewarganegaraan dalam sebuah

negara manapun.

Pandangannya ini berawal dari pemahamannya tentang konsep universal

HAM sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan utama HAM

menurutnya adalah untuk menjaga dan menjamin hak dasar seluruh manusia

dimanapun berada. Menurut An-Na’im relasi konsep warga negara berbasis HAM

di kalangan muslim hanya bisa dicapai melalui:92 Pertama, tarnsisi aktual dari

konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era pasca kolonial. Kedua,

bagaiman menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang

kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM

91 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 202 92 Ibid

Page 84: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxvi

berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar

konsep ini menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan

keterbatasan dan kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam

masyarakat Islam.

E. Hukum Pidana

Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena

melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma hukum

disiplin, ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata

diberi ganjaran hukuman perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi

ganjaran hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana

adalah hukuman pidana.93

Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan

kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang

satu dengan yang lain tidak saja berlainan, akan tetapi kadang-kadang saling

bertentangn. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia

bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan

dan hak orang lain, maka hukum memberi rambu-rambu berupa batasan-batasan

tertentu, sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah

laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. Fungsi yang

demikian itu terdapat pada setiap hukum termasuk didalamnya hukum pidana.

93 E.Y. Kanter dan S.R Siantar, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 12

Page 85: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxvii

Hukum pidana berfungsi:94

1. Melindungi kepentingan manusia dari perbuatan yang menyerang atau

memperkosa kepentingan tersebut.

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi

perlindungan atas berbagai kepentingan.

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara

melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

Masalah administrasi hukum pidana Islam juga merupakan isu yang

menonjol dan masih dalam perdebatan yang cukup panjang tentang penerapan

syari’ah yang tidak hanya terjadi di kalangan ilmuan Barat, namun juga terjadi di

antara ilmuan Muslim karena hal ini akan mengakibatkan reaksi politik yang

sangat keras apabila penerapannya yang prematur dan sewenang-wenang atas

hukum pidana syari’ah.

Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Ia

telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi,

Afghanistan, dan Sudan. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras

diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan

pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap

menerapkan syari’ah Islam atau tidak. Persoalan utama menyangkut

pemberlakuan syari’ah Islam bagi Luthfi Assyaukanie bukannya apakah kita bisa

menerapkan hukum pidana semacam itu atau tidak, tapi siapkah kita menerima

94 Adawi Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori

Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 15-16

Page 86: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxviii

dampak buruk dari pelaksanaannya. Terlalu banyak persoalan yang muncul akibat

penerapan hukum syari’ah di dunia modern.95

Hampir semua negara yang menerapkan syariat Islam mengalami

persoalan besar, baik karena berbenturan dengan hukum positif yang dianut dunia

internasional maupun kelemahan penerapannya sendiri akibat basisnya yang

rapuh. Penerapan syari’ah sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip-

prinsip penologis (soal-soal kriminalitas) dan norma-norma hak asasi manusia

(HAM) modern.

Basis penerapan syari’ah juga kerap dianggap lemah, karena bersifat

diskriminatif, khususnya yang menyangkut hukum-hukum prosedural, seperti

dalam kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan non-Muslim. Abdullahi

Ahmed An-Na’im, memberikan contoh bagaimana hukum Islam di Sudan sangat

tidak memadai ketika harus menerapkan hukum zina bagi warganya yang non-

Muslim. Dalam hukum pidana Islam yang berlaku di negeri itu, para pelaku zina

dari ahlul kitab (non-Muslim) tidak dikenakan sanksi hudud. Tapi, ketika

beberapa kasus menyangkut non- Muslim terjadi, masyarakat merasa resah dan

menganggap hukum Islam telah berlaku diskriminatif. Malangnya, ketika

pemerintah hendak memberlakukannya kepada mereka (ahlul kitab), masalah baru

muncul. Siapa yang berhak memutuskan sebuah agama dianggap ahlul kitab.

Apakah pengadilan yang harus menggunakan keyakinan tertuduh sebagai

95 Luthfi Assyaukanie, “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam,” artikel diakses pada

tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/ id/index.page=profile&detail=artikel&detail=.html.

Page 87: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

lxxxix

standarnya atau standar pengadilan sendiri. An-Na’im mengakui bahwa persoalan

ini sangat problematik dan tak pernah bisa diselesaikan peradilan Sudan.96

An-Na’im berpendapat bahwa tujuan dan urgensi keberadaan Hukum

Internasional adalah untuk mengatur hubungan antar masyarakat internasional

dengan standar persamaan dan keadilan, agar tercipta rasa aman dan makmur bagi

setiap elemen yang tercakup di dalamnya. Negara adalah salah satu elemen utama

yang diatur Hukum Internasional tersebut, karena negara sendiri terdiri dari

elemen-elemen yang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban

internasional, di samping juga setiap negara memang berkesempatan untuk

berinteraksi dengan elemen internasional secara lebih luas. Salah satu alasan An-

Na’im mengapa negara-negara Islam diwajibkan menghormati standar-standar

Hukum Internasional khususnya yang berhubungan dengan administrasi hukum

pidana, karena negara harus melindungi hak-hak warga asing beberapa

diantaranya adalah non-Muslim.97

Atas dasar inilah An-Na’im beranggapan bahwa tolak ukur utama legalitas

Hukum Internasional sebenarnya serupa dengan Hukum Dalam Negeri, yakni

bagaimana menyeimbangkan kemaslahatan setiap individu dan (atau) negara

dalam memerankan kebebasan individunya dengan kemaslahatan kolektif untuk

mewujudkan keadilan menyeluruh yang paripurna. Kerena pada kenyataannya,

kontradiksi antara Hukum Internasional dan Hukum Dalam Negeri memang

sering terjadi dengan sebab ketidak-samaan lahan terapan kedua jenis hukum

tersebut. Betapapun hal ini tidak akan menafikan persamaan tujuan utama kedua

hukum tadi.

96 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah II : kritik Konsep, Penjelajahan lain (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 46

97 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 195

Page 88: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xc

An-Na’im senantiasa mengakui legalitas dan keampuhan Hukum

Internasional sebagai sebuah instrumen Hukum yang harus ada, demi tercipta dan

terjaganya keamanan dan stabilitas Hak Asasi Manusia di semua penjuru dunia.

Tapi An-Na’im juga tetap keras mengkritik bahwa selama ini timbul pencitraan

bahwa Hukum Internasional adalah murni produk Barat, sementara yang lainnya

hanya berperan sebagai pelaksana dan (bahkan) pengikut saja. Menurutnya harus

ada pembangunan image building yang baru, di mana Hukum ini harus bisa

dipandang sebagai Hukum Internasional sebenarnya, yang diproduksi, ditetapkan

dan dipatuhi oleh setiap komponennya. Dalam pemahaman An-Naim bahwa

semakin surutnya penerapan hukum harus dipahami tidak semata-mata akibat

dominasi Barat atas seluruh dunia Muslim, melainkan juga kesadaran kaum

Muslimin sendiri atas tidak memadainya konsep-konsep syari’ah yang ada.98

Memang ada sebagian muslim yang tidak menginginkan penerapan

syari’ah dalam kehidupan politik, dengan alasan bahwa konsep syari’ah tidak

memadai, namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan Islam dan Barat

juga sangat mempengaruhi rasa percaya diri kaum muslimin terhadap peradaban

Islam sendiri, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan hukum yang sangat

mempengaruhi dunia Islam sehingga terjadi penolakan terhadap hasil hukum

tersebut.

Sebagai penegasan, An-Na’im menekankan bahwa Muslim tidak

diperbolehkan untuk menjadikan sejarah sebagai sumber Hukum Islam, baik

dahulu maupun mendatang. Juga tidak menyetujui al-Qur’an dan Sunnah sebagai

landasan Hukum Islam yang disama-ratakan baik dahulu, kini dan mendatang.

98 Ibid., h. 201

Page 89: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xci

Karena An-Na’im mengira bahwa sejarah hanyalah frame tempat dua sumber

Hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah) tersebut ditetapkan. Dengan kata lain, An-

Na’im mengafirmasi bahwa sebagaimana Qur’an dan Sunnah telah menjadi

Sumber Hukum dalam rangka memecahkan permasalahan yang terjadi zaman

dahulu, al-Qur’an dan Sunnah juga harus menjadi Sumber Hukum Modern yang

bisa memecahkan permasalahan-permasalahan masa kini.

Dari paparan dimensi historis di atas, ada beberapa kaidah-kaidah penting

dalam Hukum Islam menurutnya yang bertentangan dengan Hukum Internasional,

yakni masalah permusuhan terhadap non-Muslim dan penggunaan kekerasan

terhadap non-Muslim, regulasi penggunaan kekerasan dan perjanjian damai.

Na’im yakin bahwa kaum Muslim seluruhnya akan menemukan pola keimanan

yang lebih mudah terhadap Islam, yang terwujud dengan perdamaian dan

kebebasan yang sempurna, yang jauh lebih baik dibanding dengan penggunaan

kekerasan ataupun ancaman untuk menggunakannya.

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa An-

Na’im sangat mendukung nalar publik, termasuk juga persoalan hukum pidana.

Bahwa menurutnya sebelum menetapkan hukum pidana melalui proses legislatif,

hukum pidana tersebut harus berusaha merangkum kesepakatan rakyat seluas

mungkin dan aspirasi serta hak-hak minoritas etnik, agama, dan politik harus

dihormati.99

Konsep riddah sebagaimana yang dipahami oleh sebagaian ahli hukum

Islam sebagai had yang pelakunya harus dihukum mati, bagi An-Naim justru ini

sangat bertolak belakang sekali dengan semangat HAM dan kebebasan beragama.

99 Ibid., h. 198

Page 90: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcii

Ia sangat mengecam sekali hukuman mati yang diberikan pada sang pelaku.

Baginya, konsep hukum riddah dan semua konsekusensi perdata dan pidananya

harus dihapuskan100 hal ini dilakukan agar supaya dapat menyingkirkan

keberatan-keberatan konstitusional dan hak asasi manusia (HAM).

Memang keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada penganut keyakinan

agama tertentu termasuk agama Islam, namun kalau alasan murtad atau keluar

dari agama Islam dengan motif hanya ingin mencari kelemahan dan mengobok-

obok agama Islam maka pelakunya berhak dihukum meskipun bukan hukuman

mati karena sudah melakukan kejahatan penghinaan terhadap sebuah agama dan

hal ini tanpa disadari juga telah melanggar HAM.

100 Ibid., h. 207

Page 91: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xciii

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

Perdebatan hubungan agama, dan negara di dunia Barat terutama agama

Kristiani dan Katolik telah menemukan jawaban bahwa adanya pemisahan antara

kedua unsur tersebut antara agama dan negara atau antara gereja dan negara,

namun di beberapa negara muslim masih terjadi perdebatan yang hebat antara

pemikir-pemikir Islam tentang bagaimana hubungan antara keduanya karena

beberapa pemikir Islam ada yang menginginkan adanya integritas agama dan

negara, Islam dan negara, namun ada juga yang mencoba mencontoh Barat tetapi

tetap mengedepankan nilai-nilai moral dan etika Islam, bahkan ada yang sama

sekali menginginkan pemisahan total keduanya sebagaimana yang dipahami

Barat.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab III, bahwa ada tiga

paradigma yang menjelaskan hubungan Islam dan negara, Abdullahi Ahmed An-

Naim merupakan salah seseorang intelektual muslim yang intens mengkaji

tentang hubungan Islam dan negara. Ia mencoba menawarkan sebuah konsep

negara sekuler namun tetap menjadikan Islam sebagai pijakan moral dalam

pengambilan kebijakan dan pembuatan undang-undang. Meskipun ia menolak

sebuah konsep negara Islam namun ia tetap mengakui peran Islam di ruang publik

Page 92: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xciv

yang prosesnya melalui apa yang disebutnya sebagai Nalar Publik dan menolak

sebuah bentuk masyarakat sekuler.

Tentang hubungan Islam dan negara dari perspektif An-Na’im, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

1. Ada dua hal besar. Pertama mengenai syari’ah, yang ditafsirkan ulang dan

bahwa syari’ah merupakan hasil penafsiran manusia. Syari’ah harusnya

menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap kebijakan

negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang memihak

kepada Islam saja. Kedua adalah tentang sekularisme. Sekularisme itu sesuatu

yang sebenarnya netral agama. Bukan benci agama. Dalam salah satu bab

bukunya dia menunjukkan bahwa sekularisme itu meskipun wujud dasarnya

adalah pemisahan agama dan negara, tapi wujud konkretnya berbeda dari satu

ke lain negara.

2. Butir-butir pokok pemikirannya adalah bahwa Islam dan negara itu secara

institusional harus dipisahkan. Bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama

lain. Tetapi Islam dan politik tidak boleh dipisahkan. Oleh sebab itu dia

memisahkan apa yang dia sebut sebagai religion in public space dengan

religion in the state. Dan bahwa ia sangat menentang sekali bentuk yang

kedua ini.

3. Sebagai seorang pakar HAM, menurutnya setiap kebijakan yang diambil harus

tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin

kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, gender,

dan lain-lain.

Page 93: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcv

Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena

itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk

menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan

dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik

mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam",

melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad

kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap

menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk

dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis

mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia.

Page 94: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcvi

DAFTAR PUSTAKA

Abd ar-Raziq, Ali. Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan

Pemerintahan Dalam Islam. Yogyakarta: Jendela, 2002. Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta:

UII Press, 2004. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara, dan Penerapan Syariah.

Penerjemah Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001. An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy

dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS, 1994. _________. Dekonstruksi Syariah (II ), Kritik Konsep, Penjelajahan Lain.

Yogyakarta: LkiS, 1996. _________. Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah.

Penerjemah Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007. _________. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, And

International Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1990. Anwar, M. Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik

Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme

hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. _________. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan,

2000. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.

Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi, 2006.

Brown, Carl. L. Wajah Islam Politik, Pergulatan Agama & Negara Sepanjang

Sejarah Umat. Jakarta: Serambi, 2003. Bustamam Ahmad, Kamaruzzaman. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta:

UII Press, 2004.

Page 95: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcvii

Chazawi, Adawi. Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Efendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Tarnsformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. ________. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara

yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005. Eickelman, Dale F, dan James Piscatori. Ekspresi Politik Muslim. Bandung:

Mizan, 1998. ________. Politik Muslim; Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat

Muslim. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998. Esposito, Jhon L. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ________. Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman & Realitas Sosial.

Jakarta: Inisiasai Press, 2004. Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005. Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF, ed. Islam, Negara dan Civil Society,

Gerakan Dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.

Ismail, Faisal. Islam, Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah. Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 2001. Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan

Fundamentalis. Magelang: Indonesia Tera, 2001. Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM, Dampak

Perda Syariat Islam Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: CSRC, 2007.

Kanter, E.Y. dan S.R Siantar. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Mizan, 1997. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi

Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

Page 96: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcviii

______. Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998. Moten, Abdul Rasyid. Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan

Widyawati Bandung: Pustaka, 2001. Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. M.A, Jakarta: Paramadina, 1995. Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993. Tim ICCE. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat

Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005. Urbaningrum, Anas. Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta:

Republika, 2004. Vaezi, Ahmad. Agama Politik, Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab.

Jakarta: Citra, 2006. Referensi Jurnal Islamia. Melacak Akar Peradaban Barat. Vol. III No. 2 Referensi Media Massa Azra, Azyumardi. “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli

2007 Referensi Internet www.law.emory.edu/aannaim Armas, Adnin. “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM

ketimbang syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html.

Assyaukanie, Luthfi. “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam.” Artikel diakses

pada tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/id/ index.page=profile&detail=artikel&detail=dir&id=330. html.

Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Na’im di Freedom Institute,

Rabu 1 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari situs http://www.freedom-institute.org. html

http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na'im#Main_Publications.

Diakses pada taggal 10 April 2008.

http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008

Page 97: Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18257/1/HAFIZ... · Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti

xcix

Kristiadi, J. “Kambing hitam itu bernama UUD 1945.” Artikel diakses pada

tanggal 14 Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars opinion view.asp?op id=623&id=29&tab=3. html

Misrawi, Zuhairi. “Negara Syariat atau Negara Sekuler?.” Artikel diakses pada

tanggal 5 April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page-article&id=148.html

Hasil wawancara Fatiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui

VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari http://apri23.multiply.com/journal/item/7/buat Pak PeAceMan Tuh Kan Pak. An Naim Liberal Abiss.html.

Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im

di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/ telaga hikmah/message.html.